You are on page 1of 6

KESATUAN DENGAN YANG ESA SEBAGAI TUJUAN HIDUP

Sebuah Tinjauan Historis dan Filosofis dalam Sistem Filsafat Neo-Platonisme

Adi Budi Kristianto, msc Semester III/ STF Seminari Pineleng Abstract: The desire for searching the meaning of human existence raises the possibility about transcendental being. It looks like from their individual soul. Why individual soul tends to reach the transcendental being? Can they make union with the One as the ultimate goal? In this article the author tries to answer philosophically this basic question through critical interpretation from Neo-Platonism paradigm. After explaining the historical context of the doctrine, the author shows how the process of transcendence in Plotinian (Neo-Platonist) turns to the principle as mystical union with God/ the One. Finally, the personal commentary of Neo-Platonism will conclude the reason about lifes purpose to the unity of being. Keywords: visi, emanasi, Yang Esa (the One), rasio (nous), jiwa-dunia (world-soul), kebahagiaan sejati, kesadaran, ekstasis, mistik, kesempurnaan.

Untuk apa manusia hidup? Dari masa ke masa pertanyaan mendasar ini rupanya tetap terngiang sehingga mengarahkan setiap manusia pada pencarian hidup. Ada yang menjawabnya dengan memperoleh kebahagiaan sebanyak-banyaknya dalam hidup ataupun menjadi sukses. Yang pasti, hal positif atas keputusan untuk hidup adalah manusia membentuk prinsip demi suatu tujuan yang jelas. Kapasitas rasio manusia memampukannya berabstraksi untuk bergerak melampaui realitas inderawi belaka. Manusia dikatakan memandang ke atas. Inilah visi yang mengarahkan tujuan hidup. Tak heran, penelusuran diri ini menariknya ke realitas transendental. Realitas transendental1 dipahami kemudian bahwa pusat hidup manusia hakikatnya menuju yang ilahi. Tapi, apakah itu? Di sini konsep kesatuan (the unity of being) tercetus. Gagasan ini
1

Transendental menunjuk konsep yang sifatnya universal dan melampaui batas-batas pengalaman inderawi. Lih. A.R Lacey, a Dictionary of Philosophy, Boston: Routledge & Kegan Paul Ltd, 1976, hlm. 105.

~1~

terutama menjadi prinsip kuat yang menjawab fenomena kerinduan manusia atas satu dasar yang menguasai segala sesuatu. Tujuan hidup manusia mestinya terarah pada kebaikan sejati, yang ilahi. Dalam artikel ini secara sistematis pandangan kaum Neo-Platonis menerangkan bahwa kebaikan sejati sebagai prinsip transendental itu dalam kesatuan arus hidup mengalir dari Yang Esa (the One). Implikasinya, tujuan hidup berada pada kesempurnaan dengan Yang Esa.2 Konteks Historis Neo-Platonisme3 Pemikiran filsafati Neo-Platonisme bermula dari seorang filsuf Ammonius Saccas dari Aleksandria (175-242 M). Namun, pokok ajarannya kurang diketahui karena ia tidak meninggalkan catatan apapun. Baru kemudian muridnya, Plotinus (204/5-270 M) dari Lycopolis, Mesir yang berpengaruh dalam usaha meletakkan dasar gagasan Neo-Platonisme. Berkat pengalaman ekspedisinya, Plotinus mampu menyusun ajaran yang mana berasal dari perpaduan unsur pemikiran Plato, Phytagoras, Aristoteles, kaum Stoa bahkan ilmu mistik Timur (India dan Persia). Ia menulis karya berjudul Enneads yang dikumpulkan dan diedit oleh muridnya, Porphyrius (232-305 M).4 Kemunculan Neo-Platonisme juga tak dapat dipisahkan dari sejarah perkembangan agama Kristen yang cukup pesat. Kala itu, kebanyakan orang mulai menempatkan konsep teosentris atas jawaban hidup. Belum lagi, kultus Matahari berkembang dalam Kekaisaran Romawi sehingga ide emanasi Neo-Platonisme mudah diterima jika dibandingkan dengan rumusan teologis rumit dari Kekristenan.5 Prinsip etika sebagaimana ditunjukkan Plotinus tampaknya menjadi aspek penting di mana masyarakat dibentuk pada latihan spiritual menuju kesatuan dengan Yang Esa. Dengan demikian, Plotinus menyumbangkan pemikiran filsafat Yunani sampai kepada ajaran mistik yang diuraikan begitu mendalam, yakni kesatuan manusia dengan pengada transendental. Gerak Kesatuan kepada Wujud Tertinggi (The Ultimate Principle)6 Proses menuju kesatuan dengan Yang Esa merupakan intisari dari pokok ajaran emanasi Neo-Platonisme. Sebelum menjelaskan gerak proses itu, kita perlu memahami terlebih dahulu tentang konsep Yang Esa dan emanasi. Yang Esa merupakan terjemahan dari kata Yunani (to hen). Yang Esa ini merupakan entitas yang mutlak, melampaui segala sesuatu yang ada, baik semua pemikiran dan keberadaan. Yang Esa tidak terbagi-bagi, tanpa pengubahan, kekal sifatnya,
2 3

Bdk. Prof. K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1975, hlm. 18. Neo (bahasa Yunani) artinya baru dan kata Platon menunjuk sebutan bagi pengikut mazhab Plato. Di tulisan ini NeoPlatonisme diartikan sebagai aliran filsafat yang mengedepankan konsep Plato dengan interpretasi sesuai sintesa pemikiran yang berkembang kala akhir fase Hellenisme Romawi. 4 Ibid, hlm. 19. 5 Bdk. Konteks Historis, Filosofis dan Religius Neoplatonisme dalam www.driyarkara.academica.edu yang diunduh pada tanggal 15 September 2012. 6 Principle dalam konteks filsafat Yunani kuno artinya sebagai landasan pokok dari suatu sistem, hukum suatu unsur.

~2~

tanpa substansi sebagai masa lampau dan sekarang, ia kebenaran pada dirinya. Dapat disebut pula Yang Ilahi.7 Hal penting lainnya dari pemikiran Plotinus, yakni segala sesuatu mengalir keluar dari Yang Ilahi ini, laksana suatu sumber harus mengalirkan segala sesuatu atau terang yang harus bersinar dalam gelap. Inilah yang dimaksud dengan proses emanasi. Lantas,

pengaliran/pencurahan energi ilahi itu terjadi bertahap-tahap di mana semakin jauh keberadaan tahapnya semakin tidak sempurna keadaannya.8 Ada tiga tahap wujud emanasi dari "Yang Esa", yaitu: nous (akal budi, rasio, roh), psyche (jiwa), dan me on/ hyle (materi, benda, hal fisik). Nous (Rasio) itu gambaran yang keluar dari Yang Esa dengan sendirinya, tidak perlu mengandung paksaan atau perubahan pada-Nya, sebab penetapan kehendak berarti merusak kesatuan-Nya.9 Dengan alasan "keluar dengan sendirinya", maka kesatuan Yang Esa tetap terpelihara tanpa menimbulkan bilangan (sanggahan terhadap ide Pythagoras). Ditinjau dari pokok filosofis istilah nous ini sebenarnya masih banyak terpengaruh pemikiran dari Anaxagoras.10 Psykhe (Jiwa) adalah gambaran nous. Konsep jiwa yang dipahami Plotinian kurang lebih sama dengan jiwa menurut Plato. Jiwa itu keberadaan intelek, bersifat immortal dan berprinsip moral. Substansi rohani ini terkurung dalam tubuh yang fana.Namun, pada hakikatnya, jiwa menjadi jembatan antara jiwa-dunia (world-soul) dengan dunia benda (soul of matter) yang masingmasing mendukung seluruh realitas alam semesta. Di tahap ini jiwa individual mewujudkan suatu representasi jiwa-dunia.11 Me on/ Hyle (Materi) adalah ruang kegelapan, refleksi/gambar pantulan dari alam logos atau dari alam non-materi. Wujud ini termasuk lapisan dasar segala hal yang tampak, tetapi pada dirinya tidak ada realitas, hanya tersisa suatu potensialitas. Meski demikian, materi/benda menyatu dengan bentuk sehingga menyebabkan adanya dunia. Mengadopsi dari Stoisisme, realita materi diyakini Plotinus sebagai hirarki keberadaan terbawah dan terendah.12 Secara sekilas, uraian dalam konsep Neo-Platonisme tersebut menunjukkan analogi gerak yang condong ke prinsip kesatuan dan transenden. Analogi ini pula yang menjelaskan bahwa manusia terdiri dari 3 substansi : tubuh, jiwa dan roh. Ketiga aspek menciptakan harmonisasi dalam keseluruhan sistem. Tubuh menampilkan fisik inderawi, jiwa sebagai tempat pusat kesadaran hidup, sedangkan roh senantiasa merindukan persatuan dengan nous tertinggi, "Yang Esa". Menurut Plotinus,
7

tujuan

hidup

manusia

mestinya

kembali

kepada

persatuan

tersebut.

Jalan

Lih. Frederick Copleston, A History of Philosophy: Volume I. Greece & Rome part II. Maryland: The Newman Press, 1962, hlm. 208. 8 Ibid, hlm. 209-212. 9 Bdk. Dr. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1. Yogyakarta: Kanisius, 1980, hlm. 67. 10 Bdk. Konteks Historis, Filosofis dan Religius Neoplatonisme diambil dari: http://www.driyarkara.academica.edu (15 September 2012). 11 Bdk. Dr. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1. Yogyakarta: Kanisius, 1980, hlm. 68-69. 12 Bdk. Prof. K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1975, hlm. 16-17.

~3~

kembali/remanasi dengan bertahap-tahap membutuhkan latihan rohani untuk mengalami kebahagiaan sejati, terdiri atas: Purificatio-Illuminativa-Unificatio. Maksudnya, manusia sejati itu harus menapaki tujuan hidup dengan melampaui sifat materi. Meski melalui jenjang-jenjang untuk tiba pada titik kulminasi mistik, proses transendensi yang merupakan perjalanan spiritual bisa dicapai melalui metode-metode praksis. Tahap pertama ialah purificatio atau penyucian. Artinya, jiwa manusia terlebih dahulu perlu dimurnikan guna sampai kepada kesatuan mistik dengan "Yang Ilahi" atau "Yang Baik". Cara yang ditempuh dengan melakukan keutamaan/kebajikan. Dengan begitu manusia membebaskan dirinya dari dominasi tubuh dan pengenalan inderawi yang tidak memberi kepastian hidup. Prinsip keutamaan ini seperti yang diajarkan Plato tidak hanya berbuat amal baik tetapi juga laku tapa. Tahap kedua, yakni illuminativa atau pencerahan di mana jiwa diterangi dengan pengetahuan tentang ide-ide akal budi. Jiwa hendaknya menuju pada persepsi inderawi. Caranya dengan berfilsafat. Dengan berpikir filsafati manusia akan dihantar lebih mendalam kepada kebenaran, supaya mampu mengarahkan pandangannya kepada terang yang kekal. Mengapa? Karena nous atau roh manusia akan menganugerahkan jiwa rasionalitas yang sejati, yaitu dengan pencerahan. Tahap akhir termasuk unificatio atau penyatuan. Inilah tahap tertinggi di mana manusia menyelami dirinya secara sempurna dan meresapkan "Yang Ilahi" di dalam dirinya. Hal ini mengatasi segala pengetahuan, pikiran dan kesadaran diri.13 Dalam situasi ekstasis14 manusia mengalami kesatuan mistik dengan "Yang Esa". Kesatuan tersebut menunjukkan gambaran kebahagiaan sejati. Kebahagiaan ini membuat manusia memiliki visi hidup yang jelas dan kesadaran kontemplatif. Plotinus mengatakan: "This is the life of gods and of the godlike and happy among men; a quittance from things alient and earthly, a life beyond earthly pleasure, a flight of the alone to the Alone"15 -Enneads VI,9,11 (771b)-

Kesimpulan Dari eksplanasi di atas ada kesan kuat yang menjadi fokus artikel, yakni kerinduan jiwa akan entitas "Yang Esa". Penulis menyimpulkan Neo-Platonisme menjawab bahwa tujuan hidup manusia, yakni meraih kebahagiaan sejati yang bukanlah sensasi inderawi belaka melainkan kesatuan dengan The One yang mengatasi dunia. Hal itu bisa dialami lewat tiga tahap emanasi ke atas: mengatasi keinginan/nafsu badaniah, mengasah rasio dengan filsafat serta pencerahan.
13

Lih. Frederick Copleston, A History of Philosophy: Volume I. Greece & Rome part II. Maryland: The Newman Press, 1962, hlm. 214-216. 14 Ekstasis berasal dari kata Yunani: ex (keluar) dan histanai (berdiri) jadinya berdiri di luar diri sendiri. Istilah ini menunjuk pada keadaan psikologis yang ciri khasnya penyerapan mental yang intens, rasa terpesona juga disamakan dengan pencerahan religius/kesatuan jiwa dengan realitas transendental. 15 Ibid, hlm. 215.

~4~

Menurut penulis, secara garis besar aliran Neo-Platonisme menekankan modifikasi filsafat yang teoritis menjadi filsafat yang praktis. Filsafat disadari dan dialami sebagai suatu seni hidup. Orang dikatakan bijak ketika ia (sage) mengatur hidupnya menurut akal atau rasionya. Tak heran, filsafat berkembang sebagai mazhab pemikiran yang menentukan visi hidup manusia. Dalam rumusannya banyak kali terkandung unsur etis kemanusiaan, religi agama hingga praksis hidup. Jika dicermati ternyata setelah filsuf Aristoteles filsafat rasional sedikit mengarah pada bentuk irasionalisme atau dengan kata lain konsep ketuhanan.16 Namun, Neo-Platonisme dalam perkembangan filsafat telah memberikan kontribusi cemerlang di akhir zaman Filsafat Yunani Kuno, misalnya: Transendensi diri dalam kesatuan mistik berhubungan pula dengan menjalankan keutamaan etis, praktik hidup moral menjadi mutlak ada sebagai bagian integral dari kesatuan, asketisme dimaknai dengan sikap konsekrasi/persembahan kepada alam sekitar, membantu penjelasan intelektual akan agama wahyu/misteri (Kristen), dan juga membentuk adanya suatu Penyelenggaraan Ilahi sebagai prinsip ontologisnya.17 Sayangnya, aliran tersebut memang begitu berbahaya sebagai konsep pemikiran karena: Pertama, Plotinian berusaha meyakinkan secara logis dan rasional untuk mencapai keselamatan personal dengan usaha aspirasi spiritual manusia sendiri. Kedua, konsep emanasi terlalu menekankan aspek vertikal terhadap pengada transendental sehingga mengabaikan pengada universal yang tinggal dalam horizon indera manusiawi. Ketiga, sama seperti konsep Plato, tubuh/materi dianggap sebagai penjara jiwa. Lalu, timbul pertanyaan kritis: Bagaimana bisa menemukan kesatuan dan kebahagiaan sejati jika tak ada pendamaian antara tubuh dan jiwa? Apakah perkembangan ajaran mistik sebagai bentuk kekecewaan terhadap perkembangan fisik di dunia ini? Dari sudut pandang iman Kristen, penulis percaya bahwa dunia ilahi setelah kematian ialah Kerajaan Surga dan bukanlah dunia abadi ide-ide. Perhatikan ucapan terakhir Plotinus kepada temannya, Eustochius saat menjelang wafat, I was waiting for you, before that which is divine in me departs to unite itself with the Divine in the universe.18 Betapa radikal sistem filsafat Neo-Platonisme. Tujuan hidup manusia dijawab Plotinus sebagai kesatuan menuju Yang Esa. Hal ini dituntut karena nous/rasio manusia senantiasa dibimbing pada kesempurnaan. Arahnya untuk meraih kebahagiaan sejati. Neo-Platonisme berkeyakinan manusia bisa mengalaminya asalkan dengan latihan spiritual secara bertahap dalam konsep emanasi. Jiwa individual dalam diri manusia perlu ditata. Inilah pemikiran filsafat yang dikembangkan sebagai suatu seni hidup, the way of life!

16 17

Bdk. Dr. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1. Yogyakarta: Kanisius, 1980, hlm. 64. Bdk. Frederick Copleston, A History of Philosophy: Volume I. Greece & Rome part II. Maryland: The Newman Press, 1962, hlm. 249. 18 Ibid, hlm. 216.

~5~

Sumber Referensi:
ADLER, MORTIMER J. Plotinus: Enneads I-VI. Great Books of the Western World No.11. Translated by Stephen MacKenna dan B.S. Page. Chicago: Britannica Inc, 1996. BAGUS, LORENS. Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996. BERTENS, K. Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1975. COPLESTON, FREDERICK. A History of Philosophy: Volume I. Greece & Rome part II. Maryland: The Newman Press, 1962. HADIWIJONO, HARUN, Sari Sejarah Filsafat Barat 1. Yogyakarta: Kanisius, 1980. LACEY, A.R. A Dictionary of Philosophy, Boston: Routledge & Kegan Paul Ltd, 1976.

~6~

You might also like