You are on page 1of 4

ANALISA KASUS

1. Hematemesis Melena e.c. suspek gastritis erosif dd ruptur varises esofagus Dipikirkan atas dasar pada anamnesis didapatkan keluhan muntah darah sebanyak 2 kali dengan jumlah kira kira 1 gelas kecil yang berwarna kehitaman disertai keluhan buang air besar berwarna hitam sejak 3 minggu SMRS, dengan konsistensi lunak kental. Hal ini dikonfirmasi dengan hasil pemeriksaan rectal toucher, di mana didapatkan tinja berwarna hitam pada sarung tangan. Pasien memiliki keluhan nyeri ulu hati yang dikonfirmasi dengan adanya nyeri epigastrium pada palpasi abdomen. Keluhan disertai mual. Pasien memiliki kebiasaan meminum jamu jamuan. Temuan-temuan klinis tersebut mengarahkan pemikiran akan adanya perdarahan saluran cerna berupa melena yang disebabkan oleh gastritis erosif, atau ruptur varises esofagus.

Untuk mengetahui etiologi dibutuhkan pemeriksaan lanjutan. Pemeriksaan yang dilakukan dapat berupa: Aspirasi isi lambung dengan pipa nasogastrik untuk mengetahui lokasi perdarahan secara kasar. Hasil dapat negatif palsu apabila perdarahan sudah berhenti atau perdarahan bersumber di duodenum. Endoskopi saluran cerna atas, untuk memvisualisasikan situs perdarahan. Terutama dilakukan apabila terdapat kecurigaan adanya varises esofagus.

2. Pembahasan Penatalaksanaan Pada kasus perdarahan saluran cerna pertama-tama harus dilakukan resusitasi hemodinamik dengan darah atau cairan yang diberikan secara intravena. Akses IV dilakukan dengan pemasangan IV line. Resusitasi dilakukan dengan melakukan penambahan volume intravaskular dengan normosalin atau larutan Ringer laktat, transfusi PRC setelah dilakukan crossmatching hingga dicapai kadar Hb target 10 g/dl pada kasus ruptur varises dan 12 g/dl pada kasus non ruptur varises, serta koreksi koagulopati dengan transfusi fresh frozen plasma atau konsentrat trombosit hingga kadar trombosit >50.000/mm3. Apabila terdapat hematemesis juga dilakukan bilas lambung dengan NGT

sembari dilakukan intubasi untuk melindungi jalan napas apabila terjadi syok, hematemesis masif, atau penurunan kesadaran.

Setelah terapi akut dilakukan, terapi lanjutan dilakukan sesuai dengan penyebab terjadinya perdarahan saluran cerna. Pada kasus perdarahan saluran cerna atas yang bermanifestasi sebagai melena, perlu diinvestigasi lebih dahulu etiologinya. Secara umum apabila perdarahan disebabkan oleh ruptur varises esofagus, terapi melibatkan penggunaan oktreotida dan antibiotik ditambah dengan endoskopi terapeutik (ligasi varises esofagus). Pada perdarahan yang disebabkan oleh etiologi non ruptur varises, secara umum dapat diberikan sitoprotektor berupa sukralfat atau teprenon, antasida, serta injeksi vitamin K pada pasien dengan penyakit hepar kronik atau sirosis hepar. Secara khusus apabila perdarahan disebabkan oleh penyakit ulkus peptikum, terapi farmakologik dilakukan dengan pemberian inhibitor pompa proton (omeprazole) dan endoskopi terapeutik (injeksi epinefrin, kauterisasi, dan penjepitan pembuluh darah). Pada kasus perdarahan yang disebabkan gastritis erosif, terapi dilakukan dengan pemberian inhibitor pompa proton atau antagonis H2.

Pada kasus ini pasien mengalami perdarahan saluran cerna yang bermanifestasi sebagai hematemesis melena. Secara klinis ditentukan sumber perdarahan diperkirakan berasal dari gastritis erosif. Walaupun demikian masih terdapat kemungkinan ruptur varises esofagus. Maka itu sembari menunggu dilakukannya endoskopi, dilakukan pemberian terapi empirik seperti yang sudah dituliskan di atas. Terapi cairan untuk ekspansi volume intravaskular dilakukan dengan pemberian normosalin NaCl 0,9%. Diberikan sebanyak 500 ml tiap 12 jam. NaCl 0,9% merupakan normosalin kristaloid yang ditujukan untuk meningkatkan volume cairan intravaskular. Dalam kaitan dengan pencegahan syok hipovolemik dan kondisi hipervolemia, pada pasien sebaiknya dilakukan juga monitoring tanda-tanda vital, produksi urin (balans cairan), dan pengukuran hematokrit serial apabila memungkinkan.

Sembari memberikan terapi cairan inisial dilakukan pula pengukuran kadar Hb. Sesuai dengan perdarahan yang terjadi, kondisi klinis pasien, serta kadar Hb pasien, dilakukan pula transfusi darah hingga dicapai target Hb 10 g/dl pada kasus ruptur varises atau 12 g/dl

pada kasus non ruptur varises. Pasca transfusi dilakukan kembali pengukuran kadar Hb untuk menilai apakah perlu transfusi PRC lanjutan atau tidak. Dalam Harrison disebutkan bahwa pemberian PRC dilakukan untuk menjaga hematokrit dalam rentang 25-30%. Pada kasus perdarahan dengan transfusi yang masif dapat terjadi trombositopenia. Jika terjadi kondisi koagulopati tersebut dapat dilakukan pemberian FFP atau TC. Pada pasien dengan sirosis hepar juga perlu ditambahkan vitamin K 10 mg secara SC atau IV. Apabila terjadi penurunan kadar kalsium darah (akibat transfusi masif darah yang mengandung sitrat sebagai antikoagulan) dapat dilakukan pemberian kalsium IV dengan sediaan kalsium glukonas 10% IV sebanyak 10-20 ml dalam 10-15 menit.

Apabila endoskopi belum dilakukan terapi dapat dilakukan secara empirik, walaupun dalam Harrison disebutkan bahwa pemberian antasida, penghambat reseptor H2, dan PPI secara empirik belum terbukti bermanfaat. Algoritma terapi dalam Harrison menyebutkan bahwa endoskopi dilakukan terlebih dahulu sebelum memulai terapi agar terapi definitif dapat dimulai segera. Oleh karena secara klinis masih dipikirkan bahwa perdarahan saluran cerna berasal dari gastritis erosif (penyebab non varises), terapi yang diberikan mencakup omeprazole (penghambat pompa proton), sukralfat (sitoprotektor), dan vitamin K (pada pasien dengan penyakit hepar kronis atau sirosis hepar).

Omeprazole tergolong dalam penghambat pompa proton. Obat ini tersedia dalam bentuk tablet bersalut dan sediaan injeksi IV (dapat diberikan baik secara bolus maupun drip). Omeprazole menghambat produksi HCl dengan cara memblokade kerja pompa proton di lambung. Pemberian omeprazole diindikasikan pada kasus penyakit ulkus gaster dan peptik, sindroma dispepsia tanpa ulkus, dan untuk pencegahan perdarahan mukosa saluran cerna yang disebabkan oleh stres. Perlu diperhatikan adanya efek omeprazole terhadap obat lain. Meningkatnya pH lambung dapat menghambat penyerapan beberapa obat, seperti ketokonazol, itrakonazol, digoxin, atau atazanavir.

Sukralfat tergolong dalam agen pelindung mukosa saluran cerna. Sukralfat merupakan garam sukrosa yang mengalami reaksi sulfasi dengan aluminium hidroksida. Dalam air atau larutan asam sukralfat akan membentuk lapisan pasta kental yang akan berikatan

dengan ulkus selama 6 jam. Sebanyak 3% sukralfat akan mengalami absorbsi oleh saluran cerna dan sisanya akan dibuang melalui tinja. Melalui ikatan antara muatan negatif sukralfat dengan protein bermuatan positif pada ulkus atau erosi, sukralfat akan membentuk sawar fisik yang menghambat jejas kaustik lain dan merangsang sekresi bikarbonat dan prostaglandin mukosa. Sukralfat diberikan dalam dosis 1 g selama 4 kali sehari dalam kondisi perut kosong (1 jam sebelum makan). Efek samping sukralfat tergolong minimal karena absorpsi obat yang rendah, walaupun interaksi dengan obat lain dapat terjadi karena adanya ikatan sukralfat dengan obat-obat lain.

You might also like