You are on page 1of 38

Laporan Kasus

PENATALAKSANAAN HIPONATREMI

Oleh: DINI MAYRISDAYANI 0808121365

Pembimbing dr. ALEX BARUS, Sp. PD. FINASIM

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU RSUD ARIFIN ACHMAD PROVINSI RIAU 2013

BAB I PENDAHULUAN Cairan tubuh total secara umum dibagi ke dalam 2 kompartemen utama, yaitu cairan yang berada di dalam sel (cairan intrasel; CIS) dan cairan yang membungkus sel (cairan ekstraseluler; CES). Dalam dua kompartemen cairan tubuh ini terdapat beberapa kation dan anion (elektrolit) yang penting dalam mengatur keseimbangan cairan dan fungsi sel. Ada dua kation yang penting, yaitu natrium dan kalium. Keduanya mempengaruhi tekanan osmotik cairan intaraseluler dan ekstraseluler dan berhubungan langsung dengan fungsi sel. Kation utama dalam cairan ekstraseluler adalah natrium dan kation utama dalam cairan intrasel adalan kalium. Cairan dan elektrolit menciptakan lingkungan intraseluler dan ekstraseluler bagi semua sel dan jaringan tubuh, sehingga ketidakseimbangan cairan dan elektrolit dapat terjadi pada semua golongan penyakit.1 Natrium berperan dalam menentukan status volum air dalam tubuh. Konsentrasi normal dari Na+ dalam serum adalah 135-145 meq/L.2 Kadar natrium dalam plasma bergantung pada hubungan antara jumlah natrium dan air pada cairan tubuh. Kadar yang tidak seimbang antara natrium dan air akan berakibat pada terjadinya kondisi hipernatremia dan hiponatremia.1 Hiponatremia adalah suatu kondisi dimana kadar sodium atau natrium dalam plasma lebih rendah dari 135 mEq/L.2 Hiponatremi merupakan gangguan elektrolit yang paling sering dijumpai di rumah sakit yaitu 15-20 %.2 Hiponatremi terbagi atas tiga yaitu, hiponatremi ringan, sedang dan berat. Insidensi hiponatremi ringan ( natrium plasma < 135 mEq/L) yaitu 15-22 %, hiponatremi sedang ( natrium plasma < 130 mEq/L) yaitu 1-7 % dan hiponatremi berat ( natrium plasma < 120 mEq/L) yaitu sekitar < 1% dari pasien yang berobat ke rumah sakit. Hiponatremi ringan-sedang biasanya bersifat asimptomatik. Kondisi hiponatremi penting untuk diketahui karena (1) hiponatremi akut berat dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas, (2) peningkatan mortalitas pada pasien yang memiliki penyakit dengan kondisi

hiponatremi dan (3) terapi yang terlalu cepat pada pasien hiponatremi kronik dapat menyebabkan kerusakan neuron dan kematian.3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Definisi dan klasifikasi Hiponatremia adalah suatu kondisi dimana kadar sodium atau natrium dalam plasma lebih rendah dari 135 mEq/L.2 Hiponatremi dapat diklasifikasikan dalam beberapa kelompok:4 1. Berdasarkan osmolalitas plasma Isotonik hiponatremi Jika konsentrasi natrium plasma < 135 mEq/L dan osmolalitas plasma normal yaitu 280-285 mOsm/Kg/H2O. Contoh : pseudohiponatremi pada hiperlipidemia dan hiperproteinemia. Hipotonik hiponatremi Jika konsentrasi natrium plasma < 135 mEq/L dan osmolalitas plasma normal yaitu <280 mOsm/Kg/H2O. Hipotonik hiponatremi selalu menggambarkan ketidakmampuan ginjal dalam mengekskresikan cairan yang masuk. Berdasarkan jumlah cairan intravaskular hipotonik hiponatremi dapat dibagi menjadi 3 yaitu:4,5 Hipovolemia Jika konsentrasi natrium urin > 20 mEq/ L menandakan hiponatremi terjadi karena natrium keluar melalui ginjal (diuretik, insufisiensi renal, asidosis tubular ginjal, nephropaty salt-wasting). Jika konsentrasi natrium urin < 10 mEq/L maka kehilangan natrium terjadi di luar ginjal ( diare, muntah, melalui kulit/ keringat) Isovolemia Jika konsentrasi natrium urin > 20 mEq/ L maka telah terjadi gagl ginjal, SIADH (syndrome of inappropiate antidiuretik hormone), hipotiroid. Jika konsentrasi natrium urin < 10 mEq/L kemungkinan karena polidipsi.
4

Hipervolemia Jika konsentrasi natrium urin > 20 mEq/ L menandakan gagal ginjal akut atau kronik. Jika konsentrasi natrium urin < 10 mEq/L kemungkinan karena nefrosis, sirosis, gagal jantung. Tabel 2.1 Penyebab deplesi (hipovolemik) hiponatremi3

Tabel 2.2 Penyebab dilusi (euvolemik dan hipervolemik) hiponatremi3

Hipertonik hiponatremi3 Jika konsentrasi natrium plasma < 135 mEq/L dan osmolalitas plasma normal yaitu >285 mOsm/Kg/H2O. Contoh :

hiperglikemia dan pemberian cairan hipertonik seperti manitol. 2. Berdasarkan konsentrasi natrium plasma4 Hiponatremi ringan Konsentrasi natrium plasma < 135 mEq/L Hiponatremi sedang Konsentrasi natrium plasma < 130 mEq/L Hiponatremi berat Konsentrasi natrium plasma < 120 mEq/L 3. Berdasarkan konsentrasi ADH2 Hiponatremi dengan ADH meningkat Peningkatan ADH dikarenakan deplesi volume sirkulasi efektif yang menyebabkan Na keluar berlebihan dari tubuh yaitu ginjal (diuretik,

renal salt wasting, , hipoaldosteron) dan non ginjal seperti diare. Peningkatan ADH tanpa disertai deplesi volume misalnya pada SIADH Hiponatremi dengan ADH tertekan fisiologis Polidipsi primer atau gagal ginjal merupakan keadaan dimana eksresi cairan lebih rendah dibanding asupan cairan yang menimbulkan respon fisiologis menekan sekresi ADH

4.

Berdasarkan waktu2 Hiponatremi akut Disebut akut bila kejadian hiponatremi berlangsung kurang dari 48 jam. Pada keadaan ini akan terjadi gejala yang berat seperti penurunan kesadaran dan kejang. Hal ini terjadi akibat adanya edema sel otak karena air dari ekstrasel masuk ke intrasel yang osmolalitasnya lebih tinggi. Kelompok ini disebut juga hiponatremi simptomatik atau hiponatremi berat. Hiponatremi kronik Disebut kronik bila kejadian hiponatremi berlangsung lambat yaitu lebih dari 48 jam. Pada keadaan ini tidak terjadi gejala yang berat seperti penurunan kesadaran ataupun kejang. Gejala yang terjadi seperti mengantuk dan lemas. Kelompok ini disebut juga hiponatremi asimptomatik atau hiponatremi ringan.

2.

Fisiologi keseimbangan natrium dan air Natrium dan anion-anion lainnya menentukan lebih dari 90% aktifitas

osmotik CES. Aktifitas osmotik CES dapat dipersamakan dengan daya menahan air, beban natrium (jumlah bukan konsentrasi) total di CES menetukan jumlah total H2O yang dapat ditahan secara osmosis. Dengan demikian massa total garam Na+ di CES menentukan volume CES dan dengan demikian pengaturan volume CES bergantung pada keseimbangan garam. Untuk mempertahankan keseimbangan garam di tingkat tertentu maka pemasukan garam harus setara dengan pengeluarannya.1

Tabel 2.3. Kebutuhan dan pengeluaran natrium1 Pemasukan garam Jalan Jumlah (g/hari) Ingesti 10, 5 Pengeluaran garam Jalan Kehilangan obligatorik melalui keringat dan feses Eksresi terkontrol melalui urin Total pengeluaran

Jumlah (g/hari) 0,5

10,0 10,5

Total pengeluaran

10,5

Natrium difiltrasi secara bebas di glomerulus dan di reabsorpsi secara aktif, tetapi ion ini tidak disekresikan oleh tubulus, sehingga jumlah natrium yang dieksresikan di urin mencerminkan jumlah natrium yang difiltrasi tetapi tidak di reabsorpsi. Dengan demikian ginjal menyesuaikan ;jumlah garam yang dieksresi dengan mengontrol dua proses yaitu (1) laju filtrasi glomerulus dan (2) resabsorpsi natrium di tubulus.1

Kontrol jumlah natrium yang difiltrasi melalui pengaturan GFR Peningkatan volume CES dan tekanan darah arteri akan secara refleks dilawan oleh respons baroresptor yang menyebabkan peningkatan GFR dan pada gilirannya akan menyebabkan peningkatan eksresi garam dan cairan sehingga mengeliminasi kelebihan garam dan cairan membantu menurunkan kelebihan volume plasma.1

Kontrol jumlah natrium yang direabsorpsi melalui RAAS Walaupun Na+ direabsorpsi diseluruh panjang tubulus, hanya reabsorpsi di bagian tubulus distal yang dapat dikontrol. Faktor utama yang mengontrol tingkat reabsorpsi natrium di tubulus distal dan duktus kolektifus adalah RAAS yang sangat kuat, yang mendorong reabsorpsi natrium dan dan dengan demikian retensi natrium. Retensi natrium pada gilirannya meningkatkan retensi osmotik H2O dan menyebabkan ekspansi volume plasma serta peningkatan tekanan darah arteri.

Kontrol GFR dan reabsorpsi Na+ sangat berkaitan satu sama lain dan keduanya berhubungan erat dengan pengaturan jangka panjag volume CES seperti tercermin pada tekanan darah. Jika terjadi penurunan tekana darah arteri maka akan menyebabkan reduksi GFR secara refleks untuk menurunkan jumlah natrium yang difiltrasi dan meningkatkan reabsorpsi natrium yang dikontrol oleh hormon sehingga dapat menahan Na+ dan H2O yang menyertainya sebagai kompensasi bagi penurunan tekanan darah.1

Kontrol osmolaritas CES untuk mencegah perubahan CIS Osmolaritas suatu cairan adalah ukuran konsentrasi partikel yang larut di dalamya. Semakin tinggi osmolaritas, semakin tinggi konsentrasi zat terlarut dan semakin rendah konsentrasi H2O. Air cenderung berpindah melalui osmosis mengikuti penurunan gradien konsentrasi dari daerah dengan konsentrasi zat terlarut rendah (konsentrasi H2O tinggi) menuju ke konsentrasi zat terlarut tinggi ( konsentrasi H2O rendah). Osmosis terjadi melalui membran plasma sel terjadi jika terdapat perbedaan konsentrasi zat terlarut yang tidak dapat menembus antara CES dan CIS. Dalam keadaan normal, osmolaritas CES dan CIS sama, karena konsentrasi total K+ dan zatzat terlarut lain yang tidak dapat menembus membran di dalam sel setara dengan konsentrasi total Na+ dan zat-zat terlarut lain yang tidak dapat menembus membran di dalam cairan yang berada di sekitar sel. Walaupun zat-zat yang terlarut didalam CIS dan CES berbeda, konsentrasinya hampir sama dan jumlah yang terdistribusi yang tidak merata per volume merupakan osmolaritas. Karena osmolaritas CES dan CIS dalam keadaan normal sama, tidak terdapat perpindahan netto H2O ke dalam atau keluar sel. Setiap keadaan yang menyebabkan penambahan atau pengurangan H2O bebas (penambahan atau pengurangan H2O yang tidak disertai penambahan atau pengurangan zat terlarut yang setara) menyebabkan perubahan osmolaritas CES. Jika

10

terjadi defisit H2O bebas di CES, zat terlarut menjadi semakin pekat, dan osmolaritas CES secara abnormal akan meningkat yaitu menjadi hipertonik. Jika terdapat kelebihan H2O bebas di CES, zat terlarut menjadi terlalu encer dan osmolaritas CES menjadi rendah yaitu menjadi hipotonik. Jika osmolaritas CES berubah terhadap osmolaritas CIS, terjadi osmosis dengan H2O memasuki atau meninggalkan sel.1 Hipertonisitas CES Hipertonisitas CES, konsentrasi zat terlarut CES yang berlebihan dan biasanya berkaitan dengan dehidrasi atau keseimbangan negatif H2O bebas. Dehidrasi disertai hipertonisitas yang menyertainya dapat terjadi melalui tiga cara utama yaitu (1) insufisiensi asupan H2O misalnya pada perjalan di gurun pasir dan kesulitan menelan, (2) pengeluaran H2O yang berlebihan misalnya pada keringat yang berlebihan, muntah atau diare (pada keadaan ini sebenarnya jumlah H2O yang dikeluarkan lebih banyak dibandingkan zat terlarut) dan (3) pada penyakit diabetes insipidus, dimana terdapat defisiensi vasopressin (ADH), hormon yang meningkatkan permeabilitas tubulus distal dan duktus kolektivus terhadap H2O sehingga meningkatkan konservasi air dengan mengurangi pengeluaran air melalui urin. Pada diabetes insipidus, ginjal tidak dapat menghemat H2O karena organ tersebut tidak mampu mereabsorpsi H2O pada bagian distal nefron akibat tidak adanya vasopresin. Kadang-kadang CES dapat menjadi hipertonik walaupun tidak terdapat dehidrasi, hal ini terjadi karena penimbunan abnormal zat-zat yang osmotis aktif yang dalam keadaan normal tidak berperan dalam menentukan osmolaritas CES. Hal ini terjadi pada gagal ginjal, dimana terdapat peningkatan kadar urea darah/uremia. Apabila kompartemen CES menjadi hipertonik, H2O bergerak keluar dari sel melalui osmosis ke dalam CES yang lebih pekat sampai osmolaritas CIS setara dengan CES sehingga sel menciut.1

Hipotonisitas CES Hipotonisitas CES berkaitan dengan overhidrasi, yaitu terdapat kelebihan H 2O bebas. Apabila terdapat keseimbangan positif H2O bebas, maka konsentrasi CES

11

menjadi lebih rendah (lebih encer) dari normal. Secara umum, hipotonisitas dapat terjadi melaui tiga cara yaitu (1) para pasien gagal ginjal yang tidak mampu mengeksresikan urin encer akan mengalami hipotonisitas apabila mereka

mengkonsumsi H2O berlebihan, (2) hipotonisitas sementara dapat terjadi pada orang sehat yang meminum air dalam waktu singkat yang begitu banyak, sehingga ginjal tidak cukup cepat mengeluarkan H2O berlebihan tersebut dan (3) hipotonisitas dapat terjadi apabila kelebihan H2O tanpa zat terlarut diretensi di dalam tubuh akibat sekresi vasopresin yang tidak sesuai. Dalam keadaan normal, vasopresin disekresikan sebagai respon terhadap defisit H2O, yang di atasi dengan peningkatan reabsorpsi H2O di bagian distal nefron. Namun, sekresi vasopresin dapat meningkat sebagai respon terhadap nyeri, infeksi akut, trauma, walaupun tidak terdapat defisit H2O di tubuh. Hal ini terjadi karena antisipasi pengeluaran darah dalam situasi stres. Retensi H2O yang berlebihan dalam CES akan menyebakan cairan menjadi hipotonik, H2O bergerak kedalam sel melalui osmosis ke dalam CIS yang lebih pekat sampai osmolaritas CIS setara dengan CES sehingga sel membengkak.1

3.

Patofisiologi hiponatremi Osmolalitas tubuh diatur oleh sekresi arginin vasopresin (AVP) dan

rangsangan haus. AVP merupakan hormon antidiuretik yang dihasilkan oleh hipotalamus dan di transportasikan melalui axon ke hipofisis posterior. AVP berperan dalam mengatur homeostasis. Ativasi reseptor AVP menyebabkan ekskresi cairan berkurang, regulasi AVP juga diatur oleh baroresptor di sistem saraf pusat dan sistem kardiopulmonal. Natrium serum merupakan hasil bagi dari jumlah natrium dengan volume plasma. Osmolalitas plasma normal yaitu 280-285 mOsm/Kg/H20.3 1. Isotonik hiponatremi Pada kondisi ini jumlah natrium plasma sebenarnya dalam keadaan normal. Isotonik hiponatremi terjadi pada keadaan hiperlipidemia ataupun hiperproteinemia. Plasma tersusun atas cairan dan solut (zat terlarut). Hiperlipidemia dan hiperproteinemia meningkatkan solut plasma dan menurunkan jumlah cairan plasma, sehingga pada keadaan

12

ini

terjadi

pseudohiponatremi.

Dimana

denominator

dalam

penghitungan jumlah natrium plasma menjadi lebih tinggi sehingga kadar natrium plasma menjadi turun.6

2.

Hipotonik hiponatremi3 Osmolalitas antara cairan intaseluler sama dengan cairan ekstraseluler. Pada keadaan hiponatremi hipotonik, jumlah cairan plasma lebih besar dibandingkan jumlah solut sehingga osmolalitas plasma menjadi turun.

a.

Isovolemia hipotonik hiponatremi Hal ini terjadi karena intake cairan yang berlebihan sedangkan ginjal tidak mampu untuk mengeksresikan. Hal ini dapat terjadi pada keadaan dibawah ini: SIADH ( syndrome inappropiate anti diuretic hormon) konsentrasi natrium yang rendah karena kelenjar hipofisis di dasar otak mengeluarkan terlalu banyak hormon antidiuretik Sindroma nefrogenik

13

Defisiensi glukokortikoid Hipotiroid. Pada hipotiroid terjadi peningkatan

resistensi vaskular dan penurunan curah jantung yang menyebakan gangguan perfusi ginjal. Keringat yang berlebihan. Biasanya terjadi pada atlet maraton. Intake solute yang rendah. Pada pasien yang mengkonsumsi bir beer potomania dalam jangka waktu yang lama. Polidipsi primer. Polidipsi primer terjadi pada 20 % pasien psikiatrik khusunya skiofrenia. Pada kondisi ini intake cairan berlebihan tidak diikuti dengan diurnal diuresis. b. Hipovolemia hipotonik hiponatremi3 Pada kondisi ini terjadi penurunan jumlah CES dan deplesi solut. Hiponatremi dengan deplesi volume dapat terjadi pada berbagai keadaan seperti yang ditunjukkan tabel 1. Gejala klinis dari deplesi volume yaitu penurunan tekanan darah ortostatik, peningkatan denyut nadi, keringnya membran mukosa dan turgor kulit menurun. Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan peningkatan blood urea nitrogen (BUN), kreatinin dan peningkatan asam urat. Gangguan gastrointestinal Diare dan muntah yang berlebihan dan tidak langsung diberi cairan pengganti dapat menyebabkan kehilangan sejumlah cairan dan natrium. Pada

pemeriksaan laboratorium akan ditemukan penurunan natrium urin pada keadaan diare, tetapi mungkin dapat meningkat pada pasien dengan muntah yang berlebihan

14

sehingga pemeriksaan laboratorium yang baik dalam menggambarkan deplesi volume yaitu Cl-. Keringat yang berlebihan Aktifitas fisik yang berlebihan seperti maraton dapat menyebabkan deplesi volume, kehilangan

natrium dan klorida pada keringat yang berlebihan. Penggunaan diuretik yang berlebihan Menurut literatur, 73 % kasus hiponatremi disebabkan karena penggunaan thiazid, 20% karena kombinasi thiazid dengan antikaliuretik dan 7 % disebakan oleh furosemid.

Cerebral salt wasting (CSW) CSW merupakan suatu sindroma yang terjadi

setelah prosedur neurosurgikal ataupun setelah terjadi trauma kepala. Pada kondisi ini AVP disekresikan karena stimulasi baroresptor. Defisiensi mineralokortikoid Pada kondisi ini terjadi kegagalan dalam menekan pelepasan AVP akibat hipoosmolaliti. c. Hipervolemia hipotonik hiponatremi3 Terjadi karena kegagalan ginjal dalam mengkeksresikan cairan. Pada pasien ini ditemukan udem karena retensi cairan dan natrium.

15

Gagal jantung Hiponatremia hipervolemik pada gagal jantung

berakar dari penurunan curah jantung dan tekanan darah, yang menstimulasi vasopressin, katekolamin dan poros rennin-angiotensin-aldosteron. Kadar vasopressin yang meningkat telah dilaporkan pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri sebelum gagal jantung muncul. Pada pasien gagal jantung yang memburuk,

berkurangnya stimulasi mekanoreseptor di ventrikel kiri, sinus karotis, arkus aorta dan arteriol aferen ginjal memicu peningkatan aktivitas simpatis, system RAS, dan pelepasan vasopressin tanpa rangsang osmotik, ditengah-tengah berbagai neurohormon lain. Walaupun total air tubuh meningkat, peningkatan aktivitas simpatis ikut menyebabkan retensi natrium dan air. Pelepasan vasopresin yang bertambah menyebabkan bertambahnya jumlah saluran akuaporin di duktus koligentes ginjal. Ini memacu retensi air yang bersifat abnormal dan hiponatremia hipervolemik. Sirosis Hiponatremi yang terjadi pada pasien sirosis dikarenakan gagal jantung, pelepasan AVP. Sindroma nefrotik, gagal ginjal akut dan kronik

3.

Hipertonik hiponatremi Terjadi jika osmolalitas plasma > 285 mOsm/Kg/H2O. Hipertonisitas bisa terjadi karena peningkatan zat terlarut yang tidak bebas keluar masuk kompartemen, contohnya glukosa manitol, gliserol, atau sorbitol sehingga terjadi perpindahan cairan dari ICF ke ECF sehingga menurunkan kadar natrium ECF. Hiponatremia jenis ini biasanya
16

dihubungkan dengan peningkatan osmolalitas. Contohnya, pada pasien hiperglikemia setiap kenaikan glukosa 3 mmol/L, natrium serum turun 1 mmol/L.

4.

Gejala klinis hiponatremi Gejala klinis hiponatremi tergantung dari penyakit yang mendasarinya.

Secara umum gejala klinis pada hiponatremi dapat dilihat dibawah ini.

Sistem tubuh Sistem Saraf Pusat

Hiponatremia Sakit kepala, confusion,hiper atau hipoaktif refleks tendon dalam, kejang, koma, peningkatan tekanan intrakranial. Weakness, fatigue, muscle cramps/twitching Anoreksia, nausea, vomiting, diare cair Hipertensi dan bradikardia secara signifikan meningkatkan tekanan intrakranial Lakrimasi, salivasi Oligouria

Muskuloskeletal Gastrointestinal Cardiovascular Jaringan Ginjal

Berdasarkan jumlah natrium serumnya, gejala klinis yang tampak pada pasien dapat dilihat dibawah ini:7

17

Berdasarkan status volume cairan, gejala klinis yang tampak pada pasien dapat dilihat dibawah ini:7

4.

Penatalaksanaan hiponatremi Penatalaksanaan pada hiponatremi dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu

derajat hiponatremi, onset hiponatremi dan status volume. 1. Derajat hiponatremi Pada hiponatremi berat/hiponatremi simptomatik yang berhubungan dengan keadaan hipoksia dan telah terjadi penurunan kesadaran, maka natrium plasma harus segera dikoreksi yaitu 8- 10 mEq/L dalam 4-6 jam dengan menggunakan cairan salin hipertonik.8,9 Pada hiponatremi asimptomatik maka perlu diatasi terlebih dahulu penyebab atau penyakit yang mendasarinya

18

2.

Onset hiponatremi Pada hiponatremi akut, natrium sebaiknya dikoreksi sebesar 2

mEq/L/jam sampai terjadi perbaikan gejala klinis. Jika pada pasien terdapat gejala hiponatremi berat seperti kejang maka dapat diberikan cairan salin hipertonik dengan kecepatan 4-6 mEq/L/jam dan selama terapi pasien harus dimonitoring ketat. Pemeriksaan kadar elektrolit di cek rata-rata tiap 2 jam. Pada hiponaremi kronik, koreksi natrium sekitar 10% atau 10 mmol/L, dengan kecepatan rata-rata 1,5 mmol/L/jam dan tidak lebih dari 15 mmol/hari. Pada hiponatremi kronik sebaiknya koreksi natrium < 10-12 mmol/hari untuk mencegah demyelinisasi pontin.8

Pemeriksaan kadar elektrolit di cek rata-rata tiap 2 jam.


19

Pada hiponatremi kronik yang disertai dengan gejala yang berat seperti kejang, pemberian salin hipertonik sangat

menguntungkan. Peningkatan natrium serum rata-rata 2-4 mmol/L dalam 2-4 jam atau peningkatannya 1-2 mmol/L jam 3. Status volume3 a. Hipovolemik hiponatremi Tujuan terapi pada hipovolemik hiponatremi adalah

mengembalikan keseimbangan cairan dengan memberikan cairan NaCl 0,9 % 0,5-1 L (fluid challenge) sampai tekanan darah menjadi normal. b. Euvolemik hiponatremi Pada euvolemik hiponatremi, terapi diberikan berdasarkan onset dan derajat hiponatremi. Hiponatremi akut smptomatik perlu segera dikoreksi karena pada pasien ini resiko untuk terjadinya gangguan neurologis sangat besar, sedangkan pada kasus hiponatremi kronik asimptomatik memiliki resiko yang kecil sehingga tidak dibenarkan menaikkan kadar natrium serum terburu-buru. c. Hipervolemik hiponatremi Pada hipervolemik hiponatremi, terapi meliputi pembatasan cairan dan natrium. Selain itu diperlukan juga obat-obatan yang bekerja sebagai antagonis reseptor vasopressin.

20

21

22

BAB III LAPORAN KASUS Identitas pasien Nama Umur : Tn. LM : 62 Tahun

Jenis kelamin : Laki-laki Pekerjaan Alamat No. MR Masuk RS : Petani : Kandis - Siak : 83 14 79 : 30 Oktober 2013

ANAMNESIS ( Alloanamnesis (anak) dan Autoanamnesis) Keluhan utama : Lemas sejak 1 minggu SMRS

Riwayat penyakit sekarang: Sejak 1 minggu SMRS keluarga pasien mengaku, pasien tampak lemas, tetapi tidak tampak pucat. Keluarga pasien mengatakan pasien memang sudah jarang makan dan minum sejak 1 bulan yang lalu, pasien hanya makan sedikit, pasien lebih sering berbaring. Demam (-), batuk (+) berdahak, warna putih, darah (-). Nyeri menelan (-), mual (-), muntah (-). BAB dalam batas normal, BAK sering terputus-putus, nyeri (-), keluar batu atau seperti pasir (-), keluar darah (-). Pasien juga merasa lebih sering kencing pada malam hari.

23

3 hari SMRS, keluarga pasien mengatakan, pasien tampak tidak nyambung setiap kali diajak bicara, tampak seperti orang kebingungan. Keluarga pasien juga mengatakan pasien demam, demam tidak meninggi saat malam hari, perdarahan gusi (-), pasien sering mengatakan perut terasa keras, susah untuk menggerakkan tangan dan kaki, muntah (+) 3x, berisi cairan, kejang (-). Pasien kemudian dibawa ke puskesmas, diberi obat penurun panas dan antibiotik, tetapi pasien tidak tahu obatnya dan karena keluhan tidak berkurang pasien lalu di rujuk ke RSUD Arifin Ahmad.

Riwayat penyakit dahulu Pasien belum pernah mengalami hal yang sama sebelumnya DM (-) HT (-) Asma (-) TB (-), pasien sudah pernah melakukan pemeriksaan BTA sputum.

Riwayat Penyakit keluarga Tidak ada keluarga yang menderita hal yang sama DM (-) HT (+) Asma (-) TB (-)

PEMERIKSAAN FISIK Status Generalis Keadaan Umum Kesadaran : Tampak sakit sedang : Composmentis, GCS 15

24

Vital sign o TD o HR o RR o T : 110/80 mmHg : 87 x / i : 20 x / i : 36, 60 C

Keadaan gizi

: BB: 45 Kg

TB: 160 Cm

IMT: 17,6

Pemeriksaan Kepala Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks pupil (-/-), mata cekung (-) Mulut : bibir kering (+), lidah kotor (-), faring hiperemis Leher : pembesaran KGB leher (-), JVP 5-2 cmH2O Pemeriksaan Thorak Paru : Inspeksi Palpasi Perkusi : gerakan dinding dada simetris : fremitus kiri = kanan : sonor di seluruh lapangan paru

Auskultasi : suara nafas vesikuler, wheezing (+/+) Jantung : - Inspeksi - Palpasi - Perkusi : ictus cordis tidak terlihat : ictus cordis tidak teraba : batas jantung kiri : 1 jari medial LMCS di ICS V dan batas

jantung kanan di linea sternalis kanan - Auskultasi : bunyi jantung normal, teratur, bising (-)

25

- Pemeriksaan Abdomen - Inspeksi - Palpasi - Perkusi : perut datar, venektasi (-) : supel, nyeri tekan epigastrium (-), nyeri tekan suprapuik (-) : timpani

- Auskultasi : bising usus (+) normal

Pemeriksaan Ekstremitas Akral hangat, CRT < 2 detik, edema tungkai (-) Motorik : kekuatan motorik ke empat ekstremitas yaitu 5 Kulit Turgor kulit normal

PEMERIKSAAN PENUNJANG:

Darah rutin Hb Ht Leukosit Trombosit o : 15,2 g/dl : 43,6 % : 10. 400 /L : 146. 000/mm3

Kimia darah AST ALT : 71,9 : 61 : 3,5

GDS : 72 BUN : 5, 9 Cr-S : 0,58 Ureum : 12,7

ALB

26

o Na + K+ Cl -

Elektrolit : 103,9 mmol/L : 2,90 mmol/L : 60,1mmol/L

Resume: Tn. LM, 63 tahun masuk ke RSUD AA dengan keluhan lemas sejak 1 minggu SMRS. Keluarga pasien mengatakan pasien memang sudah jarang makan dan minum sejak 1 bulan yang lalu, pasien hanya makan sedikit, pasien lebih sering berbaring. Batuk (+) berdahak, warna putih, BAK kurang lancar, sering terputusputus, keluarga pasien mengatakan, pasien demam, tampak tidak nyambung setiap kali diajak bicara, tampak seperti orang kebingungan. Keluarga pasien juga mengatakan pasien sering mengatakan perut terasa keras, susah untuk menggerakkan tangan dan kaki, muntah (+) 3x, berisi cairan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan wheezing saat dilakukan auskultasi paru. Pada pemeriksaan penunjang ditemukan peningkatan AST, ALT dan penurunan Na+ , K+ dan Cl Diagnosis Kerja Penatalaksanaan Koreksi natrium : IVFD NaCl 0,9% = 12 tpm & IVFD NaCl 3% = 10 tpm Inj Ceftriaxone 1 gr/ 12 jam Inj Ranitidin 50 mg / 12 jam Domperidon 3 x cth 1 Aspar K 2 x 1 : Gangguan elektrolit + ISPA

27

FOLLOW-UP 30 Oktober 2 November 2013 Tanggal 30 oktober 2013 Subjektif Perut terasa keras Muntah (-) Kaki dan tangan terasa lemah (-) 31 Oktober 2013 Perut terasa keras Kesadaran: CM TD:120/80 HR:74x/i RR : 18 x/i T : 36.80 C Gangguan elektrolit + ISPA IVFD NaCl 0,9% = 12 tpm & IVFD NaCl 3% = 10 tpm Inj Ceftriaxone 1 gr/ 12 jam Inj Ranitidin 50 mg / 12 jam Domperidon 3 x cth 1 Aspar K 2 x 1 Hyosin N 2 x 1 Cek elektrolit ulang 1 November 2013 Perut terasa keras Batuk (+) Kesadaran: CM TD:120/80 HR:74x/i RR : 18 x/i T : 36.80 C Gangguan elektrolit + ISPA IVFD NaCl 0,9% = 12 tpm IVFD NaCl 3% = 10 tpm Inj Ceftriaxone 1 gr/ 12 jam Inj Ranitidin 50 mg / 12 jam Domperidon 3 x cth 1 Aspar K 2 x 1 Hyosin N 2 x 1 Salbutamol 3 x 1 Cek elektrolit ulang Na+ =122 Cl- = 82, 3 K+ = 2,71 Objektif Kesadaran: CM TD:110/80 HR:84x/i RR : 20 x/i T : 36.30 C Assesment Gangguan elektrolit + ISPA Planning IVFD NaCl 0,9% = 12 tpm & IVFD NaCl 3% = 10 tpm Inj Ceftriaxone 1 gr/ 12 jam Inj Ranitidin 50 mg / 12 jam Domperidon 3 x cth 1 Aspar K 2 x 1

28

2 November 2013

Perut terasa keras Batuk (+)

Kesadaran: CM TD:120/80 HR:74x/i RR : 18 x/i T : 36.80 C

Gangguan elektrolit + ISPA

IVFD NaCl 0,9% = 12 tpm & IVFD NaCl 3% = 10 tpm Inj Ceftriaxone 1 gr/ 12 jam Inj Ranitidin 50 mg / 12 jam Domperidon 3 x cth 1 Aspar K 2 x 1 Hyosin N 2 x 1 Salbutamol 3 x 1

29

BAB IV PEMBAHASAN Dilaporkan pasien laki-laki, 63 tahun yang dirawat di ruang penyakit dalam pria RSUD AA pada tanggal 30 Oktober 2013 dengan diagnosa gangguan elektrolit dan ISPA. Kelainan elektrolit meliputi hiponatremi, hipokloremi dan hipokalemi. Diagnosa hiponatremi di dasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang. Terdapat bebrapa permasalahan pada kasus ini yaitu: Gejala klinis hiponatremi Klasifikasi hiponatremi Penatalaksanaan hiponatremi

A. Penyebab dan gejala klinis hiponatremi Pasien masuk dengan keluhan lemas, nafsu makan menurun, demam, BAK kurang lancar, sering terputus-putus, tidak nyambung setiap kali diajak bicara, tampak seperti orang kebingungan, pasien sering mengatakan perut terasa keras dan sulit untuk menggerakkan tangan dan kaki, muntah. Pasien termasuk kedalam kelompok lanjut usia, karena usia pasien sudah 63 tahun. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada lanjut usia dapat terjadi karena beberapa hal yang terkait dengan usia antara lain yaitu cairan tubuh total berkurang, rangsang haus berkurang, kemampuan memekatkan urin menurun, multipatologi dan berbagai masalah pada geriatri. Secara umum pada lanjut usia terjadi penurunan kemampuan homeostatik seiring dengan bertambahnya usia. Secara khusus terjadi penurunan respon rasa haus terhadap kondisi hipovolemik dan hiperosmolaritas, disamping itu juga terjadi penurunan kemampuan laju filtrasi glomerolus, kemampuan fungsi konsentrasi ginjal, renin, aldosteron, dan penurunan respon ginjal terhadap vasopresin, peningkatan kadar atrial natriuretik peptide (ANP) akan menyebabkan supresi sekresi renin ginjal, aktivitas renin plasma, angiotensin II plasma dan kadar aldosteron.11

30

Hiponatremi merupakan gangguan yang paling sering ditemui pada usia lanjut. Pada usia lanjut, hiponatremi dilusional merupakan mekanisme mendasari yang cukup sering terjadi namun yang paling sering adalah karena syndrome of inappropriate antidiuretic hormon secretion (SIADH). Hiponatremi seringkali merupakan penanda penyakit berat yang mendasari dengan prognosis buruk dan mortalitas tinggi. Risiko utama timbulnya perburukan hiponatremia adalah pemberian cairan hipotonik. Rendahnya asupan natrium disertai pengaruh proses menua dengan gangguan ginjal dalam menahan natrium memudahkan terjadinya kehilangan natrium dan hiponatremia.11 Pada kasus penyebab hiponatremi selain faktor usia yang berhubungan dengan faktor penurunan fungsi ginjal dalam retensi natrium, juga diakibatkan karena input natrium yang kurang tetapi proses ekskresi natrium tetap berlangsung. Kadar natrium pasien yaitu 103, 9 mmol/ L, berdasarkan literatur dengan kadar natrium < 115 mmol/L maka gejala klinis yang muncul yaitu kejang hingga koma. Namun, pada pasien tidak ditemukan gejala klinis tersebut karena hiponatremi yang terjadi kemungkinan karena hiponatremi kronik sehingga masih terdapat kompensasi tubuh. Penyebab hiponatremi yang paling sering pada lanjut usia yaitu SIADH, namun diagnosis SIADH tidak dapat ditegakkan pada pasien karena pemeriksaan penunjang yang diperlukan tidak diperiksa yaitu pemeriksaan natrium urin.

B. Klasifikasi hiponatremi Hiponatremi pada pasien dikarenakan faktor usia yang berhubungan dengan faktor penurunan fungsi ginjal dalam retensi natrium, juga diakibatkan karena input natrium yang kurang tetapi proses ekskresi natrium tetap berlangsung, deplesi volume akibat muntah dan intake yang menurun. Berdasarkan osmolalitas maka pasien termasuk dalam kategori hipoosmolal yaitu osmolal < 280 mOsm/Kg/H2O.

31

Rumus menghitung osmolalitas10 Osmolalitas = 2 (Na) + 0,055 (glukosa) + 0,36 (BUN) = 2 (103,9) + 0,055 (72) + 0,36 (5,9) =207,8 + 3,96 + 2,12 = 213,88 mOsm/Kg/H2O Berdasarkan status volume cairan pasien, pasien termasuk dalam kategori hipovolemia karena dari riwayat penyakit pasien yang menunjukkan intake yang kurang, mengalami gangguan gastrointestinal (muntah) dan peningkatan suhu juga meningkatkan insensible water loss. Tetapi pada pasien tekanan darah sebelum dilakukan koreksi natrium menunjukkan adanya euvolemia. Akan tetapi hal ini belum dapat dipastikan, karena pasien sebelumnya tidak pernah melakukan pemeriksaan tekanan darah. Berdasarkan onset, hiponatremi pada pasien kemungkinan termasuk dalam kategori hiponatremi kronik, karena telah berlangsung > 48 jam dengan keadaan pasien ketika masuk yang lemas.

C. Penatalaksanaan hiponatremi Pasien termasuk kategori hiponatremi berat simptomatik dengan onset > 48 jam. Sesuai dengan algoritma maka terapi pada pasien yaitu dengan mengatasi penyebab/penyakit yang mendasari terjadinya hiponatremi, menggantikan jumlan natrium yang hilang dan restriksi cairan 0,5-1 liter.

Penatalaksanaan ( cara I ) Koreksi defisit Na+ = ( Na+ yang diinginkan Na+ aktual ) x 0,6 x BB = (135-103,9) x 0,6 x 45 = 31,1 x 0,6 x 45 = 839,7 840

32

Jumlah natrium dalam cairan infus12,13

Untuk memenuhi kebutuhan natrium diatas diperlukan NaCl 3 % 1 kolf (0,5 L) NaCl 0.9 % 1 kolf (0.5 L) 256 mmol 77 mmol 2 kolf 4 kolf

Perhitungan waktu yang diperlukan untuk koreksi 135-Na actual maka waktu yang dibutuhkan 135-103,9 : 0,6 = 51,8 jam 0,6 NaCl 3 % = jumlah cairan (mL) x faktor tetesan : waktu (menit) = 1000 x 20 : 3108 = 6,4 7 tpm NaCl 0,9 % = jumlah cairan (mL) x faktor tetesan : waktu (menit) = 2000 x 20 : 3108 = 12,9 13 tpm

Penatalaksanaan ( cara II ) 1) 2) Tentukan cairan yang akan digunakan Tentukan estimasi TBW pasien (total body water)

33

Fraksi11

TBW = BB x fraksi = 45 x 0,6 = 27 3) Tentukan jumlah natrium yang di perlukan = TBW x ( 135-Na actual ) = 27 x (135-103,9) = 27 x 31,1 = 839,7 840 4) Tentukan jumlah natrium yang akan di koreksi

Jika menggunakan NaCl 3 % = 513 103,9 : 27 +1 = 409,1 : 28 = 14,61 mmol/L

Pada hiponatremi kronik koreksi Na yaitu 1,5 mmol/L/jam, maka: 1,5 mmol/L/jam : 14,6 mmol/L = 0,103 L/ jam atau 103 ml/jam.

34

Dalam 24 jam koreksi natrium hanya < 10-12 mmol, jika dalam 1 hari kenaikan Na hanya 9 mmol maka dibutuhkan sehingga 0,61 L NaCl 3 % (9 mmol :14,6 mmol/L) harus diberikan dalam 24 jam. Pemberian NaCl 3 % pada kasus ini diberikan dalam 48 jam. = jumlah cairan (mL) x faktor tetesan : waktu (menit) = 600 x 20 : 1440 =8,3 tpm = 9 tpm

Setelah 2 jam maka dilakukan kembali pemeriksaan elektrolit.

Jika menggunakan NaCl 0,9% = 154 103,9 : 27 +1 = 50,1 : 28 = 1,8 mmol/L

Pada hiponatremi kronik koreksi Na yaitu 1,5 mmol/L/jam, maka: 1,5 mmol/L/jam : 1,8 mmol/L = 0,83 L/ jam atau 830 ml/jam.

Dalam 24 jam koreksi natrium < 10-12 mmol, jika dalam 1 hari kenaikan Na hanya 9 mmol maka dibutuhkan sehingga 5 L NaCl 0,9 % (9 mmol : 1,8 mmol/L) harus diberikan dalam 24 jam dan telah menggantikan kadar natrium 770 mEq. = jumlah cairan (mL) x faktor tetesan : waktu (menit) = 4200 x 20 : 1440 =58.3 tpm = 59 tpm Oleh karena itu, maka penggunaan NaCl 0,9% dalam mengatasi hiponatremi di atas tidak efektif. Batas untuk menaikkan natrium pada hiponatremi kronik adalah < 10 mmol/24 jam maka diperlukan 1 kolf NaCl 3 % (8,7 mmol) dan 1 kolf NaCl 0,9 % (1 mmol). Setelah 2 jam pemberian terapi seharusnya dilakukan pemeriksaan ulang elektrolit, namun pada kasus tidak dilakukan hal tersebut. Pada kasus pemeriksaan elektrolit dilakukan setelah terapi dengan NaCl 3% 1 kolf telah selesai,

35

dan pada hasil pemeriksaan ulang didapatkan hasil terjadi peningkatan kadar natrium 18 mmol/ 39 jam, karena terapi dimulai pada tanggal 30 Oktober 2013 jam 00.15 hingga 31 oktober 2013 jam 15.00. Pemberian natrium yang terlalu agresif dapat menyebabkan komplikasi berupa demyelinisasi pontin yang akan menimbulkan manifestasi beberapa hari setelah pemberian natrium yang agresif.

36

DAFTAR PUSTAKA 1. Sherwood, L. Fisiologi Manusia : Dari Sel ke Sistem. EGC. Jakarta. 2001 2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S (editor). Buku ajar ilmu penyakit dalam. 2006. Jakarta: FKUI. 3. Stern RH, Schrier RW, Greenberg A, Gldsmits SR, Verbalis JG. Hyponatremi treatment guidelines 2007: expert pannel

recommendation. The American Journal of Medicine (2007) Vol 120 (11A) 4. Rudolph EH, Pendergraft WF, Lerma EV. Common electrolyte disorder: hyponatremia. Hospital physician. 2009 5. Volkova NB, Simons RJ. Case studies in hyponatremia. Hospital physician. 2003. 6. Faubel S, Topf J. The Fluid, Electrolyte And Acid-base Companion. 1999. 7. Thompson CJ, Crowley RK. Hyponatremia. J R Coll Physicians Edinb 2009; 39:1547 8. Lien YHH, Shapiro JI. Hyponatremia : clinical diagnosis and management. The American Journal of Medicine (2007) 120, 653-658 9. Setyohadi B, Arsana PM, Suryanto A, Soeroto AY, Abdullah M. EIMED PAPDI: kegawatdaruratan penyakit dalam.2011.

InternaPublishing. 10. Ganong,WF. Fisiologi Kedokteran. 2001. Jakarta : EGC, Penerbit Buku Kedokteran.

37

11.

Andrew E. Luckey, MD.,Cyrus J. Parsa, MD. Fluid and electrolytes in the aged. Arch surg. 2003 ; 138; 1055-1060

12.

Stern RH, Noigwekar SU, Hix JK.

The treatment of hyponatremi.

Seminars in Nephrology. 2009. Vol 29 (3). Elsevier publisher. 13. Adrogue HJ, Madias NE. Hyponatremi. New england journal medicine. 2000. Vol 342 (21).

38

You might also like