You are on page 1of 7

Sengketa Administratif di Bidang Merek

MRR Tiyas Maheni DK Staf pengajar Jurusan Administrasi Niaga Politeknik Negeri Semarang Abstract. Trials in the field of intellectual property right are often dominated by trade mark dispute. The dispute commonly involve administrative officer of the brand (the government) as the litigants and is called trademark administrative disputes. Provisious of the trademark (trademark law) have been amanded several times from the law No. 21 of 1961 to the latter Act No 15 2001. Under the provisions of the trade mark law, it can be determined which court will be given the authority to resolve the dispute, and how the goverment is positioned in the dispute. District Court and administrative court used to be given the autority to resolve the dispute which is currently owned by the commercial court. Based on the disputes that used to, involve goverment in the disputes is the sole defendant, the second defendant, or co-defendant. Key-words: dispute, administrative, trademark

PENDAHULUAN
Perlindungan hukum terhadap HKI (Hak atas Kekayaan Intelektual) memiliki ruang lingkup yang sangat luas, perlindungan HKI di Indonesia meliputi: Hak Cipta dan Hak-Hak Terkait, Paten, Merek, Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Rahasia Dagang, Indikasi Geografis, dan Varietas Tanaman Baru. Dari keseluruhan rezim HKI tersebut di atas, pelanggaran terhadap Hak Cipta dan Merek ternyata merupakan kasus pelanggaran yang sudah rutin mengisi kolom berita di beberapa media (Gunawan Suryomurcito, 2009) dan pelanggaran HKI yang paling banyak terjadi adalah pelanggaran di bidang Merek (Abdulkadir Muhammad, 2001). Sengketa administratif merek atau sering disebut perkara merek/sengketa merek yang terjadi di Indonesia hingga hari ini didominasi oleh gugatan pembatalan merek dan gugatan ganti rugi yang berkaitan dengan pelanggaran merek terkenal (Ridwan Khairandy dalam Insan Budi Maulana dkk, 2000) Sengketa merek tersebut pada dasarnya disebabkan adanya ketidakpuasan para pemilik merek yang telah terdaftar terlebih dahulu pada Direktorat Merek terhadap diterimanya merek-merek baru yang didaftar dan dianggap melanggar peraturan karena mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek-merek terdahulu (terdaftar sebelumnya). Tidak heran jika akhirnya Direktorat Merek sering dilibatkan sebagai pihak dalam sengketa administratif merek. Berdasarkan penjelasan di atas, maka cukup menarik jika kita lihat bagaimanakah sengketa administratif merek tersebut dari tahun ke tahun, bagaimana pihak penggugat melibatkan Direktorat Merek sebagai pihak dalam sengketa tersebut dan lembaga pengadilan mana yang diberi wewenang untuk menangani sengketa tersebut. Untuk itu perlu kita lihat ketentuan normatif yang pernah ada di Indonesia, yaitu mulai dari pelaksanaan UU No 21 Tahun 1961 sampai yang terakhir saat ini yaitu UU No 15 Tahun 2001 tentang Merek.

PENGERTIAN SENGKETA ADMINISTRATIF MEREK


Sengketa administratif merek adalah sengketa yang terjadi antara pihak yang mengajukan Merek (pemohon/pemilik) dengan pemerintah (Ditjen HKI c.q Direktorat 50 Sengketa Administratif di Bidang Merek (MRR Tiyas Maheni DK)

Merek), yang berkaitan dengan penolakan permohonan pendaftaran merek yang dilakukan oleh Direktorat Merek akibat tidak dipenuhinya beberapa persyaratan sebagaimana telah ditetapkan dalam aturan normatif, atau sengketa antara pemegang merek dan Direktorat Merek dengan pihak ketiga, yang berkaitan dengan gugatan pembatalan merek karena diduga adanya kesalahan keputusan administratif yang telah dikeluarkan oleh Direktorat Merek (Adisulistyono, 2009). Selain itu, sengketa administratif merek saat ini bisa disebabkan karena adanya penghapusan merek terdaftar dalam Daftar Umum Merek, atau karena penolakan permohonan perpanjangan perlindungan merek terdaftar yang diputuskan oleh Direktorat Merek.

SENGKETA ADMINISTRATIF MEREK MENURUT UU NO. 21 TAHUN 1961


Tahun 1961 lahir Undang-Undang No. 21 Tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan yang diundangkan pada tanggal 11 Oktober 1961. Dalam UndangUndang No. 21 Tahun 1961 ini, Direktorat Merek masih disebut sebagai Kantor Milik Perindustrian, dimana dikatakan bahwa, Kantor Milik Perindustrian menyelenggarakan pendaftaran dan pengumuman resmi tentang merek perusahaan dan merek perniagaan. (Pasal 1 UU No 21 Tahun 1961) Undang-Undang No. 21 Tahun 1961 ini menggunakan sistem deklaratif atau prinsip pemakai pertama. sehingga yang mendapat perlindungan utama adalah pemakai merek pertama bukan pendaftar pertama. Sistem ini teramat sulit untuk membuktikan siapakah yang sebenarnya pemilik atau pemegang hak atas merek dagang apabila pada saat yang hampir bersamaan muncul beberapa merek dagang. Selain itu, sistem ini tidak dapat mengikuti irama perkembangan industri manufaktur dan jasa yang berkembang pesat. (Insan Budi Maulana, 1997) Dalam sistem ini pemohon merek dagang dapat saja mengajukan permohonan untuk pendaftaran mereknya. Dalam hal permohonan tersebut dapat didaftar dan bila tidak terdapat pengajuan pembatalan atau penghapusan, maka berarti pemegang merek dagang tersebut dapat memiliki hak khusus. Kemudian, Undang-Undang Merek Dagang ini tidak mengijinkan pengajuan keberatan sebelum permohonan tersebut terdaftar. Dan Direktorat Merek (saat itu Kantor Milik Perindustrian) tidak mempunyai batas waktu untuk menentukan apakah merek tersebut harus didaftar atau tidak. Oleh karenanya seorang pemohon tidak dapat mengetahui apakah permohonan pendaftaran mereknya dapat diterima atau tidak. (Insan Budi Maulana, 1997) Undang-Undang No. 21 Tahun 1961 menunjuk Pengadilan Negeri Jakarta (Jakarta Pusat) sebagai badan peradilan yang menyelesaikan sengketa di bidang Merek. Peradilan ini tidak mengenal banding melainkan langsung kasasi ke MA. Sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 12 UU No. 21 Tahun 1961 yaitu: karena putusan pengadilan dalam hal tuntutan untuk memerintahkan kepada Kantor Milik Perindustrian untuk mendaftarkan sesuatu merek yang ditolak oleh kantor tersebut sebagian besar didasarkan atas fakta-fakta yang nyata, maka tidak perlulah diadakan pengadilan tingkat ke-2 (banding). Dalam waktu tertentu, yaitu 3 (tiga) bulan setelah tanggal penolakan pendaftaran merek, kepada orang yang permohonan pendaftarannya ditolak oleh Kantor Milik Perindustrian, diberi kesempatan untuk menyatakan keberatan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pemilik merek-merek terkenal asing juga mempunyai hak untuk mengajukan permohonan pembatalan merek ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam waktu 9 (Sembilan) bulan setelah pengumuman pendaftaran merek itu ditempatkan dalam Tambahan Berita Negara. Lebih jelasnya dapat kita lihat bunyi Pasal 9 dan Pasal 10 UU No. 21 Tahun 1961 sebagai berikut:

Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora Vol. 12 No. 1, April 2012

51

Pasal 9 ayat (2): Orang yang permohonan pendaftaran mereknya ditolak berdasarkan Pasal 6 atau Pasal 9 ayat (1) dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan negeri di Jakarta dengan suatu surat permohonan yang ditandatangani pemohon sendiri atau kuasanya, agar supaya diperintahkan pendaftaran merek itu. Permohonan kepada Pengadilan Negeri tersebut harus dilakukan oleh permohonan dalam waktu tiga bulan setelah tanggal pemberitahuan penolakan merek. Pasal 10 ayat (1): Jika merek yang didaftarkan menurut Pasal 7 pada keseluruhannya atau pada pokoknya sama dengan merek orang lain yang berdasarkan Pasal 2 mempunyai hak atas merek tersebut untuk barang-barang yang sejenis, atau jika merek yang didaftarkan itu mengandung nama atau nama perniagaan orang lain, maka orang tersebut tanpa mengurangi daya-daya hukum lain yang dapat dipergunakannya, dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri di Jakarta dengan suatu surat permohonan yang ditandatangani pemohon sendiri atau kuasanya, agar supaya pendaftaran merek tersebut dinyatakan batal. Permohonan tersebut harus dilakukan oleh pemohon dalam waktu Sembilan bulan setelah pengumuman yang ditentukan dalam Pasal 8. Ketentuan di atas, tidak menyebutkan secara tegas siapa yang harus digugat jika terjadi penolakan pendaftaran, dan siapa juga yang dapat digugat terkait dengan pembatalan merek. Akan tetapi siapa lagi yang akan digugat kalau bukan Kantor Milik Perindustrian, karena Kantor Milik Perindustrian adalah sebagai satu-satunya lembaga penyelenggara pendaftaran dan pengumuman resmi tentang merek perusahaan sehingga Kantor Milik Perindustrian diikutkan sebagai pihak oleh penggugat di Pengadilan terkait atas keputusan yang telah dikeluarkan oleh Kantor Milik Perindustrian. Hal ini berkaitan dengan jaminan untuk pelaksanaan dari putusan pengadilan yaitu agar dapat tunduk dan taat pada putusan pengadilan. Upaya-upaya hukum bagi pemilik merek yang sah untuk memperoleh hak atas mereknya dari para pemohon pendaftaran merek yang tidak beritikad baik yang telah mendaftarkan mereknya lebih dulu, hanya diatur dalam pasal-pasal yang sederhana, tidak jelas dan kurang memberikan kepastian hukum. Dalam hal gugatan pembatalan Merek, Kantor Merek, yang saat itu disebut Kantor Milik Perindustrian, sering kali diajukan sebagai tergugat II oleh penggugat agar dapat tunduk dan taat pada keputusan Pengadilan, dengan mencatat pembatalan pendaftaran Merek yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan Pasal 14 ayat 2 Undang-Undang No. 21 Tahun 1961. Perkara merek yang melibatkan Kantor Milik Perindustrian sebagai Tergugat II, pernah diputuskan pada tahun 1981/1982, yaitu perkara antara J. Stewart Bakula melawan Tjin Tjeng Khian (Tergugat I) dan Kantor Milik Perindustrian (Tergugat II), terkait dengan pemakaian merek Seven Up dan 7 Up, dalam perkara ini, baik Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan juga MA memenangkan Penggugat.

SENGKETA ADMINISTRATIF MEREK MENURUT UU NO. 19 TAHUN 1992 JO UU NO. 14 TAHUN 1997
Undang-Undang Merek No. 19 Tahun 1992, sebagai perubahan atas UU No. 21 Tahun 1961 ini mulai diberlakukan tanggal 1 April 1993. Perubahan ini terjadi karena Undang-Undang Merek yang lama dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan ekonomi dan bisnis di Indonesia, juga adanya pengaruh perubahan Undang-Undang Merek di berbagai Negara peserta Konvensi Paris. Perubahan mendasar yang termuat dalam UU Merek No. 19 Tahun 1992 ini meliputi antara lain, perubahan dari first to use 52 Sengketa Administratif di Bidang Merek (MRR Tiyas Maheni DK)

system menjadi first to file system, adanya perlindungan hukum terhadap merek jasa dan merek kolektif, upaya-upaya hukum dan sanksi, lisensi merek dan ketentuan peralihan. Dengan demikian Undang-Undang Merek tidak hanya mengatur dan melindungi merek dagang saja tapi juga terhadap merek jasa. Permohonan pendaftaran merek jasa saat itu adalah merupakan hal yang baru bagi Kantor Merek. Maka Kantor Merek Indonesia pun diasumsikan akan banyak menerima pendaftaran merek jasa, pada saat itu akan banyak permohonan merek-merek jasa yang sama atau mirip yang didaftarkan ke Kantor Merek, padahal merek-merek jasa itu telah lama digunakan dan dikenal baik dalam dunia bisnis di Indonesia. (Insan Budi Maulana, 1997). Meskipun begitu, setelah diberlakukannya UU Merek No. 19 Tahun 1992 kasus sengketa merek secara perdata cenderung mengalami penurunan (Insan Budi Maulana dalam Prasetyo Hadi Purwandoko, 2000). Perkara atau sengketa merek yang terjadi di Indonesia hingga saat itu lebih didominasi oleh perkara gugatan ganti rugi dan pembatalan merek yang berkaitan dengan pelanggaran hak atas merek terkenal. Undang-Undang Merek No. 19 Tahun 1992 Jo UU No. 14 Tahun 1997, sama seperti Undang-Undang sebelumnya yaitu Undang-Undang No 21 Tahun 1961, menunjuk Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai lembaga dalam penyelesaian sengketa Administratif di bidang merek. Dalam UU No. 19 Tahun 1992 tentang Merek, yaitu pada Pasal 51 diatur tentang penghapusan pendaftaran merek dari Daftar Umum Merek yang dilakukan oleh Kantor Merek, baik atas prakarsa sendiri maupun berdasarkan permintaan pemilik yang bersangkutan (Pasal 15 ayat 1). Selain itu penghapusan pendaftaran merek dapat pula diajukan oleh pihak ketiga dalam bentuk gugatan melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, atau Pengadilan Negeri lain yang akan ditetapkan dengan keputusan presiden (Pasal 52). Akan tetapi Pasal 51 ini, tidak menjelaskan upaya hukum apakah yang bisa dilakukan oleh pemilik merek terdaftar yang mereknya telah dihapus oleh Kantor merek. Apakah bisa menggugat Kantor Merek atau tidak? Dengan demikian pemilik merek kurang mendapat perlindungan hukum. Oleh karena itu, Pasal 51 UU No. 19 Tahun 1992 telah dirubah dalam UU No. 14 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 19 Tahun 1992 tentang Merek, di mana ketentuan Pasal 51 dipecah menjadi 2 pasal, yaitu Pasal 51 baru dan Pasal 51 A. Pasal 51 baru ayat (5), menyebutkan bahwa, Keberatan terhadap keputusan penghapusan pendaftaran merek sebagaimana di maksud dalam ayat (2) dapat diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atau Pengadilan Lain yang akan ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Dan dalam penjelasan Pasal 51 UU No. 14 Tahun 1997, dijelaskan pula bahwa, untuk dapat menghapus pendaftaran merek atas prakarsanya sendiri, Kantor Merek dapat secara aktif mencari bukti-bukti atau mendasarkan pada masukan dari masyarakat guna dijadikan bahan pertimbangan. Dalam melaksanakan kewenangan Kantor Merek ini, pemilik merek diberi kesempatan untuk melakukan upaya pembelaan untuk dikecualikan dari ketentuan tentang penghapusan itu dengan mengajukan alasanalasan yang kiranya dapat menjadi pertimbangan Kantor Merek. Keberatan terhadap keputusan penghapusan pendaftaran merek oleh Kantor Merek dapat diajukan dalam bentuk pengajuan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atau Pengadilan Negeri Lain yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Diberikannya kesempatan mengajukan gugatan keberatan ini, maka kepentingan pemilik merek memperoleh jaminan perlindungan. Selain hal tersebut di atas, gugatan terhadap Kantor Merek, juga bisa diajukan terkait dengan gugatan pembatalan pendaftaran merek. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 56 ayat (4) UU No. 19 Tahun 1992 jo UU No. 14 Tahun 1997, bahwa gugatan pembatalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada pemilik merek dan Kantor Merek melalui Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52. Hanya saja dalam penjelasan Pasal 56 ayat (4) dijelaskan bahwa gugatan pembatalan melalui pengadilan terhadap Kantor Merek, tidak mengurangi kesempatan bagi tergugat untuk Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora Vol. 12 No. 1, April 2012 53

mengajukan gugatannya kepada Pengadilan Tata Usaha Negara, sepanjang gugatan tersebut memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) dan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Padahal secara jelas Pasal 56 ayat (4) menyatakan bahwa gugatan pembatalan diajukan melalui Pengadilan Negeri, tetapi tiba-tiba muncul dalam penjelasannya bahwa gugatan dapat diajukan melalui PTUN. Hal yang sama juga kita temukan dalam hal pengajuan gugatan atas penolakan permohonan pendaftaran merek. Undang-Undang Merek No. 19 Tahun 1992 jo UU No. 14 Tahun 1997 mengatakan bahwa, terhadap penolakan permohonan pendaftaran merek yang diputuskan oleh Kantor Merek dapat diajukan banding ke Komisi Banding, dan Keputusan Komisi Banding ini bersifat final. Akan tetapi dalam penjelasan pasalnya (Pasal 34) di jelaskan bahwa sepanjang keputusan tersebut memenuhi alasan sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN maka keputusan Komisi Banding dapat diajukan gugatan kepada PTUN. Ketentuan tersebut menurut Insan Budi Maulana (1997) rancu, tidak menjelaskan secara jelas, kompetensi pengadilan yang berwenang mengadili gugatan pembatalan. Tidak ada kepastian hukum dalam proses mengajukan penghapusan atau pembatalan merek. Keadaan yang rancu ini dapat mengabaikan proses peradilan yang sederhana, cepat dan murah. Pola pikir tersebut, tidak jauh berbeda dengan pola pikir UU No. 21 Tahun 1961 yang menimbulkan kerancuan berpikir dalam memahami Undang-Undang Merek. Meskipun tersirat itikad baik dari perancang undang-undang merek dengan memberi peranan Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN agar masyarakat terlindungi dari tindakan sewenang-wenang para Aparat Tata Usaha Negara khususnya aparat Kantor Merek. Namun, cara memahami dan menempatkan ketentuan-ketentuan di atas tidak tepat. Sehingga malah dapat menimbulkan kerancuan dalam pelaksanaan undang-undang merek tersebut. Untuk menggambarkan kondisi di atas, dalam masa pelaksanaan UU No. 19 Tahun 1992 jo UU No. 14 Tahun 1997, dapat dikemukakan beberapa contoh sengketa administratif merek sebagai berikut: PT Sari Incofood menggugat Direktorat Merek ke PTUN dikarenakan telah menolak pendaftaran merek JJ WINTER miliknya untuk jenis barang minuman teh dengan rasa melon (melon tea). Tergugat (Direktorat Merek) menolak pendaftaran merek tersebut dengan alasan mempunyai persamaan pada pokoknya dengan merek terdaftar no 375488 untuk barang sejenis. Penggugat keberatan atas penolakan tersebut karena merek penggugat adalah JJ WINTER, sedangkan merek daftar no 375488 adalah MELON yang jelas tidak mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan JJ WINTER, dan tulisan MELON pada merek daftar no 375488 bukan merupakan merek dagang melainkan jenis barangnya. Di sisi lain, Direktorat Merek juga diajukan sebagai tergugat tunggal di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yaitu dalam perkara penolakan perpanjangan merek AMCO milik PT LEA SANENT. Penggugat (PT. LEA SANENT) adalah pemilik dan pemakai merek AMCO untuk jenis barang dalam kelas 25, dan telah terdaftar pada tergugat (Direktorat Merek) sejak tanggal 29 Agustus 1975, akan tetapi pada tanggal 20 Januari 1998 ketika penggugat mengajukan permohonan perpanjangan pendaftaran merek-mereknya, ditolak oleh Tergugat dengan alasan karena mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek terkenal AMCO CLOTING CO.PTY. Limited. Penolakan tersebut menurut Penggugat tidak beralasan karena AMCO CLOTING Co. PTY. Limited telah memindahkan hak atas mereknya pada penggugat dan telah dicatat pada daftar umum Tergugat tanggal 14 Juli 1981. Direktorat Merek selain diajukan sebagai tergugat tunggal baik di PTUN dan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Direktorat Merek juga diajukan sebagai Tergugat II di Pengadilan Negeri jakarta Pusat dengan melibatkan pihak ketiga sebagai Tergugat I. Misalnya dalam perkara gugatan pembatalan merek PLAY BOY. Bahwa Penggugat, yaitu 54 Sengketa Administratif di Bidang Merek (MRR Tiyas Maheni DK)

PLAYBOY ENTERPRISES INC, mengajukan Gugatan Pembatalan Pendaftaran terhadap merek PLAY BOY No. 257.484 atas nama SURYANTO TANARA (Tergugat 1) dan Direktorat Merek (Tergugat II), melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Penggugat adalah pemilik dan pemakai merek PLAYBOY untuk jenis-jenis barang yang termasuk dalam kelas barang 14 (arloji, perhiasan-perhiasan dsb) dan kelas barang 25 (pakaianpakaian). Bahwa pendaftaran merek PLAYBOY untuk kelas barang 14 dan 25 ditolak oleh Direktorat Merek, karena dalam Daftar Umum Merek telah terdaftar lebih dahulu merek PLAY BOY No. 257484 atas nama Tergugat I (Sdr. SURYANTO TANARA), untuk jenisjenis barang yang termasuk dalam kelas barang 14 dan 25. Bahwa terdapat persamaan pada keseluruhannya antara merek PLAYBOY No. 257.484 milik Tergugat I, dengan merek terkenal PLAYBOY milik Penggugat. Menurut Penggugat, berdasarkan Pasal 6 ayat (3) Undang-undang Merek, maka Kantor Merek seharusnya sejak semula menolak pendaftaran merek PLAY BOY No. 257 484, karena memiliki persamaan pada keseluruhannya dengan merek terkenal PLAYBOY.

SENGKETA ADMINISTRATIF MEREK MENURUT UU NO. 15 TAHUN 2001


Kondisi berbeda kita temukan dalam UU Merek yang terbaru yaitu UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek. Undang-Undang Merek No. 15 Tahun 2001 telah menyediakan Komisi Banding, Pengadilan Niaga, dan Mahkamah Agung, sebagai sarana untuk mendapatkan putusan. Pengadilan Niaga mulai diberi peran untuk menyelesaikan sengketa bidang merek sejak diberlakukannya Undang-Undang Merek 2001. Di samping menangani pengajuan banding atas putusan Komisi Banding dalam bidang merek, Pengadilan Niaga juga diserahi tugas dalam tingkat pertama untuk menangani permohonan keberatan akibat adanya penghapusan pendaftaran merek atas prakarsa Direktorat Merek atau yang dilakukan oleh pihak ketiga, juga menangani sengketa keberatan atas penolakan perpanjangan jangka waktu perlindungan merek terdaftar. Keberatan tersebut diajukan dalam bentuk gugatan melalui Pengadilan Niaga. Selain itu, Pengadilan Niaga juga mempunyai yurisdiksi untuk menyelesaikan sengketa gugatan pembatalan pendaftaran merek yang diajukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Sama seperti ketentuan-ketentuan sebelumnya, Putusan Pengadilan Niaga terhadap kasus-kasus tersebut tidak mengenal banding tetapi dapat ditinjau lagi melalui Kasasi. Terhadap keberatan-keberatan tersebut, Direktorat Merek diajukan sebagai tergugat tunggal atau juga sebagai turut tergugat di Pengadilan Niaga. Sebagai tergugat tunggal misalnya dalam perkara Keberatan atas Penolakan Permohonan Perpanjangan Jangka Waktu Perlindungan Merek Terdaftar AMCO dan perkara penghapusan merek UNITED. Sedangkan Direktorat Merek diajukan sebagai turut tergugat sering kali dalam perkaraperkara pembatalan merek. misalnya dalam perkara pembatalan merek SUPREME. Dalam perkara-perkara pembatalan merek, Direktorat Merek tidak lagi diajukan sebagai tergugat II sebagaimana terjadi dalam pelaksanaan undang-undang sebelumnya, tetapi diajukan sebagai turut tergugat dengan melibatkan pihak ketiga sebagai tergugat.

KESIMPULAN
Dalam pelaksanaan UU No 21 Tahun 1961, penyelesaian sengketa administratif di bidang merek menjadi kewenangan Pengadilan Negeri (Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) dengan melibatkan Direktorat Merek (saat itu Kantor Milik Perindustrian) sebagai tergugat atau tergugat II, sedangkan dalam pelaksanaan UU No. 19 Tahun 1992 jo UU No. 14 Tahun 1997, terdapat dua pengadilan yang berkompeten dalam menyelesaian sengketa administratif merek, yaitu PTUN dan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Untuk sengketa yang diajukan ke PTUN, Kantor Merek sebagai tergugat tunggal, sedangkan di PengRagam Jurnal Pengembangan Humaniora Vol. 12 No. 1, April 2012 55

adilan Negeri Jakarta Pusat, Kantor Merek seringkali dijadikan sebagai tergugat II, meskipun dalam beberapa kasus juga diajukan sebagai tergugat tunggal. Dan dalam pelaksanaan Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 hanya ada satu pengadilan yang diberi kewenangan untuk menyelesaikan sengketa administratif bidang merek yaitu Pengadilan Niaga, meskipun Perkara/sengketa tersebut melibatkan Direktorat Merek baik sebagai tergugat tunggal maupun turut tergugat.

DAFTAR PUSTAKA
Abdulkadir Muhammad, 2001, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual, Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti. Insan Budi Maulana, 1997, Sukses Bisnis Melalui Merek, Paten dan Hak Cipta, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Insan Budi Maulana dkk, 2000, Kapita Selekta Hak Kekayaan Intelektual I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Gunawan Suryomurcito,100 hari Pemerintahan dan Perlindungan HKI, http://www. hukumonline.com/detail.asp?id=12113&cl=kolom, akses 1 Desember 2011 http://adisulistiyono.com/wp-content/uploads/2009/03/bab-iii.pdf, 2011 akses 17 Desember

Prasetyo Hadi Purwandoko, Problematika Perlindungan Merek di Indonesia, http:// prasetyohp.wordpress.com/problematika-perlindungan-merek-di-indonesia/, akses 17 Desember 2011 Undang-Undang No 21 Tahun 1961, tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan. Undang- Undang No. 19 Tahun 1992 jo UU No. 14 Tahun 1997 tentang Merek Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek Putusan Mahkamah Agung RI, Nomor: 432 K/TUN/2001 dalam Perkara Keberatan atas Penolakan Pendaftaran Merek JJ Winter Putusan PN.JKT.PST Nomor: 42/Pdt.G/1998. dalam Perkara Penolakan Perpanjangan Merek AMCO milik PT. LEA SANENT Putusan PN.JKT.PST No. 396/Pdt.G/1997 dalam Perkara Gugatan Pembatalan merek PLAY BOY

56

Sengketa Administratif di Bidang Merek (MRR Tiyas Maheni DK)

You might also like