Professional Documents
Culture Documents
MANAJEMEN AGROEKOSISTEM
Oleh:
J. YANTO
Copyright 2008@www.bumilestari.blogspot.com
BAB I PENDAHULUAN
kebutuhan sehari-hari dan penjualan kayunya, juga masih ditemukan pemanfaatan untuk
pembuatan gula aren, dimana hal ini sudah jarang ditemukan di tempat lain. Kesemua hal
tersebut di atas menjadikan daerah ini cukup menarik untuk diteliti.
1.2. Rumusan Masalah
Masalah yang ingin diteliti pada penelitian ini adalah bagaimanakah keadaan
struktur vegetasi talun di Desa Sukamukti Kabupaten Sumedang, dan bagaimana sistem
kepemilikan agroekosistem talun dibandingkan dengan agroekosistem lainnya di lokasi
tersebut?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur vegetasi talun dan
sistem kepemilikan agroekosistem talun di Desa Sukamukti Kabupaten Sumedang.
1.4. Batasan Wilayah Penelitian
Batasan wilayah penelitian/studi ini adalah Desa Sukamukti, Kecamatan Tanjung
Medar, Kabupaten Sumedang.
1.5. Kegunaan Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi penting mengenai
aspek floristik dan struktur vegetasi talun serta sistem kepemilikan agroekosistem talun.
Disamping itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi suatu informasi yang
mendasar bagi upaya konservasi keanekaragaman hayati pada ekosistem binaan.
1.6. Metodologi Penelitian
Metode penelitian utama yang digunakan dalam analisis agroekosistem di Desa
Sukamukti ini adalah pendekatan deskriptif analitis secara kualitatif dengan teknik RRA
(Rapid Rural Appraisal/PPS = Pemahaman Pedesaan Dengan Cepat). Wawancara
dilakukan secara terstruktur dengan responden yang dipilih secara acak. Selain
wawancara, analisis agroekosistem dilakukan dengan pengamatan dan pengukuran
langsung serta analisis data sekunder. Pengambilan data dilakukan pada Tahun 2002.
1
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
Kedua, prinsip ekologi yang didapat dari studi agroekosistem tradisional, dapat
digunakan untuk merancang agroekosistem yang baru, lebih baik, dan berkelanjutan pada
negara industri, dan hal tersebut dapat memperbaiki banyak kekurangan pada agrikultur
modern (Altieri, 1987 dalam Altier, 1990). Kebanyakan agroekosistem tradisional
didasarkan pada pengolahan keanekaan tanaman, memungkinkan petani untuk
memaksimalkan keamanan panen dengan tingkat teknologi rendah.
Agroekosistem menurut Karyono (2000) adalah sistem ekologis hasil rekayasa
manusia untuk menghasilkan makanan, serat, atau produk agrikultur lainnya. Dalam
agroekosistem ini, peranan manusia sangat dominan karena sistem ini merupakan hasil
rekayasa manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu,
agroekosistem dapat dikatakan sebagai suatu kesatuan dari sistem pertanian, sosial,
ekonomi, dan ekologi, yang dibatasi oleh faktor biofisik dan sosial ekonomi (Conway,
1987 dalam Parikesit, dkk., 1998).
Agroekosistem seringkali kompleks secara struktur, tetapi kompleksitasnya timbul
terutama dikarenakan interaksi antara proses ekologi dan sosial ekonomi. Faktor fisik yang
mempengaruhi struktur floristik agroekosistem antara lain adalah ketinggian tempat dari
permukaan laut, edafik, iklim, dan topografi. Faktor-faktor tersebut dapat menjadi kendala
atau pendorong bagi manusia di dalam mengembangkan suatu sistem pertanian berikut
komoditi yang ada di dalamnya.
Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, faktor-faktor sosial ekonomi dan
budaya yang mempengaruhi struktur floristik suatu agroekosistem adalah luas
kepemilikan lahan, tingkat pendidikan, mata pencaharian, dan latar belakang budaya
pemiliknya serta dinamika dalam pola, sistem, dan luas komponen agroekositem lainnya
(Parikesit dkk., 1998).
Praktek agrikultur dengan intensitas rendah seperti perladangan berpindah,
pekarangan tradisional, talun, rotasi lahan, menyisakan banyak proses ekosistem alami dan
komposisi tumbuhan, hewan dan mikroorganisme. Sistem dengan intensitas tinggi,
termasuk perkebunan modern yang seragam dan peternakan besar, mungkin merubah
ekosistem secara keseluruhan sehingga sedikit sekali biota dan keistimewaan bentang
alam sebelumnya yang tersisa (Karyono, 2000).
2.2. Talun
Talun adalah salah satu sistem agroforestry yang khas, ditanami dengan campuran
tanaman tahunan/kayu (perennial) dan tanaman musiman (annual), dimana strukturnya
menyerupai hutan, secara umum ditemui di luar pemukiman dan hanya sedikit yang
berada di dalam pemukiman (Soemarwoto dan Soemarwoto, 1984). Widagda dkk. (1984)
mendefinisikan talun sebagai sistem tradisional yang mempunyai aneka fungsi selain
fungsi produksi, dimana dalam sistem ini terdapat kombinasi tanaman pertanian semusim
2
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
dengan pepohonan. Talun umumnya mempunyai batas-batas kepemilikan yang jelas dan
ditemukan di sekitar daerah pemukiman.
Talun di beberapa daerah tertentu di Jawa Barat, biasa disebut dengan istilah lokal
lainnya seperti Kebon Tatangkalan, dan Bojong (Parikesit dkk., 1997, 1998). Jika suatu
talun didominasi oleh satu jenis tanaman, maka talun tersebut akan diberi nama sesuai
dengan jenis tanaman yang mendominasi tersebut, seperti contohnya Kebon Awi, karena
jenis tanaman yang mendominasi adalah Awi atau Bambu (Bambusa sp). Kebon Jengjen,
karena yang dominan di talun tersebut adalah jenis tanaman Albasiah (Albizzia sp). Talun
juga memiliki struktur yang mirip dengan hutan, sehingga sering juga disebut sebagai
mimicking forest.
Secara garis besar, talun dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu talun permanen
dan talun tidak permanen (talun-kebun) (Soemarwoto dan Soemarwoto, 1984). Pada talun
permanen, tidak ditemukan adanya pergiliran tanaman dan pohon-pohonnya rapat dengan
kanopi menutupi area, sehingga cahaya yang tembus sedikit dan hanya sedikit tanaman
toleran yang ditanam, seperti Kunyit (Curcuma domestica), dan Jahe (Zingiber officinale).
Bahkan pada Talun Bambu, hampir tidak mempunyai tumbuhan bawah karena kanopinya
yang rapat. Pada talun yang pohonnya jarang, cahaya bisa banyak tembus, sehingga
tanaman musiman tumbuh dan rumputpun dapat ditemukan, talun seperti itu disebut juga
“Kebun Campuran”.
Pada talun tidak permanen, ditemukan adanya pergiliran tanaman, biasanya terdiri
dari tiga fase, yaitu kebun, kebun campuran, dan talun (Widagda, 1984), sehingga disebut
dengan sistem talun-kebun. Setiap fase mempunyai struktur vertikal dan fungsi yang
berbeda-beda. Kebun biasanya ditanami campuran tanaman musiman dan memiliki nilai
ekonomi yang tinggi. Setelah dua tahun, bibit pohon mulai ditanam dan tumbuh sehingga
ruang untuk tanaman musiman berkurang. Kebun mulai berubah menjadi kebun
campuran, dimana tanaman musiman bercampur dengan pohon tahunan yang masih muda,
nilai ekonomi fase ini tidak setinggi fase sebelumnya, tetapi memiliki nilai biofisik yang
tinggi seperti konservasi tanah dan air. Setelah memanen tanaman musiman, lahan
biasanya dibiarkan 2-3 tahun sehingga didominasi oleh pohon tahunan, dan masuklah pada
fase talun, dimana talun ini memiliki nilai ekonomi dan biofisik.
Perkembangan talun dari sudut komposisi dan pola struktur vegetasi, banyak
dipengaruhi oleh berbagai faktor biofisik dan sosial ekonomi, baik secara lokal maupun
daerah (Parikesit, 2001). Penampilan kompleks vegetasi talun memungkinkannya
mempunyai berbagai fungsi, baik fungsi ekologi maupun fungsi sosial ekonomi.
Menurut Soemarwoto dkk. (1979), fungsi talun dapat dibedakan menjadi 4 bagian, yaitu
(1) produksi subsisten, (2) produksi komersil, (3) sumber daya nutfah dan konservasi
tanah, dan (4) fungsi sosial.
3
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
4
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
5
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
Blok I Cidilem merupakan blok yang paling luas daerah cakupannya, dikarenakan
blok ini dulunya merupakan gabungan dari beberapa blok. Apabila dibandingkan luas
lahan talunnya, maka Blok I Cidilem kurang lebih sebanding dengan total luas lahan talun
di 4 blok utama lainnya. Sedangkan Blok III Pasir Kananga merupakan blok yang paling
kecil luas talunnya diantara 5 blok utama. Letak blok utama talun beserta posisi 75 sampel
plot talun dapat dilihat pada Lampiran.
6
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
selanjutnya, yaitu TALUN. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada Gambar 3.1 di bawah
ini.
Tidak seperti halnya talun di DAS Citarum hulu, talun di Desa Sukamukti
sepertinya tidak mengalami konversi yang berarti ke tipe tataguna lahan binaan lainnya
berupa pekarangan atau sawah, sehingga keberadaannya dapat bertahan lama.
7
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
8
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
Produktivitas
Produktivitas dapat didefinisikan sebagai suatu tingkat produksi atau keluaran
berupa barang atau jasa, misalnya produktivitas padi/ha/tahun. Hasil talun di Desa
Sukamukti digunakan bukan hanya untuk keperluan subsisten semata, tetapi seringkali
dijual. Apabila hasil talun tersebut dijual, umumnya dijual kepada bandar dengan
frekuensi penjualan yang tidak tentu tergantung kondisi talun yang dimiliki. Hasil
penjualan produksi talun yang dihasilkan dalam 1 tahun sebagian besar (dinyatakan oleh
44 % responden) lebih dari Rp 400.000,00, sedangkan sebanyak 31 % berkisar antara Rp
200.000,00 – 400.000,00, dan hanya sebanyak 25 % yang hasil penjualannya < Rp
200.000,00 (Data tahun 2004; 1 US Dollar = + Rp 8.000,00).
Apabila hasil yang diperoleh dari talun dibandingkan dengan hasil yang diperoleh
dari usaha lain (misalnya sawah dan kebun palawija), maka 51 % responden menyatakan
bahwa hasil yang diperoleh dari talun lebih rendah daripada hasil dari usaha lain tersebut,
dan yang menyatakan lebih tinggi adalah sebesar 21 %. Hal ini menandakan bahwa
kontribusi talun masih lebih rendah bila dibandingkan dengan usaha lain tersebut.
Produktivitas talun tergolong dalam kategori sedang atau medium, dan lebih
rendah dari sawah atau kebun palawija yang termasuk kategori tinggi/high. Sedangkan
pekarangan termasuk pada kategori rendah atau low dalam hal produktivitasnya, karena
pekarangan di Desa Sukamukti ini hanya untuk tujuan subsisten.
Stabilitas
Stabilitas diartikan sebagai tingkat produksi yang dapat dipertahankan dalam
kondisi konstan normal, meskipun kondisi lingkungan berubah. Suatu sistem dapat
dikatakan memiliki kestabilan tinggi apabila hanya sedikit saja mengalami fluktuasi ketika
sistem usaha tani tersebut mengalami gangguan. Sebaliknya, sistem itu dikatakan memiliki
kestabilan rendah apabila fluktuasi yang dialami sistem usaha tani tersebut besar.
Sistem talun di Desa Sukamukti memiliki stabilitas tinggi dibandingkan sawah dan
kebun palawija. Hal ini dikarenakan talun kurang terpengaruh fluktuasi harga asupan-
asupan atau keluaran-keluaran. Hasil talun beraneka ragam sehingga bila harga salah satu
komoditas talun jatuh di pasar, harga komoditas lainnya bisa tetap tinggi. Dengan
demikian harga keluaran talun kurang terpengaruh fluktuasi harga pasar.
Demikian pula dalam hal terjadinya fluktuasi harga asupan-asupan di pasar tidak
akan banyak mempengaruhi talun, karena talun tidak memerlukan banyak asupan yang
harus dibeli dari pasar (benih, pupuk kimia, obat-obatan), berbeda dengan sawah dan
palawija yang lebih tergantung dari asupan dan keluaran dari pasar. Sistem kebun palawija
memiliki stabilitas paling rendah dibandingkan yang lain, karena sering terjadi fluktuasi
harga keluaran yang ekstrim. Adapun sistem pekarangan memiliki stabilitas tinggi.
9
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
Ekuitabilitas
Ekuitabilitas sosial digunakan untuk menggambarkan bagaimana hasil-hasil
pertanian dinikmati oleh segenap lapisan masyarakat. Contoh apabila suatu sistem usaha
tani dapat dikatakan memiliki suatu ekuitabilitas atau pemerataan sosial yang tinggi
apabila penduduknya memperoleh manfaat pendapatan, pangan, dan lain-lain yang cukup
merata dari sumber daya yang ada. Indikatornya antara lain rata-rata keluarga petani
memiliki akses lahan yang luasnya tidak terlalu berbeda atau senjang.
Sistem talun dan pekarangan di desa Sukamukti memiliki ekuitabilitas tinggi
karena tidak terdapat perbedaan yang mencolok dalam luas kepemilikan lahan, selain itu
masih terdapat fungsi sosial yang dimiliki talun terutama dalam hal penyedia kayu bakar,
dimana bukan hanya pemilik talun yang boleh mengambil kayu bakar melainkan setiap
orang boleh mengambil ranting atau cabang yang jatuh di talun untuk dijadikan kayu
bakar. Sedangkan sawah dan kebun palawija memiliki ekuitabilitas yang rendah, karena
terjadi kesenjangan yang cukup tinggi dalam produksi antara pemilik yang bermodal
tinggi atau berlahan luas dengan petani yang bermodal kecil atau berlahan sempit.
Sustainabilitas
Istilah sustainabilitas merujuk ke kemampuan suatu sistem usaha tani dalam
mempertahankan produktivitasnya, kendati sistem usaha tani tersebut banyak mengalami
tekanan atau gangguan besar. Tekanan diartikan suatu keadaan yang sifatnya dapat teratur,
kejadiannya secara kadang-kadang tetapi berkelanjutan, relatif kecil atau ringan, dan
kondisinya dapat diramalkan. Gangguan adalah sesuatu yang tidak teratur, tidak datang
secara terus menerus, dan keadaannya relatif besar. Gangguan datangnya tidak dapat
diramalkan. Misalnya terjadi gempa bumi atau badai. Suatu sistem usaha tani dikatakan
memiliki tingkat keberlanjutan rendah apabila sistem usaha tani tersebut mengalami
penurunan keambrukan yang tiba-tiba (Conway, 1986 dalam Iskandar, 2006).
Untuk menganalisis sustainabilitas tiap-tiap agroekosistem perlu dilakukan analisis
secara menyeluruh menyangkut aspek ekologi (misal: erosi, kesuburan lahan, pencemaran
lingkungan), ekonomi (misal: modal, pasar) dan sosial (misal: ekuitabilitas sosial).
Dengan memperhatikan aspek ekologi, ekonomi dan sosial tersebut, sistem talun dan
pekarangan memiliki sustainabilitas yang tinggi, sedangkan sistem sawah dan kebun
palawija memiliki sustainabilitas yang rendah.
Sustainabilitas yang rendah pada sawah dan kebun palawija, misalnya dapat dilihat
ketika sistem pertanian ini mendapat serangan hama (wereng, tikus, dan lain-lain) atau
gangguan berupa angin besar, maka sistem pertanian ini akan mudah ambruk.
10
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
BAB IV PENUTUP
Keberadaan talun di Desa Sukamukti Kecamatan Tanjung Medar Kabupaten
Sumedang merupakan warisan turun temurun dan diyakini telah berada sebelum tahun
1900. Sebagai salah satu komponen agroekosistem, komposisi dan struktur talun serta
fungsi tumbuhan yang ditemukan di dalamnya dipengaruhi oleh berbagai faktor biofisik,
sosial ekonomi, dan budaya masyarakat setempat. Adanya berbagai faktor tersebut dan
intensitas pengelolaan lahan oleh pemiliknya memungkinkan struktur vegetasi talun
berbeda-beda pada setiap daerah (Parikesit dkk., 1997). Perbedaan struktur vegetasi talun
tersebut dapat mencerminkan karakteristik khas suatu daerah. Artinya, komposisi struktur
vegetasi talun seringkali bersifat site specific.
Sistem kepemilikan agroekosistem talun di Desa Sukamukti adalah memiliki
stabilitas, ekuitabilitas dan sustainabilitas yang tinggi walaupun produktivitasnya medium.
Agroekosistem lain di Desa Sukamukti yang memiliki stabilitas, ekuitabilitas dan
sustainabilitas yang tinggi adalah pekarangan, tetapi dengan produktivitas rendah. Adapun
agroekosistem yang memiliki produktivitas tinggi adalah kebun palawija dan sawah, akan
tetapi diperkirakan ekuitabilitas dan sustainabilitasnya rendah.
DAFTAR PUSTAKA
Altier, M.A. 1990. Why Study Traditional Agriculture?. In Carroll, C.R., J.H.
Vandermeer, P.M. Rosset (eds) Agro Ecology. McGraw Hill, Inc. USA.
Christanty, L., D. Mailly, J.P. Kimmins. 1996. “Without Bamboo, The Land Dies”:
Biomass, Litterfall, and Soil Organic Matter Dynamics of a Javanese Bamboo-
Talun-Kebun System. Forest Ecology and Management 87. pp 75-88.
11
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
Iskandar, J. 2006. Metodologi Memahami Petani dan Pertanian. Jurnal Analisis Sosial
Vol 11 No 1 April 2006.
Karyono. 1990. Homegardens in Java : Their Structure and Function. In K. Launder and
M. Brazil (eds). Tropical Homegardens. The United Nation University. Tokyo.
Mueller-Dombois, D., and H. Ellenberg. 1974. Aims and Methods of Vegetation Ecology.
John Wiley & Sons, Inc. USA.
Parikesit, Djuniwati, H.Y. Hadikusumah. 1997. Spatial Structure and Floristic Diversity
of Man-made Ecosystems in Upper Citarum River Basin, In : Dove, M.R., and P.E.
Sajise (eds) The Conditions of Biodiversity Maintenance in Asia. East-West Center.
Program on Environment. Honolulu, Hawaii. pp 17-43.
Sirie, M. Syarif. 1985. Struktur dan Peranan Kebun-Talun di Daerah Tampung Waduk
Saguling. Skripsi. Jurusan Biologi FMIPA UNPAD. Bandung.
Soemarwoto, O., dan I. Soemarwoto, 1984. The Javanese Rural Ecosystem. In : Rambo,
T.A., P.E. Sajise (eds) An Introduction to Human Ecology Research on Agricultural
System in Southeast Asia. University of The Philippines at Los Banos.
12
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
Yanto, J. 2004. Studi Struktur Vegetasi Talun di Desa Sukamukti Kecamatan Tanjung
Medar Kabupaten Sumedang. Skripsi. Jurusan Biologi FMIPA UNPAD. Bandung.
13