You are on page 1of 9

1

MAKALAH

Dalam Pusaran Kabut dan Darah1


WICAKSONO ADI 2 Dalam novel Kalatidha (2007) karya Seno Gumira Ajidarma kita menjumpai beberapa bentuk deskripsi yang didukung oleh kolase kliping-kliping atau potongan berita surat kabar perihal fakta-fakta peristiwa G30S yang kebanyakan diambil dari surat kabar Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha. Kolase tersebut adalah sumber rujukan atau acuan faktual yang lazim disebarkan oleh pihak Orde Baru sebagai pengendali versi resmi peristiwa 1965 sekaligus perangkat diskursif untuk mengkonstruksi sejarah dalam bentuk tunggal. Dalam novel ini fakta-fakta itu digunakan sebagai penanda waktu berlangsungnya cerita sekaligus untuk dikonfrontir dengan fakta-fakta lain sehingga kemudian tampak bahwa fakta-fakta resmi itu hanya ksi belaka. Kisah-kisah yang dialami oleh tokoh-tokoh ceritanya berada dalam pusaran antara klaim faktual resmi yang telah diruntuhkan oleh kandungan ksinya. Tiba-tiba batas-batas antara fakta dan ksi menjadi kabur. Bahkan novel ini berani menegaskan bahwa fakta-fakta resmi itu hanya kebohongan besar. Berapa lama kami semua mendapatkan pelajaran sejarah yang ternyata hanya bisa dibaca sebagai pelajaran cara berbohong? (hlm. 159). Kekaburan batas itu juga dialami tokoh Tommy dalam novel Lubang Buaya karya Saskia Wieringa. Tommy adalah wartawan Belanda yang sedang melakukan investigasi mengenai peristiwa 1965, dan setelah semakin dalam menelusuri berbagai fakta resmi atas peristiwa itu dia semakin bingung terseret oleh pusaran ksi atas fakta-fakta. Dia tercengang-cengang mendapati pertentangan dan distorsi bentukbentuk fakta-fakta itu dengan fakta-fakta baru yang dia peroleh di lapangan. Apa yang dialami tokoh Tommy merupakan penegasan bahwa sejarah peristiwa 1965 dipenuhi dengan misteri sebagaimana dinyatakan oleh peneliti (sejarah dan politik) pada umumnya. Apa yang disebut dengan kebenaran sejarah sangat tergantung pada kepentingan pencipta fakta-fakta. Hingga saat ini pihak korban serta pihak peneliti dan para produsen pengetahuan lainnya masih terus melakukan subversi terhadap klaim-klaim pihak rezim pemenang yang telah menjalar dan berkembang biak menjadi klaim-klaim baru dalam memori kolektif masyarakat Indonesia.

Makalah untuk diskusi G 30 S dalam Sastra Indonesia di Komunitas Salihara, 12 September 2012, 19.00 WIB. Makalah ini telah disunting. Wicaksono Adi adalah kritik seni independen. Ia juga menulis puisi dan prosa. Ia pernah memenangkan Lomba Kritik Seni DKJ 2004 untuk kategori kritik sastra.

Makalah Diskusi | September 2012

Perlu dicatat bahwa pada akhir dekade 1960-an muncul beberapa cerita pendek mengenai peristiwa 1965. Cerita-cerita pendek tersebut muncul di majalah Horison dan Sastra, antara lain ditulis oleh Satyagraha Hoerip, Gerson Poyk, Usamah, Umar Kayam, Martin Aleida, Ki Panjikusmin dan lain-lain. Sementara pada dekade 1970-an nyaris tak ada publikasi (ilmiah dan sastra) mengenai topik ini. Baru pada dekade 1980-an muncul prosa seperti trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari), Jentera Lepas (Ashadi Siregar), Mencoba Tidak Menyerah (Yudhistira Ardi Nugrahasemula berjudul Aku Bukan Komunis, peraih Hadiah Harapan Sayembara Mengarang Roman DKJ 1977), Selat Bali (Putu Oka Sukanta), Tembang Jalak Bali (Putu Oka Sukanta), Anak Tanahair (Ajip Rosidi), dan buku-buku Pramoedya Ananta Toer. Pada 1985 pihak rezim Orde Baru memunculkan lm Pengkhianatan G 30S PKI. Pada dekade tersebut para tahanan politik PKI di berbagai penjara, termasuk di Pulau Buru, juga sudah dibebaskan. Kemudian pada dekade 1990an muncul banyak memoar dari para mantan Tapol seperti Carmel Budiarjo, Omar Dhani, Kolonel Abdul Latief, Oei Tjoe Tat, dan lain-lain. Dan setelah 2000 muncul semakin banyak novel, cerita pendek, memoar, dan kajian ilmiah mengenai peristiwa 1965. Tapi sebagaimana diungkapkan dalam novel Katatidha, sulapan fakta menjadi ksi itu adalah sebuah fakta tersendiri. Pergumulan antara fakta dan mitos itu masih berlangsung. Dan dalam medan yang penuh kabut semacam itu tak dapat dimungkiri bahwa suatu teks yang mengangkat peristiwa 1965 akan menjadi benarbenar politis. Ia menjadi politis bukan hanya pada tataran pergumulan wacana melainkan juga menyentuh dan mempengaruhi secara langsung hajat hidup bangsa ini, terutama bagi pihak korban. Dan hal itu kemudian berkelindan dengan proses stigmatisasi yang terus direproduksi oleh masyarakat dalam bentuk-bentuk baru. Novel Kalatidha berada dalam konteks pergumulan politis semacam itu. Dalam novel Kalatidha kita juga menjumpai banyak adegan brutal yang dialami tokoh-tokoh ceritanya, yaitu tokoh Aku yang memiliki kakak persempuan anggota Gerwani, Joni Gila yang menjadi gila karena seluruh keluarganya tewas terbantai, dan seorang perempuan yang dianggap gila karena seluruh keluarganya (termasuk saudara kembarnya) mati terbakar dalam sebuah rumah. Baik Joni Gila dan perempuan yang dianggap gila akhirnya dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Dan ketika berada di rumah sakit jiwa, perempuan tersebut secara rutin malah diperkosa secara bergiliran oleh dokter jaga dan dokter kepala. (Tokoh Srintil dalam Ronggeng Dukuh Paruk akhirnya juga menjadi gila, meski hal itu tidak semata-mata disebabkan oleh peristiwa 1965 yang menyapu kampungnya). Kegilaan si Joni maupun perempuan yang dianggap gila dalam Kalatidha jadi setimbang dengan kekerasan yang mereka terima. Berbagai bentuk kekerasan itu ternyata terkonrmasi dalam catatancatatan serta memoar para korban. Tentu, sebagaimana lazimnya novel-novel yang mengangkat peristiwa 1965, di novel Kalatidha kita juga menjumpai korban tak berdosa, yaitu orang-orang yang tidak tahu menahu atau tidak memiliki kaitan secara langsung dengan pihak-pihak komunis yang dijadikan target pembasmian. Selain novel-novel tersebut ada beberapa novel yang memberi gambaran peristiwa 1965 dari berbagai perspektif. Pada novel Merajut Harkat karya Putu Oka Sukanta misalnya kita menemukan bagaimana para Tapol yang tertangkap tidak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Sementara pada novel Candik Ala 1965 karya Tinuk Yampolsky kita menjumpai berbagai kisah kekerasan di sebuah kota pada masa itu melalui kaca mata anak kecil sebagai saksi. Lalu pada novel Mencoba Tidak Menyerah

Makalah Diskusi | September 2012

karya Yudhistira Ardi Nugraha kita menjumpai gambaran yang cukup rinci mengenai kehidupan sebuah keluarga yang aman dan damai tiba-tiba berubah jadi horor. Novel ini juga menggunakan sudut pandang penceritaan seorang anak kecil. Dan pada novel September karya Noorca M Massardi kita menemukan kerumitan intrik tingkat tinggi di kalangan elite politik berikut seluk-beluk konspirasi asing di seputar peristiwa 1965. Pembaca juga dengan mudah mengasosiasikan nama-nama tokoh-tokoh cerita dengan tokoh-tokoh faktual: Pemimpin Besar revolusi Soekresno (Soekarno), Mayjen Theo Rosa (Mayjen Soeharto), Kolonel Djiwakarno (Bambang Widjanarko), Partai Kiri (Paki), Institut Teknologi Babakan (ITB), Universitas Gunung Merbabu (UGM), Universitas Independen (UI), Warta Yudha, Suluh Nasional, Koran Rakyat, dan lain-lain. Beberapa prosa yang disebutkan di atas dapat dikatakan bergerak dalam kelindan produksi dan reproduksi fakta dan ksi, mitos kontra- mitos mengenai peristiwa 1965. Suatu prosa sebagai teks yang sangat politis justru karena berada dalam pergumulan produksi pengetahuan mengenai suatu peristiwa sejarah. Suatu versi lain dari versi resmi yang diproduksi oleh pihak pemenang setelah peristiwa itu meledak menjadi huru-hara besar dan dalam bentuk yang sangat brutal. ***

Para Penyeberang
Tokoh Bawuk dalam cerpen Bawuk karya Umar Kayam adalah seorang perempuan yang cerdas, riang, dan memiliki kepekaan sosial yang kuat. Meski tumbuh dalam keluarga priyayi Jawa, sejak kecil ia tidak canggung untuk berkumpul dengan para pembantu dan orang-orang dari golongan bawah. Ia adalah seorang perempuan yang aktif dengan kualitas moral terbaik. Ayahnya seorang pejabat yang menjunjung tinggi ketertiban dan tata susila kaum priyayi pada masanya. Dan seorang anak yang tumbuh dalam keluarga semacam itu biasanya cenderung memperoleh pendidikan yang bagus agar kelak dapat mempertahankan status kepriyayiannya. Segalanya dipersiapkan dengan rapi dan terukur sehingga memperoleh kepastian sosial di masa depan. Rumah bagi keluarga priyayi Jawa adalah semacam rahim sosio-kultural berikut tata moral dan standar hidup yang mapan. Bawuk menyebut standar itu sebagai sesuatu yang telah terberi, sesuatu yang burgerlijk dan tidak akan berubah. Tapi setelah dewasa, Bawuk justru terpikat pada sosok Hasan, seorang aktivis PKI yang cerdas, dinamis dan memiliki energi berlebih dalam mewujudkan ide-idenya. Digambarkan pula bagaimana saudara-saudara Bawuk yang merasa kurang nyaman dengan kecerdasan Hasan yang agak menakutkan. Lalu kenapa justru Bawuk memilih Hasan? Di situ disebutkan bahwa Bawuk terpikat pada Hasan dan PKI karena dalam diri lelaki itu ia menemukan kilatan-kilatan semangat untuk melakukan perubahan nasib orang-orang kecil. Di situ ia mendapatkan semacam wahana aktualisasi dari bibitbibit kepekaaan sosial yang sudah ia miliki sejak kecil. Selain itu juga ada semangat intelektual pada diri Hasan dan kawan-kawannya yang terlibat diskusi secara intensif hampir setiap hari. (Pada cerpen Umar Kayam lainnya, Musim Gugur Kembali di Connecticut, kita menemukan tokoh intelektual bernama Tono dan Samsu yang selalu beradu argumentasi dengan sengit di penjara). Artinya, dalam dunia Hasan, Bawuk menemukan semacam nalar yang hidup, apa pun bentuknya. Secara keseluruhan

Makalah Diskusi | September 2012

sosok Hasan sangat berbeda, bahkan dapat dikatakan sebagai antitesis gur ayah Bawuk yang priyayi. Hasan sama sekali bukan arus tenang yang gampang dijangkau melainkan gelombang pasang yang sanggup melambungkan perahu hingga ke batas cakrawala. Sosok ini mewakili harapan baru yang tak pernah ditemukan Bawuk di rumah priyayinya. Di mata Bawuk, rumah lamanya adalah sejenis bilik kecil berisi kepastian yang terberi sedangkan dunia Hasan adalah ladang luas yang membuat dirinya benarbenar hidup. Tapi setelah pecah peristiwa 1965 segalanya berubah. Kilatankilatan semangat itu kini harus berhadapan dengan khaos yang brutal. Hasan melarikan diri sembari menggalang perlawanan sampai batas terakhir, sementara Bawuk bersembunyi dari satu tempat ke tempat lain untuk menyelamatkan diri dan kedua anaknya. Dan akhirnya ia terpaksa menitipkan kedua anaknya kepada ibunya lalu berangkat pagi-pagi buta untuk mencari Hasan. Ketika datang ke rumah ibunya untuk menitipkan kedua anaknya itu, Bawuk harus menghadapi gempuran pertanyaan saudara-saudara kandungnya yang sangat menyudutkan. Maka ia pun memberi pernyataan yang tegas kenapa memilih dunia Hasan.
Yu Mi dan Mas Sun, Mas Mamok dan Yu Yati, Yu Syul dan Mas Pik, Mas Tatok dan Yu Tini, Mammie dan Pappie. Ingatkah kalian pada waktu dulu, satu sore, Eyang Putri pernah bertanya kepada kita ingin jadi apa kita ini kalau sudah besar. Yu Mi menjawab ingin jadi istri dokter, Mas Mamok ingin jadi burgemeester, Yu Syul ingin jadi istri arsitek, Mas Tok ingin menjadi meester in de rechten dan saya karena cintaku pada kebun, ingin jadi istri landbouwconsulent . Kita tahu, impian kita itu adalah impian anak-anak yang dibangun dari kemauan orang tua kita. Tanpa kita sadari, kita ucapkan satu demi satu impian-impian itu yang sesungguhnya sudah dibentuk dari hari demi hari oleh orang tua kita. Pappie adalah seorang priyayi penting, seorang onder dengan karier gemilang, yang ingin melihat kegemilangannya itu diteruskan oleh anak-anaknya. Begitu juga Mammie adalah seorang priyayi, masih den ayu dari Solo, yang ingin melihat anak-anaknya mengirabarkan bendera kapriyayen itu, jawaban kita kepada pertanyaan Eyang Putri itu adalah harapan orang tua kita Kalian mencapai apa yang dimaui oleh orang tua kita. Jadi priyayi. Dan, ya, cukup terpandang juga Dan aku? Aku kawin dengan seorang pemimpin gila. Aku tak seberuntung Yu Mi dan Yu Syul, bisa kawin dengan seorang priyayi yang terpandang. Aku ketemu dengan seorang yang SMA pun tak tamat. Seorang yang mimpi bahwa tanpa sehelai ijazah, tanpa kedudukan resmi, orang pun bisa terpandang di masyarakat Yang dia kerjakan malah berhenti sekolah, jadi Marxis, belajar intrik, kasak-kusuk lagi, dan akhirnya malah berontak. Mas-mas, mBak-mbak , Mamie-Papi, aku masih tetap bagian dari dunia itu. Yang sekarang penuh asap dan mesiu, pengejaran, dan pelarian Kita, kalian, Masmas dan mBak-mbak dan aku sudah berubah. Dan kita pasti akan terus berubah, bergeser terus ke sana dan ke sini, karena kita telah menjadi bagian-bagian dunia yang lain.

Itulah deklarasi Bawuk yang sangat lugas. Ia telanjur menyeberang dari rumah lama yang nyaman menuju dunia baru yang penuh risiko, penuh asap dan mesiu. Dia meninggalkan kemapanan dunia priyayi menuju dunia luas yang dihuni oleh makhluk-

Makalah Diskusi | September 2012

makhluk revolusioner yang percaya pada cita-cita mengubah keadaan. Ia telah meninggalkan harmoni lama menuju dunia baru yang tidak pasti. Dunia baru yang tiba-tiba berubah menjadi malapetaka. Tapi ia tidak dapat kembali ke rumah lamanya. Kerabatnya tak ada yang dapat membantu menariknya dari dasar sumur. Maka ia tetap pergi mencari Hasan. (Hasan akhirnya tertangkap dan ditembak mati sementara Bawuk tak diketahui keberadaannya). Penyeberangan semacam itu juga dilakukan oleh tokoh Harimurti dalam karya Umar Kayam yang lain, novel Para Priyayi. Sebagaimana Bawuk, tokoh ini juga sangat cerdas, kreatif dan memiliki kepekaan sosial yang kuat. Tokoh-tokoh ini keluar atau menyempal dari nalar kepriyayian menuju nalar revolusioner dan akhirnya harus menerima konsekuensi terburuk dari nalar tersebut. Dalam bentuk yang berbeda, pada novel Jamangilak Tak Pernah Menangis karya Martin Aleida kita juga menjumpai tokoh-tokoh serupa. Yaitu orang-orang yang memiliki kecerdasan dan standar moral di atas rata-rata yang berani menempuh risiko. Mereka adalah tokoh-tokoh yang memiliki dorongan kuat untuk menegakkan nalar-nya sendiri, yaitu nalar kemanusiaan. Tapi akhirnya mereka harus menghadapi kenyataan bahwa banyak hal yang tak tercakup dalam nalar itu, yaitu suatu kekuatan besar yang berada di luar kendali mereka. Dan ketika sesuatu yang berada di luar jangkauan itu meledak, maka segalanya meluncur ke lorong gelap tanpa ujung. Tapi dari manakah datangnya kekuatan besar yang berada di luar jangkauan itu? Dilihat dari sisi riwayat Soeharto tampak bahwa kekuatan besar itu berakar pada konsepsi perihal totalitas kekuasaan yang hendak ia tegakkan untuk mengatasi segregasi dan polarisasi politik yang berlarut-larut dan sudah berlangsung satu dekade sebelum 1965. Di mata Soeharto, Bung Karno sebagai Pemimpin Besar Revolusi telah terbukti tak sanggup membereskan pertentangan politik yang semakin akut itu. Seperti yang diungkapkan Ben Anderson, sebagai orang Jawa Soeharto percaya pada konsep kekuasaan yang riil dan tak mungkin dibagi-bagi. Pembagian kekuasaan artinya mengurangi jumlah total kekuasaan itu. Hanya dengan pemusatan kekuasaan yang tak terbagi itu segalanya dapat dikontrol. Jumlah total kekuasaan yang riil itu kemudian mengalami personikasi pada aktor tunggal, yaitu sang Raja atau sang Ratu Agung. Konsepsi tersebut sangat berbeda dengan pandangan PKI yang berpijak pada nalar dialektik Barat di mana kekuasaan cenderung dipahami secara abstrak. Yang satu berpijak pada totalitas kekuasaan tradisional yang dihitung secara riil dan yang lain bergerak dalam postulasi kelas yang juga dibayangkan pasti. Yang satu mengambil sumber legitimasi yang tak terbatas sehingga menjadi auratik (bahkan mistis), sementara yang satu bertumpu pada logika material sehingga kekuasaan pun dibayangkan dapat dibagi secara merata kepada siapa saja. Yang satu beroleh personikasinya pada sosok sang Gusti (Ratu Agung) yang lain pada sosok-sosok revolusioner yang mampu menggalang segenap kekuatan kawula untuk beramai-ramai merombak tata sosial yang telah busuk akibat dominasi kuasa kaum borjuis yang dibalut jubah feodal-kolonial. Keduanya seolah tampak berbeda tapi sebenarnya berada dalam nalar yang sama, yaitu postulasi yang dibayangkan pasti. Keduanya sama-sama gampang tergelincir pada totalisme. Tapi bagi orang-orang seperti Hasan, Bawuk, dan Harimurti potensi totalisme semacam itu belum menjadi sesuatu yang nyata. Yang
Makalah Diskusi | September 2012

6
nyata bagi mereka adalah semangat untuk membebaskan orang banyak dari penderitaan dalam bentuk apa pun. Dan pada momen yang sangat menentukan pada tahun 1965 itu telah terjadi benturan hebat antara kekuatan sang Ratu (yang bersarung tangan beludru) dengan kaum revolusioner yang bermimpi merombak tata sosial lama secara radikal. Ternyata pertarungan itu berlangsung tidak seimbang karena sang Ratu disokong oleh negara adidaya (yang saat itu juga sedang mengalami polarisasi besar antara blok Barat dan blok Komunis). Dan seperti yang digambarkan dalam beberapa novel tentang peristiwa 1965 yang terjadi kemudian bukan sekadar pertarungan ideologi melainkan telah menjadi aksi pembasmian besar-besaran. Pembasmian itu kemudian berubah menjadi amuk dalam masyarakat dengan jumlah korban yang spektakuler pula. Itulah kekacauan hebat dan kekerasan brutal yang harus dihadapi oleh para penyeberang. Sebagian di antara mereka ada yang selamat, sebagian terusir ke negeri lain, sebagian dikandaskan di penjara, sebagian hilang tanpa jejak, sebagian yang lain jadi korban tak berdosa. Bahkan ada yang menjadi gila. (Joni Gila, perempuan yang dianggap Gila dalam Kalatidha, dan Srintil dalam Ronggeng Dukuh Paruk). Selama beberapa dekade mereka harus berhadapan dengan stigmatisasi tanpa akhir sebagai paria dan musuh masyarakat. Mesin pembasmi sang Gusti Ratu Agung rupanya bekerja secara efektif dan bengis hingga kini. Mesin itu bahkan telah menjalar dan dan berkembang biak di dalam masyarakat itu sendiri. Tentu, sejarah semacam ini adalah bahan yang tak habis-habis untuk diolah dalam prosa. Perlu dicatat bahwa dalam prosa Indonesia kita menjumpai beberapa tokoh penyeberang yang berusaha meninggalkan dunia lama menuju dunia baru. Dan di antara tokoh-tokoh penyeberang itu, tokoh-tokoh dalam prosa Pramoedya Ananta Toer dapat dikatakan sebagai tokoh-tokoh yang sejak awal disiapkan untuk menjadi berani menghadapi konsekuensi dari nalar-nya sendiri. (Minke, Nyai Ontosoroh, Gadis perawan yang diperistri Bendoro dalam Gadis Pantai). Tokoh-tokoh Pramoedya rata-rata menyeberang dari nalar feodal dan kolonial menuju nalar kebebasan. Bahkan hendak melawan dan menghancurkan nalar feodal-kolonial. Sebagian tokoh-tokoh itu terombang-ambing antara benar-benar menyeberang atau kembali ke rumah lamanya. Dalam novel Atheis karya Achdiat Kartamihardja kita menjumpai tokoh Hasan yang terjebak antara pilihan menjadi Marxis-ateis atau pulang pada agama. Kita juga menemukan tokoh perempuan Yah dalam novel Belenggu atau Tuti dan Maria dalam Layar Terkembang yang hendak menyeberang dari nalar tradisional yang konservatif ke alam kebebasan dunia modern. Tentu, tokoh-tokoh penyeberang ini biasanya memiliki kecerdasan di atas rata-rata dan cenderung liberal. Perlu dicatat pula bahwa salah satu stigma yang dijalankan (Soeharto dan Orde Baru) terhadap orang-orang komunis adalah cap ateis. Dalam Memoar N. Syam, Kisah Pahit Seorang Tahanan G30S PKI, dikisahkan bahwa selama dalam tanahan dia selalu dijejali dengan Santiaji (santi adalah ikrar atau sumpah dan aji adalah pusaka, pegangan atau ilmu) berupa ceramah-ceramah agama dan Pancasila dengan tujuan agar orang-orang komunis bertobat dan kembali kepada agama. Sementara dalam buku Kisah Perjalanan karya Syarkawi Manap, sang penulis menyatakan bahwa dirinya adalah orang religius dan bahkan pernah naik haji melalui Stockholm. Dia mengaku sebagai orang yang taat beragama dan tertarik masuk PKI karena hendak membebaskan rakyat Indonesia dari segala macam belenggu penindasan, membebaskan rakyat dari kemiskinan dan kelaparan. Rupanya stigma ateis ini sangat efektif digunakan untuk menyingkirkan

Makalah Diskusi | September 2012

7
dan menggerus orang komunis atau siapa saja yang dianggap memiliki kecenderungan kekiri-kirian. Dan stigma itu kini telah diambil alih serta dikembangbiakkan oleh kelompok-kelompok masyarakat (beragama) tertentu untuk membasmi bahaya laten komunisme. ***

Korban Tak Berdosa


Beberapa novel yang muncul pada dekade 1980-an mengenai peristiwa 1965 banyak menampilkan tokoh-tokoh cerita korban tak berdosa. Yaitu orang-orang yang tidak tahu apa-apa dan tak ada kaitan langsung dengan PKI. Tentu, mereka bukan kaum penyeberang yang relatif terpelajar dan memiliki kecerdasan di atas rata-rata seperti Bawuk dan Hasan, melainkan orang-orang biasa atau rakyat kecil yang lugu dan polos. Novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari adalah salah satu contoh terbaik dari jenis prosa semacam ini. Di situ kita menjumpai gambaran yang cukup pelik mengenai hubungan antara tradisi ronggeng dalam kehidupan rakyat di sebuah kampung miskin dengan pergumulan politik di tingkat yang paling bawah. Kita menyaksikan bagaimana rentannya manusia di hadapan kekuasaan. Meski strukrur kekuasaan itu tak tampak secara gamblang tapi implikasinya dapat dialami secara riil. Tokoh Srintil yang mempersembahkan dirinya pada dunia ronggeng tergiling dalam khaos politik yang datang seperti kutukan, terempas dalam kekerasan seksual kaum lelaki pembelinya (sebagai personikasi kuasa) dalam bentuk yang paling banal. Srintil tidak sanggup bertahan dan akhirnya menjadi gila. Sementara dalam novel Jalan Bandungan karya NH Dini, kita menjumpai tokoh perempuan bernama Muryati yang harus berjuang menghidupi anakanaknya setelah suaminya Widodo ditahan di pulau Buru. Berbeda dengan Srintil, Muryati kemudian memilih untuk menceraikan diri dengan Widodo karena ia tidak dapat berharap apa-apa dari lelaki itu. Ia jatuh cinta kepada adik Widodo yang bernama Handoko yang setia membantu mengasuh anakanaknya. Novel ini sama sekali tidak berbicara perihal apa dan bagaimana dunia orang komunis dan juga bagaimana peristiwa 1965 berlangsung melainkan berkisah mengenai kehidupan orang-orang yang ikut terkena empasan peristiwa tersebut. Peristiwa 1965 digunakan sebagai latar belakang cerita. Selain dua novel tersebut, pada 20112012 muncul dua novel yaitu Blues Merbabu dan 65 karya Gitanyali. Dua novel ini mengambil perspektif yang agak berbeda, yaitu proses sublimasi atas pengalaman traumatik yang dialami oleh tokoh utamanya yang bernama Gitanyali. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa sublimasi adalah perubahan menuju satu tingkat yang lebih tinggi. Artinya, suatu peristiwa yang traumatik seperti peristiwa 1965 itu tidak boleh disembunyikan atau diingkari tapi harus diangkat ke atas meja bedah lalu dibongkar dengan tujuan untuk melampaui sejarah itu sendiri. Tentu, proses sublimasi biasanya akan sangat menyakitkan. Tapi jika seseorang atau suatu bangsa berhasil melakukannya maka ia akan memperoleh hasil yang setimpal berupa sejarah baru yang lebih terang plus generasi baru yang segar bugar karena telah terbebas dari beban-beban sejarah kelam para pendahulunya. Perlu dicatat bahwa di lapangan seni rupa Indonesia dalam kurun tiga puluh tahun terakhir banyak

Makalah Diskusi | September 2012

muncul karya yang mengangkat tema kekerasan dalam konteks sublimasi. Dalam dua novel karya Gitanyali tersebut proses sublimasi tidak dilakukan dengan cara menceritakan dan membedah seluk-beluk sejarah peristiwa 1965 secara langsung tapi mengalihkan pokok permbicaraan pada kisah hidup Gitanyali sebagai anak seorang PKI. Ia tidak berlarat-larat dengan dosa warisannya melainkan asyik menggembira-gembirakan diri dengan dunia barunya, yaitu dunia modern berikut gaya hidup terkini di alam budaya konsumer. Ia tidak membongkar (atau menelanjangi) sejarah politik dan kekerasan 1965 yang diselubungi kabut ksi (seperti novel Kalatidha) melainkan mengalihkan targetnya ke wilayan lain yakni pada gairah avontur dan perayaan tubuh berikut artikulasi seksualnya. Samarsamar ia tampak seperti tokoh penyeberang dalam bentuknya yang baru dengan warna pemberontakan gaya anak muda gaul. Ia menegaskan: Mengapa orang menjadi komunis? Atau setidaknya simpatisan komunis, bersedia menjadi istrinya? Dugaanku, sebagian besar tidak ada urusan dengan Marxisme. Boleh jadi hanya sebagian kecil yang membaca Marxismetaruhlah yang sebagian kecil itu ayahku. Dia orang perjuangan. Cita-citanya besar... Selebihnya kemungkinan lebih sederhana, karena pada suatu ketika panji-panji itu memenuhi sebagian keinginan psikologis manusia yang kompleks: keinginan untuk menjadi non-konformis di kalangan anakanak muda, keinginan untuk patuh, keinginan untuk memusuhi yang didenisikan sebagai setan, keinginan untuk menjadi berguna, atau bahkan semata-mata keinginan untuk berbaris-baris... Makanya ketika komunisme berlalu tak banyak orang merasa kehilangan. Sama tak pedulinya orang ketika Marxisme makin tak laku. Yang jadi masalah di negeri ini adalah, waktu itu disertai pembunuhan besar-besaran. Setelah itu, tak ada yang merasa bersalah. (65, hlm. 104). Itulah reeksi yang cukup jernih si Gitanyali. Ke mana-mana ia membawa latar belakangnya sebagai anak PKI sembari wira-wiri dari kenangan tentang bioskop Rex di kota kecil lereng gunung Merbabu hingga kisahkisah petualangannya ke Bali, Kowloon-Hongkong, Bangkok, London, keluar masuk hotel dan pusat-pusat perbelanjaan, mencecap seni di galerigaleri paling keren, dan tentu tak lupa hinggap dari perempuan yang satu ke perempuan yang lain. Memori dan stigma atas peristiwa 1965 hadir sebagai kolase di antara kisah perjalanan yang ditulis dengan gaya pop. Rupanya ia tak terbebani oleh stigma dan memori sejarah masa silam yang oleh banyak orang dianggap traumatik itu. Ia tidak membedah sejarah dalam kilatankalatan ideologis pembentuknya melainkan beralih pada perayaan kilatan-kilatan lampu gaya hidup terkini di kota-kota metropolitan dunia. Sesekali ia memang kembali ke masa silamnya di kampung tapi hal itu ia perlakukan sebagai suatu kenikmatan tersendiri sebagaimana ia menikmati sensasi dunia metropolitan itu. Kilasan-kilasan sejarah yang ia alami di masa silam ditampilkan sebagai serakan atau potongan-potongan acak sebagaimana kolase dunia etalase di alam budaya konsumer yang memang sering tampak acak dan tanpa pola. Begitu juga ketika ia hinggap dari perempuan yang satu ke perempuan yang lain. (Tentu tur keintiman seksual ini tak selalu berkorelasi langsung dengan kilasan-kilasan memori tentang peristiwa 1965 yang hadir secara sepotong-sepotong itu, tapi juga dilatari oleh pengalaman yang lebih spesik ketika dikeloni bibinya ketika ia masih remaja). Semuanya dirangkai dalam catatan-catatan personal yang terkadang tampak seperti timbunan kisah dan ulasan pengalaman-pengalaman.

Makalah Diskusi | September 2012

Kadang tampak seperti fragmen-fragmen. Tak ada yang utuh bulat di situ. Itulah proses sublimasi atas stigma dan pengalaman traumatik di masa silam dengan cara mengalihkan sasaran pada nalar fragmen alam budaya konsumer. Pendekatan ini dapat dikatakan baru dalam prosa berlatar peristiwa 1965. *** Membaca novel-novel berlatar peristiwa 1965 saya merasakan empati yang kuat terhadap para korban peristiwa tersebut. Dalam batin para pengarangnya ada semacam persetujuan atas nalar yang dijalankan oleh para penyeberang. Tentu, ada jenis penyeberang yang memang secara sadar pengambil pilihan itu. Biasanya mereka adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar serta memiliki kualitas intelektual tertentu. Lainnya adalah orang-orang biasa yang tiba-tiba terjebak dalam situasi tanpa pilihan. Mereka berada di situ bukan karena pilihannya melainkan oleh sebab-sebab yang bahkan tidak mereka mengerti sama sekali. Dua jenis penyeberang itu hingga kini terus berusaha menjernihkan kabut di tengah berlangsung sirkus pemksian atas fakta-fakta dari sejarah yang pernah mereka alami. Masyarakat pembaca yang berada di luar peristiwa juga belum dapat keluar dari pusaran kabut itu. Sebagian dapat memulai dengan menimbang berbagai deskripsi kesaksian para korban dan kisah-kisah personal yang kadang terasa lebih menggetarkan ketimbang prosa mengenai peristiwa yang sama. Tapi ketidakjelasan batas antara fakta dan ksi dapat menjadi kutukan dan juga sekaligus berkah. Kutukan karena orang nyaris tak dapat beranjak dari determinisme sejarah yang menjebaknya dan berkah karena dalam pusaran kabut itu justru terbuka kemungkinan yang nyaris tak terbatas untuk melakukan produksi dan reproduksi fakta-fakta baru pula. Kita telah menyaksikan sebagian kisah beberapa penyeberang yang ludes oleh peristiwa atau mereka yang mencoba tidak menyerah dengan caranya sendiri. Kita juga mendapatkan gambaran mengenai kerapuhan manusia di hadapan sejarah kekuasaan dan kekerasan, juga upaya untuk menerima kerapuhan itu sembari mencoba melakukan sublimasi dengan merayakan dalam nalar fragmentatif dunia modern di alam budaya konsumer. Tapi apa pun jalur yang ditempuh, teks-teks berlatar peristiwa 1965 akan menjadi sangat politis karena langsung atau tidak langsung ia akan menyentuh wajah paling nyata dari apa yang disebut kekuasaan, termasuk kekuasaan yang terus berusaha menghapus dasar pijakan di mana suatu sejarah dapat menguji kebenarannya sendiri. Beranjak dari pusaran kabut dan menyeberang menuju nalar kebebasan memang tidak selalu gampang, bahkan kadang harus ditempuh dengan lumuran darah.

Jl. Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12520 Indonesia t: +62 21 7891202 f:+62 21 7818849 www.salihara.org Makalah Diskusi | September 2012

You might also like