You are on page 1of 17

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bakteri merupakan agen etiologi utama untuk penyakit pulpa dan perirradicular (Nair, 1990). Oleh karena itu, penghapusan infeksi saluran akar diperlukan untuk keberhasilan dalam perawatan endodontik. Namun, perawatan saluran akar, mungkin gagal karena bakteri yang hidup di dalam saluran akar memiliki resitensi tinggi terhadap pengobatan (Molander, 1998). Enterococcus faecalis adalah mikro - organisme yang dapat bertahan lingkungan yang ekstrim . E. faecalis telah menunjukkan resistensi yang tinggi (Sedgley, 2004) dan kemampuan untuk menonaktifkan agen antimikroba (Portenier, 2002) kapasitas bertahan hidup dalam lingkungan yang keras, dengan pasokan langka nutrisi dan basa pH ekstrim (Stuart, 2006) dan kapasitas untuk pertumbuhan sebagai biofilm pada saluran akar dinding (Sedgley, 2006). Oleh karena itu, beberapa penelitian laboratorium telah dilakukan untuk menguji kerentanan E. faecalis prosedur endodontik. Beberapa solusi irigasi dapat digunakan selama persiapan

kemomekanis dari saluran akar yang terinfeksi, untuk meningkatkan eliminasi bakteri dan memfasilitasi penghapusan jaringan pulpa nekrotik dan keripik dentin dari saluran akar. Natrium hipoklorit (NaOCl) adalah solusi irigasi paling populer. Halogenasi senyawa ini merupakan jaringan yang sangat baik pelarut untuk jaringan pulpa vital dan nekrotik, menampilkan sebuah aktivitas antimikroba yang efektif (Sassone, 2003). Namun, sitotoksik untuk jaringan periapikal terutama pada konsentrasi tinggi. Klorheksidin diglukonat (CHX) juga telah direkomendasikan sebagai irrigant saluran akar dan obat (Dametto, 2005)., untuk spektrum yang luas ampuh kerjanya antimikroba (Sassone, 2003; Vianna, 2009), substantivitas dan biokompatibilitas tinggi (Dametto, 2005).

1.2 Tujuan penulisan Adapun tujuan dari penulisan makalah ini antara lain : a. Memberikan informasi tentang virulensi bakteri E. faecalis b. Memberikan informasi tentang resistensi E. faecalis terhadap microbial agent c. Memberikan informasi terkait keefektifan sodium hipoklorit dan chlorexidine sebagai obat anti mikrobial pada saluran akar.

1.3 Tujuan penulisan Manfaat dari penulisan makalah ini antara lain : a. Pembaca dapat mengetahui informasi tentang virulensi bakteri E. faecalis, serta kaitannya dengan pemberian anti microbial sodium hipoklorit dan chlorexidine b. Diharapakan pembaca dapat mengembangkan ilmu dalam bidang endodontic dalam perawatan saluran akar.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Sodium Hypochlorite (NaOCl) Irigasi saluran akar merupakan tahapan penting dalam menunjang keberhasilan perawatan saluran akar, hal ini merupakan salah satu dari prinsip perawatan endodontik yaitu triad endodontic treatment. (Tanumihardja, 2010) Pada saat instrumentasi dan pembersihan saluran akar dibutuhkan larutan irigasi untuk membersihkan dan mengangkat jaringan pulpa nekrotik dan debris dentin dari saluran akar. (Clarkson, 2001) Larutan irigasi diharapkan memiliki sifat: 1. Spektrum antimikroba yang luas 2. Mampu melarutkan sisa sisa jaringan pulpa nekrotik 3. Mampu menon-aktifkan endotoksin 4. Harus bersifat non-toksik terhadap jaringan 5. Berpotensi kecil menyebabkan reaksi anafilaktik.(Kunjai, 2007) Larutan irigasi yang telah banyak digunakan adalah Sodium hypochlorite (NaOCl). Sodium hypochlorite merupakan bahan pemutih rumah tangga misalnya Clorox atau purex. (Grossman, 1995) Sodium hypochlorite (NaOCl) dikenal dengan aktivitas antibakteri yang kuat, dapat membunuh bakteri dengan sangat cepat walaupun dalam konsentrasi yang rendah. Penelitian terhadap bakteri anaerob gram negatif seperti

Porphyromonas gingivalis, Porphyromonas endodontalis dan Prevotella intermedia menunjukkan kerentanan terhadap NaOCl. (Ingle J, 2008) Sodium hypochlorite (NaOCl) secara tradisional di produksi dengan mendidihkan gas chlorine dan larutan sodium hydroxide (NaOH), menghasilkan Sodium Hypochlorite (NaOCl), garam (NaCl),dan air (H2O). (Clarkson RM,1998)

Cl2 + 2NaOH NaOCl + NaCl+H2O

2.1.1 Mekanisme Sodium Hypochlorite (NaOCl): Tindakan NaOCl sebagai bahan pelarut organik dan lemak, mengubah asam lemak menjadi garam asam lemak / sabun (fatty acid salts) dan gliserol (alkohol) yang akan mengurangi tegangan permukaan yang akan memudahkan pelepasan debris dari dinding saluran akar. (Kunjai, 2007)

Gambar 1: Skema reaksi saponifikasi. Sumber: Review on common root canal irrigants (Journal of dental science) NaOCl menetralkan asam amino membentuk air dan garam dengan mengeluarkan ion hidroksil, sehingga terjadi penurunan pH

Gambar 2: Skema reaksi netralisasi Sumber: Review on common root canal irrigants (Journal of dental science) Asam hipoklorit merupakan substansi yang terdapat pada larutan

hipoklorit, ketika kontak dengan bahan organik pada jaringan dapat melarutkan dan melepaskan klorin, yang mana akan terkombinasi dengan protein amino membentuk kloramin. Reaksi kloramin terjadi antara klorin dan gugus amino (NH) membentuk kloramin yang akan mengganggu metabolism sel. Klorin mempunyai aksi antimikroba dan menghambat enzim bakteri. Merusak sintesis DNA dan menghidrolisis asam amino. (Kunjai, 2007)

Gambar 3: Skema reaksi kloraminisasi Sumber: Review on common root canal irrigants (Journal of dental science)

Secara umum mekanisme Sodium Hypochlorite (NaOCl) dalam melakukan perusakan bakteri terjadi dalam dua fase: (1) penetrasi ke dalam sel bakteri dan (2) kombinasi kimiawi dengan protoplasma sel bakteri. (Grossman,1995)

2.1.2 Konsentrasi Sodium Hypochlorite (NaOCl):

Terdapat

berbagai

macam

konsentrasi

larutan

irigasi

Sodium

hypochlorite (NaOCl) yang digunakan dalam melakukan perawatan saluran akar. Berbagai macam konsentrasi NaOCl mulai dari 0,5 5,25%. Konsentrasi yang lebih tinggi akan memiliki efek antimikroba dan menghancurkan jaringan (toksik terhadap jaringan). Sodium hypochlorite (NaOCl) 5,25% memiliki bau yang tidak enak dan bau ini akan berkurang jika konsentrasi dikurangi. Berdasarkan penelitian (in vitro), memperlihatkan bahwa NaOCl 1% cukup untuk melarutkan jaringan pulpa. Walaupun larutan konsentrasi rendah, tetapi memberikan efek anti mikroba yang kuat. (Mohammadi Z, 2008) Penelitian in vivo menunjukkan larutan sodium hipoklorit 2,5% yang ditahan selama 5 menit dalam saluran akar mampu membuat saluran akar menjadi steril.

(Tanumihardja, 2010)

2.1.3 Aktivitas antibakteri Sodium hypochlorite (NaOCl)

Keefektifan NaOCl dalam melawan Enterococcus faecialis secara in vitro dilaporkan bahwa secara signifikan larutan tersebut lebih efektif daripada larutan salin. Efek antibakteri NaOCl 4% dan NaOCl 2,5% secara signifikan lebih baik dibanding agen lain. (Mohammadi Z, 2008)

Gambar 4 : Bacterial biofilm pada saluran akar 5

(Sumber : Jurnal endodontic Elsavier http://www.sciencedirect.com /science)

Telah dievaluasi keefektifan NaOCl dalam melawan monokultur biofilm pada saluran akar termasuk P.intermedia, Peptostreptococcus miros,

Streptococcus intermedius, F. Nucleatum, E.Faecialis. Hasilnya menunjukkan bahwa NaOCl memiliki sifat anti bakteri yang efektif. (Mohammadi Z, 2008)

2.1.4 Efek Sodium hypochlorite (NaOCl):

Sebagai larutan irigasi dalam endodontik, larutan Sodium hypochlorite (NaOCl) relatif cukup murah, memiliki sifat bakterisidal dan virusidal, dapat melarutkan protein, memiliki visikositas yang rendah. (Clarkson, 2001)

Namun dibalik keuntungan tersebut, terdapat pula kerugian dari larutan Sodium Hypochlorite, yaitu: Tokisitas NaOCl. Sodium hypochlorite (NaOCl) mempunyai pH sekitar 11-12 dan

ketika hypochlorite berkontak dalam waktu yang singkat dengan protein jaringan, nitrogen, formaldehid, dan asetaldehid dan rantai peptida rusak sebagai akibat rusaknya protein. Selama proses, hidrogen pada gugus amina (HN-) digantikan dengan chlorine (-NCl-) dengan demikian terbentuk kloramin, yang mempunyai peran penting terhadap efek antimikroba. Sebagai akibatnya Sodium hypochlorite (NaOCl) memiliki toksisitas tinggi pada

konsentrasi yang tinggi dan cenderung mengiritasi jaringan saat berkontak. Efek terhadap instrumen endodontik. Jika Nikel - Titanium (NiTi) berkontak dengan larutan NaOCl ketika dilakukan instrumentasi, maka dapat menyebabkan munculnya korosi. Hal tersebut dikarenakan NaOCl memiliki sifat korosif terhadap logam termasuk nikel.

2.1.5 Komplikasi Sodium hypochlorite (NaOCl): a. Sebagian besar komplikasi penggunaan Sodium hypochlorite (NaOCl) muncul sebagai akibat dari kesalahan injeksi yang dapat menimbulkan reaksi jaringan seperti pembengkakan, sakit, haemorrhage, dan dalam beberapa kasus dapat menyebabkan infeksi sekunder bahkan parastesia. b. Kerusakan mata : Jika larutan irigasi berkontak dengan mata pasien atau operator makan akan menyebabkan rasa sakit secara tiba-tiba, rasa terbakar, erytheme serta kerusakan sel epitel pada lapisan terluar dari kornea dapat terjadi. c. Reaksi Alergi : Dapat terjadi reaksi hipersensitivitas terhadap sodium hyperchlorite. Pada pasien yang memiliki alergi terhadap bahan tersebut, akan mengalami rasa sakit dan sensasi terbakar, dalam beberapa detik bibir dan pipi menjadi bengkak serta ecchymosis dan pendarahan pada saluran akar. (Mohammadi Z, 2008)

2.2 Chlorhexidine Chlorhexidine (CHX) mulai dikenal sejak tahun 1950 sebagai antimikroba dengan rumus kimia:

Gambar 3. Struktur senyawa chlorhexidine (Bajaj, 2011) CHX merupakan antiseptik golongan bisguanida yang mempunyai spektrum yang luas dan bersifat bakterisid. CHX menyerang bakteri-bakteri gram positif dan gram negatif, bakteri ragi, jamur, protozoa, alga dan virus. (Bajaj, 2011) CHX juga tidak dilaporkan memiliki bahaya terhadap pembentukan substansi karsinogenik. CHX sangat sedikit diserap oleh saluran gastrointestinal, oleh karena itu CHX memiliki toksisitas yang rendah. Namun demikian, CHX memberikan efek samping berupa rasa yang tidak enak, mengganggu sensasi rasa, dan menghasilkan warna coklat pada gigi yang susah disingkirkan. Hal ini juga dapat terjadi pada mukosa membran dan lidah yang dihubungkan dengan pengendapan faktor diet

chromogenic pada gigi dan membran mukosa. Penggunaan jangka panjang dari CHX sebaiknya dilarang pada pasien dengan keadaan periodontal yang normal. CHX digunakan dalam jangka waktu yang pendek hingga dua minggu ketika prosedur higiena oral sukar atau tidak mungkin dilakukan. Seperti pada infeksi rongga mulut akut, dan setelah prosedur bedah rongga mulut. (Bajaj, 2011)

2.2.1 Peranan chlorhexidine (CHX) dalam menghambat E. faecalis CHX telah terbukti dapat mengikat bakteri, hal ini dimungkinkan karena adanya interaksi antara muatan-muatan positif dari molekul-molekul CHX dan dinding sel yang bermuatan negatif. Interaksi ini akan meningkatkan permeabilitas dinding sel bakteri yang menyebabkan membran sel ruptur, terjadinya kebocoran sitoplasma, penetrasi ke dalam sitoplasma, dan pada akhirnya menyebabkan kematian pada mikroorganisme. (Jarral, 2008)

2.3. Enterococcus Faecalis

E. faecalis merupakan bakteri nonmotile, anaerob fakultatif. E. faecalis memfermentasikan glukosa tanpa memproduksi gas, dan tidak menghasilkan reaksi katalase dengan hidrogen peroksida (Stuart et al. 2006). Enterococcus faecalis merupakan bakteri penghuni saluran pencernaan, rongga mulut, dan vagina pada manusia sebagai flora komensal normal. Mereka dapat menyebabkan berbagai macam penyakit pada manusia, menginfeksi saluran kemih, aliran darah, endokardium, perut, empedu saluran, luka bakar, dan bagian tubuh yang dipasangi peralatan asing. Enterococci menempati peringkat teratas di antara tiga nosocomial bakteri patogen (Richards et al, 2000; Wisplinghoff et al, 2003), dan strain yang resisten terhadap antibiotik yang tersedia saat ini menimbulkan kesulitan terapi. (Hunt, 1998). Enterococci terlibat dalam infeksi endodontik. Meskipun Enterococci hanya sebagian kecil dari flora normal pada gigi dengan pulpa nekrotik yang tidak diobati (Sundqvist, 1992), khususnya E. faecalis, telah sering ditemukan pada saluran akar diobturasi menunjukkan tanda-tanda periodontitis apikal kronis, terisolasi di 23 - 70% dari kultur positif (Mller, 1966; Molander et al, 1998;. Sundqvist et al, 1998;. Peciuliene et al,. 2000;. Hancock et al, 2001) dan sering terjadi pada monokultur

(Sundqvist et al, 1998;. Dahlen dkk, 2000;. Peciuliene et al,. 2000; Hancock et al, 2001).. Selain itu, E. faecalis berada di antara sekelompok bakteri yang dikultur dari lesi periapikal refrakter terhadap perawatan endodontik (Sunde dkk., 2002).

2.3.1 Karakteristik E. Faecalis

Enterococci adalah kokus gram positif yang dapat hidup secara tunggal, berpasangan, atau rantai pendek. Enterococci adalah bakteri anaerob fakultatif, yang memiliki kemampuan untuk tumbuh di hadapan atau tidak adanya oksigen. Spesies Enterococcus hidup dalam jumlah besar dalam lumen usus manusia dan dalam keadaan tidak membahayakan inang. Mereka dapat hidup dalam saluran kelamin manusia wanita dan rongga mulut dalam jumlah yang lebih kecil (Fischetti, 1996). Mereka dapat mengkatabolis berbagai sumber energi termasuk karbohidrat, gliserol, laktat, malat, sitrat, arginin, agmatine, dan asam keto. Enterococci dapat bertahan hidup lingkungan yang sangat tidak kondusif, termasuk di lingkungan dengan pH basa yang ekstrim dan konsentrasi garam . Mereka menolak garam empedu, deterjen, logam berat, etanol, azida, dan pengeringan (Emori, 1993). Mereka bisa tumbuh di kisaran 10 sampai 45 C dan bertahan suhu 60 C selama 30 menit.

E. faecalis merupakan penghuni normal dari rongga mulut. Prevalensi E. faecalis meningkat pada sampel pasien yang menlakukan pengobatan awal endodontik, mereka tengah melalui pengobatan, dan pasien menerima penafsiran endodontik bila dibandingkan dengan mereka yang ada sejarah endodontik (Clewell et al, 1990). E. faecalis dikaitkan dengan berbagai bentuk penyakit periradikuler termasuk infeksi endodontik primer dan infeksi persisten (Engvall, 1980). Dalam kategori endodontik primer infeksi, E. faecalis dikaitkan dengan periradikuler kronis tanpa gejala lesi signifikan lebih sering daripada dengan periradikuler akut periodontitis atau abses periradikuler akut. E. faecalis ditemukan dalam 4 sampai 40% dari infeksi endodontik primer.

2.3.2 Fisiologi Enterococcus Faecalis pada saluran akar

Pada umumnya, penyebab utama dari kegagalan endodontik adalah kelangsungan hidup mikroorganisme di bagian apical akar gigi. Tidak seperti infeksi 9

endodontik primer, yang polimikrobial di alam dan didominasi oleh batang anaerob gram negatif, mikroorganisme yang terlibat pada infeksi sekunder terdiri dari satu atau beberapa spesies bakteri . Enterococcus faecalis adalah organisme yang menetap, meskipun hanya sebagian kecil dari flora di saluran yang tidak diobati, namun memainkan peran utama dalam etiologi persisten lesi periradikuler setelah perawatan saluran akar. (Alberti, 1995). Enterococci dapat menahan kondisi lingkungan yang tidak kondusif . Sebagai awalnya didefinisikan oleh Sherman ( 1937), enterococci dapat tumbuh pada 10 C dan 45 C , pada pH 9,6 , di 6,5 % broth NaCl , dan bertahan pada suhu 60 C selama 30 menit . E. faecalis dapat beradaptasi dengan kondisi buruk, antara lain : Setelah pra - paparan kondisi stres subletal , E. faecalis menjadi kurang sensitif terhadap tingkat normal mematikan natrium sulfat dodesil , garam empedu , hyperosmolarity , panas , etanol , hidrogen peroksida , keasaman , dan alkalinitas ( Flahaut et al . , 1996a , b , c , 1997) . E. faecalis yang kekurangan nutrisi dapat mempertahankan kelangsungan hidup mereka untuk waktu yang lama dan menjadi resisten terhadap radiasi UV , panas , natrium hipoklorit , hydrogen peroksida , etanol , dan asam ( Giard et al , 1996; . . Hartke et al , 1998) . Kemampuan E. faecalis untuk mentolerir atau beradaptasi dengan lingkungan yang tidak kondusif dapat merupakanckeuntungan atas spesies lain. Ini mungkin menjelaskan kelangsungan hidupnya pada infeksi saluran akar , di mana nutrisi yang langka dan ada keterbatasan ruang gerak untuk menghindar dari obat-obat saluran akar. Hasil penelusuran terhadap literatur untuk faktor virulensi E. faecalis, yang mungkin berhubungan dengan kolonisasi tuan rumah, kompetisi dengan bakteri lain, perlawanan terhadap mekanisme pertahanan tuan rumah, dan produksi perubahan patologis langsung melalui produksi racun atau tidak langsung melalui induksi peradangan. Faktor yang paling ekstensif dipelajari adalah: agregasi substansi, adhesins permukaan, jenis kelamin feromon, asam lipoteikoat, superoksida ekstraseluler, gelatinase, hialuronidase, dan cytolysin (hemolisin). (Kayaoglu, 2004)

10

BAB III KERANGKA KONSEP

11

BAB IV PEMBAHASAN

Sodium hipoklorit (NaOCl) dan chlorhexidine (CHX) telah banyak diteliti dan digunakan sebagai agen antimikroba untuk pengobatan saluran akar. Obat-obatan ini memiliki zat kimia yang bertanggung jawab atas hasil perawatan endodontik yang berbeda. Variasi ini terjadi mungkin karena perbedaan dalam metodologi, indikator biologis, konsentrasi, waktu pemaparan, potensi yang berbeda perbedaan anatomis dan perlakuan antara pasien. Keberhasilan perawatan endodontik sangat erat kaitannya dengan kontrol mikroorganisme di dalam saluran akar. Beberapa bahan kimia telah diteliti sebagai bahan irigasi yang digunakan dalam pengobatan saluran akar yang terinfeksi. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa NaOCl dan CHX memiliki keefektifan yang sama dalam melawan bakteri E. faecalis pada saluran akar gigi. Namun beberapa penelitian juga menyatakan bahwa NaOCl bekerja lebih baik daripada CHX, dan beberapa penelitian lain menyatakan sebaliknya, yaitu CHX lebih efektif dalam melawan bakteri E. faecalis daripada NaOCl. Baru-baru ini, itu menunjukkan dalam model E. faecalis biofilm dalam saluran akar manusia bahwa air ozonated, 2,5% NaOCl, 2% CHX dan penerapan ozon gas untuk 20 menit tidak cukup untuk menonaktifkan E. faecalis. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh perbedaan metodologi eksperimental, konsentrasi, cara memberikan cairan, dan perbedaan anatomi saluran akar pada pasien atau periode waktu yang digunakan dalam analisis. Chlorhexidine telah terbukti dapat mengikat bakteri, hal ini karena adanya interaksi antara muatan-muatan positif dari molekul-molekul Chlorhexidine dan dinding sel yang bermuatan negatif. Interaksi ini akan meningkatkan permeabilitas dinding sel bakteri yang dapat meningkatkan pengendapan protein sitoplasma, mengubah keseimbangan osmotik seluler, mengganggu metabolisme, pertumbuhan dan pembelahan sel bakteri sehingga dinding sel Enterococcus faecalis dapat rusak lisis dan mati. Terdapat tiga reaksi mekanisme aksi Sodium Hypochlorite (NaOCL) dalam mematikan bakteri pada saluran akar, yaitu reaksi saponifikasi, reaksi netralisasi dan 12

reaksi kloraminasi. Pada reaksi saponifikasi tindakan NaOCl sebagai bahan pelarut organik dan lemak, mengubah asam lemak menjadi garam asam lemak / sabun (fatty acid salts) dan gliserol (alkohol) yang akan mengurangi tegangan permukaan yang akan memudahkan pelepasan debris dari dinding saluran akar. Dilanjutkan dengan Reaksi netralisasi yaitu tindakan NaOCl menetralkan asam amino membentuk air dan garam dengan mengeluarkan ion hidroksil, sehingga terjadi penurunan pH. Ketiga, reaksi kloraminasi yaitu asam hipoklorit merupakan substansi yang terdapat pada larutan hipoklorit, ketika kontak dengan bahan organik pada jaringan dapat melarutkan dan melepaskan klorin, yang mana akan terkombinasi dengan protein amino membentuk kloramin. Setelah itu, reaksi kloramin terjadi antara klorin dan gugus amino (NH) membentuk kloramin yang akan mengganggu metabolism sel. Klorin mempunyai aksi antimikroba dan sintesis DNA dan menghidrolisis asam amino. Kesulitan dalam membandingkan penelitian dalam pengembangan ilmu saat ini adalah karena adanya berbagai macam metodologi dengan desain penelitian yang berbeda, standarisasi batas persiapan, dan teknik persiapan, standarisasi jenis gigi dan ukuran sampel, waktu perawatan endodontik awal dalam kasus infeksi sekunder, kontrol kualitas dari cairan irigasi dan variasi konsentrasinya, kriteria untuk mendeteksi lesi periapikal, dan data penting lainnya. Aspek pertama yang harus dipertimbangkan adalah terkait dengan bakteri lokasi. Jika bakteri terletak hanya pada permukaan saluran akar, dimana obat-obatan intrakanal bisa mencapai, NaOCl dan CHX dapat hadir efikasi terhadap E. faecalis. Namun, ketika bakteri yang bersarang di dalam tubulus dentin atau lapisan dalam, E. faecalis dapat lebih tahan terhadap peranantibakteri dari NaOCl dan CHX. menghambat enzim bakteri. Merusak

13

BAB V PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Obat-obat antibakteri, yang diberikan pada saluran akar, memiliki zat kimia yang bertanggung jawab atas hasil perawatan endodontik yang berbeda. Variasi ini terjadi mungkin karena perbedaan dalam metodologi, indikator biologis, konsentrasi, waktu pemaparan, potensi yang berbeda perbedaan anatomis dan perlakuan antara pasien.

14

DAFTAR PUSTAKA

1.

Sundqvist G (1992). Associations between microbial species in dental root canal infections. Oral Microbiol Immunol 7:257-262.

2.

Mller J (1966). Microbiological examination of root canals and periapical tissues of human teeth. Odontol Tidskr 74:1-380. Molander A, Reit C, Dahln G, Kvist T (1998). Microbiological status of root-filled teeth with apical periodontitis. Int Endod J 31:1-7.

3.

Sundqvist G, Figdor D, Persson S, Sjgren U (1998). Microbiologic analysis of teeth with failed endodontic treatment and the outcome of conservative re-treatment. Oral Surg Oral Med Oral Pathol 85:86-93.

4.

Peciuliene V, Balciuniene I, Eriksen HM, Haapasalo M (2000). Isolation of Enterococcus faecalis in previously root-filled canals in a Lithuanian population. J Endod 26:593-595.

5.

Hancock HH, Sigurdsson A, Trope M, Moiseiwitsch J (2001). Bacteria isolated after unsuccessful endodontic treatment in a North American population. Oral Surg Oral Med Oral Pathol 91:579-586

6.

Sunde PT, Olsen I, Debelian GJ, Tronstad L (2002). Microbiota of periapical lesions refractory to endodontic therapy. J Endod 28:304-310.

7. 8.

Sherman JM (1937). The streptococci. Bacteriol Rev 1:3-97. Stuart, C. H., Schwartz, S. A., Becson, T. J., Owatz, C. B., 2006, Enterococcus faecalisIts Role in Root Canal Treatment Failure and Current Concept in Retreatment, JOE, Vol 32 (2) : 93-96.

9.

Dametto FR, Ferraz CCR, Gomes BPFA, Zaia AA, Teixeira FB, Souza-Filho FJ. In vitro assessment of the immediate and prolonged antimicrobial action of chlorhexidine gel as an endodontic irrigant against Enterococcus faecalis. Oral Surg Oral Med Oral Pathol. 2005;99:768-72.

10. Vianna ME, Gomes BPFA. Efficacy of sodium hypochlorite combined with chlorhexidine against Enterococcus faecalis in vitro. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod. 2009;107:585-9. 11. Sassone LM, Fidel R, Fidel S, Vieira M, Hirata Jr R. The influence of organic load on the antimicrobial activity of different concentrations of NaOCl and chlorhexidine in vitro. Intl Endod J. 2003;36:848-52 12. Nair PNR, Sjgren U, Krey G, Kahnberg K-E, Sundqvist G. Intraradicular bacteria and fungi in root-filled, asymptomatic human teeth with therapy-resistant periapical lesions: a long-term light and electron microscopy follow-up study. J Endod. 1990;16:580-8. 13. Sedgley CM, Lennan SL, Clewell DB. Prevalence, phenotype and genotype of oral Enterococci. Oral Microbiol Immunol. 2004;19:95-101.

15

14. Portenier I, Haapasalo H, Orstavik D, Yamauchi M, Haapasalo M. Inactivation of the antibacterial activity of iodine, potassium iodide and chlorhexidine digluconato against Enterococcus faecalis by dentin, dentin matrix, type-I collagen, and heat-killed microbial whole cells. J Endod. 2002;28:634-7. 15. Sedgley C, Nagel A, Dahln G, Reit C, Molander A. Real-time quantitative polymerase chain reaction and culture analyses of Enterococcus faecalis in root canals. J Endod. 2006;32:173-7. 16. Clarkson RM, Moule AJ, Podlich HM. The shelf-life of sodium hypochlorite irrigating solutions. Australian Dental Journal;2001: (46). pp. 269 76. Available from : http://www.ada.org.au/App_CmsLib/Media/ Lib/0611/M30618_v1_632980754945011250.pdf. (Accessed November 16th 2013)

17. Tanumihardja M. Larutan irigasi saluran akar. Jurnal kedokteran gigi dentofasial; 2010: 9(2). Hal. 25 9

18. Kunjai S, Shah S. Review on common root canal irrigants. Journal of dental science; 2007: 2(2). pp.27-31. Available from: http://www.ddu.ac.in/ academics/fds/wpcontent/uploads/2010/12/6.REVIEW-ON-COMMON-ROOT-CANAL-IRRIGANTS.pdf. (Accessed November 18th 2013)

19. Grossman. Ilmu endodontic dalam praktek.ed.11.Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1995. hal.206

20. Mohammadi Z. Sodium hypochlorite in endodontics: an update review. International Dental Journal;2008 : 58. pp.329-41. Available from: http://www.angelofreireendodontia.com.br/cms_wp/wp-content/uploads/ 2010/08/Sodiumhypochlorite-in-endodontics.pdf. (Accessed November 16th 2013)

21. Bajaj, N., Tandon, S., 2011. The Effect of Triphala and Chlorhexidine Mouthwash on Dental Plaque, Gingival Inflammation and Microbial Growth. International Journal of Ayurveda Research. 2 (1) 29-41. 22. Jarral, O.A., McCormack, D.J., Ibrahim, S., Shipolini, A.R., 2008. Should surgeons scrub with chlorhexidine or iodine prior to surgery?. Interactive CardioVascular and Thoracic Surgery 12 (11) 10171021. 23. Emori, T. G., and R. P. Gaynes. 1993. An overview of nosocomial infections, including the role of the microbiology laboratory. Clin. Microbiol. Rev. 6:428 442. 24. Fischetti, V. A. 1996. Gram-positive commensal bacteria deliver antigens to elicit mucosal and systemic immunity. ASM News 62:405410. 25. Aliberti, L. C. 1995. Enterococcal nosocomial infection: epidemiology and practice. Gastroenterol. Nursing 18:177181. 26. Engvall, E. 1980. Enzyme immunoassay, ELISA and EMIT. Methods Enzymol. 70:419439.

16

Ike, Y., D. B. Clewell, R. A. Segarra, and M. S. Gilmore. 1990. Genetic analysis of the pAD1 hemolysin/bacteriocin determinant in Enterococcus faecalis: Tn917 insertional mutagenesis and cloning. J. Bacteriol. 172:155163.

17

You might also like