You are on page 1of 9

Kondisi maloklusi lebih banyak diakibatkan oleh faktor genetik yang mengakibatkan ketidakseimbangan antara ukuran rahang dengan

ukuran gigi secara keselurahan.2 Namun dalam hal ini faktor lokal juga mempengaruhi etiologi dari maloklusi.1 1.2.1. Faktor herediter Pada populasi primitif yang terisolasi jarang dijumpai maloklusi yang berupa disproporsi ukuran rahang dan gigi sedangkan relasi rahangnya menunjukan relasi yang sama. Pada populasi modern lebih sering ditemukan maloklusi daripada populasi primitif sehingga diduga karena adanya kawin campur menyebabkan peningkatan prevalensi maloklusi. Cara yang lebih baik untuk mempelajari pengaruh herediter adalah dengan mempelajari anak kembar monozigot yang hidup pada lingkungan yang sama. Suatu penelitian menyimpulkan bahwa 40 persen variasi dental dan fasial dipengaruhi faktor heriditer sedangkan penelitian yang lain menyimpulkan bahwa karakter skeletal kraniofacial sangat dipengaruhi oleh faktor heriditer sedangkan pengaruh heriditer terhadap gigi rendah. Pengaruh heriditer dapat bermanifestasi dalam dua hal, yaitu 1) disproporsi ukuran gigi dan ukuran rahang yang menghasilkan maloklusi berupa gigi berdesakan atau maloklusi berupa diastema multipel meskipun yang terakhir ini jarang dijumpai, 2) disproporsi ukuran, posisi dan bentuk rahang atas dan rahang bawah yang menghasilkan relasi rahang yang tidak harmonis. Dimensi kraniofacial, ukuran dan jumlah gigi sangat dipengaruhi faktor genetik sedangkan ukuran dan jumlah gigi sangat dioengaruhi faktor genetik sedangkan dimensi lengkung geligi dipengaruhi oleh faktor lokal. Urutan pengaruh genetik pada skelet yang paling tinggi adalah mandibula yang prognatik, muka yang panjang serta adanya deformitas muka. Menurut Mossey (1999) berbagai komponen ikut menentukan terjadinya oklusi normal ialah : 1) ukuran maksila dan mandibula termasuk ramus dan

korpus 2) faktor yang ikut mempengaruhi relasi maksila dan mandibula seperti basis kranial dan lingkungan 3) jumlah, ukuran dan morfologi gigi 4) morfologi dan sifat jaringan lunak (bibir,lidah,dan pipi). Kelainan pada komponen tersebut serta interaksinya dapat menyebabkan maloklusi. Implikasi klinis suatu maloklusi yang lebih banyak dipengaruhi faktor heriditer adalah kasus tersebut mempunyai prognosis yang kurang baik bila dirawat ortodontik, namun sayangnya sukar untuk dapat menentukan seberapa pengaruh faktor heriditer pada maloklusi tersebut.

Perkembangan pengetahuan genetik molekuler diharapkan mampu menerangkan penyebab etiologi heriditer dengan lebih cepat.1 a. Etiologi maloklusi kelas 1 Angle Pola skelet maloklusi kelas 1 biasanya kelas 1 tetapi dapat juga kelas II atau kelas III ringan. Pola jaringan lunak pada maloklusi kelas 1 umumnya menguntungkan kecuali pada maloklusi yang disertai proklinasi bimaksiler (insisivi atas dan bawah proklinasi) yang mungkin merupakan ciri khas ras tertentu. Kebanyakan maloklusi kelas 1 disebabkan faktor lokal yang dapat berupa diskrepansi ukuran gigi dan lengkung geligi. Faktor lokal yang dapat menyebabkan kelainan pada maloklusi kelas II dan kelas III. b. Etiologi maloklusi kelas II : 1. kelas II divisi 1 Angle Pada maloklusi kelas II divisi I sering didapatkan letak mandibula yang lebih posterior daripada maloklusi kelas 1 atau maksila yang lebih anterior sedangkan madibula normal. Kadang-kadang didapatkan ramus mandibula yang lebih sempit dan panjang total mandibula juga berkurang. Terdapat korelasi yang tinggi antara pasien dengan keluarga langsungnya sehingga beberapa peneliti menyimpulkan bahwa pewarisan maloklusi

kelas II divisi I dari faktor poligenik. Selain faktor genetik maloklusi kelas II divisi I juga disebabkan faktor lingkungan. Jaringan lunak, misalnya bibir yang tidak kompeten dapat mempengaruhi posisi insisivus atas karena hilagnya keseimbangan yang dihasilkan oleh bibir dan lidah sehingga insisivus atas protrusi. Kebiasaan menghisap jari dapat menghasilkan maloklusi kelas II divisi I meskipun relasi rahang atas dan bawah kelas I sehingga ada yag menyebut maloklusi ini sebagai maloklusi kelas II divis I tipe dental. Pada maloklusi kelas II divisi I insisivus atas dalam keadaan proklinasi sehingga jarak gigit menjadi besar. Adanya diskrepansi skeletal dalam jurusan sagital juga dapat menyebabkan jarak gigit yang besar. Dengan adanya jarak gigit yang besar biasanya tidak terdapat stop bagi insisivus bawah sehingga terjadi supra erupsi insisivus bawah dengan akibat terjadi gigitan dalam dan kurva spee menjadi positif. Posisi bibir iku berperan pada maloklusi kelas II divisi I. Pada bibir yang tidak kompeten pasien berusaha mendapatkan anterior oral seal dengan cara muskulus sirkum oral berkontraksi dengan mengajukan mandibula sehingga bibir atas dan bawah dapat berkontak pada saat isitrahat, lidah berkontak dengan bibir bawah atau kombinasi keadaan-keadaan ini. Bila mandibula diajukan kelainan relasi skeletal nampak tidak terlalu parah tetapi bila bibir bawah terletak dipalatal inisisivus atas dapat berakibat retroklinasi insisivus bawah dan proklinasi insisivus atas sehingga jarak gigit menjadi lebih besar. 2. Kelas II divisi 2 Angle Maloklusi ini merupakan hasil interaksi faktor-fakto yang mempengaruhi skelet dan jaringan lunak. Penelitian pada anak kembar monozigot

menunjukan bahwa maloklusi kelas II divisi 2 dipengaruhi oleh faktor herediter autosomal yang dominan tetapi yang bersifat poligenik. Pola skelet pada maloklusi kelas II divisi 2 biasanya kelas II ringan atau kelas 1 dan meskipun sangat jarang bisa juga pola skelet kelas III ringan. Tinggi muka yang berkurang disertai relasi skelet kelas II sering menyebabkan tidak adanya stop antara insisivus bawah dengan insisivus atas sehingga insisivus bawah bererupsi melebihi normal sehingga terjadi gigitan dalam. Pengaruh bibir bawah sagat besar terutama bila didapatkan high lower lip line (bibir bawah menutupi lebih dari sepertiga panjang mahkota insisivus) yang menyebabkan posisi insisivus atas retroklinasi (lapatki dkk, Mitchell, 2007) bila panjang mahkota insisivus laterla pendek maka gigi ini dapat terletak normal sedangkan insisivus sentral retroklinasi dan bila panjang inisisivus lateral normal gigi ini bisa juga terletak retroklinasi. Bisa juga didapatkan retroklinasi insisivus atas maupun bawah bila bibir sangat aktif. Kadang kadang didapatkan letak gigi berdesakan dan insisivus lateral yang rotasi mesiolabial disebabkan tekanan bibir pada insisivus sentral. c. Etiologi maloklus Kelas III Angle Contoh paling jelas dan terkenal adanya pengaruh faktor genetik adalah prognati mandibula yang didapatkan pada dinasti Hasburg dikerajaan Austria yang diturunkan dari generasi ke generasi dengan cara autosomal dominan. Maloklusi kelas III dapat terjadi karena faktor skelet, yaitu maksila yang kurang tumbuh sedangkan mandibula normal atau maksila normal dan mandibula yang tumbuh berlebihan atau kombinasi kedua keadaan tersebut. Selain itu juga dipengaruhi oleh panjang basis kranial serta sudut yang

terbentuk antara basis kranial posterior dan anterior. Kadang-kadang fossa glenoidal yang terletak anterior menyebabkan mandibula terletak lebih anterior. Jaringan lunak tidak begitu memainkan peranan dalam terjadinya maloklusi kelas III kecuali adanya tendens tekanan dari bibir dan lidah yang mengompensasi relasi skelet kelas III sehingga terjadi retroklinasi insisivus bawah dan proklinasi insisivus atas. Faktor genetik lebih mempengaruhi skelet ( misalnya, pada sindrom muka panjang yang menyebabkan adanya gigitan terbuka ) sedangkan faktor lingkungan lebih mempengaruhi letak gigi dalam lengkung geligi. Lengkung geligi atas yang sempit menyebabkan terjadinya gigi berdesakan dan lengkung geligi bawah yang lebar menyebabkan letak gigi yang normal atau bahkan kadang-kadang terdapat diastema. 1.2.2. Faktor lokal a. Gigi sulung tanggal prematur Gigi sulung yang tanggal prematur dapat berdampak pada susunan gigi permanen. Semakin muda umur pasien pada saat terjadi tanggal prematur gigi sulung semakin besar akibatnya pada gigi permanen. Insisivus sentral dan lateral sulung yang taggal prematur tidak begitu berdampak tetapi kaninus sulung akan menyebabkan adanya pergeseran garis median. Perlu diusahakan agar kaninus sulung tidak tidak tanggal prematur. Sebagian peneliti mengatakan bahwa bila terjadi tanggal prematur kaninus sulung karena resobsi insisivus lateral atau karena karies disarankan dilakukan balancing ekstraction, yaitu pencabutan kaninus sulung kontralateral agar tidak terjadi pergeseran garis median dan kemudian dipasang space mentainer. Molar pertama sulung yang tanggal prematur juga dapat menyebabkan pergeseran garis median. Perlu tidaknya dilakukan

balancing ekstraction harus dilakukan terlebih dahulu. Molar kedua sulung terutama rahang bawah merupakan gigi sulung yang paling sering tanggal prematur karena karies, kemudian gigi molar permanen bergeser kearah diastema sehingga tempat untuk premolar kedua berkurang dan premolar kedua tumbuh sesuai letak benihnya. Gigi molar kedua sulung yang tanggal prematur juga dapat menyebabkan asimetri lengkung geligi, gigi berdesakan serta kemungkinan terjadi supra erupsi gigi antagonis. Bila kolar kedua sulung tanggal prematur banyaknya pergeseran molar pertama permanen ke mesial dipengaruhi oleh tinggi tonjil gigi (bila tonjol gigi tinggi pergeseran makin sedikit) dan waktu tanggal gigi tersebut (pergeseran paling banyak bila molar kedua sulung tanggal sebelum molar permanen erupsi). b. Persistensi gigi Persistensi gigi sulung atau disebut juga over retained decidous teeth berarti gigi sulung yang sudah melewati waktunya tanggal tetapi tidak tanggal. Perlu diingat bahwa waktu tanggal gigi sulung sangat bervariasi. Keadaan yang jelas menunjukan persistensi gigi sulung adalah apabila gigi permanen pengganti telah erupsi tetapi gigi sulungnya tidak tanggal. Bila diduga terjadi persistensi gigi sulung tetapi gigi sulungnya tidak ada dirongga mulut, perlu diketahui anamnesis pasien, dengan melakukan wawancara medis kepada orang tua pasien apakah dahulu pernah terdapat gigi yang bertumpuk diregio tersebut. c. Trauma Trauma yang mengenai gigi sulung dapat menggeser benih gigi permanen. Bila terjadi trauma pada saat mahkota gigi permanen sedang terbentuk

dapat terjadi gangguan pembentukan enamel, sedangkan bila mahkota gigi gigi permanen telah terbentuk dapat terjadi dilaserasi, yaitu akar gigi yang mengalami distorsi bentuk (biasanya bengkok). Gigi yang mengalami dilaserasi biasanya tidak dapat mencapai oklusi yang normal bahkan kalau parah tidak dapat dirawat ortodontik dan tidak ada pilihan lain kecuali dicabut. Kalau ada dugaan terjadi trauma pada saat pembentukan gigi permanen perlu diketahui anamnesis apakah pernah terjadi trauma disekitar mulut untuk lebih memperkuat dugaan adanya trauma. Trauma pada salah satu sisi muka pada masa kanak-kanak dapat menyebabkan asimetri muka. d. Pengaruh jaringan lunak Tekanan dari otot bibir, pipi dan lidah memberi pengaruh yang besar terhadap letak gigi. Meskipun tekanan dari otot-otot ini jauh lebih kecil daripada tekanan otot pengunyah tetapi berlangsung lebih lama. Menurut penelitian tekanan yang berlangsung selama 6 jam dapat mengubah letak gigi. Dengan demikian dapat dipahami bahwa bibir, pipi dan lidah yang menempel terus pada gigi hampir selama 24 jam dapat sangat mempengaruhi letak gigi. Tekanan dari lidah, misalnya karena letak lidah pada posisi istrahat tidak benar atau karena adanya makroglosi dapat mengubah keseimbangan tekanan lidah dengan bibir dan pipi sehingga insisivus bergerak ke labial. Dengan demikian patut dipertanyakan apakah tekanan lidah dapat mempengaruhi letak insisivus karena meskipun tekanannya cukup besar yang dapat menggerakkan gigi tetapi berlagsung dalam waktu yang singkat. Bibir yang telah dioperasi pada pasien celah bibir dan langit-langit kadang-kadang mengandung jaringan parut yang

selain tekanannya yang besar oleh karena bibir pada keadaan tertentu menjadi pendek sehingga memberi tekanan yang lebih besar dengan akibat insisivus tertekan ke palatal. e. Kebiasaan buruk Suatu kebasaan yang berdurasi sedikitnya 6 jam sehari, berfrekuensi cukup tinggi dengan intensitas yang cukup dapat menyebabkan maloklusi. Kebiasaan mengisap jari atau benda-benda lain dalam waktu yang berkepanjangan dapat menyebabkan maloklusi. Dari ketiga faktor ini yang paling berpengaruh adalah durasi atau lama kebiasaan berlangsung. Kebiasaan mengisap jari pada fase geligi sulung tidak mempunyai dampak pada gigi permanen bila kebiasaa tersebut telah berhenti sebelum gigi permanen erupsi. Bila kebiasaan ini terus berlanjut sampai gigi permanenn erupsi akan terdapat maloklusi dengan tanda-tanda berupa insisivus atas proklinasi dan terdapat diastema, gigitan terbuka, lengkung atas sempit serta retroklinasi inisisvus bawah. Maloklusi yang terjadi ditentukan oleh jari mana yang diisap dan bagaimana pasien meletakkan jarinya pada waktu mengisap. Kebiasaan mengisap bibir bawah dapat menyebabkan proklinasi insisivus atas disertai jarak gigit yang bertambah da retroklinasi insisivus bawah. Kebiasaan mendorong lidah sebetulnya bukan merupakan kebiasaan tetapi lebih berupa adaptasi terhadap adanya gigitan terbuka misalnya karena mengisap jari. Dorongan lidah pada saat menelan tidak lebih beda daripada yang tidak mendorongkan lidahnya sehingga kurang tepat untuk mengatakan bahwa gigitan terbuka anterior terjadi karena adanya dorongan lidah pada saat menelan. Kebiasaan menggigit kuku juga

dapat menyebabkan maloklusi tetapi biasanya dampaknya hanya pada satu gigi. f. Faktor iatrogenik Pengertian kata iatrogenik adalah berasal dari suatu tindakan profesional. Perawatan ortodontik mempunyai kemungkinan terjadinya kelainan iatrogenik. Misalnya, pada saat menggerakkan kaninus ke distal dengan peranti lepasan tetapi karena kesalahan desain atau dapat juga saat menempatkan pegas tidak benar sehingga yag terjadi gerakan gigi kedistal dan palatal. Contoh lain adalah pemakaian kekuatan yang besar untuk menggerakkan gigi dapat menyebabkan resobsi akar gigi yang digerakkan, resobsi yang berlebihan pada tulang alveolar selain kematian pulpa gigi. Kelainan jaringan periodontal dapat juga disebabkan adanya perawatan ortodontik, misalnya gerakkan bibir kearah labial/bukal yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya dehiscence dan fenestrasi.1

You might also like