You are on page 1of 17

PERIKANAN PURSE SEINE DENGAN ALAT BANTU RUMPON DI PANTAI BARAT ACEH

Tugas mata kuliah Teknologi Penangkapan Ikan Ramah Lingkungan Dosen: Dr. Ir. M. Fedi A. Sondita, M.Sc.

Disusun oleh Kelompok IV

Nora Akbarsyah M. Iqbal Himam Nanda Rizki Purnama Mas Umamah Syamsul Bahri

NRP C451130061 NRP C451130081 NRP C451130111 NRP C451130201 NRP C451130211

DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN SEKOLAH PASCASARJANA-IPB FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014

I PENDAHULUAN

Secara umum FAO menyebutkan tujuan pengelolaan perikanan terkait pada 4 (empat) aspek yaitu : 1. Biologis: mempertahankan target spesies pada tingkatan yang dapat menjamin produksi yang berkesinambungan; 2. Ekologis: meminimalisir dampak fisik pada lingkungan, non-target (bycatch); 3. Ekonomis: memaksimalkan pendapatan nelayan; dan 4. Sosial (politik dan budaya): menciptakan kesempatan kerja semaksimal mungkin bagi orang-orang yang menggantungkan hidupnya dari perikanan. (Sumber: A fishery managers guidebook, FAO 2002) Kebijakan perikanan tangkap Indonesia sebelumnya mengacu pada maximum sustainable yield (MSY) yang dikembangkan oleh Schaefer pada periode 1950-an, namun metode MSY telah dibuktikan tidak efektif sebagai alat pengelolaan perikanan di Indonesia (Mous, dkk. 2005, di dalam www.wwf.or.id). Secara garis besar, keberlanjutan perikanan tangkap dipengaruhi oleh faktor atau dimensi ekologi, teknologi, sosial-ekonomi, dan hukum-kelembagaan. Karakteristik dari dimensi-dimensi tersebut bersifat dinamis dan berbedabeda untuk setiap kesatuan wilayah dan periode waktu. Faktor-faktor tersebut tidak selalu dalam status optimum untuk mendukung keberlanjutan perikanan tangkap. Makalah ini akan membahas kondisi dimensi-dimensi tersebut di pesisir barat Aceh. Metode penilaian yang dilakukan adalah penilaian kualitatif (baik, sedang, dan buruk) yang kemudian dikuantitatifkan. Kualifikasi baik setara dengan nilai 3 (tiga), sedang setara dengan nilai 2 (dua), dan buruk setara dengan nilai 1 (satu). Penentuan kualifikasi tiap dimensi dilakukan berdasarkan kriteria-kriteria yang ada dan dibandingkan dengan keadaan saat ini di lapangan.

II HASIL

Penilaian tiap dimensi berdasarkan hasil diskusi kelompok kami ditampilkan pada tabel 1 dan gambar 1.
Tabel 1. Penilaian kondisi dimensi keberlanjutan perikanan tangkap di pesisir barat Aceh

Dimensi
a

Komponen
B

Skor
c

Ratarata
d

Bobot
e

Skor akhir
f = d /e

SDI Ekosistem Alat Tangkap Teknologi Kapal Alat Bantu Penangkapan Ikan Sistem informasi Pasca panen Hubungan antar pelaku SosialTingkat kesejahteraan ekonomi Keberlanjutan usaha Regulasi (kebijakan pusat dan Hukumdaerah) kelembagaan 2. Hukum adat laut 3. Penegak hukum Ekologi

1. 2. 1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 3. 1.

3 2 2 2 2 2 2 1 2 3 2 3 1

2,5

2,5

Gambar 1. Kondisi dimensi keberlanjutan perikanan tangkap di pesisir barat Aceh

Nilai bobot dimensi sosial-ekonomi dan dimensi hukum-kelembagaan yang diberikan adalah dua kali lipat dari nilai bobot dimensi ekologi dan dimensi

teknologi. Dengan demikian, maka target kualitas dimensi sosial-ekonomi dan dimensi hukum-kelembagaan adalah dua kali lipat lebih besar daripada dimensi ekologi dan dimensi teknologi. Apabila nilai ideal keempat dimensi tersebut disamakan, maka dapat dikatakan bahwa untuk setiap nilai kemajuan yang sama, maka dimensi sosial-ekonomi dan dimensi hukum-kelembagaan dianggap (setengah) saja atau yang diberikan.

Adapun kriteria penilaian kualitatif (baik, sedang, dan buruk) yang digunakan dapat dilihat pada tabel 2

Tabel 2. Kriteria Penilaian Dimensi Komponen Baik (3) Potensi perikanan tangkap terletak pada sebelah kiri kurva keseimbangan bioekonomi model Gordon-Schaefer (produksi masih bisa di tingkatkan) Mempunyai potensi SDI yang masih besar, dekat dengan fising base, memiliki zona nursery dan spawning ground yang terjaga Kriteria Sedang (2) Potensi perikanan tangkap terletak pada titik E optimal (MSY) Buruk (1) Potensi perikanan tangkap terletak pada sebelah kanan kurva keseimbangan bioekonomi model GordonSchaefer (produksi mengalami penurunan) Potensi SDI yang ada sudah over exploited, fishing ground semakin jauh serta zona nursery dan spawrning ground belum ditentukan Metode penangkapan yang dilakukan tidak menggunakan teknologi serta tidak ramah lingkungan Armada penangkapan yang digunakan tidak dilengkapi dengan peralatan sehingga tidak memiliki unsur laik laut, laik tangkap dan laik simpan

Ekologi

1. Sumberdaya Ikan

2. Ekosistem

Mempunyai potensi SDI yang masih besar namun dengan fishing ground yang jauh serta mempunyai zona nursery dan spawning ground tetapi tidak terjaga Alat penangkapan ikan yang dioperasikan mengunakan teknologi tinggi namun tidak ramah lingkungan

Teknologi

Alat penangkapan ikan yang dioperasikan mengunakan 1. Alat Penangkapan Ikan teknologi tinggi dan ramah lingkungan

2. Kapal

Armada penangkapan yang Perlengkapan yang digunakan digunakan dilengkapi dengan pada armada penangkapan peralatan yang lengkap sehingga tidak lengkap mempunyai unsur laik laut, laik tangkap dan laik simpan

3. Alat Bantu Penangkapan Ikan (ABPI)

ABPI yang digunakan sesuai dengan regulasi misalnya terkait dengan jumlah dan penempatanya Sistem yang menyajikan data dan informasi pengelolaan SDI tersedia dan mudah untuk diakses Penanganan hasil tangkapan dilakukan dengan baik sesuai dengan standar Cara Penanganan Ikan yang Baik (CPIB) Hubungan antar stakeholder (pemangku kepentingan) terjalin dengan harmonis

Adanya salah satu pelanggaran regulasi pada penggunaan ABPI Sistem yang menyajikan data dan informasi pengelolaan SDI tersedia namun tidak bisa/sulit diakses Penanganan hasil tangkapan tidak sepenuhnya dilakukan dengan mengunakan standar Cara Penanganan Ikan yang Baik (CPIB) Timbulnya friksi dalam hubungan antar stakeholder (pemangku kepentingan) namun masih dapat dikendalikan (diselesaikan dengan baik) Pendapatan masyarakat nelayan sesuai standar ratarata upah minimum propinsi (UMP) Keuntungan yang dihasilkan

ABPI yang digunakan tidak sesuai dengan regulasi

4. Sistem Informasi

Tidak adanya sistem yang menyediakan data dan informasi terkait dengan pengelolaan SDI Penanganan hasil tangkapan dilakukan tidak sesuai dengan dengan standar Cara Penanganan Ikan yang Baik (CPIB) Terjadinya konflik antar stakeholder (pemangku kepentingan)

5. Pasca Panen

Sosial Ekonomi

1. Hubungan antar stakeholder (Pemangku Kepentingan)

2. Tingkat Kesejahteraan

Masyarakat nelayan memiliki pendapatan rata-rata diatas standar upah minimum propinsi (UMP) Industri perikanan yang ada

Masyarakat nelayan memiliki pendapatan rata-rata dibawah standar upah minimum propinsi (UMP) Industri perikanan yang ada

3. Kelangsungan Usaha

menghasilkan keuntungan sehingga berdampak pada pertumbuhan ekonomi di sekitarnya Adanya regulasi yang mengatur pengelolaan SDI pada tatanan pusat dan daerah dan regulasi tersebut diimplementasikan dilapangan

dari industri perikanan sesuai dengan Break Event Point (BEP) Adanya regulasi yang mengatur pengelolaan SDI pada tatanan pusat dan daerah namun tidak diimplementasikan dilapangan

mengalami kerugian sehingga berdampak pada stabilitas ekonomi di sekitarnya Tidak adanya regulasi yang mengatur pengelolaan SDI baik itu di tingkat pusat maupun tingkat daerah

Hukum Kelembagaan

1. Regulasi (kebijakan pusat dan daerah)

2. Hukum Adat Laut

3. Penegak Hukum

Adanya hukum adat laut di suatu Adanya hukum adat laut di wilayah dan di implementasikan suatu wilayah namun tidak diimplementasikan di di lapangan lapangan Memiliki lembaga penegak Memiliki lembaga penegak hukum dengan tenaga SDM hukum namun tenaga SDM yang ada tidak mencukupi yang cukup dan berkompeten dan tidak berkompeten

Tidak adanya hukum adat laut

Lembaga penegak hukum belum terbentuk

III PEMBAHASAN

3.1

Dimensi Ekologi Ekologi merupakan ilmu yang mempelajari interaksi antara organisme

dengan lingkungannya dan yang lainnya. Dimensi ekologi mencakup aspek sumberdaya ikan dan aspek ekosistem. a. Sumberdaya ikan Kriteria yang digunakan dalam penilaian sumberdaya ikan adalah perbandingan jumlah hasil tangkapan dengan total rata-rata GT kapal. Data hasil tangkapan dan jumlah kapal beserta ukurannya untuk pesisir barat Aceh tidak kami dapatkan, sehingga kami gunakan data untuk seluruh Aceh. Hasil pengolahan data hasil tangkapan dan total rata-rata GT kapal ditunjukkan pada gambar 2.

Gambar 2. Grafik sebaran jumlah hasil tangkapan / catch (Y) terhadap total rata-rata GT kapal / effort (X) di provinsi Aceh

Hasil sebaran pada gambar 2 menghasilkan garis dengan persamaan Y=1,110 X + 51093. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan effort masih dapat digunakan sebagai cara untuk meningkatkan jumlah hasil tangkapan. Secara sederhana, apabila gambar 2 dibandingkan dengan kurva Keseimbangan bioekonomi model Gordon-Schaefer (Gambar 3), maka posisi perikanan tangkap di perairan Aceh (termasuk pesisir barat Aceh) berada di sebelah kanan puncak.

Hal ini menunjukkan upaya tangkap di perairan Aceh belum mencapai E MSY dan sumberdaya ikan di perairan Aceh masih dalam kondisi baik untuk dikembangkan.

Gambar 3. Keseimbangan bioekonomi model Gordon-Schaefer (sumber: http://kajianperikanan.blogspot.com)

Berdasarkan kondisi tersebut, maka kelompok IV menilai kondisi SDI di pesisir barat Aceh dalam kondisi baik (nilai = 3). b. Ekosistem Ekosistem adalah hubungan fungsional antar makhluk biotik dan abiotik dengan lingkungannya. Sistem dan hubungan fungsional ini akan berjalan sangat efisien tanpa campur tangan manusia, namun pada ekosistem yang telah rusak, seringkali membutuhkan bantuan manusia untuk memulihkannya. Sebagaimana diketahui bahwa sebagian besar ikan memijah, tumbuh, dan makan di ekosistem yang berbeda sesuai tahap pertumbuhannya. Ekosistem-ekosistem tersebut dikatakan sehat, apabila dapat menyokong pertumbuhan populasi ikan minimal setara laju penangkapan ikan oleh manusia. Guna menjaga ekosistem-ekosistem tersebut tetap sehat, maka diperlukan suatu kawasan khusus yang dapat menjadi penghasil populasi ikan. Ekosistem tersebut dikelola, dijaga, dan diawasi, serta tidak diperkenankan terjadi aktifitas

eksploitasi sumberdaya di dalamnya. Kawasan ini disebut sebagai kawasan konservasi. Pemerintah Aceh sendiri telah menetapkan 15 titik sebagai kawasan konservasi (rri.co.id), bahkan kawasan konservasi laut menjadi program prioritas Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Aceh pada tahun 2012 lalu (http://mukhtar-api.blogspot.com). Namun demikian, banyak daerah yang belum dapat dijadikaan sebagai kawasan konservasi. Salah satunya terjadi di kawasan pulau Simeulue. Usulan untuk menjadikannya kawasan konservasi telah diusulkan ke pusat sejak 2006 dan hingga sumber ini ditulis (2011), belum mendapat persetujuan. Hal ini menyebabkan lobster sebagai komoditi lokal pulau Simeulue mulai jarang ditemui akibat penangkapan terus menerus (http://mukhtar-api.blogspot.com).

Berdasarkan pertimbangan hal-hal tersebut, kelompok kami menilai bahwa ekosistem pesisir barat Aceh dalam kondisi sedang (nilai =2).

3.2

Dimensi Teknologi Teknologi merupakan aspek penting dalam perkembangan peradaban

manusia. Secara sederhana, teknologi dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang membantu memudahkan pekerjaan manusia, termasuk alat, cara, ataupun sistem. Dimensi teknologi dalam pembahasan ini dibatasi pada teknologi penangkapan ikan, di antaranya: alat tangkap, kapal, alat bantu penangkapan, sistem informasi, dan pasca panen. a. Alat tangkap Alat penangkapan ikan yang dominan digunakan nelayan di pesisir barat Aceh adalah purse seine atau nelayan setempat menyebutnya pukat. Karakter purse seine di pesisir barat Aceh memiliki sedikit perbedaan dengan purse seine yang populer di daerah Jawa. Purse seine Aceh pada umumnya memiliki kantong yang terletak di samping, berbeda dengan purse seine jawa yang berkantong di tengah. Perbedaan lainnya terletak pada dimensinya. Purse seine pesisir barat Aceh tidak sepanjang purse seine jawa, namun lebih dalam. Dimensi ini dianggap lebih sesuai untuk perairan pesisir barat Aceh yang merupakan bagian dari Samudera Hindia yang cenderung dalam. Meskipun pengoperasiannya belum sepenuhnya

menerapkan mekanisasi, namun berbagai adaptasi ini menyebabkan purse seine Aceh cukup efektif digunakan di perairan pesisir barat Aceh. Berdasarkan kondisi demikian, kelompok kami menilai aspek teknologi alat tangkap bernilai sedang (nilai =2). b. Kapal Armada penangkapan ikan di pesisir barat Aceh umumnya terbuat dari kayu, namun sejak terjadi bencana gempa dan Tsunami pada akhir 2004, nelayan Aceh mulai diperkenalkan dengan kapal fiber. Meski begitu, nelayan setempat lebih menyukai konstruksi kapal kayu. Pembuatan kapal kayu di Aceh mayoritas dilakukan di galangan-galangan tradisional tanpa menggunakan lines plan dan detail tertulis. Teknolologi pembuatan kapal di Aceh merupakan warisan tradisional yang unik. Salah satu keunikannya terletak pada urutan pemasangan konstruksi kapal. Berbeda dengan daerah lain, pengrajin kapal aceh memasang gading-gading setelah kulit terpasang. Material kayu menyebabkan kapal-kapal Aceh memerlukan perawatan rutin dalam jeda yang relatif singkat. Kapal-kapal Aceh umumnya telah dilengkapi dengan alat bantu navigasi, baik konvensional (kompas dan peta) ataupun dilengkapi dengan GPS. Berdasarkan kondisi tersebut, kelompok kami menilai aspek teknologi kapal di pesisir barat Aceh pada kondisi sedang (nilai = 2). c. Alat bantu penangkapan ikan Sejak terjadi bencana gempa dan tsunami, Aceh mendapat perhatian dunia. Berbagai bentuk bantuan diberikan kepada Aceh berupa materiil, teknologi, dan moril. Sektor perikanan tangkap juga turut mendapat perbaikan, baik dalam hal fisik, ataupun metode penangkapan. Salah satu bentuk bantuan yang diberikan adalah teknologi rumpon. Sebelumnya nelayan Aceh sudah mengenal rumpon sederhana, melalui bantuan yang di berikan di bawah koordinasi Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh, nelayan Aceh semakin memahami manfaat rumpon. Namun pada perkembangannya, keberadaan rumpon menimbulkan

pergeseran pembagian hak hasil tangkapan. Pemilik rumpon mendapat bagian hak dengan porsi tertentu dari hasil tangkapan. Hal ini tentu mengurangi hak perolehan bagi ABK dan pemilik kapal. Rumpon juga berpotensi menjadi

penyebab konflik antar nelayan apabila ada lebih dari satu kapal yang menangkap di sekitar rumpon yang sama. Berdasrkan kondisi ini, kelompok kami menilai keberadaan teknologi alat bantu penangkapan, dalam hal ini rumpon, pada kondisi sedang (nilai = 2). d. Sistem informasi Sejak dahulu Aceh memiliki citra sebagai daerah perdagangan internasional. Aceh juga sering melakukan hubungan luar negeri sejak masa kesultanan dulu, sehingga tidak heran nelayan Aceh memiliki kemampuan membaca tanda-tanda alam terutama saat di laut. Kemampuan ini diajarkan melalui pengalaman yang diturunkan antar generasi. Namun sayangnya, tidak banyak dokumentasi dan catatan tentang cara membaca tanda-tanda alam. Hal ini menyebabkan nelayan pemula sering kali tidak dapat membaca tanda-tanda ini. Solusi untuk mengatasi kondisi ini adalah dengan teknologi sistem informasi. Setiap orang dapat mengetahui parameter oseanografi secara up to date tanpa harus melihat langsung di laut. Data oseanografi dapat diperoleh melalui citra satelit ataupun turunan data olahannya. Data-data ini dapat diakses melalui internet. Berkaca pada kondisi sekarang, nelayan pesisir barat Aceh belum familiar dengan internet dan cenderung tidak tertarik untuk menguasainya. Hal ini tentu sangat disayangkan karena saat ini hampir seluruh pesisir Aceh sudah dapat mengakses internet, hanya saja tingkat pemanfaatannya oleh nelayan masih belum optimal. Berdasarkan kondisi ini, kelompok kami menilai teknologi sistem informasi dalam kondisi sedang (nilai = 2) e. Pasca panen Penanganan hasil tangkapan sejak hauling sejatinya merupakan aspek yang sangat penting mengingat ikan adalah produk yang mudah dan cepat rusak. Penanganan yang baik dimaksudkan untuk mencegah dan atau memperlambat laju kemunduran mutu hasil tangkapan. Metode penanganan yang populer adalah cold chain system, yaitu menjaga agar ikan selalu dalam keadaan dingin. Metode ini bertujuan untuk menghambat aktivitas bakteri penyebab pembusukan ikan. Media paling umum yang digunakan dalam metode ini adalah es. Hal ini agak bertentangan dengan mind set sebagian konsumen di Aceh. Mereka berpendapat bahwa ikan yang sudah terkena es adalah ikan yang sudah tidak

segar. Kondisi ini menyebabkan para pedagang ikan di Aceh tidak menggunakan es selama menggelar dagangan ikannya. Berdasarkan kondisi ini, kelompok kami menilai aspek teknologi pasca panen dalam kondisi sedang (nilai = 2).

3.3 a.

Dimensi Sosial-Ekonomi Hubungan antar pelaku perikanan Dalam konteks wilayah aceh, hubungan antara stakeholder terkadang

cenderung kearah konflik. Hal ini dapat kita lihat konflik yang sering terjadi di daerah perbatasan yaitu perebutan wilayah kerja antar nelayan, baik antara nelayan asing dengan nelayan lokal, nelayan lokal antar propinsi, dan antar nelayan lokal. Hal ini di karenakan belum ada penegasan yang jelas pada batas batas wilayah perairan tersebut. Selain batas wilayah yang belum jelas, konflik konflik tersebut disebabkan oleh pertahanan keamanan yang kurang bagus di daerah perbatasan, sehingga banyak kapal asing atau kapal nelayan lokal dari propinsi lain yang masuk dan melakukan penangkapan ikan di Perairan Barat Aceh. Sehingga untuk aspek ini kami memberi kesimpulan dalam kondisi buruk (nilai = 1) b. Tingkat kesejahteraan nelayan Salah satu parameter yang dapat dilihat terkait dengan tingkat kesejahteraan nelayan adalah ketika masyarakat nelayan di daerah memiliki pendapatan rata-rata diatas standar upah minimum propinsi (UMP). Tingkat pendapatan ini sangat dipengaruhi oleh produktivitas yang dihasilkan dari kegiatan penangkapan ikan. Adapun tingkat produktivitas sangat ditentukan oleh faktor-faktor produksi yaitu lingkungan, sumber daya alam dan teknologi dalam hal ini SDM masuk dalam kategori teknologi. Perairan pantai barat Aceh mempunyai potensi yang masih mencukupi untuk diekspoitasi. Untuk itu pada komponen ini kelompok kami memberikan penilaian dalam kondisi sedang (nilai = 2). c. Keberlanjutan usaha Kawasan pesisir pantai barat Aceh mempunyai nilai strategis dan ideal untuk pengembangan industri perikanan terpadu. Kawasan pesisir barat ini memiliki banyak keunggulan untuk dikembangkan, seperti investasi bidang perikanan sampai ke pengolahan hasil tangkapan sumberdaya kelautan. Dengan

sumberdaya yang melimpah dan didukung sarana, prasarana serta tatanan kelembagaan yang baik, pengembangan industri perikanan di Aceh diharapkan dapat menghasilkan keuntungan sehingga berdampak pada pertumbuhan ekonomi pada masyarakat nelayan. Berdasarkan potensi yang ada, penilaian aspek keberlanjutan usaha dalam kondisi baik (nilai = 3).

3.4 a.

Dimensi Hukum-Kelembagaan Regulasi (kebijakan pusat dan daerah) Pendekatan pengaturan pengelolaan sumber daya perikanan tangkap

dilakukan secara menyeluruh dan simultan dengan memperhatikan kondisi existing dilapangan. Contohnya yaitu pengaturan alat penangkapan ikan (API) dan alat bantu penangkapan ikan (ABPI). Pengaturan API dan ABPI pada tingkatan daerah sejalan dengan yang dilakukan pada tingkatan pusat. API purse seine yang beroperasi di pantai barat aceh dengan menggunakan rumpon harus sesuai dengan regulasi yang ada. Regulasi yang ada pada tingkatan pusat yaitu Permen KP No. 02/MEN/2011 jo Permen No. 18/PERMEN-KP/2013 Tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di WPPNRI, adapun aturan tentang purse seine yang ada pada level daerah dalam hal ini aceh seyogyanya bersinergi dengan aturan tersebut. Pada komponen ini kelompok kami memberikan penilaian dalam kondisi sedang (nilai = 2) b. Hukum Adat Kearifan lokal mengenai hukum adat laut di Aceh mempunyai peran yang sangat penting. Hukum adat laut di Aceh di naungi oleh suatu lembaga yang bernama Panglima Laot. Hukum adat laot dan Panglima Laot sama sama berfungsi untuk mengatur wilayah penangkapan ikan, larangan terhadap perusakan lingkungan laut, dan pantangan pantangan dalam melaut yang berkenaan dengan hari apa saja yang tidak diperbolehkan melaut serta kebiasaan kebiasaan yang tidak boleh dilakukan oleh nelayan ketika melaut. Negara (Kesultanan) telah memberikan izin resmi terhadap panglima laot tentang penetapan peraturan tentang penangkapan ikan. Selain fungsi fungsi yang telah di sebutkan sebelumnya, Panglima Laot juga berwenang dalam hal menyelesaikan sengketa dan mengelola fungsi lingkungan hidup. Terlepas dari beberapa fungsi

dari Panglima Laot, hukum dan permasalahan adat laot merupakan sesuatu yang sudah menyatu dengan kehidupan masyarakat aceh. Berdasarkan kondisi tersebut, kelompok kami menilai aspek hukum adat dalam kondisi baik (nilai = 3) c. Penegak hukum Undang-undang No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan pasal 73

menyebutkan bahwa terdapat 3 (tiga) instansi yang berwenang dalam penegakan hukum perikanan, yaitu instansi Kementerian Kelautan Dan Perikanan (KKP), Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL), serta kepolisian negara RI (POLRI). Pada kondisi dilapangan terjadi tumpang tindih kewenangan antar

lembaga penegak hukum tersebut yang mengakibatkan timbulnya konflik. Selain tumpang tindih kewenangan, rendahnya SDM dari penegak hukum baik dari jumlah maupun kompetensinya menyebabkan lemahnya implementasi regulasi yang sudah ada. Adanya pelanggaran yang dilakukan kapal-kapal asing dengancara masuk dan mencuri SDI di perairan Aceh yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia membuktikan belum adanya penegakan hukum yang sempurna di lapangan. Pelanggaran juga dilakukan oleh nelayan yang datang dari daerah lain yang tidak memiliki izin untuk memasuki daerah penangkapan di sekitar perairan aceh, selain itu antar sesama nelayan lokal juga terjadi perebutan daerah penangkapan dan persaingan teknologi API. Untuk itu kelompok IV memberikan nilai komponen ini pada kondisi buruk (nilai = 1)

III

KESIMPULAN

Keberlanjutan perikanan tangkap dipengaruhi oleh faktor-faktor atau dimensi yang terdiri dari ekologi, teknologi, sosial-ekonomi, dan hukumkelembagaan. Dari hasil penilaian komponen-komponen pada tiap dimensi yang mempengaruhi keberlanjutan perikanan tangkap pada perikanan purse seine dengan alat bantu rumpon di pantai barat aceh didapat bahwa faktor manusia berperan penting dalam mencapai keberlanjutan perikanan tangkap yang ada di Aceh dengan nilai bobot 2 (dua) kali lebih besar dari faktor lainnya. Faktor manusia berada pada tatanan dimensi sosial-ekonomi dan hukum-kelembagaan.

DAFTAR PUSTAKA

Konflik Nelayan. http://www.kkp.go.id/index.php/arsip/c/4364/NelayanDirugikan/ . Diakses pada tanggal 18 Februari 2014. Konflik Nelayan. http://www.voaindonesia.com/content/nelayan-aceh-desakaparat-atasi-pencurian-ikan-oleh-kapal-asing-/1592545.html. Diakses pada tanggal 18 Februari 2014. Pusat data Statistik dan informasi. 2012. Statistik Perikanan Tangkap, Budidaya, dan Ekspor Impor Setiap provinsi seluruh Indonesia 2003-2010. Sekretariat Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kajian perikanan http://kajianperikanan.blogspot.com/2013/05/ekonomioverfishing-dan overcapacity.html. Diakses pada tanggal 26 Februari 2014.

Kawasan konservasi laut aceh http://mukhtar-api.blogspot.com/2011/06/kawasankonservasi-laut-aceh.html. Diakses pada tanggal 26 Februari 2014. http://rri.co.id/mobile/index.php/detailberita/detail/22192. Diakses pada tanggal 26 Februari 2014.

You might also like