You are on page 1of 20

PEMANFAATAN KEMBALI (RECOVERY) LIMBAH PADAT LUMPUR PDAM KOTA PONTIANAK SEBAGAI KOAGULAN

Proposal Penelitian untuk Skripsi Program Studi Teknik Lingkungan Jurusan Teknik Sipil

Oleh: MEITY MOERDIYANTI NIM D14109011

FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS TANJUNGPURA MEI, 2013

HALAMAN PERSETUJUAN PEMANFAATAN KEMBALI (RECOVERY) LIMBAH PADAT LUMPUR PDAM KOTA PONTIANAK SEBAGAI KOAGULAN

Proposal Penelitian untuk Skripsi Program Studi Teknik Lingkungan Jurusan Teknik Sipil

Oleh:

Meity Moerdiyanti NIM D14109011

Disetujui untuk diajukan melakukan sidang proposal Pembimbing I, Titin Anita Zaharah, M.Sc Tanggal NIP 196904191996012002

Pembimbing II, Dian Rahayu Jati, ST, M. Si Tanggal . NIP

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Air bersih merupakan salah satu kebutuhan pokok setiap manusia yang dibutuhkan secara berkelanjutan. Penggunaan air bersih sangat penting untuk kebutuhan konsumsi rumah tangga, kebutuhan produksi di sektor industri serta kebutuhan air untuk fasilitas perkantoran dan umum. Kebutuhan terhadap air bersih menyebabkan sektor pengelolaan dan pengolahan air bersih menjadi prioritas utama di setiap wilayah karena menyangkut kebutuhan banyak orang. Di daerah perkotaan seperti di Kota Pontianak, pengelolaan dan pengolahan air dilakukan oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Sungai Kapuas merupakan sumber air baku yang digunakan oleh PDAM untuk memenuhi kebutuhan air bersih oleh warga Kota Pontianak. Namun kondisi air Sungai Kapuas saat ini tidak layak untuk langsung didistribusikan ke warga. Hal tersebut dikarenakan air Sungai Kapuas memiliki kandungan bahan organik yang tinggi yaitu mencapai 194 mg/L, sementara baku mutu untuk bahan organik pada air bersih yaitu hanya sebesar 10 mg/L (Irianto, 1998). Tingginya kandungan zat organik (bahan humus) yang terlarut terutama dalam bentuk asam humus dan turunannya, menyebabkan warna coklat kemerahan pada air (Syarfi, 2007). Dalam berbagai kasus, warna akan semakin gelap disebabkan oleh adanya logam besi yang terikat oleh asam-asam organik yang terlarut dalam air tersebut. Selain itu meningkatnya aktivitas seperti penebangan hutan di hulu sungai menyebabkan semakin meningkat pula kekeruhan air Sungai Kapuas, yaitu mencapai 53,5 NTU sementara batas yang diperbolehkan hanya 5 NTU (PDAM, 2012). Sehingga air baku ini secara fisik akan terlihat berwarna kemerahan dan keruh. Kualitas air Sungai Kapuas yang belum memenuhi standar kualitas air minum inilah yang menyebabkan perlu dilakukannya pengolahan terlebih dahulu sebelum didistribusikan. Salah satu upaya pengelolaan adalah dengan melakukan

proses koagulasi, yaitu proses destabilisasi pada suatu sistem koloid yang berupa penggabungan dari partikel-partikel koloid akibat pembubuhan bahan kimia. Pada proses ini terjadi pengurangan besarnya gaya tolak menolak antara partikelpartikel koloid di dalam larutan karena adanya penambahan koagulan (Reynold, 1977). Sehingga akan terbentuk flok yang berukuran lebih besar dan dapat diendapkan. Pada proses ini koagulan ditambahkan ke dalam air untuk menggabungkan partikel-partikel penyusun bahan organik serta partikel koloid penyebab kekeruhan di air, agar membutuhkan waktu yang lebih cepat untuk mengendap. Seperti yang terdapat pada penelitian Manurung (2001) diketahui bahwa penggunaan koagulan sintetik untuk penjernih air, sudah umum dilakukan misalnya tawas atau Al2(SO4)3, besi(III)klorida hidrat atau FeCl3.6H2O, dan juga besi(II)sulfat atau FeSO4.7H2O. Koagulan yang lain seperti poli alumunium klorida atau PAC, juga sudah lazim digunakan. Meskipun koagulan tersebut kelihatan lebih praktis dalam penggunaan dan mudah diperoleh tetapi tetap saja mempunyai kelemahan, seperti menambah jumlah ion-ion Al3+, Fe3+, serta ion klor ke dalam air dan justru menimbulkan pencemaran Semakin besar kebutuhan akan air bersih, maka akan semakin banyak pula koagulan yang digunakan oleh PDAM dan menyebabkan tingginya jumlah Limbah Padat Lumpur (LPL) yang dihasilkan. LPL tersebut masih mengandung alumunium yang cukup tinggi dan berpotensi menyebabkan pencemaran jika langsung dibuang ke badan air. PDAM di Kota Pontinak saat ini masih belum memanfaatkan kembali LPL yang dihasilkan dari proses produksi air bersih. LPL tersebut hanya ditampung sementara dalam bak-bak pengendap dan akhirnya dibuang ke lingkungan. Padahal menurut Suherman (2003), LPL PDAM sebagian besar masih mengandung Al(OH)3 yang sebenarnya masih dapat dimanfaatkan kembali sehingga mengurangi beban pencemar di badan air. Alumunium dalam tawas adalah ion logam berat yang toksik dan kebanyakan masuk ke dalam tubuh manusia bersama dengan makanan. Menurut penelitian yang dilakukan Fitri (2013) diketahui bahwa nilai konsentrasi alumunium dengan jarak 200 m dari sumber pembuangan lumpur PDAM Tirta

Khatulistiwa di Jalan Imam Bonjol diperoleh hasil konsentrasi sebesar 17, 43 mg/L, sementara kadar maksimum yang diperbolehkan untuk parameter alumunium di air hanya sebesar 0,2 mg/L. Dampak yang dapat ditimbulkan akibat terpapar alumunium bagi manusia adalah gangguan pada sistem syaraf, kerusakan paru-paru, demensia, kehilangan memori ingatan, kelesuan, gemetar berat, gangguan ginjal dan gangguan sistem pencernaan (Departemen Kesehatan, 2007). Dari data perbandingan 10 penyakit terbanyak di Puskesmas Kampung Bangka di Jalan Imam bonjol dan Puskesmas Kom Yos Soedarso di Jalan Apel pada tahun 2010 dan 2011 diketahui bahwa penyakit gangguan sistem syaraf berada di urutan 7 dan 4 untuk Puskesmas Bangka dan urutan 10 untuk Puskesmas Kom Yos Soedarso. Hal ini sejalan dengan pendapat dari Indrasari (2006) bahwa sejumlah kandungan Al yang cukup tinggi terdapat pada sel penderita Alzheimer dan telah ditemukan hubungan yang kuat antara akumulasi kandungan mikromineral ini dengan kelainan otak. Penelitian ini bertujuan untuk mengolah limbah padat lumpur (LPL) PDAM dengan memanfaatkannya sebagai tawas recovery, serta mengetahui efektifitsnya apabila digunakan kembali sebagai koagulan untuk menurunkan kekeruhan dan mengetahui pengaruhnya terhadap pH, serta penurunan kandungan bahan organik dan kekeruhan pada air baku dengan pengujian menggunakan Jar Test Apparatus.

1.2 Perumusan Masalah Berikut adalah rumusan masalah yang dapat disusun, yaitu: 1. Bagaimanakah pengaruh perolehan kembali koagulan dari LPL PDAM Kota Pontianak terhadap kondisi optimum yang diberikan yaitu berupa variasi konsentrasi HCl, lama pengadukan dan berat lumpur kering yang digunakan? 2. Seberapa efektifkah kinerja dari koagulan recovery dari limbah padat lumpur PDAM Kota Pontianak, jika dibandingkan dengan koagulan komersil baru ?

1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai adalah sebagai berikut: 1. Menentukan kondisi optimum berupa konsentrasi HCl, lama pengadukan dan berat lumpur kering yang digunakan perolehan kembali koagulan dari LPL PDAM Kota Pontianak. 2. Menentukan efektifitas pembentukan flok dan penyisihan bahan organik oleh koagulan dari limbah padat lumpur PDAM dibandingkan dengan koagulan komersil yang dijual di pasaran.

1.4. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai keberadaan Alumunium dalam limbah padat lumpur PDAM untuk dapat dimanfaatkan kembali pada proses pengolahan air.

1.5. Pembatasan Masalah Pada penelitian ini akan dilakukan pengambilan dan penggunaan kembali alumunium dalam bentuk Al3+ dari LPL PDAM. Pengambilan kembali alumunium dilakukan dengan menemukan kondisi optimum dengan memberikan beberapa perlakuan, yaitu penggunaan HCl dengan konsentrasi 1 10 N, pemberian lama pengadukan dengan variasi waktu 30, 60, 90, 120, 150 dan 180 menit, serta penggunaan berat LPL kering dengan variasi sebesar 0,5; 1; 1,5; 2; 2,5; 3 dan 3,5 gram untuk mengetahui perlakuan yang dapat menghasilkan ion Al3+ terbanyak. Kecepatan pengadukan yang digunakan adalah sebesar 40 rpm dan waktu pengendapan ditentukan selama 45 menit. Hasil akhir berupa koagulan recovery yang akan dibandingkan efektifitasnya terhadap koagulan komersil yang dijual di pasaran dengan menggunakan jar test. Parameter yang akan diuji adalah tingkat kekeruhan, kandungan bahan organik dan pH akhir dari air olahan yang dihasilkan. Adapun penelitian ini masih dilakukan dalam skala laboratorium.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Limbah Padat Lumpur PDAM Lumpur akan selalu dihasilkan di setiap proses pengolahan air, apapun jenis dan bentuk teknologi pengolahan yang digunakan. Semakin besar debit pengolahan pada suatu Instalasi Pengolahan Air Minum (IPAM), maka akan semakin tinggi konsentrasi padatannya, baik padatan kasar (coarse solid), padatan tersuspensi (suspended solid) maupun koloid dan akan makin besar pula lumpurnya. Lumpur di Instalasi Pengolahan Air Minum umumnya berasal dari unit sedimentasi, baik yang bersifat diskrit maupun flok (Gede, 2009 dalam Fitri, 2013). Jumlah lumpur dapat dikeathui berdasarkan jumlah pemakaian bahan kimia untuk proses koagulasi-flokulasi. Produksi lumpur meningkat pada musim hujan. Hal ini diakibatka oleh adanya peningkatan kekeruhan yang disebabkan oleh erosi yang merupakan salah satu cirri air permukaan. Jumlah pemakaian bahan kimia yang meningkat mengindikasikan adanya peningkatan produksi lumpur. Lumpur yang dihasilkan dari proses koagulasi-flokulasi mengandung banyak pengotor, material inert tanah, material organik dan logam (Mary et al., 2002) Lumpur endapan sedimentasi atau biasa dikenal dengan Limbah Padat Lumpur Perusahaan Daerah Air Minum (LPL PDAM) diperoleh melalui pengolahan air baku yang ditambahkan zat kimia (koagulan) seperti tawas (Al2(SO4)3. 18H2O) dan PAC (Poly Alumunium Cloride). Penambahan koagulan dalam air baku bertujuan mengikat partikel-partikel pengotor dalam air (Kusnaedi, 2000). Pada umumnya LPL PDAM hanya disimpan dalam bak penampungan sementara dan tidak dilakukan proses lanjutan untuk memanfaatkannya, sehingga LPL PDAM hanya menjadi limbah buangan. Menurut penelitian lanjutan oleh Isma dan Eka (2009) dalam Mirwan dkk (2011) diketahui bahwa pengolahan LPL PDAM dapat dimanfaatkan sebagai adsorben logam berat. Selain itu, LPL PDAM

dapat dimanfaatkan sebagai koagulan dalam bentuk tawas cair seperti yang telah dilakukan oleh Sugiantoro (2009) untuk menjernihkan air Sungai Barito dan penelitian yang dilakukan Puput dan Anis (2009) dalam upaya menjernihkan air sungai Martapura. Menurut Suherman (2003), LPL PDAM yang sebagian besar masih mengandung Al(OH)3, yang dibuang dan ditimbun dalam kolam penampungan sebenarnya dapat diolah dan dimanfaatkan kembali sebagai koagulan. Lumpur yang berasal dari proses koagulasi, berbentuk seperti agar-agar dihasilkan dari bak pengendapan dan dari aliran balik saringan. Lumpur ini mengandug konsentrasi alumunium atau garam besi dengan konsentrasi yang tinggi dari pemakaian koagulan seperti tawas. Kandungan tawas di dalam padatan total terlarutya sekitar 1000 mg/L (0,1 %) sampai 17.000 mg/L (1,7 %) (Reynolds et al., 1995). Lumpur ini sulit dikeringkan (dewatering), hal ini dikarenakan Al(OH3) yang terbentuk dari proses koagulasi membentuk matriks seperti agaragar yang mengikat banyak air. Matriks Al(OH3) membentuk sistem yang sangat besar namun padatan totalnya rendah (Goldman et al., 1975).

2.2 Koagulan Kekeruhan dalam air dapat dihilangkan melalui penambahan sejenis bahan kimia yang disebut koagulan. Pada umumnya bahan seperti alumunium sulfat [ ] atau sering disebut alum atau tawas, fero sulfat, Poly

Alumunium Chloride (PAC) dan poli elektrolit organik dapat digunakan sebagai koagulan (Alearts dan Santika, 1984). Koagulan adalah zat kimia yang menyebabkan destabilisasi muatan negatif partikel di dalam suspense. Zat ini merupakan donor muatan positif yang digunakan untuk mendestabilisasi muatan negatif pastikel. Dalam pengolahan air sering dipakai garam Alumunium, Al (III) atau garam besi (II) dan besi (III) (Joko, 2010). 2.2.1. Alumunium Sulfat [ ]

Alumunium sulfat atau alum, mudah didapat di pasaran bebas. Alum berwarna abu-abu kotor berbentuk padatan dengan kadar kurang lebih 17%

alumunium sulfat. Alum adlah koagulan yang sering digunakan dalam proses pengolahan air minum. Alum di dalam air dapat bereaksi dengan garam. Jika di dalam air tidak terdapat garam-garam alami, maka diperlukan penambahan kapur sehingga dapatlah terjadi reaksi alum. Koagulasi dengan alum berjalan dengan baik pada pH antara 6,5 8,5.

2.2.2. Poly Alumunium Chloride (PAC) Poly Alumunium Chloride (PAC) telah dikembangkan sebagai suatu koagulan alternatif pengganti tawas. Koagulan PAC merpakan sebuah polimer alumunium yang relative baru dan semakin banyak digunakan dalam proses pengolahan air. PAC dihasilkan melalui netralisasi larutan alumunium klorida dengan kondisi dibawah kontrol. Senyawa ini memiliki rumus umum (Aln(OH)mCl(3-m))x dan mempunyai struktur polimer yang larut dalam air (Gebbie, 2001). PAC memiliki rentang pH yang luas daripada tawas dan koagulan lainnya. Umumnya PAC bekerja dalam rentang pH 6-9 namun dalam beberapa kasus juga bekerja pada rentang pH 5 10. PAC juga menghasilkan proses koagulasi yang lebih baik daripada tawas pada temperature rendah yang menghasilkan jumlah lumpur yang sedikit (Childrress et al., 1999 ; Gregory & Duan, 2001).

2.2.3. Kandungan Alumunium Alumunium merupakan logam yang paling banyak terdapat di kerak bumi, dan merupakan unsur ketiga terbanyak setelah oksigen dan silicon. Alumunium tergolong dalam ion renik (trace) yaitu ion yang terdapat di perairan dalam jumlah yang sangat sedikit, biasanya dinyatakan dalam satuan nanogram/liter. Di perairan, alumunium (Al) biasanya terserap ke dalam sedimen atau mengalami presipitasi. Alumunium dan bentuk oksida alumunium bersifat tidak larut (Effendi, 2010 ). Alumunium dan garam garam besi adalah bahan kimia yang efektif bekerja pada kondisi air yang mengandung alkalin. Reaksi yang terjadi sebagai berikut:

Al2(SO4)3 Air mengalami H2O Sehingga: 2Al+3 + 6OH-

2 Al+3 + 3(SO4)-2

H+ + OH-

2Al(OH)3

Partikel pengotor air biasanya berbentuk koloid yang melayang didalam air dan mempuyai 2 lapisan muatan listrik di permukaanya, positif dan negatif. Walaupun secara alami ada yang disebut gaya tarik menarik antar partikel (Van der Walls force) namun karena adanya lapisan negatif dipermukaan koloid tersebut, terjadi gaya tolak menolak (repulsion force) yang menyebabkan koloid tidak langsung bergabung. Kondisi tersebut stabil sepanjang tidak ada campur tangan dari luar.

2.3 Pemanfaatan Limbah Padat Lumpur PDAM Pemanfaatan Limbah Padat Lumpur PDAM dengan cara perolehan kembali (recovery) alumunium merupakan satu cara untuk mmperoleh kembali alumunium yang terdapat di dalam lumpur pengolahan air untuk digunakan kembali sebagai koagulan. Garam yang diperoleh kembali oleh asam kuat dari lumpur pengolahan air menunjukkan hasil yang baik dalam pengolahan dua jenis limbah yang berbeda pada industry tekstil di Iran (Vaezi and Batebi, 2001). Di dalam skala laboratorium, dilakukan proses kimia untuk memperoleh kembali alumunium dalam bentuk garamnya baik berupa alumunium sulfat [ ] maupun alumunium klorida (AlCl3). Faktor penting yang harus

diperhatikan untuk memperoleh kembali alumunium yang terdapat dalam lumpur adalah konsentrasi alumunium dan nilai pH yang sesuai pada proses pengolahan air (Sobral et al. 2002). Menurut penelitian yang dilakukan oleh SenGupta (2002) diketahui bahwa alumunium yang terdapat di dalam lumpur mencapai 5600 mg/L dan konsentrasi alumunium yang dapat diperoleh kembali adalah sekitar 360 sampai 3700 mg/L.

menurut Panswad dan Chamnan (1992) dalam Kurniawan (2009) perolehan kembali alumunium dengan asam terjadi pada pH antara 1,0 3,0 dimana dapat mencapai perolehan kembali sebesar 70 90 %. Perolehan kembali dengan basa, efisiensi yang paling tinggi ditemukan pada rentang pH 11,4 11,8 dan 11,2 11,6 dengan menggunakan NaOH dan Ca(OH)2 secara berturut-turut. Pada penelitian ini akan dilakukan proses perolehan kembali dengan proses asidifikasi, yaitu salah satu teknik peroleha kembali alumunium di dalam lumpur dengan menggunakan asam kuat yang disertai dengan pengadukan dan pengendapan. Menurut Kurniawan (2009) proses asidifikasi dengan asam kuat bertujuan untuk mengikat kandungan alumunium yang terdapat dalam lumpur sehingga akan dihasilkan cairan atau filtrate yang kaya akan alumunium. Melalui proses asidifikasi menggunakan asam kuat diharapkan alumunium dapat diperoleh kembali dari Al(OH)3.

2.4 PDAM Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Pontianak didirikan pertama kali pada tanggal 14 Mei 1975 berdasarkan Peraturan Daerah Kotamadya Dati II Pontianak Nomor 03 tahun 1975, yang disahkan oleh Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Barat dengan SK No. 42 tahun 1976 pada tanggal 8 Maret 1976. Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Pontianak merupakan salah satu BUMD yang dimiliki Pemerintah Kota Pontianak, yang bergerak dalam bidang jasa pelayanan air bersih bagi masyarakat Kota Pontianak dan sekitarnya (PDAM, 2011 dalam Fitri, 2012). Tujuan didirikannya perusahaan ini adalah untuk mengupayakan peningkatan pelayanan umum kepada masyarakat, dalam rangka pemenuhan kebtuhan akan air bersih dan merupakn salah satu penyumbang pada sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kegiatan penyediaan air bersih Kota Pontianak dimulai tahun 1959 yang ditandai oleh pembangunan sarana dan prasarana penyediaan air bersih melalui pembangunan Instalasi Pengolahan Air (IPA) dengan kapasitas 100 l/det di kompleks IPA Imam Bonjol dan mulai dioperasikan pada tahun 1962. Sumber air baku yang digunakan adalah air permukaan yang

berasal dari Sungai Kapuas yang diolah secara konvensional melalui instalasi dengan sistem pengolahan lengkap (PDAM, 2011 dalam Fitri, 2012). Sungai Kapuas terletak di sebelah barat Pulau Kalimantan, tepatnya di Kota Pontianak yang memiliki panjang 1.038 km dengan posisi geografisnya terletak antara dan T. ebar alur ungai

Kapuas bervariasi menurut musim dengan lebar rata-rata antara 250 sampai 400 m. sebagaimana halnya lebar sungai, kedalaman Sungai Kapuas juga bervariasi mengikuti musim dengan kedalaman rata-rata antara 12 sampai 16 m. debit sungai Kapuas berfluktuasi menurut musim dengan debit rata-rata 8.000 m3/detik (Erlanda, 2012) . Air Sungai Kapuas dimanfaatkan baik secara langsung oleh masyarakat yang tinggal dipinggir sungai dan juga oleh masyarakat yang menjadi konsumen air bersih.

2.5 Jar Test Jar test merupakan metode standar yang digunakan untuk menguji proses koagulasi (Kemmer, 2002). Data yang didapat dengan melakukan jar test antara lain dosis optimum penambahan koagulan, lama pengendpaan serta volume endapan yang terbentuk. Jar test sebaiknya dilakukan setiap beberapa hari, bulan atau tahun bahkan musim terutama pada saat dimana terjadi perubahan keadaan air secara kimia. Jar test terdiri dari enam buah batang pengaduk yang masingmasing mengaduk satu buah gelas dengan kapasitas satu liter. Satu buah gelas berfungsi sebagai control dan kondisi operasi dapat bervariasi diantara lima gelas yang tersisa. Penggunaan sebuah pengukuran rpm di bagian atas perangkat jar test ini berpern sebagai pengontrol keseragaman keceptan pencampuran pada keenam gelas tersebut. hasil dari uji ini menjadi acuan dalam pemberian dosis koagulan pada proses koagulasi.

Berdasarkan jurnal-jurnal penelitian diketahui bahwa penelitan untuk memanfaatkan kembali (recovery) Limbah Padat Lumpur (LPL) PDAM sebagai koagulan mungkin dilakukan, untuk mengurangi pencemaran logam Alumunium

di perairan. Selain itu recovery dari LPL PDAM juga dapat menambah nilai ekonomis dari lumpur yang dihasilkan karena secara teori dapat digunakan sebagai koagulan pada proses pengolahan air bersih.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat 3.1.1 Waktu Penelitian Penelitian ini akan memakan waktu 17 minggu, mulai dari pembuatan proposal hingga melakukan uji untuk mengetahui efisiensi dari proses resirkulasi lumpur endapan sebagai koagulan. Berikut adalah tabel yang berisikan rencana waktu penelitian.
NO. Kegiatan Minggu 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17

1 Penyusunan Proposal a. Menyusun Proposal b. Sidang Proposal c. Perbaikan Proposal 2 Pelaksanaan Skripsi a. Disain Percobaan (Bahan dan Metode) b. Percobaan/Hasil c. Pembahasan Hasil d. Penulisan Draft Skripsi e. Bimbingan Skripsi 3 Sidang Skripsi a Persiapan Admnistrasi b. Penyerahan Draft Skripsi ke Tim Penguji c. Sidang Skripsi d. Perbaikan, Evaluasi Akhir dan Penyerahan Skripsi

3.1.2 Tempat Penelitian Tempat penelitian meliputi tempat pembuatan sampel, tempat running penelitian dan tempat analisis sampel akan dilakukan di Laboratorium Konservasi Tanah Fakultas Pertanian dan Laboratorium Lingkungan Fakultas Teknik.

3.2

Alat dan Bahan

3.2.1 Alat Adapun alat yang akan digunakan adalah sebagai berikut: 1. Alat uji jartest 2. Batang pengaduk 3. Gelas ukur 4. Gelas beker 5. Hot plate stirrer 6. Labu ukur 7. Motor pengaduk 8. Neraca analitik 9. Pipet volumetric 10. pH meter 11. Stopwatch oven 12. Termometer 13. Turbidimeter

3.2.2 Bahan Adapun bahan yang akan digunakan adalah sebagai berikut: 1. Akuades 2. Kertas saring Whatman No. 41 3. Limbah Lumpur Padat PDAM 4. HCl 5. PAC

3.3.

Prosedur Penelitian

3.3.1. Preparasi Sampel Preparasi sampel ini mengacu pada metode Goldman and Watson (1975), serta Boaventura et al (2000). Sampel limbah lumpur (sludge) diambil dari bak sedimentasi Instalasi Pengolahan Air Minum PDAM Kota Pontianak. Sampel ini kemudian dicuci dengan akuades dan disaring menggunakan kertas saring. Padatan yang diperoleh lalu dikeringkan menggunakan oven pada suhu selama 12 jam. Sebanyak 2 gram sampel dianalisis kandungan alumunium nya menggunakan spektrofotometer serapan atom.

3.3.2. Perolehan Kembali (Recovery) Alumunium yang Terdapat dalam Lumpur (Sludge) a. Penentuan pengaruh konsentrasi HCl terhadap perolehan kembali alumunium Disiapkan botol dengan volume 250 mL sebanyak 10 buah dan dimasukkan 2 gram lumpur kering yang telah diturunkan kandungan bahan organiknya ke dalam masing-masing botol. Berikutnya ditambahkan HCl dengan variasi konsentrasi 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9 dan 10 M. Semua botol diaduk dengan kecepatan 40 rpm selama 90 menit, didiamkan selama 45 menit dan disaring (Boaventura et al., 2000; SenGupta et al. 2002). Kadar alumunium dalam filtrat yang diperoleh dianalisis menggunakan spektrofotometer serapan atom.

b. Penentuan pengaruh waktu pengadukan terhadap perolehan kembali alumunium Disiapkan botol dengan volume 250 mL sebanyak enam buah dan dimasukkan 2 gram lumpur kering ke dalam masing-masing botol. Selanjutya ditambahkan HCl dengan konsentrasi optimum hasil pengukuran (a). Semua botol diaduk pada kecepatan 40 rpm dengan variasi waktu 30, 60, 90, 120, 150 dan 180 menit, didiamkan selama 45 menit dan disaring (Boaventura et al, 2000). Kadar alumunium dalam filtrat yang diperoleh dianalisis menggunakan spektrofotometer serapan atom.

c. Penentuan pengaruh massa lumpur kering terhadap perolehan kembali alumunium Disiapkan botol dengan volume 250 mL sebanyak 7 buah dan dimasukkan lumpur kering ke dalam botol dengan variasi massa 0,5; 1; 1,5; 2; 2,5; 3 dan 3,5 gram. Selanjutnya ditambahkan HCl dengan konsentrasi optimum hasil pengukuran (a). Semua botol diaduk pada kecepatan 40 rpm dengan waktu optimum pengadukan hasil pengukuran (b), didiamkan selama 45 menit dan disaring (Boaventura et al., 2000). Kadar alumunium dalam filtrate yang diperoleh dianalisis menggunakan spektrofotometer serapan atom.

d. Adsorpsi bahan organik pada tawas yang dihasilkan pada proes perolehan kembali (recovery) oleh karbon aktif Ditimbang lumpur kering sesuai dengan massa optimal yang didapat (c) kemudian dimasukkan ke dalam botol dengan volume 250 mL. Kemudian ditambahkan dengan HCl sesuai dengan konsentrasi optimal yang telah didapat (a) dan diaduk dengan kecepatan 40 rpm. Lama pengadukan disesuaikan dengan waktu optimum yang didapat sebelumnya (b). Setelah itu didiamkan selama 45 menit dan disaring. Filtrat yang diperoleh kemudian dianalisis kandungan alumunium nya menggunakan spektrofotometer serapan atom. Filtrat ini yang kemudian digunakan sebagai koagulan recovery. Selanjutnya untuk proses adsorpsi, sebanyak 200 mL filtrat (koagulan recovery) dimasukkan ke dalam Erlenmeyer, kemudian ditambahkan 20 gram karbon aktif. erlenmeyer kemudian dikocok dengan shaker pada kecepatan aduk 120 rpm selama 10 menit kemudian disaring. Kandungan alumunium pada filtrat dianalisis menggunakan spektrofotometer serapan atom.

3.3.3. Uji Koagulan Recovery Koagulan padat lalu diuji menggunakan metode jar test, dengan memvariasikan berat dari koagulan tersebut. Proses pengadukan dilakukan dengan kecepatan 200 rpm selama 1 menit untuk mewakili proses koagulasi. Dan

dilanjutkan dengan pengadukan lambat pada kecepatan 40 rpm selama 5 menit untuk mewakili proses flokulasi dan disertai dengan proses dekantasi (pengendapan) selama 15 menit lalu dilakukan penyaringan. Berikut adalah parameter yang divariasikan untuk mendapatkan koagulan recovery dalam penelitian ini, yaitu: perbandingan konsentrasi antara CaCl2 dan lumpur yang digunakan, konsentrasi molar H2SO4 yang digunakan, berat koagulan saat uji jar test.

1.3

Diagram Alir Penelitian

3.3.1. Ekstraksi Alumina (Pembuatan Alumina Recovery)


MULAI

Lumpur basah

Diuji kandungan Al

Dipisahkan fase padat dan cair dengan vakum

Kalsinasi

Pelindian

Koagulan padat

3.3.2. Pengujian Efektifitas Koagulan Recovery

Koagulan padat

Diuji dengan variasi berat koagulan

Uji jartest untuk tiap-tiap koagulan

Uji pH dan kandungan bahan organik

Selesai

DAFTAR PUSTAKA

(MENLH) Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 112 Tahun 2003. Barker, RW. 2004. Membrane Technology and Application. John Wille and Sons. Vol 11. Departemen Pertanian. 2004. Luas Areal Tebu MTT 2003/2004, Per perusahaan s/d Januari 2004. (terhubung berkala) http://www.deptan.go.id (18 Mei 2012). Diapati, M. 2009. Ampas Tebu sebagai Adsorben Zat Warna Rdioaktif Cibarcron Red. Departemen Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor: Bogor. Hadi, Sutrisno. 1986. Metodologi Research. Yogyakarta: YP Fakultas Psikologi UGM. Harsono, H. 2002. Pembuatan Silika Amorf dari Limbah Sekam Pai. Jurnal Ilmu Dasar 3. Jilid 2. Hindarko, S. 2003. Mengolah Air Limbah Supaya Tidak Mencemari Orang Lain. Jakarta: Esha. Jurgen, C. 2005. Zeolite Mebranes: From the Laboratory Scale to Technical Applications. Germany: University of Hanover, Institute of Physical Chemistr and Electrochemistry. McNevin D., Barford J. 2000. Biofiltration as an Odour Abatement Strategy. Biochemicak Engineering Journal. Misran, E. 2005. Industry Tebu Menuju Zero Waste Industry. Jurnal Teknologi Proses. Vol

You might also like