You are on page 1of 15

1. Metode Harga Pokok Dalam metode ini harga pokok persediaan akhir akan dicantumkan dalam neraca.

Di sini tidak ada perbedaan antara harga pokok persediaan dan nilai persediaan dalam neraca. Harga pokok persediaan barang dapat dilakukan dengan cara MPKP (FIFO), rata-rata tertimbang, MTKP (LIFO) atau yang lain dan hasilnya dicantumkan dalam neraca tanpa perubahan. PSAK N0. 14 tidak membenarkan digunakannya metode harga pokok untuk menentukan nilai persediaan dalam neraca.

2. Metode Harga Pokok atau Nilai Realisasi yang Lebih Rendah Nilai realisasi bersih merupakan batas maksimum yang diperkenankan untuk mencantumkan persediaan dan disebut batas atas (ceiling). Nilai realisasi bersih dikurangi laba normal merupakan batas minimum di mana nilai persediaan barang tidak boleh lebih rendah. Untuk menentukan dengan nilai berapakah persediaan barang yang akan dicantumkan dalam neraca, pertama kali dibandingkan antara harga pokok dengan nilai realisasi bersih, dipilih yang lebih rendah. Jumlah yang lebih rendah tersebut kemudian dibandingkan dengan batas atas dan batas bawahnya. Apabila jumlah yang lebih rendah tersebut masih dalam batasbatas atas dan bawah maka nilai persediaan dalam neraca adalah jumlah yang lebih rendah tersebut. Tetapi apabila jumlah yang lebih rendah tersebut di luar batas atas dan batas bawah, maka persediaan akan dinilai dengan batas atas atau batas bawah.

Biaya penjualan barang A per unit Laba normal per unit

= Rp400,00 = 300,00

Contoh:
Nilai Realisasi Bersih Taksiran Harga Jual Harga Harga Pokok Batas Bawah Batas Atas Pokok Pengganti Harga Pokok atau Nilai Realisasi Bersih yang Lebih Rendah

No

1. 2. 3. 4. 5. 6.

Rp1.500,00 1.500,00 1.500,00 1.350,00 1.350,00 1.350,00

Rp1.050,00 1.050,00 1.050,00 1.050,00 1.050,00 1.050,00

Rp800,00 800,00 800,00 650,00 650,00 650,00

Rp1.100,00 1.100,00 1.100,00 950,00 950,00 950,00

Rp1200,00 950,00 750,00 1.000,00 850,00 600,00

Rp1.050,00 950,00 800,00 950,00 850,00 650,00

Keterangan: 1. Nilai realisasi bersih yang dipilih adalah batas atas (Rp1.100,00), karena harga pokok pengganti (Rp1.200,00) lebih tinggi dari batas atas. Nilai realisasi bersih yang dipilih ini (Rp1.100,00) dibandingkan dengan harga pokoknya (Rp1.050,00), dan dipilih yang lebih rendah, yaitu Rp1.050,00. 2. Harga pokok pengganti (Rp950,00) masih di dalam batas atas dan batas bawah, sehingga harga pokok pengganti ini (Rp950,00) dipilih sebagai nilai realisasi bersih. Nilai realisasi bersih ini (Rp950,00) dibandingkan dengan harga pokok (Rp1.050,00) dan dipilih yang lebih rendah, yaitu Rp950,00. 3. Harga pokok pengganti (rp750,00) lebih rendah dari batas atas (Rp800,00) sehingga batas bawah (Rp800,00) dipilih sebagai nilai realisasi bersih. Nilai realisasi bersih yang dipilih ini dibandingkan dengan harga pokoknya (Rp1.050,00) dan dipilih yang lebih rendah, yaitu Rp800,00. 4. Harga pokok pengganti (Rp1000,00) lebih tinggi dari batas atas (Rp950,00) sehingga yang dipilih adalah batas atas (Rp950,00). Nilai realisasi bersih yang dipilih ini kemudian dibandingkan dengan harga pokoknya (Rp1.050,00) dan dipilih lebih rendah yaitu Rp950,00.

5. Harga pokok pengganti (Rp850,00) masih berada diaantara batas bawah dan batas atas sehingga harga pokok pengganti ini yang dipilih (Rp850,00). Nilai realisasi bersih yang dipilih ini (Rp850,00) dibanding harga pokoknya (Rp1.050,00) dan dipilih yang lebih rendah, yaitu Rp850,00. 6. Harga pokok pengganti (Rp600,00) lebih rendah dari batas bawah (Rp650,00) sehingga yang dipilih yaitu batasa bawah. Nilai realisasi bersih yang dipilih ini kemudian dibandingkan dengan harga pokoknya (Rp1.050,00) dan dipilih yang lebih rendah yaitu Rp650,00.

Cara Penerapan Metode Harga Pokok atau Nilai Realisasi Bersih yang Lebih Rendah Metode harga pokok atau nilai realisasi bersih yang lebih rendah bisa diterapkan kepada masing-masing jenis persediaan, masing-masing kelompok persediaan atau kepada jumlah keseluruhan persediaan. Dibawaah ini contoh penerapan untuk ketiga cara diatas. Misalnya toko Maju mempunyai persediaan barang pada tanggal 31 Desember 2005 dengan harga pokok dan nilai bersih sebagai berikut:
Jenis Barang Harga Pokok Harga Pasar Harga Pokok atau Harga Pasar yang Lebih rendah Masing-masing Jenis Persediaan Kelompok 1: Barang A Barang B Rp 50.000,00 45.000,00 Rp 95.000,00 Kelompok 2: Barang C Barang D Rp105.000,00 70.000,00 Rp175.000,00 Rp110.000,00 60.000,00 Rp170.000,00 105.000,00 60.000,00 170.000,00 Rp 45.000,00 52.000,00 Rp 97.000,00 Rp 45.000,00 45.000,00 Rp 95.000,00 Kelompok Persediaan Keseluruhan Persediaan

Jumlah Nilai Persediaan

Rp270.000,00

Rp267.000,00 Rp255.000,00 Rp265.000,00

Rp267.000,00 Rp267.000,00

Apabila metode harga pokok atau nilai realisasi bersih yang lebih rendah diterapkan kepada : 1) Masing-masing jenis persediaan barang, maka nilai persediaan barang yang dicantumkan dalam neraca pada tanggal 31 desember 2005 sebesar Rp255.000,00; 2) Kelompok-kelompok persediaan barang, maka nilai persediaan yang dicantumkan dalam neraca pada tanggal 31 Desember 2005 sebesar Rp265.000,00; 3) Keseluruhan persediaan barang, maka nilai persediaan ynag

dicantumkan dalam neraca pada tanggal 31 Desember 2005 sebesar Rp267.000,00; Dari perhitungan diatas nampak bahwa penerapan untuk masingmasing jenis persediaan akan menghasilkan nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan cara penerapan yang lain. Sedangkan penerapan untuk masing-masing kelompok atau keseluruhan persediaan

menghasilkan nilai yang mendekatti keadaan, karena penurunan harga salah satu jenis barang dapat diimbangi dengan kenaikan harga yang lain. Masing-masing cara diatas dapat digunakan untuk menilai persediaan barang dengan batasan hendaknya diterapkan secara konsisten setiap periode. 3. Metode Laba Bruto (Laba Kotor) Menentukan jumlah persediaan dengan metode laba bruto, biasanya dilakukan dalam keadaan-keadaan sebagai berikut ini. a. Untuk menaksir jumlah persediaan barang yang diperlukan untuk menyusun laporan-laporan jangka pendek, di mana perhitungan fisik tidak mungkin dijalankan.

b. Untuk menaksir jumlah persediaan barang yang rusak karena terbakar dan menentukan jumlah barang sebelum terjadinya kebakaran. Perhitungan ini sering diperlukan untuk menentukan besarnya klaim terhadap perusahaan asuransi. Dalam keadaan seperti ini metode laba bruto dapat digunakan bila sebagian catatan-catatan yang diperlukan ada dan tidak musnah terbakar. c. Untuk mengecek jumlah persediaan yang dihitung dengan cara-cara lain, disebut test laba bruto. d. Untuk menyusun taksiran harga pokok penjualan, persediaan akhir dan laba bruto. Taksiran ini dihitung sesudah dibuat budget penjualan. Dalam metode laba bruto, pertama kali harus ditentukan besarnya persentase laba bruto. Persentase ini bisa didasarkan pada penjualan atau harga pokok penjualan. Biasanya persentase laba bruto ditentukan dengan menggunakan data tahun-tahun lalu. Sesudah persentase laba bruto diketahui, kemudian dikalikan pada penjualan dan hasilnya dikurangkan pada penjualan, sehingga dapat ditentukan jumlah harga pokok penjualan selisih antara harga pokok penjualan dengan barang-barang yang tersedia untuk dijual merupakan persediaan akhir. Contoh penggunaan metode laba bruto adalah sebagai berikut: Persediaan barang awal Pembelian (netto) Penjualan (netto) Rp100.000,00 400.000,00 300.000,00

(1) Misalnya laba bruto sebesar 25% dari penjualan, maka: Penjualan Aba bruto Harga Pokok Penjualan = 100% = 25% = 75%

Persediaan barang akhir periode dihitung sebagai berikut: Persediaan awal Pembelian (netto) Barang tersedia untuk dijual Penjualan Laba bruto (25% x Rp300.000,00) Taksiran Harga Pokok Penjualan Taksiran nilai persediaan akhir Rp300.000,00 75.000,00 225.000,00 Rp275.000,00 Rp100.000,00 400.000,00 Rp500.000,00

(2) Misalnya laba bruto sebesar 40% dari harga pokok penjualan maka: Harga Pokok Penjualan Laba bruto Penjualan = 100% = 40% = 140%

Persediaan barang akhir periode dihitung sebagai berikut: Persediaan awal Pembelian (netto) Barang tersedia untuk dijual Penjualan Laba bruto: 40/140 x 100% x Rp300.000,00 Taksiran Harga Pokok Penjualan Taksiran nilai persediaan akhir Apabila barang-barang yang dijual 85.7110,00 214.290,00 Rp285.710,00 bermacam-macam dan Rp300.000,00 Rp100.000,00 400.000,00 Rp500.000,00

persentase laba brutonya berbeda-beda, maka perhitungan taksiran nilai persediaan dilakukan untuk masing-masing kelompok barang yang persentase laba brutonya sama. Dengan demikian hasil perhitungan akan lebih mendekati kenyataan bila dibandingkan dengan perhitungan seluruh persediaan barang sekaligus.

Evaluasi atas Metode Laba Bruto (Laba Kotor) Apa kelemahan utama metode laba kotor? Salah satu kelemahan utamanya adalah bahwa metode ini menghasilkan suatu estimasi. Akibatnya, perhitungan fisik persediaan harus dilakukan sekali setahun untuk memeriksa jumlah persediaan yang sebenarnya ada di tangan. Kedua, metode laba kotor menggunakan persentase masa lalu dalam menentukan markup. Walaupun masa lalu sering kali dapat memberikan jawaban atas masalah masa depan, namun persentase masa kini pasti lebih akurat. Di sini harus diperhatikan bahwa setiap kali fluktuasi yang signifikan terjadi, persentase ini harus disesuaikan. Ketiga, aplikasi persentase-laba-kotor-kelompok harus dilakukan secara hati-hati. Sering kali, sebuah toko atau departemen menangani barang dagang yang memiliki persentase laba kotor yang beragam. Dalam situasi ini, metode laba kotor mungkin harus diaplikasikan menurut subbagian, lini barang dagang, atau dasar serupa yang mengklasifikasikan barang dagang menurut persentase laba kotornya masing-masing. Metode laba kotor biasanya tidak boleh dipakai bagi tujuan pelaporan keuangan karena hanya menyediakan suatu estimasi.

Perhitungan fisik persediaan diharuskan oleh GAAP sebagai verifikasi tambahan bahwa persediaan yang ditunjukkan dalam catatan benar-benar ada di tangan. Meskipun demikian, metode laba kotor dibolehkan untuk menentukan persediaan akhir bagi tujuan pelaporan interim (biasanya kuartalan) dan pemakaian metode ini harus diungkapkan dalam catatan kaki. Perhatikan bahwa metode laba kotor akan menyerupai metode persediaan yang dipakai (FIFO, LIFO, biaya rata-rata) karena metode itu didasarkan atas catatan historis.

4. Metode Harga Eceran (Retail Inventory Method) Metode harga eceran biasanya digunakan dalam toko-toko yang menjual bermacam-macam barang secara eceran, termasuk toko serba ada. Dalam perusahaan-perusahaan seperti itu biasanya digunakan metode fisik untuk pencatatan persediaan karena metode buku akan menimbulkan banyak

pekerjaan. Metode harga eceran ini memungkinkan dihitungnya jumlah persediaan tanpa mengadakan perhitungan fisik. Metode ini bisa digunakan untuk : a. Menaksir jumlah persediaan barang untuk penyusunan laporan keuangan jangka pendek b. Mempercepat perhitungan fisik, karena jumlah yang dihitung itu dicantumkan dengan harga jualnya, maka untuk mengubahnya ke harga pokok ialah dengan mengalikannya dengan presentase harga pokok tanpa perlu memperhatikan masing-masing fakturnya. c. Mutasi barang dapat diawasi yaitu dengan membandingkan hasil perhitungan fisik yang dinilai dengan harga jual dengan hasil perhitungan dari metode harga eceran. Metode persediaan eceran (retail inventory method), mensyaratkan bahwa pencatatan dilakukan atas dasar: a. Total biaya dan nilai eceran dari barang yang dibeli b. Total biaya dan nilai eceran barang yang tersedia untuk dijual. c. Penjualan periode berjalan Ada beberapa versi metode persediaan eceran yaitu: a. Metode Konvensional, yaitu nilai terendah antara biaya rata-rata dan harga pasar. b. Metode Biaya c. Metode Eceran LIFO d. Metode Eceran LIFO nilai-dolar

Tanpa memperhatikan versi mana yang dipakai, metode persediaan eceran didukung oleh IRS, berbagai asosiasi perusahaan eceran, dan profesi Akuntansi. Salah satu keunggulannya adalah saldo persediaan dapat diestimasi tanpa perhitungan fisik. Namun untuk menghindari kemungkinan lebih-saji persediaan, Perhitungan persediaan periodikharus dilakukan terutama dalam bisnis eceran dimana kerugian akibat pencurian dan kerusakan sering terjadi.

Metode persediaan eceran sangat berguna bagi setiap jenis laporan Interim, karena pengukuran nilai persediaan yang handal dan cepat biasanya dibutuhkan. Para penaksir Asuransi biasanya memakai metode ini untuk mengestimasi kerugian akibat kebakaran, banjir atau bencana lainnya. Metode ini juga berfungsi sebagai perangkat pengendalian (control device) karena setiap penyimpangan dari hasil fisik pada akhir tahun harus dijelaskan. Selain itu, metode eceran juga mempercepat perhitungan fisik persediaan pada akhir tahun. Petugas yang melakukan perhitungan fisik persediaan hanya perlu mencatat harga eceran setiap barang tidak perlu melihat biaya faktur setiap barang sehingga bisa menghemat waktu dan uang.

1) Konsep Metode Harga Eceran Dalam praktek, harga jual sering kali di-markup atau di-markdown. Bagi peritel, istilah di markup berarti markup tambahan atas harga eceran awal. Sedangkan pembatalan markup (markup cancellations) adalah penurunan harga barang dagang yang sebelumnya telah di markup di atas harga eceran awal. Dalam pasar kompetitif, peritel seringkali perlu menggunakan markdown yakni penurunan harga jual awal. Hal ini mungkin diperlukan karena adanya penurunan tingkat harga umum, penjualan khusus, kerusakan barang, kelebihan persediaan, dan persaingan. Sedangkan Pembatalan markdown (markdown cancellation) terjadi apabila markdown kemudian di offset oleh kenaikan harga barang yang sebelumnya sudah di markdown seperti setelah penjualan satu hari. 2) Metode Persediaan Eceran dengan Markup dan Markdown Metode Konvensional Metode ini dirancang untuk memperkirakan nilai terendah antara biaya rata-rata dan harga pasar.

Pos-pos khusus yang berhubungan dengan metode Eceran

Metode persediaan eceran menjadi lebih rumit apabila pos-pos seperti transportasi masuk, retur pembelian dan pengurangan harga, dan diskon pembelian terlibat. Dalam metode eceran, kita memperlakukan pospos semacam itu sebagai berikut: a) Biaya pengangkutan (freight cost) diperlakukan sebagai bagian dari biaya pembelian. b) Retur Pembelian (purchase return) biasanya dipandang sebagai pengurang baik pada biaya maupun harga eceran. c) Diskon pembelian dan pengurangan harga (purchase discount and allowances) biasanya dipandang sebagai pengurang biaya pembelian. Perlu diingat bahwa retur penjualan dan pengurangan harga (sales return and allowance) dipandang sebagai penyesuaian terhadap penjualan kotor, namun diskon penjualan (sales discount) tidak diakui apabila penjualan dicatat sebagai penjualan kotor. Selain itu, sejumlah pos-pos khusus juga memperlukan analisis yang seksama, diantaranya : a) Transfer-masuk (transfer-in) dari departemen lain, misalnya harus dilaporkan dengan cra yang sama seperti pada pembelian dari perusahaan lain. b) Kekurangan normal (normal shortages) bisa disebabkan pecah, rusak, hilang, atau aus. Biaya semacam ini harus dicerminkan dalam harga jual karena kekurangan dalam jumlah tertentu dipandang normal dalam perusahaan eceran. Akibatnya, jumlah ini tidak diperhitungkan dalam menghitung rasio biaya terhadap harga eceran. Hal ini akan ditunjukkan sebagai pengurangan terhadap penjualan yang sama untuk mendapatkan persediaan akhir menurut harga eceran. c) Kekurangan abnormal (abnormal shortages) d) Diskon untuk karyawan (employee discount) Penggunaan Metode persediaan eceran untuk menghitung

persediaan karena alasan sebagai berikut

a) Agar laba bersih dapat dihitung tanpa harus melakukan perhitungan fisik persediaan b) Sebagai ukuran pengendalian dalam menentukan kekurangan

persediaan c) Dalam pengaturan kuantitas barang dagang ditangan d) Untuk informasi asuransi Salah satu karakteristik dari metode persediaan eceran adalah bahwa metode itu memiliki pengaruh rata-rata terhadap berbagai tingkat laba kotor. Jika diaplikasikan kepada perusahaan secara keseluruhan, dimana tingkat laba kotor bervariasi di antardepartemen, maka tidak ada penyisihan yang dibuat untuk menutupi distorsi hasil akibat perbedaan seperti itu.

Contoh perhitungan persediaan akhir dengan metode harga eceran. Harga eceran Persediaan barang awal Pembelian (netto) Barang tersedia untuk dijual Penjualan Persediaan barang akhir Rp Rp 100.000,00 1.100.000,00 Rp1.200.000,00 1.040.000,00 160.000,00 Harga pokok Rp 60.000,00 780.000,00 Rp 840.000,00

Persentase harga pokok: (Rp 840.000,00 : Rp1.200.000,00) x 100% = 70% Persediaan barang akhir dengan harga pokok: 70% x Rp160.000,00 = Rp112.000,00

BAB III PENUTUP

Simpulan Persediaan (inventory), adalah meliputi semua barang yang dimiliki perusahaan pada saat tertentu, dengan tujuan untuk dijual atau dikonsumsi dalam siklus operasi normal perusahaan. Aktiva lain yang dimiliki perusahaan, tetapi tidak untuk dijual atau dikonsumsi tidak termasuk dalam klasifikasi persediaan. Persediaan merupakan aktiva perusahaan yang menempati posisi yang cukup penting dalam suatu perusahaan. Dengan gambaran tersebut maka persediaan untuk perusahaan-perusahaan manufaktur pada umumnya mempunyai tiga jenis persediaan yaitu: 1. 2. 3. Bahan baku (direct material) Barang dalam proses (work in proses) Barang jadi (finished goods). Metode yang dapat digunakan dalam hubungannya dengan pencatatan persediaan ada dua, yaitu: 1. Metode Stock Opname atau Metode Periodik (Fisik) 2. Metode Perpetual. Masalah kepemilikan barang dalam perjalanan (Goods in transit) sangat tergantung dari perjanjian yang disepakati oleh penjual dan pembeli. 2 syarat tersebut adalah (1) Fob Shipping Point dan (2) Fob Destination. Tidak semua barang yang berada di gudang/toko bisa diakui menjadi milik perusahaan, misalnya barang titipan (barang konsinyasi) dari pihak lain dengan tujuan akan dijual untuk dan atas nama pihak lain tersebut dengan mendapatkan sejumlah komisi (consignment in) tidak dapat diakui sebagai milik perusahaan. Sebaliknya untuk barang yang sifatnya consigment out, yang sampai dengan tanggal neraca belum terjual harus dicantumkan di Neraca. Sistem pencatatan (administrasi) persediaan ada dua, yang pertama sistem fisik/periodik (periodic inventory system), berdasarkan sistem ini persediaan ditentukan dengan melakukan menghitung fisik terhadap persediaan.

Penghitungan fisik persediaan dilakukan secara periodik. Dalam sistem ini pencatatan terhadap mutasi persediaan tidak selalu diikuti. Oleh karena itu prosedur penghitungan fisik persediaan pada akhir periode harus dilakukan (mandatory procedure) untuk dapat menentukan fisik persediaan yang akan dilaporkan dalam laporan keuangan. Hasil perhitungan fisik ini dipakai sebagai dasar penentuan nilai persediaan. Yang kedua, sistem perpetual (perpetual inventory system), Pencatatan terhadap mutasi persediaan selalu diikuti secara konsisten, dengan mencatat semua transaksi yang menyebabkan berkurang atau bertambahnya persediaan. Penilaian dengan pendekatan arus harga pokok (cost basic flow approach) terdapat dua sistem pencatatan persediaan yaitu sistem periodik dan sistem perpetual yang masing-masing ada tiga cara penilaian persediaan, yaitu: 1. FIFO (First in First Out), masuk pertama keluar pertama (MPKP), metode ini menyatakan bahwa persediaan dengan nilai perolehan awal (pertama) masuk akan dijual (digunakan) terlebih dahulu, sehingga persediaan akhir dinilai dengan nilai perolehan persediaan yang terakhir masuk (dibeli). 2. LIFO (Last In First Out), masuk terakhir keluar pertama (MTKP), metode ini menyatakan bahwa persediaan dengan nilai perolehan terakhir masuk akan dijual (digunakan) terlebih dahulu, sehingga persediaan akhir dinilai dan dilaporkan berdasarkan nilai perolehan persediaan yang awal (pertama) masuk atau dibeli. Metode ini cenderung menghasilkan nilai persediaan akhir yang rendah dan berdampak pada nilai aktiva perusahaan yang rendah. 3. Metode Rata-rata (average method), dengan menggunakan metode ini nilai persediaan akhir akan menghasilkan nilai antara nilai persediaan metode FIFO dan nilai persediaan LIFO. Metode ini juga akan berdampak pada nilai harga pokok penjualan dan laba kotor. Dalam penilaian persediaan selain arus harga pokok ada tiga metode yang digunakan, yaitu: 1. Lower Cost of Market, yaitu metode harga terendah antara harga pokok dan harga pasar. Metode ini dapat diterapkan dalam kondisi persediaan tidak normal, misalnya cacat, rusak dan kadaluarsa.

2. Gross Profit Method, metode laba kotor ini bersifat estimasi dalam penilaian persediaannya. Biasanya diterapkan karena keterbatasan dokumen yang terkait dengan persediaan, misalnya karena terjadi bencana kebakaran dan banjir. 3. Retail Method, metode eceran ini menilai persediaan akhir dengan cara menghitung terlebih dahulu nilai persediaan akhir berdasarkan eceran.

DAFTAR PUSTAKA Kieso, Donald E, dkk. Akuntansi Intermediate.2007. Jakarta: Erlangga Zaki Baridwan. Intermediate Accounting. 2004. Yogyakarta: BPPE

You might also like