You are on page 1of 34

MAKALAH METODOLOGI STUDI ISLAM

AGAMA SEBAGAI SASARAN PENELITIAN BUDAYA Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mandiri Dosen Pengampu : Dra. Siti Nurjanah, M.Ag. Di susun oleh :

FEBRIANA RAHMADANI

JURUSAN SYARIAH ( PBS ) SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)JURAI SIWO METRO 2012

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis hantarkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Islam pada masa kini tepat pada waktunya. Ucapan terimakasih penulis ucapkan kepada rekan-rekan, sahabat, orang tua serta dosen pengampu yakni Dra. Siti Nurjanah, M.Ag, atas segala bantuan berupa bimbingan maupun berupa dukungan dalam menyelesaikan makalah ini dalam rangka memenuhi tugas mandiri yang diberikan oleh dosen yang bersangkutan. Penulis sangat mengharapkan kritik dan sarannya dalam penyempurnaan makalah mandiri ini. Semoga dengan adanya kritik dan saran yang diberikan, makalah ini dapat lebih baik dari sebelunnya. Atas saran dan kritiknya penulis ucapkan terima kasih.

Metro, November 2012

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................i .................................................................................................................................... KATA PENGANTAR ..............................................................................................ii .................................................................................................................................... DAFTAR ISI .............................................................................................................iii BAB I PENDAHULUAN .........................................................................................1 1.1 Latar belakang masalah .............................................................................1 BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Penelitian dan Penelitian Agama

2. Peta Penelitian Keagamaan 3. Model-Model Penelitian Keagamaan 4. Agama-Agama Dipandang Dari Segi Sejarahnya 5. Pendekatan Kebudayaan 6. Pendekatan Kebudayaan dan Agama BAB III PENUTUP 1. Kesimpulan DAFTAR PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Penelitian (Research) adalah upaya sistematis dan objektif untuk mempelajari suatu masalah dan menemukan prinsip-prinsip umum. Selain itu, penelitian juga berarti upaya pengumpulan informasi yang bertujuan untuk menambah pengetahuan. Pengetahuan manusia tumbuh dan berkembang berdasarkan kajian-kajian sehingga terdapat penemuan-penemuan, sehingga ia siap merevisi pengetahuan-pengetahuan masa lalu melalui penemuan-penemuan baru. Penelitian itu sendiri dipandang sebagai kegiatan ilmiah karena menggunakan metode keilmuan. Sedangkan metode ilmiah sendiri adalah usaha untuk mencari jawaban tentang fakta-fakta dengan menggunakan kesangsian sistematis. Sedangkan penelitian agama sendiri menjadikan agama sebagai objek penelitian yang sudah lama diperdebatkan. Harun nasution menunjukkan pendapat yang menyatakan bahwa agama, karena merupakan wahyu, tidak dapat menjadi sasaran penelitian ilmu sosial, dan kalaupun dapat dilakukan, harus menggunakan metode khusus yang berbeda dengan metode ilmu sosial. Hal yang sama juga dijelaskan oleh Ahmad Syafii Mufid. Beliau menjelaskan bahwa agama sebagai objek penelitian pernah menjadi bahan perdebatan, karena agama merupakan sesuatu yang transenden. Agamawan cenderung berkeyakinan bahwa agama memiliki kebenaran mutlak sehingga tidak perlu diteliti. Menurut Harun Nasution, agama

mengandung dua kelompok ajaran. Pertama, ajaran dasar yang diwahyukan tuhan melalui rasul-Nya kepada masyarakat manusia. Ajaran dasar yang demikian terdapat dalam kitab-kitab suci. Ajaran-ajaran yang terdapat dalam kitab-kitab suci itu memerlukan penjelasan tentang arti dan cara pelaksanaannya. Penjelasan-penjelasan para pemuka atau pakar agama membentuk ajaran agama kelompok kedua. Ajaran dasar agama, karena merupakan wahyu dari tuhan, bersifat absolut, mutlak benar, kekal, tidak berubah dan tidak bisa diubah. Sedangkan penjelasan ahli agama terhadap ajaran dasar agama, karena hanya merupakan penjelasan dan hasil pemikiran, tidak absolut, tidak mutlak benar, dan tidak kekal. Bentuk ajaran agama yang kedua ini bersifat relatif, nisbi, berubah, dan dapat diubah sesuai dengan perkembangan zaman. Para ilmuwan sendiri beranggapan bahwa agama juga merupakan objek kajian atau penelitian, karena agama merupakan bagian dari kehidupan sosial kultural. Jadi, penelitian agama bukanlah meneliti hakikat agama dalam arti wahyu, melainkan meneliti manusia yang menghayati, meyakini, dan memperoleh pengaruh dari agama. Dengan kata lain, penelitian agama bukan meneliti kebenaran teologi atau filosofi tetapi bagaimana agama itu ada dalam kebudayaan dan sistem sosial berdasarkan fakta atau realitas sosial-kultural. Jadi, kata Ahmad Syafii Mufid, kita tidak mempertentangkan antara penelitian agama dengan penelitian sosial terhadap agama (Ahmad Syafii mufid dalam Affandi Mochtar). Dengan demikian kedudukan penelitian agama adalah sejajar dengan penelitian-penelitian lainnya, yang membedakannya hanyalah objek kajian yang ditelitinya.

Sasaran penelitian agama dapat berupa doktrin agama yang dianut oleh pemeluk agama. Ia merupakan aspek normatif dalam kehidupan beragama, baik yang masih dalam ranah keyakinan maupun dalam ranah wacana dan panduan dalam bertindak (beramal). Selain itu, sasaran penelitian agama dapat berupa proses sosialisasi ajaran agama dalam kehidupan umat beragama dan proses transformasi ajaran agama dalam berbagai aspek kehidupan. Hal itu menunjukkan bahwa agama dalam kehidupan manusia mengalami dinamika, baik sebagai faktor determinan maupun yang mengalami penyesuaian diri dengan perubahan dalam kehidupan umat manusia.

Agama, secara mendasar dan umum, dapat didefinisikan sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib, khususnya dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan manusia dengan lingkungannya. Dalam definisi tersebut, agama dilihat sebagai sebuah doktrin atau teks suci sedangkan hubungan agama dengan manusia yang meyakininya dan khususnya kegiatan-kegiatan manusia penganut agama tersebut tidak tercakup dalam definisi tersebut. Para ahli ilmu-ilmu sosial, khususnya Antropologi dan Sosiologi, yang perhatian utamanya adalah kebudayaan dan masyarakat manusia, telah mencoba untuk melihat agama dari perspektif masingmasing bidang ilmu dan pendekatan-pendekatan yang mereka gunakan, dalam upaya mereka untuk dapat memahami hakekat agama dalam kehidupan manusia dan masyarakatnya.

Diantara berbagai upaya yang dilakukan oleh para ahli Antropologi untuk memahami hakekat agama bagi dan dalam kehidupan manusia, Michael Banton telah mengedit sebuah buku yang berjudul Anthropological Approaches to the Study of Religion, yang diterbitkannya pada tahun 1966. Diantara tulisan-tulisan yang ada dalam buku tersebut, yang kemudian menjadi klasik karena sampai dengan sekarang ini masih diacu dalam berbagai tulisan mengenai agama, adalah tulisan Clifford Geertz yang berjudul Religion as a Cultural System. Tulisan Geertz inilah yang telah menginspirasikan dan menjadi acuan bagi perkembangan teori-teori mengenai agama yang dilakukan oleh para ahli Antropologi. Tulisan berikut ini juga mengacu pada teori Geertz mengenai agama sebagai sistem budaya, walaupun dalam rinciannya tidaklah sama dengan teori Geertz tersebut.

Sedangkan kebudayaan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996: 149), disebutkan bahwa: budaya adalah pikiran, akal budi, adat istiadat. Sedang kebudayaan adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia, seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat. Ahli sosiologi mengartikan kebudayaan dengan keseluruhan kecakapan (adat, akhlak, kesenian, ilmu dll). Definisi-definisi tersebut menunjukkan bahwa jangkauan kebudayaan sangatlah luas.

Jadi, Bila agama dilihat dengan menggunakan kacamata agama, maka agama diperlakukan sebagai kebudayaan; yaitu: sebagai sebuah pedoman bagi kehidupan masyarakat yang diyakini kebenarannya oleh para warga masyarakat tersebut. Agama

dilihat dan diperlakukan sebagai pengetahuan dan keyakinan yang dipunyai oleh sebuah masyarakat; yaitu, pengetahuan dan keyakinan yang kudus dan sakral yang dapat dibedakan dari pengetahuan dan keyakinan sakral dan yang profan yang menjadi ciri dari kebudayaan.

Pada waktu kita melihat dan memperlakukan agama sebagai kebudayaan maka yang kita lihat adalah agama sebagai keyakinan yang hidup yang ada dalam masyarakat manusia, dan bukan agama yang ada dalam teks suci, yaitu dalam kitab suci Al Quran dan Hadits Nabi. Sebagai sebuah keyakinan yang hidup dalam masyarakat, maka agama menjadi bercorak lokal; yaitu, lokal sesuai dengan kebudayaan dari masyarakat tersebut. Mengapa demikian? untuk dapat menjadi pengetahuan dan keyakinan dari masyarakat yang bersangkutan, maka agama harus melakukan berbagai proses perjuangan dalam meniadakan nilai-nilai budaya yang bertentangan dengan keyakinan hakiki dari agama tersebut dan untuk itu juga harus dapat mensesuaikan nilai-nilai hakikinya dengan nilai-nilai budaya serta unsur-unsur kebudayaan yang ada, sehingga agama tersebut dapat menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari berbagai unsur dan nilai-nilai budaya dari kebudayaan tersebut. Dengan demikian maka agama akan dapat menjadi nilai-nilai budaya dari kebudayaan tersebut.

Bila agama telah menjadi bagian dari kebudayaan maka agama juga menjadi bagian dari nilai-nilai budaya dari kebudayaan tersebut. Dengan demikian, maka

berbagai tindakan yang dilakukan oleh para warga masyarakat untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan kehidupan mereka dalam sehari-harinya juga akan

berlandaskan pada etos agama yang diyakini. Dengan demikian, nilai-nilai etika dan moral agama akan terserap dan tercermin dalam berbagai pranata yang ada dalam masyrakat tersebut. Sebaliknya, bila yang menjadi inti dan yang hakiki dari kebudayaan tersebut adalah nilai-nilai budaya yang lain, maka nilai-nilai etika dan moral dari agama yang dipeluk oleh masyarakat tersebut hanya akan menjadi pemanis mulut saja atau hanya penting untuk upacara-upacara saja.

Apakah gunanya menggunakan pendekatan kebudayaan terhadap agama. Yang terutama adalah kegunaannya sebagai alat metodologi untuk memahami corak keagamaan yang dipunyai oleh sebuah masyarakat dan para warganya. Kegunaan kedua, sebagai hasil lanjutan dari kegunaan utama tersebut, adalah untuk dapat mengarahkan dan menambah keyakinan agama yang dipunyai oleh para warga masyarakat tersebut sesuai dengan ajaran yang benar menurut agama tersebut, tanpa harus menimbulkan pertentangan dengan para warga masyarakat tersebut. Yang ketiga, seringkali sesuatu keyakinan agama yang sama dengan keyakinan yang kita punyai itu dapat berbeda dalam berbagai aspeknya yang lokal. Tetapi, dengan memahami kondisi lokal tersebut maka kita dapat menjadi lebih toleran terhadap aspek-aspek lokal tersebut, karena memahami bahwa bila aspek-aspek lokal dari keyakinan agama masyarakat tersebut dirubah maka akan terjadi perubahanperubahan dalam berbagai pranata yang ada dalam masyarakat tersebut yang akhirnya

akan menghasilkan perubahan kebudayaan yang hanya akan merugikan masyarakat tersebut karena tidak sesuai dengan kondisi-kondisi lokal lingkungan hidup masyarakat tersebut.

BAB II PEMBAHASAN

1. Pengertian Penelitian dan Penelitian Agama Penelitian (Research) adalah upaya sistematis dan objektif untuk mempelajari suatu masalah dan menemukan prinsip-prinsip umum. Selain itu, penelitian juga berarti upaya pengumpulan informasi yang bertujuan untuk menambah pengetahuan. Pengetahuan manusia tumbuh dan berkembang berdasarkan kajian-kajian sehingga terdapat penemuan-penemuan, sehingga ia siap merevisi pengetahuan-pengetahuan masa lalu melalui penemuan-penemuan baru. Penelitian itu sendiri dipandang sebagai kegiatan ilmiah karena menggunakan metode keilmuan. Sedangkan metode ilmiah sendiri adalah usaha untuk mencari jawaban tentang fakta-fakta dengan menggunakan kesangsian sistematis. Sedangkan penelitian agama sendiri menjadikan agama sebagai objek penelitian yang sudah lama diperdebatkan. Harun nasution menunjukkan pendapat yang menyatakan bahwa agama, karena merupakan wahyu, tidak dapat menjadi sasaran penelitian ilmu sosial, dan kalaupun dapat dilakukan, harus menggunakan metode khusus yang berbeda dengan metode ilmu sosial. Hal yang sama juga dijelaskan oleh Ahmad Syafii Mufid. Beliau menjelaskan bahwa agama sebagai objek penelitian pernah menjadi bahan perdebatan, karena agama merupakan sesuatu yang transenden. Agamawan

cenderung berkeyakinan bahwa agama memiliki kebenaran mutlak sehingga tidak1 perlu diteliti. Menurut Harun Nasution, agama mengandung dua kelompok ajaran. Pertama, ajaran dasar yang diwahyukan tuhan melalui rasul-Nya kepada masyarakat manusia. Ajaran dasar yang demikian terdapat dalam kitab-kitab suci. Ajaran-ajaran yang terdapat dalam kitab-kitab suci itu memerlukan penjelasan tentang arti dan cara pelaksanaannya. Penjelasan-penjelasan para pemuka atau pakar agama membentuk ajaran agama kelompok kedua. Ajaran dasar agama, karena merupakan wahyu dari tuhan, bersifat absolut, mutlak benar, kekal, tidak berubah dan tidak bisa diubah. Sedangkan penjelasan ahli agama terhadap ajaran dasar agama, karena hanya merupakan penjelasan dan hasil pemikiran, tidak absolut, tidak mutlak benar, dan tidak kekal. Bentuk ajaran agama yang kedua ini bersifat relatif, nisbi, berubah, dan dapat diubah sesuai dengan perkembangan zaman. Para ilmuwan sendiri beranggapan bahwa agama juga merupakan objek kajian atau penelitian, karena agama merupakan bagian dari kehidupan sosial kultural. Jadi, penelitian agama bukanlah meneliti hakikat agama dalam arti wahyu, melainkan meneliti manusia yang menghayati, meyakini, dan memperoleh pengaruh dari agama. Dengan kata lain, penelitian agama bukan meneliti kebenaran teologi atau filosofi tetapi bagaimana agama itu ada dalam kebudayaan dan sistem sosial berdasarkan fakta atau realitas sosial-kultural. Jadi, kata Ahmad Syafii
1

Mukti Ali, metode memahami agama islam, Jakarta: Bulan bintang, 1991, hal. 37-38

Mufid, kita tidak mempertentangkan antara penelitian agama dengan penelitian sosial terhadap agama (Ahmad Syafii mufid dalam Affandi Mochtar). Dengan demikian kedudukan penelitian agama adalah sejajar dengan penelitian-penelitian lainnya, yang membedakannya hanyalah objek kajian yang ditelitinya. Sebagian pihak tidak setuju, jika penelitian agama betujuan bukan untuk meneliti kebenaran teologi atau filosofi tetapi bagaimana agama itu ada dalam kebudayaan dan sistem sosial. Seandainya itu digunakan, maka kebenaran suatu agama akan diabaikan atau tidak mencari agama mana yang paling benar. Dan ini akan membuat agama islam disejajarkan dengan agama-agama yang lain. Karena penelitian ini hanya melihat dari sisi bagaimana suatu agama itu ada dalam kebudayaan masyarakat tertentu, misalnya mengapa ajaran tarekat mudah diterima dimasyarakat jawa, itu sebabnya karena masyarakat jawa masih banyak yang mempercayai akan benda-benda mistis dan kemampuan alam ghaib. Dan dalam penelitian agama yang seperti ini, kebudayaan-kebudayaan yang ada diberbagai masyarakat tidak disalahkan atau dibenarkan, hanya sekedar untuk mengetahui bagaimana agama itu ada dalam kebudayaan masyarakat. Dan kalau dimasukkan kedalam agama islam, maka kebudayaan-kebudayaan yang seperti tarekat yang diterima di masyarakat jawa dan kiyai slamet yang sangat diagung-agungkan di masyarakat Jawa Tengah, khususnya Yogya, akan dianggap bahwa itulah ajaran islam. Dalam mempermudah peta penelitian agama, kita dapat memahaminya melalui tabel berikut:

2. Peta Penelitian Keagamaan Dengan demikian, agama dalam pengertian yang kedua, menurut Harun Nasution, dapat dijadikan sebagai objek penelitian tanpa harus menggunakan metode khusus yang berbeda dengan metode yang lain. Jadi pendapat Harun Nasution mengenai penjelasan-penjelasan tentang ajaran-ajaran yang terdapat dalam kitab-kitab suci oleh para pemuka atau pakar agama membetuk ajaran agama kelompok kedua bersifat nisbi, relatif dan dapat dirubah sesuai perkembangan zaman tidak sesuai dengan ajaran islam, sebagai contohnya Rasulallah menjelaskan tata cara shalat, sedangkan didalam kitab suci tidak diterangkan tata cara shalat, dan tata cara shalat ini sendiri bersifat qoti/ tidak bisa dirubah. Kalau menurut Harun Nasution berarti penjelasan-penjelasan Rasulallah tentang tata cara shalat berarti bersifat nisbi dan dapat dirubah. Sedangkan menurut M. Atho Mudzhar mengatakan bahwa perbedaan antara penelitian agama dengan penelitian keagamaan perlu disadari karena perbedaan tersebut membedakan jenis metode penelitian yang diperlukan. Untuk penelitian agama yang sasarannya adalah agama sebagai doktrin, pintu bagi pengembangan suatu metodologi penelitian tersendiri sudah terbuka, bahkan sudah ada yang merintisnya. Adanya ilmu ushul fiqh sebagai metode istinbath hukum dalam agama islam dan ilmu musthalahul hadist sebagai metode untuk menilai akurasi sabda Nabi Muhammad saw merupakan bukti bahwa keinginan untuk mengembangkan metodologi penelitian tersendiri bagi bidang pengetahuan agama ini pernah muncul. Persoalan berikutnya ialah, apakah kita hendak menyempurnakannya atau

meniadakannya sama sekali dan menggantinya dengan yang baru, atau tidak

menggantinya sama sekali dan membiarkannya tidak ada. Sedangkan untuk penelitian keagamaan yang sasarannya agama sebagai gejala sosial, kita tidak perlu membuat metodologi penelitian tersendiri. Ia cukup meminjam metodologi penelitian sosial yang telah ada. Dengan kata lain bahwa pendapat M. Atho Mudzhar sama dengan pendapat yang dikemukakan Harun Nasution, kalau penelitian agama sama dengan ajaran agama kelompok pertama dan penelitian keagamaan sama dengan ajaran agama kelompok kedua menurut Harun nasution. Dalam pandangan Juhaya S. Praja, penelitian agama adalah penelitian tentang asal-usul agama, dan pemikiran serta pemahaman penganut ajaran agama tersebut terhadap ajaran yang terkandung didalamnya. Dengan demikian, jelas juhaya, terdapat dua bidang penelitian agama, yaitu sebagai berikut;

a. Penelitian tentang sumber ajaran agama yang telah melahirkan disiplin ilmu tafsir dan ilmu hadist. b. Pemikiran dan pemahaman terhadap ajaran yang terkandung dalam sumber ajaran agama itu.

Penelitian Dadang Kahmad (1998) tentang Pengikut Tarekat di Perkotaan, merupakan salah satu produk penelitian yang menghubungkan antara modernisasi dengan perilaku keagamaan pengikut Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah (TQN) di Kota Bandung.

Sedangkan penelitian hidup keagamaan adalah penelitian tentang praktikpraktik ajaran agama yang dilakukan oleh manusia secara individual dan kolektif. Berdasarkan batasan tersebut, penelitian hidup keagamaan meliputi hal-hal berikut.

a. Perilaku individu dan hubungannnya dengan masyarakatnya yang didasarkan atas agama yang dianutnya. b. Perilaku masyarakat atau suatu komunitas, baik perilaku politik, budaya maupun yang lainnya yang mendefinisikan dirinya sebagai penganut suatu agama. c. Ajaran agama yang membentuk pranata sosial, corak perilaku, dan budaya masyarakat beragama.

Dalam hal ini, pendapat yang dikemukakan oleh Juhaya S. Praja ada kesamaan dengan pendapat Harun Nasution dan M. Atho Mudzhar, akan tetapi Juhaya membagi penelitan agama menjadi dua bidang, yang pada intinya pendapatnya sama dengan pendapat Harun Nasution tentang ajaran agama kelompok pertama. Sedangkan penelitian keagamaan menurut Juhaya adalah penelitian hidup keagamaan, yaitu penelitian terhadap praktik-praktik ajaran agama yang dilakukan oleh manusia secara individual dan kolektif.

3. Model-Model Penelitian Keagamaan Adapun model penelitian yang ditampilkan di sini disesuaikan dengan perbedaan antara penelitian agama dan penelitian keagamaan. Akan tetapi, disini

dikutip karya Djamari mengenai metode sosiologi dalam kajian agama, yang secara

tidak langsung memperlihatkan model-model penelitian agama melalui pendekatan sosiologis. Djamari, dosen pascasarjana IKIP Bandung, menjelaskan bahwa kajian sosiologi agama menggunakan metode ilmiah. Yaitu:

1. Analisis Sejarah

Dalam hal ini, sejarah hanya sebagai metode analisis atas dasar pemikiran bahwa sejarah dapat menyajikan gambaran tentang unsur-unsur yang mendukung timbulnya suatu lembaga, dan pendekatan sejarah bertujuan untuk menemukan inti karakter agama dengan meneliti sumber klasik sebelum dicampuri yang lain. Seperti halnya agama Islam, sejarah mencatat bahwa ia adalah agama yang diturunkan melalui Nabiya yaitu Muhammad Saw berdasarkan kitab sucinya yaitu Al-Quran yang ditulis dalam bahasa arab. Islam diturunkan bukan untuk satu bangsa saja melainkan untuk seluruh bangsa secara universal. Sedangkan agama lain ada yang hanya diturunkan untuk satu bangsa saja seperti yahudi untuk ras yahudi saja. Pendekatan sejarah dalam memahami agama dapat membuktikan apakah agama itu masih tetap pada orisinalitasnya seperti ketika ia baru muncul atau sudah bergeser jauh dari prinsip-prinsip utamanya. Bila hal itu dihubungkan dengan agama islam maka ia dapat dimasukkan pada kategori agama yang bertahan konsisten dengan ajaran seperti pada masa awalnya.

Ibid, hal. 56

4. Agama-Agama Dipandang Dari Segi Sejarahnya a. Analisis lintas budaya

Analisis lintas budaya bisa diartikan dengan ilmu antropologi, karena dilihat dari definisi antropologi sendiri secara sederhana dapat dikatakan bahwa antripologi mengkaji kebudayaan manusia.

Islam sebagai agama yang dibawa oleh Muhammad saw sampai saatnya kini telah melalui berbagai dimensi budaya dan adat-istiadat. Masing-masing negeri memiliki corak budayanya masing-masing dalam mengekspresikan agamanya. Karena itu dari segi antropologi kita dapat memilah-milah mana bagian islam yang merupakan ajaran murni dan mana ajaran islam yang bercorak lokal budaya setempat.

b. Eksperimen

Penelitian yang menggunakan eksperimen agak sulit dilakukan dalam penelitian agama. Namun, dalam beberapa hal,eksperimen dapat dilakukan dalam penelitian agama, misalnya untuk mengevaluasi perbedaan hasil belajar dari beberapa model pendidikan agama.

c. Observasi partisipatif

Dengan partisipasi dalam kelompok, peneliti dapat mengobservasi perilaku orangorang dalam konteks relegius. Baik diketahui atau tidak oleh orang yang sedang

45

diobeservasi. Dan diantara kelebihannya yaitu memungkinkannya pengamatan

simbolik antar anggota kelompok secara mendalam. Adapun kelemahannya yaitu terbatasnya data pada kemampuan observer.

d. Riset survei dan analisis statistic

Penelitian survei dilakukan dengan penyusunan kuesioner, interview dengan sampel dari suatu populasi. Sampel bisa berupa organisasi keagamaan atau penduduk suatu kota atau desa. Prosedur penelitian ini dinilai sangat berguna untuk memperlihatkan korelasi dari karakteristik keagamaan tertentu dengan sikap sosial atau atribut keagamaan tertentu.

e. Analisis isi

Dengan metode ini, peneliti mencoba mencari keterangan dari tema-tema agama, baik berupa tulisan, buku-bukukhotbah, doktrin maupun deklarasi teks, dan lainnya. Umpamanya sikap kelompok keagamaan dianalisis dari substansi ajaran kelompok tersebut. Dari model-model penelitian keagamaan diatas muncul pertanyaan bagi kita semua, apakah dari model-model penelitian keagamaan diatas bisa bermanfaat bagi agama islam? Atau justru dapat mengkaburkan agama islam itu sendiri? Sebuah pertanyaan yang patut kita renungkan bersama. Menurut hasil

Didin Saefuddin Buchori, Metodologi Studi Islam, Bogor: Granada Sarana Pustaka, 2005, cet.I, hal. 118 5 http://www.fshuinsgd.ac.id/2012/04/agama-sebagai-sasaran-penelitian/

penelitian M. Atho Mudzhar (1993: 126), pokok-pokok isi fatwa MUI tentang keluarga berencana adalah sebagai berikut ini. Pertama, Islam membenarkan pelaksanaan keluarga berencana yang ditujukan demi kesehatan ibu dan anak, dan demi kepentingan pendidikan anak. Pelaksanaannya harus dilakukan atas dasar sukarela, dan menggunakan alat kontrasepsi yang tidak dilarang oleh Islam. Kedua, pengguguran kandungan dalam bentuk apa pun dan pada tingkat kehamilan kapan pun diharamkan oleh Islam karena perbuatan itu tergolong pembunuhan. Ini termasuk pengaturan waktu haid dengan menggunakan pil. Pengecualian hanya diberikan apabila pengguguran dilakukan demi menolong jiwa si ibu. Ketiga, vasektomi dan tubektomi dilarang dalam Islam, kecuali dalam keadaan darurat, seperti untuk mencegah menjalarnya penyakit menular atau untuk menolong jiwa orang yang hendak menjalani vasektomi atau tubektomi. Keempat, penggunaan IUD dalam keluarga berencana dibenarkan, asalkan pemasangannya dilakukan oleh dokter wanita atau, dalam keadaan tertentu, oleh dokter lelaki dengan dihadiri oleh kaum wanita lain atau suami pasien. Uraian ringkas di atas menunjukkan tentang suatu hubungan timbalbalik antara agama dengan pertumbuhan penduduk. Hubungan itu, secara umum, mencakup tiga unsur. Pertama, unsur norma sosial yang bersumber dari ajaran agama yang dijadikan dasar keabsahan perkawinan dan norma interaksi suami isteri. Kedua, unsur perilaku manusia, yakni interaksi suami isteri dan antar ulama dalam proses perumusan fatwa MUI. Ketiga, unsur biologis, yakni proses reproduksi yang berawal dari persetubuhan suami isteri. Unsur norma sosial secara umum berpengaruh

terhadap unsur perilaku manusia dan unsur biologis secara khusus. Unsur perilaku manusia secara umum berpengaruh terhadap unsur norma sosial dan unsur biologis secara khusus. Demikian pula, unsur biologis secara umum berpengaruh terhadap unsur norma sosial dan unsur perilaku manusia secara khusus. Apa yang dikemukakan di atas menunjukkan tentang sosok agama dalam konteks kehidupan manusia yang mengalami perubahan. Ia merupakan salah satu wujud sasaran penelitian agama yang dapat dipahami dan dijelaskan menurut sudut pandang tertentu. Di samping itu, sasaran penelitian agama dapat berupa doktrin agama yang dianut oleh pemeluk agama. Ia merupakan aspek normatif dalam kehidupan beragama, baik yang masih dalam ranah keyakinan maupun dalam ranah wacana dan panduan dalam bertindak (beramal). Selain itu, sasaran penelitian agama dapat berupa proses sosialisasi ajaran agama dalam kehidupan umat beragama dan proses transformasi ajaran agama dalam berbagai aspek kehidupan. Hal itu menunjukkan bahwa agama dalam kehidupan manusia mengalami dinamika, baik sebagai faktor determinan maupun yang mengalami penyesuaian diri dengan perubahan dalam kehidupan umat manusia. Atas perihal tersebut dapat disusun sasaran penelitian agama berdasarkan pembidangan ilmu agama Islam sebagaimana berikut ini. Pertama, bidang Quran antara lain: (1) hubungan antara nuzl al-Qurn dengan tugas kerasulan Nabi Muhammad Saw. pada periode Makkah dan Madinah; (2) penerjemahan dan penafsiran Quran dalam perspektif sejarah Islam; (3) pengajaran Quran dalam

kelompok sosial tertentu; (4) transformasi Quran dalam penataan kehidupan

bernegara, organisasi kemasyarakatan dan kemahasiswaan; (5) pengajaran tafsir dalam lingkungan pesantren dan perguruan tinggi; (6) relasi antara tradisi pembacaan Quran dengan kebudayaan lokal; dan (7) apresiasi terhadap Quran, antara lain melalui musabaqah tilawatil Quran. Kedua, bidang Hadis antara lain: (1) hubungan antara asbb al-wurd (alSunnah) dengan tradisi lokal dan misi kerasulan Nabi Muhammad Saw.; (2) pengumpulan dan pembukuan hadis dalam konteks tradisi besar; (3) penyebarluasan kitab hadis dalam konteks sejarah Islam; (5) apresiasi masyarakat terhadap hadis sebagai sumber ajaran Islam; (4) pengajaran hadis dalam lingkungan pesantren dan perguruan tinggi; dan (6) hubungan antara penggunaan hadis dengan masalah dan peristiwa penting dalam kehidupan manusia. Ketiga, bidang pemikiran antara lain: (1) hubungan antara matarantai intelektual dengan produk pemikiran kalam; (2) hubungan antara paham teologi dengan etos kerja dan pertumbuhan ekonomi; (3) hubungan antara kebudayaan dengan perkembangan tasawuf; (4) hubungan antara keanggotaan tarekat dengan dinamika kebudayaan lokal; (6) tarekat dalam masyarakat desa dan masyarakat kota; (5) tarekat dalam lingkungan pesantren; (6) interaksi antar kelompok penganut aliran paham keagamaan; dan (7) paham keagamaan dalam organisasi keagamaan dan kemasyarakatan yang berorientasi nasional. Keempat, bidang hukum Islam antara lain: (1) madzhab fiqh dalam

A. Mukti Ali, metode memahami agama islam, Jakarta: Bulan bintang, 1991, hal. 37-38

perspektif sejarah Islam; (2) hubungan antara penyebarluasan dan kepenganutan madzhab fiqh dengan struktur dan pola kebudayaan; (3) internalisasi hukum Islam ke dalam pranata sosial di Indonesia; (4) interaksi antara hukum Islam dengan kaidah lokal; (5) difusi hukum Islam dalam tradisi lokal; (6) transformasi hukum Islam dalam peraturan perundang-undangan; dan (7) transformasi hukum Islam dalam berbagai bidang kehidupan domestik dan publik (ekonomi dan politik). Kelima, bidang sejarah peradaban Islam antara lain: (1) hubungan antara gagasan dan tradisi politik dengan perkembangan imperium dalam perspektif sejarah Islam; (2) hubungan antara islamisasi dengan tradisi intelektual di dunia Islam; (3) hubungan antara kehidupan beragama dengan kebudayaan lokal; (4) hubungan antara agama dengan basis orientasi kultural; (5) interaksi antara agama dengan tradisi lokal; (6) hubungan antara tradisi besar dengan wacana intelaktual di dunia Islam; dan (7) hubungan antara implementasi ajaran agama dengan gerakan sosial, pemberontakan, dan revolusi dalam perspektif sejarah. Keenam, bidang bahasa dan sastra Arab antara lain: (1) difusi kebudayaan Arab dalam konteks kebudayaan lokal; (2) transformasi bahasa Arab ke dalam kosakata bahasa daerah; (3) transformasi bahasa Arab dalam institusi sosial di Asia Tenggara; (4) tradisi pembacaan syiir Arab dalam kebudayaan l okal; (5) interaksi antara bahasa Arab dengan bahasa asing lain dalam proses pengembangan bahasa Indonesia; dan (7) pengajaran bahasa Arab dalam lingkungan pesantren dan perguruan tinggi agama Islam. Ketujuh, bidang pendidikan Islam antara lain: (1) proses integrasi pendidikan agama dalam sistem pendidikan nasional; (2) kebijakan pendidikan agama dalam lingkungan sekolah; (3) hubungan antara

teknologi dan masyarakat dengan kurikulum pendidikan agama; (4) pengajaran agama dalam lingkungan sekolah dan pesantren; (5) partisipasi masyarakat dalam program wajib belajar dalam lingkungan madrasah; (6) pandangan orang tua terhadap pendidikan agama di sekolah dan madrasah, dan (7) hubungan antara tradisi belajar dengan perkembangan psikologis di kalangan pelajar dan mahasiswa. Kedelapan, bidang dakwah Islam, antara lain: (1) majelis taklim dalam masyarakat desa dan masyarakat kota; (2) hubungan antara penyelenggaraan majelis taklim dengan solidaritas dan pengendalian sosial; (4) pengorganisasia tabligh lintas kawasan; (5) bimbingan agama dalam kelompok sosial tertentu; (6) penyelenggaraan dakwah di kalangan organisasi kemasyarakatan yang berorientasi nasional; (7) penyiaran dan penerbitan buku keagamaan dalam konteks perkembangan teknologi komunikasi dan grafika; dan (8) manajemen organisasi keagamaan dalam konteks pengorganisasian negara dan otoritas pemerintahan negara. Sasaran penelitian tersebut masih bersifat umum. Ia memerlukan pembatasan secara spesifik. Di samping itu, dapat dilengkapi dengan sasaran penelitian lain dari aspek yang bervariasi. Selanjutnya dapat disusun fokus penelitian sesuai dengan pilihan peneliti. Selamat berkreasi.

5. Pendekatan Kebudayaan Pendekatan sebagai sebuah konsep ilmiah tidaklah sama artinya dengan kata pendekatan nyata biasa digunakan oleh umum atau awam. Kalau dalam konsep orang awam atau umum kata pendekatan diartikan sebagai suatu keadaan atau proses

mendekati sesuatu, untuk supaya dapat berhubungan atau untuk membujuk sesuatu tersebut melakukan yang diinginkan oleh yang mendekati, maka dalam konsep ilmiah kata pendekatan diartikan sama dengan metodologi atau pendekatan metodologi. Pengertian pendekatan sebagai metodologi adalah sama dengan cara atau sudut pandang dalam melihat dan memperlakukan yang dipandang atau dikaji. Sehingga dalam pengertian ini, pendekatan bukan hanya diartikan sebagai suatu sudut atau cara pandang tetapi juga berbagai metode yang tercakup dalam sudut dan cara pandang tersebut. Dengan demikian konsep pendekatan kebudayaan dapat diartikan sebagai metodologi atau sudut dan cara pandang yang menggunakan kebudayaan sebagai kacamatanya. Permasalahannya kemudian, adalah mendefinisikan konsep

kebudayaan yang digunakan sebagai sudut atau cara pandang ini.

Di Indonesia, diantara para cendekiawan dan ilmuwan sosial, konsep kebudayaan dari Profesor Koentjaraningrat amatlah populer. Dalam konsep ini kebudayaan diartikan sebagai wujudnya, yaitu mencakup keseluruhan dari: (1) gagasan; (2) kelakuan; dan (3) hasil-hasil kelakuan. Dengan menggunakan definisi ini maka seseorang pengamat atau peneliti akan melihat bahwa segala sesuatu yang ada dalam pikirannya, yang dilakukan dan yang dihasilkan oleh kelakuan oleh manusia adalah kebudayaan. Dengan demikian, maka kebudayaan adalah sasaran pengamatan atau penelitian; dan, bukannya pendekatan atau metodologi untuk pengamatan, penelitian atau kajian. Karena tidak mungkin untuk menggunakan keseluruhan gagasan, kelakuan, dan hasil kelakuan, sebagai sebuah sistem yang bulat dan

menyeluruh untuk dapat digunakan sebagai kecamata untuk mengkaji kelakuan atau gagasan atau hasil kelakuan manusia. Ketidak mungkinan tersebut disebabkan karena: (1) Gagasan sebagai ide atau pengetahuan tidaklah sama hakekatnya dengan kelakuan dan hasil kelakuan. Pengetahuan tidak dapat diamati sedangkan kelakuan atau hasil kelakuan dapat diamati dan/atau dapat diraba. (2) Kelakuan dan hasil kelakuan adalah produk atau hasil pemikiran yang berasal dari pengetahuan manusia. Jadi hubungan antara gagasan atau pengetahuan dengan kelakuan dan hasil kelakuan adalah hubungan sebab akibat; dan karena itu gagasan atau pengetahuan tidaklah dapat digolongkan sebagai sebuah golongan yang sama yang namanya kebudayaan.

Dalam berbagai tulisan saya, antara lain (1986), telah saya kemukakan bahwa kebudayaan adalah pedoman bagi kehidupan masyarakat yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat tersebut. Bila kebudayaan adalah sebuah pedoman bagi kehidupan maka kebudayaan tersebut akan harus berupa pengetahuan yang keyakinan bagi masyarakat yang mempunyainya. Dengan demikian, maka dalam definisi kebudayaan tidak tercakup kelakuan dan hasil kelakuan; karena, kelakuan dan hasil kelakuan adalah produk dari kebudayaan. Sebagai pedoman hidup sebuah masyarakat, kebudayaan digunakan oleh warga masyarakat tersebut untuk menginterpretasi dan memahami lingkungan hidupnya dan mendorong serta menghasilkan tindakantindakan untuk memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada dalam lingkungan hidup tersebut untuk pemenuhan berbagai kebutuhan hidup mereka. Untuk dapat digunakan sebagai acuan bagi interpretasi dan pemahaman, maka kebudayaan

berisikan sistem-sistem penggolongan atau pengkategorisasian yang digunakan untuk membuat penggolongan-penggolongan atau memilih-milih, menseleksi pilihanpilihan dan menggabungkannya untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Dengan demikian setiap kebudayaan berisikan konsep-konsep, teori-teori, dan metode-metode untuk memilih, menseleksi hasil-hasil pilihan dan mengabungkan pilihan-pilihan tersebut. Sebagai sebuah pedoman bagi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan kehidupan maka kebudayaan berisikan konsep-konsep, resep-resep, dan petunjuk-petunjuk untuk dapat digunakan bagi menghadapi dunia nyata supaya dapat hidup secara biologi, untuk dapat mengembangkan kehidupan bersama dan bagi kelangsungan

masyarakatnya, dan pedoman moral, etika, dan estetika yang digunakan sebagai acuan bagi kegiatan mereka sehari-hari. Operasionalisasi dari kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan masyarakat adalah melalui berbagai pranata-pranata yang ada dalam masyarakat tersebut. Pedoman moral, etika, dan estetika yang ada dalam setiap kebudayaan merupakan inti yang hakiki yang ada dalam setiap kebudayaan. Pedoman yang hakiki ini biasanya dinamakan sebagai nilai-nilai budaya. Nilai-nilai budaya ini terdiri atas dua kategori, yaitu yang mendasar dan yang tidak dipengaruhi oleh kenyataan-kenyataan kehidupan sehari-hari dari para pendukung kebudayaan tersebut yang dinamakan sebagai Pandangan Hidup atau World View; dan yang kedua, yang mempengaruhi dan dipengaruhi coraknya oleh kegiatan-kegiatan seharihari dari para pendukung kebudayaan tersebut yang dinamakan etos atau ethos.

Kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan masyarakat, memungkinkan bagi para warga masyarakat tersebut untuk dapat saling berkomunikasi tanpa menghasilkan kesalahpahaman. Karena dengan menggunakan kebudayaan yang sama sebagai acuan untuk bertindak maka masing-masing pelaku yang berkomunikasi tersebut dapat meramalkan apa yang diinginkan oleh pelaku yang dihadapinya. Begitu juga dengan menggunakan simbol-simbol dan tanda-tanda yang secara bersama-sama mereka pahami maknanya maka mereka juga tidak akan saling salah paham. Pada tingkat perorangan atau individual, kebudayaan dari masyarakat tersebut menjadi pengetahuan kebudayaan dari para prilakunya. Secara individual atau perorangan maka pengetahuan kebudayaan dan dipunyai oleh para pelaku tersebut dapat berbeda-beda atau beranekaragam, tergantung pada pengalaman-pengalaman individual masing-masing dan pada kemampuan biologi atau sistem-sistem syarafnya dalam menyerap berbagai rangsangan dan masukan yang berasal dari kebudayaan masyarakatnya atau lingkungan hidupnya.

Kebudayaan sebagai pengetahuan mengenai dunia yang ada disekelilingnya dan pengalaman-pengalamannya dengan relatif mudah dapat berubah dan berkembang sesuai dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam lingkungan hidupnya, terutama dalam kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan bagi kehidupannya yang sumber-sumber dayanya berada dalam lingkungan hidupnya tersebut. Tetapi sebagai sebuah keyakinan, yaitu nilai-nilai budayanya, terutama

keyakinan mengenai kebenaran dari pedoman hidupnya tersebut, maka kebudayaan cenderung untuk tidak mudah berubah.

6. Pendekatan Kebudayaan dan Agama

Konsep mengenai kebudayaan yang saya kemukakan seperti tersebut diatas itulah yang dapat digunakan sebagai alat atau kacamata untuk mendatang dan mengkaji serta memahami agama. Bila agama dilihat dengan menggunakan kacamata agama, maka agama diperlakukan sebagai kebudayaan; yaitu: sebagai sebuah pedoman bagi kehidupan masyarakat yang diyakini kebenarannya oleh para warga masyarakat tersebut. Agama dilihat dan diperlakukan sebagai pengetahuan dan keyakinan yang dipunyai oleh sebuah masyarakat; yaitu, pengetahuan dan keyakinan yang kudus dan sakral yang dapat dibedakan dari pengetahuan dan keyakinan sakral dan yang profan yang menjadi ciri dari kebudayaan. Pada waktu kita melihat dan memperlakukan agama sebagai kebudayaan maka yang kita lihat adalah agama sebagai keyakinan yang hidup yang ada dalam masyarakat manusia, dan bukan agama yang ada dalam teks suci, yaitu dalam kitab suci Al Quran dan Hadits Nabi. Sebagai sebuah keyakinan yang hidup dalam masyarakat, maka agama menjadi bercorak lokal; yaitu, lokal sesuai dengan kebudayaan dari masyarakat tersebut. Mengapa demikian? untuk dapat menjadi pengetahuan dan keyakinan dari masyarakat yang bersangkutan, maka agama harus melakukan berbagai proses

perjuangan dalam meniadakan nilai-nilai budaya yang bertentangan dengan

keyakinan hakiki dari agama tersebut dan untuk itu juga harus dapat mensesuaikan nilai-nilai hakikinya dengan nilai-nilai budaya serta unsur-unsur kebudayaan yang ada, sehingga agama tersebut dapat menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari berbagai unsur dan nilai-nilai budaya dari kebudayaan tersebut. Dengan demikian maka agama akan dapat menjadi nilai-nilai budaya dari kebudayaan tersebut.8

Bila agama telah menjadi bagian dari kebudayaan maka agama juga menjadi bagian dari nilai-nilai budaya dari kebudayaan tersebut. Dengan demikian, maka berbagai tindakan yang dilakukan oleh para warga masyarakat untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan kehidupan mereka dalam sehari-harinya juga akan

berlandaskan pada etos agama yang diyakini. Dengan demikian, nilai-nilai etika dan moral agama akan terserap dan tercermin dalam berbagai pranata yang ada dalam masyrakat tersebut. Sebaliknya, bila yang menjadi inti dan yang hakiki dari kebudayaan tersebut adalah nilai-nilai budaya yang lain, maka nilai-nilai etika dan moral dari agama yang dipeluk oleh masyarakat tersebut hanya akan menjadi pemanis mulut saja atau hanya penting untuk upacara-upacara saja. Apakah gunanya menggunakan pendekatan kebudayaan terhadap agama. Yang terutama adalah kegunaannya sebagai alat metodologi untuk memahami corak keagamaan yang

Suparlan, P., 1966 Kebudayaan dan Pembangunan. Dialog, No.21, Th.11. September. Suparlan, P., 1966 Kebudayaan dan Pembangunan. Dialog, No.21, Th.11. September.

dipunyai oleh sebuah masyarakat dan para warganya. Kegunaan kedua, sebagai hasil lanjutan dari kegunaan utama tersebut, adalah untuk dapat mengarahkan dan menambah keyakinan agama yang dipunyai oleh para warga masyarakat tersebut sesuai dengan ajaran yang benar menurut agama tersebut, tanpa harus menimbulkan pertentangan dengan para warga masyarakat tersebut. Yang ketiga, seringkali sesuatu keyakinan agama yang sama dengan keyakinan yang kita punyai itu dapat berbeda dalam berbagai aspeknya yang lokal. Tetapi, dengan memahami kondisi lokal tersebut maka kita dapat menjadi lebih toleran terhadap aspek-aspek lokal tersebut, karena memahami bahwa bila aspek-aspek lokal dari keyakinan agama masyarakat tersebut dirubah maka akan terjadi perubahan-perubahan dalam berbagai pranata yang ada dalam masyarakat tersebut yang akhirnya akan menghasilkan perubahan kebudayaan yang hanya akan merugikan masyarakat tersebut karena tidak sesuai dengan kondisi-kondisi lokal lingkungan hidup masyarakat tersebut.

BAB III PENUTUP

1. Kesimpulan Penelitian (Research) adalah upaya sistematis dan objektif untuk mempelajari suatu masalah dan menemukan prinsip-prinsip umum. Selain itu, penelitian juga berarti upaya pengumpulan informasi yang bertujuan untuk menambah pengetahuan. Pengetahuan manusia tumbuh dan berkembang berdasarkan kajian-kajian sehingga terdapat penemuan-penemuan, sehingga ia siap merevisi pengetahuan-pengetahuan masa lalu melalui penemuan-penemuan baru. Penelitian itu sendiri dipandang sebagai kegiatan ilmiah karena menggunakan metode keilmuan. Sedangkan metode ilmiah sendiri adalah usaha untuk mencari jawaban tentang fakta-fakta dengan menggunakan kesangsian sistematis. Sedangkan penelitian agama sendiri menjadikan agama sebagai objek penelitian yang sudah lama diperdebatkan. Harun nasution menunjukkan pendapat yang menyatakan bahwa agama, karena merupakan wahyu, tidak dapat menjadi sasaran penelitian ilmu sosial, dan kalaupun dapat dilakukan, harus menggunakan metode khusus yang berbeda dengan metode ilmu sosial. Hal yang sama juga dijelaskan oleh Ahmad Syafii Mufid. Beliau menjelaskan bahwa agama sebagai objek penelitian pernah menjadi bahan perdebatan, karena agama merupakan sesuatu yang transenden. Agamawan cenderung berkeyakinan bahwa agama memiliki kebenaran mutlak sehingga tidak perlu diteliti. Menurut Harun Nasution, agama mengandung dua kelompok ajaran. Pertama, ajaran dasar yang diwahyukan tuhan

melalui rasul-Nya kepada masyarakat manusia. Ajaran dasar yang demikian terdapat dalam kitab-kitab suci. Ajaran-ajaran yang terdapat dalam kitab-kitab suci itu memerlukan penjelasan tentang arti dan cara pelaksanaannya. Penjelasan-penjelasan para pemuka atau pakar agama membentuk ajaran agama kelompok kedua. Ajaran dasar agama, karena merupakan wahyu dari tuhan, bersifat absolut, mutlak benar, kekal, tidak berubah dan tidak bisa diubah. Sedangkan penjelasan ahli agama terhadap ajaran dasar agama, karena hanya merupakan penjelasan dan hasil pemikiran, tidak absolut, tidak mutlak benar, dan tidak kekal. Bentuk ajaran agama yang kedua ini bersifat relatif, nisbi, berubah, dan dapat diubah sesuai dengan perkembangan zaman.

DAFTAR PUSTAKA

Drs. Atang Abd. Hakim, MA, Dr. Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008, cet. Kesepuluh, hal. 55 http://makalah88.blogspot.com/2012/01/penelitian-agama-dan-model-modelnya.html Cik Hasan Bisri (Reproducer). 2000. Abstracts of Dissertation and Theses on Islamic Subjects. Bandung: Research Center of State Institute for Islamic Studies, Sunan Gunung Djati Bandung. Davis, Kingsley dan Blak, Judith. 1978. Struktur Sosial dan Fertilitas: Suatu Kerangka Analitis dalam Masri Singarimbun (Editor), Kependudukan: Liku-liku Penurunan Kelahiran, Cetakan Pertama. Jakarta: Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial. Mastuhu dan Deden Ridwan (Editor). 1998. Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan Antardisiplin Ilmu, Cetakan Pertama. Bandung: Nuansa dan Pusjarlit. Muhamamad Atho Mudzhar. 1993. Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988 (Edisi Dwibahasa). Jakarta: Indonesian Netherlands Coorporation in Islamic Studies. Mukti Ali, A. 1980. Penelitian Agama di Indonesia, dalam Muljanto Sumardi (Editor), Metodologi Penelitian Agama: Masalah dan Pemikiran, hlm. 18-27. Jakarta: Pusat Pengkajian Masalah Keagamaan dan Kemasyarakatan.

You might also like