You are on page 1of 118

SKENARIO 1 TUTORIAL BLOK 8

Trigger 1 Seorang bayi laki-laki lahir spontan dari seorang ibu 20 tahun pada usia kehamilan 35 minggu. Berat badan saat lahir 2000 gram. Saat lahir bayi tidak langsung menangis dan mendapat VTP selama 30 detik dan skor Apgarnya 8/9. Bayi dirawat di ruang pasca resusitasi selama 1 hari dengan inkubator. Hari keempat dokter memulangkan bayi tersebut dan meminta keluarganya untuk memeriksakan kembali bayi itu sesuai jadwal periksa bayi kecil untuk memonitor kesehatan dan tumbuh kembang bayi. Ibu diminta merawat bayi dengan perawatan bayi lekat (metode kanguru) dan ASI eksklusif. Imunisasi sudah diberikan. Data lain: orangtua termasuk keluarga miskin. Bayi tersebut adalah anak pertama. CUT Resusitasi : Resusitasi adalah tindakan untuk menghidupkan kembali atau memulihkan kembali kesadaran seseorang yang tampaknya mati sebagai akibat berhentinya fungsi jantung dan paru, yang berorientasi pada otak PD 1. Apakah berat bayi saat lahir sesuai dengan usia kehamilannya? 2. Bagaimana keadaan bayi segera setelah lahir? 3. Mengapa bayi dirawat di ruang pasca resusitasi ? 4. Mengapa bayi dipulangkan pada hari keempat dan diminta dirawat dengan metode PBL? Apakah itu berhubungan dengan status gakin orangtuanya? 5. Mengapa bayi harus diperiksakan kembali pada jadwal tertentu? Apa risiko jangka pendek dan jangka panjang yang dapat terjadi pada bayi kecil? 6. Apakah metode PBL memang terbukti efektif untuk merawat bayi kecil? Analyzing 1. Tidak, seharus nya 2383 gram. Usia Hamil 8 weeks 9 weeks 10 weeks 11 weeks 12 weeks 13 weeks 14 weeks 15 weeks Panjang (cm) 1.6 cm 2.3 cm 3.1 cm 4.1 cm 5.4 cm 7.4 cm 8.7 cm 10.1 cm Berat (gram) 1 gram 2 gram 4 gram 7 gram 14 gram 23 gram 43 gram 70 gram

16 weeks 17 weeks 18 weeks 19 weeks 20 weeks

11.6 cm 13 cm 14.2 cm 15.3 cm 16.4 cm

100 gram 140 gram 190 gram 240 gram 300 gram

Mulai dari usia 20 minggu keatas, ukuran panjang bayi diukur ari puncak kepala ke tumit bayi (karena bayi dalam keadaan kaki berlipat) : Usia Hamil Panjang (cm) Berat (gram) 20 weeks 25.6 cm 300 gram 21 weeks 26.7 cm 360 gram 22 weeks 27.8 cm 430 gram 23 weeks 28.9 cm 501 gram 24 weeks 30 cm 600 gram 25 weeks 34.6 cm 660 gram 26 weeks 35.6 cm 760 gram 27 weeks 36.6 cm 875 gram 28 weeks 37.6 cm 1005 gram 29 weeks 38.6 cm 1153 gram 30 weeks 39.9 cm 1319 gram 31 weeks 41.1 cm 1502 gram 32 weeks 42.4 cm 1702 gram 33 weeks 43.7 cm 1918 gram 34 weeks 45 cm 2146 gram 35 weeks 46.2 cm 2383 gram 36 weeks 47.4 cm 2622 gram 37 weeks 48.6 cm 2859 gram 38 weeks 49.8 cm 3083 gram 39 weeks 50.7 cm 3288 gram 40 weeks 51.2 cm 3462 gram 41 weeks 51.7 cm 3597 gram 42 weeks 51.5 cm 3685 gram 43 weeks 51.3 cm 3717 gram 2. Saat lahir bayi tidak langsung menangis dan mendapat VTP selama 30 detik dan skor Apgarnya 8/9. Bayi dirawat di ruang pasca resusitasi selama 1 hari dengan inkubator. Pada Bayi normal, saat lahir biasanya bayi langsung menangis,

Lima kriteria Skor Apgar: Nilai 0 Nilai 1 warna kulit tubuh normal merah muda, tetapi tangan dan kaki kebiruan (akrosianosis) <100 kali/menit meringis/menangis lemah ketika distimulasi sedikit gerakan lemah atau tidak teratur Nilai 2 warna kulit tubuh, tangan, dan kaki normal merah muda, tidak ada sianosis >100 kali/menit meringis/bersin/batuk saat stimulasi saluran napas bergerak aktif menangis kuat, pernapasan baik dan teratur Akronim

Warna kulit

seluruhnya biru

Appearance

Denyut jantung tidak ada tidak ada respons Respons refleks terhadap stimulasi Tonus otot lemah/tidak ada tidak ada

Pulse

Grimace

Activity

Pernapasan

Respiration

Interpretasi Hasil Tes ini umumnya dilakukan pada waktu satu dan lima menit setelah kelahiran, dan dapat diulangi jika skor masih rendah. Jumlah skor Interpretasi 7-10 4-6 0-3 Bayi normal Agak rendah Memerlukan tindakan medis segera seperti penyedotan lendir yang menyumbat jalan napas, atau pemberian oksigen untuk membantu bernapas. Catatan[3]

Sangat rendah Memerlukan tindakan medis yang lebih intensif

3. Resusitasi merupakan sebuah upaya menyediakan oksigen ke otak, jantung dan organorgan vital lainnya melalui sebuah tindakan yang meliputi pemijatan jantung dan menjamin ventilasi yang adekwat (Rilantono, 1999). Tindakan ini merupakan tindakan kritis yang dilakukan pada saat terjadi kegawatdaruratan terutama pada sistem pernafasan dan sistem kardiovaskuler. Kegawatdaruratan pada kedua sistem tubuh ini dapat menimbulkan kematian dalam waktu yang singkat (sekitar 4 6 menit).

Tindakan resusitasi merupakan tindakan yang harus dilakukan dengan segera sebagai upaya untuk menyelamatkan hidup (Hudak dan Gallo, 1997). Resusitasi pada anak yang mengalami gawat nafas merupakan tindakan kritis yang harus dilakukan oleh perawat yang kompeten. Perawat harus dapat membuat keputusan yang tepat pada saat kritis. Kemampuan ini memerlukan penguasaan pengetahuan dan keterampilan keperawatan yang unik pada situasi kritis dan mampu menerapkannya untuk memenuhi kebutuhan pasien kritis (Hudak dan Gallo, 1997). 4. Metode kangguru ditemukan sejak tahun 1983 dan bermanfaat untuk merawat bayi yang lahir dengan berat badan rendah, baik itu selama perawatan di rumah sakit maupun di rumah. Metode kangguru mampu memberikan kebutuhan asasi bayi dengan berat lahir rendah, caranya melalui penyediaan situasi dan kondisi yang mirip dengan rahim ibu, sehingga memberikan peluang untuk beradaptasi lebih baik dengan dunia luar. Metode kangguru juga lebih disenangi bayi dan bermanfaat karena dapat memberikan rasa aman, nyaman, menguatkan insting bayi dengan merasakan detak jantung ibunya lalu mencari-cari sendiri putingnya.

Metode kangguru dapat dilakukan dua minggu setelah kelahiran, dan berikut kriteria bayi yang dapat melakukan perawatan metode kangguru : Umumnya bayi dengan berat badan lebih-kurang 2000 g. Bayi yang tidak mengalami kelainan atau penyakit yang menyertai, serta refleks dan kordinasi isap serta menelan yang baik juga dapat menjalani metode ini. Bayi harus memiliki perkembangan baik selama berada di inkubator. Kesiapan serta keikutsertaan orangtua, akan sangat mendukung dalam keberhasilan metode kangguru. Berikut ini langkah-langkah dalam melakukan metode kangguru:

1. Berikan bayi Anda pakaian, topi, popok dan kaus kaki yang telah dihangatkan terlebih dahulu. 2. Letakkan bayi di dada Anda, dengan posisi tegak dan bersentuhan langsung dengan kulit Anda. Pastikan kepala bayi sudah terfiksasi pada dada Anda. Posisikan bayi dengan siku dan tungkai tertekuk, kepala dan dada bayi terletak di dada Anda dengan kepala agak sedikit mendongak. Anda juga dapat mengenakan baju dengan ukuran besar sehingga posisi bayi bisa diletakkan di antara payudara lalu baju ditangkupkan. Kenakan selendang yang dililitkan di perut Anda agar bayi tidak terjatuh. 3. Jika baju tidak dapat menyokong bayi, Anda dapat menggunakan handuk atau kain lebar yang elastis atau kantong yang khusus dibuat untuk menjaga tubuh bayi. 4. Selama melakukan metode kangguru ini, Anda masih dapat beraktivitas dengan bebas, dapat bergerak bebas walaupun berdiri, duduk, berjalan, makan dan mengobrol. Namun pastikan, saat tidur, posisi Anda setengah duduk atau meletakkan beberapa bantal di belakang punggung. 5. Jika Anda lelah, metode ini dapat dilakukan juga oleh ayah atau orang lain. 6. Perhatikan persiapan sang ibu, bayi, posisi bayi, pemantauan bayi, cara pemberian ASI, dan kebersihan ibu juga bayinya. 5. Untuk memantau keadan bayi tersebut. Permasalahan Bayi Prematur Risiko yang dapat Terjadi 1. Jangka Pendek Hipotermia, Hipotermia (suhu bayi <36,5C) akan menyebabkan bayi kehilangan energi, pernapasannya terganggu, bayi menjadi sakit bahkan meninggal. Hipertermia (suhu bayi >37,5C) dapat meningkatkan metabolisme, dan menyebabkan dehidrasi. Hipoglikemia (Kadar Gula darah kurang dari normal) Paru belum berkembang (bayi menjadi sesak napas) Gangguan Pencernaan (mudah kembung karena fungsi usus belum cukup baik) Mudah terkena infeksi (Sistem imunitas bayi belum matang) Anemia (bayi kelihatan pucat oleh karena kadar hemoglobin darah rendah) Mudah kuning Perdarahan otak Gangguan jantung 2. Jangka panjang Gangguan pertumbuhan Gangguan perkembangan

Gangguan penglihatan (retinopati akibat prematur) Gangguan pendengaran Penyakit paru kronik 6. Ya, Keunggulan metode ini: bayi mendapatkan sumber panas alami (36-37o C) terus menerus langsung dari kulit ibu, mendapatkan kehangatan udara dalam kantung/baju ibu, serta ASI menjadi lancar. Dekapan Anda adalah energi bagi si kecil. Pada bayi berat badan lahir sangat rendah (kurang dari 1000 g) metode kanguru ditunda sampai usia 2 minggu, atau sampai keadaan si bayi stabil. Adapun keuntungan lain dari perawatan bayi menggunakan metode kangguru ini, di antaranya : Menstabilkan suhu tubuh, denyut jantung, dan pernapasan bayi Meningkatkan hubungan emosi ibu-anak Meningkatkan pertumbuhan dan berat badan bayi lebih baik lagi Bayi menjadi tidak berlama-lama menangis Memperbaiki keadaan emosi ibu dan bayi Meningkatkan produksi ASI Menurunkan resiko infeksi selama dalam perawatan di rumah sakit Mempersingkat masa rawat di rumah sakit Sumber : http://www.bidankita.com/joomla-overview/monthly-guide/347-berat-janin-ideal http://www.sutisna.com/kesehatan/resusitasi/ http://pustakabakul.blogspot.com/2012/06/pengetahuan-perawat-tentangkegawatan.html http://melindahospital.com/modul/user/detail_artikel.php?id=1407_Perawatan-BayiPrematur-dengan-Metode-Kangguru

Skills Lab 1 Blok 8 PERTEMUAN PERTAMA PENILAIAN TERHADAP PERKEMBANGAN ANAK


Denver Development Screening Test (DDST) II, pengganti DDST I adalah sebuah test untuk membantu staf medis dalam menemukan kelainan dini pada perkembangan potensi anak dari 0 - <6 tahun. DDST: Bukan merupakan tes IQ dan bukan prediksi kemampuan adaptif atau intelektual (pengembangan) dari anak-anak di masa depan; Tidak dibuat untuk mendiagnosa ketidakmampuan untuk contoh dan masalah belajar, masalah linguistik atau emosional;

Bukanlah pengganti untuk evaluasi diagnostik atau pemeriksaan fisik, tetapi bukan juga untuk membandingkan perkembangan anak satu dengan anak lainnya. DDST II meliputi 125 item, terdiri dari empat sektor dan memiliki fungsi sebagai berikut: 1. Sektor sosial personal: untuk beradaptasi dalam masyarakat dan kebutuhan pribadi; 2. Adaptif-baik sektor motorik: koordinasi mata-tangan, bermain-menggunakan hal-hal kecil dan pemecahan masalah; (http://anti-remed.blogspot.com) 3. Linguistik Sektor: mendengarkan, memahami dan menggunakan bahasa; 4. Sektor Motorik secara garis besar: duduk, berjalan dan gerakan umum otot besar. (lihat manual untuk Uji Denver II pada penilaian pembangunan (Assessment of Development)). LATIHAN : KETERAMPILAN PERTEMUAN PERTAMA 1. Mahasiswa menonton video teknik Menilai perkembangan anak (DDST II); 2. Mahasiiswa melakukan latihan dan diskusi tentang masalah tersebut. CHECK LIST PADA PENILAIAN TERHADAP PERKEMBANGAN ANAK (TES DENVER II) Lihat manual.

Skenario 1 Tutorial Blok 8 Part II


TRIGGER II Saat kontrol pertama bayi tampak baik, gerakan aktif mengangis keras dan menetek dengan baik. Orangtuanya khawatir karena BB bayi turun menjadi 1900 gram dan mata bayi tampak kekuningan. Dokter meminta orangtua tenang dan melanjutkan perawatan dirumah sesuai dengan nasihat sebelumnya. PD 1. Mengapa BB bayi turun? 2. Mengapa mata bayi tampak kekuningan? Brainstorm + Analisa 1. Berat badan bayi turun di minggu pertama itu normal. Di dalam kandungan, tubuh bayi mengandung banyak air. Kelebihan sekian puluh gram ini akan dikeluarkan setelah ia lahir, terutama melalui urine. Namun waspadai jika berat bayi kembali ke berat lahir dalam 2-3 minggu setelah lahir. Penyebab lain: Bila ada masalah menyusui sehingga bayi tidak mendapat ASI dengan lancar dan nyaman. Itu berarti asupan gizi bayi tidak terpenuhi. Kelainan sistem organ dalam tubuh bayi, seperti sistem pencernaan, sistem hormonal, sistem imunologi. Penyakit kronis, misalnya tuberkolosis.

Berapa turunya? BB bayi baru lahir berkisar antara 2.500-4.000 gram. Pada minggu pertama, akan turun rata-rata 7% paling tinggi 10%. Kemudian, pada minggu kedua akan naik lagi sehingga pada usia paling lama 14 hari sudah kembali berat lahir. Untuk bayi prematur, pencapaian kembali berat lahir akan berlangsung lebih lama, sekitar 3 minggu. Karena, kandungan cairan di dalam tubuhnya lebih banyak dibanding bayi yang lahir cukup bulan. Ratarata berat badannya bisa turun 10% dan paling banyak 15%. Apa akibatnya? Tidak ada akibat yang berarti, sebab yang menghilang dari tubuh bayi adalah cairan yang dibawa sejak lahir. Bahkan, dengan adanya mengurangan cairan tubuh, adaptasi sistem pernapasan dan kardiovaskular menjadi lebih mudah, kecuali jika turunya melebihi yang dianggap wajar. Bagaimana mendongkraknya? Susui bayi sesering mungkin paling tidak 2 jam sekali dengan posisi dan pelekatan yang benar. Pastikan bayi selesai menyusu pada satu payudara Anda sampai kosong sebelum pindah ke payudara lain. Pijat payudara Anda beberapa menit sebelum menyusui, agar saluran ASI lancar. Lakukan kontak fisik sesering mungkin dengan bayi. Tidurlah dengan bayi. Kedekatan ini dapat meningkatkan kadar hormone prolakstin dan hormon oksitosin dalam tubuh Anda, serta menambah frekuensi menyusui. Pijat bayi karena terbukti meningkatkan kinerja pencernaan dan pertambahan berat badan bayi. Pelajari teknik pijat bayi yang benar. Hindari pemberian asupan gizi selain ASI. Seperti susu formula. Benarkah bersifat individual? Ya. Jumlah pertumbuhan badan bayi berbeda-beda, ada yang sedikit, ada yang banyak. Karenanya, Anda tidak perlu membandingkan bayi Anda dengan bayi yang lain. Kurva pertumbuhan yang bisanya digunakan untuk mengukur pertumbuhan bayi adalah kurva Lubchenko. Dengan kurva ini, Anda akan lebih mudah memantau pertumbuhan bayi. Angka-angka tersebut bersifat individual. Yang perlu Anda perhatikan adalah pertambahan atau penurunan berat badan bayi masih dalam kisaran normal. Apakah indikator bayi sehat hanya dilihat dari BB? Tidak! Dokter anak selalu membandingkan tiga komponene pengukuran antropemetri: berat badan, tinggi atau panjang badan, dan lingkar kepala sebagai tolok ukur kesehatan bayi, apakah proporsional atau tidak. Ukuran-ukuran ini akan dicantumkan dalam Kartu Menuju Sehat (KMS) sebagai sarana untuk memanatau kesehatan bayi.

Ke dokter jika: Berat badan bayi tidak bertambah 15 gram setiap hari setelah usia 2 minggu. Berat badan bayi tidak kembali ke berat lahir dalam 2-3 minggu setelah lahir. Berat badna bayi tidak bertambah minimal 300 gram pada bulan pertama dan minimal 500 gram sampai usia 6 bulan. Apabila angka dalam kurva Lubchenko (berat dan tinggi badan, lingkar kepala) menetap atau menurun dibandingkan angka sebelumnya. Tanda-tanda tersebut bisa menjadi gambaran bayi sakit atau mengalami gangguan metabolisme. 2. IKTERUS NEONATORUM Pengertian Ikterus adalah disklorasi kulit, mukosa membran dan sclera oleh karena peningkatan kadar bilirubin dalam serum ( > 2 mg/dL ). (Perinatologi) Ikterus adalah menguningnya sclera, kulit atau jaringan lain akibat penimbunan bilirubun dalam tubuh. ( Ilmu Kesehatan Anak, Jilid 2 ) Ikterus neonatorum adalah pewarnaan kuning di kulit, konjungtiva dan mukosa pada bayi baru lahir yang terjadi karena meningkatnya kadar bilirubin dalam darah . Jenis-jenis Ikterus Neonatorum Ikterus neonatorum sendiri ada 2 jenis yang berbeda tanda, penyebab dan penanganannya. Ke2 jenis tersebut adalah : A. Ikterus Fisiologis Adalah keadaan hiperbilirubin karena faktor fisiologis yang merupakan gejala normal dan sering dialami bayi baru lahir. Meskipun merupakan gejala fisiologis, orang tua bayi harus tetap waspada karena keadaan fisiologis ini bisa berubah menjadi patologis terutama pada keadaan ikterus yang disebabkan oleh karena penyakit atau infeksi. Tanda dan Gejala Ikterus Fisiologis timbul pada hari ke-2 atau ke-3 dan tampak jelas pada hari ke-5 sampai dengan ke-6 dan akan menghilang pada hari ke-7 atau ke-10. kadar bilirubin serum pada bayi cukup bulan tidak lebih dari 12 mg/dl dan pada BBLR tidak lebih dari 10 mg/dl, dan akan menghilang pada hari ke-14. Bayi tampak biasa, minum baik dan berat badan naik biasa.

Penyebab ikterus neonatorum fisiologis diantaranya adalah organ hati yang belum matang dalam memproses bilirubin, kurang protein Y dan Z dan enzim glukoronyl tranferase yang belum cukup jumlahnya.

B. Ikterus Patologis Ikterus terjadi sebelum umur 24 jam. Setiap peningkatan kadar bilirubin serum yang memerlukan fototerapi. Peningkatan kadar bilirubin total serum . 0,5 mg/dL/jam. Adanya tanda tanda penyakit yang mendasari pada setiap bayi ( muntah, letargis, malas menetek, penurunan berat badan yang cepat, apnea, takipnea atau suhu yang tidak stabil ). Ikterus bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau setelah 14 hari pada bayi kurang bulan. Tanda & gejala ikterus patologi Timbul kuning pada 24 jam pertama kehidupan Kuning ditemukan pada umur 14 hari atau lebih Tinja berwarna pucat Kuning sampai lutut dan siku Serum bilirubin total lebih dari 12,5 mg /dl pada bayi cukup bulan dan lebih dari 10 pada bayi kurang bulan (BBLR) Peningkatan kadar bilirubin 5 mg % atau lebih dalam 24 jam Ikterus diserai dengan proses hemolisis ( Inkompatibilitas darah ) Bilirubin direk lebih dari 1 mg/dl atau kenaikan bilirubin serum 1 mg /dl atau 3 mg/dl/hari Ikterus menetap setelah bayi berumur 10 hari pada bayi cukup bulan dan lebih dari 14 ahri pada bayi kurang bulan ( BBLR ) Penyebab Kurangnya protein Y dan Z ,enzim glukoronil tranferase yang belum cukup jumlahnya ( ikterus fisiologis ) Produksi bilirubin yang berlebihan misalnya pada pemecahan darah ( hemolisis ) yang berlebihan pada incompabilitas ( ketidaksesuaian ) darah bayi dengan ibunya Gangguan dalam proses uptake da konjugasi akibat dari gangguan fungsi liver Ganguan proses tranportasi karena kurangnya albumin yang meningkat bilirubin Gangguan ekskresi yang terjadim akibat sumbatan liver karena infeksi atau kerusakan sel liver. DIAGNOSIS WHO dalam panduannya menerangkan cara menentukan ikterus secara visual, sebagai berikut:

Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di siang hari dengan cahaya matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila dilihat dengan pencahayaan buatan dan bisa tidak terlihat pada pencahayaan yang kurang. Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui warna di bawah kulit dan jaringan subkutan. Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian tubuh yang tampak kuning. Perkiraan Klinis Tingkat Keparahan Ikterus Derajat Ikterus Menurut KRAMER ( 1969 ) Derajat I : Daerah kepala dan leher, perkiraan kadar bilirubin 5,0 mg%. Derajat II : Sampai badan atas, perkiraan kadar bilirubin 9,0 mg%. Derajat III : Sampai badan bawah hingga tungkai, bilirubin 11,4 mg%. Derajat IV : Sampai daerah lengan, kaki bawah lutut, 12,4 mg%. Derajat V : Sampai daerah telapak tangan dan kaki, 16,0 mg%. Rencana asuhan Ikterus Fisiologis Mengajari ibu cara menyinari bayi dengan cahaya matahari pagi biasanaya sekitar jam 7 pagi sampai jam 8 pagi selama 15-30 menit Lakukan asuhan dasar pada bayi Beri minum bayi sesuai kebutuhan dan kalori yang cukup Perhatikan frekwensi BAB Usahakan agar bayi tidak terlalu kepanasan atau kedinginan Memeliahara kebersihan tempat tidur bayi dan lingkungannya Mencegah Mencegah terjadinya infeksi Jika bayi dapat menghisap, anjurkan ibu untuk menyusui secara dini dan ASI eklusif lebih sering minimal setiap 2 jam Jika bayi tidak dapat menyusu beriakn ASI melalui pipa nasogastrik atau dengan gelas dan sendok Jaga bayi agar tetap hangat Ikterus fisisologis tidak memerlukan penanganan khusus dan dapat dirawat jalan dengan nasehat untuk ku njungan ulang setelah tujuh hari .Jika bayi tetap kuning selama 7 hari maka lakukan penilaian lengkap Lakukan pemeriksaan ulang untuk ikterus tanyakan apakah kencing sehari semalam atau apakah sering buang air besar Rencana asuhan

Ikterus Patologis Cegah agar gula darah tidak turun Jika anak masih bisa menetek mintalah pada ibu untuk menetekkan anakanya Jika anak tidak bisa menetek lagi tapi masih bisa menelan beri perasan ASI atau susu pengganti, Jika keduanaya tidak memungkinkan beri air gula 30-50 cc sebelum dirujuk Cara membuat air gula.Larutkan 4 sendok teh gula kedalam gelas yang berisi 200 cc air masak Jika anak tidak bisa menelan berikan 50cc air susu ataua ir gula melalaui pipa ansogastrik ,jika tidak rujuk segera Nasehati ibu agar menjaga bayi tetap hangat Sertakan contoh darah ibu jika kuning terjadi pada 2 hari pertama kehidupan Rujuk segera. Setiap ikterik yang muncul pada 24 jam pertama adalah patologis dan membutuhkan pemeriksaan labor lanjut Pada bayi dengan ikterus kramer grade 3 atau lebih perlu dirujuk Perhatikan frekwensi BAK dan BAB Beri terapi sinar untuk bayi yang dirawat di RS dan jemur bayi dibawah sinar matahari pagi pada jam 7-8 selaam 30 menit/.15 menit telentang dan 15 menit telungkup Cegah kontak kdengan keluarga yang sakit dan cegah terjadiny ainfeksi Source:http://www.ayahbunda.co.id/Artikel/Bayi/Gizi+dan+Kesehatan/berat.badan.bayi.turun/ 001/001/1603/1 http://elisdcabi.blogspot.com/2009/11/ikterus-neonatorum.html

Latihan Soal Tutorial Skenario 1 Blok 8


Skenario untuk soal no. 1-4 Seorang wanita 20 tahun, G2P1Ao melahirkan spontan, setelah dirawat 2 minggu untuk mempertahankan kehamilannya. Umur kehamilannya saat melahirkan 36 minggu dan berat badan bayinya 1.700 gram. 1. Bagaimana Anda mengklasifikasikan bayi tersebut? A. BBLR, kurang bulan, SMK B. BBLR, kurang bukan, KMK C. BBLC, kuurang bulan, BMK D. BBLR, cukup bulan, KMK E. BBLR, cukup bulan, SMK Pembahasan : Klasifikasi bayi berdasarkan berat lahir (Manuaba, 2007) : Bayi Berat Lahir Lebih (BBLL) > 4000 gr

Bayi Berat Lahir Cukup (BBLC) 2500 4000 gr Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) 1500 2500 gr Bayi Berat Lahir Sangat Rendah (BBLSR) 1000 1500 gr Bayi Berat Lahir Amat Sangat Rendah (BBLASR) < 1000 gr Klasifikasi bayi berdasarkan masa gestasi (kehamilan), dihitung dari hari pertama haid terakhir sampai saat kelahiran (Manuaba,2007) : Bayi Kurang Bulan (preterm), bayi lahir dengan masa gestasi < 37 minggu (< 259 hari) Bayi Cukup Bulan (aterm), bayi lahir dengan masa gestasi 37 42 minggu (259 293 hari) Bayi Lebih Bulan (post-term / serotinus), bayi lahir dengan masa gestasi > 42 minggu (> 293 hari) Klasifikasi bayi berdasarkan hubungan berat lahir terhadap masa gestasi : Kecil untuk masa kehamilan (KMK) Bayi lahir dgn BB < 10 persentil menurut kurva Lubchenko Sesuai untuk masa kehamilan (SMK) Bayi lahir dgn BB 10 90 persentil menurut kurva Lubchenko Besar untuk masa kehamilan (BMK) Bayi lahir dgn BB > 90 persentil menurut kurva Lubchenko http://www.slideshare.net/FxAlexander/bayi-berat-lahir-rendah http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/5FKS1KEDOKTERAN/0810211029/BAB%20II.pdf 2. Manakah masalah jangka pendek yang mengancam pada bayi tersebut? A. Hiperglikemia B. Penyakit membran hialin C. Retinophaty of prematurity D. Gangguan perkembangan E. Hipotermia Pembahasan : Risiko yang dapat terjadi : Jangka pendek o Hipotermia. Hipotermia (suhu bayi <36,5C) akan menyebabkan bayi kehilangan energi, pernapasannya terganggu, bayi menjadi sakit bahkan meninggal. Hipertermia (suhu bayi >37,5C) dapat meningkatkan metabolisme, dan menyebabkan dehidrasi. o Hipoglikemia (Kadar Gula darah kurang dari normal) o Paru belum berkembang (bayi menjadi sesak napas) o Gangguan Pencernaan (mudah kembung karena fungsi usus belum cukup baik) o Mudah terkena infeksi (Sistem imunitas bayi belum matang) o Anemia (bayi kelihatan pucat oleh karena kadar hemoglobin darah rendah) o Mudah kuning (ikterus)

o Perdarahan otak o Gangguan jantung Jangka panjang o Gangguan pertumbuhan o Gangguan perkembangan o Gangguan penglihatan (retinopati akibat prematur) o Gangguan pendengaran o Penyakit paru kronik Semakin muda usia kehamilan semakin besar risiko jangka pendek dan jangka panjang tersebut terjadi. http://www.anakku.net/meneropong-penyebab-bayi-berat-lahir-rendah.html 3. Setelah perawatan di RS dianggap cukup, bayi akan dipulangkan. Manakah cara perawatan bayi yang perlu dilakukan di rumah? A. Perawatan bayi lekat (metode Kanguru) B. Penggunaan inkubator otomatis C. Penggunaan inkubator sederhana D. Pemberian antibiotika oral E. Bayi tidak dimandikan Pembahasan : Perawatan BBLR Prinsip penting dalam perawatan BBLR setelah lahir adalah mempertahankan suhu bayi agar tetap normal, pemberian minum, dan pencegahan infeksi. Bayi dengan BBLR juga sangat rentan terjadinya hiportemia, karena tipisnya cadangan lemak di bawah kulit dan masih belum matangnya pusat pengatur panas di otak. Untuk itu, BBLR harus selalu dijaga kehangatan tubuhnya. Cara paling efektif mempertahankan suhu tubuh normal adalah sering memeluk dan menggendong bayi. Ada suatu cara yang disebut metode kangguru atau perawatan bayi lekat,yaitu bayi selalu didekap ibu atau orang lain dengan kontak langsung kulit bayi dengan kulit ibu atau pengasuhnya dengan cara selalu menggendongnya. Cara lain, bayi jangan segera dimandikan sebelum berusia enam jam sesudah lahir , bayi selalu diselimuti dan ditutup kepalanya, serta menggunakan lampu penghangat atau alat pemancar panas. Minum sangat diperlukan BBLR, selain untuk pertumbuhan juga harus ada cadangan kalori untuk mengejar ketinggalan beratnya. Minuman utama dan pertama adalah air susu ibu (ASI) yang sudah tidak diragukan lagi keuntungan atau kelebihannya. Disarankan bayi menyusu ASI ibunya sendiri, terutama untuk bayi prematur. ASI ibu memang paling cocok untuknya, karena di dalamnya terkandung kalori dan protein tinggi serat elektrolit minimal.

Namun, refleks menghisap dan menelan BBLR biasanya masih sangat lemah, untuk itu diperlukan pemberian ASI peras yang disendokkan ke mulutnya atau bila sangat terpaksa dengan pipa lambung. Susu formula khusus BBLR bisa diberikan bila ASI tidak dapat diberikan karena berbagai sebab. Kekurangan minum pada BBLR akan mengakibatkan ikterus (bayi kuning) BBLR sangat rentan terhadap terjadinya infeksi sesudah lahir. Karena itu, tangan harus dicuci bersih sebelum dan sesudah memegang bayi, segera membersihkan bayi bila kencing atau buang air besar, tidak mengizinkan menjenguk bayi bila sedang menderita sakit, terutama infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), dan pemberian imunisasi sesuai dengan jadwal. Untuk tumbuh, BBLR harus mendapat asupan nutrien berupa minuman mengandung karbohidrat, protein, lemak, serta vitamin yang lebih dari bayi bukan BBLR. Penting dipertahikan agar zat tersebut betul-betul dapat digunakan hanya untuk tumbuh, tidak dipakai untuk melawan infeksi. Biasanya BBLR dapat mengejar ketinggalannya paling lambat dalam enam bulan pertama. http://www.idai.or.id/kesehatananak/artikel.asp?q=1978415143631 4. Pada umur berapakah selambat-lambatnya diharapkan bayi / anak akan mengejar pertumbuhan seperti teman sebayanya? A. 12 bulan B. 18 bulan C. 24 bulan D. 36 bulan E. 48 bulan Skenario untuk soal no. 5-6 Lima menit setelah kelahiran bayi pertama, lahirlah bayi kedua, dengan berat badan 2100 gram. 5. Manakah faktor risiko BBLR? A. Kehamilan kedua B. Kehamilan ganda C. Lahir kedua D. Ibu malnutrisi E. Ibu muda Pembahasan : Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar kasus BBLR merupakan gestasi tunggal dan hanya sekitar 15% kasus yang merupakan gestasi multiple (kehamilan ganda). Pada kehamilan ganda, uterus lebih besar dari kehamilan normal, sehingga sering terjadi kontraksi dan terjadi proses persalinan sebelum aterm. Selain itu, secara fisiologis rahim hanya dipersiapkan untuk satu janin. Jika terjadi gestasi multipel, maka tempat harus dibagi dua, dan nutrisi serta oksigen

yang seharusnya hanya untuk satu janin juga harus dibagi. Hal inilah yang menyebabkan gangguan pertumbuhan pada janin dengan gestasi multipel. Keadaan ini didukung oleh pendapat Bueken dan Wilcox (1993) dalam Cunningham, dkk (2005), bahwa gestasi multiple cenderung ditandai oleh BBLR dibandingkan dengan janin tunggal, disebabkan terutama oleh terhambatnya pertumbuhan janin dan persalinan preterm. Sedangkan Cunningham, dkk (2005) menyebutkan bahwa seiring meningkatnya jumlah janin, durasi gestasi menurun. Sekitar separuh janin kembar lahir pada usia 36 minggu atau kurang. http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/1310210222.pdf 6. Manakah yang merupakan faktor risiko gangguan perkembangan pada bayi kedua? A. Kehamilan kedua B. Kehamilan ganda C. Lahir kedua D. Ibu malnutrisi E. Ibu muda Pembahasan : Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar BBLR dilahirkan oleh ibu multipara (jumlah anak 2-3), dan hanya sebagian kecil yang dilahirkan oleh ibu dengan paritas tinggi(grandemulti). Hal itu terjadi karena pada ibu multipara dengan paritas rendah yang melahirkan BBLR hampir semua disertai dengan faktor lain seperti anemia kehamilan, komplikasi kehamilan, dan paparan asap rokok. Di pihak lain, ibu dengan paritas tinggi yang melahirkan BBLR juga disertai oleh beberapa faktor lain seperti anemia, umur, dan komplikasikehamilan. Keadaan tersebut semakin menguatkan pendapat bahwa kejadian BBLR tidak hanya disebabkan satu faktor saja, tapi sangatlah kompleks. Meskipun hanya sebagian kecil, faktor paritas tinggi masih tetap merupakan faktor resiko terjadinya BBLR. Kenyataan ini didukung oleh hasil penelitian Joeharno (2008), bahwa ibu dengan paritas lebih dari 3 anak beresiko 2,4 kali lebih besar untuk melahirkan BBLR. Karena setiap proses kehamilan dan persalinan akan menyebabkan trauma fisik dan psikis, semakin banyak trauma yang ditinggalkan menyebabkan penyulit pada kehamilan dan persalinan berikutnya. http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/1310210222.pdf 7. Mengapa pada bayi kecil mudah terjadi hipotermia? A. Imunitas belum matur B. Set point masih belum mapan C. Lemak coklat tipis D. Transisi intrauterin ke ekstrauterin E. Permukaan tubuh relatif kurang luas

Pembahasan : mekanisme produksi panas bayi baru lahir dg menggigil jarang terjadi. Termogenesis tanpa menggigil dpt dicapai akibat adanya lemak coklat pada bayi baru lahir yg kemudian dibentuk akibat peningkatan aktivitas metabolismedi otak, jantung, dan hati. Lemak coklat terdapat dlm cadangan permukaan (interscapula, aksila, sekitar kolumna vertebralis dan sktr ginjal). www.library.upnvj.ac.id 8. bayi manakah yang mempunyai risiko mengalami anemia defisiensi besi dini? A. Bayi kurang bulan B. Bayi dengan inkompatibilitas ABO C. Bayi dengan hiperbilirubinemia indirect D. Bayi lebih bulan E. Bayi dengan polisitemia Pembahasan : Anemia defisiensi besi adalah salah satu jenis anemia yang paling sering dijumpai di dunia. Keadaan ini merupakan serangkaian proses yang diawali dengan terjadinya deplesi pada cadangan besi, defisiensi besi dan akhirnya anemia defisiensi besi. Angka kejadian anemia defisiensi besi paling banyak ditemukan pada bayi dan anak. Pertumbuhan yang cepat, pola makan yang tidak adekuat, infeksi, perdarahan saluran cerna, malabsorpsi, ibu hamil yang mengalami anemia, berat lahir rendah dan usia kelahiran kurang bulan, merupakan penyebab anemia defisiensi besi. Faktor lain yang juga turut berperan adalah jenis makanan, pola asuh, serta budaya dan cara pandang masyarakat terhadap kesehatan ibu dan anak. www.idai.or.id 9. Masalah motorik manakah yang harus mendapat perhatian pada anak dengan riwayat BBLR atau sepsis neonatorum? A. Palsi serebral B. Retardasi mental C. Septic arthritis D. Mikrosefali E. Makrosefali Pembahasan : http://ocw.usu.ac.id/course/download/111-GROWTH-AND-DEVELOPMENTSYSTEM/gds_138_slide_cerebral_palsy.pdf 10. A. B. C. Masalah manakah yang merupakan penyebab kematian terbesar BBL? Penyakit jantung bawaan Sepsis BBLR

D. Malformasi kongenital E. Malnutrisi Pembahasan : Kematian perinatal pada bayi BBLR 8 kali lebih besar dari bayi normal.Prognosisakan lebih buruk bila BB makin rendah, angka kematian sering disebabkan karenakomplikasi neonatal seperti asfiksia, aspirasi, pneumonia, perdarahan intrakranial,hipoglikemia. Bila hidup akan dijumpai kerusakan saraf, gangguan bicara, IQ rendah. www.scribd.com

stimulasi soal mini quiz sekenario 1 blok 8


Soal 1. 1. Apa maksud G3P2 pada kasus ? a. Gap 3 Para 2 b. Gestasi 3 Para 2 c. Gap 3 Partum 2 d. Gestasi 3 Partum 2 e. Gestasi 3 Post 2 Jawaban : D Pembahasan : Jadi artinya adalah hamil anak ke-3 dan sudah punya 2 anak. Sebenarnya si ditambah A0, jadi ky gini, G3P2A0 jadinya hamil anak ke-3 sudah punya 2 anak dan keguguran 0 kali. Gituuu .... 2. 2. Berapa lama waktu kehamilan (gestasi) yang normal ? a. 22 - 28 minggu b. 30 - 35 minggu c. 37 - 42 minggu d. 44 - 49 minggu e. 51 - 56 minggu Jawaban : C 3. 3. Faktor faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang itu ada genetik dan lingkungan, sebutkan faktor lingkungan yang pre-natal ? a. Lingkungan biologis b. Faktor fisik c. Gizi ibu d. Psikososial e. Faktor keluarga dan adat istiadat Jawaban : C

Pembahasan : lingkungan biologis, faktor fisik, psikososial dan faktor keluarga dan adat istiadat adalah faktor lingkungan yang post-natal 4. 4.Hormon-hormon apa saja yang mungkin berperan dalam pertumbuhan janin ? a. Melatonin b. Serotonin c. Adrenalin d. Dopamin e. Insulin Jawaban : E Pembahasan : Melatonin : diproduksi di kelenjar pineal dan berfungsi sebagai antioksidan dan mengontrol tidur. Serotonin : diproduksi di saluran pencernaan. Hormon ini berfungsi mengontrol mood atau suasana hati, nafsu makan dan tidur. Adrenalin : diproduksi di medula adrenal. Hormon ini berfungsi untuk meningkatkan pasokan oksigen dan glukosa ke otak dan otot (dengan meningkatkan denyut jantung), meningkatkan katalisis dari glikogen dalam hati, kerusakan lipid dalam sel lemak, serta menekan sistem kekebalan. Dopamin : diproduksi di ginjal dan hipotalamus. Hormon ini berfungsi untuk meningkatkan denyut jantung dan tekanan darah, menghambat pelepasan prolaktin dan TRH dari hipofisis anterior. Insulin : mulai diproduksi janin pada minggu ke-11, lalu meningkat sampai bulan ke-6 dan kemudian konstan. Berfungsi untuk pertumbuhan janin melalui pengaturan keseimbangan glukosa darah, sintesis protein janin, dan pengaruhnya pada pembesaran sel sesudah minggu ke-30. 5. 5. klasifikasi BBLR ? a. BBLSR 1000 - 1500 gram b. BBLR > 2500 gram c. BBLSAR 1000 - 1500 gram d. BBLSR <1000 gram e. BBLR <1000 gram Jawaban : A Pembahasan : BBLR (<2500gr), BBLSR (1000-1500gr), dan BBLSAR (<1000gr)

Skenario 2 Tutorial Blok 8 Pemantauan Tumbuh Kembang

Skenario Seorang anak perempuan berusia 14 bulan diperiksakan dengan keluhan kenaikan berat badan hanya sedikit setelah usia setahun ke atas. Berat badan sekarang 10 kg. Anak sudah bisa berjalan namun belum stabil. Anak baru bisa bicara sepatah dua patah kata. Orangtuanya khawatir karena anak sebayanya nampak lebih gendut. Riwayat kelahiran spontan dan asfiksia dengan skor Apgar 6/9. ASI eksklusif sampai usia 5 bulan. Rumus Perhitungan Berat Badan Ideal Anak Balita Cara praktis mendeteksi Gizi Buruk bisa dengan menghitung berat badan ideal anak balita, ada rumus praktisnya. Berikut ini tulisan pedoman praktis untuk menentukan berat badan ideal yang sering pergunakan dalam kegiatan-kegiatan pelayanan gizi dan kesehatan. Berat Badan Ideal Orang Dewasa Anda mungkin sudah tahu cara menentukan Berat Badan Ideal orang dewasa, yaitu dengan menggunakan rumus : Berat Badan Ideal = Tinggi Badan 100. Atau lebih jelasnya dengan rumus sebagai berikut, misalnya Tinggi Badan (TB) 160 cm maka di dapat adalah berat badan normal 60 kg, dimana idealnya berada diantara 54 Kg sampai dengan 66 kg. Di bawah 54 kg atau dibawah 10% dikatakan kekurangan Berat Badan dan diatas 66 kg atau diatas 10% dikatakan kelebihan Berat Badan. Selanjutnya untuk membandingkannya dengan berat badan aktual (real) anda yang biasa diistilahkan dengan Berat Badan Realatif (BBR) yaitu BB Aktual dibagi dengan BBI dikali 100 %. Hasilnya bisa menunjukkan Anda kekurangan (nilai BBI < 90 %) atau anda kelebihan BB (nilai BBI >110%). Rumus ini adalah rumus standar yang kadang hasilnya sebelum dijadikan pedoman kepada induvidu terlebih dahalu disesuaikan dengan jenis kelamin, massa otot, suku bangsa dan penyesuaian lain. Tetapi anda harus tahu rumus ini tidak berlaku untuk anak balita. Rumus diatas hanya berlaku untuk induvidu yang berusia diatas 15 tahun keatas. Disamping menentukan berat badan ideal untuk orang dewasa seperti diatas, Keadaan berat badan orang dewasa atau status gizi orang dewasa bisa juga menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT) keluaran Depkes RI yaitu dengan menggunakan rumus, Dimana BB= berat badan (kg) TB = tinggi badan dikuadratkan (TB x TB) dalam meter Inteprestasi Status gizi berdasarkan IMT adalah Kurus tingkat Berat jika nilai IMT <17.0 Kurus tingkat Ringan Jika nilai IMT berada diantara 17.0- 18.4 Normal jika nilai IMT berada diantara 18,5 25.0 Gemuk tingkat Ringan Jika IMT berada 25,1 -27.0 Gemuk tingkat berat jika nilai IMT berada >27 Berat Badan Ideal Balita (0-5 tahun)

Sementara itu rumus yang dipergunakan untuk anak balita ( bisa juga digunakan sampai dengan usia 10 tahun) adalah, Cara menggunakannya dicontoh sebagai berikut : Contoh pertama : anak balita usia 14 bulan, sebelum usia balita ini dimasukan rumus terlebih dahulu usia 14 bulan diuraikan menjadi tahun dan bulan yaitu 1 tahun 2 bulan dimana 1 tahun adalah 12 bulan. Karena n adalah usia dalam tahun dan bulan maka 1 tahun 2 bulan ditulis dengan 1,2 ( dibaca 1 tahun 2 bulan). Selanjutnya baru dimasukan kedalam rumus yaitu = (2 x 1,2) + 8 = 2,4 + 8 = 10,4 Jadi hasilnya Berat Badan Ideal untuk anak balita usia 14 bulan adalah 10,4 kg. contoh pertama diatas sangat praktis, tapi hati-hati, agak sedikit rumit seperti contoh kedua dibawah ini Contoh kedua: Anak balita usia 2 tahun 10 bulan, seperti diatas ini ditulis dengan n=2,10 dan selanjutnya dikali dengan 2 (sebagaimana rumus 2n) jadi hasilnya adalah 4,20. Hasil ini jangan langsung ditambah dengan 8, karena 4,20 diartikan 4 tahun 20 bulan, 20 bulan artinya 1 tahun 8 bulan, jadi 4,20 berubah menjadi 5,8, baru kemudian ditambah dengan 8 maka Berat badan Idealnya adalah 13,8 kg. Untuk Berat badan ideal bayi usia 1-12 bulan dapat menggunakan rumus sebagai berikut: 1. Untuk usia 1-6 bulan dapat menggunakan rumus : BBL(gr) +(usia x 600 gram) 2. Untuk usia 7-12 bulan dapat menggunakan rumus a. BBL (gr) + (usia x 500 gram ) b. (usia/2) +3 dimana : BBL adalah Berat Badan Lahir Usia dinyatakan dalam bulan Intepretasi Berat Badan Ideal Anak Balita. Sebagaimana halnya dengan intepretasi Berat Badan Ideal Orang dewasa (usia 15 tahun keatas) adalah +10 % BBI ini juga dapat berlaku untuk BBI anak balita. Dimulai dari kisaran normalnya yaitu rumus diatas = (2n +8 ) + 10% (2n+8). Yaitu antara 9.6 -11.44. Orang tua perlu hati-hati bila presentase Berat Badan Real telah berada dibawah atau diatas 20 % dapat dikatakan bahwa anak balita tersebut mempunyai keadaan gizi yang tidak seimbang, Bila berada diatas 20 % anak balita bisa dikatakan kegemukan dan bila berada di bawah 20 % bisa dikatakan kurang gizi dan bisa berlanjut ke Keadaan gizi buruk untuk balita/anak dan busung lapar untuk orang dewasa. Sebenarnya untuk mengukur Berat Badan Normal anak balita sudah ditentukan secara internasional yaitu dengan menggunakan standar WHO-NCHS atau juga bisa dengan melihat Kartu Menuju Sehat (KMS) tumbuh kembang balita, seperti terlihat pada gambar disamping, setiap anak mempunyai pola pertumbuhan dan perkembangan berat badan ideal (baik), yang penting adalah bertambah umur bertambah berat badan dan pola terlihat jelas, tidak tiba-tiba naik berat badan bulan ini, bulan berikutnya turun lagi kemudian naik lagi. Cara diatas

menentukan BBI anak balita hanya cara praktis yang bisa langsung digunakan tampa harus melihat pedoman seperti pada standar WHO-NCHS atau juga kartu menuju sehat yang biasa dilihat di posyandu. Cara Praktis untuk mendeteksi Gizi Buruk Jadi ketika anak balita diwilayah kerja ada yang tidak datang untuk memantau pertumbuhan dan perkembangan Berat Badannya. Petugas hanya mempunyai data umur anak dan hasil timbangan Berat Badan bulan-bulan sebelumnya. Masukanlah umur balita tersebut kedalam rumus diatas, hasilnya pada bulan tersebut anak balita telah mempunyai data Berat Badan Idealnya. Selanjutnya tanyakan pada ibu-ibu balita yang datang atau bandingkan dengan ciriciri keadaan anak balita normal seumurnya dengan kisaran berat badan idealnya yang datang di posyandu, jika keadaanya sampai dibawah 30% Berat idealnya. Anda Harus cepat bertindak, Jika tidak Anda akan menemukan balita tersebut gizi kurang dan memungkinkan atau berlanjut kepada gizi buruk. Source : http://paudanakceria.wordpress.com Pengertian Gizi Buruk Gizi buruk adalah suatu kondisi di mana seseorang dinyatakan kekurangan nutrisi, atau dengan ungkapan lain status nutrisinya berada di bawah standar rata-rata. Nutrisi yang dimaksud bisa berupa protein, karbohidrat dan kalori. Di Indonesia, kasus KEP (Kurang Energi Protein) adalah salah satu masalah gizi utama yang banyak dijumpai pada balita. Indikasi Gizi Buruk Untuk KEP ringan dan sedang, gejala klinis yang bisa dijumpai pada anak adalah berupa kondisi badan yang tampak kurus. Sedangkan gejala klinis KEP berat/gizi buruk secara garis besar bisa dibedakan menjadi tiga tipe: marasmus, kwashiorkor dan marasmic-kwashiorkor. Kwashiorkor memiliki ciri: edema (pembengkakan), umumnya seluruh tubuh (terutama punggung kaki dan wajah) membulat dan lembab pandangan mata sayu rambut tipis kemerahan seperti warna rambut jagung dan mudah dicabut tanpa rasa sakit dan mudah rontok terjadi perubahan status mental menjadi apatis dan rewel terjadi pembesaran hati otot mengecil (hipotrofi), lebih nyata bila diperiksa pada posisi berdiri atau duduk terdapat kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah warna menjadi coklat kehitaman lalu terkelupas (crazy pavement dermatosis) sering disertai penyakit infeksi yang umumnya akut anemia dan diare

Sedangkan ciri-ciri marasmus adalah sebagai berikut: badan nampak sangat kurus seolah-olah tulang hanya terbungkus kulit wajah seperti orang tua mudah menangis/cengeng dan rewel kulit menjadi keriput jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak ada (baggy pant/pakai celana longgar) perut cekung, dan iga gambang seringdisertai penyakit infeksi (umumnya kronis berulang) diare kronik atau konstipasi (susah buang air) Adapun marasmic-kwashiorkor memiliki ciri gabungan dari beberapa gejala klinis kwashiorkor dan marasmus disertai edema yang tidak mencolok. Cara Mengukur Status Gizi Anak Banyak cara yang bisa dilakukan untuk mengukur status gizi pada anak. Berikut adalah salah satu contoh pengukuran status gizi bayi dan balita berdasarkan tinggi badan menurut usia dan lingkar lengan atas. Tabel Berat dan Tinggi Badan Menurut Umur (usia 0-5 tahun, jenis kelamin tidak dibedakan) Tabel Standar Baku Lingkar Lengan Atas (LLA) Menurut Umur Sumber: Pedoman Ringkas Pengukuran Antropometri, hlm. 18 Pencegahan 1. Menimbang begitu pentingnya menjaga kondisi gizi balita untuk pertumbuhan dan kecerdasannya, maka sudah seharusnya para orang tua memperhatikan hal-hal yang dapat mencegah terjadinya kondisi gizi buruk pada anak. Berikut adalah beberapa cara untuk mencegah terjadinya gizi buruk pada anak: 1) Memberikan ASI eksklusif (hanya ASI) sampai anak berumur 6 bulan. Setelah itu, anak mulai dikenalkan dengan makanan tambahan sebagai pendamping ASI yang sesuai dengan tingkatan umur, lalu disapih setelah berumur 2 tahun. 2. Anak diberikan makanan yang bervariasi, seimbang antara kandungan protein, lemak, vitamin dan mineralnya. Perbandingan komposisinya: untuk lemak minimal 10% dari total kalori yang dibutuhkan, sementara protein 12% dan sisanya karbohidrat. 3. Rajin menimbang dan mengukur tinggi anak dengan mengikuti program Posyandu. Cermati apakah pertumbuhan anak sesuai dengan standar di atas. Jika tidak sesuai, segera konsultasikan hal itu ke dokter. 4. Jika anak dirawat di rumah sakit karena gizinya buruk, bisa ditanyakan kepada petugas pola dan jenis makanan yang harus diberikan setelah pulang dari rumah sakit. 5. Jika anak telah menderita karena kekurangan gizi, maka segera berikan kalori yang tinggi dalam bentuk karbohidrat, lemak, dan gula. Sedangkan untuk proteinnya bisa diberikan setelah sumber-sumber kalori lainnya sudah terlihat mampu meningkatkan energi anak. Berikan pula suplemen mineral dan vitamin penting lainnya. Penanganan dini sering kali membuahkan hasil yang baik. Pada kondisi yang sudah berat, terapi bisa dilakukan dengan meningkatkan kondisi

kesehatan secara umum. Namun, biasanya akan meninggalkan sisa gejala kelainan fisik yang permanen dan akan muncul masalah intelegensia di kemudian hari. Referensi: o Anonim. 2007. Ciri-ciri Kurang Gizi. Diakses 15 Desember 2008: Portal Kesehatan Online. o Anonim. 2008. Kalori Tinggi Untuk Gizi Buruk. Diakses 15 Desember 2008: Republika Online. o Notoatmojo, Soekidjo. 2003. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat. Cetakan ke-2. Jakarta: Rineka Cipta. Nasar, dkk. Ped Tata Kurang Protein. pkm-IDAI o Nency, Y dan Arifin, M.T. 2005. Gizi Buruk, Ancaman Generasi yang Hilang. Inovasi Edisi Vol. 5/XVII/November 2005: Inovasi Online.

Latihan Soal Skenario 2 Tutorial Blok 8


1. Seorang bayi berusia 9 bulan belum bisa duduk tanpa bantuan, bayi dapat mengucapkan kata-kata dada, papa, dan mama tetapi tidak mengekspresikan hubungan dengan ayah atau ibunya. Apakah diagnosis perkembangan bayi tersebut? a. Perkembangan sesuai usia b. Gangguan perkembangan motorik kasar c. Gangguan perkembangan motorik halus d. Gangguan perkembangan bicara e. Gangguan perkembangan global Penjelasan : Hal-hal yang harus dapat dicapai bayi sampai dengan usia 9 bulan : Personal sosial : menunjukkan rasa takut pada hal yang tidak biasa, makan sendiri (missal biscuit), menikmati permainan dengan orang lain (missal peek-a-boo), mencoba untuk meraih mainan, bermain dengan cangkir atau sendok, bercermin Motorik kasar : duduk tanpa dibantu, bangkit untuk duduk, merangkak, mulai bangkit berdiri Motorik halus : menunjuk objek dengan jari telunjuk, memegang dengan ibu jari dan telunjuk, membenturkan dua objek Bahasa : mengoceh, kombinasi silabel, mungkin mengatakan mama atau papa, meniru suara, merespon terhadap namanya, memiliki ketertarikan mendengarkan orang lain yang sedang berbicara. Source : (http://www.health.qld.gov.au/) 2. Seorang bayi terlahir dengan berat badan 1300 gr pada usia gestasi 30 minggu. Apakah masalah mata yang harus diperiksa secara periodic? a. Retinopati b. Retinoblastoma

c. Katarak congenital d. Juling e. Amblyophia Penjelasan : Retinopati (retinopathy of prematurity) adalah suatu penyakit/ kelainan berupa kebutaan mata yang yang pada utamanya terjadi pada bayi premature dengan berat sekitar 2 pounds (1250 grams) atau kurang dari itu yang lahir dengan usia gestasi sebelum 31 minggu. Penyakit iniyang umumnya terjadi pada kedua matamerupakan penyebab paling umum dari kehilangan penglihatan pada usia kanak-kanak dan dapat membawa pada kebutaan. ROP pertama kali didiagnosis pada 1942. Retinoblastoma adalah sebuah tipe kanker yang terbentuk pada retina. Umumnya terjadi pada anak berusia 5 tahun atau kurang dari itu, beberapa di antaranya diturunkan dari orang tua. Katarak congenital : katarak yang muncul sejak bayi lahir, biasanya pada kedua mata. Katarak ini biasanya tidak beitu berpengaruh pada penglihatan. Juling (strasmus) : adalah sebuah kelainan yang mana kedua mata tidak tertuju pada arah yang sama, sehingga tidak melihat pada objek yang sama pada waktu yang bersamaan. Dalam bahasa inggris biasa disebut "crossed eyes." Amblyophia merujuk kepada penurunan kemampuan penglihatan, baik unilateral maupun bilateral, yang mana tidak dapat ditemukan penyebabnya dengan pemeriksaan fisik mata. Source: (http://www.nei.nih.gov) (http://www.nlm.nih.gov/) 3. Manakah yang paling baik mengidentifikasikan masa remaja? a. Segera sebelum dan selama pubertas. b. Pertumbuhan fisik maksimal c. Perkembangan seksual maksimal d. Penyesuaian fisiologik terhadap prematuritas e. Peralihan psikososial dari masa kanak-kanak menjadi dewasa. Penjelasan : masa remaja (adolescent) dalam teori psikososial Erikson terjadi pada usia 12-18 tahun (Identity vs Role Confusion). Selama masa remaja, anak mengeksplorasi kebebasan dan perkembangan mereka. Sebagaimana mereka mengalami transisi dari masa kanak-kanak menjadi dewasa, remaja mungkin mulai merasa bingung atau tidak aman mengenai diri mereka dan bagaimana menyesuaikan diri dengan lingkungan. Menurut Erikson, masa remaja ini sangat penting untuk pembentukan identitas dan tujuan hidup. Source : (http://psychology.about.com/library/bl_psychosocial_summary.htm)

4. Seorang anak berusia 3 tahun baru dapat mengkombinasikan dua kata menjadi frasa dan lebih banyak berkomunikasi menggunakan sikap tubuh. Anak mau bermain bersama dengan teman sebayanya, dapat berjalan dan berlari dengan baik, serta dapat menendang bola. Tidak ada kemunduran dalam perkembangannya, pemeriksaan fisik menunjukkan tidak ada masalah telinga atau celah palatum. Pemeriksaan apakah yang paling diperlukan? a. Tes IQ b. Screening autism c. Screening genetic d. Tes daya dengar e. Elektroensefalografi Penjelasan : Pada usia 3 tahun paling tidak sudah bisa mengucapkan kombinasi kata, menyebut 4 gambar, dan beberapa bagian badan. Tes Daya Dengar (TDD) dengan tujuan untuk menemukan gangguan pendengaran sejak dini, agar dapat segera ditindak lanjuti untuk meningkatkan kemampuan daya dengar dan bicara anak. Source :(http://www.kesehatananak.depkes.go.id) 5. Seorang anak perempuan berusia 7 bulan nampak belum hafal dengan wajah kedua orang tuanya. Kesan perkembangan terlambat pada aspek motorik halus. Pemeriksaan menunjukkan adanya mikrosefal. Apaakah etiologi yang paling mungkin mendasari masalah anak tersebut? Riwayat persalinan spontan dengan acuan a. Infeksi TORCH b. Trauma lahir c. Sindrom Down d. Serebral Palsi e. TB congenital Penjelasan : Infeksi TORCH : (Toxoplasmosis, Rubella, Cytomegalovirus, Herpes) Toksoplasmosis dapat menyebabkan malformation pada CNS, micro cephali, hydro cephalus dan perinatal mortality, retardasi mental, dll. Rubella : gangguan pendengaran, cacat mata, retardasi psikomotor CMV : BBLR, mikrosefali, retardasi mental, hepatosplenomegali, dll Herpes : infeksi herpes Trauma Lahir : Trauma kelahiran adalah kelahiran pada bayi baru lahir yang terjadi karena trauma kelainan akibat tindakan, cara persalinan / gangguan yang diakibatkan oleh kelainan fisiologik persalinan (Sarwono Prawirohardjo, 2001 :229) Down Sindrom : terjadi retardasi mental, dengan cirri di antaranya wajah mongoloid, adanya lipatan epikantus mata, adanya simian line, dsb.

Serebral Palsi : adalah suatu kondisi terganggunya fungsi otak dan jaringan saraf yang mengendalikan gerakan, laju belajar, pendengaran, penglihatan, kemampuan berpikir. (MISC, anti-remed.blogspot.com) 6. Perangkat apakah yang dapat digunakan oleh orangtua untuk mendeteksi dini gangguan perkembangan anak? a. DenverII b. DDST c. KPSP d. Tes Bayley e. CHAT Pembahasan Formulir KPSP adalah alat/instrumen yang digunakan untuk mengetahui perkembangan anak normal atau ada penyimpangan. Cara menggunakan KPSP: Link KPSP usia : 3,6,9,12,15,18,21,24,30,36,42,48,54,60,66,72 bulan Bila anak berusia diantaranya maka KPSP yang digunakan adalah KPSP yang lebih kecil dari usia anak. Contoh: bayi umur 7 bulan maka yang digunakan da KPSP 6 bulan. v Tentukan umur anak dengan menjadikannya dalam bulan v Bila umur anak 16 hri dibulatkan menjadi 1 bulan v Plih KPSP yang sesuai dengan umur v KPSP terdiri dari 2 macam pertanyaan, yaitu : Pertanyaan yang dijawab oleh ibu/pengasuh. Contoh: "dapatkah bayi makan kue sendiri?" Perintah kepada ibu/pengasuh anak atau petugas untuk melaksanakan tugas yang tertulis pada KPSP. Contoh : "pada posisi bayi anda terletang, tariklah bayi pada pergelangan tangannya secara perlahan-lahanke posisi duduk" v Baca dulu dengan baik pertanyaan-pertanyaan yang ada. Bila tidak jelas/ragu-ragu tanyakan lebih lanjut agar mengerti sebelum melaksanakan v Pertasnyaan dijawab berurutan satu persatu v Setiap pertanyaan hanya mempunyai satu jawaban YA atau TIDAK v Teliti kembali semua pertanyaan dan jawaban. 7. Pemeriksaan Denver II pada seorang anak berusia 18 bulan menunjukan perkembangannya setingkat usia 15-18 bulan. Anak tampak kurang kooperatif. Bagaimana kita menyampaikan hal tersebut kepada orantuanya? a. Perkembangan anak baik tapi anak mengalami ketegangan pada saat pengujian b. Perkembangan anak terlambat dan mengalami ganggan psikologis c. Perkembangan anak terlambat dan anak mengalami ketegangan saat pengujian

d. e.

Perkembangan anak normal, kurang kooperatif biasa dijumpai pada usia tersebut Perkembangan anak normal, tapi mungkin anak mengalami gangguan psikologis

8. Aspek perkembangan apakah yang tidak dinilai dalam skrining perkembangan Denver? a. Motorik halus b. Motorik kasar c. Sosial d. Intelektual e. Bahasa Pembahasan Aspek yang dinilai ada 4 sektor, yaitu : v Personal sosial, untuk penyesuaian diri anak dimasyarakat dan untuk memenuhi kebutuhan pribadi anak v Motorik halus adaptif melihat koordinasi mata-tangan, memanipulasi benda-benda kecil, dan memecahkan masalah v Bahasa - mendengar, mengert dan menggunakan bahasa v Motorik kasar seperti duduk, jalan, dan gerakan otot kasar 9. Seorang bayi berusia 7 bulan datang dengan keluhan batuk pilek. Apakah kita perlu menyarankan orangtua untuk menjawab KPSP? a. Tidak perlu karna tidak dikeluhkan adanya gangguan perkembangan b. Tidak perlu karena usianya 7 bulan c. Perlu, dengan menggunakan kuisioner untuk bayi usia 6 bulan d. Perlu, dengan menggunakan kuisioner untuk bayi usia 7 bulan e. Perlu, dengan menggunakan kuisioner untuk bayi usia 9 bulan Pembahasan Link KPSP usia : 3,6,9,12,15,18,21,24,30,36,42,48,54,60,66,72 bulan Bila anak berusia diantaranya maka KPSP yang digunakan adalah KPSP yang lebih kecil dari usia anak. Contoh: bayi umur 7 bulan maka yang digunakan da KPSP 6 bulan 10. Berapakah skor yang diharapkan pada penilaian KPSP pada anak berusia 12 bulan? a. 7-8 b. 8-10 c. 10-12 d. 6-8 e. 10 Pembahasan Interprestasi hasil KPSP

v Hitung jawaban YA (bla dijawab bisa/sering/kadang-kadang) v Hitung jawaban TIDAK (bila jawaban belum pernah/tidak pernah) v Bila jawaban YA= 9-10, perkembangan anak sesuai dengan tahapan perkembangan (S) v Bila jawaban YA = 7 atau 8, perkembangan anak meragukan (M) v Bila jawaban YA = 6 atau kurang, kemungkinan ada penyimpangan (P) v Ricilah jawaban TIDAK pada nomer berapa saja

Blok 8 Case 3
Parents of an-11-month-old girl request an appoinment to discuss her growth. they are concerned because she is smaller than 1-year old cousin. she was last seen in the office at age 9 months, at which time she was at 25th percentile for both weight and lenght. measurenments today show that weight is now at the 5th percentile and lenght is at 25th percentile. Nilai persentil: Ukuran antropometrik (BB-U, TB-U dan BB-TB) disajikan sebagai posisi individu dalam sebaran populasi rujukan Normal bila antara persentil 5 dan 95 Kurang bila kurang persentil 5 Lebih bila lebih persentil 9 Problem : 1. Identifikasikan masalah pertumbuhan dengan menekankan pada aspek berat panjang dan lingkar kepala. Masalah pertumbuhan bisa di identifikasi dengan pengukuran tubuh manusia yang dikenal dengan Antropometri. Dan inilah yang di nilai : a. Umur. Umur sangat memegang peranan dalam penentuan status gizi, kesalahan penentuan akan menyebabkan interpretasi status gizi yang salah. Hasil penimbangan berat badan maupun tinggi badan yang akurat, menjadi tidak berarti bila tidak disertai dengan penentuan umur yang tepat. Kesalahan yang sering muncul adalah adanya kecenderunagn untuk memilih angka yang mudah seperti 1 tahun; 1,5 tahun; 2 tahun. Oleh sebab itu penentuan umur anak perlu dihitung dengan cermat. Ketentuannya adalah 1 tahun adalah 12 bulan, 1 bulan adalah 30 hari. Jadi perhitungan umur adalah dalam bulan penuh, artinya sisa umur dalam hari tidak diperhitungkan ( Depkes, 2004). b. Berat Badan

Berat badan merupakan salah satu ukuran yang memberikan gambaran massa jaringan, termasuk cairan tubuh. Berat badan sangat peka terhadap perubahan yang mendadak baik karena penyakit infeksi maupun konsumsi makanan yang menurun. Berat badan ini dinyatakan dalam bentuk indeks BB/U (Berat Badan menurut Umur) atau melakukan penilaian dengam melihat perubahan berat badan pada saat pengukuran dilakukan, yang dalam penggunaannya memberikan gambaran keadaan kini. Berat badan paling banyak digunakan karena hanya memerlukan satu pengukuran, hanya saja tergantung pada ketetapan umur, tetapi kurang dapat menggambarkan kecenderungan perubahan situasi gizi dari waktu ke waktu (Djumadias Abunain, 1990). c. Tinggi Badan Tinggi badan memberikan gambaran fungsi pertumbuhan yang dilihat dari keadaan kurus kering dan kecil pendek. Tinggi badan sangat baik untuk melihat keadaan gizi masa lalu terutama yang berkaitan dengan keadaan berat badan lahir rendah dan kurang gizi pada masa balita. Tinggi badan dinyatakan dalam bentuk Indeks TB/U ( tinggi badan menurut umur), atau juga indeks BB/TB ( Berat Badan menurut Tinggi Badan) jarang dilakukan karena perubahan tinggi badan yang lambat dan biasanya hanya dilakukan setahun sekali. Keadaan indeks ini pada umumnya memberikan gambaran keadaan lingkungan yang tidak baik, kemiskinan dan akibat tidak sehat yang menahun ( Depkes RI, 2004). Berat badan dan tinggi badan adalah salah satu parameter penting untuk menentukan status kesehatan manusia, khususnya yang berhubungan dengan status gizi. Penggunaan Indeks BB/U, TB/U dan BB/TB merupakan indikator status gizi untuk melihat adanya gangguan fungsi pertumbuhan dan komposisi tubuh (M.Khumaidi, 1994). Penggunaan berat badan dan tinggi badan akan lebih jelas dan sensitive/peka dalam menunjukkan keadaan gizi kurang bila dibandingkan dengan penggunaan BB/U. Dinyatakan dalam BB/TB, menurut standar WHO bila prevalensi kurus/wasting < -2SD diatas 10 % menunjukan suatu daerah tersebut mempunyai masalah gizi yang sangat serius dan berhubungan langsung dengan angka kesakitan. Tabel 1 Penilaian Status Gizi berdasarkan Indeks BB/U,TB/U, BB/TB Standart Baku Antropometeri WHO-NCHS Indeks yang Batas No Sebutan Status Gizi dipakai Pengelompokan 1 BB/U < -3 SD - 3 s/d <-2 SD - 2 s/d +2 SD > +2 SD < -3 SD - 3 s/d <-2 SD Gizi buruk Gizi kurang Gizi baik Gizi lebih Sangat Pendek Pendek

TB/U

BB/TB

- 2 s/d +2 SD > +2 SD < -3 SD - 3 s/d <-2 SD - 2 s/d +2 SD > +2 SD

Normal Tinggi Sangat Kurus Kurus Normal Gemuk

Sumber : Depkes RI 2004. Data baku WHO-NCHS indeks BB/U, TB/U dan BB/TB disajikan dalan dua versi yakni persentil (persentile) dan skor simpang baku (standar deviation score = z). Menurut Waterlow,et,al, gizi anak-anak dinegara-negara yang populasinya relative baik (well-nourished), sebaiknya digunakan presentil, sedangkan dinegara untuk anak-anak yang populasinya relative kurang (under nourished) lebih baik menggunakan skor simpang baku (SSB) sebagai persen terhadap median baku rujukan ( Djumadias Abunaim,1990). Tabel 2. Interpretasi Status Gizi Berdasarkan Tiga Indeks Antropometri (BB/U,TB/U, BB/TB Standart Baku Antropometeri WHO-NCHS) Indeks yang digunakan No Interpretasi BB/U TB/U BB/TB 1 Rendah Rendah Rendah Normal Normal Normal Tinggi Tinggi Tinggi Rendah Tinggi Normal Normal Tinggi Rendah Tinggi Rendah Normal Normal Rendah Rendah Normal Rendah Tinggi Normal Tinggi Tinggi Normal, dulu kurang gizi Sekarang kurang ++ Sekarang kurang + Normal Sekarang kurang Sekarang lebih, dulu kurang Tinggi, normal Obese Sekarang lebih, belum obese

Keterangan : untuk ketiga indeks ( BB/U,TB/U, BB/TB) : Rendah : < -2 SD Standar Baku Antropometri WHO-NCHS Normal : -2 s/d +2 SD Standar Baku Antropometri WHO-NCHS Tinggi : > + 2 SD Standar Baku Antropometri WHO-NCHS Sumber : Depkes RI 2004.

Pengukuran Skor Simpang Baku (Z-score) dapat diperoleh dengan mengurangi Nilai Induvidual Subjek (NIS) dengan Nilai Median Baku Rujukan (NMBR) pada umur yang bersangkutan, hasilnya dibagi dengan Nilai Simpang Baku Rujukan (NSBR). Atau dengan menggunakan rumus :

Z-score = (NIS-NMBR) / NSBR

Status gizi berdasarkan rujukan WHO-NCHS dan kesepakatan Cipanas 2000 oleh para pakar Gizi dikategorikan seperti diperlihatkan pada tabel 1 diatas serta di interpretasikan berdasarkan gabungan tiga indeks antropometri seperti yang terlihat pada tabel 2. Untuk memperjelas penggunaan rumur Zskor dapat dicontohkan sebagai berikut Diketahui BB= 60 kg TB=145 cm Umur : karena umur dengan indeks BB/U, TB/U dan BB/TB berdasarkan WHO-NCHS hanya dibatasi < 18 tahun maka disini dicontohkan anak laki-laki usia 15 tahun Table weight (kg) by age of boys aged 15 year from WHO-NCHS Age Standard Deviations Yr mth -3sd -2sd -1sd Median +1sd +2sd 15 0 31.6 39.9 48.3 56.7 69.2 81.6 Sumber: WHO, Measuring Change an Nutritional Status, Genewa 1985 Table weight (kg) by stature of boys 145 cm in Height from WHO-NCHS Stature Standard Deviations cm -3sd -2sd -1sd Median +1sd +2sd 145 0 24.8 28.8 32.8 36.9 43.0 49.2 Sumber: WHO, Measuring Change an Nutritional Status, Genewa 1985 Table stature (cm) by age of boys aged 15 year from WHO-NCHS Stature Standard Deviations Yr mth -3sd -2sd -1sd Median +1sd +2sd 15 0 144.8 152.9 160.9 169.0 177.1 185.1 Sumber: WHO, Measuring Change an Nutritional Status, Genewa 1985

+3sd 94.1

+3sd 55.4

+3sd 193.2

Jadi untuk indeks BB/U adalah = Z Score = ( 60 kg 56,7 ) / 8.3 = + 0,4 SD = status gizi baik Untuk IndeksTB/U adalah = Z Score = ( 145 kg 169 ) / 8.1 = - 3.0 SD = status gizi pendek Untuk Indeks BB/TB adalah = Z Score = ( 60 36.9 ) / 4 = + 5.8 SD = status gizi gemuk d. Lingkar Kepala LK mencerminkan isi dari kepala. Dipakai untuk menaksir pertumbuhan otak. Pertumbuhan lingkar kepala yang paling pesat adalah pada 6 bulan pertama kehidupan, yaitu dari 34 cm pada waktu lahir menjadi 44 cm pada umur 6 bulan. Sedangkan pada umur setahun 47 cm, 2 tahun 49 cm, dan dewasa 54 cm. Oleh karena itu, manfaat pengukuran LK terbatas pada 6 bulan pertama sampai umur 2 tahun karena saat2 itu pertumbuhan otak yang pesat. (untuk tabel ukuran LK dan grafiknya berdasarkan umur dapat di liat di buku tumbuh kembang anak EGC halaman 40) 2. mengidentifikasi bayi atau anak kecil dengan perawakan pendek dan daftar kondisi yang harus dipertimbangkan dalam evaluasi Perawakan pendek mengacu pada seseorang yang jauh di bawah rata-rata tinggi orang pada usia yang sama dan jenis kelamin. Perawakan pendek merupakan suatu keadaan yang dapat mengakibatkan seorang anak menjadi kurang percaya diri. Hal ini dapat terjadi karena berkurangnya banyak kesempatan akibat tubuhnya yang pendek. Perawakan pendek bukan merupakan suatu diagnosis klinis. Perawakan pendek merupakan suatu keadaan dimana tinggi badan seseorang dibawah ukuran normal sesuai umur, jenis kelamin dan mudah diketahui dengan segera. Dikatakan seseorang berperawakan pendek bila tinggi badan seseorang dibawah 2 standar deviasi (SD) dari rata-rata populasi atau dibawah persentil 3 kurva pertumbuhan. Pertumbuhan merupakan suatu indikator sensitif kesehatan anak, status nutrisi dan latar belakang ginetiknya. Penyimpangan dari pertumbuhan rata-rata tinggi badan dan berat badan dapat menunjukan adanya masalah kesehatan. Proses tumbuh kembang termasuk pertumbuhan, merupakan proses utama dan merupakan sesuatu yang terpenting pada anak tersebut. Gangguan, hambatan, maupun penyimpangan sangat merugikan anak. Anak terkadang tidak percaya diri karena memiliki tumbuh pendek.

Keadaan apa saja yang dapat menyebabkan anak menjadi pendek? Secara umum penyebab perawakan pendek adalah familial (turunan) / CDGP (41%), pertumbuhan janin terganggu (PJT) (7,5%), kekurangan hormon pertumbuhan (8%), dan yang tidak diketahui penyebabnya (idiopatik) (19%). Berbagai keadaan medis juga dapat mengganggu pertumbuhan dan mengakibatkan perawakan pendek yang patologis, seperti penyakit kronis pada anak khususnya penyakit yang mengenai jantung, paru, pencernaan, ginjal. penyakit-penyakit ini dapat memperlambat pertumbuhan. Diagnosis dini dan pengobatan penyakit tersebut dapat mengembalikan proses pertumbuhan. Selain penyakit kronis, perawakan pendek juga dapat disebabkan oleh nutrisi yang tidak adekuat terutama jika terjadi pada masa bayi dan pubertas. Disamping hal-hal diatas, pendek juga dapat disebabkan oleh kekurangan hormon tertentu khususnya hormon pertumbuhan dan hormon tiroid. Setiap anak dengan perawakan pendek harus diketahui penyebabnya dan pada keluarga perlu dijelaskan mengenai potensi normal pertumbuhan seorang anak sesuai dengan potensi genetiknya. Sebagian kasus tidak perlu langsung diterapi, hanya dilakukan pemantauan berkala. namun sebagian kasus yang sudah jelas penyebabnya seperti kelainan hormonal antara lain kekurangan hormon pertumbuhan dan hormon tiroid dapat segera diobati. Gangguan pertumbuhan sekunder seperti malnutrisi dan penyakit kronis juga harus diobati sesuai penyebabnya. Penyebab Perawakan pendek yang tidak memiliki penyebab medis (perawakan pendek idiopatik) dapat disebabkan oleh: Konstitusi pertumbuhan penundaan. Anak-anak kecil untuk usia mereka, tetapi tumbuh pada laju yang normal. Pubertas sering terlambat. Anak-anak ini terus tumbuh setelah sebagian besar rekan-rekan mereka telah berhenti. Sebagian besar waktu, mereka akan mencapai tinggi dewasa mirip dengan orang tua mereka. Salah satu atau kedua orang tua adalah pendek. Orang tua yang pendek tapi sehat mungkin memiliki anak yang sehat yang berada dalam 5% terpendek. Anak-anak ini pendek, tapi mereka harus mencapai ketinggian satu atau kedua orangtua. Perawakan pendek mungkin merupakan gejala dari sejumlah kondisi medis atau masalah, termasuk: Tulang atau kerangka gangguan seperti rakhitis atau achondroplasia Penyakit kronis seperti penyakit jantung bawaan , penyakit ginjal, asma , anemia sel sabit , talasemia , juvenile rheumatoid arthritis , penyakit radang usus, penyakit celiac , penyakit Cushing , hipotiroidisme , dan diabetes

Genetik kondisi seperti sindrom Down, sindrom Turner , sindrom Williams , Russell-Silver sindrom , dan sindrom Noonan Pertumbuhan kekurangan hormon Infeksi janin sebelum kelahiran Malnutrisi Miskin pertumbuhan bayi sementara di dalam rahim ( restriksi pertumbuhan intrauterin ) atau usia untuk kecil kehamilan Dan masih banyak lagi sebenarnya, kita disini bukan untuk mendiagnosis, tapi untuk mengetahui bagaimana asal usul penyebab, komplikasi dan blablabla yang lainnya. Makanya jangan langsung terjebak ke diagnosis. Sebagai tambahan, Anak perempuan dengan perawakan pendek mungkin memiliki tes genetik dilakukan untuk memeriksa penyakit tertentu, seperti sindrom Turner. PENGOBATAN Perawakan pendek seorang anak sering akan mempengaruhi harga diri. Memberikan dukungan emosional adalah bagian penting dari pengobatan. Anak-anak mungkin akan diejek oleh teman sekelas dan teman-teman. Keluarga, teman, dan guru harus yakin untuk menekankan keterampilan lainnya anak dan kekuatan. Anak-anak perawakan pendek yang ditemukan memiliki kekurangan hormon pertumbuhan dalam tubuh mereka biasanya akan diobati dengan suntikan hormon pertumbuhan. Lihat: defisiensi hormon Pertumbuhan Pertumbuhan suntikan hormon juga digunakan untuk mengobati anak-anak dengan sindrom Turner, sindrom Prader-Willi , gagal ginjal kronis, atau perawakan pendek idiopatik (ISS). Anak-anak yang bertubuh pendek tapi yang memiliki tingkat hormon pertumbuhan yang normal biasanya tidak perlu suntikan hormon pertumbuhan. Anak-anak ini hanya bisa menerima suntikan hormon pertumbuhan ketika: Kurva pertumbuhan menunjukkan bahwa anak akan menjadi orang dewasa yang sangat singkat. Menggunakan hormon pertumbuhan biasanya akan meningkatkan tinggi akhir anak dengan 2 - 3 inci. Anak itu lahir kecil untuk usia kehamilan Beberapa anak laki-laki dengan perawakan pendek yang juga telah menunda pubertas mungkin menerima obat-obatan tertentu yang mengandung hormon laki-laki, testosteron.

Faktor-faktor yang mempengaruhi Pertumbuhan dan Perkembangan


Banyak faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Secara garis besar faktor-faktor tersebut dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu faktor dalam (internal) dan faktor luar (eksternal/lingkungan). Pertumbuhan dan perkembangan

merupakan hasil interaksi dua faktor tersebut. Faktor internal terdiri dari perbedaan ras/etnik atau bangsa, keluarga, umur, jenis kelamin, kelainan genetik, dan kelainan kromosom. Anak yang terlahir dari suatu ras tertentu, misalnya ras Eropa mempunyai ukuran tungkai yang lebih panjang daripada ras Mongol. Wanita lebih cepat dewasa dibanding laki-laki. Pada masa pubertas wanita umumnya tumbuh lebih cepat daripada laki-laki, kemudian setelah melewati masa pubertas sebalinya laki-laki akan tumbuh lebih cepat. Adanya suatu kelainan genetik dan kromosom dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak, seperti yang terlihat pada anak yang menderita Sindroma Down. Selain faktor internal, faktor eksternal/lingkungan juga mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Contoh faktor lingkungan yang banyak mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak adalah gizi, stimulasi, psikologis, dan sosial ekonomi. Gizi merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap proses tumbuh kembang anak. Sebelum lahir, anak tergantung pada zat gizi yang terdapat dalam darah ibu. Setelah lahir, anak tergantung pada tersedianya bahan makanan dan kemampuan saluran cerna. Hasil penelitian tentang pertumbuhan anak Indonesia (Sunawang, 2002) menunjukkan bahwa kegagalan pertumbuhan paling gawat terjadi pada usia 6-18 bulan. Penyebab gagal tumbuh tersebut adalah keadaan gizi ibu selama hamil, pola makan bayi yang salah, dan penyakit infeksi. Perkembangan anak juga dipengaruhi oleh stimulasi dan psikologis. Rangsangan/stimulasi khususnya dalam keluarga, misalnya dengan penyediaan alat mainan, sosialisasi anak, keterlibatan ibu dan anggota keluarga lain akan mempengaruhi anak dlam mencapai perkembangan yang optimal. Seorang anak yang keberadaannya tidak dikehendaki oleh orang tua atau yang selalu merasa tertekan akan mengalami hambatan di dalam pertumbuhan dan perkembangan. Faktor lain yang tidak dapat dilepaskan dari pertumbuhan dan perkembangan anak adalah faktor sosial ekonomi. Kemiskinan selalu berkaitan dengan kekurangan makanan, kesehatan lingkungan yang jelek, serta kurangnya pengetahuan. (Tanuwijaya, 2003). Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Pertumbuhan organ-organ tubuh mengikuti 4 pola, yaitu pola umum, neural, limfoid, serta reproduksi. Organ-organ yang mengikuti pola umum adalah tulang panjang, otot skelet, sistem pencernaan, pernafasan, peredaran darah, volume darah. Perkembangan otak bersama tulang-tulang yang melindunginya, mata, dan telinga berlangsung lebih dini. Otak bayi yang baru dilahirkan telah mempunyai berat 25% berat otak dewasa, 75% berat otak dewasa pada umur 2 tahun, dan pada umur 10 tahun telah mencapai 95% berat otak dewasa. Pertumbuhan jaringan limfoid agak berbeda dengan dari bagian tubuh lainnya, pertumbuhan mencapai maksimum sebelum remaja kemudian menurun hingga mencapai

ukuran dewasa. Sedangkan organ-organ reproduksi tumbuh mengikuti pola tersendiri, yaitu pertumbuhan lambat pada usia pra remaja, kemudian disusul pacu tumbuh pesat pada usia remaja. (Tanuwijaya, 2003; Meadow & Newell, 2002; Cameron, 2002 ). Perbedaan empat pola pertumbuhan tersebut tergambar dalam kurva di bawah ini. Kurva pertumbuhan jaringan dan organ yang memperlihatkan 4 pola pertumbuhan (Dikutip dari Cameron, 2002). Usia dini merupakan fase awal perkembangan anak yang akan menentukan perkembangan pada fase selanjutnya. Perkembangan anak pada fase awal terbagi menjadi 4 aspek kemampuan fungsional, yaitu motorik kasar, motorik halus dan penglihatan, berbicara dan bahasa, serta sosial emosi dan perilaku. Jika terjadi kekurangan pada salah satu aspek kemampuan tersebut dapat mempengaruhi perkembangan aspek yang lain. Kemajuan perkembangan anak mengikuti suatu pola yang teratur dan mempunyai variasi pola batas pencapaian dan kecepatan. Batasan usia menunjukkan bahwa suatu. patokan kemampuan harus dicapai pada usia tertentu. Batas ini menjadi penting dalam penilaian perkembangan, apabila anak gagal mencapai dapat memberikan petunjuk untuk segera melakukan penilaian yang lebih terperinci dan intervensi yang tepat. Deteksi Dini Pertumbuhan dan Perkembangan Penilaian pertumbuhan dan perkembangan dapat dilakukan sedini mungkin sejak anak dilahirkan. Deteksi dini merupakan upaya penjaringan yang dilaksanakan secara komprehensif untuk menemukan penyimpangan tumbuh kembang dan mengetahui serta mengenal faktor resiko pada balita, yang disebut juga anak usia dini. Melalui deteksi dini dapat diketahui penyimpangan tumbuh kembang anak secara dini, sehingga upaya pencegahan, stimulasi, penyembuhan serta pemulihan dapat diberikan dengan indikasi yang jelas pada masa-masa kritis proses tumbuh kembang. Upaya-upaya tersebut diberikan sesuai dengan umur perkembangan anak, dengan demikian dapat tercapai kondisi tumbuh kembang yang optimal (Tim Dirjen Pembinaan Kesmas, 1997). Penilaian pertumbuhan dan perkembangan meliputi dua hal pokok, yaitu penilaian pertumbuhan fisik dan penilaian perkembangan. Masing-masing penilaian tersebut mempunyai parameter dan alat ukur tersendiri. Dasar utama dalam menilai pertumbuhan fisik anak adalah penilaian menggunakan alat baku (standar). Untuk menjamin ketepatan dan keakuratan penilaian harus dilakukan dengan teliti dan rinci. Pengukuran perlu dilakukan dalam kurun waktu tertentu untuk menilai kecepatan pertumbuhan. Parameter ukuran antropometrik yang dipakai dalam penilaian pertumbuhan fisik adalah tinggi badan, berat badan, lingkar kepala, lipatan kulit, lingkar lengan atas, panjang lengan, proporsi tubuh, dan panjang tungkai. Menurut Pedoman Deteksi Dini Tumbuh Kembang Balita (Tim Dirjen Pembinaan Kesmas, 1997) dan Narendra (2003) macammacam

penilaian pertumbuhan fisik yang dapat digunakan adalah: 1) Pengukuran Berat Badan (BB) Pengukuran ini dilakukan secara teratur untuk memantau pertumbuhan dan keadaan gizi balita. Balita ditimbang setiap bulan dan dicatat dalam Kartu Menuju Sehat Balita (KMS Balita) sehingga dapat dilihat grafik pertumbuhannya dan dilakukan interfensi jika terjadi penyimpangan. 2) Pengukuran Tinggi Badan (TB) Pengukuran tinggi badan pada anak sampai usia 2 tahun dilakukan dengan berbaring., sedangkan di atas umur 2 tahun dilakukan dengan berdiri. Hasil pengukuran setiap bulan dapat dicatat pada dalam KMS yang mempunyai grafik pertumbuhan tinggi badan. 3) Pengukuran Lingkar Kepala Anak (PLKA) PLKA adalah cara yang biasa dipakai untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan otak anak. Biasanya ukuran pertumbuhan tengkorak mengikuti perkembangan otak, sehingga bila ada hambatan pada pertumbuhan tengkorak maka perkembangan otak anak juga terhambat. Pengukuran dilakukan pada diameter occipitofrontal dengan mengambil rerata 3 kali pengukuran sebagai standar. Untuk menilai perkembangan anak banyak instrumen yang dapat digunakan. Salah satu instrumen skrining yang dipakai secara internasional untuk menilai perkembangan anak adalah DDST II (Denver Development Screening Test). DDST II merupakan alat untuk menemukan secara dini masalah penyimpangan perkembangan anak umur 0 s/d < 6 tahun. Instrumen ini merupakan revisi dari DDST yang pertama kali dipublikasikan tahun 1967 untuk tujuan yang sama. Pemeriksaan yang dihasilkan DDST II bukan merupakan pengganti evaluasi diagnostik, namun lebih ke arah membandingkan kemampuan perkembangan seorang anak dengan anak lain yang seumur. DDST II digunakan untuk menilai tingkat perkembangan anak sesuai umurnya pada anak yang mempunyai tanda-tanda keterlambatan perkembangan maupun anak sehat. DDST II bukan merupakan tes IQ dan bukan merupakan peramal kemampuan intelektual anak di masa mendatang. Tes ini tidak dibuat untuk menghasilkan diagnosis, namun lebih ke arah untuk membandingkan kemampuan perkembangan seorang anak dengan kemampuan anak lain yang seumur. Menurut Pedoman Pemantauan Perkembangan Denver II (Subbagian Tumbuh Kembang Ilmu Kesehatan Anak RS Sardjito, 2004), formulir tes DDST II berisi 125 item yg terdiri dari 4 sektor, yaitu: personal sosial, motorik halus-adaptif, bahasa, serta motorik kasar. Sektor personal sosial meliputi komponen penilaian yang berkaitan dengan kemampuan penyesuaian diri anak di masyarakat dan kemampuan memenuhi kebutuhan pribadi anak. Sektor motorik halus-adaptif berisi kemampuan anak dalam hal koordinasi mata-tangan, memainkan dan menggunakan benda-benda kecil serta pemecahan masalah.

Sektor bahasa meliputi kemampuan mendengar, mengerti, dan menggunakan bahasa. Sektor motorik kasar terdiri dari penilaian kemampuan duduk, jalan, dan gerakan-gerakan umum otot besar. Selain keempat sektor tersebut, itu perilaku anak juga dinilai secara umum untuk memperoleh taksiran kasar bagaimana seorang anak menggunakan kemampuannya. Gangguan Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Masalah yang sering timbul dalam pertumbuhan dan perkembangan anak meliputi gangguan pertumbuhan fisik, perkembangan motorik, bahasa, emosi, dan perilaku. 1. Gangguan Pertumbuhan Fisik Gangguan pertumbuhan fisik meliputi gangguan pertumbuhan di atas normal dan gangguan pertumbuhan di bawah normal. Pemantauan berat badan menggunakan KMS (Kartu Menuju Sehat) dapat dilakukan secara mudah untuk mengetahui pola pertumbuhan anak. Menurut Soetjiningsih (2003) bila grafik berat badan anak lebih dari 120% kemungkinan anak mengalami obesitas atau kelainan hormonal. Sedangkan, apabila grafik berat badan di bawah normal kemungkinan anak mengalami kurang gizi, menderita penyakit kronis, atau kelainan hormonal. Lingkar kepala juga menjadi salah satu parameter yang penting dalam mendeteksi gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak. Ukuran lingkar kepala menggambarkan isi kepala termasuk otak dan cairan serebrospinal. Lingkar kepala yang lebih dari normal dapat dijumpai pada anak yang menderita hidrosefalus, megaensefali, tumor otak ataupun hanya merupakan variasi normal. Sedangkan apabila lingkar kepala kurang dari normal dapat diduga anak menderita retardasi mental, malnutrisi kronis ataupun hanya merupakan variasi normal. Deteksi dini gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran juga perlu dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya gangguan yang lebih berat. Jenis gangguan penglihatan yang dapat diderita oleh anak antara lain adalah maturitas visual yang terlambat, gangguan refraksi, juling, nistagmus, ambliopia, buta warna, dan kebutaan akibat katarak, neuritis optik, glaukoma, dan lain sebagainya. (Soetjiningsih, 2003). Sedangkan ketulian pada anak dapat dibedakan menjadi tuli konduksi dan tuli sensorineural. Menurut Hendarmin (2000), tuli pada anak dapat disebabkan karena faktor prenatal dan postnatal. Faktor prenatal antara lain adalah genetik dan infeksi TORCH yang terjadi selama kehamilan. Sedangkan faktor postnatal yang sering mengakibatkan ketulian adalah infeksi bakteri atau virus yang terkait dengan otitis media. 2. Gangguan perkembangan motorik Perkembangan motorik yang lambat dapat disebabkan oleh beberapa hal. Salah satu penyebab gangguan perkembangan motorik adalah kelainan tonus otot atau penyakit neuromuskular. Anak dengan serebral palsi dapat mengalami keterbatasan perkembangan motorik sebagai akibat spastisitas, athetosis, ataksia, atau hipotonia. Kelainan sumsum tulang belakang seperti spina bifida juga dapat menyebabkan

keterlambatan perkembangan motorik. Penyakit neuromuscular sepeti muscular distrofi memperlihatkan keterlambatan dalam kemampuan berjalan. Namun, tidak selamanya gangguan perkembangan motorik selalu didasari adanya penyakit tersebut. Faktor lingkungan serta kepribadian anak juga dapat mempengaruhi keterlambatan dalam perkembangan motorik. Anak yang tidak mempunyai kesempatan untuk belajar seperti sering digendong atau diletakkan di baby walker dapat mengalami keterlambatan dalam mencapai kemampuan motorik. 3. Gangguan perkembangan bahasa Kemampuan bahasa merupakan kombinasi seluruh system perkembangan anak. Kemampuan berbahasa melibatkan kemapuan motorik, psikologis, emosional, dan perilaku (Widyastuti, 2008). Gangguan perkembangan bahasa pada anak dapat diakibatkan berbagai faktor, yaitu adanya faktor genetik, gangguan pendengaran, intelegensia rendah, kurangnya interaksi anak dengan lingkungan, maturasi yang terlambat, dan faktor keluarga. Selain itu, gangguan bicara juga dapat disebabkan karena adanya kelainan fisik seperti bibir sumbing dan serebral palsi. Gagap juga termasuk salah satu gangguan perkembangan bahasa yang dapat disebabkan karena adanya tekanan dari orang tua agar anak bicara jelas (Soetjingsih, 2003). 4. Gangguan Emosi dan Perilaku Selama tahap perkembangan, anak juga dapat mengalami berbagai gangguan yang terkait dengan psikiatri. Kecemasan adalah salah satu gangguan yang muncul pada anak dan memerlukan suatu intervensi khusus apabila mempengaruh interaksi sosial dan perkembangan anak. Contoh kecemasan yang dapat dialami anak adalah fobia sekolah, kecemasan berpisah, fobia sosial, dan kecemasan setelah mengalami trauma. Gangguan perkembangan pervasif pada anak meliputi autisme serta gangguan perilaku dan interaksi sosial. Menurut Widyastuti (2008) autism adalah kelainan neurobiologis yang menunjukkan gangguan komunikasi, interaksi, dan perilaku. Autisme ditandai dengan terhambatnya perkembangan bahasa, munculnya gerakan-gerakan aneh seperti berputar-putar, melompat-lompat, atau mengamuk tanpa sebab. Perkembangan Anak : Normal atau Abnormal ? A.Pendahuluan Mengamati seorang anak yang sedang berkembang merupakan hal yang sangat menarik. Ia berkembang dari bayi yang sedang terlentang pasif, kemudian dapat tengkurap, duduk, berdiri, berjalan sampai berlari-lari dengan aktif. Dari tidak mengerti apa-apa, mengoceh, kemudian dapat berbicara. Proses

perkembangan otak yang optimal sesuai dengan tahapan umurnya. Perkembangan dapat dibagi menjadi perkembangan motorik kasar, perkembangan pemecahan masalah visuo-motor yang merupakan gabungan fungsi penglihatan dan motorik halus, perkembangan bahasa dan perkembangan sosial. Sebenarnya perkembangan seorang anak merupakan suatu kesatuan yang utuh, pembagian tersebut semata-mata hanya untuk memudahkan pengamatan, diagnosis dan penanganan bila terdapat suatu penyimpangan. Hubungan perkembangan motorik kasar dengan kecerdasan di kemudian hari sangat sedikit, anak yang menderita redartasi mental tidak selalu mengalami keterlambatan perkembangan motorik kasar sedangkan anak dengan perkembangan motorik kasar yang sangat cepat belum tentu merupakan anak yang cerdas. Mengenai perkembangan motorik kasar tidak dibicarakan hari ini. Sesuai topik Autisma, yang penting diketahui adalah perkembangan bahasa dan pemecahan masalah visuo-motor. Kedua jenis perkembangan ini sangat berhubungan dengan kemampuan intelek di kemudian hari. Perkembangan motorik halus dan pemecahan masalah visuo-motor Perkembangan motorik halus dan pemecahan masalah visuo-motor adalah kemampuan tangan dan jari-jari serta koordinasi mata-tangan untuk memanipulasi lingkungan. Sebagai contoh, misalnya seorang bayi melihat suatu benda yang menarik perhatiannya (visual). Ia berpikir bagaimana cara mendapat benda yang menarik tersebut (kecerdasan). Ia akan merangkak mendekati benda tersebut (lokomosi dan postur), kemudian meraih benda tersebut dengan jari-jarinya dan benda tersebut dimasukkan ke mulutnya (motorik halus). Jelaslah bahwa kemampuan ini dipengaruhi oleh matangnya fungsi motorik berupa postur dan koordinasi saraf-otot yang baik, fungsipenglihatan yang akurat dan kecerdasan. Kemampuan memecahkan masalah

visuo-motor merupakan indikator yang baik dari intelegensi si kemudian hari. Bila ada gangguan, harus dibedakan apakah penyebabnya motorik, gangguan penglihatan atau kecerdasan. Kontrol tangan dimuali dari bahu yang menghasilakan gerak lengan yang kasar, menjadi gerak siku yang baik dan akhirnya gerak pergelangan tangan dan jari-jari. Gerak mengambil benda dimulai dari mengambil dengan genggaman seluruh tangan kemudian menggunakan jari-jari untuk melakukan pincer grasp (menjumput dengan dua jari). Tahapan perkembangan motorik halus dan pemecahan masalah visuo-motor Visual Fiksasi pandangan lahir Mengikuti benda melaui garis tengah 2 bulan Mengetahui adanya benda kecil 5 bulan Motorik Halus Telapak tangan terbuka 3 bulan Menyatukan kedua tangan 4 bulan Memindahkan benda antara kedua tangan 5 bulan Meraih unilateral 6 bulan Pincer grasp imatur 9 bulan Pincer grasp matur dengan jari 11 bulan Melepaskan benda dengan sengaja 12 bulan Pemecahan Masalah Memeriksa benda 7-8 bulan Melemparkan benda 9 bulan Membuka penutup mainan 10 bulan Meletakkan kubus di bawah gelas 11 bulan

Menggambar Mencoret 12 bulan Meniru membuat garis 15 bulan

Membuat garis spontan 18 bulan Membuat garis horisontal dan vertikal 25-27 bulan Meniru membuat lingkaran 30 bulan Membuat lingkaran spontan tanpa melihat contoh 3 tahun

Melaksanakan Tugas Memasukkan biji ke dalam botol 12 bulan Melepaskan biji dengan meniru 14 bulan Melepaskan biji spontan 16 bulan

Menyusun Kubus (gunakan kubus dengan sisi 2,5 cm) Menyusun 2 kubus 15 bulan Menyusun 3 kubus 16 bulan Kereta api dengan 4 kubus 2 tahun Kereta api dengan cerobong asap 2,5 tahun Jembatan dari 3 kubus 3 tahun Pintu gerbang dari 5 kubus 4 tahun Tangga dan dinding dari beberapa kubus tanpa melihat contoh 6 tahun

Makan Makan biskuit yang dipegang 9 bulan Minum dari gelas sendiri/menggunakan sendok 12 bulan

Berpakaian Membuka baju sendiri 24 bulan Memakai baju 36 bulan Membuka kancing 36 bulan Memasang kancing 48 bulan Mengikatkan tali sepatu 60 bulan Keterlambatan perkembangan motorik halus Adanya keterlambatan harus difikirkan bila ditemukan hal

berikut : * Tidak mau memegang atau mengenal benda yang diletakkan di tangannya pada usia 4 bulan * Tangan tetap terkepal erat sampai usia 4-5 bulan * Tidak dapat melakukan gerak menjumput benda kecil dengan ujung jari sampai 1 tahun * Tidak dapat melepaskan benda kecil ke dalam gelas usia 18 bulan * Tetap bermain dengan jari sampai usia 6-7 bulan * Tetap memasukkan benda ke dalam mulut disertai ngiler berlebihan sampai usia 2 tahun Pada anak yang agak besar, gangguan perkembangan pemecahan masalah visuo-motor dapat diperiksa secara bermain dengan anak. Gunakan kubus berukuran 2,5 cm untuk menguji kemampuan anak. Uji lain dapat dilakukan dengan menggambar menggunakan crayon. Beberapa gangguan gerak dapat merupakan bagian dari suatu kelainan saraf. * Gerakan seperti mencuci tangan terus menerus pada anak perempuan dapat merupakan ciri sindrom Rett, suatu kelainan yang ditandai kemunduran mental seorang anak. * Gerakan tangan seperti melambai-lambai disisi tubuh dapat menjadi salah satu autisma. * Anak yang bermain monoton dapat menjadi ciri autisma. Perkembangan bahasa Fungsi berbahasa merupakan proses paling kompleks di antara seluruh fase perkembangan. Fungsi berbahasa bersama fungsi perkembangan pemecahan masalah visuo-motor merupakan indikator yang paling baik dari ada tidaknya gangguan perkembangan intelek. Gabungan kedua fungsi perkembangan ini akan menjadi fungsi perkembangan sosial. Perkembangan bahasa memerlukan

fungsi reseptif dan ekspresif. Fungsi reseptif adalah kemampuan anak untuk mengenal dan bereaksi terhadap seseorang, terhadap kejadian lingkungan sekitarnya, mengerti maksud mimik dan nada suara dan akhirnya mengerti kata-kata. Fungsi ekspresif adalah kemampuan anak mengutarakan pikirannya, dimulai dari komunikasi preverbal (sebelum anak dapat berbicara), komunikasi dengan ekpresi wajah, gerakan tubuh, dan akhirnya dengan menggunakan kata-kata atau komunikasi verbal. Fungsi berbahasa pada bayi baru lahir Fungsi reseptif terlihat dengan adanya reaksi terhadap suara. Hal ini pada mulanya bersifat refleks. Kemudian ia memperlihatkan respons motorik berupa terdiam kalau mendengar suara, mengedip, atau seperti gerak terkejut. Fungsi ekspresif muncul berupa mengeluarkan suara tenggorok misalnya bertahak, batuk dan menangis. Fungsi suara tenggorok berangsur menghilang umur 2 bulan, digantikan dengan suara "ooo-ooo". Senyum sosial telah dapat dilihat pada umur 5 minggu dengan berbicara atau mengelus pipinya. Senyum simetris, tidak seperti senyum asimetris yang dapat terlihat pada saat anak buang air besar atau kecil yang disebut sebagai meringis. Reaksi orientasi terhadap bunyi seperti respons motorik, mengedip atau gerakan seperti kaget merupakan hal yang penting untuk diperhatikan. C.2. Fungsi berbahasa pada umur 2-12 bulan Pada umur 2 bulan, bayi dapat mengeluarkan suara "ooo-ooo" dengan irama yang musikal. Pada umur 4 bulan, terdengar suara "agguuu-aguuu". Pada umur 6 bulan terdengar anak dapat menggumam. Pada umur 8 bulan ia dapat mengucapkan "dadada" lalu menjadi "dada" yang belum berarti, disusul "dada" yang diucapkan saat ia melihat ayahnya. "Mama" akan muncul lebih belakang. Ia dapat mengerti "Tidak boleh!" yang disertai suara nada tinggi pada umur 9 bulan. Pada umur 11 bulan ia dapat mengucapkan kata pertama yang

benar, disusul kata kedua pada umur 1 tahun. Orientasi terhadap bel dapat digunakan untuk menguji kemampuan reseptif dan orientasi. Pada umur 5 bulan ia menoleh tetapi tidak menatap kepada suara. Umur 7 bulan menoleh dan menatap sumber suara. Umur 10 bulan ia mencari dan menatap sumber suara. Bel tidak dapat digunakan untuk menguji pendengaran dengan baik. Keterlambatan, disosiasi dan deviansi Kemungkinan adanya kesulitan berbahasa harus difikirkan bila seorang anak terlambat mencapai tahapan unit bahasa yang sesuai untuk umurnya. Unit bahasa tersebut dapat berupa suara, kata, dan kalimat. Selanjutnya fungsi berbahasa diatur pula oleh aturan tata bahasa, yaitu bagaimana suara membentuk kata, kata membentuk kalimat yang benar dan seterusnya. Keterlambatan bicara terjadi pada 3-15% anak, dan merupakan kelainan perkembangan yang paling sering terjadi. Sebanyak 1% anak uang mengalami keterlambatan bicara tetap tidak dapat bicara. Tiga puluh persen diantara anak yang mengalami keterlambatan ringan akan sembuh sendiri, tetapi 70% diantaranya akan mengalami kesulitan berbahasa, kurang pandai atau berbagai kesulitan belajar lainnya. Kemampuan berbahasa sangat terlambat bila : * Bayi tidak mau tersenyum sosial sampai 10 minggu * Bayi tidak mengeluarkan suara sebagai jawaban pada usia 3 bulan * Tidak ada perhatian terhadap sekitar sampai usia 8 bulan * Tidak bicara sampai usia 15 bulan * Tidak mengucapkan 3-4 kata sampai usia 20 bulan Disosiasi ditandai perbedaan yang bermakna antara kecepatan perkembangan 2 fase yang berbeda. Hal ini penting untuk deteksi gangguan komunikasi, dimana fungsi bahan jelas tertinggal dari fungsi pemecahan

masalah. Pada retardasi mental, keduanya terlambat sedangkan pada gangguan motorik yang disebut sebagai palsi selebral fungsi motorik terlambat dibandingkan fungsi bahasa dan pemecahan masalah. Deviansi menunjukkkan progresi berbahasa yang tidak teratur atau tidak menurut aturan yang seharusnya. Keadaan inilah yang sering lolos dari pemeriksaan. Kadang-kadang salah diagnosis sebagai kelainan jiwa. Misalnya anak berumur 15 bulan sudah mempunyai perbendaharaan kata 10-15 kata (kemampuan anak 18-20 bulan) tetapi tidak menunjukkan jargoning yang imatur (kemampuan anak 14-15 bulan) terlihat juga adanya kata yang diucapkan tetapi tidak dimengerti artinya. Pada anak prasekolah, misalnya dapat membuat kalimat 5 6 kata tetapi perbendaharaan baru terbatas pada 200-300 kata (kemampuan anak berumur 2,5 tahun). Deviansi yang hebat sering terlihat dan menjadi ciri autisma. Dalam keadaan ini kemampuan ekspresif lebih menonjol dibandingkan kemampuan reseptif. Penyebab gangguan bicara dan berbahasa Redartasi mental. Redartasi mental adalah kurangnya kepandaian seorang anak dibandingkan anak lain seusianya. Redartasi mental merupakan penyebab terbanyak dari gangguan bahasa. Pada kasus redartasi mental, keterlambatan berbahasa selalu disertai keterlambatan dalam bidang pemecahan masalah visuo-motor. Gangguan pendengaran. Anak yang mengalami gangguan pendengaran kurang mendengar pembicaraan disekitarnya. Gangguan pendengaran selalu harus difikirkan bila ada keterlambatan bicara. Pengobatan dengan pemasangan alat bantu dengar akan sangat membantu bila kelainan ini dideteksi sejak awal. Pada anak yang mengalami gangguan pendengaran tetapi kepandaian normal, perkembangan berbahasa sampai 6-9 bulan tampaknya

normal dan tidak ada kemunduran. Kemudian menggumam akan hilang disusul hilangnya suara lain dan anak tampaknya sangat pendiam. Adanya kemunduran ini juga seringkali dicurigai sebagai kelainan saraf degeneratif. Gangguan bicara karena kelainan organ bicara. Keadaan ini tidak dibahas disisni. Gangguan berbahasa sentral adalah ketidak sanggupan untuk menggabungkan kemampuan pemecahan masalah dengan kemampuan berbahasa yang selalu lebih rendah. Ia sering menggunakan mimik untuk menyatakan kehendaknya seperti pada pantomim. Pada usia sekolah, terlihat dalam bentuk kesulitan belajar. Yang paling berat adalah autisma yang merupakan gangguan komunikasi yang paling menunjukkan deviansi. Istilah autisma digunakan untuk ciri gangguan berbahasa dan tingkah laku. Hal yang lebih mendalam tentang autisma akan dibahas oleh pembicara lain.

Mutisme selektif biasanya terlihat pada anak berumur 3-5 tahun, yang tidak mau bicara pada keadaan tertentu, misalnya di sekolah atau bila ada orang tertentu. Atau kadang-kadang ia hanya mau bicara pada orang tertentu, biasanya anak yang lebih tua. Keadaan ini lebih banyak dihubungkan dengan kelainan yang disebut sebagai neurosis atau gangguan motivasi. Keadaan ini juga ditemukan pada anak dengan gangguan komunikasi sentral dengan intelegensi yang normal atau sedikit rendah. Deprivasi. Dalam keadaan ini anak tidak mendapat rangsang yang cukup dari lingkungannya. Apakah stimulasi yang kurang akan menyebabkan gangguan berbahasa? Penelitian menunjukkan sedikit

keterlambatan bicara, tetapi tidak berat. Bilamana anak yang kurang mendapat stimulasi tersebut juga mengalami kurang makan atau child abuse, maka kelainan berbahasa dapat lebih berat karena penyebabnya bukan deprivasi semata-mata tetapi juga kelainan saraf karena kurang gizi atau child abuse. Bicara dalam 2 bahasa hanya kadang-kadang saja menyebabkan keterlambatan. Umumnya anak dapat menguasai 2 bahasa dengan mudah. Keterlambatan fungsional: Dalam keadaan ini biasanya fungsi reseptif sangat baik, dan anak hanya mengalami gangguan dalam fungsi ekspresif: Ciri khas adalah anak tidak menunjukkan kelainan neurologis lain. Cara membedakan berbagai keterlambatan berbahasa Dengan memperhatikan fungsi reseptif, ekspresif, kemampuan pemecahan masalah visuo-motor dan pola keterlambatan perkembangan, dapat diperkirakan penyebab kesulitan berbicara. Diagnosis Bahasa reseptif Bahasa ekspresif Kemampuan pemecahan masalah visuo-motor Pola perkembangan Tuli < normal < normal normal Disosiasi Redartasi mental < normal < normal < normal Keterlambatan global Gangguan komunikasi sentral < normal < normal normal Disosiasi, deviansi Kesulitan belajar normal, normal normal,< normal Disosiasi Autisma normal,< normal Tampaknya normal, normal, selalu lebih baik dari bahasa Deviansi, disosiasi Mutisme elektif normal normal normal,< normal Keterlambatan fungsional normal < normal normal Hanya ekspresif yang terganggu

Kesimpulan

Dalam perkembangannya menjadi manusia dewasa, seorang anak berkembang melalui tahapan tertentu. Diantara jenis perkembangan, yang paling penting untuk menentukan kemampuan intelegensi di kemudian hari adalah perkembangan motorik halus dan pemecahan masalah visuo-motor, serta perkembangan berbahasa. Kemudian keduanya berkembang menjadi perkembangan sosial yang merupakan adaptasi terhadap lingkungan. Walaupun kecepatan perkembangan setiap anak berbeda-beda, kita harus waspada apabila seorang anak mengalami keterlambatan perkembangan atau penyimpangan perkembangan. Untuk mendeteksi keterlambatan, dapat digunakan 2 pendekatan : Yang pertama adalah menyerahkan kepada orang tua, nenek, guru atau pengasuh untuk melaporkan bila anak mengalami kesulitan berbahasa. Kerugian cara ini adalah bahwa orang tua sering menganggap bahwa anak akan dapat menyusul keterlambatannya dikemudian hari dan cukup ditunggu saja, atau nenek mengatakan bahwa ayah atau ibu juga terlambat bicara, atau anggapan bahwa anak yang cepat jalan akan lebih lambat bicara. Kadang-kadang disulitkan oleh reaksi menolak dari orang tua yang tidak mengakui bahwa anak mengalami keterlambatan bicara Pendekatan kedua adalah dengan deteksi aktif, membandingkan apakah seorang anak dapat melakukan fungsi bahasa yang sesuai dengan baku untuk anak seusianya. Pendekatan kedua juga mempunyai kelemahan yaitu akan terlalu banyak anak yang diidentifikasi sebagai "abnormal" karena bicara terlambat. Sebagian besar diantaranya memang secara alamiah akan menyusul bicara dikemudian hari. Kadang-kadang masih ditemukan dokter yang dengan ringan mengatakan : "Tidak apa-apa, ditunggu saja". Menurut hemat saya peran orang tua untuk melaporkan kecurigaannya dan peran dokter untuk menanggapi keluhan tersebut sama pentingnya dalam penatalaksanaan anak. Bila dijumpai keterlambatan atau penyimpangan harus dilakukan pemeriksaan atau menentukan apakah hal

tersebut merupakan variasi normal atau suatu kelainan yang serius. Jangan berpegang pada pendapat :"Nanti juga akan berkembang sendiri" atau "Anak semata-mata hanya terlambat sedikit" tanpa bukti yang kuat, yang akan mengakibatkan diagnosis yang terlambat dan penatalaksanaan yang semakin sulit.

Latihan Soal Skenario 3 Tutorial Blok 8


Seorang anak berusia 5th dibawa ibunya ke puskesmas untuk dikonsultasikan karena terlambat berbicara. Pasien blm bias bicara dg jelas, biasanya ia hanya berteriak-teriak dg suara keras jika menginginkan sesuatu. Pasien tdk suka bermain dg teman-temannya, sering asyik berjam-jam memperhatikan kipas angin yg sedang berputar di ruang tamu. Kontak matanya terbatas dan suka melompat-lompat tanpa tujuan secara berulang ulang. Menurut ibunya sejak kecil pasien anak yg sangat tenang, tdk rewel, tdk suka digendong dan tdk pernah berceloteh di pagi hari seperti bayi lainnya. 1. Apakah diagnosis yg tepat untuk pasien tersebut? a. Gangguan pemusatan perhatian b. Gangguan hiperaktivitas c. Gangguan autis d. Retardasi mental e. Gangguan berbahasa Pembahasan : ciri-ciri autis ~gangguan perkembangan invasive, interaksi social, sensorik motorik, perkembangan 2. Apakah gejala utama yg khas dialami oleh pasien tersebut? a. Komunikasi, impulsifitas, kecerdasan b. Komunikasi, hiperaktifitas, perilaku c. Interaksi social, hiperaktifitas, intelegensi d. Komunikasi, interaksi social, perilaku e. Impulsifitas, hiperaktifitas, perhatian Pembahasan : komunikasi : terlambat berbicara. Pasien blm bias bicara dg jelas, biasanya ia hanya berteriak-teriak dg suara keras jika menginginkan sesuatu. Interaksi social : Pasien tdk suka bermain dg teman-temannya

Perilaku : sering asyik berjam-jam memperhatikan kipas angin yg sedang berputar di ruang tamu, Kontak matanya terbatas dan suka melompat-lompat tanpa tujuan secara berulang ulang, tdk pernah berceloteh di pagi hari seperti bayi lainnya. 3. Gangguan apakah yg ditunjukkan dg adanya kontak mata yg terbatas dan ketidaksukaan pasien untuk bermain bersama teman-temannya? a. Komunikasi b. Interaksi social c. Perilaku d. Impulsifitas e. Hiperaktifitas 4. Kapankah onset gangguan yg dialami oleh pasien tersebut? a. Sejak lahir b. Sejak usia 3th c. Sejak usia 4th d. Sejak usia 5th Pembahasan : Menurut ibunya sejak kecil pasien anak yg sangat tenang, tdk rewel, tdk suka digendong dan tdk pernah berceloteh di pagi hari seperti bayi lainnya. Seorang anak, berusia 6 tahun, dibawa ibunya ke Puskesmas untuk dikonsultasikan, karena tidak bisa mengikuti pelajaran di sekolah dengan baik sehingga gurunya menganjurkan untuk dipindahkan ke SLB. Pasien sulit untuk bisa duduk dengan tenang dan memperhatikan orang berbicara termasuk orang tua dan gurunya. Pasien sering meninggalkan tempat duduknya, berjalan mengelilingi kelas bahkan kadang naik di atas meja sambil berteriak-teriak. Pasien tidak bisa berbaris rapi saat akan masuk kelas bahkan kadang malah mendorong temannya hingga jatuh. Menurut ibinya, keadaan ini juga terjadi di rumah saat pasien berinteraksi dengan adik atau teman-temannya. 5. Apakah diagnosis yang tepat untuk pasien tersebut di atas? A. Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas B. Gannguan Retardasi Mental C. Gangguan Spektrum Autis D. Gangguan Gerakan Stereotipik E. Gangguan Sikap Menentang Pembahasan : Attention-deficit/Hiperactivity Disorder (ADHD) atau Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH) merupakan suatu gangguan perilaku yang ditandai oleh gangguan penyesuaian diri perkembangan perhatian/konsentrasi (inattentiveness), aktivitas berlebihan

(hiperactivity), dan perilaku impulsif/kontrol perilaku kurang (impulsivity) yang tidak sesuai dengan usianya, dan telah berlangsung 6 bulan atau lebih dan terjadi sebelum usia 7 tahun pada tingkat sampai menganggu penyesuaian diri dan tidak sesuai dengan tingkat perkembangan. http://jurnalmedika.com/edisi-tahun-2009/edisi-no-07-vol-xxxv-2009/78-kegiatan/263gangguan-pemusatan-perhatian-dan-hiperaktivitas-pada-anak-serta-remaja http://old.pediatrik.com/isi03.php?page=html&hkategori=ePDT&direktori=pdt&filepdf=0&pdf= &html=07110-ogqf273.htm Retardasi mental adalah penurunan fungsi intelektual yang menyeluruh secara bermaknadan secara langsung menyebabkan gangguan adaptasi sosial, dan bermanifestasi selamamasa perkembangan.Klasifikasi retardasi mental adalah mild retardation, moderateretardation,severe retardation dan profound retardation. http://www.idai.or.id/saripediatri/pdfile/2-3-8.pdf Gangguan Spektrum Autis (Autism Spectrum Disorder) adalah suatu gangguan perkembangan (otak) yang sangat kompleks, yang secara klinis ditandai oleh adanya 3 gejala utama berupa : kualitas yang kurang dalam kemampuan interaksi sosial dan emosional, kualitas yang kurang dalam kemampuan komunikasi timbal balik, dan minat yang terbatas, perilaku tak wajar, disertai gerakan-gerakan berulang tanpa tujuan (stereotipik).Selain itu tampak pula adanya respon tak wajar terhadap pengalaman sensorik, yang terlihat sebelum usia 3 tahun. http://old.pediatrik.com/isi03.php?page=html&hkategori=ePDT&direktori=pdt&filepdf=0&pdf= &html=07110-ogqf273.htm http://eprints.undip.ac.id/29782/2/6_Pendahuluan.pdf 6. Apakah gejala utama yang khas dialami oleh pasien tersebut di atas? A. Komunikasi, impulsifitas, kecerdasan B. Komunikasi, hiperaktivitas, perilaku C. Interaksi sosial, hiperaktivitas, intelegensi D. Hiperaktivitas, interaksi sosial, perilaku E. Impulsifitas, hiperaktivitas, perhatian Pembahasan : Gangguan Pemusatan Perhatian (Inatensi) Tidak mampu memusatkan perhatiannya untuk waktu yang lama, perhatiannya mudah teralihkan oleh stimulus lain. Rentang waktu pemusatan perhatian yang singkat, kemampuan menyimak yang rendah. Impulsivitas Dapat berupa impulsivitas motor dan atau verbal.Impulsivitas motor berupa anak selalu berpindah dari satu aktivitas ke aktivitas lain. Impulsivitas verbal atau kognitif terlihat berupa sikap terlalu cepat mengambil kesimpulan sebelum mendapat informasi.

Hiperaktivas GPPH dapat disertai atau tanpa hiperaktivitas. Hiperaktivitas menggambarkan perilaku motorik yang berlebihan. http://old.pediatrik.com/isi03.php?page=html&hkategori=ePDT&direktori=pdt&filepdf=0&pdf= &html=07110-ogqf273.htm 7. Gangguan apakah yang ditunjukkan dengan pasien sulit untuk berbaris secara teratur menuju kelas dan bahkan kadang mendorong temannya hingga jatuh? A. Komunikasi B. Interaksi sosial C. Perilaku D. Impulsifitas E. Hiperaktivitas Pembahasan : (ada pada pembahasan sebelumnya...) 8. Apakah farmakoterapi yang paling tepat untuk pasien tersebut? A. Haloperidol B. Diazepam C. Methilpenidat D. Carbamazepin E. Multivitamin Pembahasan :

http://www.psychiatry.undip.ac.id/wp-content/uploads/2010/08/GPPH1.ppt http://old.pediatrik.com/isi03.php?page=html&hkategori=ePDT&direktori=pdt&filepdf=0&pdf= &html=07110-ogqf273.htm

Skenario 3 Tutorial Blok 8 part II


DEFINISI ADHD ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) adalah gangguan perkembangan dalam peningkatan aktifitas motorik anak-anak hingga menyebabkan aktifitas anak-anak yang tidak lazim dan cenderung berlebihan. Hal ini ditandai dengan berbagai keluhan perasaan gelisah, tidak bisa diam, tidak bisa duduk dengan tenang, dan selalu meninggalkan keadaan yang tetap seperti sedang duduk, atau sedang berdiri. Beberapa kriteria yang lain sering digunakan adalah suka meletup-letup, aktifitas berlebihan, dan suka membuat keributan. KLASIFIKASI Pada kriteria DSM-IV terdapat 9 gejala untuk gangguan pemusatan perhatian, 6 gejala untuk hiperaktivitas dan 3 gejala untuk impulsif. Menurut DSM-IV ada 3 subtipe GPPH, yaitu tipe predominan in-atensi, tipe predominan hiperaktif impulsif dan tipe kombinasi.

EPIDEMIOLOGI Di Amerika Serikat sedikitnya 4% remaja mengalami GPPH dan hal tersebut berhubungan dengan tingginya tingkat morbiditas psikiatri dan kerusakan fungsional. Oleh karena saat ini relatif baru kemunculan dari diagnosis GPPH pada remaja mengakibatkan masih terjadi Underdiagnosed dan Undertreated . Panduan diagnosis GPPH dari American Academy of Pediatrics hanya melingkupi anak yang berusia 6 sampai 12 tahun. Beberapa studi prevalensi GPPH pada anak sekitar 6%-9% telah diketahui bahwa 40% - 70% dari anak tersebut akan menunjukkan gejala berkelanjutan sampai dengan dewasa. Beberapa studi pada dewasa dengan perilaku penyalahgunaan zat menunjukkan bahwa 15% sampai dengan 25% diantaranya mempunyai ciri GPPH. Pada follow up jangka panjang beberapa studi menunjukkan bahwa anak yang telah didiagnosis GPPH akan memiliki risiko gangguan kepribadian antisosial, penyalahgunaan obat dan depresi yang ditemukan pada fase remaja akhir atau awal masa dewasa. ETIOLOGI Etiologi ADHD belum diketahui secara pasti. Beberapa ahli berpendapat faktor lingkungan dan genetik merupakan penyebab terjadinya ADHD. Faktor Lingkungan : Faktor psikososial yang berpengaruh adalah konflik keluarga, sosial ekonomi keluarga tidak memadai, jumlah keluarga terlalu besar, orang tua kriminal, orang tua dengan gangguan jiwa (psikopat) dan anak yang diasuh pada tempat penitipan anak. Sedangkan riwayat kehamilan yang berpengaruh adalah kehamilan dengan eklamsia, perdarahan antepartum, fetal distress, bayi lahir dengan berat badan lahir rendah, ibu merokok dan pecandu alkohol sewaktu hamil. Trauma lahir atau hipoksi dapat berdampak injury pada otak lobus frontalis dan menjadi penyebab ADHD. Diduga ADHD ada hubungannya dengan mengkonsumsi gula secara berlebihan dan diet pengurangan gula dapat mengurangi gejala ADHD 5%, sebaliknya mengkonsumsi gula secara berlebihan dapat meningkatkan hiperaktif, tetapi hal ini tidak signifikan. Faktor Genetik: Mutasi gen pengkode neurotransmiter dan reseptor Dopamin (D2 dan D4) pada kromosom 11pmemegang peranan terjadinya ADHD.Terdapat lima reseptor Dopamin yaitu D1, D2, D3, D4 dan D5, sedangkan yang berperan terhadap ADHD adalah reseptor D2 dan D4. Neurotransmiter dan reseptor Dopamin pada korteks lobus frontalis dan subkorteks (ganglia basalis) berperan terhadap sistem inhibisi dan memori, sehingga apabila ada gangguan akan terjadi gangguan inhibisi dan memori.

Di samping Dopamin, gen pengkode sistem noradrenergik dan serotoninergik terkait dengan patofisiologi terjadinya ADHD. Dua Gen reseptor dopamin dan gen DAT telah diidentifikasi kemungkinan berperan dalam GPPH. Faktor neurologi terlihat berperan dalam onset GPPH. Belum diketahui dan banyak kontradiksi : **Faktor Genetik : o Orang tua dengan ADHD resiko anak ADHD 57% o risiko pada anak kembar dan gejala ADHD pada audara kandung. o Kelainan gen (repeater gene) DRD4 (+) pada ADHD. **Teori yang paling kuat : o Ketidakseimbangan / disfungsi NT katekolamin o Uptake dopamine & / atau norepinefrin kurang Respons positif terhadap obat stimulan mendukung teori ini. Gangguan otak dan metabolism a. Trauma lahir atau hipoksia (Hipoksia yaitu kondisi simtoma kekurangan oksigen pada jaringan tubuh yang terjadi akibat pengaruh perbedaan ketinggian. Pada kasus yang fatal dapat berakibat koma, bahkan sampai dengan kematian. Namun, bila sudah beberapa waktu, tubuh akan segera dan berangsur-angsur kondisi tubuh normal kembali.) yang berdampak injury pada lobus frontalis di otak. b. Pengurangan volume serebrum. c. Gangguan fungsi astrosit dalam pembentukan dan penyediaan laktat serta gangguan fungsi oligodendrosit. Beberapa teori yang sering dikemukakan adalah hubungan antara neurotransmiter dopamin dan epinefrina. Teori faktor genetik, beberapa penelitian dilakukan bahwa pada keluarga penderita, selalu disertai dengan penyakit yang sama setidaknya satu orang dalam keluarga dekat. Orang tua dan saudara penderita ADHD memiliki resiko hingga 2- 8 x terdapat gangguan ADHD. Teori lain menyebutkan adanya gangguan disfungsi sirkuit neuron di otak yang dipengaruhi oleh berbagai gangguan neurotransmiter sebagai pengatur gerakan dan control aktifitas diri. Faktor resiko yang meningkatkan terjadinya ADHD - Kurangnya deteksi dini - Gangguan pada masa kehamilan (infeksi, genetic, keracunan obat, alkohol, dan rokok, serta stress psikogenik) - Gangguan pada masa persalinan (premature, postmatur, hambatan persalinan, induksi, kelainan persalinan) Gejala Klinis Gejala yang timbul dapat bervariasi mulai dari yang ringan hingga yang berat, gejala ADHD sudah dapat dilihat sejak usia bayi, gejala yang harus dicermati adalah sensitif terhadap suara

dan cahaya, menangis, suka menjerit dan sulit tidur. Waktu tidur yang kurang sehingga bayi seringkali terbangun. Sulit makan ASI dan minum ASI. Tidak senang digendong, suka membenturkan kepala dan sering marah berlebihan. Keluhan yang terlihat pada anak yang lebih besar adalah, tampak canggung, sering mengalami kecelakaan, perilaku berubah-ubah, gerakan konstan atau monoton, lebih ribut dibandingkan anak-anak lainnya, kurang konsentrasi, tidak bisa diam, mudah marah, nafsu makan buruk, koordinasi mata dan tangan tidak baik, suka menyakiti diri sendiri dan gangguan tidur. Untuk mempermudah diagnosis pada ADHD harus memiliki tiga gejala utama yang nampak pada perilaku seorang anak. 3 Gejala Utama ADHD 1. Inatensi Kurangnya kemampuan untuk memusatkan perhatian. Seperti, Jarang menyelesaikan perintah sampai tuntas. Mainan, dll sering tertinggal. Sering membuat kesalahan. Mudah beralih perhatian (terutama oleh rangsang suara). 2. Hiperaktif Perilaku yang tidak bisa diam. Seperti, v Banyak bicara. v Tidak dapat tenang/diam, mempunyai kebutuhan untuk selalu bergerak. v Sering membuat gaduh suasana. v Selalu memegang apa yang dilihat. v Sulit untuk duduk diam. v Lebih gelisah dan impulsif dibandingkan dengan mereka yang seusia. 3. Impulsive Kesulitan untuk menunda respon (dorongan untuk mengatakan/melakukan sesuatu yang tidak sabar). Seperti, o Sering mengambil mainan teman dengan paksa. o Tidak sabaran. o Reaktif. o Sering bertindak tanpa dipikir dahulu. Gejala-gejala Lain 4. Sikap menentang Sering melanggar peraturan. Bermasalah dengan orang-orang yang memiliki otoritas. Lebih mudah merasa terganggu, mudah marah (dibandingkan dengan mereka yang seusia). 5. Cemas

Banyak mengalami rasa khawatir dan takut. Cenderung emosional. Sangat sensitif terhadap kritikan. Mengalami kecemasan pada situasi yang baru atau yang tidak familiar. Terlihat sangat pemalu dan menarik diri. 6. Problem sosial Hanya memiliki sedikit teman. Sering memiliki rasa rendah diri dan tidak percaya diri.

Kelainan yang Sering Menyertai ADHD (komorbiditas) : a. Gangguan pola perilaku yang menentang peraturan (Oppositional Defiant Disorder / ODD) b. Gangguan kelakuan (Conduct disorder) c. Ketidak-mampuan belajar dan berbahasa (Learning and language disabilities) d. Gangguan cemas (Anxiety disorder) e. Gangguan depresi (Depressive disorder) f. Gangguan bipolar (Bipolar disorder) g. Penyakit Tourette (Tourette's Disorder) a) Gangguan pola perilaku yang menentang peraturan (Oppositional Defiant Disorder / ODD) Gangguan kelakuan (Conduct disorder). Anak dengan ODD sering tidak patuh kepada peraturan dan punya kecenderungan untuk menyusahkan orang lain. Sejumlah anak dengan ADHD yang menunjukkan masalah tingkah laku dapat didiagnosa dengan gangguan perilaku. Gangguan perilaku adalah kelainan psikiatrik yang serius dimana anak bersifat agresif terhadap orang dan binatang, merusak barang, dan seringkali melanggar aturan di masyarakat. b) Ketidak-mampuan belajar dan berbahasa (Learning and language disabilities). 25 sampai 30 persen anak dengan ADHD juga mengalami masalah dalam bahasa atau belajar. Anak dengan kondisi penyerta ini dapat mengambil manfaat dari terapi sekolah dan bahasa, juga bantuan tambahan di sekolah. c) Gangguan cemas (Anxiety disorder) dan Depresi (Depressive disorder) Tambahan pula, 33 persen anak dengan ADHD juga memiliki kecemasan (anxietas) atau gangguan alam perasaan (seperti depresi). Anak dengan masalah ini dapat ditolong dengan pengobatan tambahan, termasuk terapi bicara, obat, atau keduanya.

d) Gangguan bipolar (Bipolar disorder) Salah satu keadaan yang lebih serius yang mungkin terjadi bersamaan dengan ADHD adalah gangguan bipolar. Sejumlah tanda yang menunjukkan anak anda mempunyai gangguan bipolar adalah rasa gembira yang berlebihan, pola pikir cepat, dan kurang perlu tidur, sangat iritabel, sensitif dan reaktif secara berlebihan serta emosinya sering dikatakan seperti roller-coaster. Riwayat yang Diduga ADHD 1. Masa baby infant Anak serba sulit Menjengkelkan Serakah Sulit tenang Sulit tidur Tidak ada nafsu makan 2. Masa prasekolah Terlalu aktif Keras kepala Tidak pernah merasa puas Suka menjengkelkan Tidak bisa diam Sulit beradaptasi dengan lingkungan 3. Usia sekolah Sulit berkonsentrasi Sulit memfokuskan perhatian Impulsif 4. Adolescent - Tidak dapat tenang - Sulit untuk berkonsentrasi dan mengingat - Tidak konsisten dalam sikap dan penampilan Diagnosis GPPH sering kali terlewat apabila remaja menunjukkan secara predominan tipe inatensi. GPPH tipe in-atensi pada remaja mempunyai manifestasi adanya sedikit perilaku mengacau selama proses belajar dengan guru, namum memiliki tingkat kegagalan pergaulan sosial yang tinggi, tidak pernah merasa bahagia dan cemas serta depresi dibandingkan dengan GPPH tipe kombinasi. Adanya masalah tingkah laku mengacau tidak nyata ditemukan pada remaja yang teridentifikasi sebagai GPPH namun remaja tersebut secara signifikan akan menunjukkan masalah seperti disorganisasi, ketidakmampuan mengikuti tugas akademik dan kesulitan dalam mempertahankan perhatiannya pada tugas akademis yang lama. Remaja dengan GPPH sering memperlihatkan emosi yang imatur dibandingkan dengan

rekan sebayanya. Mereka seringkali akan melakukan yang lebih baik ketika berinteraksi dengan anak yang lebih muda maupun pada lingkungan dewasa yang mentoleransi tingkah laku imaturnya. Remaja akan mudah frustasi dan memiliki short fuse dengan ledakan emosi yang tiba-tiba. Masalah fungsi kognitif semakin meningkat pada remaja dengan GPPH. Selain itu dilaporkan pula adanya gangguan tidur yang tidak berhubungan dengan status pengobatan dengan karakteristik Dyssomnia, parasomnias dan gerakan involunter selama tidur. Anak dan remaja dengan retardasi mental derajat ringan sampai dengan sedang kemungkinan mempunyai gejala tingkah laku sesuai dengan diagnosis GPPH dan kemungkinan akan memberikan respon pengobatan terhadap terapi GPPH. Perilaku menentang sering terjadi pada remaja dengan GPPH. Remaja dengan perilaku menentang maka secara kronis akan menjadi semakin argumentative, dan negativistic. Gangguan cemas pada GPPH akan menunjukkan perilaku obsesif kompulsif dengan karakteristik keberadaan ketakutan terhadap obsesi yang menetap dan tidak terungkapkan serta pembatasan yang ketat dengan perilaku kompulsif mengecek, mengulang, menghitung, membersihkan, mengatur dan menimbun. Gejala Dysthymic ringan sering terjadi pada remaja dengan pengobatan terhadap GPPH, namun pada kasus yang persisten dan mempengaruhi efektivitas terhadap intervensi GPPH maka dapat dilakukan konseling spesifik untuk pengobatan gejala depresinya. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan yang adekuat untuk ADHD diantara remaja membutuhkan skrining guna mendokumentasi ada tidaknya gangguan psikiatrik lain. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, individu dengan ADHD memiliki risiko 2 hingga 5 kali lipat terkena 1 gangguan psikiatrik lain di suatu titik dalam kehidupan mereka, dengan onset yang bervariasi. Rating berskala luas seperti misalnya Child Behaviour Check List atau Behavior Assessment System for Children merupakan skala yang terstandarisasi guna men-skrining kemungkinan adanya gangguan lain. Brown ADD Diagnostic Form for Adolescents-Revised dan garis besar wawancara dalam buku karangan Robin memberikan daftar pertanyaan penting yang dapat dijadikan indikator untuk kemungkinan terjadinya gangguan lain. DIAGNOSIS Kriteria Diagnostik (GPPH) menurut DSM-IV : A. Salah satu (1) atau (2) 1. Gangguan pemusatan perhatian (inattention) : enam (atau lebih) gejala inatensi berikut telah menetap seama sekurang-kurangnya 6 bulan bahkan sampai tingkat yang maladaptif dan tidak konsisten dengan tingkat perkembangan. Sering gagal dalam memberikan perhatian pada hal yang detail dan tidak teliti dalam mengerjakan tugas sekolah, pekerjaan atau aktivitas lainnya.

Sering mengalami kesulitan dalam mempertahankan perhatian terhadap tugas atau aktivitas bermain. Sering tidak tampak mendengarkan apabila berbicara langsung Sering tidak mengikuti instruksi dan gagal menyelessaikan tugas sekolah, pekerjaan, atau kewajiban di tempat kerja (bukan karena perilaku menentang atau tidak dapat mengikuti instruksi) Sering mengalami kesulitan dalam menyusun tugas dan aktivitas Sering menghindari, membenci atau enggan untuk terlibat dalam tugas yang memiliki usaha mental yang lama ( seperti tugas disekolah dan pekerjaan rumah) Sering menghilangkan atau ketinggalan hal-hal yang perlu untuk tugas atau aktivitas (misalnya tugas sekolah, pensil, buku ataupun peralatan) Sering mudah dialihkan perhatiannya oleh stimuladir dari luar. Sering lupa dalam aktivitas sehari-hari 2. Hiperaktivitas impulsivitas : enam (atau lebih) gejala hiperkativitas-implusivitas berikut ini telah menetap selama sekurangkurangnya enam bulan sampai tingkat yang maladaptif dan tidak konsisten dengan tingkat perkembangan. Hiperaktivitas Sering gelisah dengan tangan dan kaki atau sering menggeliat-geliat di tempat duduk Sering meninggalkan tempat duduk dikelas atau di dalam situasi yang diharapkan anak tetap duduk Sering berlari-lari atau memanjat secara berlebihan dalam situasi yang tidak tepat (pada remaja mungkin terbatas pada perasaan subyektif kegelisahan) Sering mengalami kesulitan bermain atau terlibat dalam aktivitas waktu luang secara tenang Sering siap-siap pergi atau seakan-akan didorong oleh sebuah gerakan Sering berbicara berlebihan Impulsivitas Sering menjawab pertanyaan tanpa berfikir lebih dahulu sebelum pertanyaan selesai Sering sulit menunggu gilirannya Sering menyela atau mengganggu orang lain (misalnya : memotong masuk ke percakapan atau permainan) B. Beberapa gejala hiperaktif-impulsif atau inatentif yang menyebabkan gangguan telah ada sebelum usia 7 tahun C. Beberapa gangguan akibat gejala terdapat dalam 2 (dua) atau lebih situasi (misalnya disekolah atau pekerjaan di rumah)

D. Harus terdapat bukti yang jelas adanya gangguan yang bermakna secara klinis dalam fungsi sosial, akademik dan fungsi pekerjaan E. Gejala tidak semata-mata selama gangguan perkembangan pervasif, skizopfrenia atau gangguan psikotik lain dan bukan merupakan gangguan mantal lain (gangguan mood, gangguan kecemasan, gangguan disosiatif atau gangguan kepribadian) Penatalaksanaan Non Farmakologik Edukasi pada pasien dan keluarganya Perubahan perilaku pasien Psikoterapi Farmakologik Stimulan Antidepresan Obat lain Edukasi Keluarga Pasien ADHD ADHD bukan kesalahan anak disengaja gangguan fungsi otak (+) Anak ADHD membutuhkan bantuan untuk tetap tenang dan memusatkan perhatian. Pemahaman dari orangtua dan guru. Hasil pengobatan lebih baik + Arahan orangtua dan guru. Anak ADHD dapat menyesuaikan diri dengan lebih baik & berhasil. Pembelajaran satu-lawan-satu Pemberian reward. Hindari pemberian hukuman >> dan emosional. Bantu anak berkonsentrasi lebih baik. Aktivitas fisik dan olah raga. Lingkungan rumah tenang. Latih anak berekspresi dalam tulisan / gambar Hindari konsumsi gula, salisilat, zat tambahan buatan. Modifikasi penyusunan waktu non-akademis Prognisis ADHD Prognosis ADHD : dubia ADHD biasanya berlanjut pada usia dewasa (gejala hiperaktif kurang jelas). Tanpa pemahaman diri, dewasa ADHD cenderung: - Perilaku resiko tinggi : merugikan diri dan orang di lingkungan - angka perceraian, PHK, pelanggaran lalin, kriminalitas, adiksi, penghuni RSJ Referensi :

Lazuardi S. Aspek Neurobiologik Gangguan Pemusatan Perhatian/Hiperaktivitas. Dalam: Simposium Masalah Perilaku pada Anak, Penanggulangan dan Dampaknya terhadap Masa Depan. FK UI. 22 Oktober 1996. http://www.klikdokter.com/illness/detail/47 http://netsains.com/2010/01/cara-cepat-membedakan-adhd-dan-autisme/ Perhatian dengan Hiperaktivitas (GPPH).2008. http://www.fk.uwks.ac.id.

TUTORIAL BLOK 8 SCENARIO 4


The mother of an 18 month-old girls is concerned because the child has not yet started to walk. She cannot sit independently, even for a brief period. She recently rolled from front to back but cannot roll to back to front. She reaches for toys with her left hand with a batting motion. She makes vowel sounds and vocalizes mainly in respons to familial faces. She coughs when drinking and has a small hard stool every other day. She was born at 26 weeks gestation and had a complicated.Prolonged stay in neonatal intensive care unit. Intraventricular hemorrhage was identified with subsequent cystic change in periventricular white matter seen on head ultrasound. She was discharged 5 months after birth on nasal-canul oxygen and high calry formula. LEARNING OUTCOME 1. Discuss the impact of gestational age on development 2. Identify neurologic consequences of pematurity 3. Discuss the nutritional problem experienced by the infant and young children with cerebral palsy Bagaimana ya perkembangan anak pada skenario? Sesuaikah dengan usianya? Perkembangan anak / kemampuan yang seharusnya dimiliki anak pada umur 18 bulan (1tahun) : Berlari canggung, duduk di kursi kecil, naik tangga satu tangan berpegangan Membangun manara 4 kubus, meniru garis vertikal, mengambil manik-manik dari botol Mengeluarkan 10 kata, menyebutkan gambar, mengenal 1 atau lebih bagian tubuh Makan sendiri, meminta tolong, mengeluh ngompol atau defekasi, mencium dengan kecupan Menopang dengan tangannya, membawa bola tanpa jatuh, mengelompokkan benda Meniru pekerjaan rumah tangga dan menolong jika diperintah dengan perintah sederhana Menyentuh dan membedakan benda dan permukaan Bermain dengan konsentrasi yang baik dan fantasi

Kata-katanya mudah dimengerti Tapi pada anak di skenario, didapatkan perkembangan tidak sesuai dengan anak normal seusianya. Bagaimana bayi prematur itu? Bayi lahir pada umur gestasi 26 minggu. Menurut WHO, bayi yang dilahirkan sebelum mencapai 37 minggu dari hari pertamamenstruasi terakhir disebut prematur. Bagimana perkembangan yang dimiliki pada bayi kurang bulan / prematur? Bayi prematur jelas memiliki periode perkembangan prenatal yang singkat. Kelahiran prematur menjadi predisposisi berbagai komplikasi neonatal dan masalah pertumbuhan dan perkembangan. Banyak penelitian telah mengindikasikan, anak prematur menunjukkan penundaan pada beberapa area pertumbuhan, perkembangan fisik dan psikologis. Bagaimana perkembangan neurology pada bayi prematur? Gangguan pekembangan neurologis adalah kegagalan untuk memiliki kemampuan fungsi neurologis yang seharusnya dimiliki, yang disebabkan oleh adanya lesi (defek) dari otak yang terjadi pada periode awal pertumbuhan otak . Penyebab gangguan ini terjadi pada masa pranatal, perinatal, ataupun pasca natal. Pertumbuhan dan perkembangan otak dimulai dengan pembentukan lempeng saraf (neural plate), pada masa embrio yaitu sekitar harike-16 yang kemudian menggulung membentuktabung saraf (neural tube) pada hari ke-22. Pada minggu ke-5 mulailah terlihat cikal bakal otak besar di ujung tabung saraf.Selanjutnya terbentuklah batang otak, serebelum, dan bagian-bagian lainnya. Perkembangan otak yang kompleks memerlukan beberapa proses seri perkembangan yang terdiri atas:pembentukan tabung neural, kemudian neuron (sel saraf) berproliferasi pada regio yang berbeda, terjadi migrasi neuron dari tempat pembentukannya ke tempat yang permanen, diikutiagregasi sel sehingga membentuk bagian-bagian otak, selanjutnya neuronneuron imatur berdiferensiasi, dan terbentuk hubungan antar neuron (sinaps), tahap berikutnya terjadikematian sel dan eliminasi selektif, lalu penyempurnaan mylenisasi (pembentukan myelin) Pada umumnya dapat dipastikan bahwa gangguan perkembangan neurologik mempunyai basis biologik yaitu basis serebral. Beberapa hal disebutkan dapat mempengaruhi dan merusak otak pada masa awal dari pertumbuhannya sehingga terdapat lesi/defek pada otak yang menyebabkan terjadinya gangguan perkembangan neurologis, dimana terdapat keterlambatan/kegagalan untuk memiliki kemampuan fungsi-fungsi neurologis yang seharusnya dimiliki. Sebelum anak berusia 2,5 tahun, gangguan perkembangan lebih sering tampak terlihat karenaanak terlambat dalam mencapai milestone (patokan perkembangan)nya. Misalnya: anak belum bisa duduk, berjalan atau berbicara.

Dalam kehidupan sehari-hari terdapat beberapa bidang dimana gangguan perkembangan menjadi tampak jelas, yaitu: problem dalam bahasa yang diucapkan, kepribadian / tingkah laku sosial, gerakan motorik halus dan kasar, dan sebagainya. Faktor-faktor yang berpengaruh: 1. Faktor pranatal faktor genetik defek gen atau defek kromosom. Misal: pada sindroma Down. Penyimpangan ini sudah ada sejak dini dan dalam bermacam-macam fase, menyebabkan malformasi serebral, tergantung gen yang bersangkutan. Kesehatan ibu selama hamil, keadaan gizi, dan emosi ikut mempengaruhi keadaan bayi sebelum lahir. Penyakit menahun pada ibu hamil seperti: TBC, hipertensi, DM, anemia, penggunaan narkotik, alkohol, serta rokok yang berlebihan. Usaha untuk menggugurkan kandungan sering pula berakibat cacatnya bayi yang lahir dan seringkali dapat disertai gangguan perkembangan neurologis. Infeksi virus pada ibu hamil, seperti: rubella, CMV (cytomegalovirus), dan toxoplasmosis dapat mengakibatkan kerusakan otak yang potensial sehingga otak berkembang secara abnormal. Anoksia dalam kandungan, terkena radiasi sinar X dalam kehamilan, abruptio placenta, placenta previa dapat juga mempengaruhi gangguan perkembangan neurologis. 2. Faktor perinatal Asfiksia. Bila keadaan ini berat, dapat menyebabkan kematian atau kerusakan permanen pada otak (Hypoxic-Ischemic Encephalopathy / HIE), sehingga bayi dapat mengalami gangguan perkembangan neurologis bahkan menderita cacat seumur hidup. Trauma lahir. Trauma lahir merupakan salah satu faktor potensial terjadinya gangguan perkembangan neurologis karena terdapat resiko terjadinya kerusakan otak terutama akibat perdarahan. Hipoglikemia. Dikatakan hipoglikemi bila kadar glukosa darah <45 mg/dL. Keadaan ini bila tidak ditanggulangi, dapat menyebabkan kerusakan otak berat bahkan kematian. BBLR. Prognosis pada tumbuh kembang termasuk perkembangan neurologis pada bayi kecil masa kehamilan (KMK) lebih kurang baik dari pada bayi premature. Karena pada KMK telah terjadi retardasi pertumbuhan sejak berada salam kandungan, lebih-lebih kalau tidak mendapat nutrisi yang baik sejak lahir. Infeksi. Infeksi berat dapat memberi dampak gejala sisa neurologis yang jelas seperti: hidrosedalus, buta, tuli, cara bicara yang tidak jelas, dan RM. Gejala sisa yang ringan seperti: gangguan penglihatan, kesukaran belajar, dan kelainan tingkah laku. Hiperbilirubinemia. Akan berpengaruh buruk apabila bilirubin indirect telah melewati sawar otak, sehingga terjadi ensefalopati biliaris (kern ichterus) yang dapat mengakibatkan gangguan perkembangan neurologis.

3. Faktor postnatal Infeksi intrakranial, trauma capitis, tumor otak, gangguan pembuluh darah otak, kelainan tulang tengkorak, kelainan endokrin dan metabolik, keracunan otak, dan malnutrisi. Otak anak dengan malnutrisi lebih kecil dari otak anak normal seumurnya, jumlah sel neuron dan jumlah lemak otak juga berkurang. Bagaimana patogenesis pendarahan intraventricular? Pada trauma kelahiran, perdarahan terjadi oleh kerusakan/ robekan pembuluh- pembuluh darah intrakranial secara langsung. Pada perdarahan yang bukan karena trauma kelahiran,faktor dasar ialahprematuritas (pada bayi-bayi tersebut, pembuluh darah otak masih embrional dengan dinding tipis, jaringan penunjang sangat kurang dan pada beberapa tempat tertentu jalannya berkelok-kelok, kadang-kadang membentuk huruf U).Sehingga mudah sekali terjadi kerusakan bila ada faktor- faktor pencetus (hipoksia/iskemia). Keadaan ini terutama terjadi pada perdarahan intraventrikuler/periventrikuler. Perdarahan epidural/ ekstradural terjadi oleh robekan arteri atau vena meningika mediaantara tulang tengkorak dan duramater. Keadaan ini jarang ditemukan pada neonatus. Tetapi perdarahan subdural merupakan jenis PIN (Perdarahan intrakranial pada neonatus) yang banyak dijumpai pada BCB(bayi cukup bulan). Di sini perdarahan terjadi akibat pecahnya vena-vena kortikal yang menghubungkan rongga subdural dengan sinus-sinus pada duramater. Perdarahan subdural lebih sering pada Bayi Cukup Bulan daripada Bayi Kurang Bulan. Sebab pada Bayi Kurang Bulan vena-vena superfisial belum berkembang baik dan mulase tulang tengkorak sangat jarang terjadi. Perdarahan dapat berlangsung perlahan-lahan dan membentuk hematoma subdural. Apa yang terjadi dengan perubahan sistik di periventriculer? Hal ini terkait dengan periventricular leukomalacia. Apa itu? periventricular leukomalaciaadalah necrosis dari substasia alba sekitar ventrikel akibat dari menurunnya kadar oksigen dan arus darah pada otak. Ngapain aja ya si bayi di NICU (neonatal intensive care unit)? Staf di NICU adalah adalah yang terlatih pada perawatan bayi baru lahir dan peralatan di NICU ditujukan untuk perawatan bayi baru lahir yang memerlukan perawatan khusus. Bayi yang di kirim ke NICU: Lahir prematur Mengalami kesulitan / masalah selama proses kelahiran Menunjukkan tanda-tanda gangguan kesehatan dalam hari-hari pertama hidupnya

Lama perawatan di NICU tergantung dari berat ringannya gangguan kesehatan yang dialami bayi. Beberapa indikasi bayi harus dibawa ke NICU: anemia, apnea (henti napas), perdarahan intraventrikuler, patent ductus arteriosus, syndrom gawat napas (respiratory distress syndrom)

(karna isi webnya ga bisa d copy, mending temen-temen langsung ke web nya aja yaa.. penjelasan lengkap di sana. Soalnya juga, beberapa indikasi di atas tadi terkait bayi prematur jugaa.. Aku ambil cuma perdarahan intraventriculer , soalnya yang terkait skenario, ^_^ hihi.

Lagian juga, ngetiknya rempong L. Nih aku kasih alamat web nya http://milissehat.web.id/?p=350. Semangat yuk guys.. ^o^) Secara umum: Bayi prematur memerlukan perawatan lebih intensif daripada bayi yang lahir cukup bulan. Kebutuhan paling mendasar bayi prematur adalah kehangatan yang stabil seperti ketika masih di dalam rahim. Untuk itulah, saat baru lahir, kebanyakan bayi prematur memerlukan perawatan di NICU. Pada NICU, dengan inkubator dan radiant warmer-nya mampu menciptakan lingkungan nyaman bagi pertumbuhan bayi. Jangka waktu kebutuhan bayi prematur berada di ruang NICU tidak bisa disamaratakan seluruhnya. Hal ini perlu observasi mendalam terhadap kondisi bayi yang mungkin berbeda-beda. Selain itu, tentu saja bayi prematur membutuhkan asupan nutrisi sesuai usianya yang lahir belum cukup bulan. Sebelum bayi prematur diputuskan boleh pulang, diperlukan suatu pendekatan multidisiplin dari para dokter sesuai permasalahan yang ada padanya. Misalnya dengan melihat beberapa patokan dasar berikut: a. Temperatur tubuh bayi dinyatakan stabil ketika sudah keluar dari inkubator yang biasanya kemampuan ini dimiliki bayi dengan usia kandungan 34 minggu atau berat badan sekitar 2.000 gram b. Bayi sudah dapat minum atau mengisap dengan baik untuk mencapai kenaikan BB sekitar 20-30 gram per hari c. Bayi sudah tidak lagi mendapat pengobatan secara intensif dan tidak memerlukan pengawasan di rumah sakit d. Bayi tidak mengalami perubahan berarti dalam pengobatan atau pemberian oksigen tambahan menjelang pulang. Bila berdasarkan observasi itu bayi sudah memenuhi syarat, maka ia sudah boleh dibawa pulang. Seperti apa ya pemasangan nasal-kanul oxygen itu? Kanul nasal adalah alat sederhana yang dapat dimasukkan ke lubang hidungnya untuk memberikan oksigen dan yang memungkinkan klien untuk bernafas melalui mulut. Kanul nasal tersedia untuk semua kelompok dan adekuat untuk penggunaan baik jangka panjang dan pendek di rumah sakit atau di rumah. Merupakan suatu alat sederhana yang dapat memberikan oksigen kontinyu dengan 6 liter/mnt dengan konsentrasi oksigen sama dengan kateter nasal. Keuntungan : Pemberian oksigen stabil dengan volume tidal dan laju pernafasan teratur, pemasangannya mudah dibandingkan kateter nasal, klien bebas makan, bergerak, berbicara, lebih mudah ditolerir klien dan terasa nyaman.

Kerugian : Tidak dapat memberikan konsentrasi oksigen lebih dari 44%, suplai oksigen berkurang bila klien bernafas melalui mulut, mudah lepas karena kedalaman kanul hanya 1 cm, dapat mengiritasi selaput lendir. Gambarnya nih teman-teman.. ayok dipilih mana yang lebih disukaaa.. ^o^ haha

Cerebral Palsy DEFINISI Cerebral palsy adalah suatu kelainan gerakan dan postur yang tidak progresif oleh karena suatu kerusakan atau gangguan pada sel-sel motorik pada susunan saraf pusat yang sedang tumbuh atau belum selesai pertumbuhannya. (Bax, dikutip oleh Soetjiningsih, 1998). Cerebaral palsy adalah gangguan pada otak yang bersifat non progresif. Gangguan ini dapat disebabkan oleh adanya lesi atau gangguan perkembangan pada otak ( Shepered,1995 ). Sedangkan menurut Bobath (1996),Cerebaral palsy adalah akibat dari lesi atau gangguan perkembangan otak bersifat non progresif dan terjadi akibat bayi lahir terlalu dini (prematur). Defisit motorik dapat ditemukan pada pola abnormal dari postur dan gerakan. Cerebral palsy atau disingkat dengan CP adalah sekelompok gangguan gerak atau postur yang disebabkan oleh lesi yang tidak progresif yang menyerang otak yang sedang berkembang (immatur). Lesi yang terjadi sifatnya menetap selama hidup, tetapi perubahan gejala bisa terjadi sebagai akibat proses pertumbuhan dan maturasi otak. Kerusakan jaringan saraf yang tidak progresif pada saat prenatal dan sampai 2 tahun post natal termasuk dalam kelompok CP. Cerebral palsy bukanlah termasuk penyakit secara tersendiri, tetapi istilah yang diberikan untuk sekelompok gejala motorik yang bervariasi akibat lesi otak yang tidak progresif. Gejala motorik merupakan gejala yang menonjol dan memberikan pola gerakan abnormal tertentu. Meskipun diagnosis terutama ditentukan berdasarkan kelainan motorik, gejala lain bisa menyertai penderita CP sesuai dengan daerah kerusakan otak yang terjadi. Gambar di atas merupakan kondisi otak pada bayi prematur yang mengalami CP dan PVL.

A. Pada CP (cerebral palsy), terjadi perdarahan intraventrikuler. Pada keadaan yang lebih ringan terjadinekrosis didaerah periventrikel substansia alba dan terjadi atrofi yang difus pada substansia kortek serebri. Kelainan tersebut dapat fokal (menyeluruh) tergantung tempat yang terkena B. PVL (periventricular leukomalacia) adalah necrosis dari substasia alba sekitar ventrikel akibat dari menurunnya kadar oksigen dan arus darah pada otak. Terdapat perbesaran ventrikelotak danpenurunan myelinisasi pada sel saraf sehingga mempengaruhi perkembangan neurologi nya. EPIDEMIOLOGI Cerebral palsy merupakan penyebab kecatatan tersering pada anak. Prevalensi CP bervariasi, pada umumnya banyak peneliti mendapatkan sekitar 2,0/1000 anak usia sekolah. Didapatkan adanya kecenderungan peningkatan prevalensi pada dua dekade terakhir. Hal ini disebabkan kemajuan penanganan obstetri dan perinatal, sehingga terdapat peningkatan bayi immatur, berat lahir rendahdan bayi prematur dengan komplikasi yang bertahan hidup. Insiden bervariasi antara 2-2,5/1000 bayi lahir hidup. Di USA perkiraan prevalensi pada yang sedang atau berat antara 1,5-2,5/1000 kelahiran, kurang lebih mengenai 1.000.000 orang. Kecenderungan peningkatan prevalensi pada kongenital CP dari 1,7 menjadi 2,0/1000 kelahiran hidup pada periode 1975-1991. Peningkatan ini akibat sedikit peningkatan kasus CP pada bayi dengan berat badan normal. Hal ini diduga akibat metode diagnostik yang berbeda dalam kurun waktu tersebut. Peneliti lain mendapatkan prevalensi CP 2,1/1000 neonatus yang bertahan hidup. Prevalensi menurut berat badan antara 1,1 neonatus dengan berat lahir >2500gr sampai 78,1 pada bayi dengan berat lahir <1000gr. ETIOLOGI Cerebral palsy terjadi akibat kerusakan otak saat periode prenatal, perinatal, dan post natal. Sekitar 70-80% terjadi akibat kerusakan otak saat prenatal. Bayi lahir prematur dan gangguan pertumbuhan saat kehamilan baik pada bayi prematur maupun yang cukup bulan sebagai penyebab yang sering didapatkan saat prenatal. Resiko terjadinya CP 25-31 kali lebih tinggi pada bayi berat lahir kurang dari 1500gr dan didapatkan 1/3 bayi dengan gejala CP dengan berat lahir kurang dari 2500gr. Bayi lahir prematur merupakan faktor tersering dan secara konsisten berhubungan dengan CP. Bayi kecil menurut usia kehamilan (intra uterine growth retardation) yang lahir setelah 32 minggu meningkatkan resiko menderita CP. Data terakhir diduga disebabkan oleh intrauterine undernutritiondan hipoksia kronik, yang dapat dideteksi pada pemeriksaan darah fetal, menunjukkan asidosis atau peningkatan konsentrasi eritropoetin dan adanya redistribusi aliran

darah fetal dengan pemeriksaan USG Doppler. Kehamilan multipel meningkatkan resiko 9/1000 pada bayi kembar dua dan 30/1000 bayi kembar tiga. Kelainan kongenital yang terjadi akibat gejala sisa infeksi cytomegalovirus sekitar 0,03% dari yang lahir hidup, toksoplasmosis kongenital 1/10.000 kelahiran di Inggris. Infeksi bakteri yang terjadi pada ibu hamil bermakna menunjukkan hubungan dengan peningkatan resiko terjadinya CP.Infeksi maternal berpotensi menyebabkan persalinan prematur dan adanya resiko tambahan berhubungan dengan terjadinya leukomalasia periventrikuler. Defisiensi iodium sudah menjadi penyebab yang nyata terjadinya kerusakan otak dalam kehamilan. Adanya malnutrisi kalori dan protein pada intrauterine growth retardation dan kelainan neurologi belum jelas, tetapi pada kalangan sosial ekonomi rendah terdapat hubungan dengan kejadian CP dan pada banyak penelitian menduga perhatian terhadap kecukupan nutrisi ibu hamil bisa bermanfaat. Ibu hamil yang mengkonsumsi alkohol 40gr/hari meningkatkan terjadinya kelainan neurologi, tetapi tidak jelas pada yang mengkonsumsi dalam jumlah sedang. Kokain menyebabkan kerusakan pada otak, akibat mempunyai efek vasokonstriktor dan infark otak kadang terlihat dengan pemeriksaan USG setelah lahir. Hipertensi dalam kehamilan berhubungan dengan meningkatnya resiko CP pada bayi lahir lebih 32 minggu, diduga insufisiensi plasenta jangka lama mengakibatkan kerusakan organ pada bayi lahir aterm. Studi terakhir menduga bahwa terapi preeklamsia menggunakan magnesium memberikan hasil yang bermakna dalam menurunkan insiden CP pada bayi lahir sebelum 32 minggu. Ion magnesiumberfungsi menutup reseptor NMDA, sehingga dapat mencegah eksitasi neuron danmenghambat efek sitotoksik dari hipoksia akut, merupakan mekanisme biologis yang bisa menjelaskan hubungan tersebut. Sekitar 10% kasus Cerebral palsy disebabkan asfiksia saat melahirkan. Asfiksia akan menyebabkan proses hipoksik-iskemik-ensefalopati. Meskipun asfiksia telah jelas berhubungan, faktor-faktor abnormal prenatal (intra uterine growth retardation dan congenital malformation) mempunyai kontribusi pada stres perinatal. Bayi mengalami asfiksia bisa diakibatkan adanya partus lama,presentasi kepala abnormal, lilitan umbilikus pada leher dan bayi post matur. Bayi mengalami asfiksia ditandai dengan nilai APGAR skor yang rendah, denyut jantung janin abnormal saat persalinan dan dijumpai adanya asidosis. Pesentasi non vertek termasuk presentasi wajah berhubungan dengan meningkatnya resiko CP. Interprestasi dari fakta tersebut, bahwa presentasi abnormal bukan merupakan penyebab CP, tapi lebih merupakan pertanda akibat kesulitan persalinan yang mungkin timbul. Pada anak yang lahir sebelum era perawatan intensif neonatal yang modern, didapatkan

perbedaan yang bermakna adanya khorionitis pada plasenta pada anak dengan CP dibanding yang bukan CP. Pada saat ini khorionitis berhubungan dengan prematuritas, dan kaitan antara keduanya sekarang dengan meningkatnya bayi yang bertahan hidup dan adanya hubungan antara leukomalasia periventrikulerdan amnionitis (bisa diakibatkan komplikasi khorionitis). Khorionitis baik secara langsung maupun tidak langsung mempunyai kontribusi terhadap CP dengan meningkatkan resiko primaturitas. Meningitis atau ensefalitis pada saat neonatal atau anak dapat menyebabkan gangguan fungsi saraf berat. Penurunan terjadinya kernikterus sebagai akibat peningkatan panatalaksanaan penyakit rhesus telah berhasil menurunkan terjadinya kelainan neurologis. Bagaimanapun juga,hiperbilirubinemiamerupakan penyebab yang bermakna adanya kerusakan otak, pada 219 kasus distonik dan diskinetik, didapatkan 57 kasus akibat hiperbilirubinemia berat. Pada penelitian lain dengan kadar bilirubin 2,3-22,5mg/100ml, tidak didapatkan bukti ada hubungan dengan keterlambatan perkembangan, terbentuknya kista periventrikuler dan CP pada bayi prematur. Di Australia barat kecelakaan lalulintas dan child abuse sebagai penyebab yang bermakna terjadinya gangguan perkembangan saraf. NEUROPATOLOGI Gambaran patologi Cerebral palsy bersifat komplek, area yang bisa terkena adalah kortek motorik,regio periventrikuler, ganglia basalis, batang otak dan serebelum. Anak yang menderita cacat berat cenderung mengalami atrofi yang luas, termasuk di area subkortikal, ganglia basalis,hemisferium serebri atau forensefali. Pada keadaan yang berat tampak ensefalomalasia kistik multipel (iskemia yang menyeluruh). Pada keadaan yang lebih ringan terjadi nekrosis didaerah periventrikel substansia alba dan terjadiatrofi yang difus pada substansia kortek serebri. Kelainan tersebut dapat fokal (menyeluruh) tergantung tempat yang terkena. Pada CP yang ringan kadang-kadang jaringan otak tampak normal tetapi dengan berat otak yang berkurang. Tidak didapatkannya area yang abnormal membuat dukungan pada dugaan bahwa sebagian CP mengalami abnormalitas gangguan perkembangan pada tingkatan mikroskopis. Pada pemeriksaan neuroimaging bisa didapatkan kelainan berupa leukomalasia periventrikuler,malformasi kongenital, atropi kortikal/subkortikal, kista forensefali atau adanya kista yang multipel. Kelainan di ganglia basalis akibat proses hipoksik-iskemikensefalopati saat neonatal, pada gambaran mikroskopis didapatkan adanya gambaran pola marbled. Pada satu laporan kasus pada 111 anak dengan CP tipe hemiplegi spastik, dengan pemeriksaan CT Scan, didapatkan 29% normal, atrofi periventrikel 42%, malformasi kongenital 17%, kortikalsubkortikal atrofi 12% dan kelainan lain 3%. Kragelohmann dengan pemeriksaan MRI pada tipe

kuadriplegi spastik 9% normal, 9% malformasi, 68% kerusakan pada substansia alba dan 14% kerusakan subkortikal. Hayakawamelakukan pemeriksaan MRI pada tipe diplegi spastik, 21% normal, 0% malformasi, 70% kerusakan substansia alba dan 9% kerusakan subkortikal. PATOFISIOLOGI Kerusakan otak saat prenatal, perinatal dan postnatal disebabkan oleh insufisiensi vaskuler,infeksi, genetik, trauma maupun metabolik. Berbagai penelitian menunjukkan adanya defisit neurologi yang terjadi disebabkan oleh malformasi serebral akibat murni kelainan gestasi. Dengan kompleksnya jaringan otak dan kepekaan pada tiap tahap perkembangan otak, memberikan kelainan yang berbeda. Iskemia serebral sebelum usia kehamilan 20 minggu akan terjadi defisit migrasi neuronal, antara 26-34 minggu terjadi leukomalasia periventrikuler dan antara 34-40 minggu terjadi kerusakan fokal atau multifokal. Kerusakan otak akibat insufisiensi vaskuler sebelum aterm terjadi pada daerah periventrikel. Pada kehamilan 26-34 minggu, daerah watersheath zone ini sangat peka dengan adanya proseshipoksik-iskemik-ensefalopati, menyebabkan terjadinya infark yang diikuti terbentuknya daerah kistik, disusul terjadinya dilatasi ventrikel. Dapat juga terjadi perdarahan di matrik germinal maupun pada daerah subependimal ventrikel. Perdarahan terjadi karenameningkatnya sirkulasi didaerah infark yang menyebabkan rupturnya pembuluh darahakibat masih rapuhnya dinding pembuluh darah atau karena rupturnya pembuluh darah dilapisan ependim ventrikel. Pada korona radiata bagian medial merupakan jaras motorik untuk ekstremitas bawah, oleh karena itu sering terjadi kelainan tipe diplegi spastik. Patogenesis dari leukomalasia periventrikuler sendiri masih belum jelas dan kemungkinan besar bersifat multifaktorial. Terdapat 4 faktor yang diduga berperan : 1. Karena tidak adekuatnya perfusi darah dan terjadinya infark didaerah watersheath zones periventrikel. 2. Akibat terganggunya autoregulasi dengan pemeriksaan doppler ultra sound, terutama pada bayi prematur yang pernah mengalami kejadian hipoksik-iskemik. 3. Akibat pekanya terhadap neurotransmiter eksitatorik seperti glutamat pada saat awal proses terjadinya deferensiasi oligodendroglia. Kepekaan ini mungkin akibat tidak adekuatnya enzim antioksidan seperti katalase dan glutathion peroksidase selama periode tersebut. Teraktifasinya pertukaran antara glutamat-sistein, terjadi penurunan sistein, mengakibatkan terhambatnya sintesis gluthation. 4. Citokine mempunyai peranan penting dalam menginduksi kerusakan substansia alba. Studi retrospektif menunjukkan, dalam darah neonatus menunjukkan tingginya kadar citokine danTNF alfa pada anak lahir prematur maupun matur dengan spastik diplegi dibanding kontrol. Diduga Citokine seperti interferon-, TNF-, IL-6, IL-8 merusak

substansia alba dengan terjadinya hipotensi atau induksi iskemia melalui terjadinya intravaskuler koagulasi. Mekanisme utama kematian sel pada bayi prematur akibat pekanya sel oligodendrogliadeferensiasi awal pada iskemia terhadap paparan radikal bebas. Disamping itu juga terjadi akibat pembentukan reaktif oksigen, aktifitas sitokindanleukosit, ditambah dengan peningkatan kadar glutamat dan kadar glutathion yang rendah. Pada penelitian dengan kulturoligodendrosit, didapatkan kerusakan lebih besar terjadi pada immatur daripada matur oligodendrosit dan pada medium yang mengandung sistein mengalami kerusakan lebih kecil pada paparan radikal bebas. Sistein diperlukan untuk membentuk glutathion peroksidase yang merupakan antioksidan yang merubah H2O2menjadi H20+O2. Pada penelitian eksperimental diduga bahwa inflamasi-infeksi intrauterin maternal dansitokin berhubungan dengan terjadinya leukomalasia perventrikuler. Insiden leukomalasia periventrikuler meningkat pada bayi lahir prematur yang didapatkan adanya peningkatan insiden infeksi plasenta maternal, peningkatan IL-6 pada darah palsenta, peningkatan IL-6dan 1 beta pada cairan amnion, peningkatan interferon gamma, IL6, IL1 diantara sitokin yang lain pada darah neonatus. Pada penelitian dengan kultur menunjukkan oligodendrosit yang imatur lebih peka terhadap toksisitas interferon gama. TNF alfa meningkatkan toksisitas interferon gama. Adanya iskemia menyebabkan aktifasi mikroglia, sekresi sitokin, migrasi makrofag, dansel-sel inflamasi. Infeksi dan sitokin bisa menyebabkan terjadinya iskemia. Sitokin mempunyaiefek vasoaktif (seperti TNF alfa) akan menyebabkan kaskade inflamasi dan gangguan regulasi serebrovaskuler. Insiden leukomalasia periventrikuler lebih tinggi pada bayi yang terdapat perdarahan intraventrikuler. Perdarahan merupakan sumber yang kaya Fe++ untuk terbentuknyaradikal hidroxy. Pada kehamilan aterm, di mana pembuluh darah hampir sama dengan orang dewasa, terjadinyainfark pada daerah yang mendapat vaskularisasi dari cabang utama pembuluh darah otak. Sering terjadi pada cabang A. karotis media menyebabkan kelainan tipe hemiplegi spastik. Hal ini diduga akibat emboli yang didapat dari infark plasenta, sepsis, material dari janin yang mati pada kehamilan kembar. Pada serial kasus 22% terjadi setelah asfiksia perinatal dengan onset pada 3 hari pertama kelahiran. Selama asfiksia perinatal terjadi 3 efek vaskuler pada fase awal dan 2 efek vaskuler pada kondisi lanjut. Efek awal berupa terjadi peningkatan kardiak output, peningkatan aliran darah regional atau total dan hilangnya autoregulasi vaskuler. Pada tahap lanjut penurunan kardiak output mengakibatkan hipotensi sistemik dan diikuti penurunan aliran darah otak. Mekanisme

peningkatan aliran darah serebral pada tahap awal akibat terjadinya vasodilatasi pembuluh darah disebabkan oleh hipoksemia atau hiperkapnia atau akibat peningkatan ion hidrogen perivaskuler. Akibat peningkatan aliran darah otak dapat terjadi perdarahan pada pembuluh darah yang peka. Terganggunya autoregulasi sensitif terjadi akibat perubahan kadar gas darah. Penurunan PO2 yang menyebabkan saturasi O2 sampai dibawah 50%, dipertimbangkan sebagai ambang hipoksia dalam mengakibatkan gangguan auotoregulasi. Cepat dan beratnya hipotensi yang terjadi tergantung lama dan beratnya asfiksia. Penyebab ini terutama diakibatkan penurunan kardiak output, mungkin diakibatkan efek sekunder dari terganggunya miokardium, hipoksia menginduksi terjadinyabradikardi dan kemudian diikuti dengan penurunan aliran darak ke otak/iskemia. Ensefalopati akibat hiperbilirubin menyebabkan kerusakan neuron yang spesifik pada tempat tertentu. Daerah tersebut meliputi utamanya basal ganglia, bisa juga mengenai globus palidus,nukleus subtalamikus, hipokampus, substansia nigra, nukleus vestibularis, kokhlearis dan fasialis dan nukleus dentatus serebelum. Status marmoratus, merupakan lesi terjarang, terjadi kerusakan di basal ganglia (thalamus, nukleus kaudatus, globus palidus dan putamen). Hal ini merupakan akibat dari proses hipoksik-iskemik-ensefalopati yang terjadi pada neonatus dan lebih sering mengenai bayi aterm dengan gambaran seperti marbled akibat pola mielin yang tidak normal. Alasan mengapa secara selektif terdapat kepekaan pada ganglia basalis terhadap asfiksia belum sepenuhnya dimengerti. Terdapat dugaan bahwa daerah ini mempunyai kadar O2 baseline yang tinggi dengan pemeriksaan positron emission tomograpy (PET). Data eksperimental mendapatkan kepekaan daerah ini ditentukan oleh pola neurotransmiter. Tujuan observasi efek primer glutamat pada kerusakan neuron di ganglia basalis, diduga ditentukan oleh perbedaan fenotipe reseptor glutamat, maturitas neuron dan berat serta lamanya asfiksia. Kista forensefali adalah kista intraparenkim besar yang berhubungan dengan ventrikel. Hal ini sering terjadi akibat infark pada arteri besar, utamanya A. serebri media, meskipun juga bisa terjadi akibat sekuele perdarahan intra ventrikel grade IV yang menyebabkan perluasan ventrikel kearah daerah hematom yang sudah diabsorbsi. Patogenesis terjadinya perdarahan intraventrikuler tidak sepenuhnya dimengerti. Pada bayi prematur terdapat padatnya vaskularisasi pada subependimal matrik germinal, dimana pada bayi immatur sebagian besar suplai darah serebrum kedaerah tersebut. Disamping itu kapiler pada bayi prematur mempunyai membran basalis yang tipis. Dan yang terakhir adanya hipoksia menyebabkan tekanan arterial berfluktuasi mengenai kapiler periventrikel yang rapuh. Iskemia, hipoksia dan trauma yang terjadi pada otak janin pada semeter kedua dan ketiga dapat menyebabkan malformasi yang bukan terjadi primer akibat kelainan genetik. Akibat perkembangan otak belum sempurna, lesi yang terjadi menyebabkan gangguan

perkembangan dan dapat menyebabkan hambatan migrasi neuroblast atau glioblast sebelum prosesnya lengkap. Dapat menyebabkan fokal displasia atau laminasi kortikal dan heterotopia akibat neuron yang berhenti dalam migrasinya. Pada tahun 1995, postulat volpe membagi hipoksik-iskemik neuropatologi menjadi 5 subtipe dasar: 1. Nekrosis parasagital otak besar, terjadi pada bayi cukup bulan, manifestasi jangka panjang berupa kuadriplegi spastik. Parasagital area merupakan daerah yang mendapat vaskularisasi dari cabang paling perifer dari ketiga arteri besar serebral. Pada penelitian eksperimental menunjukkan daerah para sagital kortek merupakan daerah yang paling awal dan paling berat mengalami kerusakan setelah asfiksia yang berkepanjangan. Kerusakan lebih maksimal pada regio parieto-oksipital posterior. 2. Leukomalasia periventrikuler, terjadi pada bayi prematur, lesi kecil menyebabkan kelainan spastik diplegi dan lesi luas menyebabkan kelinanan tipe kuadriplegi dengan defisit visual dan kognitif. Lesi lebih tampak nyata didaerah posterior horn ventrikel lateral, optik radiasi bisa terlibat dan dapat menyebakan gangguan visual kortikal. 3. Nekrosis otak fokal atau multifokal, akibat infark pada daerah vaskularisasi pembuluh darah. Dimana sering mengenai cabang A. serebri media menyebabkan kelainan tipe hemiplegi spastik. 4. Status marmoratus, merupakan lesi terjarang, terjadi kerusakan di basal ganglia, thalamus, nukleus kaudatus, globus palidus dan putamen. Hal ini merupakan akibat dari proses hipoksik-iskemik-ensefalopati yang terjadi pada neonatus dan lebih sering mengenai bayi aterm. 5. Nekrosis neuronal selektif, merupakan cedera yang tersering terjadi. Terdapat neuron spesifik yang peka termasuk CA 1 dan subkulum hipokampus, ganglion genikulatum lateral dan thalamus, nukleus kaudatus, basal ganglia, putamen, nukleus N.V dan VII. Gejala yang timbul jangka panjang menyebakan retardasi mental dan kejang. KLASIFIKASI Klasifikasi klinis digunakan untuk menggambarkan masalah yang spesifik, untuk memperkirakan prognosis dan penanganan yang diberikan. Dibagi menjadi tipe spastik (piramidal), diskinetik(ekstrapiramidal), tipe atonik (hipotonik), tipe ataksik dan campuran. a. Tipe spastik sering didapatkan, mengenai sekitar 75% anak dengan CP, sedang 25% terbagi pada tipe diskinetik dan campuran. Pada tipe spastik berdasarkan distribusi topografi kelainan yang terjadi dibagi menjadi monoplegia, diplegia, triplegi, kuadriplegi dan hemiplegi. Tipe monoplegi dan triplegi sangat jarang ditemukan. Pada tipe diplegi sering terjadi pada bayi lahir prematur, pada bayi aterm penyebabnya lebih komplek, pada 28% kasus tidak dapat diidentifikasi. Ekstremitas atas mempunyai

gangguan yang lebih ringan, gangguan lebih berat terjadi pada ekstremitas bawah. Gangguan kognitif didapatkan pada sekitar 30% pada tipe ini. Kelainan mata, 50% berupa strabismus dan gangguan visus sekitar 63%. Epilepsi terjadi pada 20-25% kasus. Pemeriksaan MRI didapatkan adanya leukomalasia periventrikuler atau post hemoragik forensefali. Pada tipe kuadriplegi spastik kelainan terjadi pada keempat ekstremitas. Pada tipe ini 50% akibat faktor prenatal, 30% perinatal dan 20% postnatal. Lebih sering didapatkan kesulitan menelan dan prosentase yang tinggi adanya gangguan kognitif. Tingginya kejadian kelainan visual dan biasanya dengan derajat yang lebih berat. Sekitar separuh mengalami epilepsi. Pada MRI anak lahir prematur didapatkan gambaran leukomalasia periventrikuler, anak lahir aterm didapatkan berupa lesi untuk tipe aterm seperti lesi parasagital. Multi kistik ensefalomalasia dan malformasi lebih sering didapatkan pada tipe ini. Tipe hemiplegi spastik mengenai ektremitas satu sisi tubuh, dengan tangan biasanya lebih berat dari kaki. Sebesar 70-90% kasus terjadi secara kongenital dan 10-30% bawaan dapat terjadi akibat vaskuler, inflamasi atau trauma. Bila terjadi pada bayi prematur akibat adanya asimetri leukomalasia periventrikuler. Bisa terjadi kelainan nervus kranialis, biasanya N.VII. Kelainan visual terjadi pada 25% pada tipe ini, termasuk hemianopsia homonim dan strabismus konvergen. Kelainan kognitif pada 28% kasus, epilepsi relatif lebih sering pada 23% kasus. b. Tipe diskinetik ditandai dengan pola gerakan ekstrapiramidal. Kelainan ini akibat sekunder dari gangguan regulasi tonus, kontrol postural dan koordinasi. Tipe ini dibagi lagi menjadi jenis khoreoathetosis, dan distonik. Tipe khoreoathetosis adanya gerakan involunter yang kelihatan jelas dan umumnya yang dijumpai adalah athetosis. Khorea terdapat dalam derajat yang bervariasi. Tremor, mioklonus dan distonia juga mungkin tampak. Kombinasi gerakan khoreoathetosis menimbulkan pola gerakan diekstremitas bawah yang hipertonus dan gerakan rotasi yang menggeliat pada anggota badan. Dapat terjadi kesulitan dalam bicara dengan adanya kecepatan dan volume suara yang meledak-ledak. Tipe distonik jarang ditemukan, gerakan yang lambat dan lama, pada kepala dan leher yang tertarik kearah satu sisi. Rangka badan bisa memutar keberbagai posisi hingga tampak aneh. Pada pemeriksaan MRI didaerah thalamus dan putamen nampak hiperinten pada T2 pada tipe athetoid. Hiperbilirubinemia menyebabkan kerusakan pada ganglia basalis dengan manifestasi klinik tipe diskinetik. c. Kondisi CP atonik tidak umum dibandingkan dengan bentuk yang lain . CP atonik sering bersamaan dengan keterlambatan perkembangan motorik dengan reflek tendon yang normal atau meningkat. Pada penderita CP sering awalnya hipotonik, kemudian berubah menjadi hipertoni, pada tipe ini tidak mengalami perubahan menjadi spastik dengan bertambahnya usia, tetapi tetap hipotonik.

d. Pada tipe ataksik gejala yang menonjol berupa ataksia. Manifestasi awal berupa hipotoni dan mulai timbul gejala ataksia sejak umur 2-3 tahun. Anak berjalan dengan kaki melebar, sering ditemukan adanya nistagmus dan dismetri hipotoni. Tes romberg positif dengan mata terbuka. Hal ini menunjukkan tanda adanya keterlibatan fungsi serebelum. e. Manifestasi tipe campuran terdiri dari tipe spastik, ekstrapiramidal dan sering kali ataksiadidapatkan. Pasien dengan gejala kuadriplegi yang menonjol dapat ditemukan khoreoathetosis derajat ringan. Sebaliknya pasien khoreoathetosis yang menonjol, menunjukkan gejala-gejala upper motor neuron. Pola gangguan motorik sebagai akibat dari sekuele yang luas didaerah otak terutama didaerah ganglia basalis dan kortek. Spastik ataksik diplegi merupakan bentuk campuran yang sering didapatkan dan berhubungan dengan hidrosefalus. Retardasi mental adalah gangguan intelegensi yang disebabkan gangguan dalam kandungan sampai masa perkembangan dini, usia 5 tahun. Secara formal ditentukan dengan nilai IQ. Insiden mental retardasi pada penderita CP antara 30%-50%. Sekitar 1/3 dengan retardasi mental ringan. Sering didapatkan pada tipe rigid, atonik dan tipe kuadriplegi. Pada Cerebral palsy, kelainan motorik dan postur merupakan ciri utama, tetapi sering juga disertai dengan gangguan lain yang bukan motorik. Kelainan bukan motorik yang sering dijumpai pada CP: Retardasi mental (75%). Epilepsi (25-50%) Gangguan visual: Strabismus (75%), Gangguan refraksi (25-50%), Hemianopsia (<25%), Lain-lain (<25%) Gangguan pendengaran (75%) Disartria (<25%) Defisit sensorik kortikal (25-50%) Pertumbuhan ekstremitas yang tidak sama (unequal) (25-50%) Skoliosis (75%) Dental dismorfogenesis (25%) Kontraktur sendi (75%) DIAGNOSIS Diagnosis Cerebral palsy berdasarkan diagnosis klinis, berupa riwayat klinis pada ibu maupun bayi dan hasil pemeriksaan neurologi dan pediatrik pada bayi atau anak. Perlu dilakukan evaluasi mengenairiwayat keluarga, kesehatan ibu dan janin saat prenatal, riwayat sakit saat kehamilan dankesehatan saat bayi baru lahir dan saat post natal.

Pemeriksaan neurologi dan pediatrik dengan melihat adanya keterlambatan pencapaian milestones, tonus otot yang tidak normal, menetapnya reflek primitif, keterlambatan reflek protektif (seperti : neck righting reflex dan parachute reflex), adanya gerakan involunterdan adanya postur yang abnormal. Primitif reflek umumnya menghilang setelah 6 bulan, neck righting reflex biasanya timbul pada usia 6 bulan dan parachute reflex biasanya pada usia 1 tahun, gerakan ekstrapiramidal biasanya terlihat setelah 2 tahun. Diagnosis Cerebral palsy tergantung atas 2 pedoman yang harus ditemukan.Yang pertama, adanya kejadian kerusakan otak yang tidak progresif yang terjadi pada saat otak sedang berkembang. Yangkedua, adanya tanda klinis yang timbul akibat kerusakan sistem yang mengontrol fungsi motorik tubuh. Gejala klinis pada penderita CP tidak memburuk, tetapi dapat berubah dengan bertambahnya umur anak. Hipotoni pada beberapa bulan awal umur bayi, berubah menjadi spastik dan juga gerakan involunter yang timbul lambat. Juga pada keterlambatan perkembangan yang terjadi awal, bisa menghilang kemudian (the child catches-up). Sehingga pada banyak kasus membuat kebimbangan dari dokter untuk membuat diagnosis CP, menunggu umur bayi mencapai 18-24 bulan. Beberapa diagnosis awal digunakan seperti keterlambatan perkembangan, disfungsi neuromotor, motor disability atau disfungsi susunan saraf pusat. Terdapat kriteria untuk menegakkan diagnosis CP, yaitu dengan membagi kelainan motorik atas 6 katagori: Posture and movement pattern. Oral motor pattern. Strabismus. Tone of muscle Evaluation of postural reactions and landmarks. Deep tendon, infantile and plantar reflexes. Menurut Levine disimpulkan bahwa: Diagnosis CP dapat ditegakkan, jika minimum terdapat 4 abnormalitas dari 6 katagori di atas. Dengan kriteria diatas dapat dibedakan apakah ini CP atau bukan. Apabila terdapat hanya 1 katagori kelainan motorik diatas, bukan suatu diagnostik, hanya kecurigaan CP. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan laboratorium dan neuroimaging membantu klinisi menentukan prediksi kondisi klinis CP. Untuk mengevaluasi penyakit metabolik dan genetik, diperlukan pemeriksaan darah dan urin. Pemeriksaan rutin meliputi fungsi tiroid, laktat, piruvat, asam amino dan kromosom. Ph darah berguna untuk mengetahui adanya dan beratnya asfiksia

perinatal. Pemeriksaan LCSbisa untuk mengetahui adanya asfiksia. Kadar protein dalam LCS dapat meningkat dengan adanya peningkatan rasio laktat-piruvat. Pemeriksaan USG digunakan untuk skreening dan follow-up penderita dengan PVH (periventrikuler hemorrhage) atau IVH (intraventrikuler hemorrhage). Skreening dilakukan pada usia 3-7 hari, sebab kebanyakan perdarahan sering terjadi sebelum usia tersebut. Pada sekitar usia bayi 28 hari, untuk mengetahui perdarahan yang timbul lambat atau adanya leukomalasia periventrikuler. USG sering digunakan pada bayi prematur. Pemeriksaan CT Scan berguna untuk mengetahui adanya malformasi kongenital, perdarahan intrakranial dan leukomalasia periventrikuler. Pemeriksaan MRI jarang digunakan pada bayi prematur dan lebih menguntungkan digunakan setelah umur bayi lebih dari 2-3 minggu. MRI merupakan pilihan untuk mengetahui gambaran mielin pada T2 dan gambaran sulki otak. PET (Positron Emission Tomography) digunakan untuk mengetahui gambaran aliran darah otak dan metabolisme glukosa, dimana bisa terjadi abnormalitas baik pada kondisi akut maupun kronik. SPECT (Single Photon Emission Computed Tomography) untuk mengetahui gambaran perfusi serebral, merupakan salah satu teknik terbaru untuk mengevaluasi adanya asfiksia. MR Spectroscopy juga untuk mengetahui adanya indikasi terjadinya asfiksia. Evoked potential untuk mengetahui respon otak akan adanya stimulasi eksternal. Digunakan untuk mengevaluasi jaras anatomik auditori dan visual. EEG digunakan untuk mengevaluasi beratnya proses hipoksik-iskemik, terdapatnya gambaran supresi gelombang dengan amplitudo rendah dan gelombang lambat memberikan prognosis yang buruk. PENATALAKSANAAN Penderita Cerebral palsy mempunyai banyak kelainan sesuai dengan lesi yang terjadi di otak, bersama-sama dengan gangguan motorik. Dengan kondisi tersebut penanganan penderita CP memerlukan kerjasama yang baik dan merupakan satu tim yang terdiri atas dokter anak, neurolog, psikiater, dokter mata, dokter THT, ahli ortopedi, fisioterapis, okupasional terapis, dokter gigi dan ahli gizi. Tujuan utama terapi adalah meminimalisasi kecacatan dan meningkatkan kemampuan untuk beraktifitas mandiri, fungsi sosial dan intelektual. Terapi menggunakan obat tergangtung dari gejala yang timbul. Pada spastisitas bisa menggunakan pelemas otot golongan benzodiazepin dan baklofen. Botolinum toxin (Botox) intramuskuler bisa mengurangi spastisitas untuk 3-6 bulan. Hal ini akan meningkatkan luas gerak sendi (ROM), menurunkan deformitas, meningkatkan respon terhadap fisioterapi dan okupasional terapi dan mengurangi tindakan operasi untuk spastisitas. Bila terdapat epilepsi, membutuhkan pemberian obat anti epilepsi. Obat antidepresan dan antiparkinson bisa diberikan, bila terdapat gejala depresi atau gangguan gerakan ekstrapiramidal pada penderita. Dibutuhkan tim untuk penanganan nutrisi pada pasien dengan kesulitan makan dan menelan. Terapi operasi dilakukan ahli orthopedi pada kelainan seperti hip dislokasi, skoliosis dan

spastisitas (tenotomy, tendone-lightening procedure). Perlu dikonsulkan pada ahli genetika bila dengan gambaran dismorfik, kelainan organ multipel dan riwayat keluarga dengan kelainan yang serupa. Konsul pulmonologi untuk penangan penyakit paru kronik akibat bronkopulmonari displasia dan seringnya terjadi aspirasi. Terapi rehabilitasi meliputi fisioterapi, okupasional terapi, terapi wicara, ortotik, nightsplinting dan pemaikaian alat bantu. Fisioterapi meliputi latihan gerak sendi, latihan penguatan dan peningkatan daya tahan otot, latihan duduk, berdiri dan jalan. Okupasional terapi meliputi latihan fungsi tangan, aktifitas bimanual, latihan aktifitas hidup sehari-hari, modifikasi tingkah laku dan sosialisasi. Terapi wicara untuk mengembangkan anak dapat berbahasa secara pasif dan aktif. Ortotik dengan penggunaan bracing, bertujuan untuk mengurangi beban aksial, stabilisasi serta untuk pencegahan dan koreksi deformitas. Pemakaian nightsplint mengambil keuntungan dari tonus yang menurun yang terjadi selama tidur untuk menambah regangan otot antagonis yang lemah. Alat Bantu yang dipergunakan berupa kruk ketiak, rollator, walker dan kursi roda manual/listrik. DERAJAT CEREBRAL PALSY Klasifikasi yang paling sederhana dalam menentukan derajat Cerebral Palsy dengan pembagian menjadiringan, sedang dan berat. Derajat ringan tidak ada keterbatasan dalam aktifitas yang umum, yang sedang kesulitan dalam aktifitas sehari-hari dan membutuhkan alat bantu atau bracing, dan yang berat ada keterbatasan sedang sampai berat dalam aktifitas sehari-hari. Pembagian lain berdasarkan kemampuan fungsional: a. Kelompok ringan. Anak dapat berjalan tanpa alat bantu, fungsi motorik halusnya tidak terganggu, tingkat kecerdasan >70, dapat berbahasa cukup baik, dan umumnya tidak tergantung orang lain. b. Kelompok sedang. Anak jika berjalan perlu alat bantu atau merangkak, fungsi motorik halusnya terbatas, tingkat kecerdasan 50-70, hanya dapat menyebut sepatah kata yang jelas dan umunya tergantung orang lain. c. Kelompok berat. Penderita tidak dapat berjalan sama sekali, fungsi motorik halusnya belum mampu/tidak ada, tingkat kecerdasan <50, bicara tidak jelas dan sepenuhnya tergantung orang lain. Berdasarkan faktor dapat tidaknya beraktifitas/ambulation, Gross Motor Functional Classification System (GMFCS) secara luas digunakan untuk menentukan derajat fungsional penderita CP. Skala yang lain, Bimanual Fine Motor Function (BMMF) digunakan untuk menilai fungsi dari ekstremitas, tetapi tidak secara luas digunakan seperti GMFCS. Berjalan merupakan salah satu manifestasi fungsi motorik kasar dan dapat digunakan untuk menilai perkembangan

anak CP. GMFCS tidak untuk menilai kualitas dari gerakan atau memprediksi adanya kemajuan. Pembagian derajat fungsional CP menurut GMFCS, dibagi menjadi 5 level dan berdasarkan katagori umur dibagi menjadi 4 kelompok, kurang dari 2 tahun, antara 2-3 tahun, antara 4-6 tahun dan antara 6-12 tahun. Berikut ini klasifikasi pada 2 kelompok, 4-6 tahun dan 6-12 tahun: Kelompok 4 6 tahun Level 1: Anak dapat duduk dan bangkit dari duduk pada kursi, tanpa membutuhkan bantuan tangan. Anak bergerak dari lantai dan dari kursi untuk berdiri tanpa bantuan obyek. Anak berjalan baik dalam ruangan maupun diluar ruangan, dan dapat naik tangga. Terdapat kemampuan untuk berlari atau melompat. Level 2: Anak duduk di kursi dengan kedua tangan bebas memanipulasi obyek. Anak dapat bergerak dari lantai untuk berdiri, tetapi seringkali membutuhkan obyek yang stabil untuk menarik atau mendorong dengan tangannya. Anak berjalan tanpa alat bantu didalam ruangan dan dengan jarak pendek pada permukaan yang rata diluar ruangan. Anak dapat berjalan naik tangga dengan berpegangan pada tepi tangga., tetapi tidak dapat berlari atau melompat. Level 3: Anak dapat duduk pada kursi, tetapi membutuhkan alat bantu untuk pelvis atau badan untuk memaksimalkan fungsi tangan. Anak dapat duduk dan bangkit dari duduk menggunakan permukaan yang stabil untuk menarik atau mendorong dengan tangannya. Anak seringkali dibantu untuk mobilitas pada jarak yang jauh atau diluar ruangan dan untuk jalan yang tak rata. Level 4: Anak duduk di kursi tapi butuh alat bantu untuk kontrol badan untuk memaksimalkan fungsi tangan. Anak duduk dan bangkit dari duduk membutuhkan bantuan orang dewasa atau obyek yang stabil untuk dapat menarik atau mendorong dengan tangannya. Anak dapat berjalan pada jarak pendek dengan bantuan walker dan dengan pengawasan orang dewasa, tetapi kesulitan untuk jalan berputar dan menjaga keseimbangan pada permukaan yang rata. Anak dibantu untuk mobilitas ditempat umum. Anak bisa melakukan mobilitas dengan kursi roda bertenaga listrik. Level 5: Kelainan fisik membatasi kemampuan kontrol gerakan, gerakan kepala dan postur tubuh. Semua area fungsi motorik terbatas. Keterbatasan untuk duduk dan berdiri yang tidak dapat dikompensasi dengan alat bantu, termasuk yang menggunakan teknologi. Anak tidak dapat melakukan aktifitas mandiri dan dibantu untuk mobilisasi. Sebagian anak dapat melakukan mobilitas sendiri menggunakan kursi roda bertenaga listrik dengan sangat membutuhkan adaptasi. Kelompok 6 12 Tahun

Level 1: Anak berjalan didalam dan diluar ruangan, naik tangga tanpa keterbatasan. Anak menunjukkan performa fungsi motorik kasar termasuk lari dan lompat, tetapi kecepatan, keseimbangan dan koordinasi berkurang. Level 2: Anak berjalan didalam dan diluar ruangan dan naik tangga dengan berpegangan di tepi tangga, tetapi terdapat keterbatasan berjalan pada permukaan yang rata dan mendaki, dan berjalan ditempat ramai atau tempat yang sempit. Anak dapat melakukan kemampuan motorik kasar, seperti berlari atau melompat yang minimal. Level 3: Anak berjalan didalam dan diluar ruangan pada permukaan yang rata dengan bantuan alat bantu gerak. Anak masih mungkin dapat naik tangga dengan pegangan pada tepi tangga. Tergantung fungsi dari tangan, anak menggerakan kursi roda secara manual atau dibantu bila melakukan aktifitas jarak jauh atau diluar ruangan pada jalan yang tidak rata. Level 4: Anak bisa dengan level fungsi yang sudah menetap dicapai sebelum usia 6 tahun atau lebih mengandalkan mobilitas menggunakan kursi roda dirumah, disekolah dan ditempat umum. Anak dapat melakukan mobilitas sendiri dengan kursi roda bertenaga listrik. Level 5: Kelainan fisik membatasi kemampuan kontrol gerakan, gerakan kepala dan postur tubuh. Semua area fungsi motorik terbatas. Keterbatasan untuk duduk dan berdiri yang tidak dapat dikompensasi dengan alat bantu, termasuk yang menggunakan teknologi. Anak tidak dapat melakukan aktifitas mandiri dan dibantu untuk mobilitas. Sebagian anak dapat melakukan mobilitas sendiri menggunakan kursi roda bertenaga listrik dengan sangat membutuhkan adaptasi. PROGNOSIS Beberapa faktor berpengaruh terhadap prognosis penderita CP seperti tipe klinis, keterlambatan dicapainya milestones, adanya reflek patologik dan adanya defisit intelegensi, sensoris dan gangguan emosional. Anak dengan hemiplegi sebagian besar dapat berjalan sekitar umur 2 tahun, kadang diperlukan short leg brace , yang sifatnya sementara. Didapatkannya tangan dengan ukuran lebih kecil pada bagian yang hemiplegi, bisa disebabkan adanya disfungsi sensoris di parietal dan bisa menyebabkan gangguan motorik halus pada tangan tersebut. Lebih dari 50% anak tipe diplegi belajar berjalan pada usia sekitar 3 tahun, tetapi cara berjalan sering tidak normal dan sebagian anak memerlukan alat bantu. Aktifitas tangan biasanya ikut terganggu, meskipun tidak tampak nyata. Anak dengan tipe kuadriplegi, 25% memerlukan perawatan total, sekitar 33% dapat berjalan, biasanya setelah umur 3 tahun. Gangguan fungsi intelegensi paling sering didapatkan dan menyertai terjadinya keterbatasan dalam aktifitas. Keterlibatan otot-otot bulber, akan menambah gangguan yang terjadi pada tipe ini. Sebagian besar anak yang dapat duduk pada umur 2 tahun dapat belajar berjalan, sebaliknya anak yang tetap didapatkan reflek moro, asimetri tonic neck reflex, ekstensor thrust dan tidak

munculnya reflek parasut biasanya tidak dapat belajar berjalan. Hanya sedikit anak yang tidak dapat duduk pada umur 4 tahun akan belajar berjalan. Pada penderita CP didapatkan memendeknya harapan hidup. Pada umur 10 tahun angka kematian sekitar 10% dan pada umur 30 tahun angka kematian sekitar 13%. Penelitian didapatkan harapan hidup 30 tahun pada gangguan motorik berat 42%, gangguan kognitif berat 62% dan gangguan penglihatan berat 38%. Hasil tersebut lebih buruk dibanding gangguan yang ringan atau sedang. Jenis pekerjaan yang bisa dilakukan oleh penderita CP bervariasi seperti sheltered whorkshops, home based program, pekerjaan tradisional, pekerja pendukung. Hasil penelitian menunjukkan adanya prediktor sukses atau tidak suksesnya bekerja pada penderita CP. Dimana yang dapat bekeja secara kompetitif bila mempunyai IQ>80, dapat melakukan aktifitas dengan atau tanpa alat bantu, berbicara susah sampai normal dan dapat menggunakan tangan secara normal sampai membutuhkan bantuan. Referensi: http://neonatology.ucsf.edu/specialized-care/cerebral-palsy.aspx http://www.kesimpulan.com/2009/04/cerebral-palsy-cp.html http://eprints.undip.ac.id/29064/2/Bab_2.pdf http://askepdoumbojo.blogspot.com/2011/05/askep-cerebral-palsy-pada-anak.html http://stikesayaniyk.ac.id/attachments/article/74/Fisiologi%20Kehamilan%20Normal.pdf repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23537/5/Chapter%20I.pdf repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25510/4/Chapter%20II.pdf eprints.undip.ac.id/29398/3/Bab_2.pdf

ENGLISH TUTORIAL OF BLOCK 8


SCENARIO 5: An eldery man recently has short memory. For example, every time he wants to read, he is always confused to find his glasses which he has put them on. When his grand children come to visit him, he cannot recognize them anymore. The man also said that he gets sleeping and urinating difficulties. After he was examined, the doctor that all of these are, probably, caused by aging process with geriatric symptoms. Other possibility is dementia. GERONTOLOGY Gerontology is the study of the aging processes and individuals as they grow from middle age through later life.

Gerontology is the study of the social, psychological and biological aspects of aging. It is distinguished from geriatrics, which is the branch of medicine that studies the diseases of the elderly. Gerontology followed by the sub-disciplines of: 1. bio-gerontology: is the sub-field of gerontology concerned with the biological processes of aging. It involves interdisciplinary research on biological aging's causes, effects, and mechanisms. 2. social gerontology: Social gerontology is a multi-disciplinary sub-field that specializes in studying or working with older adults. Social gerontologists may have degrees or training in social work, nursing, psychology, sociology, demography, gerontology, or other social science disciplines. Social gerontologists are responsible for educating, researching, and advancing the broader causes of older people. 3. medical gerontology: As with biogerontology, medical gerontology studies the biological causes and effects of aging. 4. psycho gerontology 5. anthropo gerontology GERIATRIC DEFINITION: "Geriatrics" is medical practice that addresses the complex needs of older patients and emphasizes maintaining functional independence even in the presence of chronic disease. It requires an interdisciplinary approach - we will work with other physicians, nurses, social workers, occupational therapists and family members, in order to provide comprehensive care for these patients with multiple needs. Geriatric is a combination between Medical Gerontology (Geriatric Medicine) and Socio Gerontology. Geriatrics is a sub-specialty of internal medicine and family medicine that focuses on health care of elderly people.[1] It aims to promote health by preventing and treating diseases anddisabilities in older adults. There is no set age at which patients may be under the care of ageriatrician, or physician who specializes in the care of elderly people. Rather, this decision is determined by the individual patient's needs, and the availability of a specialist. Geriatrics is: a. the study of health and disease in later life the comprehensive health care of older persons and the well-being of their informal caregiver Geriatrics, the care of aged people, differs from gerontology, which is the study of the agingprocess itself. GERIATRIC MEDICINE

What kind of things that we learn in Geriatric Medicine? The basic points are: 1. Study of aging What is aging process? 2. The basic of clinical problems of the elderly a. Immobility b. Instability c. Intelectual Impairment d. Impairment of visison and hearing e. Isolation f. Inanition (Malnutrition) g. Irritable colon h. Incontinence Urine i. Infection j. Iatrogenesis k. Insomnia l. Immune deficiency m. Impotence n. Impecunity 3. The special features of disease in old age 4. organization & provision of medical, social, and voluntary services for old people. AGING DEFINITION: In clinical, aging is a process that convert healthy adults into frail ones, with diminished reserve in most physiologycal systems and exponentially increasing vulnerability to most diseases and to death. Aging is a summary term for a set of processes, which contribute to health deterioration and ultimately to death with the passage of time (calendar age). In other words any process, which contributes to age-related decline in performance, productivity and health is a component of the aging process that deserves our attention and intervention. You can think of aging as a group of processes responsible for such manifestations as increasing risk of frailty, disability, morbidity (for age-related degenerative diseases in particular) and ultimately increasing mortality rates. the term "aging" refers to the biological process of growing older in a deleterious sense, what some authors call "senescence" Senescence or biological aging is the change in the biology of an organism as it ages after its maturity. Such changes range from those affecting its cells and their function to those affecting

the whole organism. There are a number of theories as to why senescence occurs; for example, some posit it is programmed by gene expression changes, others that it is the cumulative damage caused by biological processes. AGE CATEGORY : 55-59 yr: initial of elderly (awal lanjut usia) 60-74 yr: elderly (lanjut usia) 75-90 yr: old (usia tua) >90 yr: very old (usia sangat tua) LIFE CYCLE: Must be remembered!!! Aging is already exist since the conception period, but in the initial of life, aging occurs coincided with the development process (that happen very fast), so that the aging process is covered. In a person with 30 years old, the growth and development process are stopped, so that the aging process start to appear in this age. THEORIES OF AGING How come we get old?? there are more than 200 theories that try to explain about aging process, but the experts support these 1. The DNA and Genetic Theories Pictured: KLEINSEK PhD., DON Some scientists regard this as a Planned Obsolescence Theory because it focuses upon the encoded programming within our DNA. Our DNA is the blue-print of individual life obtained from our parents. It means we are born with a unique code and a predetermined tendency to certain types of physical and mental functioning that regulate the rate at which we age. But this type of genetic clock can be greatly influenced with regard to its rate of timing. For example, DNA is easily oxidized and this damage can be accumulated from diet, lifestyle, toxins, pollution, radiation and other outside influences. Thus, we each have the ability to accelerate DNA damage or slow it down. One of the most recent theories regarding gene damage has been the Telomerase Theory of Aging. First discovered by scientists at the Geron Corporation, it is now understood thattelomeres (the sequences of nucleic acids extending from the ends of chromosomes), shorten every time a cell divides. This shortening of telomeres is believed to lead to cellular damage due to the inability of the cell to duplicate itself correctly. Each time a cell divides it duplicates itself a little worse than the time before, thus this eventually leads to cellular dysfunction, aging and indeed death. Further recent research by Don Kleinsek Ph.D., of GeriGene Inc. (one of the few genealogists

looking for the genes involved with aging), indicates that telomeres can be repaired by the introduction of the relevant hormone. In other words telomeres and their subsequent processes affect each other. It may be possible, (once we know what each telomere is responsible for), to precisely introduce the necessary hormone and aid genetic repair, as well as the hormonal balance etc. Another key element in rebuilding the disappearing telomeres is the enzyme telomerase, (an enzyme so-far only found in germ and cancer cells). Telomerase appears to repair and replace telomeres helping to re-regulate the clock that controls the life-span of dividing cells (see the Hayflick Limit Theory of Aging for further details). In future protocols it may be possible to introduce telomerase. But right now we know thatfree radicals damage DNA (see the Free Radical Theory of Aging) and so does glycosylation (see the Cross-Linking Theory of Aging). Thus protocols for those two, as well as hormone replacement therapy may help prevent DNA damage. 2. The Neuroendocrine Theory Pictured: Ward Dean MD above, and Professor Vladimir Dilman below. First proposed by Professor Vladimir Dilman and Ward Dean MD, this theory elaborates on wear and tear by focusing on the neuroendocrine system. This system is a complicated network of biochemicals that govern the release of hormones which are altered by the walnut sized gland called the hypothalamus located in the brain. The hypothalamus controls various chain-reactions to instruct other organs and glands to release their hormones etc. The hypothalamus also responds to the body hormone levels as a guide to the overall hormonal activity. But as we grow older the hypothalamus loses it precision regulatory ability and the receptors which uptake individual hormones become less sensitive to them. Accordingly, as we age the secretion of many hormones declines and their effectiveness (compared unit to unit) is also reduced due to the receptors down-grading. These are some of the reasons that Dr. Dean recommends receptor resensitizers such as thebiguanidine drug Metformin (which improves insulin sensitivity) and the eugeroic drug Modafinil (which improves noradrenaline sensitivity). One theory for the hypothalamus loss of regulation is that it is damaged by the hormone cortisol. Cortisol is produced from the adrenal glands (located on the kidneys) and cortisol is considered to be a dark-hormone responsible for stress. It is known to be one of the few hormones that increases with age. If cortisol damages the hypothalamus, then over time it becomes a vicious cycle of continued hypothalamic damage, leading to an ever increasing degree of cortisol production and thus more hypothalamic damage. A catch-22 situation.

This damage could then lead to hormonal imbalance as the hypothalamus loses its ability to control the system. Such an argument demands the use of cortisol adjusters (such as DHEA, Gerovital-H3 or Phenytoin) to help slow down the cortisol accumulation. Dr. Dean also believes that the next-generation of hormone replacement therapy are the hypothalamus hormones (expected to be commercially available in the next few years). These types of natural supplements could present a whole new approach and concept to endocrine balance, control and improvement. 3. The Free Radical Theory Pictured: Denham Harman MD This now very famous theory of aging was developed by Denham Harman MD at the University of Nebraska in 1956. The term free radical describes any molecule that has a free electron, and this property makes it react with healthy molecules in a destructive way. Because the free radical molecule has an extra electron it creates an extra negative charge. This unbalanced energy makes the free radical bind itself to another balanced molecule as it tries to steal electrons. In so doing, the balanced molecule becomes unbalanced and thus a free radical itself. Perhaps a bit like bumper-cars crashing into each other at the Fair? It is known that diet, lifestyle, drugs (e.g. tobacco and alcohol) and radiation etc., are all accelerators of free radical production within the body. However, there is also natural production of free-radicals within the body. This is the result of the production of energy, particularly from the mitochondria (see the Mitochondrial Theory of Aging). The simple process of eating, drinking and breathing forms free-radicals from the energy production cycles, as the body produces the universal energy molecule Adenosine Triphosphate (ATP). Note; oxygen is a potent free-radical producer. Free radicals are known to attack the structure of cell membranes, which then create metabolic waste products (see the Membrane Theory of Aging). Such toxic accumulations interfere with cell communication, disturb DNA, RNA and protein synthesis, lower energy levels and generally impede vital chemical processes. Free radicals can however be transformed by free-radical scavengers (otherwise known as antioxidants). Particular anti-oxidants will bind to particular free radicals and help to stabilize them. Free radicals come in a hierarchy (according to their potential for damage) with thehydroxylradical and the superoxide-radical at the top of the list. It is therefore necessary to take a crosssection of anti-oxidants in order for the process of elimination of the free radicals to occur, otherwise higher damage free radicals may be converted into a greater number of lower damage free radicals.

Such a broad cross-section of anti-oxidants includes substances such as beta carotene, vitamin C, grape seed extract, vitamin E and possibly also stronger substances such as Hydergine, Melatonin and Vinpocetine. 4. The Membrane Theory of Aging Pictured: Professor Imre Zs.-Nagy The membrane theory of aging was first described by Professor Imre Zs.Nagy of Debrechen University, Hungary. According to this theory it is the age-related changes of the cells ability to transfer chemicals, heat and electrical processes that impair it. As we grow older the cell membrane becomes less lipid (less watery and more solid). This impedes its efficiency to conduct normal function and in particular there is a toxic accumulation. This cellular toxin is referred to as lipofuscin and as we grow older lipofuscin deposits become more present in the brain, heart and lungs and also in the skin. Indeed some of the skin age-pigments referred to as liver or agespots are composed of lipofuscin. It is known that Alzheimer Disease patients have much higher levels of lipofuscin deposits than compared to their healthy controls. The cells declining efficiency also means that the essential and regular transfer of sodium and potassium is impaired, thus reducing communication. It is also believed that electrical and heat transfer is also impaired. Professor Zs-Navy himself became involved in research to find substances that could aid in the removal of lipofuscin deposits and improve cellular lipidity and communication. The development was Centrophenoxine (Lucidril ) which is perhaps the most efficient substance currently available; (interestingly, Professor Zs-Navy is currently working on an analogue). Other substances that have shown an ability to remove lipofuscin include DMAE and the aminoacids Acetyl-L-Carnitine and Carnosine. 5. The Hayflick Limit Theory Pictured: Dr. Leonard Hayflick The Hayflick Limit Theory of Aging (so called after its discoverer Dr. Leonard Hayflick) suggests that the human cell is limited in the number of times it can divide. Part of this theory may be affected by cell waste accumulation (which is described in the Membrane Theory of Aging). Working with Dr. Moorehead in 1961, Dr. Hayflick theorized that the human cells ability to divide is limited to approximately 50-times, after which they simply stop dividing (and hence die). He showed that nutrition has an effect on cells, with overfed cells dividing much faster than underfed cells. As cells divide to help repair and regenerate themselves we may consider that the DNA & Genetic Theory of Aging may play a role here. Maybe each time a cell divides it loses some blue-print information. Eventually (after 50-odd times of division) there is simply not

enough DNA information available to complete any sort of division? We also know that calorie restriction in animals significantly increases their life-span. In essence less fed animals live longer. Is this because they are subject to less free radical activity (see the Free Radical Theory of Aging) and therefore less cellular damage? Or is it that insulin and glucose damage (see the Cross-Linking Theory of Aging and the Neuroendocrine Theory of Aging for details) is less prevalent in them than in overfed animals? The Hayflick Limit indicates the need to slow down the rate of cell division if we want to live long lives. Cell division can be slowed down by diet and lifestyle etc., but it is also surmised that cell-division can be improved with many of the protocols of the other aging theories described herein. The use of ribonucleic acids (RNAs, the building-blocks of DNA), improve cell repair processes, enhance cellular capabilities and increase the maximum number of cell divisions in animals and vitro tests. Human clinical studies with RNA supplements such as NeyGeront and RN13 indicate that there are a number of biological, physiological and practical improvements for geriatric patients. If laboratory results prove true also for the individual, then Carnosine will be another potent Hayflick Limit extender. 6. The Mitochondrial Decline Theory The mitochondria are the power producing organelles found in every cell of every organ. Their primary job is to create Adenosine Triphosphate (ATP) and they do so in the various energy cycles that involve nutrients such as Acetyl-L-Carnitine, CoQ10 (Idebenone), NADH and some B vitamins etc. ATP is literally the life giving chemical because every movement, thought and action we make is generated from it. Yet very little ATP can be stored in the body. It is estimated that a 180 lb. man needs to generate an average of 80-90 lbs. of ATP daily! Under strenuous exercise the use of ATP may rise to as much as 1.1 lbs. per minute! But reserves of ATP are considered to be no more than 3-5 ounces, thus under those same strenuous exercise conditions that's approximately 8-seconds worth! Thus it becomes apparent that the mitochondria have to be very efficient and healthy, in order to produce a continuous supply of essential ATP for the necessary repair and regenerative process to occur. Chemically speaking, under normal conditions the mitochondria are fiery furnaces and subject themselves to a lot of free radical damage (see the Free Radical Theory of Aging). They also lack most of the defenses found in other parts of the body, so as we age the mitochondria become less efficient, fewer in number and larger. Accordingly, ATP production declines. As organs cannot borrow energy from one another, the efficiency of each organs mitochondria are essential to that particular organs repair processes and functions. If a particular organs mitochondria fail, then so does that organ (which of course can lead to death). Enhancement and protection of the mitochondria is an essential part of preventing and slowing

aging. Enhancement can be achieved with the above mention nutrients, as well as ATP supplements themselves. Protection may be afforded by a broad spectrum of anti-oxidants substances, as well as substances such as Idebenone and Pregnenolone. Of particular use may be Acetyl-L-Carnitine and Hydergine, both of which have been proven in experiments to greatly improve the mitochondria condition of aged animals. 7. The Cross-Linking Theory (Glycosylation Theory of Aging) The Cross-Linking Theory of Aging is also referred to as the Glycosylation Theory of Aging. In this theory it is the binding of glucose (simple sugars) to protein, (a process that occurs under the presence of oxygen) that causes various problems. Once this binding has occurred the protein becomes impaired and is unable to perform as efficiently. Living a longer life is going to lead to the increased possibility of oxygen meeting glucose and protein and known cross-linking disorders include senile cataract and the appearance of tough, leathery and yellow skin. Indeed, you can see cross-linking in action now. Simply cut an apple in half and watch the oxygen in the air react with the glucose in the apple as it turns yellow and brown and eventually becomes tough. Diabetes is often viewed as a form of accelerated aging and the age related imbalance of insulin and glucose tolerance leads to numerous problems; these have been called Syndrome X. In fact, diabetics have 2-3 times the numbers of cross-linked proteins when compared to their healthy counterparts. The cross-linking of proteins may also be responsible for cardiac enlargement and the hardening of collagen, which may then lead to the increased susceptibility of a cardiac arrest. Cross linked proteins have also been implicated in renal disorders. It is also theorized that sugars binding to DNA may cause damage that leads to malformed cells and thus cancer. The modern diet is of course a very sweet one and we are bombarded with simple sugars from soft drinks and processed foods etc. One obvious example to reduce the risk of cross-linking is to reduce sugar (and also simple carbohydrates) in ones diet. Some pharmacological interventions that could help reduce the carbohydrate/ starch/ glucose intake and affect, include Acarbose and Metformin. But other supplements are also appearing that show great promise in the battle to prevent, slow and even break existing cross-links. Two of the most important at present are Aminoguanidine and the amino-acid Carnosine. CHANGES IN AGING 1. PHYSIOLOGICAL CHANGE Physiological changes occur with aging in all organ systems. The cardiac output decreases, blood pressure increases and arteriosclerosis develops. The lungs show impaired gas

exchange, decrease in vital capacity and slower expiratory flow rates. The creatinine clearance decreases with age although the serum creatinine level remains relatively constant due to a proportionate age-related decrease in creatinine production. Functional'changes, largely related to altered motility patterns, occur in the gastrointestinal system with senescence, and atrophic gastritis and altered hepatic drug metabolism are common in the elderly. Progressive elevation of blood glucose occurs with age on a multifactorial basis and osteoporosis is frequently seen due 'to a linear decline in bone mass after the fourth decade. The epidermis of the skin atrophies with age and due to changes in collagen and elastin the skin loses its tone and elasticity. Lean body mass declines with ag'e and this is primarily due to loss and atrophy of muscle cells. Degenerative changes occur in many joints and this, combined with the loss of muscle mass, inhibits elderly patients locomotion. These changes with age have important practical implications for the clinical management of elderly patients: metabolism is altered, changes in response to commonly used drugs make different drug dosages necessary and there is need for rational preventive programs of diet and exercise in an effort to delay or reverse some of these changes. NORMAL AGING affects all physiological processes. Subtle irreversible changes in the function of most organs can be shown to occur by the third and fourth decades of life, with progressive deterioration with age. The rapidity of the decline in function varies with the organ system under consideration but is relatively constant within a given system. Thus, the rate of aging is the same for a 45-year-old man as it is for an 85-year-old man; the difference is that by 85 years of age more agerelated changes have accumulated. An important concept not widely appreciated is the distinction that must be made between the normal attrition of function occurring in all persons with advancing age and the loss of function that marks the onset of pathological changes from one or more of the diseases encountered with increased prevalence in the older age group. Failure to recognize this difference can lead to progressive disability from treatable diseases in many cases. In this review we will discuss some of the physiological changes that occur with aging in the cardiovascular, respiratory, renal, gastrointestinal, endocrine, skin and musculoskeletal systems and their consequence for various therapeutic approaches in the day-to-day management of patients. We will concentrate mostly on changes that are of clinical importance and not discuss the increased incidence of such disorders as neoplasia that are well known to occur in all these systems. The attrition of the neurological and immune systems with age are discussed in other sections of this issue. Cardiovascular System Heart

Cardiac output decreases linearly after the third decade at a rate of about 1 percent per year in normal subjects otherwise free of cardiac disease. Due to the small decrease in surface area with age the cardiac index falls at a slightly slower rate of 0.79 percent per year. The cardiac output of an 80-year-old subject is approximately half that of a 20-year-old. The basis of this decrease in cardiac function is unknown but may relate to one of several factors. First, senescent cardiac muscle has a decreased inotropic response to catecholamines, both endogenous and exogenous, and, perhaps of more clinical significance is a decreased response to cardiac glycosides. Second, with aging there is an associated increase in diastolic and systolic myocardial stiffness, perhaps due to increased interstitial fibrosis in the myocardium. Third, there is a progressive stiffening of arteries with age, particularly of the thoracic aorta, leading to an increased afterload of the heart. And finally, in autopsy studies as many as 78 percent of subjects older than 70 have been shown to have amyloid deposits in the myocardium, predominantly in the atria, but also in the ventricles and pulmonary vessels.' When amyloid is present in the ventricles and vessels it may lead to congestive failure, often with conduction defects. Cardiac amyloidosis may be a relative contraindication to treatment with digoxin since there appears to be an increased risk of arrhythmias. GERIATRIC MEDICINE Hypertension A progressive increase in blood pressure after the first decade of life has long been regarded as a normal consequence of aging and was the basis for ignoring the presence of hypertension in the elderly. Only in the past decade or so have prospective studies provided evidence of the grave portents of hypertension for the older age group as well as the young and the potential preventive value of early treatment. The elevation with age is more pronounced for systolic than diastolic pressure. When hypertension is defined as a systolic blood pressure of greater than 160 mm of mercury and simultaneously a diastolic of greater than 95 mm of mercury, approximately 16 percent of the general adult population is hypertensive but about 50 percent of those over age 65 are hypertensive. The Framingham Study clearly established that high blood pressure is a significant risk factor for stroke, coronary artery disease and congestive heart failure.6 Moreover, cardiovascular disease was a more frequent cause of death and morbidity in the hypertensive subjects older than 65 years of age than in the younger subjects. More recently the Hypertension Detection and Follow-up Program confirmed these findings and showed, as did the Veterans Administration Cooperative Study, that treatment was beneficial.7 All of these studies, as well as the European Working Party on High Blood Pressure in the Elderly, have shown that blood pressure in the elderly can be safely lowered when the antihypertensive therapy is chosen carefully and monitored regularly. The main question that needs to be

answered at present is whether isolated systolic hypertension needs to be treated in elderly patients. Not enough data are yet available to answer this question and large-scale clinical trials are desperately needed. The discovery of nearly a dozen population isolates throughout the world among whom blood pressure does not increase with advancing age is provocative. In each isolate the culture had no access to added salt in the diet, suggesting an additional possible preventive approach that needs evaluation in our own culture. Arteriosclerosis and Coronary Artery Disease Thickening of the walls of arteries with hyperplasia of the intima, collagenization of the media and accumulation of calcium and phosphate in elastic fibers progressively occurs with aging. In addition, the lipid content of nonatherosclerotic portions of vessels increases, particularly of cholesterol Although none of these age-related changes has definitely been shown to be a precursor of arteriosclerosis, atherosclerosis clearly increases with aging. Raised fibrous plaques that contain lipid, atheromas, of the abdominal aorta increase linearly from onset at about age 20 to reach approximately 30 percent by -age 70. In general, atherosclerosis occurs earlier in the aorta and carotid arteries than in the coronary and cerebral arteries and peripheral vascular disease appears later. Myocardial infarction from coronary artery disease increases dramatically with age and although many risk factors are known, age itself is probably the most significant. Prevention at present is aimed at amelioration of the other factors, such as hypertension, obesity and cigarette smoking. Respiratory System Lung Volume A linear decrease of vital capacity is found that amounts to a decrement of about 26 ml per year for men and 22 ml per year for women starting at age 20.'3 The total lung capacity remains constant, however, and thus the residual volume increases with age. The ratio of residual volume to total lung capacity (RV/TLC) is about 20 percent at age 20 and increases to 35 percent by age 60, with most of this increase in RV/TLC occurring after age 40.10 In most studies the functional residual capacity also increases, although not as rapidly as the residual volume. Gas Exchange Although alveolar oxygen tension remains constant with age, arterial oxygen pressure shows a progressive decrease, thus increasing the alveolararterial oxygen difference (A-a).0.9 Most of this decrease in arterial oxygen pressure results from a mismatch of ventilation and perfusion. The elastic recoil of the lungs decreases with age and thus there is a greater tendency for airways to collapse. This is measured as an increase in "closing volume" which increases linearly above the

age of 20. Airway closure occurs predominantly in the dependent zones of the lung and in the upright position this will result in a ventilationperfusion mismatch because more perfusion occurs in the lower lobes. Although an age-related decrease in carbon monoxide diffusing capacity has been shown, it is unclear whether this contributes to the reduction in arterial oxygen pressure. Flow Rates There is a 20 percent to 30 percent decrease in maximum voluntary ventilation, forced expiratory volume in one second, maximal expiratory flow rate and maximum midexpiratory flow during adult life. The basis for these changes is not known but again may relate to a decrease in the elastic recoil properties of the lung. This would result in both a decreased ability to generate normal expiratory pressures as well as increased resistance to expiration due to abnormally early airway collapse. Infections It is well known that elderly patients have a pronounced increase in incidence of pneumonia, both bacterial and viral, compared with younger persons. Although much of this may be due to a general depression of immune system function, other more specific factors may play a role. Pneumonia generally results from aspiration of oropharyngeal secretions and such aspiration appears more frequent in the elderly. Perhaps of even greater importance, the normal mechanical clearing of the tracheobronchial tree by the mucociliary apparatus is significantly slower in nonsmoking older persons than in their younger counterparts. Finally, due perhaps to poor oral hygiene, decreased flow of saliva or difficulty with swallowing, older persons have a higher rate of colonization of their oropharynx with Gram-negative bacilli than do younger persons. Genitourinary System Kidneys A gradual decrease in the volume and weight of the kidneys occurs with aging so that by the ninth decade renal size is about 70 percent of that of the third decade. Moreover, there is a decline in the total number of glomeruli per kidney from about 1,000,000 below the age of 40 to about 700,000 by age 65.12 13 With the reduction in the number of glomeruli there is a concomitant age-related decrease in the creatinine clearance (C,.) and the decline is according to the following equation: C,., (ml/minute) = 135.0-0.84 X age (years). The serum creatinine concentration, however, changes little with age.This is because of an agerelated decrease in creatinine production due to a reduction in muscle cell mass that parallelsthe

decrease in glomerular filtration rate. This attrition in renal function has significant consequences for the clinical management of elderly patients. Thus, drugs such as aminoglycosides, digoxin, penicillin and tetracycline which are primarily cleared by glomerular filtration will have a prolonged half-life in an elderly person even when the dosage is modified through the standard use of the serum creatinine concentration. In fact, in one study the halflife of these drugs in older subjects with a normal serum creatinine concentration was about twice that in younger persons.'" Although the serum creatinine concentration does not change, there is a small but significant age-dependent increase in the blood urea nitrogen (BUN) concentration and the rate of rise is approximated by the following equation: BUN (mg/dl) = 7.56 + 0.119 X age. This increase in the blood urea concentration is not always seen, however, since there is frequently a decrease in the intake of protein as well. Tubular function also declines with aging. The maximal reabsorption of glucose follows a linear decrease such that the glucose threshold ranges from 130 to 310 mg/dl in elderly persons. Glycosuria may therefore be misleading in the diagnosis and management of diabetes mellitus in older persons. Both the concentrating and diluting ability of the kidneys also slowly deteriorates. This may contribute to the increased proclivity for dehydration and hyponatremia seen in older patients although excessive use of diuretics probably plays a more major role. Interestingly, in the absence of congestive heart failure or urinary tract obstruction or infection, the nocturia of old age appears to be primarily of a central nonrenal origin due to a disturbance in the normal diurnal rhythm of excretion. Bladder Urinary incontinence has been found in 17 percent of men and 23 percent of women older than 65 years. In about half of the women and a fifth of the men this was due to stress incontinence alone. The capacity of the bladder decreases with age from about 500 to 600 ml for persons younger than 65 to 250 to 600 ml for those older than 65. Perhaps more important, in younger persons the sensation of needing to void occurs when the bladder is little more than half filled but in many who are older the sensation occurs much later or sometimes not at all, leading to overflow incontinence. These changes appear to be due more often to central nervous system disease than to bladder dysfunction. Prostate Enlargement of the prostate occurs in most older men; by age 80 more than 90 percent of men have symptomatic prostatic hyperplasia with varying degrees of bladder neck obstruction and urinary retention. Prostate surgery is required in 5 percent to 10 percent of all men at some time. Recently the cause of the hyperplasia has been more clearly defined; the concentration of

dihydrotestosterone (DHT) increases in prostatic cells. The increase in the intraprostatic concentration of DHT is due to two age-related changes: an estrogen-mediated enhancement of androgen receptors on prostatic cells as well as a decrease in the intracellular catabolism of DHT. Future treatment of benign prostatic hyperplasia may be endocrinologic, aimed at reducing the intracellular concentration of DHT by competitive steroid antagonists. Gastrointestinal System Esophagus Age-related changes of esophageal function, socalled presbyesophagus, are due primarily to disturbances of esophageal motility. The esophagus in an older person may have a decreased peristaltic response, an increased nonperistaltic response, a delayed transit time or a decreased relaxation of the lower sphincter on swallowing. The decrease in peristalsis and delay in transit time may lead to dysphagia with a voluntary curtailment of caloric consumption. Nonperistaltic contractions are found almost exclusively in the elderly. They occur in the lower two thirds of the esophagus and are the cause of the "corkscrew" esophagus seen on barium swallow studies. Decreased relaxation of the lower esophageal sphincter on swallowing is the basis of achalasia and is more common in the elderly population. Stomach The incidence of atrophic gastritis increases significantly with age. In a Scandinavian study approximately 40 percent of apparently healthy subjects older than 65 had evidence of atrophic gastritis.2" At present, atrophic gastritis is divided into type A which is confined to the body and fundus sparing the antrum and type B which is associated with atrophy of both antral and fundic glands. Both types increase in frequency with advancing years. Severe atrophic gastritis results in achlorhydria, deficient intrinsic factor secretion, decreased pepsinogen production and, in type A, hypergastrinemia due to lack of acid inhibition of gastrin cell secretion. Type A atrophic gastritis appears to be an autoimmune disease, whereas type B may be due to local environmental factors such as chronic enterogastric bile reflux. Both types of atrophic gastritis are premalignant lesions. Colon A decrease in intestinal motility occurs with age. The colon becomes hypotonic, which leads to increased storage capacity, longer stool transit time and greater stool dehydration. These are all etiologic factors in the chronic constipation that plagues the aged. Laxative abuse therefore results and is the most common cause of diarrhea in the elderly. A high-fiber diet is the

treatment of choice and this can best be achieved by prescribing a diet rich in bran. Whether or not constipation is an etiologic factor in diverticulosis remains unclear but age certainly is. Diverticula are uncommon below the age of 40 but steadily increase thereafter until nearly 50 percent of those older than 80 have diverticulosis. Symptoms are present in only about 20 percent to 25 percent of those who are affected and severe disease with inflammation and bleeding occurs in a much smaller number. Sphincter Control Loss of control of the internal and external anal sphincters in the elderly in the presence of essentially normal cognitive function is a most emotionally traumatic and demeaning experience. The resulting fecal incontinence is one of the major causes for admission of many otherwise healthy persons to long-term care facilities. Recent studies have shown the cause to be a loss of tone of the external rectal sphincter. Biofeedback techniques allowed the regaining of sphincter and bowel control in as many as 70 percent of a group of patients studied. Liver and Biliary Tract The liver decreases in weight by as much as 20 percent after the age of 50 but perhaps because of its large reserve capacity this attrition is not reflected by a decrease in the usual liver function tests. Although tests of liver function show little or no change with age, a large number of drugs such as diazepam and antipyrine are known to be metabolized more slowly by the liver in the elderly. This alteration in hepatic drug metabolism may be due to a decrease in the appearance, amount or distribution of the smooth endoplasmic reticulum. Biliary tract disease is unusual before the third decade and the incidence of cholelithiasis increases greatly with age. In a large autopsy series of subjects older than 70 years, 30 percent had gallstones and another 5 percent had previously had a cholecystectomy. In general, surgical operation is indicated in patients with gallstones, even if asymptomatic, since the risk of complications in an elderly patient is greater than the risk of operation. Endocrine System Glucose Homeostasis Increasing age results in a progressive deterioration in the number and the function of insulinproducing beta cells. The capacity of these cells to recognize and respond to changes in glucose concentration is impaired. In elderly subjects a greater proportion of the insulin released into the circulation in response to a glucose challenge is in the form of the inactive precursor proinsulin than in their younger counterparts. Of perhaps even greater importance is

the development of progressive peripheral insulin resistance with age. Compared with younger persons the elderly have a relative decrease in lean body mass with a relative increase in adiposity. Since little change in the total number of fat cells occurs with age, the increased adiposity appears due to an increase in fat cell size. In general, as adipocytes enlarge they turn down their insulin receptors. Thus, even in nonobese elderly persons there is peripheral insulin resistance due to increased size of adipocytes with a relative decrease in insulin receptors. The combination of abnormal beta cell function with peripheral insulin resistance leads to increased glucose intolerance in normal aged persons. Although diabetic ketoacidosis and lactic acidosis are uncommon in elderly diabetic persons, hyperosmolar nonketotic coma occurs with some frequency. As already discussed, there is a decrease in the renal concentrating function with age as well as a decrease in the maximal reabsorption of glucose. Thus, even mild hyperglycemia may lead to osmotic diuresis. This will cause further hyperglycemia and ultimately dehydration. The dehydration may lead to vascular insufficiency in elderly patients and they may become obtunded and refuse to drink; rapid progression to coma may then ensue. This syndrome is frequently precipitated or exacerbated by a myocardial infarction, pneumonia or urinary tract infection. Osteoporosis Osteoporosis is a skeletal disorder characterized by a decrease in bone mass which may result in mechanical failure of the skeleton. The decrease in bone mass is an age-related phenomenon. Beginning in the fourth decade there is a linear decline in bone mass at a rate of about 10 percent per decade for women and 5 percent per decade for men. Thus, by the eighth and ninth decades 30 percent to 50 percent of the skeletal mass may be lost. The decrease in bone mass is due to a relative increase of bone resorption over formation but the basis of this is unknown. Hormonal factors certainly play a role since women are more susceptible than men and the rate of development of osteoporosis in women accelerates after menopause. Moreover, low-dose estrogen therapy can arrest or retard bone loss if begun shortly after the menopause. Menopause Nowhere are the development of age-related changes more apparent than in the human female climacteric. Menopause occurs because of the disappearance of oocytes from the ovary through

ovulation and atresia. Little is understood about the process of ovarian atresia and whether it is due to primary ovarian failure or secondary to hypothalamic-pituitary changes. Several consequences of the menopause deserve mention. First is the vasomotor instability or hot flashes. Two thirds to three quarters of menopausal women will experience flushing, with 80 percent having the symptoms for longer than one year and 25 percent to 50 percent for more than five years. Changes in skin temperature, skin resistance, core temperature and pulse rate occur during the flush. Besides being a major disturbance while women are awake, the hot flashes may occur during sleep, leading to waking episodes. Insomnia with possible physiologic and psychologic disturbances may thus result. It is well known that arteriosclerotic cardiovascular disease is unusual in women before the menopause. The precise protective mechanism of ovarian function is not known, but premenopausal women have a higher ratio of high-density lipoproteins to low-density lipoproteins than do postmenopausal women. Osteoporosis with its relation to the menopause has already been discussed. Changes of the skin occur with age and the recent demonstration of estrogen receptors in the skin of mice suggests that estrogens could have direct effects on aging of the skin (see below). Skin Epidermis Atrophy of the epidermis occurs with age and is most pronounced in exposed areas: face, neck, upper part of the chest, and extensor surface of the hands and forearms. In addition to the thinning of the epidermis there is notable flattening of the dermal epidermal junction wit effacement of both the dermal papillae and the epidermal reti pegs. The turnover rate of cells in the stratum corneum decreases with age and in persons older than 65 it takes 50 percent longer to reepithelialize blistered skin than in young adults. The decrease in epidermal cell growth and division occur with aging, a distinction between the attricausally contribute to the increase incidence tion in function of normal aging and pathological of decubitus ulcers in older patients. Dermis Dermal collagen becomes stiffer and less pliable with age; elastin is more cross-linked and has a higher degree of calcification. These changes cause the skin to lose its tone and elasticity, resulting in sagging and wrinkling. An age-related decrease in the number of dermal blood vessels also develops. This relative ischemia of the skin may also play a pathogenetic role in the development of decubitus ulcers. Musculoskeletal System Muscle

The age-dependent decline in lean body mass is well known and is primarily due to loss and atrophy of muscle cells. Some muscles, such as the diaphragm, show few if any changes while others, such as the soleus, show pronounced infiltration by collagen and fat.:" Age-related changes also occur in the innervation of muscle but the exact pathologic process is not well understood. Although much of the decreased locomotion of elderly subjects is due to skeletal changes (see below), a substantial part is probably secondary to decreased muscle mass and function. Skeletal Degenerative joint disease occurs in 85 percent of persons older than 70 years of age and is a major cause of disability. It affects both the peripheral and axial skeleton and is characterized by degeneration of cartilage, subchondral bone thickening and eburnation, and remodeling of bone with formation of marginal spurs and subarticular bone cysts. Due to its predilection for weight-bearing joints, wear-and-tear type mechanisms must be operative. When the degenerative changes are pronounced, pain can be severe, greatly limiting the activity status of an elderly patient. Fortunately, adequate drug and surgical treatments exist but old people are truly restricted by their joints. Conclusion We have briefly discussed some of the major changes that occur with age in several of the body systems. Although it is tempting to regard many of the so-called diseases of the elderly as being the end stage of normal physiologic changes that occur with aging, a distinction between the attri tion in function of normal aging and pathological states must be clearly delineated. To do otherwise jeopardizes a patient's prospect for receiving preventive and remedial therapy. 2. PSYCHOSOCIAL CHANGE The aging process brings change. During our lifetime, many individual changes we undergo are psychological. Three particularly relevant areas of psychological change are: information processing, personality, and the myth of senility. INFORMATION PROCESSING Reaction Time REACTION TIME INCREASES WITH AGE. Reasons for this are difficult to isolate. The increases could be caused by a slowing of perception, transmission to the brain, decoding and recoding in the brain, transmission to the appropriate responding mechanism, an/or the mecanism of the response itself. When time is a factor, age differences appear. This change might affect products in which rapid responses are required in order to accomplish a task (e.g., using an electric food processor). Most older persons need a longer period of time to react.

Reaction time is also correlated with the complexity of the task (e.g., operating a pushbutton door lock). If both age and complexity increase, then behavior becomes less efficient. Since so many of today's routine activities are both complex and require rapid resposes, these factors may make the tasks harder for older people. If physical and/or health problems are not present, adaptation and practice offset age-related decrements. Experience and usage can negate some reaction time loss. For example, on an assembly line, most older workers are able to keep production quotas because they are constantly utilizing skills, experiences, and behaviors which have been developed over the years. Intelligence INTELLIGENCE ENDURES. It does not appear to change with age until quite late in the life span. Decrements that do appear seem to be more a factor of motivation, vocabulary, contemporary skills, and speed than they are a factor of age-related loss. For example, old people may not be as highly motivated as younger people when taking tests. Older groups are usually at a disadvantage with younger groups when level of formal education and recency of contact with a testing environment are considered. In general, speed decreases as age increases, and since most intelligence test are timed, this could affect overall scores. The vocabulary of older people is frequently limited and less contemporary than that of younger persons. This is not due to lack of intelligence, but rather to two educational differencesfewer years of formal education and fewer recent classroom experiences, which would expose tthe person to a situation that would build a more cntemporary vocabulary. Designers need to take this vocabularly issue into account when designing complex tasks such as setting the timing sequence on appliances. Learning AGE HAS LITTLE AFFECT ON LEARNING. It may take longer for an older person to learn something, but this illustrates, once again, that speed rather than ability differentiates older from younger learners. Designers should note that for older people, retention is greatest for things which are both seen and heard (redundant cuing). Retention is next greatest for things which are heard, and lowest for things which are seen. Designers may help older people by breaking complex tasks into simple, sequential sub-tasks, thus making learning easier. Memory Memory changes that accompany the aging process have a definite pattern. As people age, they tend to have more and more difficulty with short-term recall whereas long-term recall remains much more inact. Reasons for this are unclear. It may be due to accumulated loss of neurons in the brain, but this is currently subject to debate.

Some researchers believe that social factors are responsible for memory loss, since the past, for many persons, may have been much more pleasant than the present. However, there is no general agreement in this matter either. The programming of task sequences, such as found in pre-dialing features on many telephones, begins to address the problem of short-term recall. Problem-Solving PROBLEM-SOLVING TECHNIQUES DIFFER WITH AGE. As age increases, we tend to solve problems differently from younger persons, Older people are much more reluctant to use trialand-error beaviors than are younger people. Prior to attempting a solution, most older people prefer to take time to "think through" the situation. Younger people are prone to use "trial and error" more quickly and more frequently. And while our reaction time increases with age and correlates with the comp[exity of a task, this increase is only measured in miliseconds.. This behvior could affect the manner in which older Americans use mechanical devices. Clear, easy-to-follow directions go a long way to encourage trial and error behavior and avoid intimidating older people. PERSONALITY Aging does not affect us as a person our personality remains fairly constant throughout our lifespan. Not only do we retain our individual differences, these differences become even more pronounced as we get older. As we age, we generally become more and more like the person we were in our youth; a placid youngster becomes a more placid older person, a talkative teenager becomes a talkative older person, and a stubborn youngster carries the trait of stubbernness into old age. Still, wide variations have been observed, and it's difficult to make accurate predictions in this area. Moreover, most people assume that when you get old it is "natural" to become forgetful and to lose contact with reality. This simply is not true. While we may experience some difficulty with short-term memory as we get older, our long-term memory generally remains sound. Except for gradual changes in our physical appearance and experiencing more physical problems, being "old" feels no different from how we feel now or when we were young. In reality, an old person is a young person who has just lived longer. Social Factors SOCIETY IS CREATED FROM A CONSENSUS OF INDIVIDUALS. These individuals, in turn, are influenced by the society in which they live. Thus, both Individuals and groups define and re-define our sense of self as we develop and as society changes. And society's view of "growing old" or being "old" is no exception to this process.

Our contemporary society is, in part, a product of the past. Past and present factors shape the society of tomorrow. Examining the social factors of today is similar to viewing a single frame of a motion picture. Today's frame is a product of yesterday, but which now includes the largest number and percentage of older persons than ever beforemore people age 65 and over are living today than have ever lived previously in all of recorded history. These large numbers of older persons are a new phenomenon. Societies, world wide, are only beginning to learn how to accomodate age-related changes. To confound matters, contemporary society continues to feel the escalating effects of an aging baby-boom generation. As a result of today's youth orientation and the increassed number of older persons, three issues present themselves. Gerontologists have named them agesim, gerontophobia, and retirement. Ageism AGEISM REFERS TO DISCRIMINATION BASED ON AGE. This attitude arises because of agerelated changes in appearance, in beliefs, and in other behaviorsthose characteristics which supposedly make older persons "different." Agesim is seen in many contexts. It is insidious. It is also present in financial matters and employment. It is demonstrated by our immediate asumption that slow drivers must be old. What's more, many older Americans, regardless of economic circumstances, find it extremely difficult to obtain loans, even for modest amoounts. Finally, the need for legal protection as provided by the Age Discrimination in Employment Act (in effect for those age 40 and above) reflects the extent to which ageism permeates society. Gerontophobia GERONTOPHOBIA IS THE FEAR OF OLD AGE, especially of growing old. This fear is a by-product of the high value contemporary society places on youth and productivity. It touches all facets of life, from physical appearance to the fear of death. Since the dawn of human history people have sought the secret of immortality. We still search for that secret potion that will maintain our youth and keep us from aging. In his book, Age Wave, Ken Dychtwald identifies seven markers that can induce our phobia: If young is good, then old is bad If the young have it all, the old are losing it If the young are creative, the old are dull If the young are beautiful, then the old are unattractive If the young are stimulating, then the old are boring If the young are full of passion, then the old are beyond caring If the children are tomorrow, the old represent yesterday

Each of us is constantly bombarded with incentives to to remain young and prolong our lives through medical breakthroughs. Unfortunately, this attitude has been internalized by many people both old and young. But, in the end, each of us will experience the aging process and, unless we die in our early years, we will continually grow older and struggle with the inevitable reality that our end is gradually approaching. Retirement RETIREMENT IS AN AMBIVALENT CONCEPT. It represents a reward for participation in the labor force. It also represents a mechanism to ensure turnover of the labor force, with younger workers moving into slots vacated by retirees. On the one hand, each succeeding year the concept of retirement receives greater public support and approval as well as a transgenerational transfer of monies via the social secrity system. On the other nand, retirement results in decreased income. It also leaves an older person with what some gerontologists describe as a "roleless role"i.e., no alternative to the role, status, and significance of "employee" has yet evolved. In a work-oriented society, this non-productive status, along with society's youthemphasis, means that older people are at odds with contemporary norms in two resects: productivity and appearance! These factors contribute to the phenomena of agism and gerontophobia. Many of the effects are obvious; others are quite subtile. All of us are guilty of ageism to some degree. Most of us suffer from gerontophobia. At the same time, we all experience the affects of the aging process, and we react to them. Designers who are aware of and sensitive to these social phenomena are in a better position to advocate the development of accommodating products and environments. 3. NUTRITION NEEDS CHANGE Nutritional needs change throughout life. For the elderly, these changes may be related to normal aging processes, medical conditions, or lifestyles. Assessment of nutritional status is essential for preventing or maintaining a chronic disease and for healing. Knowing the causes of changing nutritional needs and dietary preferences is needed to understand a patients nutritional status. In order to meet the nutritional needs, consideration must be given to more than just diet. Age-Related Changes and Nutrition As people age, multiple changes occur that affect the nutritional status of an individual.Sacropenia, or the loss of lean muscle mass, can lead to a gain in body fat that may not be apparent by measuring body weight. It may be more noticeable by loss of strength,

functional decline, and poor endurance. This loss also leads to reduced total body water content (Tabloski, 2006). Another common loss related to aging is changes in bone density, which can increase the risk for osteoporosis. Many changes occur throughout the digestive system. A decrease in saliva production xerostomiaand changes in dentition alter the ability to chew and may lead to changes in food choices. There is a decrease in gastric acid secretion that can limit the absorption of iron and vitamin B12. Peristalsis is slower and constipation may be an issue because fluid intake is decreased. Appetite and thirst dysregulation also occur, leading to early satiety and a blunted thirst mechanism. Sensory changes affect the appetite in several ways. Vision loss makes shopping, preparing food, and even eating more difficult. Diminished taste and smell take away the appeal of many foods and may lead to preparing or consuming food that is no longer safe. Many other factors that are not necessarily part of the normal aging processes, but are often related to aging, create changes in appetite, what foods are chosen for meals, and the overall nutrition of the individual. Sedentary lifestyle, social isolation, loneliness, or depression can lead to malnourishment. Medications can also change how nutrients are absorbed or how food tastes. Poverty and cognitive impairment are other issues that may affect eating habits and food choices. Changes in Nutritional Needs The overall nutritional requirements of the older adult do not change. What does change is the caloric intake. Because of the loss of lean muscle mass, the overall caloric intake requirement decreases while the need for other nutrients remains relatively unchanged. This makes eating nutrient-dense foods even more important for older adults. The nutrient requirements for older adults include increased intake of vitamins D, B12, and B6 and calcium. Of these, vitamin B12 is recommended exclusively to those over the age of 50 as a supplement because of the decreased absorption rate. Vitamin B12 deficiency can be responsible for depression, neurological disorders and macrocytic anemia. Protein is a nutrient that is often thought of as one to increase in aging. Unless the older adult requires additional protein for healing and strength, this is not necessarily the case. Because of the overall decrease in muscle mass, the recommended daily allowance does not suggest increasing protein requirements in the elderly. Tufts University developed a Modified MyPyramid for Older Adults that was published in the January 2008 issue of theJournal of Nutrition. This pyramid emphasizes eating nutrient-dense foods, the importance of fluid intake, and activities that may be typical of the older age group. The modified pyramid also suggests that supplements (for nutrients such as calcium and vitamins D and B12) may help people meeting their nutritional needs when food alone does not yield adequate amounts. More information on the Modified Assessing Nutritional Status

A comprehensive assessment of nutritional status includes anthropometric measurements, laboratory values, physical exam, and patient history. Anthropometric measures include height, weight, body mass index, body fat measurement, muscle mass measurement, and body mass index. Laboratory values should include albumin, retinal-binding prealbumin, transferring, complete blood count, serum folate, vitamin B12, and cholesterol. A diet history is helpful if there is good 24-hour recall or a food record for 3 days leading up to the exam can be completed. The Hartford Foundation recommends the Mini Nutritional Assessment as a basic screening tool. This can be found on the Hartford Institute for Geriatric Nursing Web site (www.hartfordign.org) under Try This. There are other tools to assess areas that affect diet and nutrition including the Geriatric Depression Scale, the Mini Mental Exam, and the Katz Index. Keep in mind that part of determining diet intake is the ability to obtain, prepare, and eat food. Knowing the financial status of the individual is also important in planning interventions. For communitydwelling seniors with limited support, these items may help explain the results found in the Mini Nutritional Assessment. Conclusion In order to understand the dietary needs of the older adult, it is important to know what the basic requirements of the healthy older adult are. A comprehensive assessment includes a lot more than just the basic nutritional assessment and should take into account the overall physical, mental, and psychosocial status of the person. This will lead to a better understanding of how to realistically meet the nutritional needs of the older adult. DEMENTIA Dementia facts* *Dementia Facts Medically Edited by: Charles P. Davis, MD, PhD Dementia is a term that describes a collection of symptoms that include decreased intellectual functioning that interferes with normal life functions and is usually used to describe people who have two or more major life functions impaired or lost such as memory, language, perception, judgment or reasoning; they may lose emotional and behavioral control, develop personality changes and have problem solving abilities reduced or lost. There are different classification schemes for dementias roughly based (and with overlap) on observed problems; some frequently used are cortical (memory, language, thinking, social) , subcortical (emotions, movement, memory), progressive (cognitive abilities worsen over time), primary (results from a specific disease such as Alzheimer's disease and secondary (occurs because of disease or injury). Alzheimer's disease (AD): is the most common cause of dementia in people over age 65 with cause possibly related to amyloid plaques and neurofibrillary tangles; almost all brain functions,

including memory, movement, language, judgment, behavior, and abstract thinking, are eventually affected. Vascular dementia: is the second most common cause of dementia caused by brain damage from cerebrovascular or cardiovascular problems (strokes) or other problems that inhibit vascular function; symptoms similar to AD but personality and emotions effected only late in the disease. Lewy body dementia: is common and progressive where cells in the brain's cortex die and other contain abnormal structures (Lewy bodies); symptoms overlap with Alzheimer's disease but also include hallucinations, shuffling gait, and flexed posture with symptoms that may vary daily. Frontotemporal dementia: is dementia linked to degeneration of nerve cells in the frontal and temporal brain lobes and some evidence for a genetic factor (many have a family history of the disease); symptoms in patients (usually ages 40 65) have judgment and social behavior problems such as stealing, neglecting responsibilities, increased appetite, compulsive behavior and eventual motor skill problems and memory loss. HIV-associated dementia: is due to infection of the brain with HIV virus; symptoms include impaired memory, apathy, social withdrawal, and concentration problems. Huntington's disease: is a heredity disorder caused by a faulty gene and children of a person with the disorder have a 50% chance of getting the disease; symptoms begin in 30-40 year old people with personality changes such as anxiety, depression and progress to show psychotic behavior severe dementia and chorea - involuntary jerky, arrhythmic movements of the body. Dementia pugilistica: is also termed Boxer's syndrome, is due to traumatic injury (often repeatedly) to the brain; symptoms commonly are dementia and parkinsonism (tremors, gait abnormalities) and other changes depending where brain injury has happened. Corticobasal degeneration: is a progressive nerve cell loss in multiple areas of the brain; symptoms begin at about age 60 on one side of the body and include poor coordination and rigidity with associated visual-spatial problems that can progress to memory loss, hesitant speech and dysphagia (difficulty swallowing). Creutzfeldt-Jakob disease: is a rare disease that seems related to a gene mutation that causes rapid (death about one year after symptoms begin to develop) degenerative and fatal brain disease in people usually over 60 years old; personality changes and reduced coordination develop, rapidly followed by impaired judgment and vision and many patients develop a coma before they die. Other rare hereditary dementias: Most of these diseases develop in people between 50 60 years old and most have variable symptoms of poor reflexes, dementia, hallucinations, paralysis and most develop coma before death; some of the names of these diseases are Gerstmann-Straussler-Scheinker disease, familial British dementia, familial Danish dementia and fatal familial insomnia.

Secondary dementias: These dementias occur in patients with other disorders of movement such as Parkinson's disease or multiple sclerosis and may because by one or more problems listed above; these dementias may share symptoms with any of the above mentioned dementias but researchers are unsure if this is due to disease overlap or other causes. Dementias in children: While infections, trauma and poisoning can lead to dementia in both children and adults, there are some dementias that are unique to children but may result in mental problems, seizures, reduction or loss of motor skills, blindness, neurodegeneration and death; many are inherited disorders such as Niemann-Pick disease, Batten disease, Lafora disease and mitochondrial abnormalities. Other conditions that may cause dementia: Reactions to medications, endocrine and metabolic problems, nutritional deficiencies, infections, subdural hematomas, poisoning,brain tumors, anoxia (lack of oxygen), heart and lung problems. What conditions are not dementia: Although these conditions may resemble some aspects of dementia, they have different causes, usually are treatable and have better outcomes; examples are depression, delirium, mild cognitive impairment and age-related cognitive decline. Dementia causes: All causes of dementia result from death and damage of nerve cells in the brain; genetics and possibly the formation of different types of inclusions in the brain cells are likely the major causes, although some researchers suggest that certain inclusions may be only side effects of an underlying disorder. Risk factors for dementia include advancing age, genetics (family history), smoking, alcohol use, atherosclerosis, high cholesterol, diabetes, high plasma homocysteine levels, mild cognitive impairment, Down syndrome Dementia is diagnosed by using many methods such as patient's medical and family history, physical exam, neurological evaluations, cognitive and neuropsychological testing,CT's, MRI's and other brain scans, mental status exams, electroencephalograms, blood tests, psychiatric evaluations, and even some pre-symptomatic tests are available for some patients that may have a genetic link to dementia. Most treatments for dementia will neither reverse or stop the disease; however, there are treatments and medications that may reduce the symptoms and slow the disease progression; they are tight glucose control by persons with diabetes, intellectual stimulating activities, lowering cholesterol and homocysteine levels, regular exercise, education, controlling inflammation of body tissues, using NSAID's and possibly other medications. Introduction to Dementia A woman in her early 50s was admitted to a hospital because of increasingly odd behavior. Her family reported that she had been showing memory problems and strong feelings of jealousy. She also had become disoriented at home and was hiding objects. During a doctor's examination, the woman was unable to remember her husband's name, the year, or how long

she had been at the hospital. She could read but did not seem to understand what she read, and she stressed the words in an unusual way. She sometimes became agitated and seemed to have hallucinations and irrational fears. This woman, known as Auguste D., was the first person reported to have the disease now known asAlzheimer's disease * (AD) after Alois Alzheimer, the German doctor who first described it. After Auguste D. died in 1906, doctors examined her brain and found that it appeared shrunken and contained several unusual features, including strange clumps of protein called plaques and tangled fibers inside the nerve cells. Memory impairments and other symptoms of dementia, which means "deprived of mind," had been described in older adults since ancient times. However, because Auguste D. began to show symptoms at a relatively early age, doctors did not think her disease could be related to what was then called "senile dementia. "The word senile is derived from a Latin term that means, roughly, "old age." It is now clear that AD is a major cause of dementia in elderly people as well as in relatively young adults. Furthermore, we know that it is only one of many disorders that can lead to dementia. The U. S. Congress Office of Technology Assessment estimates that as many as 6.8 million people in the United States have dementia, and at least 1.8 million of those are severely affected. Studies in some communities have found that almost half of all people age 85 and older have some form of dementia. Although it is common in very elderly individuals, dementia is not a normal part of the aging process. Many people live into their 90s and even 100s without any symptoms of dementia. Besides senile dementia, other terms often used to describe dementia include senility and organic brain syndrome. Senility and senile dementia are outdated terms that reflect the formerly widespread belief that dementia was a normal part of aging. Organic brain syndrome is a general term that refers to physical disorders (not psychiatric in origin) that impair mental functions. Research in the last 30 years has led to a greatly improved understanding of what dementia is, who gets it, and how it develops and affects the brain. This work is beginning to pay off with better diagnostic techniques, improved treatments, and even potential ways of preventing these diseases. What Is Dementia? Dementia is not a specific disease. It is a descriptive term for a collection of symptoms that can be caused by a number of disorders that affect the brain. People with dementia have significantly impaired intellectual functioning that interferes with normal activities and relationships. They also lose their ability to solve problems and maintain emotional control, and they may experience personality changes and behavioral problems such as agitation, delusions, and hallucinations. While memory loss is a common symptom of dementia, memory loss by itself does not mean that a person has dementia. Doctors diagnose dementia only if two or more brain functions - such as memory, language skills, perception, or cognitive skills including

reasoning and judgment - are significantly impaired without loss of consciousness. There are many disorders that can cause dementia. Some, such as AD, lead to a progressive loss of mental functions. But other types of dementia can be halted or reversed with appropriate treatment. With AD and many other types of dementia, disease processes cause many nerve cells to stop functioning, lose connections with other neurons, and die. In contrast, normal aging does not result in the loss of large numbers of neurons in the brain. INSOMNIA IN ELDERLY What is it? Insomnia (in-som-nee-uh) is having trouble getting to sleep or staying asleep. Insomnia is also the feeling that you are not getting enough sleep. People over 65 years of age are more likely to have problems with sleep. Adults need 7 1/2 to 8 hours of sleep each night. As people age their need for sleep actually stays the same or only decreases slightly (6 1/2 to 7 hours a night). Normal sleep happens in several stages. There are times in the night when you sleep lightly and do not dream. There are also periods of deep, dreamless sleep. Throughout the night you have several periods of active dreaming called REM (rapid eye movement) sleep. But, sleep patterns change as we grow older. The amount of time you spend in each type of sleep changes. OVERVIEW Elderly insomnia is a common complaint, both short term and long term (chronic). It is important to seek professional medical assistance to resolve the issue as it can lead to other health problems. Sleep is an important aspect of maintaining a healthy lifestyle as our bodies need time to rest and recover. A lack of sleep can also cause difficulties that are similar to symptoms of Alzheimer's disease: decreased response time, increased falls risk, decreased memory, attention and cognitive performance. Changes in the sleep cycle that occur with age are one cause. Disturbed sleep may also be a symptom that reflects a more serious underlying medical concern. It may also accompany physical and emotional issues that are correctable or will resolve with time. CAUSES Insomnia is often a symptom of another health condition. It's important the health care professional looks for the underlying cause of the sleep problem and treats that condition. The first task is usually to determine the duration of the insomnia: Short term (less than 3 weeks) or long-term (more than 3 weeks) problem. Then, determining the cause of the insomnia and treating the problem if possible. If the problem remains, a non-pharmacologic treatment should be implemented. Short-term elderly insomnia may be caused by acute stress, pain, environmental changes,

medications, stimulants, or withdrawal of sedatives. If the cause cannot be resolved with this method, doctors will typically treat with medication on a short-term basis. Long-term elderly insomnia is more common. There are a wide variety of causes including: Psychiatric disorders, such as conditioned insomnia Alcohol and substance abuse Depression and anxiety Chronic pain Nocturia Many medical disorders such as congestive heart failure, hyperthyroidism, rheumatologic diseases, dementia, Parkinson's disease, chronic obstructive pulmonary disease (COPD), asthma, and gastroesophageal reflux disease (GERD). The senior should be evaluated for these psychiatric and medical causes. Depression is a common cause of elderly insomnia (most often resulting in early awakening) and is best treated with drugs that have sedative side effects. Anxiety is the most common psychiatric common cause of elderly insomnia. These seniors experience difficulty falling asleep. NON-PHARMACOLOGICAL TREATMENTS The first line of action for treating elderly insomnia should be non-pharmacological methods. These methods include: Sleep hygiene must be taught to the senior and his or her family. Going to bed and waking up at the same time every day. Help establish an evening routine for the senior to help them go to sleep. Instruct the senior to avoid long periods of wakefulness in bed, and to not use the bed except for sleep and sex. Instruct the patient to avoid napping. Explain that exercise is important, but should be avoided close to bedtime. Explain that caffeine, alcohol, and smoking should be avoided. Stress management and relaxation therapy can also be helpful, especially if the senior is a worrier. Many herbal treatments are also available although there is not strong evidence to support effectiveness. PHARMACOLOGICAL TREATMENT OPTIONS When medications are needed - after non-pharmacological options have been tried - those that have FDA indication for insomnia include barbiturates (pentobarbital, phenobarbital, secobarbital), benzodiazepines (quazepam [Doral], temazepam [Restoril], triazolam [Halcion]), zaleplon (Sonata), and zolpidem (Ambien). Barbiturates are rarely used for elderly insomnia because they are dangerous, habit-forming,

and have many CNS adverse effects including agitation, confusion, hyperkinesia, ataxia, nightmares, nervousness, hallucination, dizziness, and thinking abnormality. Benzodiazepines are commonly used with adults. However, they are dangerous in the elderly. Elderly who take benzodiazepines are at an increased risk of serious adverse effects including oversedation, dizziness, weakness, unsteadiness, increased falls, mental confusion, dependence with withdrawal symptoms, lack of recall of events while on medication, amnesia, memory impairment, disorientation, nausea, change in appetite, headache, sleep disturbance, and agitation. Zolpidem is a newer and safer treatment for short-term insomnia and should be used for 1month-maximum. However, many seniors end up taking it for years. It can cause depression, behavioral changes, decreased respiratory function, dizziness, daytime drowsiness, drugged feelings, amnesia, diarrhea, headache, and nausea. Zaleplon is the newest drug for short-term treatment of insomnia. It is very short-acting (2-4 hours). Zaleplon's adverse effects include drowsiness, dizziness, hallucination, tremor, vertigo, amnesia, paresthesia, depressed respiratory function, anorexia, and depersonalization. Zaleplon is useful for people who have an occasional problem falling asleep or waking up during the night, and for people who travel through time zones. However, these are not the usual complaints of the elderly. Antihistamines are commonly used as treatment for elderly insomnia, though this is not an FDA indication. Diphenhydramine (Benadryl) is the active ingredient in over-the-counter sleep preparations such as Tylenol PM and others. Its use in the treatment of insomnia in the elderly is not recommended. URINARY INCONTINENCE Urinary incontinence is loss of bladder control. Symptoms can range from mild leaking to uncontrollable wetting. It can happen to anyone, but it becomes more common with age. Most bladder control problems happen when muscles are too weak or too active. If the muscles that keep your bladder closed are weak, you may have accidents when you sneeze, laugh or lift a heavy object. This is stress incontinence. If bladder muscles become too active, you may feel a strong urge to go to the bathroom when you have little urine in your bladder. This is urge incontinence or overactive bladder. There are other causes of incontinence, such as prostate problems and nerve damage. Treatment depends on the type of problem you have and what best fits your lifestyle. It may include simple exercises, medicines, special devices or procedures prescribed by your doctor, or surgery. BACKGROUND Urinary incontinence is defined by the International Continence Society as the involuntary loss of urine that represents a hygienic or social problem to the individual.[1] Urinary incontinence can be thought of as a symptom as reported by the patient, as a sign that is demonstrable on

examination, and as a disorder. Urinary incontinence should not be thought of as a disease, because no specific etiology exists; most individual cases are likely multifactorial in nature. The etiologies of urinary incontinence are diverse and, in many cases, incompletely understood. Patients with urinary incontinence should undergo a basic evaluation that includes a history, physical examination, and urinalysis (see Clinical). Additional information from a patient's voiding diary, cotton-swab test, cough stress test, measurement of postvoid residual (PVR) urine volume, cystoscopy, and urodynamic studies may be needed in selected patients (see Workup). Videourodynamic studies are the criterion standard for the evaluation of an incontinent patient but are typically reserved to evaluate complex cases of stress urinary incontinence. Videourodynamic studies combine the radiographic findings of a voiding cystourethrogram and multichannel urodynamics. Go toUrodynamic Studies for Urinary Incontinence for more information on this topic. Types of urinary incontinence Four types of urinary incontinence are defined in the Clinical Practice Guideline issued by the Agency for Health Care Policy and Research: stress, urge, mixed, and overflow. Some authors include functional incontinence as a fifth type of incontinence.[2, 3, 4, 5] Stress incontinence is characterized by urine leakage associated with increased abdominal pressure from laughing, sneezing, coughing, climbing stairs, or other physical stressors on the abdominal cavity and, thus, the bladder.[2, 6, 5] Urge urinary incontinence is involuntary leakage accompanied by or immediately preceded by urgency. Mixed urinary incontinence is a combination of stress and urge incontinence; it is marked by involuntary leakage associated with urgency and also with exertion, effort, sneezing or coughing. Functional incontinence is the inability to hold urine due to reasons other than neuro-urologic and lower urinary tract dysfunction. Other terms describing urinary incontinence are as follows: Enuresis - Involuntary loss of urine Nocturnal enuresis - Loss of urine occurring during sleep Continuous urinary incontinence - Continuous leakage Successful treatment of urinary incontinence must be tailored to the specific type of incontinence and its cause (see Treatment). The usual approaches are as follows: Stress incontinence - Surgery, pelvic floor physiotherapy, anti-incontinence devices, and medication Urge incontinence - Changes in diet, behavioral modification, pelvic-floor exercises, and/or medications and new forms of surgical intervention Mixed incontinence - Anticholinergic drugs and surgery Overflow incontinence - Catheterization regimen or diversion

Functional incontinence - Treatment of the underlying cause Historical context Urinary incontinence in women is not a recent medical and social phenomenon, but the relative importance attributed to urinary incontinence as a medical problem is increasing. Several factors responsible for the increased attention to incontinence can be cited. First, women are more willing to talk openly about this disorder. Women are realizing that, in most cases, urinary incontinence is a treatable condition. Consequently, less embarrassment and fewer social stigmas are associated with the diagnosis. Second, as the population ages, incontinence becomes a more frequent concern. Urinary incontinence often is the chief reason for institutionalization of elderly people. Third, interest in urinary incontinence disorders within the medical community is surging. This increased interest is arising among basic scientists, clinical researchers, and clinicians. The subspecialties of urogynecology and female urology are emerging, and structured fellowships are in the credentialing process. As a direct result of this increased interest, the public is becoming more aware of the problem and more active and educated about incontinence. Patient advocacy groups provide patients access to information, incontinence products, and physicians who have interest or special expertise in these disorders. In the last decade, funding opportunities for incontinence research have increased vastly. Subspecialty professional organizations and journals are now active. Important contributions to the understanding of the structure and functioning of the lower urinary tract include an improved understanding of the anatomy and dynamic functioning of the pelvic floor and its contribution to continence. In addition, much study has been conducted to bolster the understanding of the neurophysiology of the bladder, urethra, and pelvic floor. Finally, interest in the diagnosis and treatment of incontinence is ongoing. The discipline of urodynamic testing is a burgeoning field but remains in its scientific infancy. Techniques of dynamic imaging of the pelvic floor and lower urinary tract, along with electrophysiologic testing, hold much promise in improving the understanding of continence mechanisms and ensuring accurate diagnoses. Exciting advances in surgical, nonsurgical, and pharmacologic treatments for incontinence are reported commonly in the literature. The future ability of physicians to diagnose and treat urinary incontinence appears to be bright. Still, much more progress is needed. An estimated 50-70% of women with urinary incontinence fail to seek medical evaluation and treatment because of social stigma. Only 5% of individuals who are incontinent and 2% of nursing home residents who are incontinent receive appropriate medical evaluation and treatment. Patients who are incontinent often cope with this condition for 6-9 years before seeking medical therapy. In a 1997 survey of primary care physicians, about 40% reported that they sometimes, rarely, or never ask patients about incontinence. More than 40% of internists and family practitioners routinely recommended absorbent pads to their patients as a solution to incontinence

disorders.[7] Continued education of the public and medical professionals is needed to improve the care rendered to individuals with urinary incontinence. In 1989, the National Institutes of Health Consensus Development Conference estimated the annual cost of urinary incontinence in the United States to be $12.4 billion. Some experts believe that this is a conservative estimate. True costs can be difficult to estimate because many individuals do not come to the attention of medical specialists. A 2009 survey of women in a managed care population found that the prevalence of undiagnosed urinary incontinence was 53% in the preceding year.[8] Some individuals pay out of pocket for adult incontinence undergarments, absorbable pads, skin care products, deodorants, and increased laundry expenses. The psychosocial costs and morbidities are even more difficult to quantify. Embarrassment and depression are common. The affected individual may experience a decrease in social interactions, excursions out of the home, and sexual activity. The psychosocial impact on at-home caregivers, spouses, or family members rarely is considered. Kelleher et al developed a questionnaire to assess the quality of life of women with incontinence.[9] This questionnaire has proven to be easy to use, valid, and reliable. This tool may be a valuable adjunct to pretherapy and posttherapy assessment, as well as valuable in comparing the quality of life impact of different urodynamic diagnoses. references: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles http://www.transgenerational.org/aging/aging-process.htm http://www.rehabnurse.org/pdf/GeriatricsNutrition.pdf http://www.medicinenet.com/dementia/article.htm http://emedicine.medscape.com/article http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/urinaryincontinence.html http://www.caring-for-aging-parents.com/elderly-insomnia.html http://www.drugs.com/cg/insomnia-in-the-elderly.html and some lectures in 8 block.

You might also like