You are on page 1of 15

Fullpaper SKIM 2013 INFORMAL LEADERS AND THE COMMUNITY DEVELOPMENT (Case Study: Mangrove Forest Conservation in Pasar

Banggi, Rembang, Central Java) Oleh: Purwowibowo A. Pendahuluan Pemimpin informal komunitas dapat memainkan peran sangat penting bagi pengembangan komunitas (community development) di level perdesaan, baik mulai merancang, mengimplementasikan, mengevaluasi dan mempertahankan hasil pembangunan. Hal ini disebabkan karena pemimpin informal mempunyai kemampuan mengorganisir dan menggerakkan anggota komunitas untuk mencapai visi dan merealisasikan tujuan yang ingin dicapai oleh komunitas. Artikel ini membahas tentang peran pemimpin informal sebagai agent pembangunan di level komunitas dan perannya dalam menggerakkan serta mengorganisir anggota komunitas. Pada gilirannya angggota komunitas mau berpartisipasi secara aktif dan mempunyai kemampuan untuk merancang sehingga dapat mewujudkan pengembangan komunitas yang bersangkutan. Pemimpin informal merupakan komponen penting dalam pengembangan komunitas di perdesaan, karena dengan kemampuan yang dimilikinya dapat menjadi tauladan dan contoh nyata dalam mewujudkan pengembangan komunitas yang berasal dari bawah (bottom-up community development). Dari studi kasus yang diteliti di wilayah penelitian, yakni Desa Pasar Banggi, Rembang, Jawa Tengah, dapatlah dirumuskan suatu pertanyaan penelitiannya yakni: Apa saja peran pemimpin informal sehingga pengembangan komunitas (CD) dalam memulihkan dan melestarikan hutan mangrove di desa Pasar Banggi dapat berhasil diwujudkan baik? Sebelum membahas tentang permasalahan tersebut akan terlebih dahulu dibahas mengenai pengembangan komunitas perdesaan dan pemimpin informal.

B. Pengembangan Komunitas (Community Development) di Perdesaan Pendekatan pembangunan di negara-negara sedang berkembang terus mengalami perubahan sejak tahun 1950-an, pendekatan-pendekatan silih berganti menjadi arus utama dalam pelaksanaan pembangunan masyarakat. Di dalam perspektif Ilmu Kesejahteraan Sosial, pembangunan masyarakat dikenal dengan istilah pengembangan komunitas (Community Develpoment). Pada era 1980-an
1

(Korten, 1984), mengemukakan bahwa

pengembangan komunitas merupakan suatu pendekatan pembangunan yang berpusat pada masyarakat atau orang (people centered development) dan kemudian menjadi arus utama pendekatan pembangunan sampai sekarang. Menurut Sutomo (2011: 65-66), model pendekatan demikian, masyarakat secara keseluruhan sampai komunitas terbawah, diberi peluang dan kewenangan dalam pengelolaan pembangunan termasuk dalam proses pengambilan keputusan sejak identifikasi masalah dan kebutuhan, perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan sampai dapat menikmati hasil pembangunan. Paradigma demikian sesungguhnya bisa dimaknai sebagai reaksi atas pendekatan modernisasi yang menekankan pertumbuhan ekonomi, yang dalam kenyataannya banyak mengalami distorsi atau kegagalan (Midgley, 1995). Oleh karena itu, pembangunan ekonomi harus selaras, seiring dengan pembangunan sosial agar distorsi pembangunan dapat diminimalisir. Hal tersebut berkaitan dengan pendekatan yang digunakan lebih bersifat sentralistis, top-down, mengutamakan keseragaman (uniformitas), dan tidak melibatkan anggota komunitas. Sebaliknya asumsi yang digunakan dalam paradigma pengembangan komunitas adalah bahwa masyarakat atau komunitas yang paling tahu kebutuhannya sendiri. Jika mereka tidak dilibatkan dalam proses pembangunan tidak bisa dipungkiri bahwa pembangunan tidak menyentuh kebutuhan dasar mereka, yang pada akhirnya banyak yang gagal di tengah jalan (Sutomo, 2011). Oleh karena itu, antitesis dari perspektif sebelumnya adalah pembangunan yang berpusat pada manusia, yakni sebelumnya bersifat sentralistik harus diubah menjadi desentralisasi, top-down menjadi bottom-up, uniformity menjadi variasi lokal, sistem komando menjadi proses belajar, ketergantungan menjadi keberlanjutan, social exclution menjadi social inclusion, dan improvement menjadi transformation (Sutomo, 2011: 71-88). Dalam konsep Ilmu Kesejahteraan Sosial, pembangunan yang berpusat pada manusia dapat dimaknai sebagai pengembangan komunitas, karena di dalamnya mencakup pengembangan individu, pengembangan kelompok, dan masyarakat atau disebut juga pengembangan manusia. Barbara dan Hodge (1969) membuat batasan pengembangan komunitas sebagai berikut: Community Development is a movement designed to promote better living for the whole community with the active participation and on the initiative of the community. Inti sari dari pengembangan komunitas tersebut sesungguhnya ditekankan pada proses, bukan pada hasil. Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh Kenny (2007: 10) tentang pengembangan komunitas sebagai berikut:

Community Development refer to processes, tasks, practice and visions for empowering communities to take collective responsibility for their own development. The aim of Community Development is to enable communities to have effective control of their own destinies. Effective control requires the development of ongoing structures and processes by which communities can indentify and addres their own issues, needs and problems within their own terms of reference. Effective community control requires adequate resources, including income, material resources and knowledge and a strong skills base. Berlandaskan atas batasan yang disampaikan oleh dua pakar, strategi pengembangan komunitas penekanannya terhadap pemberdayaan sebagai suatu proses untuk membantu orang agar mereka mampu mengatasi masalah kehidupannya sendiri (help them-selves). Adam (1996, p.5) mengatakan pemberdayaan adalah: suatu sarana bagi individu, kelompok, dan komunitas menjadi lebih mampu untuk mendayagunakan lingkungannya guna mencapai tujuan yang ingin dicapainya. Dalam pendekatan teori dan praktik pengembangan komunitas, Popple (1996), menekankan pendekatan pruralis yang merupakan perspektif politik yakni melawan signifikansi umum bagi kelompok penekan dan kelompok kepentingan dalam melakukan pembelaan dengan memusatkan pada kekuatan dan pengaruh. Perspektif ini yakin bahwa di dalam komunitas terdapat banyak sekali kelompok kepentingan, seperti kelompok keagamaan, organisasi perdagangan, partai politik, kelompok penekan, yang berkolaborasi dengan berbagai kekuatan yang ada di pemerintahan pusat. Kesemuanya berbagi

keseimbangan di dalam bersaing untuk mendapatkan kepentingannya melalui kekuasaan sehingga dapat berdampak pada kebijakan, serta tidak ada dominasi yang terlalu kuat dari mekanisme pemerintahan. Di dalam pengembangan komunitas, Kenny (2007), memberikan penjelasan tentang model strategi pengembangan komunitas dengan menyediakan contoh nyata yakni bagaimana mengorganisir ketrampilan dan kekuatan masyarakat dalam rangka ambil bagian dalam mengendalikan komunitasnya. Pengembangan komunitas demikian dimaksudkan untuk mengembangkan struktur baru, sumberdaya, dan proses yang anggota komunitas dapat mengidentifikasi dan menempatkan masalah, kebutuhan, dan problem yang dihadapinya sendiri. Sedangkan Ife dan Frank Tesoriero (2008: 241-260), dalam kaitannya dengan

pengembangan komunitas lebih menekankan kearifan lokal (local genius) yakni: (1) menghargai pengetahuan lokal; (2) menghargai kebudayaan lokal; (3) menghargai sumber daya lokal; (4) menghargai ketrampilan lokal; (5) menghargai proses lokal; (6) bekerja dalam solidaritas.

Reaksi terhadap pengembangan komunitas di dalam memulihkan dan melestarikan lingkungan oleh Ife dan Tesoriero (2008); Zhang (2011), disebutnya dengan reaksi green, yakni suatu tindakan untuk memulihkan lingkungan yang mengalami degradasi tidak harus menggunakan teknologi canggih, tetapi yang diperlukan adalah teknologi tepat guna yang berasal dari masyarakat lokal dan ramah lingkungan. Selain itu, juga harus menyertakan partisipasi warga komunitas, karena warga komunitaslah yang mempunyai kepentingan langsung terhadap kelestarian lingkungan. Pudjianto (2009), menjelaskan pentingnya partisipasi masyarakat nelayan dalam memulihkan hutan mangrove, karena nelayanlah yang menikmati dampak langsung dari pulihnya lingkungan hutan mangrove. Dengan pulihnya hutan mangrove, maka sumber daya alam yang berupa ikan, udang, dan berbagai biota laut lainnya mudah didapatkan oleh nelayan.

C. Pemimpin Informal Komunitas Pemimpin informal disebut juga dengan agen pembangunan atau agen perubahan sosial (agents of social change), karena pemimpin informal adalah orang yang berpartisipasi secara langsung di tengah komunitas, dapat memberikan inspirasi untuk melakukan perubahan dan memobilisasi sumber daya yang ada di dalam komunitas. Untuk mencapai tujuan suatu komunitas seorang pemimpin informal berfungsi mengorganisir hubungan anggota komunitas agar dapat didayagunakan secara maksimal, efektif dan efisien sebagai sumber daya. Oleh karena itu, kepemimpinan yang dikendalikan oleh pemimpin informal sangat penting dan diperlukan di dalam suatu pengembangan komunitas. Peran pemimpin informal dapat mempengaruhi keberhasilan tujuan kelompok atau komunitas, seperti dikemukakan Foster (2008:16), dia mengatakan bahwa pemimpin informal adalah: informal leader is a person who influences the behaviour of others, even though he or she does not have a formal position of authority. He or she is generally recognized by peers to prosses some leadership capacity. Informal leader are sometimes referred to as authentic leaders, servant leaders, grassroots leaders, emergent leaders, volunteer leaders, or community leaders. Di dalam komunitas yang lebih luas, pemimpin informal juga mempengaruhi suatu keberhasilan dalam sosialisasi suatu program tertentu di dalam kerangka pengembangan komunitas. Washington-Otombre (2010), mengemukakan bahwa peran pemimpin informal di dalam lembaga lokal dapat memberikan pemahaman terhadap rumah-tangga (household)

untuk melakukan respon (tanggapan) terhadap perubahan lingkungan, yakni perubahan iklim dan kondisi wilayah yang berbeda-beda dalam rangka pengembangan komunitas di wilayah perdesaan Kenya. Pengembangan komunitas juga dilakukan oleh pemimpin informal (Foster 2008), yakni sebagai agen perubahan sosial (agents of social change), seperti praktik pembangunan yang dimainkan oleh pemimpin informal. Pemimpin informal mampu memberikan dorongan yang sangat kuat terhadap pembangunan komunitas, di mana pembangunan itu diselenggarakan. Posisi pemimpin informal di tengah komunitas adalah unik di dalam kerangka perspektif perubahan sosial di tingkat komunitas. Dia mempunyai kemampuan yang memadai secara individu dan anggota komunitas sangat respek terhadap perubahan sosial yang ditransformasikannya. Selain itu, pemimpin informal melekat (inherent) di dalam dirinya trust, kepemimpinan, pendidik, dan juga dapat memberikan inspirasi sehingga warga komunitas melakukan apa yang ditransformasikan kepadanya. Keberhasilan suatu program pembangunan dipengaruhi oleh basis modal sosial yang dimiliki pemimpin informal (Barlan, 2011). Modal sosial merupakan basis dominasi yang dimiliki oleh seseorang pemimpin informal untuk mempengaruhi orang lain,

memperjuangkan posisi atau sesuatu yang diinginkan. Pemimpin informal adalah individu yang mempunyai tujuan atau maksud tertentu dan ditunjukkan dalam bentuk tindakan untuk mempengaruhi masyarakat sekitarnya dan keberhasilannya tergantung modal sosial yang dimilikinya. Di dalam komunitas tradisional, pemimpin informal menurut Sudibyo (2006: 10), lebih bersifat paternalistik. Di dalam model ini pengambilan keputusan dalam suatu komunitas sangat dipengaruhi oleh tingginya peran pemimpin informal. Dalam masyarakat perdesaan yang paternalistik, pemimpin informal mempunyai peran vital dan sentral di dalam menentukan segala arah dan perkembangan kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Apapun yang dikatakan dan diinginkan pemimpin informal akan diikuti sepenuhnya (taken for granted) oleh anggota komunitasnya. Sedangkan sistem komando masih lebih efektif menggunakan sistem komando informal daripada formal. Sementara itu, di masyarakat modern-pun seperti di Jepang, keberadaan kepemimpinan informal masih sangat penting dan menentukan. Banyai (2009), mengatakan bahwa di Jepang, meskipun masyarakatnya telah mengalami kemajuan dan modern, ada suatu komunitas di pulau kecil yakni Himeshina masih sangat dipengaruhi oleh pemimpin informal mereka. Pemimpin informal mempunyai peran yang sangat besar di dalam merancang dan

mengimplementasikan kegiatan di dalam level komunitas kecil tersebut sehingga dapat berhasil dengan baik di dalam melestarikan lingkungannya. Pemimpin informal juga disebut sebagai komunikan, yakni sebagai mediator atau komunikator di dalam proses komunikasi pengembangan komunitas, khususnya di kawasan Pesisir Utara Jawa (Mahmud, 2007). Pemerintah dalam menyediakan sarana-prasarana di perdesaan sangat terbatas, sedang partisipasi masyarakat tidak selalu muncul dengan sendirinya, maka perlu terus-menerus didorong melalui suatu kegiatan komunikasi pembangunan yang dilakukan oleh pemimpin informal. Oleh karena itu, pemimpin informal disebut juga stakeholders pembangunan yang mampu mengkomunikasikan pengembangan komunitas melalui tahapan kegiatan komunikasi sejak perencanaan, pengorganisasian, penggerakan hingga pengawasan pembangunan. Selain itu, pemimpin informal di wilayah perdesaan dapat dijadikan pintu masuk (entry-point) dalam pengembangan komunitas di kawasan penyangga hutan (Suradisastra dan Priyanto, 2011). Sebagai komunikator dan mediator, Patton (2005), menambahkan bahwa pemimpin informal juga dapat berperan menjadi fasilitator, artikulator, dan motivator pengembangan komunitas perdesaan.

D. Peran Pemimpin Informal dalam Pengembangan Komunitas Dari hasil penelitian mengindikasikan bahwa faktor internal dan eksternal dari pemimpin informal dapat memperkuat perannya dalam pengembangan komunitas (community development). Keberadaan pemimpin informal di dalam pengembangan komunitas di desa Pasar Banggi tidak lepas dari dari pengakuan komunitas agar yang bersangkutan menjadi pemimpin di komunitasnya. Sebagai pemimpin di level komunitas kecil, dia dapat mengkomunikasikan visi komunitas secara langsung. Namun demikian, munculnya pemimpin informal bukan semata-mata dorongan dari anggota komunitas, tetapi yang lebih penting adalah bahwa seseorang telah mempunyai dasar yang melekat dalam dirinya bahwa dia mampu untuk menjadi seorang pemimpin informal. Pemimpin informal akan berusaha menyakinkan anggota komunitas bahwa apa yang dikomunikasikan tentang pentingnya hutan mangrove bagi mereka dapat diterima. Hutan mangrove bagi komunitas perdesaan merupakan visi yang harus diperjuangkan oleh seorang pemimpin informal bersama anggota komunitas. Selain itu, munculnya pemimpin informal ini sesungguhnya tidak didasari dan dibekali dengan pendidikan maupun ketrampilan tertentu, tetapi lebih merupakan proses
6

alamiah dari seorang untuk menjadi agent perubahan sosial di komunitasnya, sehingga akhirnya menjadi pemimpin informal. Sebagai agen perubahan sosial (social change agents), dia berusaha secara terus menerus untuk menyampaikan visi komunitasnya kepada seluruh anggota komunitas. Pemimpin informal berusaha mengajak dan memberi teladan tentang pengembangan komunitas yang ingin dikomunikasikan. Seseorang yang terindentifikasi sebagai pemimpin informal di dalam penelitian ini dapat disebut sebagai pemimpin informal asli (authentic informal leader). Disebut dengan pemimpin informal asli, manakala model kepemimpinannya dilandasi serta tumbuh-kembang dari dalam diri pemimpin informal itu sendiri dan biasanya muncul serta berada di tengahtengah komunitas kecil (Pielsticks, 2000). Selain itu, dia juga diakui oleh anggota komunitasnya mempunyai posisi yang unik, yakni dapat mengusulkan dan merancang

program pengembangan komunitas. Proses transformasi alamiah tersebut disampaikan kepada anggota komunitas yang merupakan visi ke depan komunitasnya. Hal demikian sesuai dengan apa yang ada dalam komunitas perdesaan pada umumnya di Indonesia, bahwa pemimpin informal mereka mampu menjadi mediator dalam rangka penyadaran anggota komunitas tentang hak dan kwajiban anggota komunitas sebagai warga negara. Selain itu, pemimpin informal penuh ide atau gagasan, kreatif, mampu memberikan harmoni, dan dapat memberikan sumbangan pemikiran yang konstruktif bagi pengembangan komunitas di wilayah perdesaan. Dari hasil penelitian pemimpin informal Authentic di dalam komunitas kriterianya sama dengan yang dikemukakan (Pielsticks, 2000), yakni ada 4 (empat) kriteria: (1) menyampaikan ide yang ditransformasikan secara terus menerus; (2) membangun jaringan hubungan; (3) membentuk komunitas untuk saling berbagai tentang nilai-nilai tertentu; (4) membantu meningkatkan kemampun anggota komunitas melalui pemberdayaan terhadap orang lain. Dari masing-masing kriteria tersebut akan digunakan untuk membahas tentang munculnya pemimpin informal di dalam komunitas yang menjadi tempat penelitian ini. Kriteria pertama, bahwa pemimpin informal di desa Pasar Banggi ini di dalam mengkomunikasikan tujuan pengembangan komunitas disampaikan secara terus menerus tentang pentingnya untuk memulihkan dan melestarikan hutan mangrove dapat melalui media formal dan informal. Media formal yang dimaksud adalah melalui pertemuanpertemuan anggota kelompok tani tambak Sidodadi Maju yang dibentuk bersama komunitas. Selain itu, pertemuan-pertemuan anggota masyarakat di tingkat desa juga dapat
7

digunakan untuk menyampaikan gagasannya tentang pengembangan komunitas. Sedangkan media informal adalah media dari kehidupan komunitas sehari-hari, yakni di tembak, di tempat pembibitan, dan berbagai tempat yang memungkinkan mengkomunikasikan visi komunitas. Dalam kenyataannya, kriteria pertama ini merupakan hal yang sangat penting bagi pemimpin informal karena untuk mengkomunikasikan visi baik formal maupun informal agar bisa diterima oleh semua anggota komunitas di semua tingkatan komunitas. Selain itu, pemimpin informal di level komunitas kecil pada umumnya memiliki kepercayaan dan pengetahuan yang cukup banyak tentang komunitas yang menjadi sasaran dari transformasi yang dilakukannya. Hal ini dikarenakan pemimpin informal tersebut berasal dan dibesarkan dalam komunitasnya, sehingga apa saja yang ada dan terjadi pada komunitasnya, dia telah mempunyai pengetahuan yang cukup dan memudahkannya untuk melakukan komunikasi pengembangan komunitas. Kemudian dalam kriteria kedua, bahwa pemimpin informal mampu membangun jaringan baik antar anggota komunitas maupun dengan komunitas lain yang lebih luas. Bahkan mampu membangun jaringan (modal sosial) dengan instansi pemerintah daerah sampai pusat, dengan perusahaan-perusahaan swasta, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan juga lembaga-lembaga penelitian dari berbagai perguruan tinggi. Dengan modal sosial demikian, maka pemimpin informal mampu memobilisasi aset-aset yang ada di luar komunitasnya berupa jaringan sosial makro dan mikro untuk kepentingan pengembangan komunitas di wilayah desanya. Dengan jaringan sosial pemimpin informal akan mudah dalam menggalang anggota komunitas untuk secara bersama-sama bekerja demi pengembangan komunitas. Jaringan sosial tersebut dapat mengikat (bonding), menjembatani (bridging), maupun jaringan sosial yang menghubungkan (Schenider, 2006). Dengan jaringan sosial yang ada pemimpin informal dapat mengorganisir modal sosial di komunitas sehingga dengan mudah dan mampu menggerakkan anggota komunitas dan berbagai anggota perkumpulan lainnya secara bersama-sama melakukan kegiatan pemulihan hutan mangrove. Kemudian kriteria ketiga dari (Pielsticks, 2000), yakni pemimpin informal mampu membentuk komunitas untuk saling berbagi nilai (values sharing). Dalam hal ini pemimpin informal mampu dan mau menghargai kemampuan anggota komunitas serta aset-aset yang ada. Apa yang dikemukakan didasarkan atas aset yang dimiliki komunitas (asset-based),
8

sehingga

pemimpin

informal

tersebut

dapat

dengan

mudah

mengkomunikasikan

pengembangan komunitas kepada seluruh anggota komunitas sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki serta dapat tukar menukar nilai dan ketrampilan masing-masing. Berdasarkan dengan nilai-nilai yang telah dibangun dan dikomunikasikan kepada anggota komunitas, maka pemimpin informal dapat dengan leluasa mendorong orang lain untuk saling menghargai dan menggunakan aset komunitas dengan benar dan baik untuk kepentingan bersama. Kriteria keempat, pemimpin informal adalah seseorang yang mampu membantu meningkatkan kemampun anggota komunitas melalui pemberdayaan terhadap orang lain (Pielsticks, 2000). Kriteria ini akan berdampak pada anggota komunitas. Hal ini disebabkan karena melalui pemberdayaan ini akan menjadi kunci keberhasilan pemimpin informal untuk dapat menggerakkan anggota komunitas guna ikut serta secara total di dalam pengembangan komunitas yang dicanangkan. Walaupun masing-masing anggota komunitas mempunyai aset yang berbeda untuk mendukung pengembangan komunitas, paling tidak untuk mencapai keberhasilan di dalam memulihkan dan melestarikan hutan mangrove di wilayah komunitasnya haruslah ada keterlibatan anggota komunitas secara keseluruhan. Sehubungan dengan kondisi nyata pemimpin informal dalam pengembangan komunitas di tempat penelitian, menunjukkan bahwa munculnya pemimpin informal tersebut disebut sebagai authentic informal leaders. Ciri authentic leaders adalah jika seseorang tersebut tingkah-laku yang ditunjukkan terhadap anggota komunitas kemudian diikuti oleh pengikutnya dengan penuh kesadaran (Pescosolido, 2001; Kouzes & Posner, 1988). Oleh karena itu, para pengikut akan selalu setia, karena pemimpin informal mereka selalu menunjukkan tingkah lakunya secara konsisten dengan harapan anggota komunitas dapat mengikuti apa yang menjadi tujuannya. Dengan model ini, maka pemimpin informal akan memperoleh keberhasilan dan dapat memberikan motivasi secara transparan kepada anggota komunitasnya. Selain sebagai authentic leader, pemimpin informal di tempat penelitian dapat dikategorikan sebagai pemimpin informal pembantu (servant informal leader). Pielsticks (2000), mengemukakan bahwa pemimpin informal pembantu, adalah seorang pemimpin yang melekat di dalam dirinya suka membantu orang lain. Secara alamiah di dalam dirinya selalu ingin membantu mereka yang mengalami kesulitan. Sebagai pemimpin pembantu, dia selalu menyediakan waktu luangnya untuk kepentingan anggota komunitas yang memerlukan
9

bantuan pemecahan masalah yang dihadapi. Dengan posisi unik dan berkedudukan sama dengan anggota komunitas, maka hambatan struktural antara dirinya dengan anggota komunitas tidak terjadi. Hal ini memudahkan untuk selalu berkomunikasi di antara mereka, sehingga masalah apapun yang dihadapi oleh anggota komunitas dapat dibantu dalam memecahkannya. Selain itu, sebagai pemimpin informal pembantu juga selalu berusaha untuk mencari peluang-peluang tertentu yang dapat memberikan tambahan kegiatan bagi keseluruhan anggota komunitas. Misalnya, pemimpin informal berusaha mencarikan berbagai sumber dana baik dari lembaga pemerintah maupun swasta yang bersedia menyisihkan dananya untuk digunakan dalam pemberdayaan komunitas. Dengan langkah ini, pemimpin informal berperan mencari peluang yang dapat dipergunakan sebagai media untuk menciptakan berbagai lapangan kerja anggota komunitas, sehingga keseluruhan anggota komunitas mendapatkan penghasilan tambahan untuk peningkatan kesejahteraannya. Selanjutnya pemimpin informal yang ada di daerah penelitian juga bisa disebut sebagai pemimpin yang berasal dari akar rumput (grassroots leader). W. K. Kellog (1999), memberikan batasan bahwa pemimpin informal akar rumput adalah seorang pemimpin yang motivasinya dilandasi oleh keinginan yang kuat untuk membantu orang lain, selalu memperjuangkan keadilan sosial, dan mempunyai pendirian yang kuat dalam

memperjuangkan kepentingan komunitas. Ada beberapa karakteristik khusus secara pribadi (personal) yang melekat di dalam diri seorang pemimpin informal, yang muncul bersamaan dengan proses terjadinya dan diakuinya seseorang menjadi pemimpin informal di komunitas. Beberapa karakteristik tersebut dapat diidentifikasi dari hasil penelitian lapangan ternyata berbanding lurus dengan kajian literatur yang telah dikemukakan sebelumnya mengenai pemimpin informal komunitas dan mempunyai fungsi-fungsi yang hampir sama dengan pekerja sosial komunitas (Adi, 2003). Pemimpin informal komunitas selalu melakukan komunikasi terhadap anggota komunitas secara efektif dan dilakukan secara terbuka. Hal ini didasarkan atas prinsip pengetahuan pemimpin informal tersebut kepada siapa dia berkomunikasi, kapan harus dilakukan, dan bagaimana menjalankan komunikasi terbaik. Kesemua karakteristik dari pemimpin informal secara internal tersebut merupakan karakteristik penting dari seorang pemimpin informal komunitas, sehingga merupakan kunci keberhasilannya di dalam
10

menjalankan misi transformatifnya, yakni memulihkan dan melestarikan hutan mangrove. Dengan kedudukan yang setara tersebut menjadikan anggota komunitas dan pemimpin informal dapat bertukar pikiran mengenai segala hal yang berkaitan dengan pengembangan komunitas. Selain itu, seorang pemimpin informal komunitas juga mempunyai keyakinan, kepercayaan diri, dan bisa dipercaya oleh anggota komunitas bahwa yang bersangkutan layak untuk mendapatkan kepercayaan itu. Pemimpin informal untuk dapat meyakinkan dan mendapatkan kepercayaan dari anggota komunitas tentang pentingnya hutan mangrove, rela ditertawakan, diejek, dicemooh, dan mendapat perlakuan negatif lainnya yang diberikan anggota komunitas. Hal ini disebabkan karena apa yang ditransformasikan belum menunjukkan adanya keberhasilan. Itulah sebabnya kepercayaan anggota komunitas terhadap pemimpin formal tidak begitu saja tumbuh dan berkembang. Kepercayaan dari anggota komunitas terhadap pemimpin informal harus dibangun terus menerus dengan memberikan contoh tentang penanaman batang mangrove terus dilakukan sampai tercapai keberhasilan. Dengan usaha keras sedikit demi sedikit dari tahun ke tahun tanaman mangrovenya dapat diwujudkan. Seiring dengan keberhasilan yang dicapai pemimpin informal di dalam mewujudkan tanaman mangrove, anggota komunitas juga mulai menaruh kepercayaan dan respek kepadanya. Sehingga apa yang dikomunikasikan, yakni pentingnya tambak-tambak yang terlindungi hutan mangrove, anggota komunitas mulai melakukan tindakan yang sama. Bahkan jika ada orang dari anggota komunitas maupun orang luar desa yang melakukan pengrusakan, mengambil batang kayu, mengambil propagul (biji mangrove), dan sumber daya lain yang ada di hutan mangrove, mereka secara bersama-sama untuk mencegahnya. Dengan modal sosial kepercayaan yang dibangun tersebut seorang pemimpin informal komunitas dapat melakukan transformasi dan dapat membantu kemampuan yang dimilikinya guna mencapai suatu keberhasilan program yang dicanangkan. Berdasarkan apa yang telah dilakukan, yakni keberhasilan di dalam mewujudkan hutan mangrove serta diikuti secara total partisipasi anggota komunitas, pada akhirnya di dalam diri pemimpin informal itu sekaligus tumbuh karisma. Karisma di sini adalah merupakan wujud diri (personality) atau aura dari seorang pemimpin informal, sehingga dengan aura itu sudah terbentuk apa yang ada di dalam dirinya ada tanda-tanda dapat dipercaya. Aura yang berupa karisma inilah yang oleh

11

(Pescosolidos, 2001) merupakan karakteristik (ciri) internal yang ada di dalam pemimpin informal komunitas. Pemimpin informal dalam mengkomunikasikan program pengembangan komunitas, yakni pemulihan dan pelestarian mangrove, sama maknanya dengan suatu proses belajar sosial bersama komunitas (communities collaborative social learning). Di sini seorang pemimpin informal bukan menjadi guru, yang lebih menguasai segala hal tentang pengembangan komunitas, tetapi lebih sebagai teman sesama anggota komunitas untuk belajar bersama. Oleh karena itu, yang dilakukan oleh pemimpin informal bukan menggurui, banyak bicara kurang kerja, tetapi justru banyak bekerja daripada bicara. Bekerja dan bekerja adalah contoh nyata yang langsung bisa disadap menjadi pengetahuan oleh anggota komunitas. Seorang pemimpin informal dalam komunitas yang menjadi penelitian ini, teridentifikasi sebagai pemimpin yang suka memberikan contoh nyata dengan bekerja. Menurut (Tapia et al., 2003) pemimpin informal demikian disebut sebagai pemimpin yang tumbuh dari bawah (grassroot leaders). Seorang pemimpin informal demikian pada dasarnya lebih mementingkan tindakan atau kegiatan, yakni dengan bekerja dan memobilisasi kegiatan bersama, dan tidak bergantung kepada posisi seseorang sebagai pemimpin informal. Dengan merujuk konsep-konsep di atas, pemimpin informal di tempat penelitian ini guna mencapai keberhasilan dalam proses, implementasi, dan menjaga hasil pengembangan komunitas lebih menekankan pada tindakan (aksi) atau kegiatan bersama daripada kegiatan seorang diri. Hal ini tentu berkaitan dengan luasnya area yang menjadi lahan penanaman mangrove tersebut. Oleh karena itu, hutan mangrove yang telah ada dan menjadi sabuk hijau (greenbelt) desa tersebut sudah bisa dipastikan sebagai hasil kerja bersama seluruh anggota komunitas. Pengembangan komunitas yang telah dapat diwujudkan tersebut tidak lain dari kerja keras pemimpin informal dan seluruh anggota komunitas di dalam memahami situasi dan kondisi yang ada di komunitasnya. Selain berdasarkan refleksi dari komunitasnya, seorang pemimpin informal juga menggunakan kapasitas di dalam dirinya yang ditunjukkan kepada anggota komunitas. Hal ini dapat dikatakan bahwa pemimpin yang tumbuh dari akar rumput (grassroot leaders), termotivasi oleh adanya keinginan dan kesadaran untuk membantu orang lain melalui pengorbanan-pengorbanan. Dengan demikian sesungguhnya pemimpin informal komunitas ini telah mempraktikan prinsip dan nilai-nilai dasar pekerajaan sosial (practice of
12

socialwork values and ethics). Pemimpin informal komunitas yang ada di tempat penelitian ini mengindikasikan telah menjalankan praktik pekerjaan sosial, yang demikian itu (Adi, 2003), menyebutnya sebagai pekerja sosial komunitas (community social worker). Prinsip dasar dalam praktik pekerjaan sosial komunitas adalah selalu ingin membantu orang lain, agar mereka (anggota komunitas) dapat menyelesaikan masalahnya sendiri (help themselves). Pemimpin informal komunitas tidak sekadar sebagai agen perubahan sosial, tetapi seorang pemimpin informal adalah transformator pengembangan komunitas. Hal ini dapat dipahami bahwa seorang yang telah melakukan perubahan sosial terhadap orang lain, kemudian juga melakukan kegiatan untuk memobilisasi anggota komunitas dan aset komunitas. Oleh karena itu, pemimpin informal komunitas juga melakukan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan pemberian motivasi, mendidik, dan menggerakkan anggota komunitas untuk berpartisipasi dalam kegiatan pengembangan komunitas. E. Kesimpulan Pemimpin informal komunitas mempunyai peran dan fungsi penting di dalam pengembangan komunitas di perdesaan. Pengembangan komunitas yang selama ini dirancang dari atas (top-down), seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan komunitas setempat. Oleh karena itu, pengembangan komunitas yang tumbuh dan berkembang dan yang diprakarsai oleh pemimpin informal komunitas dari masyarakat lokal itu sendiri justru menunjukkan keberhasilan. Sehingga model ini dapat disebut sebagai pengembangan komunitas murni (bottom-up model). Pemimpin informal komunitas dapat sukses dalam mewujudkan pengembangan komunitas ini, karena yang bersangkutan di dalam menjalankan visi dan misinya dilandasi dengan prinsip-prinsip dasar yakni: kerja keras, selalu ingin menjadi pelayanan yang baik, pendidik, motivator, bekerja sepenuh hati, selalu memberi contoh, bukan menggurui, dan ikhlas, sehingga yang bersangkutan di dalam menjalankan praktik kepemimpinannya diikuti dan didukung seluruh anggota komunitas di dalam kerangka pengembangan komunitas perdesaan. DAFTAR PUSTAKA Adam, R. (1996). Social Work and Empowerment. London: MacMillan. Adi, Isbandi Rukminto. 2003. Pemberdayaan, Pengembangan Komunitas, dan Intervensi Komunitas. Jakarta: Fakultas Ekonomi Press. Universitas Indonesia.

13

Banyai, Cindy. (2009). Community Leadership: Development and The Evolution of Leadership in Himeshima. Juornal of eContent Management Pty Ltd Rural Society. (2009) 19:3 241261 Barbara, David and Peter Hodge. (1969). Community Development, an Interpretation. Chicago: Chander Publising Company. Barlan, Zessy Ardinal. (2011). Pengaruh Pemimpin Lokal Terhadap Keberhasilan Program Pembangunan (Studi Kasus : Pembangunan Saluran Irigasi dan Sarana Mandi Cuci Kakus (MCK) dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan Desa Dramaga, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Disertasi. Bogor: IPB. Fakultas Ekologi Manusia, Program Studi Komunikasi dan Pembangunan Komunitas. http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/51855 Foster, Megan. (2008). Informal Leadership in Community-Driven Development: Implications for Transformation.ProQuest Dissertations and Theses: The Humanities and Social Sciences Collection pg. n/a. Ife, Jim and Frank Tesoriero. (2008). Community Development, Alternatif Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kenny, Susan. 2007. Developing Communities, For The Future, Australia: Nelson Thomson. Kouzes, J.M. and Posner B.Z. (1988). Relating Leardership and Credibility. Psychological Report. 63. P.527-530. Korten, David C. 1984. People Centered Development, Contribution toward Theory and Planning Frameworks . USA. Kumarian Press. Mahmud, Amir. (2007). Model Komunikasi Pembangunan Dalam Penyediaan Prasarana Perdesaan di Kawasan Pesisir Utara Jawa Tengah (Studi Kasus Desa Morodemak dan Purwosari Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Masters Thesis. Semarang: Program Pascasarjana Universitas Diponegoro. Midgley, James. (1995). Social Development : The Development Perspective in Social Welfare (page 1-36). London: Sage Publication. Patton, Andri. (2005). Efektivitas Pemimpin Informal di Daerah Perbatasan Kabupaten Malinau Kalimantan Timur dengan Serawak Malaysia Timur. Jurnal Aplikasi Manajemen. Volume 3. Nomor 3. Samarinda: FISIP Universitas Mulawarman. Desember 2005. Pescosolido, A.T. (2001). Informal Leader and the Development of GroupEfficacy.Small Group Research. 32(1) 74-93. Retrieved May 8, 2006. From ProQuest database. Pielstick, D. (2003). Authentic Leading: Where the blue sky hits the road. Longmont, CO: Rocky Mountain Press. Popple, Keith. (1995) Analysing Community Work, Its Theory and Practice. Buckingham: Open University Press. Pudjianto, Kuat. (2009). Partisipasi masyarakat dalam rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumber daya air di Sub DAS Keduang, daerah hulu DAS Bengawan Solo: IPB Bogor. Agricultural University Scientific Repository. http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/43539 Schneider, Jo Anne. (2006). Social Capital and Welfare Reform, Organizations, Congregations, and Communities. New York: Columbia University Press. Sudibyo, Djoko, (2006). Pemberdayaan Informal Leader Terhadap Partisipasi Masyarakat Dalam Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan. Jurnal Ilmiah Pariwisata. Juli 2006. Volume 11 No. 2. Soetomo. (2011). Pemberdayaan Masyarakat, Mungkinkah Muncul Antitesisnya? Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
14

Tapia, M. Underwood C. And Jabre B. (2003). Emerging Leader in the Near East. Case studies form Egypt. Jordan, Lebanon and Palestine. Baltimore. MD. Johns Hopkins University Center for Communication Programs. Working Paper. Washinton-Ottombre, Camille. (2010). The Role of Local Institutions in Shaping Household Responses to Climate Change and Variability: a Case Study along the Slopes of Mt. Kenya Purdue University Gradyate School West Lafayette, Indiana W. K. Kellogg Foundation. (1999). Grassroot Leader: Growing Healty and Sustainable Communities. Battle Greek. Zhang, Xiaoling; Liyin Shen; Yuzhe Wu. (2011). Green Strategy for Gaining Competitive Advantagein Housing Development: A China Study. Journal of Cleaner Production. Vol. 19. Issue 2 3. Pages 157 167. January-February 2011. Bandung, 25 Oktober 2013 Purwowibowo

15

You might also like