You are on page 1of 27

MAKALAH TOLERANSI DALAM ISLAM

TOLERANSI DALAM PERSPEKTIF AL-QURAN DAN SUNNAH (Upaya Mewujudkan Tatanan Kehidupan yang Harmonis Ditengah Pluralisme)

A. PENDAHULUAN Kemunduran dunia Islam yang masih terus berlangsung hingga saat ini, tidak dapat dipungkiri, telah berdampak negatif terhadap kondisi umat Islam secara internasional. Kaum muslim di berbagai belahan dunia terus menjadi bulan-bulanan para musuh Islam (baca: jaringan Zionis internasional dan Barat), tanpa mampu memberikan perlawanan yang berarti. Meski sejak paruh terakhir abad keduapuluh penetrasi secara fisik (militer) terhadap wilayahwilayah Islam telah banyak menurun intensitasnya, namun tidak berarti umat Islam dapat bernapas lega. Ini dikarenakan para musuh Islam telah menyiapkan bentuk-bentuk penjajahan baru (new imperialism) yang efeknya tidak kalah mengerikan dari peperangan secara fisik. Hegemoni di bidang ekonomi, politik, budaya, dan pemikiran, yang terus dibangun oleh para penentang Islam tersebut, hanyalah sebagian, untuk sekedar menyebut contoh, dari bentuk-bentuk konspirasi mutakhir untuk tetap memposisikan kaum muslim sebagai pihak yang inferior. Terutama dalam bidang pemikiran, umat Islam pada saat sekarang tengah berada di pusaran arus perang pemikiran (al-ghazwu al-fikriy) yang dahsyat. Jaringan global musuh-musuh Islam gencar melakukan upaya pencucian otak terhadap umat Islam dengan cara menyerang konsep-konsep/ajaranajaran Islam di satu sisi, dan pada saat bersamaan mendesakkan konsepkonsep pemikiran mereka. Targetnya adalah menjadikan umat Islam secara perlahan-lahan terjauh, atau setidak-tidaknya mengalami pendangkalan pemahaman, dari ajaran-ajaran agamanya. Salah satu aspek ajaran Islam yang pada saat ini banyak mendapat sorotan tajam adalah konsep tentang pluralisme dan toleransi. Kaum Zionis dan Barat gencar mengkampanyekan bahwa Islam adalah agama yang anti toleransi dan kemajemukan. Mereka juga berusaha keras merusak citra Islam

dengan mengembangkan opini bahwa Islam dan umat Islam tidak menghargai kesetaraan hidup (equality of life) dan hak-hak asasi manusia. Upaya-upaya ini sangat membahayakan karena dilakukan secara sistematis dan

berkelanjutan. Guna mengantisipasi dampak negatif dari gelombang perang urat syaraf yang mencemaskan ini, tentunya sangat diperlukan usaha bersama segenap umat Islam untuk kembali berusaha menggali serta menghayati konsep Islam tentang toleransi yang kini sedang diusahakan untuk dikaburkan. Umat Islam, terutama generasi muda, harus diberikan pemahaman yang benar tentang konsepsi ini, sehingga ketidaktahuan atau keragu-raguan mereka tidak menjadi sasaran empuk propaganda keji Zionis dan Barat. Dalam kerangka inilah tulisan singkat ini dimaksudkan, atau, meminjam istilah Yusuf Qaradhawi, ia ditujukan untuk menjelaskan konsepsi yang sebenarnya (taudhh al-haqiq), menghilangkan keragu-raguan (izlah al-syubuht), serta meluruskan persepsi yang keliru (tashhh al-afhm). Dalam tulisan yang sangat sederhana berikut ini, penulis berusaha mengelaborasi secara tematis konsep Islam tentang toleransi dan pluralisme. Diawali dengan penjelasan seputar definisi, kemudian dilanjutkan dengan upaya untuk membuktikan bahwa Islam menerima pluralisme sekaligus memberikan jalan keluar dalam mensikapinya, yaitu dengan prinsip toleransi (tasmuh). Pada bagian akhir akan diuraikan secara komprehensif solusi dimaksud, sesuai dengan perspektif yang dimajukan al-Quran dan sunnah. B. PEMBAHASAN 1. Toleransi Dalam Pandangan Islam Kata toleransi sangat sulit untuk mendapatkan padanan katanya secara tepat dalam bahasa Arab yang menunjukkan arti toleransi dalam bahasa Inggris. Akan tetapi, kalangan Islam mulai membincangkan topik ini dengan istilah tasamuh. Dalam bahasa Arab, kata tasamuh adalah derivasi dari samh yang berarti juud wa karam wa tasahul dan bukan to endure without protest (menahan perasaan tanpa protes) yang merupakan arti asli kata-kata tolerance.

Dalam Islam, toleransi berlaku bagi semua orang, baik itu sesama umat muslim maupun non-muslim. Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya Ghair al-Muslimin fii al-Mujtama Al-Islami menyebutkan ada empat faktor utama yang meyebabkan toleransi yang unik selalu mendominasi perilaku umat Islam terhadap non-muslim, yaitu : a. Keyakinan terhadap kemuliaan manusia, apapun agamanya,

kebangsaannya dan kerukunannya. b. Perbedaan bahwa manusia dalam agama dan keyakinan merupakan realitas yang dikehendaki Allah SWT yang telah memberi mereka kebebasan untuk memilih iman dan kufur. c. Seorang muslim tidak dituntut untuk mengadili kekafiran seseorang atau menghakimi sesatnya orang lain. Allah sajalah yang akan menghakiminya nanti. d. Keyakinan bahwa Allah SWT memerintahkan untuk berbuat adil dan mengajak kepada budi pekerti mulia meskipun kepada orang musyrik. Allah juga mencela perbuatan dzalim meskipun terhadap kafir. Secara doktrinal, toleransi sepenuhnya diharuskan oleh Islam. Islam secara definisi adalah agama yang damai, selamat dan menyerahkan diri. Definisi Islam yang demikian seringkali dirumuskan dengan istilah Islam agama rahmatan lil aalamin (agama yang mengayomi seluruh alam). Artinya, Islam selalu menawarkan dialog dan toleransi dalam bentuk saling menghormati bukan memaksa. Islam menyadari bahwa keragaman umat manusia dalam beragama adalah kehendak Allah. Adapun salah satu bentuk toleransi dalam Islam adalah menghormati keyakinan orang lain. Islam menghormati umat Yahudi yang beribadah di hari Sabtu dan sama halnya kepada umat Kristen yang beribadah ke gereja pada hari Minggu. Toleransi dalam Islam pun telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari bahwa suatu ketika ada jenazah orang Yahudi melintas di tepi nabi Muhammad SAW dan para sahabat, seketika itu pula Nabi Muhammad SAW berhenti dan berdiri. Kemudian salah satu sahabat berkata : Kenapa engkau berhenti Ya Rasulullah?, sedangkan itu adalah jenazah orang Yahudi.

Nabi pun berkata : Bukankah dia juga manusia?. Hadits ini menunjukkan bahwa toleransi dalam perspektif Islam berlaku kepada semua manusia tanpa terkecuali, termasuk kepada orang yang beda agama. Namun, yang perlu ditekankan lagi ialah bentuk kemudahan dalam bermualamah bukan pemaksaan dalam hal keyakinan. Prinsip ini tercermin dalam sejarah Islam, ketika itu nabi Muhammad SAW mengutus Muadz dan Abu Musa untuk pergi ke Yaman. Salah satu nasehat Nabi kepada mereka berdua ialah mudahkanlah dan jangan kalian mempersulit. Untuk memahami konsep tasamuh lebih mendalam, tentu kita tidak dapat lepas dari conceptual network yang ada dalam ayat-ayat al-Quran. Sebab, konsep tasamuh tidak akan mudah dipahami tanpa dikaitkan dengan konsep-konsep dasar yang membentuk pandangan umum tentang konsep tasamuh. Secara umum, konsep tasamuh mengandung makna kasih sayang (ar-Rahmah), keadilan (al-Adalah), keselamatan (al-salam), dan ketauhidan (al-Tauhid). Konsep-konsep dasar inilah yang mengikat makna tasamuhdalam Islam. Dan masing-masing konsep tidak dapat dipisahkan karena semuanya memiliki makna yang saling terkait. Konsep tersebut merupakan ciri khas Islam yang mampu membedakan toleransi perspektif Islam dengan lainnya. Oleh karena itu, hendaknya pendidikan toleransi beragama diarahkan kepada konsep-konsep dasar (perspektif Islam) tersebut. Dalam kamus besar bahasa Indonesia toleransi berarti bersifat atau bersikap menghargai, membiarkan, membolehkan pendirian (pendapat, pandangan kepercayaan) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. (Pengertian Toleransi menurut Etimologi dan Terminologi) Sesesungguhnya toleransi merupakan salah satu diantara sekian ajaran inti dari Islam. Toleransi sejajar dengan ajaran fundamental yang lain, seperti kasih sayang (rahmah) kebijaksanaan (hikmah), kemaslahatan universal (al-Maslahah al-ammah), dan keadilan . Toleransi merupakan salah satu kebajikan fundamental demokrasi, namun ia memiliki kekuatan ambivalen yang termanivestasi dalam dua bentuk: bentuk solid dan bentuk demokratis. Menjadi toleran adalah

membiarkan atau membolehkan orang lain menjadi diri mereka sendiri, menghargai orang lain, dengan menghargai asal-usul dan latar belakang mereka. Toleransi mengundang dialog untuk mengkomunikasikan adanya saling pengakuan. Hakikat toleransi pada intinya adalah usaha kebaikan, khususnya pada kemajemukan agama yang memiliki tujuan luhur yaitu tercapainya kerukunan, baik intern agama maupun antar agama. Mengakui eksistensi suatu agama bukanlah berarti mengakui kebenaran ajaran agama tersebut. Kaisar Heraklius dari Bizantium dan alMukaukis penguasa Kristen Koptik dari Mesir mengakui kerasulan Nabi Muhammad saw, namun pengakuan itu tidak lantas menjadikan mereka muslim. Seorang ahli tafsir klasik terkemuka mengatakan, Din atau agama hanyalah satu, sementara syariat berbeda-beda. al-Syahrastani teolog Islam dan ahli terkemuka dalam perbandingan agama dalam Husein Muhammad menyampaikan pendapatnya, bahwa agama adalah ketaatan (al-Jaza), dan penghitungan pada hari akhir. Menurutnya, al-Mutadayyin (orang yang beragama) adalah orang Islam yang taat, yang mengakui adanya balasan dan perhitungan amal pada hari akhirat a. Definisi Toleransi dan Pluralisme Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata toleransi berarti sifat atau sikap toleran. Kata toleran sendiri didefinisikan (menghargai, sebagai bersifat atau bersikap pendirian menenggang (pendapat,

membiarkan,

membolehkan)

pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Kata toleransi sebenarnya bukanlah bahasa asli Indonesia, tetapi serapan dari bahasa Inggris tolerance, yang definisinya juga tidak jauh berbeda dengan kata toleransi/toleran. Menurut Oxford Advanced Learners Dictionary of Current English, toleransi adalah quality of tolerating opinions, beliefs, customs, behaviors, etc, different from ones own. Lebih lanjut menurut Abdul Malik Salman, kata tolerance

sendiri berasal dari bahasa latin tolerare yang berarti berusaha untuk tetap bertahan hidup, tinggal, atau berinteraksi dengan sesuatu yang sebenarnya tidak disukai atau disenangi. Dengan demikian, pada awalnya dalam makna tolerance terkandung sikap keterpaksaan.

Adapun dalam bahasa Arab, istilah yang lazim dipergunakan sebagai padanan dari kata toleransi adalah atau . Kata ini pada dasarnya berarti al-jd (kemuliaan), atau saat al-shadr (lapang dada) dan tashul (ramah, suka memaafkan). Makna ini selanjutnya berkembang menjadi sikap lapang dada/ terbuka (welcome) dalam menghadapi perbedaan yang bersumber dari kepribadian yang mulia. Dengan demikian, berbeda dengan kata tolerance yang mengandung nuansa keterpaksaan, maka kata tasmuh memiliki keutamaan, karena melambangkan sikap yang bersumber pada kemuliaan diri (al-jd wa alkaram) dan keikhlasan.

Jika dicermati dengan seksama, pemahaman tentang toleransi tidak dapat berdiri sendiri. Ia terkait erat dengan suatu realitas lain di alam yang merupakan penyebab langsung dari lahirnya toleransi. Keduanya ibarat dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Memahami toleransi an sich tidak akan ada artinya tanpa memahami realitas lain tersebut, yaitu kemajemukan (pluralisme; bahasa Arab: taaddudiyyah). Dengan demikian, untuk dapat bertoleransi dengan baik, maka pemahaman terhadap pluralisme terlebih dahulu mutlak diperlukan. Secara etimologis, kata pluralisme berasal dari bahasa Inggris plural yang berarti banyak (antonim dari kata singular).[10] Dalam perkembangannya, kata ini secara lebih spesifik ditujukan terhadap realitas masyarakat yang majemuk.[11] Artinya, masyarakat yang heterogen dalam satu aspek atau lebih, seperti dalam hal keturunan, pemikiran, tingkah laku, kepercayaan, adat istiadat, agama, dan

sebagainya. Kemajemukan ini lahir melalui proses-proses tertentu, disadari atau tidak, atau dikehendaki maupun tidak dikehendaki.

2. Secara

Penerimaan sosiologis, manusia

Islam merupakan

terhadap makhluk yang

Pluralisme bermasyarakat.

Kehidupannya di atas dunia ini bersifat dependen, dalam arti eksistensinya, baik secara individual maupun komunal, tidak bisa lepas dari campur tangan pihak lain. Al-Quran menyebut salah satu fase penciptaan manusia dengan alaq yang selain dapat dipahami sebagai keadaan berdempet pada dinding rahim juga pada hakekatnya menggambarkan bahwa manusia diciptakan dalam keadaan selalu bergantung pada pihak lain, atau dengan kata lain tidak dapat hidup sendiri.[12]

Di sisi lain, dunia yang dihuni manusia bukanlah dunia yang singular- seragam atau semacam. Sebaliknya, Allah menciptakannya penuh dengan keragaman dalam berbagai aspek, seperti lingkungan, atau spesies yang hidup didalamnya. Masing-masing hidup dalam kelompok yang saling berkaitan.[13] Muhammad Imarah menjelaskan bahwa segala sesuatu selain Allah merupakan objek dari keanekaragaman. Hanya Allah yang benar-benar merupakan satu kesatuan yang mutlak (true unity).[14]

Jika dicermati, Allah SWT sebenarnya banyak menyinggung masalah pluralisme dalam al-Quran. Dalam surat al-Rum (30): 22 misalnya, Allah SWT menyatakan bahwa manusia diciptakan dalam berbagai warna kulit dan bahasa.

(22 : ) Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui [15]

Selanjutnya dalam surat al-Hujurat (49): 13, Allah SWT juga menyebutkan penciptaan (:13) Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal[16] manusia ke dalam suku-suku dan bangsa-bangsa.

Bahkan, dengan redaksi yang lebih mempertegas eksistensi pluralisme, dalam surat al-Maidah (5): 48, Allah SWT kembali berfirman: 48)

(:

Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja),

tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan[17]

Pada ayat diatas Allah SWT menyatakan bahwa jika Dia menghendaki, maka semua manusia dapat saja dijadikan satu (seragam), baik secara fisik, pemikiran, bangsa, ideologi, bahkan agama. Sebagai contoh, jika Allah SWT menghendaki kesatuan pendapat pada seluruh manusia, maka niscaya diciptakan-Nya manusia itu tanpa akal, seperti layaknya binatang atau benda-benda tak bernyawa lainnya yang tidak memiliki kemampuan menalar, memilah, dan memilih. Akan tetapi hal tersebut tidak diinginkan-Nya. Kesan ketidakinginan ini tercermin dari penggunaan kata (harf) yang dalam ilmu kaedah bahasa Arab berarti pengandaian yang mengandung makna kemustahilan.[18]

Dengan memahami berbagai penjelasan diatas, maka dapat dikatakan bahwa sebenarnya dalam kacamata Islam, pluralisme di alam merupakan suatu kepastian/ keniscayaan , sama halnya dengan hukum-hukum alam lain yang diciptakan Allah SWT. Hukum-hukum ini diistilahkan al-Quran dengan sunnatullah, dimana tidak ada perubahan padanya (surat al-Ahzab (32): 62).

Sebagai sebuah sunnatullah, kemajemukan yang melandasi setiap sendi kehidupan manusia, tentu saja tidak terlepas dari latar belakang, sebab dan tujuan. Dari kutipan beberapa ayat diatas akan didapati kesan bahwa realitas tersebut sarat manfaat, tidak saja bagi manusia, namun juga bagi alam secara keseluruhan. Dalam surat al-Rum (30): 22 diatas, umpamanya, Allah SWT menyatakan bahwa kemajemukan merupakan salah satu tanda kebesaran dan manifestasi

kemahakuasaan-Nya.

Demikian juga pada surat al-Hujurat (49); 13 diterangkan bahwa dijadikannya manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa adalah dalam rangka taruf (saling mengenal). Akan tetapi, taruf yang dimaksud tentu saja tidak berhenti pada makna kebahasaan saja, yaitu keadaan saling mengenal, namun ditekankan kepada dampak turunannya yang lebih besar, yaitu saling mengenal kelebihan dan kekurangan masing-masing untuk kemudian saling bekerjasama dan mengambil manfaat (keuntungan). Hasilnya, akan timbul lompatan-lompatan kemajuan (taqaddum) dalam peradaban umat manusia itu sendiri.[19]

Tidak berhenti disitu, dalam ayat ketiga, Allah SWT menambah lagi deretan hikmah yang akan didapatkan manusia dengan Pluralisme, yaitu terciptanya iklim attasbuq f al-khairt (kompetisi dalam amal-amal kebaikan). Secara psikologis, jika seseorang berada dalam situasi yang plural, maka ia akan terdorong untuk berkompetisi dengan orang lain. Artinya, ia akan dihadapkan pada tantangan untuk menjadi lebih baik dari yang lain. Dinamika kehidupan yang seperti ini, pada akhirnya, akan menciptakan individu-individu, selanjutnya masyarakat, yang aktif, dinamis, dan kreatif. Kejumudan dalam kehidupan, pada hakikatnya menghinggapi manusia dikarenakan ia terlahir pada situasi masyarakat yang singular dan tidak memiliki spirit kompetisi .

3.Toleransi Ditengah Pluralisme dalam Tinjauan al-Quran dan Sunnah Suatu realitas yang sukar untuk dipungkiri bahwa pluralisme dalam masyarakat mesti sarat dengan gesekan-gesekan. Taruf atau interaksi sosial yang dijalin antar individu/ masyarakat, pada hakikatnya, sangat berpotensi melahirkan tarik ulur kepentingan yang bisa mengarah kepada hal-hal yang destruktif. Oleh karena itu, perbedaan-perbedaan, sebagai ciri khas masing-masing individu dan masyarakat, tersebut mesti disikapi secara positif dan konstruktif sehingga tidak merugikan diri sendiri. Dengan demikian, pluralisme membutuhkan aturan-aturan

main yang jelas untuk menjamin terpeliharanya kemaslahatan masing-masing pihak.

Dengan memahami hal diatas, tidaklah mengherankan jika al-Quran, yang memang diturunkan untuk mendorong terwujudnya kemaslahatan manusia- atau dalam ungkapan khas al-Quran ikhrju al-ns min al-dzulumt ila al-nr, sangat konsern dengan hukum-hukum yang mengatur hubungan antar manusia. Penggalan awal surat al-Mudassir, yang termasuk salah satu surat yang pertama kali turun, umpamanya, telah memuat hukum-hukum penting yang berkaitan dengan pemeliharaan keharmonisan dalam masyarakat.[20]

Dalam

kaitannya umat

dengan Islam

kemajemukan sebagai

ditengah ummatan

masyarakat, wasathan

al-Quran (umat

menggelari

pertengahan/moderat). Menurut Quraish Shihab, kata al-wasat sendiri pada awalnya berarti segala yang baik sesuai dengan objeknya. Sementara itu, sesuatu yang baik biasanya selalu berada diantara dua posisi ekstrim. Contohnya, keberanian adalah sifat pertengahan antara ceroboh dan takut, sementara kedermawanan merupakan pertengahan antara sifat boros dan kikir. [21] Dalam kaitannya dengan respon umat Islam terhadap pluralisme, al-Quran juga memberikan solusi jalan tengah. Tujuannya, agar umat Islam tetap terpelihara al-wasathiyah-nya. Solusi dimaksud adalah pertengahan antara sikap taashub (fanatisme) dan liberal, yang kemudian dikenal dengan istilah samhah atau tasmuh (toleransi).

Jika dicermati dengan seksama, kata tasmuh atau samahh sendiri sebenarnya tidak ditemukan dalam al-Quran. Meskipun demikian, hal tersebut tentu saja tidak dapat dijadikan pembenaran bahwa al-Quran tidak menyinggung serta

mengajarkan toleransi. Ajaran al-Quran tentang hal ini, antara lain dapat ditelusuri dari penjelasannya tentang keadilan (al-adl atau al-qisth), kebajikan (al-birr), perdamaian (al-shulh atau al-salm), dan lain sebagainya. Bahkan, penamaan agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW ini dengan al-Islm, sebenarnya telah cukup menjadi bukti bahwa kedatangan Islam adalah untuk menghadirkan rahmat dan kedamaian bagi alam semesta. Sementara itu, kedamaian tidak akan terwujud tanpa adanya suasana toleransi ditengah realitas kemajemukan yang tidak terhindarkan.

Diatas telah dijelaskan bahwa toleransi merupakan sikap terbuka dalam menghadapi perbedaan. Didalamnya terkandung sikap saling menghargai dan menghormati eksistensi masing-masing pihak. Dalam kehidupan yang toleran, keseimbangan dalam hidup mendapatkan prioritasnya. Keanekaragaman tidak diposisikan sebagai ancaman, namun justru peluang untuk saling bersinergi secara positif. Dalam kacamata Islam, sikap seperti ini harus tetap dipelihara selama tidak ada pihak-pihak yang mencoba untuk merusak tatanan hidup yang ada tersebut. Hal ini berarti, jika keharmonisan dalam kemajemukan telah dirongrong oleh satu atau beberapa pihak, maka secara otomatis keberlangsungan toleransi akan turut terancam. Artinya, dibutuhkan sikap tegas dalam menghadapinya. Dalam hal ini Allah SWT berfirman:

. (: 8-9) Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orangorang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orangorang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu

dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Siapa yang menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim[22]

Sejarah telah mencatat dengan tinta emas sikap toleran yang pernah ditunjukkan Nabi Muhammad SAW, para sahabat, serta generasi-generasi muslim sesudahnya, baik terhadap sesama mereka maupun terhadap pihak-pihak lain yang, terutama, tidak seagama. Ajaran Islam yang terpatri kuat di dada mereka telah melahirkan sikap lapang dada yang luar biasa dalam menerima perbedaan yang ada. Perbedaan suku, umpamanya, tidak sedikitpun merintangi kaum Anshar untuk menerima dengan baik saudara-saudara mereka kaum Muhajirin, meskipun pada saat bersamaan mereka juga tidak bisa dikatakan berkecukupan secara material.[23] Demikian juga perbedaan warna kulit dengan yang lain, tidak pernah menghalangi Bilal untuk menjadi muazin Rasul SAW dan kaum muslim, sebagaimana perbedaan bangsa juga tidak merintangi Salman al-Farisi untuk menjadi orang yang dekat dengan Rasulullah SAW. [24] Sebaliknya, semua muslim mendapatkan kesempatan yang sama untuk berkarya dengan sebaikbaiknya (baca: beramal salih), tanpa harus teralienasi hanya karena perbedaan fisik, bahasa, atau suku bangsa. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda: ( [) 25] Kamu semua adalah keturunan Adam sedang Adam diciptakan dari debu. Tidak

ada perbedaan antara Arab dengan yang lainnya, kecuali dengan ketakwaan (HR. Ahmad).

Demikian juga halnya terhadap pihak-pihak yang berlainan agama, Rasulullah SAW tidak pernah mendiskreditkan eksistensi mereka atas dasar perbedaan akidah. Malah sebaliknya, Nabi SAW menerima dengan baik keberadaan mereka ditengah-tengah masyarakat muslim dan tidak sedikitpun memaksa mereka untuk mengikuti ajaran Islam.

Cukup banyak bukti historis yang dapat dikemukakan untuk mendukung klaim keadilan, kemanusiaan, kasih sayang, dan kebersamaan yang pernah ditunjukkan Rasulullah SAW dan generasi-generasi sesudahnya terhadap orang-orang yang tidak seagama. Semua perlakuan ini berhulu kepada prinsip toleransi yang dipegang dengan teguh, bukan sekedar lip service. Sebagai contoh, Imam alBukhari meriwayatkan:

[ 62]( ) Dari Anas r.a: Suatu ketika Nabi SAW pernah menjenguk seorang Yahudi. Nabi SAW kemudian menawarkan kepadanya untuk masuk Islam dan orang Yahudi tersebut menerimanya. Nabi SAW lalu keluar seraya berkata, Segala puji bagi Allah yang telah menyelematkannya dari api neraka.

Dalam kesempatan lain, Nabi SAW memberikan contoh bertoleransi kepada para sahabatnya melalui tindakan konkrit yang ia lakukan. :

, : [72] ( )

Jabir bin Abdullah berkata, Suatu ketika lewat dihadapan kami orang-orang yang membawa jenazah seorang Yahudi. Nabi SAW lalu berdiri dan kamipun segera mengikutinya. Setelah itu kami berkata, Wahai Rasulullah, yang lewat tadi adalah jenazah seorang Yahudi. Rasulullah kemudian menjawab, Apakah aku ini juga tidak seorang manusia? Jika kamu sekalian melihat orang sedang lewat membawa jenazah, maka berdirilah!

Tentang perlindungan terhadap orang-orang non-muslim yang dihidup di tengahtengah komunitas umat Islam dan memiliki kontrak damai dengan kaum muslim, Nabi SAW bersabda: ) [) 28] Siapa yang membunuh orangkafir yang berada dalam perjanjian damai (dengan kaum muslim), maka tidak akan mencium bau surga, padahal harumnya surga itu sudah dapat tercium dari jarak empat puluh tahun perjalanan

Pendeklarasian Piagam Madinah (Msq al-Madnah)[29] pada hakekatnya adalah contoh lain yang fenomenal dari praktek toleransi Islam. Keberadaan piagam ini telah menolak mentah-mentah tuduhan intoleransi yang dilontarkan para musuh

Islam. Piagam Madinah berisi penegasan tentang kesetaraan fungsi dan kedudukan serta persamaan hak dan kewajiban antara umat muslim dan umatumat lain yang tinggal di Medinah. Didalamnya secara eksplisit dinyatakan bahwa umat Yahudi dan yang lainnya adalah umat yang satu dengan kaum muslim. Mereka akan diperlakukan adil dan dijamin hak-haknya selama tidak melakukan kejahatan dan pengkhianatan. Dengan undang-undang inilah Rasulullah SAW menata kehidupan masyarakat Madinah yang plural. Dalam perkembangan selanjutnya, spirit dari Piagam Madinah tetap dipelihara oleh para penguasa muslim dari generasi ke generasi. (selengkapnya tentang bunyi pasal-pasal Piagam Madinah: lihat lampiran)

4. Dasar Pemikiran dan Batasan Toleransi menurut al-Quran dan Sunnah Yusuf al-Qaradhawi mengatakan bahwa toleransi dalam Islam dibangun diatas beberapa landasan pokok, yaitu: [30]

a. prinsip tentang kemuliaan manusia betapapun beragamnya kehidupan mereka. Allah menegaskan hal ini dalam firman-Nya: ( 07 :) Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di darat dan di lautanKami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan[31]

b. Keyakinan bahwa pluralisme sudah merupakan kehendak Allah SWT yang

tidak akan mengalami perubahan. Sebagai contoh, dalam kaitannya dengan pluralisme agama, Allah berfirman: (: 99) Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang ada di muka bumi. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka seluruhnya menjadi orang-orang yang beriman? [32]

c. Umat Islam meyakini bahwa mereka tidak bertanggungjawab terhadap jalan hidup yang dipilih oleh umat-umat lain. Kewajiban mereka hanya berdakwah, sementara pilihan antara iman atau tidak adalah urusan masing-masing pihak dengan Allah SWT. Allah SWT berfirman: ) (kafir), biarlah ia kafir (92 : [33]

maka siapa yang ingin beriman, hendaklah ia beriman, dan siapa yang ingin

d. prinsip tentang keadilan, selama pihak lain berlaku sama. Allah SWT berfirman: (: 8) Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada

takwa.

[34]

Apa yang disebutkan oleh Yusuf al-Qaradhawi diatas, pada hakikatnya merupakan penegasan bahwa ajaran Islam tentang toleransi tidak dibangun diatas landasan yang rapuh, sebaliknya pada ajaran-ajaran fundamental yang masingmasing saling terkait. Satu hal yang agaknya dapat melengkapi dasar-dasar diatas adalah bahwa parameter yang digunakan Islam dalam menilai sesuatu adalah parameter keruhanian (ketakwaan), bukan parameter fisik atau keduniaan. Hal ini terlihat pada kesan yang ditimbulkan oleh ayat dan hadis yang berbicara tentang kesetaran dan persamaan hak dan kewajiban secara umum.

Tentang batasan toleransi, Islam menekankannya pada prinsip keadilan. Surat alMumtahanah: 8-9, umpamanya, telah mencerminkan pola hubungan yang proporsional dan berkeadilan tersebut. Kesan yang dapat ditangkap dari ayat ini adalah bahwa toleransi dapat terus berjalan selama pihak luar berlaku adil terhadap umat Islam, dalam konteks ini adalah tidak memerangi kaum muslim karena alasan agama, tidak mengusir kaum muslim dari negeri-negeri mereka, atau berkonspirasi dengan pihak lain untuk mengusir umat Islam. Akan tetapi, jika yang terjadi justru sebaliknya, maka tidak berlaku toleransi. Artinya, umat Islam harus bersikap tegas dengan memerangi mereka.[35]

C.

PENUTUP

Dari paparan diatas dapat dilihat bahwa Islam bersikap sangat terbuka dengan kemajemukan. Bahkan, Islam memandangnya sebagai salah satu dari sunnatullah di alam ini. Keanekaragaman yang telah menjadi kehendak Allah tersebut, tentu saja bukan untuk dipertentangkan dan membawa kepada perpecahan. Akan tetapi

dengan mensikapi secara positif dan konstruktif, pluralisme justru akan membawa manfaat yang besar terhadap kemaslahatan kehidupan manusia.

Toleransi dapat dikatakan sebagai jalan keluar yang dicetuskan Islam untuk mensikapi pluralisme. Banyak sekali ayat al-Quran dan hadis Nabi Muhammad SAW yang dapat dijadikan referensi dalam menikmati hidup bertoleransi. Secara umum, al-Quran dan sunnah Nabi SAW menekankan pentingnya keadilan, kasih sayang dan kemanusiaan yang semuanya merupakan pilar-pilar toleransi. Hanya saja Islam menggarisbawahi bahwa toleransi hanya akan efektif jika masingmasing pihak tetap berjalan diatas relnya dan tidak merongrong eksistensi pihak lain. Dalam hal terjadi pengkhianatan terhadap nilai-nilai toleransi, maka Islam mengharuskan umat Islam bersikap tegas dengan memerangi pihak-pihak yang telah merusak harmoni ritme kehidupan tersebut.

----------------------------[1] al-Quran sendiri berulang kali menyatakan adanya upaya-upaya jahat seperti ini (dalam terminologi al-Quran: makr) yang dilakukan secara sistematis dan simultan oleh kelompok-kelompok yang membenci Islam. Lihat, diantaranya, Q.S 2:105, 2:109, 61:8, 3:118. Penyebutan secara berulang-ulang tersebut erat kaitannya dengan tujuan agar umat Islam senantiasa waspada dan mawas diri, karena konspirasi keji semacam itu tidak akan pernah berhenti sampai kapanpun. [2]Yusuf al-Qaradhawi. 1994. Fatw Mushirah. Manshurah: Dar al-Wafa. Cet. ke-3. Jilid ke-2. h. 667

[3]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (selanjutnya ditulis Depdikbud RI). 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai

Pustaka. [4]

Edisi

ke-2.

Cet.

Ke-1.

h.

1065 Ibid.

[5]A. S. Hornby. 1986. Oxford Advanced Learners Dictionary of Current English. London: Oxford University Press. Cet. ke-23. h. 909

[6]Abdul Malik Salman. 1993. al-Tasmuh Tijh al-Aqaliyyt ka Dharratin li alNahdhah. Kairo: The International Institute of Islamic Thought. h. 2 [7]Jamaluddin Muhammad bin Mukram Ibn al-Mandzur. t. th. Lisn al-Arab. Beirut: Dar Shadir. Cet. ke-1. Jilid 7. h. 249

[8] Ahmad Warson Munawwir. 1997. Kamus al-Munawwir Arab Indonesia Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progresif. Edisi ke-2. Cet. Ke-14. h. 657 [9]Abdul [10] A. S. RI, Malik Hornby. Op.cit. Salman. Op.cit. h. h. Loc.cit. 735 777

[11]Depdikbud

[12]Muhammad Quraish Shihab. 1996. Wawasan al-Quran. Bandung: Mizan, Cet. ke-3. h. 320. Ayat yang dimaksud adalah surat al-Alaq (96): 2, yaitu: (2 :) [13] al-Quran menyebut kelompok-kelompok spesies tersebut dengan umat. Istilah ini tidak saja ditujukan kepada komunitas manusia, namun juga terhadap himpunan-himpunan makhluk lainnya, seperti burung, binatang melata, dan sebagainya (perhatikan firman Allah dalam surat al-Anam (6): 38). [14] Muhammad Imarah. 1997. al-Taaddudiyyah:: al-Ruyat al-Islmiyyah wa alTahaddiyyat al-Gharbiyyah. Mesir: Dar al-Nahdhah. h. 4. Dalam hal ini ia menyatakan: " " ... . " " .

[15] Kementerian Urusan Agama Islam, Wakaf, Dakwah, dan Irsyad Kerajaan Saudi Arabia (selanjutnya ditulis Kementerian Urusan Agama Islam KSA). 1997. al-Quran dan Terjemahnya. Medinah al-Munawwarah: Mujamma al-Malik Fahd. h. 644

[16]Ibid. [17] Kementerian Urusan Agama

h. Islam KSA. Op.cit.. h.

847 168

[18] al-Husein bin Muhammad al-Raghib al-Asfahani. 1997. Mujam al-Mufradt li Alfdz al-Quran. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah. Cet ke-1. h. 108. Contoh lain dari penggunaan kata law dalam arti seperti diatas adalah firman Allah dalam surat Hud (11); 118, yaitu: (811 :)

Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. Kementerian Urusan Agama Islam KSA. Op. Cit.. h. 345.

al-Qurthubi ketika menafsirkan ayat ini berpendapat bahwa di dalam ayat ini jelas terkandung sunnatullah kemajemukan. Bahkan, katanya, demi pluralisme itulah Allah menciptakan manusia dan alam semesta ini ( . ). Lih: Abdullah bin Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi. t. th. Al-Jmi li Ahkm al-Quran. Mesir: Dar al-Kutub al-Mishriyyah. Jilid ke-9. h. 114-115 [19]Kesan ini akan menjadi lebih jelas jika diamati firman Allah SWT dalam surat al-Zukhruf (43): 32, yaitu: (: 32) Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan diantara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah

meninggikan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain beberapa derajat, agar sebahagian mereka dapat mempergunakan sebahagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. Kementerian Urusan Agama Islam KSA. Op.cit. h. 798. Dalam ayat ini ditegaskan bahwa perbedaanperbedaan yang ada tersebut ditujukan agar manusia dapat saling memanfaatkan. Dengan demikian mereka akan saling membutuhkan dan mengadakan interaksi satu [20] (6 Ayat dimaksud :) adalah sama ayat ke6 yang lain. berbunyi:

Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Kementerian urusan Agama Islam KSA. Op.cit. h. 992 [21] [22] Muhammad Kementerian Quraish Urusan Shihab. Agama Islam Op.cit. KSA. h. Op.cit. 328 h.

[23] al-Quran mengabadikan sikap terpuji ini dalam surat al-Hasyr (58): 9 [24] Saking dekatnya dengan Nabi SAW, Salman bahkan sebut Nabi SAW sebagai minn ahl al-bait (termasuk ahl al-bait). Salman mendapatkan kehormatan tersebut antara lain dikarenakan kedudukan rohaniahnya yang sudah begitu tinggi, sampai mencapai sisi kesucian rohani seperti kesucian ahl al-bait. Jalaludin Rakhmat. 2002 Renungan-Renungan Sufistik. Bandung: Mizan. Cet. ke-

14.

h.

284

[25] Ahmad ibn Hanbal. 1993. Musnad Ahmad ibn Hanbal. Beirut: al-Maktab alIslmi. Cet. Ke-1. Jilid 5. h. 411

[26]Muhammad bin Ismail bin Ibrahim. 2001. Shahh al-Bukhri. Kairo: Dar alTaqwa [27] [28] li al-Turast. Ibid. Ibid. Cet. Jilid. Jilid Ke-1. 1. 2. Jilid.2. h. h. h. 539 314 132

[29] Dalam tulisan-tulisan para sejarawan muslim generasi awal, istilah yang dipakai dalam menyebut Piagam Madinah adalah Shahfah Madnah. Namun kemudian dalam literatur-literatur belakangan, istilah yang sering muncul adalah mtsq (charter), dustr (constitution), dan deklarasi. Lih: Akram Diya al-Umari. Op.cit. [30] [31] Yusuf Kementerian al-Qaradhawi. Urusan Agama h. Op.cit. Islam KSA. h. Op.cit. 87 677-678 h.435

[32]Ibid. [33]Ibid. [34] Ibid.

h. h. h.

322 448 159

[35]Ismail bin Katsir. 1990. Tafsr al-Quran al-Adzm. Beirut: Dar al-Jil. Jilid-4. h. 349-350 DAFTAR PUSTAKA

Abdullah bin Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi. t. th. Al-Jmi li Ahkm al-Quran. Mesir: Dar al-Kutub al-mishriyyah. Jilid-9

Abdul Malik Salman. 1993. al-Tasmuh Tijh al-Aqaliyyt Kadharrotin li alNahdhah. Kairo: IIIT Adib Ishaq, al-Afghani, dkk. 1993. Adhw al al-Taashub. Beirut: Dar Amwaj. Cet. Ke-1 Ahmad al-Makhzanji, 1987. al-Adl wa al-Tasmuh al-Islmiy. Kairo: Muassasah al-Ahram Ahmad Warson Munawwir. 1997. Kamus al-Munawwir Arab- Indonesia Terlengkap. Ala Surabaya: li Pustaka Progresif. al-Syuun Cet. Ke-14. edisi ke-2.

Ali Hasan al-Kharbuthali. 1969. al-Islm wa Ahl al-Dzimmah. Kairo: Majlis alal-Islamiyyah

Akram Diya al-Umari. 1995. Madinan Society at the Time of the Prophet. Riyad. International Islamic Publishing House. Cet. Ke-2 Al-Husein bin Muhammad a-Raghib al-Asfahani. 1997. Mujam Mufradt li

Alfdz

al-Quran.

Beirut:

Dar

al-Kutub

al-Ilmiyyah.

Cet.

Ke-1

Ali Abu al-Makarim (Ed.), t. th. Kitb al-Muktamar al-Dauliy al-Khmis li alFalsafah al-Islmiyyah. Kairo: Universitas Kairo

A. S. Hornby. 1986. Oxford Advanced Learners Dictionary of Current English. London: Oxford University Press. Cet. Ke-23

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Edisi-2. cet. Ke-1

Husnain Taufik Ibrahim. 1998. al-Nidzm al-Siysi wa al-Ikhwn al-Muslimn f Mishr: min al-Tasmuh il al-Muwjahah. Beirut: Dar al-Thaliah. Cet. Ke-1 Inam Mahmud Hamad. t. th. al-Tasmuh fi al-Islm wa Atsaruhu fi DarI alTaashub wa al-Irhb. Kairo: al-Jamiah al-Qahirah Ismail bin Katsir. 1990. Tafsr al-Quran al-Adzm. Beirut: Dar al-Jil. Jilid-4 Jamal al-Banna. t. th. al-Taaddudiyyah f Mujtama Islmiy. Kairo: Dar alMaarif al-Islamiy

Jalaludin Rakhmat. 2002 Renungan-Renungan Sufistik. Bandung: Mizan. Cet. Ke-14 Jamaluddin Muhammad bin Mukram Ibn al-Mandzur. t. th. Lisn al-Arab. Beirut: Dar Shadir. Cet. Ke-1

Kementerian Urusan Agama Islam, Wakaf, Dakwah, dan Irsyad Kerajaan Saudi Arabia. 1997. al-Quran dan Terjemahnya. Madinah al-Munawwarah:. Mujamma al-Malik Fahd Muhammad Abdul Qadir Abu Faris. 1994. al-Taaddudiyyah al-Siysiyyah f Dzilli al-Daulah al-Islmiyyah. Beirut: Muassasah al-Rayyan. Cet. Ke-1 Muhammad al-Ghazali. 1993. al-Taashub wa al-Tasmuh baina al-Mashiyyah wa al-Islm. Kairo: Dar al-Tauzi wa al-Nasyr al-Islamiyyah. Cet. Ke-2 Muhammad al-Ahin bin Muhammad al-Mukhtar al-Syarqithi. 1995. Adhw alBayn f Idhh al-Quran bi al-Quran. Beirut: Dar al-Fikr. Jilid-8 Muhammad Imarah. 1997. al-Taaddudiyyah: al-Ruyat al-Islmiyyah wa alTahaddiyyat al-Gharbiyyah. Mesir: Dar al-nahdhah

Muhammad Quraish Shihab. 2001. Tafsir al-Mishbah. Jakarta: Lentera Hati. Cet. Ke-1 -------. 1996. Wawasan al-Quran. Bandung: Mizan. Cet. Ke-3

Yusuf al-Qaradhawi. 2000. al-Aqaliyyt al-Dniyyah wa al-Hill al-Islmiy. Beirut: Muassasah al-Risalah. Cet. Ke-1 -------. 1977. Ghairu al-Muslimn f al-Mujtama al-Islmiy. Kairo: Maktabah Wahbah. Cet. Ke-1 -------. 1994. Fatw Mushirah. Manshurah: Dar al-Wafa. Cet. Ke-3. Jilid-2.

You might also like