You are on page 1of 18

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Infeksi Kecacingan Infeksi cacingan adalah penyakit yang ditularkan melalui makanan minuman atau melalui kulit dimana tanah sebagai media penularannya yang disebabkan oleh cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichuria), dan cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) (Jawetz et al, 1996). Infeksi cacingan banyak terdapat pada ank usia sekolah dasar, yang didalam usus anak terdapat satu atau beberapa jenis cacing yang merugikan pertumbuhan dan kecerdasan anak. 2.1.1. Infeksi Cacing yang ditularkan melalui tanah (Soil-Transmited Helminths) a. Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides) Manusia merupakan satu-satunya hospes cacing ini. Cacing jantan berukuran 10-30 cm, sedangkan cacing betina 22-35 cm, pada stadium dewasa hidup di rongga usus halus, cacing betina dapat bertelur sampai 100.000-200.000 butir sehari, terdiri dari telur yang dibuahi dan telur yang tidak dibuahi. Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi tumbuh menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif ini bila tertelan manusia, akan menetas menjadi larva di usus halus,Gambaran umum siklus hidup cacing Ascaris lumbricoides dapat dilihat pada gambar berikut ini :

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.1. Siklus hidup Ascaris lumbricoides Keterangan : 1. Cacing dewasa hidup di saluran usus halus, seekor cacing betina mampu menghasilkan telur sampai 240.000 perhari yang akan keluar bersama feses. 2. Telur yang sudah dibuahi mengandung embrio dan menjadi infective setelah 18 hari sampai beberpa minggu di tanah. 3. Tergantung pada kondisi lingkungan (kondisi optimum, lembab, hangat, tempat teduh) 4. Telur infective tertelan 5. Masuk ke usus halus dan menetas mengeluarkan larva yang kemudian

menembus mucosa usus, masuk kelemjar getah bening dan aliran darah dan terbawa sampai ke paru-paru

Universitas Sumatera Utara

6. Larva mengalami pendewasaan di dalam paru-paru (10 14), menembus dinding alveoli, naik ke saluran pernafasan dan akhirnya terlelan kembali. Ketika mencapai usus halus, larva tumbuh menjadi cacing dewasa. Waktu yang diperlukan mulai tertelan telur infeksi sampai menjadi cacing dewasa sekitar 2 sampai 3 bulan. Cacing dewasa dapat hidup 1 sampai 2 tahun dalam tubuh (Bruckner , 2006)

b. Trichuris trichiura ( Cacing Cambuk ) Manusia adalah hospes utama cacing Trichuris trichiura. Cara infeksi adalah langsung, tidak diperlukan hospes perantara. Bila telur yang telah berisi embrio tertelan manusia, larva yang menjadi aktif akan keluar di usus halus masuk ke usus besar dan menjadi dewasa dan menetap. Cacing ini dapat hidup beberapa tahun di usus besar hospes. Telur yang infektif bila tertelan manusia menetes menjadi larva di usus halus. Larva menembus dinding usuu halus menuju pembuluh darah atau saluran limpa kemudian terbawa oleh darah sampai ke jantung menuju paru-paru (Onggowaluyo, 2002). Siklus hidup cacing Trichuris trichiura, yaitu:

Gambar 2.2. Siklus hidup Trichuris trichiura

Universitas Sumatera Utara

Kelainan patologis yang disebabkan oleh cacing dewasa terutama terjadi karena kerusakan mekanik di bagian mukosa usus dan respons alergi. Keadaan ini erat hubungannya dengan jumlah cacing, lama infeksi, umur dan status kesehatan umum dari hospes (penderita). Gejala yang ditimbulkan oleh cacing cambuk biasanya tanpa gejala pada infeksi ringan. Pada infeksi menahun dapat menimbulkan anemia, diare, sakit perut, mual dan berat badan turun (Onggowaluyo, 2002). Penyebaran geografis T.trichuira sama A. lumbricoides sehingga seringkali kedua cacing ini ditemukan bersama-sama dalam satu hospes. Frekuensinya di Indonesia tinggi, terutama di daerah pedesaan, frekuensinya antara 30% - 90 %. Angka infeksi tertinggi ditemukan pada anakanak. Faktor terpenting dalam penyebaran trikuriasis adalah kontaminasi tanah dengan tinja yang mengandung telur. Telur berkembang baik pada tanah liat, lembab dan teduh (Onggowaluyo, 2002).

c. Ancylostoma Duodenale dan Necator Americanus (Cacing Tambang) Cacing dewasa hidup di dalam usus halus manusia, Cacing melekat pada mukosa usus dengan bagian mulutnya yang berkembang dengan baik. Infeksi pada manusia dapat terjadi melalui penetrasi kulit oleh larva filariorm yang ada di tanah. Cacing betina menghasilkan 9.000-10.000 butir telur sehari. Cacing betina mempunyai panjang sekitar 1 cm, cacing jantan kira-kira 0,8 cm, cacing dewasa berbentuk seperti hurup S atau C dan di dalam mulutnya ada sepasang gigi. Daur hidup cacing tambang dimulai dari keluarnya telur cacing bersama feses, setelah 1-1,5 hari dalam tanah, telur tersebut menetas menjadi larva rhabditiform. Dalam

Universitas Sumatera Utara

waktu sekitar 3 hari larva tumbuh menjadi larva filariform yang dapat menembus kulit dan dapat bertahan hidup 7-8 minggu di tanah. Setelah menembus kulit, larva ikut aliran darah ke jantung terus ke paru-paru. Di paru-paru menembus pembuluh darah masuk ke bronchus lalu ke trachea dan larynk. Dari larynk, larva ikut tertelan dan masuk ke dalam usus halus dan menjadi cacing dewasa. Infeksi terjadi bila larva filariform menembus kulit atau ikut tertelan bersama makanan (Gandahusada dkk, 2004). Gambaran umum siklus hidup cacing Ancylostoma duodenale dan Necator americanus dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Gambar 2.3. Siklus hidup Hookworm A.duodenale dan N.americanus Keterangan : Larva cacing tambang pada suhu hangat dan lembab mengalami pertumbuhan dalam 3 tahap. Pada tahap ahir, larva-larva ini akan naik ke permukaan tanah. Dengan bentuk tubuh yang runcing di bagian atas, larva ini akan masuk menembus kulit dan ikut ke dalam aliran darah sampai ke organ hati. Melalui pembuluh darah larva ini

Universitas Sumatera Utara

akan terbawa ke paru-paru. Larva cacing tambang kemudian bermigrasi ke bagian kerongkongan dan kemudian tertelan. Larva kemudian menuju usus halus dan menjadi dewasa dengan menghisap darah penderita. Cacing tambang bertelur di usus halus yang kemudian dikeluarkan bersama dengan feses ke alam dan akan menyebar kemana-mana (Albert, 2006). Gambaran klinis walaupun tidak khas, tidak cukup mendukung untuk memastikan untuk dapat membedakan dengan anemia karena defisiensi makanan atau karena infeksi cacing lainnya. Diagnosa terakhir ditegakkan dengan menemukan telur cacing pada feses penderita. Secara praktis telur cacing Ancylostoma duodenale tidak dapat dibedakan dengan telur Necator americanus. Untuk membedakan kedua spesies ini biasanya dilakukan tekhnik pembiakan larva (Onggowaluyo, 2002).

2.1.2. Dampak Infeksi Kecacingan pada Anak Kecacingan jarang sekali menyebabkan kematian secara langsung, namun sangat mempengaruhi kualitas hidup penderitanya. Infeksi cacing gelang yang berat akan menyebabkan malnutrisi dan gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada anak-anak. Infeksi cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) mengakibatkan anemia defesiensi besi, sedangkan Trichuris trichiura menimbulkan morbiditas yang tinggi (Soedarto, 1999). Berbagai penelitian membuktikan bahwa sebagian kalori yang dikonsumsi manusia tidak dimanfaatkan badan karena adanya parasit dalam tubuh. Pada infeksi ringan akan menyebabkan gangguan penyerapan nutrien lebih kurang 3% dari kalori

Universitas Sumatera Utara

yang dicerna, pada infeksi berat 25% dari kalori yang dicerna tidak dapat dimanfaatkan oleh badan. Infeksi Ascaris lumbricoides yang berkepanjangan dapat menyebabkan kekurangan kalori protein dan diduga dapat mengakibatkan defisiensi vitamin A (Hidayat, 2002). Pada infeksi Trichuris trichiura berat sering dijumpai diare darah, turunnya berat badan dan anemia. Diare pada umumnya berat sedangkan eritrosit di bawah 2,5 juta dan hemoglobin 30% di bawah normal. Anemia berat ini dapat terjadi karena infeksi Trichuris trichiura mampu menghisap darah sekitar 0,005 ml/hari/cacing (Gandahusada dkk, 2004). Infeksi cacing tambang umumnya berlangsung secara menahun, cacing tambang ini sudah dikenal sebagai penghisap darah. Seekor cacing tambang mampu menghisap darah 0,2 ml per hari. Apabila terjadi infeksi berat, maka penderita akan kehilangan darah secara perlahan dan dapat menyebabkan anemia berat (Gandahusada dkk, 2004).

2.1.3. Transmisi Telur Cacing ke Tubuh Manusia Pencemaran tanah dengan tinja manusia merupakan penyebab transmisi telur A.lumbricoides dan T.trichiura dari tanah kepada manusia melalui tangan dan kuku yang tercemar telur cacing, lalu masuk kemulut melalui makanan (Mahfuddin, 1994). Agustina (2000) mendapatkan bahwa ada hubungan yang erat antara tanah dan kuku yang tercemar telur A.lumbricoides dan kejadian askariasis pada anak balita di Kecamatan Paseh Jawa Barat.

Universitas Sumatera Utara

Transmisi telur cacing, selain melalui tangan, ini dapat juga melalui makanan dan minuman, terutama makanan jajanan yang tidak dikemas dan tidak tertutup rapat. Telur cacing yang ada di tanah/debu akan sampai pada makanan tersebut, jika diterbangkan oleh angin, atau dapat juga melalui lalat yang sebelumnya hinggap di tanah/selokan/air limbah sehingga kaki-kakinya membawa telur cacing tersebut (Helmy, 2000). Transmisi melalui sayuran yang dimakan mentah (tidak dimasak) dan proses membersihkannya tidak sempurna juga dapat terjadi, terlebih jika sayuran tersebut diberi pupuk dengan tinja segar. Di beberapa negara penggunaan tinja sebagai pupuk harus diolah dahulu dengan bahan kimia tertentu berupa desinfestasi (Brown, 1979). 2.1.4. Pencegahan dan Pemberantasan Infeksi Kecacingan Secara Nasional di Indonesia upaya pencegahan dan pemberantasan Infeksi Kecacingan sudah dilakukan sejak tahun 1975 dengan kebijakan pemberantasan terbatas pada daerah tertentu karena biaya yang tersedia terbatas. Pada Pelita V dan VI Program pemberantasan penyakit kecacingan meningkat kembali karena pada periode ini lebih memperhatikan pada peningkatan perkembangan dan kualitas hidup anak (Dirjen P2M & PL, 1998). Pencegahan dan pemberantasan penyakit kecacingan pada umumnya adalah dengan pemutusan rantai penularan, yang antara lain dilakukan dengan pengobatan massal, perbaikan sanitasi lingkungan dan hygiene perorangan serta pendidikan kesehatan (Soedarto, 1991). Penyakit cacingan dapat terjadi sebagai berikut (Nadesul, 1997).

Universitas Sumatera Utara

a. Biasakan mencuci tangan sebelum makan atau memegang makanan, gunakan sabun dan bersihkan bagian kuku yang kotor. b. Biasakan menggunting kuku secara teratur seminggu sekali. c. Tidak membiasakan diri menggigit kuku jemari tangan atau menghisap jempol. d. Tidak membiasakan bayi dan anak-anak bermain-main di tanah. e. Tidak membuang kotoran di kebun, parit, sungai atau danau dan biasakan buang kotoran di jamban. f. Biasakan membasuh tangan dengan sabun sehabis dari jamban g. Biasakan tidak jajan penganan yang tidak tertutup atau terpegang-pegang tangan. h. Di wilayah yang banyak terjangkit penyakit kecacingan, periksakan diri ke puskesmas terlebih ada tanda gejala kecacingan. i. Segera mengobati penyakit cacing sampai tuntas j. Penyakit cacing berasal dari telur cacing yang tertelan dan kurangnya kebersihan diri dan lingkungan yang tidak baik. k. Biasakan makan daging yang sudah benar-benar matang dan bukan yang mentah atau setengah matang. l. Biasakan berjalan kaki kemana-mana dengan memakai alas kaki. m. Obat cacing hanya diberikan kepada orang yang benar-benar mengidap penyakit kecacingan

Universitas Sumatera Utara

n. Biasakan makan lalap mentah yang sudah dicuci dengan air bersih yang mengalir. Penanggulangan infeksi cacing usus tidak mudah karena keterkaitan dengan masalah lingkungan. Pemberian obat-obatan hanya bersifat mengobati tetapi tidak memutuskan mata rantai penularan. Upaya untuk mengatasi masalah tersebut dapat dilakukan melalui kegiatan terpadu yang mencakup pengobatan massal, penyuluhan kesehatan, peningkatan status gizi, perbaikan sanitasi lingkungan dan hygiene perorangan serta partisipasi masyarakat (Hadidjaja, 1994). Menurut Sasongko (2007) kunci pemberantasan cacingan adalah memperbaiki higiene dan sanitasi lingkungan. Misalnya, tidak menyiram jalanan dengan air got. Sebaiknya, bilas sayur mentah dengan air mengalir atau mencelupkannya beberapa detik ke dalam air mendidih. Juga tidak jajan di sembarang tempat, apalagi jajanan yang terbuka. Biasakan pula mencuci tangan sebelum makan, bukan hanya sesudah makan. Dengan begitu, rantai penularan cacingan bisa diputus.Pada saat bersamaan, anak-anak yang menderita cacingan harus segera diobati. Namun, meski semua anak sudah minum obat cacing, tak berarti masalah cacingan akan selesai saat itu juga. Pemberantasan kecacingan adalah kerja gotong royong yang butuh waktu bertahuntahun. Negara maju sepenti Jepang pun pernah dibuat sibuk oleh ulah para cacing perut ini. Setelah kalah oleh Sekutu saat Perang Dunia II, Jepang jatuh menjadi negara miskin. Karena miskin, masyarakat menggunakan kotoran manusia sebagai pupuk pertanian. Akibatnya, penularan cacing menjadi tak terkendali, sampai menyerang 80% penduduk

Universitas Sumatera Utara

2.2. Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Kecacingan. Secara epidemiologi, ada beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian kecacingan, salah satunya adalah faktor manusia (Soedarto, 1991) dijelaskan sebagai berikut : 2.2.1. Faktor Manusia 2.1.1. Hygiene Perorangan Entjang (2001) usaha kesehatan pribadi (Hygiene perorangan) adalah upaya dari seseorang untuk memelihara dan mempertinggi derajat kesehatannya meliputi: a. Memelihara kebersihan b. Makanan yang sehat c. Cara hidup yang teratur d. Meningkatkan daya tahan tubuh dan kesehatan jasmani e. Menghindari terjadinya penyakit f. Meningkatkan taraf kecerdasan dan rohaniah g. Melengkapi rumah dengan fasilitas-fasilitas yang menjamin hidup sehat h. Pemeriksaan kesehatan Onggowaluyo (2002) kuku yang terawat dan bersih juga merupakan cerminan kepribadian seseorang, kuku yang panjang dan tidak terawat akan menjadi tempat melekatnya berbagai kotoran yang mengandung berbagai bahan dan mikro organisme diantaranya bakteri dan telur cacing. Penularan kecacingan diantaranya melalui tangan yang kotor, kuku yang kotor yang kemungkinan terselip telur cacing akan

Universitas Sumatera Utara

tertelan ketika makan, hal ini diperparah lagi apabila tidak terbiasa mencuci tangan memakai sabun sebelum makan. Hygiene perorangan sangat berhubungan dengan sanitasi lingkungan, artinya apabila melakukan hygiene perorangan harus diikuti atau didukung oleh sanitasi lingkungan yang baik, kaitan keduanya dapat dilihat misalnya pada saat mencuci tangan sebelum makan dibutuhkan air bersih, yang harus memenuhi syarat kesehatan.

2.3.

Konsep Perilaku. Notoadmodjo (2005) mendefinisikan perilaku dapat dibatasi sebagai keadaan

jiwa (berpendapat, berpikir, bersikap dan sebagainya) untuk memberikan respon terhadap situasi diluar subjek tersebut. Respons ini dapat bersifat aktif (tindakan) dan dapat juga bersifat pasif (tanpa tindakan). Bentuk operasional dari perilaku ini dapat dikelompokkan menjadi 3 jenis, yaitu : 1. Perilaku dalam bentuk pengetahuan, yakni dengan mengetahui situasi dan rangsangan dari luar. 2. Perilaku dalam bentuk sikap, yaitu tanggap bathin terhadap keadaan atau rangsangan dari luar diri subjek atau lingkungan. Dengan demikian, berarti lingkungan akan berperan membentuk perilaku manusia yang hidup didalamnya. Lingkungan pertama adalah lingkungan alam yang bersifat fisik yang akan mencetak perilaku manusia dengan sifat dan keadaan alam tersebut. 3. Perilaku dalam bentuk tindakan yang sudah konkrit yakni berupa action/perbuatan terhadap situasi atau rangsangan dari luar.

Universitas Sumatera Utara

Pada dasarnya perilaku dapat diamati melalui sikap dan tindakan. Namun demikian tidak berarti bahwa bentuk dari perilaku itu hanya dilihat dari sikap dan tindakannya. Perilaku dapat juga bersifat konvensional, yakni dalam bentuk pengetahuan, persepsi dan motivasi. Bloom (1956), membedakan bentuk perilaku menjadi 3 macam yakni cognitive, effective dan psikomotor. Para ahli lain menyebutnya dengan pengetahuan (knowledge), sikap (Attitude), dan tindakan (practice). Kihajar dewantoro menyebutkan dengan cipta, rasa dan karsa atau perirasa dan peritindakan. 2.3.1. Pengetahuan Menurut notoadmodjo (2003), Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan ini terjadi setelah seseorang melakukan pengindraan suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indera manusia yakni penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh dari mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Salah satu factor yang menyebabkan terjadinya penularan infeksi cacingan adalah kurangnya pengetahuan tentang infeksi cacingan. Penelitian Wachidanijah (2002), menunjukkan bahwa terdpat kecenderungan makin tinggi pengetahuan semakin baik perilaku dalam hubungannya dengan penyakit kecacingan. 2.3.2. Sikap Sikap adalah reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek (Notoatmodjo, 2003). Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa

Universitas Sumatera Utara

sikap adalah tanggapan atau persepsi seseorang terhadap apa yang diketahuinya. Jadi sikap tidak dapat dilihat langsung secara nyata tetapi hanya dapat ditafsirkan sebagai perilaku yang tertutup. Menurut Allport (1954), seperti yang dikutip dari Notoadmodjo (2003), menjelaskan bahwa sikap terdiri dari 3 komponen pokok yaitu : 1. Kepercayaan (keyakinan, ide dan konsep terhadap suatu objek) 2. Kehidupan emosional atau evaluasi emocional terhadap statu objek 3. kecenderungan untuk bertindak (trend to behave). Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (Total Attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini kemampuan berfikir, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting. Decicion Theory (Janis, 1985, dikutip dari Bart, 1994), menganggap bahwa pasien sebgai seorang pengambil keputusan. Hal ini juga tercermin dalam Conflict Theory dari Janin dan Mann (1997) yang dikutip dari Bart (1994), bahwa pasienlah yang harus memutuskan apakah mereka akan melakukan suatu tindakan medis. 2.3.3. Tindakan Tindakan adalah realisasi dari pengetahuan dan sikap menjadi satu perbuatan nyata. Tindakan juga merupakan respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk nyata atau terbuka (Notoadmodjo, 2003). Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek (practice) yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain oleh karena itu disebut juga Over behaviour. Dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (mahluk hidup) yang bersangkutan. Oleh sebab itu dari sudut pandang biologis semua

Universitas Sumatera Utara

mahluk hidup mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang sampai dengan manusia itu berperilaku, karena mereka mempunyai aktivitas masing-masing. Dan yang dimaksud dengan perilaku pada hakikatbya adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan sangat luas antara lain berbicara, menangis, tertawa, bekerja, menulis, membaca, dan sebagainya. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati olah pihak luar.(Notoatmodjo, 2003). Perilaku sehat pada dasarnya adalah respon seseorang terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan (Notoatmodjo, 2003). Sebagai contoh perilaku yang berkaitan dengan lingkungan misalnya perilaku seseorang berhubugan dengan pembuangan air kotor yang menyangkut segi-segi hygiene, pemeliharaan teknik dan penggunaannya. Wachidanijah (2002) menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan makin tinggi pengetahuan seseorang semakin baik perilaku dalam hubungan dengan penyakit kecacingan. Perilaku masyarakat untuk buang air besar di sembarang tempat dan kebiasaan tidak memakai alas kaki mempunyai intensitas infeksi cacing tambang pada penduduk di Desa Jagapati Bali, dengan pola transmisi infeksi cacing tersebut pada umumnya terjadi disekitar rumah (Bakta, 1995). Kebiasaan buang air besar di sungai secara menetap ternyata menyebabkan tinggi infeksi oleh Soil-Transmited Helminths pada masyarakat.

Universitas Sumatera Utara

2.4. Perilaku Kesehatan Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah respon seseorang (organisme) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan minuman serta lingkungan, atau reaksi manusia baik bersifat pasif maupun bersifat aktif. Dengan demikian perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok : 1. Perilaku Pemeliharaan Kesehatan (Health Maintenance) ini terdiri dari 3 aspek a. Perilaku peningkatan dan pemeliharaan kesehatan (Health promotion Behavior) b. Perilaku pencegahan dan penyembuhan penyakit (Health prevention behavior) c. Perilaku terhadap gizi makanan dan minuman (Health nutrion behavior) 2. Perilaku pencarian pengobatan ( Health seeking behavior) 3. Perilaku terhadap lingkungan kesehatan (Enviromental health behavior).

2.5. Landasan Teori Infeksi kecacingan adalah infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah, terutama disebabkan oleh infeksi Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Ancylostoma duodenale, dan Necator americanus. Infeksi dapat terjadi dimana saja dan kapan saja, terutama di negara berkembang dan beriklim tropis, serta kondisi sanitasi yang buruk dan kepadatan penduduk. Infeksi terjadi pada saat manusia

Universitas Sumatera Utara

menelan telur melalui makanan/minuman/tangan, atau masuk melalui kulit. Intensitas infeksi dapat bersifat ringan, sedang, maupun berat.
FAKTOR GEOGRAFI KOTA/DESA FAKTOR GENETIK DAMPAK

RETARDASI
FAKTOR DEMOGRAFI KEPADATAN PENDUDUK SOSIOEKONOMI SANITASI HIGIENE PEKERJAAN UMUR JENIS KELAMIN ETNIS/KULTUR JUMLAH DALAM KELUARGA

DEFISIENSI
NUTRISI

PERTUMBUHAN

INFEKSI CACING

PENURUNAN PENURUNAN

KEMAMPUAN FISIK KEMAMPUAN KOGNITIF

PENURUNAN DAYA
TAHAN TUBUH

FAKTOR PENGETAHUAN

FAKTOR INTERFENSI

Gambar 2.4. Kerangka Teori

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Infeksi

Cacing dan Dampak yang Ditimbulkan.

Banyak faktor yang berperan terhadap terjadinya infeksi dan intensitas infeksi, antara lain faktor geografis suatu wilayah, faktor genetik, dan faktor demografi. Faktor pengetahuan yang tercermin melalui perilaku, dan faktor ada tidaknya interfensi yang telah dilakukan dalam bentuk pendidikan kesehatan,

Universitas Sumatera Utara

khususnya berkaitan dengan mekanisme penularan dan penyebaran infeksi cacing, maupun interfensi dalam bentuk pengobatan turut berperan terhadap prevalensi dan intensitas infeksi. Kurangnya perhatian terhadap infeksi cacing, karena sangat jarang menimbulkan kematian juga menjadi salah satu faktor yang berkaitan dengan meningkatnya prevalensi infeksi. Anak usia sekolah dasar memiliki risiko terbesar untuk terinfeksi. Infeksi cacing memiliki dampak yang cukup signifikan di dalam mengganggu pertumbuhan dan perkembangan seorang anak. Seorang anak dapat kehilangan kesempatan untuk menjadi sehat dan bebas dari penyakit. Seorang anak yang merupakan aset masa depan suatu bangsa akan mengalami pertumbuhan yang terputus akibat mekanisme gangguan yang ditimbulkan oleh cacing yang tersembunyi di dalam tubuhnya.

2.6. Kerangka Konsep Berdasarkan pada landasan teori di atas, maka pada penelitian ini dirumuskan kerangka konsep penelitian sebagai berikut : Variabel independen Perilaku Higienitas Murid SD : 1) Pengetahuan 2) Sikap 3) Tindakan Variabel dependen

Kejadian Kecacingan pada murid SD

Gambar 2.6. Kerangka Konsep Penelitian

Universitas Sumatera Utara

You might also like