You are on page 1of 6

Seri Persiapan Puasa Ramadhan

http://muhamadilyas.wordpress.com

III. Hikmah Dilarangnya Puasa Mukadimah Ramadhan, Tentang Yaumu Syak, serta Permasalahan
Ru’yatul Hilal dan Hisab

Pada tulisan sebelumnya pada Seri Persiapan Ramadhan telah dibahas tentang permasalahan puasa
Sya’ban, hukum mengkhususkan nishfu Sya’ban dengan puasa dan menyambut Ramadhan dengan
puasa sehari atau dua hari.

Pada kali ini akan dibahas hikmah dilarangnya puasa sehari atau dua hari menjelang Ramadhan. Para
ulama menjelaskan ada beberapa hikmah, diantaranya:

1. Memperkuat diri/badan dengan berbuka untuk puasa Ramadhan supaya ketika masuk bulan
Ramadhan dalam keadaan kuat dan semangat untuk berpuasa.
2. Dikhawatirkan tercampurnya antara puasa yang sunah dengan puasa yang wajib dikarenakan
tidak ada pemisah.
3. Untuk kehati-hatian

Apapun hikmahnya atu apapun alasannya, yang jelas Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam telah
melarang kita untuk melakukan puasa mukadimah Ramadhan sehari atau dua hari. Kita diwajibkan
untuk meninggalkan apa-apa yang telah dilarang oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam baik
diketahui maupun tidak diketahui hikmahnya.

Pembahasan yang terakhir mengenai permasalahan-permasalahan sebelum Ramadhan adalah


permasalahan shiyam yaumu syak (puasa pada hari-hari yang meragukan). Yanng dimaksud dengan hari
meragukan disini adalah pada tanggal 29 Sya’ban dimana waktunya orang-orang untuk ru’yatul hilal
tetapi terhalangi oleh mendung, awan, asap atau yang semisalnya sehingga apakah keesokan harinya
puasa atau tidak.

Tentang permasalahan ini terdapat khilaf di antara para ulama. Ada beberapa pendapat dikalangan para
ulama, yaitu:

1. Jumhur ulama berpendapat hukumnya haram berpuasa pada hari itu. Mereka berhujah dengan
hadis dari Ammar ibnu Yasir Radhiyallahu 'anhu yang diriwayatkan Imam Bukhari dan
disambung sanadnya oleh Al Khamsah serta dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban.

‫ ِ  ا   و‬
ِ َْ ‫!َ َأَ َا‬
َ ْ"َ #َ ِ ِ# 
َ ُ ‫َْ َ َم َا ْ َ ْ َم َاِي‬
“Ammar Ibnu Yasir Radliyallaahu 'anhu berkata: Barangsiapa shaum pada hari yang meragukan,
maka ia telah durhaka kepada Abul Qasim (Muhammad) Shallallaahu 'alaihi wa Sallam”1

Mereka juga berhujah dengan hadis Abdullah Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu yang diriwayatkan
oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim,

1
Bulughul Maram, Kitab Shiyam hadis no. 670. Hadits mu'allaq riwayat Bukhari, Imam Lima menilainya maushul,
sedang Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban menilainya hadits shahih.
Seri Persiapan Puasa Ramadhan
http://muhamadilyas.wordpress.com

  ‫ َرُ َل اَ ِ  ا‬- ُ .ْ &ِ 


َ :‫َ َل‬% َ&'ُ (ْ َ ُ َ‫) ا‬ َ*ِ ‫ َر‬,َ &َ  ُ ِ ْ ‫ ِا‬
ِ
َ ‫َ َو‬
ْ8ُ ْ َ 
َ  9
ُ ْ‫ ِ;ن‬#َ ,‫ُوا‬,6ِ #ْ 7َ #َ 1ُ ُ&2ُ ْ ‫ َوِإذَا َرَأ‬,‫!ُ ُ ا‬#َ 1ُ ُ&2ُ ْ ‫ ) ِإذَا َرَأ‬:‫و َُ ُل‬
.(  َ ِC َCَ ُ َ ‫ ُ"رُوا‬%ْ َ# ْ8ُ ْ َ
َ ) َ &ِ 9ْ ‫ ِ;نْ ُأ‬#َ ):ٍ ِB
ْ &ُ ِ‫ َو‬.ِ ْ َ َ ٌ>?َ 2 ُ ( ُ َ ‫ ُ"رُوا‬%ْ َ#
(
َ ِC َCَ ‫ " َة‬.ِ ْ ‫ ْآ ِ&ُ ا َا‬7َ #َ ) :‫ي‬
D ‫َ ِر‬EFُ ْ ِ ‫َو‬
“Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda: "Apabila engkau sekalian melihatnya (hilal) shaumlah, dan apabila engkau
sekalian melihatnya (hilal) berbukalah, dan jika awan menutupi kalian maka perkirakanlah."
Muttafaq Alaihi. Menurut riwayat Muslim: "Jika awan menutupi kalian maka perkirakanlah tiga
puluh hari." Menurut riwayat Bukhari: "Maka sempurnakanlah hitungannya menjadi tigapuluh
hari." 2

Keadaan dimana pada malam 29 Sya’ban hilal tidak terlihat dikarenakan mendung, awan, asap,
atau yang semisalnya sehingga menggenapkan atau menyempurnakan bilangan Sya’ban
menjadi 30 hari disebut dengan istilah ikmal.
2. Pendapat yang kedua yaitu pendapat yang mashur dari Iman Ahmad Rahimahullah, beliau
berpendapat wajib berpuasa ketika itu dengan keyakinan telah masuk Ramadhan. Beliau juga
berhujah dengan hadis Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhu di atas dengan lafadz

ُ َ ‫ ُ"رُوا‬%ْ َ# ْ8ُ ْ َ 
َ  9
ُ ْ‫ ِ;ن‬#َ
”Jika awan menutupi kalian maka perkirakanlah ”,

Menurut beliau makna ”faqduruulah” adalah ”persempitlah” yakni mempersempit bulan


Sya’ban cukup dengan 29 hari saja dan keesokan harinya sudah memasuki bulan Ramadhan.
Beliau juga berhujah dengan perbuatan Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhu dan sebagian
sahabat yang lain.
3. Pendapat yang ketiga adalah kalau keadaanya mendung maka dikembalikan kepada keputusan
penguasa atau pemerintah dalam hal puasa dan hari raya.

Dari ketiga pendapat tersebut, pendapat yang kuat adalah pendapat jumhur ulama yang mengatakan
bahwa haram berpuasa pada yaumu syak. Adapun argumentasi yang dibawakan oleh pendapat yang
kedua ini dijelaskan dalam riwayat-riwayat yang lainnya, bahwa pengertian ”faqduruulah” ialah dikira-
kirakan dalam sisi hisabnya atau hitungan bilangan Syaban yakni digenapkan menjadi 30 hari. Hal ini
dijelaskan dengan riwayat yang sama dari hadis Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhu dan juga
dikuatkan dengan hadis Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu,

2
Bulughul Maram, Kitab Shiyam hadis no. 671
Seri Persiapan Puasa Ramadhan
http://muhamadilyas.wordpress.com

(
َ ِC َCَ ‫ن‬
َ َF.ْ L
َ ‫ " َة‬
ِ ‫ ْآ ِ&ُ ا‬7َ#َ ) ( ‫ َة ر*) ا‬,َ ْ ,َ ‫ َأِ) ُه‬J
ِ ِ"K
َ )ِ# ُ َ‫َ َو‬
Menurut riwayatnya dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu: "Maka sempurnakanlah hitungan
bulan Sya'ban 30 hari."3

Adapun yang meraka nukil dari perbuatan sebagian sahabat Radhiyallahu 'anhuma maka jawabannya
ialah mengikuti kaidah bahwa yang dianggap atau yang dijadikan pegangan ialah apa yang diriwayatkan
oleh sahabat tadi bukan pendapat sahabat tadi, sebab Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhu telah
meriwayatkan hadis dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menjelaskan makna pendapat jumhur
ulama, sedangkan pendapat beliau sendiri pendapatnya tidak sesuai dengan riwayat yang beliau
bawakan.

Pendapat jumhur ini dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah, Syaikhul Islam Ibnu
Qayim Al Jauziyah Rahimahullah, Al Imam Ibnu Abdil Hadi Rahimahullah, Al Hafidz Ibnu Hajar
Rahimahullah, Al Imam As Shon’ani Rahimahullah, Al Imam As Syaukani Rahimahullah, dan lain-lainnya
dari kalangan ulama kaum muslimin.

SEPUTAR RU’YATUL HILAL DAN HISAB

Kalau kita lihat di sini tidak ada satu pendapat pun dari pendapat-pendapat yang dsebutkan tadi yang
mengatakan kalau terjadi mendung maka dilakukan hisab. Tidak ada satu ulama pun yang menoleh atau
membicarakan masalah hisab dalam hal ini melainkan tiga pendapat di atas.

Disyariatkan untuk melihat hilal (bulan sabit) untuk menetapkan 1 Ramadhan dan 1 Syawal. Ini adalah
salah satu prinsip kaum muslimin, salah satu prinsip agama Islam yang dibawa Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam. Hal ini didasarkan dengan ayat Allah Subhanahu wata’ala ,


َ ْ ‫س وَا‬
ِ ِ 
ُ ِ‫ ََا‬
َ ‫ِ ا ِه  ِ ُْ ِه‬
َ 
َ َ َُْ !َ
”Mereka bertanya kepadamu tentang hilal. Katakanlah: "Hilal itu adalah tanda-tanda waktu bagi
manusia dan (bagi ibadah) haji.” [QS. Al Baqarah (2) : 189]

Juga berdasarkan hadis-hadis shahih, di antaranya,

#ِ ْ َ
َ #ُ  ‫ * ا‬+
َ #ِ  ‫ل ا‬
ُ ُ,‫ل َر‬ َ َ ‫ل‬ َ َ #ُ ْ 
َ #ُ  ‫ ا‬
َ$ِ ‫َ َأ(ِ ُه َ' ْ! َ' َة َر‬
ْ-.ُ ْ َ
َ - /
ُ ْ‫ن‬1ِ2َ ‫'ُوا‬3
ِ 2ْ َ2َ 4ُ ُ56ُ!ْ ‫ُُا َوِإذَا َرَأ‬92َ ‫ل‬ َ َ:ِ ْ ‫ْ ا‬-6ُ !ْ ‫ ِإذَا َرَأ‬-َ  َ,‫َو‬
ًْ!َ  َ ِ< َ<َ ‫ُُا‬92َ

3
Bulughul Maram, Kitab Shiyam hadis no. 672
Seri Persiapan Puasa Ramadhan
http://muhamadilyas.wordpress.com

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu , ia berkata:Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam


bersabda: Apabila engkau melihat hilal (awal bulan Ramadan), maka hendaklah engkau
memulai puasa. Apabila engkau melihat hilal (awal bulan Syawal), maka hendaklah engkau
berhenti puasa. Dan apabila tertutup awan, maka hendaklah engkau berpuasa selama 30 hari.
(HR .Muslim no. 1808 )

Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu berkata, "Nabi (Abul Qasim) bersabda, 'Berpuasalah bila kamu
melihatnya (hilal tanggal satu Ramadhan), dan berbukalah bila kamu melihatnya (hilal tanggal 1
Syawal). Jika bulan itu tertutup atasmu, maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban tiga puluh
hari.'" (HR. Bukhari no. 924)

Dari ayat dan hadis-hadis tersebut sangat jelaslah bahwa penetapan 1 Ramadhan dan 1 Syawal
dikaitkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan ru’yatul hilal (melihat hilal/bulan
sabit). Hal ini tidak hanya disabdakan tetapi juga dipraktikan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, Hakim, dan Ibnu Majah
dengan sanad shahih dari Abdullah Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhu, beliau mengkisahkan,

‫ت‬
ُ ْ,Fَ R
ْ 7َ #َ ,‫س َا ْ ِ'َ َل‬
ُ (َ‫َاءَى ا‬,Pَ ) :‫َ َل‬% َ&'ُ (ْ 
َ ُ َ‫) ا‬
َ*ِ ‫ َر‬,َ &َ 
ُ  ِ ْ ‫ ِا‬
َِ ‫َ َو‬
( ِ ِ َ !
ِ ِ ‫س‬ َ (َ‫ ا‬,َ َ ‫ َوَأ‬,‫!َ َم‬#َ ,ُ 2ُ ْ ‫) َرَأ‬DS‫َرُ َل اَ ِ  ا   و َأ‬
ُ ‫َ ِآ‬Uْ ‫ وَا‬,‫ن‬
َ FK
ِ 
ُ ْ ‫ ُ ِا‬U
َU
َ ‫ َو‬,‫ َأُ دَا ُو َد‬1ُ ‫َروَا‬
Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Orang-orang melihat hilal, lalu aku beritahukan kepada
Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bahwa aku benar-benar telah melihatnya. Lalu beliau shaum
dan menyuruh orang-orang agar shaum. Riwayat Abu Dawud. Hadits shahih menurut Hakim
dan Ibnu Hibban.4

Juga hadis dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu,

  ‫)  ا‬ D Fِ ( َ‫َ َء ِإَ ا‬V W ِ ‫َا‬,ْ ‫ن َأ‬  ‫ ْ( ُ'&َ َأ‬


َ ُ َ‫) ا‬
َ*ِ ‫س َر‬ ٍ F َ ِ ْ ‫ ِا‬
َِ ‫َ َو‬
:‫َ َل‬% " ?ُ َ‫ َ' ُ" َأنْ َ ِإ َ َ ِإ ا‬ْ Pَ ‫ " َأ‬:‫َ َل‬#َ ,‫ َا ْ ِ'َ َل‬- ُ ْ ‫) َرَأ‬DS‫ )ِإ‬:‫َ َل‬#َ ‫و‬
)ِ# ْ‫ذن‬D 7َ #َ " :‫َ َل‬% .ْ.َ Sَ :‫َ َل‬% " ?ِ َ‫ &"ًا َرُ ُل ا‬U َ ُ ‫ن‬ ‫ َ' ُ" َأ‬
ْ Pَ ‫ " َأ‬:‫َ َل‬% .ْ.َ Sَ
,[َ &َ ْ \َ R
ُ 
ُ ْ ‫ ُ ِا‬U
َU 
َ ‫ َو‬,[ُ B َ &ْ Eَ ْ ‫ َا‬1ُ ‫"ًا"( َروَا‬9 َ ‫س َ َِ ُل َأنْ َ!ُ ُ ا‬ ِ (َ‫ا‬
ُ َ َْ‫) ِإر‬
 ]ِ َB( ‫^ ا‬ َV  ‫ن َو َر‬َ FK
ِ  ُ ْ ‫وَا‬

4
Bulughul Maram, Kitab Shiyam hadis no. 673
Seri Persiapan Puasa Ramadhan
http://muhamadilyas.wordpress.com

Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhuma bahwa ada seorang Arab Badui menghadap Nabi
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, lalu berkata: “Sungguh aku telah melihat hilal”. Nabi Shallallaahu
'alaihi wa Sallam bertanya: "Apakah engkau bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah?" Ia
berkata: “Ya”. Beliau bertanya: "Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad itu utusan Allah?"
Ia menjawab: “Ya”. Beliau bersabda: "Umumkanlah pada orang-orang wahai Bilal, agar besok
mereka shaum." Riwayat Imam Lima. Hadits shahih menurut Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban,
sedang An Nasa'i menilainya mursal. 5

Inilah sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang juga diamalkan oleh para sahabat,
padahal pada waku itu ilmu perbintangan/ilmu nujun/ ilmu falak sangat mashur. Mereka sangat
terbiasa menggunakan bintang untuk menunjuk arah termasuk arah kiblat dan yang
semisalnya. Namun hal ini (penggunaah ilmu nujum/ilmu hisab) tidak ditoleh sama sekali oleh
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, akan tetapi beliau menggunakan cara ru’yatul hilal
dalam penetapan 1 Ramadhan dan 1 Syawal. Hal ini menunjukkan suatu ketetapan baku dari
sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa untuk penetapan 1 Ramadhan dan 1
Syawal menggunakan cara ru’yatul hilal bukan hisab.

Begitu juga dengan para ulama, meraka menyatakan larangan untuk menggunakan hisab
dalam penetapan 1 Ramadhan dan 1 Syawal. Diantaranya yang dikatakan oleh Al Imam Ibnu
Badzizah Rahimahullah sebagaimana yang dinukil oleh Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani
Rahimahullah dalam Kitab Fathul Baari. Al Imam Ibnu Badzizah Rahimahullah berkomentar
tentang hisab, beliau mengatakan,

”Madzhabnya ahli nujum atau ahli hisab ialah madzhab yang bathil. Syariat islam telah
melarang kita untuk berjalan-jalan dalam mempelajari ilmu nujum (ilmu perbintangan), sebab
yang namanya ilmu nujum itu hanyalah praduga (prakiraan) dan tidak ada kepastian di
dalamnya.”

Ilmu nujum adalah ilmu yang berdasarkan prasangka atau perkiraan saja di mana tidak ada
kepastian di dalamnya. Islam telah melarang kaum muslimin untuk beragama seperti ini
sehingga Al Imam Ibnu Badzizah Rahimahullah mengatakan bahwa ini adalah madzhab yang
bathil.

Al Imam Ibnu Daqiq al-'Id Rahimahullah, seorang ulama besar dari Mesir pada jamannya, beliau
mengatakan bahwa hisab tidak boleh menjadi pegangan dalam urusan puasa. Beliau juga
mengatakan bahwa mengganggap hisab dalam puasa Ramadhan atau Idul Fitri berarti
mengada-adakan syariat baru yang tidak diijinkan oleh Allah Subhanahu wata’ala.

5
Bulughul Maram, Kitab Shiyam hadis no. 674
Seri Persiapan Puasa Ramadhan
http://muhamadilyas.wordpress.com

Begitu juga dengan imam madzhab yang empat, kesemuanya juga menggunakan ru’yatul hilal.
Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad bin Hambal, Imam Malik dan Imam Syafi’I Rahimakumullah
semuanya sepakat penggunaan metode ru’yatul hilal dan menolak penggunaan metode hisab
dalam penetapan 1 Ramadhan dan 1 Syawal.

Fatawa Al Lajnah Ad Daimah, yang berada di Saudi Arabia yang dipimpin oleh Syaikh Abdul Aziz
bin Abdullah bin Baz Rahimahullah, mengeluarkan fatwa ketika ditanya tentang masalah hisab.
Setelah menjabarkan panjang lebar, pada kesimpulannya mereka mengatakan bahwa merujuk
kepada ilmu nujum di dalam menetapkan bulan-bulan hijriah, di dalam menetapkan awal atau
akhir ibadah dengan tanpa mengamalkan ru’yatul hilal merupakan kebidahan yang tidak ada
kebaikannya sama sekali dan tidak ada sandaran syariatnya sama sekali”.

Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah, Syaikh Al Albani Rahimahullah dan ulama-ulama besar
lainnya sekarang ini juga mengatakan dan memfatwakan hal yang sama. Tidak ada seorang pun
yang mengatakan bolehnya menggunakan hisab.

Apa hukumnya menggunakan teropong ketika ru’yatul hilal?

Untuk masalah ini Lajnah Daimah, juga fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah mengatakan
bahwa menggunakan teropong untuk memperjelas hilal diperbolehkan, akan tetapi tidak wajib
sebab dhohir hadis tentang masalah hilal itu dengan mata kepala. Namun kalau menggunakan
teropong supaya lebih jelas, maka tidak mengapa karena tidak melanggar. Hal ini termasuk
dalam kaidah besar para ulama yaitu bahwa yang namanya wasilah (media atau perantara)
tidaklah mengapa.

Wallahu ’alam bishawab

Refernsi:

- Kajian Ramadhan Ust. Muhammad Afif


- Bulughul Maram

You might also like