You are on page 1of 16

ANALISIS FILOGENETIK Bufo melanostictus, Schneider, 1799 DAN Bufo asper, Gravenhorst, 1829 (BUFONIDAE) SUMATERA BARAT DAN

KAWASAN ASIA DENGAN GEN 16S rRNA DAN SITOKROM b Tesis oleh: Lusiana Tjandra (Dibawah Bimbingan Dr. Djong Hon Tjong M.Si dan Dr. Syaifullah)

ABSTRAK

Penelitian mengenai Analisis Filogenetik Bufo melanostictus, Schneider, 1799 dan Bufo asper, Gravenhorst, 1829 (Bufonidae) Sumatera Barat dan Kawasan Asia dengan gen 16S rRNA dan sitokrom b telah dilaksanakan pada bulan Desember 2010 sampai dengan September 2011 di Laboratorium Bioteknologi, Fakultas Pertanian dan Laboratorium Genetika dan Sitologi, Jurusan Biologi, FMIPA, UNAND, Padang. Metoda deskriptif digunakan dengan mengamati DNA amplifikasi dengan menggunakan mesin PCR Perkin Elmer dengan menggunakan primer F51 dan R51 untuk amplifikasi dan sekuensing pada gen 16S rRNA, dan Fow 1-1 dan Rev-1 untuk amplifikasi dan sekuensing pada gen sitokrom b yang di modifikasi dengan tujuan untuk menganalisis hubungan filogenetik B. melanostictus dan B. asper yang terdapat pada beberapa lokasi di Sumatera Barat dan kawasan Asia berdasarkan analisis gen 16S rRNA dan sitokrom b. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan filogenetik B. melanostictus dan B. asper Sumatera Barat dan kawasan Asia berdasarkan gen 16S rRNA dan sitokrom b adalah terbentuk dua klaster pada gen 16S rRNA yang terdiri dari 458 pasang basa (bp), pada B. melanostictus bersifat parafiletik dengan terbentuk dua subklaster dan monofiletk pada B. asper, sedangkan B. melanostictus dan B. asper berdasarkan gen sitokrom b bersifat monofiletik dengan dua klaster dengan 382 pasang basa (bp). ABSTRACT

The reseach about The Phylogenetic Analysis of Bufo melanostictus, Schneider, 1799 and Bufo asper, Gravenhorst, 1829 (Bufonidae) in West Sumatera and Asia Region with 16S rRNA and cytochrome b gene has been done at Desember 2010 to September 2011 in Biothechnology Laboratory, Agriculture Faculty and Genetic and Cytology Laboratory, Biology Department, Faculty Mathematic and Natural of Sciences, Andalas University, Padang. The descriptive method was used on amplification PCR by PCR Perkin Elmer machine with F51 primer and R51 primer to amplification and sequencing 16S rRNA gene and Fow 1-1 and Rev-1 primer to amplification and sequencing cytochrome b gene with modification to get the purpose of phylogenetic relationship of Bufo melanostictus and Bufo asper in few

location in West Sumatera and Asia Region with 16S rRNA and cytochrome b gene. The results showed that the phylogenetic analysis of Bufo melanostictus and Bufo asper in West Sumatera and Asia Region with 16S rRNA and cytochrome b gene are maked two cluster by 16S rRNA gene with 458 bp, assumption to Bufo melanostictus is paraphiletic with two subcluster and monophiletic to Bufo asper, while in cytochrome b gene B. melanostictus and B. asper is monophiletic with two cluster by 382 bp. PENDAHULUAN

Indonesia sebagai negara megabiodiversitas kedua didunia setelah Brazil memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya spesies yang ditemukan pada berbagai wilayah dengan karakter yang khas. Salah satunya adalah filum Chordata, kelas Amphibi, ordo Anura dan famili Bufonidae. Anura sebagai indikator biologi di alam memiliki kepekaan yang tinggi terhadap perubahan yang terjadi pada habitatnya. Penurunan populasi Anura di alam mengakibatkan keseimbangan rantai makanan dalam ekosistem terganggu

(Nurcahyani, Kanedi dan Kurniawan, 2009). Keberadaan amphibi sangat dipengaruhi kondisi iklim, tanah, topografi dan vegetasi, baik dalam areal yang sempit ataupun luas, dimana semua akan saling berhubungan dan membentuk komunitas biotik. Salah satu ordo Anura yang umum ditemukan dari famili Bufonidae. Penyebaran dari famili Bufonidae dengan spesies B. melanostictus dimulai dari India, Indocina sampai ke Indonesia, sedangkan penyebaran B. asper dimulai dari Indocina sampai ke Sumatera dan Kalimantan. Di Sumatera Barat kedua spesies tersebut ditemukan dari 384 1500 mdpl dan belum diketahui lebih jelas mengenai filogenetik

khususnya sungai barat dan timur serta Bukit Barisan seperti yang ada di pulau Sumatera (Alikodra, 1979; Iskandar, 1998; Mistar dan Iskandar, 2003). Sumatera Barat sebagai bagian dari pulau Sumatera memiliki geografi yang bervariasi. Pegunungan Bukit Barisan menyebabkan terpisahnya antara sungai barat dan timur serta perbukitan yang dapat memunculkan spesiasi pada organisme yang ada di Sumatera Barat. Asia sebagai benua terbesar dengan keanekaragaman hayati tertinggi didunia. Akibat peristiwa alam, kawasan di Asia mengalami pemisahan daratan. Indonesia merupakan bagian dari daratan Asia yang telah mengalami pemisahan tersebut dan berpengaruh terhadap biogeografi yang mengakibatkan terjadi perubahan karakter morfologi, anatomi dan filogenetik dari suatu populasi. Kondisi tersebut menimbulkan terjadinya isolasi baik isolasi adaptasi, isolasi geografi, isolasi reproduksi dan inbreeding pada suatu spesies (Mahardono, 1980; Tjong, 2003; Inger dan Voris, 2001). Analisis molekuler mampu untuk mengetahui filogenetik suatu spesies. Penggunaan metode molekuler sekuen DNA dalam studi filogenetik berdasarkan perubahan basa nukleotida dapat memperkirakan kecepatan evolusi untuk mengetahui filogenetik antara satu kelompok organisme dengan organisme lain (Wallace, 1981; Hartl and Clark, 1997; Wien, 2000; Frankham, Ballou and Briscoe, 2002). Metode molekuler yang sering digunakan dalam studi filogenetik mengenai populasi antara genus dan spesies adalah gen-gen yang terdapat di mitokondria seperti sitokrom dan 16S rRNA. Gen sitokrom adalah DNA mitokondria yang memiliki tingkat variasi dan mutasi yang tinggi dalam studi filogenetik (Wiley, 1998; Jamsari, 2007; Bretagnolle, Attie and Pasquet, 1998; Tjong, 2003).

Asia sebagai benua terbesar didunia memiliki variasi geografis dan biodiversitas yang sangat tinggi. Penyebaran fauna dan flora di Asia meliputi pulaupulau terdekat dan terjauh dari kawasan ini. Pergerakan lempeng bumi (tektonik) dan bencana alam menyebabkan beberapa kawasan Asia terpisah sehingga fauna dan flora yang ada di kawasan ini juga ikut terpisah. Pada kawasan-kawasan tertentu di Asia terdapat kesamaan fauna dan flora. Namun perubahan lingkungan dan penghalang fisik atau barrier mempengaruhi karakter morfologi dan genetik setiap spesies sehingga terjadi diferensiasi karakter. Persebaran amphibi di Asia Tenggara dipengaruhi tingginya permukaan laut. Berdasarkan sejarah geologi terbentuknya Asia Tenggara pada awal zaman tersier Eosen (50 juta tahun yang lalu). Indocina, Burma, Semenanjung Malaysia, Jawa, Sumatera, dan Kalimantan merupakan satu kontinental dari awal Eosen sampai akhir Oligosen (25 juta tahun lalu). Pulau Sumatera dibagi menjadi dua yaitu sisi barat dan sisi timur oleh pegunungan Bukit Barisan yang membujur dari utara sampai selatan pulau Sumatera yang diperkirakan terbentuk lebih dari 50 juta tahun yang lalu hingga 250 juta tahun yang lalu (Miosen) sehingga tercipta barrier yang dapat menghambat gen flow maka akan terjadi pemisahan populasi (Voris, 2000; Wang, Ysai, Tu dan Lee, 2000; Hall, 2001). Biogeografi Sumatera dan Asia yang sangat bervariasi ini diduga telah terjadi perubahan hubungan filogenetik Bufo melanostictus dan B. asper Sumatera Barat dan kawasan Asia sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai hubungan filogenetik B. melanostictus dan B. asper Sumatera Barat dan kawasan Asia berdasarkan analisis gen 16S rRNA dan sitokrom b yang bertujuan untuk menganalisis hubungan filogenetik B. melanostictus dan B. asper yang terdapat di Sumatera Barat dan

kawasan Asia berdasarkan analisis gen 16S rRNA dan sitokrom b. Manfaat penelitian ini diharapkan menjadi referensi dalam kajian seperti evolusi, biosistematik, taksonomi dan untuk meningkatkan potensi B. melanostictus dan B. asper sebagai biodiversitas fauna Indonesia serta menambah khazanah ilmu pengetahuan. PELAKSANAAN PENELITIAN

Material dan Metoda Metoda penelitian dilakukan secara deskriptif dengan mengamati DNA amplifikasi dengan menggunakan mesin PCR Perkin Elmer dengan menggunakan primer F51 (5-CCC GCC TGT TTA CCA AAA ACA T-3) dan R51 (5-GGT CTG AAC TCA GAT CAC GTA-3) untuk amplifikasi dan sekuensing gen 16S rRNA, dan Fow 1-1 (5-ACM GGH YTM TTY YTR GC ATR CAY TA-3) dan Rev-1 (5-TAD GCR AAW AGR AAR TAY CAY TCN GG-3) untuk amplifikasi dan sekuensing pada gen sitokrom b yang dimodifikasi dengan melakukan isolasi DNA, amplifikasi DNA, identifikasi DNA hasil amplifikasi dan sekuensing DNA (Mulcahy dan Mendelson, 2000; Farias, Ort, Sampaio, Schneider dan Meyer, 2001; Jamsari, 2007; Tjong, 2003; Tjong, Matseu, Kuramoto, Belabut, Sen, Nishioka and Sumida, 2007). Sampel dikoleksi dari Sumatera Barat dengan lokasi dari daerah Merapi, Malampah, Rimbo Panti dan Siberut. Sampel kawasan Asia diambil dari data hasil sekuensing DNA yang diakses dari internet dengan situs www.ncbi.nlm.nih.gov dengan kode GenBank EU 071743 (India 1), DQ 904384 (India 2), EU 071751 (India 3), EU 071750 (India 4), EU 071755 (India 5), AF 160790 (Cina), AF 160792

(Vietnam 1), AF 160793 (Vietnam 2), AB 435318 (Malaysia), AF 249082 (India 6), untuk Bufo melanostictus dan AF 124109 (Pulau Tanak Masa) untuk Bufo asper dengan outgroup GU 934333 dan FJ 349553 untuk Limnonectes kuhlii.

Analisis Filogenetik Analisis data sekuensing DNA terhadap hubungan filogenetik B.

melanostictus dan B. asper Sumatera Barat dan kawasan Asia berdasarkan analisis gen 16S rRNA dan sitokrom b dengan aligment data sekuen dilakukan dengan program Clustal X versi 1.64b dimana hasil alignment diedit dengan menggunakan program Bioedit dan pohon filogenetik dibuat berdasarkan sekuen DNA gen 16S rRNA dan sitokrom b dengan menggunakan beberapa program software berdasarkan beberapa metode statistik yaitu, distance method, parsimony method dan likehood method. HASIL DAN PEMBAHASAN

Perubahan

genetik

dapat

terjadi

akibat

isolasi

geografi

sehingga

menyebabkan terjadi isolasi reproduksi yang berpengaruh terhadap perkawinan interpopulasi atau inbreeding. Inbreeding terjadi pada individu yang dekat kekerabatannya ke individu yang ada pada populasi acak sehingga meningkatkan alel homozigot dalam populasi. Inbreeding memungkinkan munculnya individu homozigot untuk alel resesif yang sebelumnya tersembunyi dalam heterozigot. Populasi inbreeding memiliki angka rata-rata fitness yang rendah. Penggunaan metode molekular dengan sekuen DNA dan RNA melalui analisis sitokrom dan 16S

dapat menentukan hubungan filogenetik spesies dalam populasi secara spesiasi dan evolusi yang masih belum jelas akibat isolasi yang terjadi di alam (Hartl and Clark, 1997; Frankham, Ballou and Briscoe, 2002; Coyne and Orr, 2004). DNA sebagian besar terdapat di dalam nukleus dan sebagian kecil terdapat di organel seperti kloroplast, mitokondria dan ribosom. DNA mampu menentukan karakter suatu individu yang ekspresinya dipengaruhi oleh interaksi diantara materi genetik di dalam maupun di luar sel (Watson, David and Kurtz, 1988; Jamsari, 2007). Analisis filogenetik suatu spesies dapat dilakukan pada karakter morfologi dan gen-gen yang berada di dalam dan di luar tubuh dengan sekuen DNA mitokondria. Penggunaan sekuen DNA mitokondria memperjelas hubungan spesies secara evolusi yang kabur akibat variasi morfologi. Pada kelompok amphibi telah banyak digunakan sekuen DNA mitokondria untuk mengkaji hubungan kekerabatan (Avise, 1994). Studi filogenetik yang telah dilakukan oleh Hay, Ruvinsky, Hedges dan Maxon (1995), terhadap 28 dari 40 famili amphibi berdasarkan DNA mitokondria 12S dan RNA ribosomal 16S memperlihatkan amphibi dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok besar yaitu ordo Anura, Caudata dan Gymnophiona. Perubahan genetik dapat diamati dengan prinsip parsimoni untuk menentukan perbedaan sekuen DNA di antara organisme dengan nenek moyang yang sama. Sekuen DNA mitokondria memperlihatkan variasi DNA suatu populasi, perubahan breeding suatu individu dan isolasi terhadap populasi tersebut (Liu, Lathrop, Fu, Yang dan Murphy. 2000; Tjong, et.all, 2007). Pada hewan vertebrata, analisis dengan gen sitokrom b mampu menunjukkan spesies origin hingga ke tingkat genus (Parson, Pegoraro, Niedersttter, Fger dan Steinlechner, 2000).

Analisis Filogenetik B. melanostictus dan B. asper berdasarkan Gen 16S rRNA Hasil analisis filogenetik dengan menggunakan gen 16S rRNA (Gambar 1.) terdiri dari 458 pasang basa (bp) pada B. melanostictus dan B. asper yang terdapat di Sumatera Barat yang dibandingkan dengan kawasan Asia memiliki kandungan ratarata G adalah 22%, kandungan A adalah 25%, sedangkan kandungan C adalah 19% dan T adalah 32%. Berdasarkan 458 pasang basa (bp) tersebut B. melanostictus dan B. asper, diperoleh alignment site 31, variabel polimorfik site 105 dengan single site 63 dan parsimony site 42 dan invariabel monomorfik site 322 serta diversity haplotipe 0.97 dengan nomor distribusi haplotipe 12. Berdasarkan analisis molekular, B. melanostictus dan B. asper terpisah menjadi dua klaster. Klaster pertama dengan nilai bootsraps 92, 96, 100 (Maksimum likehood (ML)/Maksimum parsimony (MP)/Neighborjoining (NJ) pada B.

melanostictus yang berasal dari India, Vietnam, Cina, Malaysia dan Pulau Siberut. B. melanostictus dari Pulau Siberut masuk lewat aktivitas manusia (invasive spesies) ke Pulau Siberut. Pada klaster pertama terbagi atas subklaster 1 B. melanostictus yang berasal dari India, sedangkan subklaster 2 berasal dari Vietnam, Malaysia, Cina dan Pulau Siberut. Klaster kedua dengan nilai bootsraps (ML, MP dan NJ) 100,100,100 pada B. asper yang berasal dari Malampah, Rimbo Panti dan Pulau Tanak Masa. Pada klaster kedua dibagi atas subklaster 1 B. asper yang berasal dari Malampah dan Rimbo Panti, sedangkan subklaster 2 dari Pulau Tanak Masa. Mayr (1970) menyatakan bahwa suatu populasi yang memiliki tingkat kedekekatan hubungan

kekerabatan yang tinggi mempunyai banyak persamaan morfologi, genetik dan dipengaruhi oleh keadaan lingkungan. B. melanostictus yang berasal dari Pulau Siberut dengan kawasan Asia seperti India, Vietnam, Cina dan Malaysia kemungkinan telah terjadi perbedaan ancestor (parafiletik). B. asper yang berasal dari Rimbo Panti, Malampah dan Pulau Tanak Masa mempunyai kesamaan sekuen pada site tertentu dari hasil analisis sekuensing DNA. Kemungkinan B. asper pada klaster I dengan subklaster 2 bersifat monofiletik Jarak genetik (sekuen divergen) terendah dari tabel 2 adalah 0.02% terdapat pada B. melanostictus dikawasan Asia dengan lokasi India 3 dan India 4, sedangkan jarak genetik (sekuen divergen) tertinggi adalah 3.6% dengan lokasi India dan Cina pada B. melanostictus. Pada B. asper memiliki persentase jarak genetik (sekuen divergen) terendah adalah 1.50% pada lokasi pulau Tanak Masa dan persentase jarak genetik tertinggi adalah 14% pada lokasi Malampah. Persentase sekuen divergen dengan nilai 2.0%-3.0% berdasarkan gen 16S rRNA akan mengubah status spesies tersebut, sedangkan nilai 11.0% pada persentase sekuen divergen berdasarkan gen 16S rRNA diindikasikan sebagai spesies baru (Kartavtsev dan Lee, 2006 cit. Tjong, 2007). Perbedaan kondisi geografis menyebabkan perubahan lingkungan. Barrier

menyebabkan suatu populasi memiliki jarak genetik (sekuen divergen) yang berpengaruh terhadap karakter genetik (Endler, 1977). B. melanostictus dan B. asper merupakan jenis amphibi yang mampu menyebar secara cepat apabila habitat yang lama mengalami perubahan atau terdegradasi akibat faktor lingkungan sehingga jenis ini mencari habitat baru yang mampu menjaga keseimbangan dan kelestarian populasi ini. Hasil penelitian ini

menduga bahwa jenis ini adalah jenis amphibi pendatang (invasive species). Spesies pendatang (invasive species) atau yang dikenal sebagai non-native,

nonindigenous, exotic, alien adalah spesies yang mempunyai tingkat pergerakan atau migrasi yang tinggi dibandingkan dengan spesies lain. Invasive species dapat menempati segala jenis habitat, memiliki kemampuan dalam beradaptasi, mampu mempengaruhi spesies asli (native species), mampu mengurangi jumlah spesies asli dan mencari daerah baru apabila telah terjadi perubahan pada daerah yang dulu ditempati. Invasive species harus dapat ditekan perkembangannya atau dikontrol karena dapat mengganggu keberadaan spesies asli (native species) sehingga dapat menyebabkan penurunan jumlah spesies asli (National Invasive Species Council, 2000).

Analisis Filogenetik B. melanostictus dan B. asper berdasarkan Gen Sitokrom b Analisis filogenetik (Gambar 2.) B. melanostictus dan B. asper Sumatera Barat dan kawasan Asia berdasarkan gen sitokrom b terbagi atas dua klaster dengan 7 sampel. Pada klaster pertama nilai bootsraps (ML, MP dan NJ) 100, 100, 100 pada B. asper yang berasal dari Rimbo Panti dan Malampah. Klaster kedua dengan nilai bootsraps 100, 100, 100 (ML, MP dan NJ) pada B. melanostictus yang berasal dari Merapi, Pulau Siberut dan India. Pengamatan gen sitokrom b pada B. melanostictus dan B. asper Sumatera Barat dan kawasan Asia memiliki kandungan rata-rata G adalah 13%, kandungan A adalah 25%, sedangkan kandungan C adalah 33% dan T adalah 28% yang terdiri dari 382 pasang basa (bp) dengan variabel polimorfik site 119 dengan single site 50 dan parsimony site 69 dan invariabel monomorfik site 263 serta diversity haplotipe 0.95 dengan nomor distribusi haplotipe 6.

10

B. melanostictus dari Merapi, Pulau Siberut dan India 6 berada pada klaster yang sama. B. melanostictus dari Pulau Siberut kemungkinan diintroduksi dari Sumatera Barat terbawa melalui jalur transportasi sebagai bentuk aktivitas manusia. Sumatera merupakan daerah distribusi dari B. melanostictus dari Pulau Siberut kemungkinan berkerabat dekat dengan B. melanostictus dari India atau berasal dari nenek moyang yang sama (monofiletik), sedangkan B. asper dari daerah Rimbo Panti dan Malampah memiliki filogenetik yang sangat dekat karena kondisi geografis dari kedua daerah ini memiliki kesamaan dan belum dipengaruhi oleh aktivitas manusia. Persentase jarak genetik (sekuen divergen) terendah adalah 0.2% pada lokasi Merapi dan Siberut yang dibandingkan dengan B. melanostictus India. B. melanostictus yang berada pada daerah Merapi dan Pulau Siberut berada pada gugus yang sama (bagian barat) dan India terpisah karena terdapat barrier berupa lautan. Pada B. asper memiliki persentase jarak genetik (sekuen divergen) terendah adalah 20% dan persentase jarak genetik tertinggi adalah 21%. Vences, Kosuch, Glaw, Bohme, dan Veith, 2003) menyatakan persentase sekuen divergen dengan nilai 3.0% berdasarkan gen sitokrom b akan mengubah status spesies tersebut, sedangkan nilai 11.0% pada persentase sekuen divergen berdasarkan gen sitokrom b diindikasikan sebagai spesies baru. Penyebaran B. melanostictus dan B. asper sangat cepat, ini terlihat dari kemampuan jenis ini dalam beradaptasi dilingkungan aktivitas manusia. Kedua jenis Bufo ini dapat menyebabkan spesies lain yang menempati daerah tersebut menjadi kurang berkembang akibat kompetisi, simbiosis dan predator sehingga jenis ini tergolong spesies pendatang (invasive species). Mooney dan Cleland (2001)

11

menyatakan invasive spesies merupakan spesies yang mampu bertahan dan merubah lingkungan biotik yang akan mempengaruhi proses evolusi dilingkungan baru. Invasive spesies adalah jenis spesies yang dapat berinteraksi dengan spesies asli (native species). Namun spesies ini dapat menyebabkan spesies tertentu mengalami penurunan populasi akibat kompetisi. KESIMPULAN

Hubungan filogenetik B. melanostictus dan B. asper pada beberapa lokasi di Sumatera Barat dengan kawasan Asia berdasarkan analisis gen 16S rRNA dan sitokrom b adalah terbentuk dua klaster pada gen 16S rRNA yang terdiri dari 458 pasang basa (bp), pada B. melanostictus bersifat parafiletik dengan terbentuk dua subklaster dan monofiletk pada B. asper, sedangkan B. melanostictus dan B. asper berdasarkan gen sitokrom b bersifat monofiletik dengan dua klaster dengan 382 pasang basa (bp). DAFTAR PUSTAKA

Alikodra,. H. S. 1979. Konservasi Alam dan Pengelolaan Margasatwa. Bagian III (Pengelolaan Margasatwa). Jurusan Sumber Daya Alam dan Lingkungan IPB. Bogor. Avise, J. C. 1994. Molecular Marker, Natural History and Evolution. Chapman and Hall. USA. Balai Taman Nasional Siberut. 2010. Herpetofauna : Mengenal Reptil dan Amphibia di Taman Nasional Siberut. Balai Taman Nasional Siberut. Bretagnolle, V, C. Attie and E. Pasquet. 1998. Cytochrome-B Evidence for Validity and Phylogenetic Relationships of Pseudobulweria and Bulweria (Procellaridae). Moleculer Phylogenetics and Evolutions 115: 188-195.

12

Coyne, J. A, H. A. Orr. 2004. Speciation. Sinauer Published. Sundaland. USA. Endler, J. A. 1977. Geographic, Variation, Speciation and Clines. Princeton University. New Jersey. Farias, I. P, G. Ort, I. Sampaio, H. Schneider, A. Meyer. 2001. The Cytochrome b Gene as a Phylogenetic Marker: The Limits of Resolution for Analyzing Relationships Among Cichlid Fishes. Journal Molecular Evolution 53:89103. Frankham, R, J. D Ballou and D. A Briscoe. 2002. Introduction to Conservation Genetics. Cambridge University Press. UK. Hall, R. 2001. Cenozoic Reconstructions of SE and The SW Pacific : Changing Patterns of land and Sea. In Metcalfe, I., J. M. B Smith, M. Morwood, and I. D. Davidson. Faunal and Floral Migration and Evolution in SE AsiaAustralia 35-56. Hay, J. A, I. Ruvinsky, S. B Hedges and L. R Maxon. 1995. Phylogenetic Relationships of Amphibian Families Inferred from DNA Sequences of Mitochondrial 12S and 16S Ribosomal RNA. Molecular Biological and Evolution 12(5): 928-937. Hartl, D.L and Clark, A.G. 1997. Principles of Population Genetics 3 Sinaeur Associates, Inc. Publishers Sunderland, Massachusetss.
rd

Edition.

Inger, R. F and H. K Voris. 2001. Biogeographycal Relations of The Frog and Snake of Sundaland. Journal of Biogeography 28: 863-891. Iskandar, D. T. 1998. Amphibi Jawa dan Bali. Puslitbang Biologi LIPI. Jakarta. Jamsari. 2007. Bioteknologi Pemula Prinsip Dasar dan Aplikasi Analisis Molekuler. UNRI Press. Pekanbaru. Liu, W, A. Lathrop, J. Fu, D. Yang dan R. W. Murphy. 2000. Phylogeny of East Asian Bufonids Inferred from Mitochondrial DNA Sequences (Anura: Amphibia). Molecular Phylogenetics and Evolution Vol. 14, No. 3, pp. 423435. Mahardono, A. 1980. Anatomi Katak. PT Intermasa. Jakarta. Mayr, E. 1970. Population Spesies and Evolution. Harvard University Press. England Mistar dan D.T Iskandar. 2003. Panduan Lapangan Amphibi Kawasan Ekosistem Leuser. PILI-NGO Movement. Jakarta.

13

Mooney, H. A. and Cleland, E. E. 2001. The Evolutionary Impact of Invasive Species. Department of Biological Sciences, Stanford University, Stanford, California.

Mulcahy, D. G dan J. R Mendelson. 2000. Phylogeography and Speciation of the Morphologically Variable, Widespread Species Bufo valliceps, Based on Molecular Evidence from mtDNA. Molecular Phylogenetics and Evolution Vol. 17, No. 2, pp. 173189. National Invasive Species Council. 2000. Meeting The Invasive Species Challenge. http://www.invasivespecies.gov/council/mp.pdf. USDA-APHIS-PPQ. Nurcahyani, N, M. Kanedi dan E.S Kurniawan. 2009. Inventarisasi Jenis Anura Di Kawasan Hutan Sekitar Waduk Batutegi, Tanggamus, Lampung. Jurusan Biologi FMIPA. Universitas Lampung. Parson, W, K. Pegoraro, H. Niedersttter, M. Fger and M. Steinlechner. 2000. Species Identification by Means of The Cytochrome b Gene. Institute of Legal Medicine, University of Innsbruck. Austria. Tjong, D. H. 2003. Hubungan Filogenetik Beberapa Spesies Limnonectes (Ranidae : Amphibia) yang Terdapat di Sumatera Barat Didasarkan atas Gen 16S Ribosomal RNA. Tesis Magister. Bidang Khusus Genetika dan Biologi Molekular. Program Studi Biologi. Program Pasca Sarjana. Institut Teknologi Bandung. Tjong, D. H., M. Matseu, M. Kuramoto, D. M. Belabut, Y. H. Sen, M.Nishioka and M. Sumida. 2007. Morphological Divergence, Reproduktive Isolating Mechanism and Moleculer Phylogenetik Relationship, Among Indonesia, Malaysia, and Japan Populations of the Fejervaria limnocharis Complex (Anura, Ranidae). Zoological Science 24: 1197-1212. Vences, M., D. R. Vieites, F. Glaw, H. Brinkmann, J. Kosuch, M.Veith and A. Meyer. 2003. Multiple Overseas Dispersal in Amphibians. Royal Society Published 270, 24352442. Voris, H. K. 2000. Maps of Pleistocene Sea Levels in Southeast Asia : Shorelines, River System and Time Durations. Journal Biogeography 27 : 1153-1167. Wallace, B. 1981. Basic Population Genetic. Columbia University Press. New York. Wang, H. Y, M. P Ysai, M. C Tu dan S. C Lee. 2000. Universal Primer for Amplification of Complete Mitocondrial 12S rRNA in Vertebrates. Zoological Study Vol. 39(1) : 61-66. Watson, J. D, J. T. David and T. Kurtz. 1988. DNA Rekombinan. Erlangga. Jakarta.

14

Wien, J. J .2000. Phylogenetic, Analysis of Morphological Data. Smithsonian Institution. USA. Wiley, E. O. 1998. The Theory and Practice of Phylogenetic Systematic. Wiley-Liss.

LAMPIRAN

B. melanostictus India 1 B. melanostictus India 2 B. melanostictus India 3 B. melanostictus India 4 B. melanostictus India 5 B. melanostictus Vietnam 1 B. melanostictus Vietnam 2
92/96/100 Subklaster 1

Klaster I

B. melanostictus Malaysia Subklaster 2 B. melanostictus Cina B. melanostictus Siberut


99/100/100

B. asper Malampah
Subklaster 1

B. asper Rimbo Panti B. asper Pulau Tanak Masa Subklaster 2


0. 1

Klaster II

L. kuhlii Vietnam
.

Gambar 1. Pohon filogenetik B. melanostictus dan B. asper dengan Gen 16S rRNA berdasarkan bootsraps Maksimum Likehood (ML)

15

B. asper Malampah

B. asper Rimbo Panti 1


100/100/100

Klaster I

B. asper Rimbo Panti 2

B. melanostictus Merapi

100/100/100

B. melanostictus Siberut

Klaster II

B. melanostictus India 6

0.1

L. kuhlii INA

Gambar 2. Pohon filogenetik B. melanostictus dan B. asper dengan gen sitokrom b berdasarkan bootsraps Maksimum Likehood (ML)

16

You might also like