You are on page 1of 0

5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Anatomi dan Fisiologi Saluran Pernapasan
II.1.1 Anatomi Saluran Pernapasan
Gambar 2.1 Saluran pernapasan
Sumber : Van de graaff Human Anatomy
Anatomi saluran pernapasan terdiri dari :
II.1.1.1 Hidung
Gambar 2.2 Hidung
Sumber : Essentials of Anatomy and Physiology Edisi 5
Hidung berbentuk piramid yang tersusun dari tulang,
kartilago hialin dan jaringan fibroaerolar. Hidung dibagi
5
6
menjadi dua ruang oleh septum nasal. Struktur hidung pada
bagian eksternal terdapat folikel rambut, kelenjar keringat,
kelenjar sebasea yang merentang sampai vestibula yang
terletak di dalam nostril. Kulit pada bagian ini mengandung
vibrissae yang berfungsi menyaring partikel dari udara
terhisap. Sedangkan pada rongga nasal yang lebih dalam terdiri
dari epitel bersilia dan sel goblet. Udara yang masuk ke dalam
hidung akan mengalami penyaringan partikel dan
penghangatan dan pelembaban udara terlebih dahulu sebelum
memasuki saluran napas yang lebih dalam (Ethel Sloane,
2003).
II.1.1.2 Faring
Gambar 2.3 Faring
Sumber : Van de graaff Human Anatomy
Faring adalah tabung muskular berukuran 12,5cm.
Terdiri dari nasofaring, orofaring, dan laringofaring. Pada
nasofaring terdapat tuba eustachius yang menghubungkannya
dengan telinga tengah (Ethel Sloane, 2003). Faring merupakan
saluran bersama untuk udara dan makanan.
II.1.1.3 Laring
Laring adalah tabung pendek berbentuk seperti kotak
triangular dan ditopang oleh sembilan kartilago, tiga
berpasangan dan tiga lainnya tidak berpasangan. Tiga kartilago
yang tidak berpasangan adalah kartilago tiroid yang terlrtak di
bagian proksimal kelenjar tiroid, kartilago krikoid yang
7
merupakan cincin anterior yang lebih dalam dan lebih tebal,
epiglotis yang merupakan katup kartilago yang melekat pada
tepi anterior kartilago tiroid. Epiglotis menutup pada saat
menelan untuk mencegah masuknya makanan dan cairan ke
saluran pernapasan bawah (Ethel Sloane, 2003). Epiglotis juga
merupakan batas antara saluran napas atas dan bawah.
II.1.1.4 Trakea
Gambar 2.4 Trakea
Sumber : Sobotta Edisi 21
Trakea adalah tuba dengan panjang 10-12 cm yang
terletak di anterior esofagus. Trakea tersusun dari 16 20
cincin kartilago berbentuk C yang diikat bersama jaringan
fibrosa yang melengkapi lingkaran di belakang trakea (Ethel
Sloane, 2003). Trakea berjalan dari bagian bawah tulang rawan
krikoid laring dan berakhir setinggi vertebra thorakal 4 atau 5.
Trakea kemudian bercabang menjadi bronkus principallis
dextra dan sinistra di tempat yang disebut carina. Carina
terdiri dari 6 10 cincin tulang rawan.
8
II.1.1.5 Bronkus
Gambar 2.5 Bronkus
Sumber : Van de graaff Human Anatomy
Bronkus merupakan struktur dalam mediastinum, yang
merupakan percabangan dari trakea. Bronkus kanan lebih
pendek, lebar dan lebih dekat dengan trakea. Setiap bronkus
primer bercabang membentuk bronkus sekunder dan tersier
dengan diameter yang semakin mengecil dan menyempit,
batang atau lempeng kartilago mengganti cincin kartilago
(Ethel Sloane, 2003). Bronkus kanan kemudian akan
bercabang menjadi lobus superior, lobus medius dan lobus
inferior. Bronkus kiri terdiri dari lobus superior dan inferior.
II.1.1.6 Bronkhiolus
Bronkiolus merupakan jalan napas intralobular dengan
diameter 5 mm, tidak memiliki tulang rawan maupun kelenjar
di dalam mukosanya (Luiz Carlos Junqueira, 2007).
Bronkhiolus berakhir pada saccus alveolaris. Awal proses
pertukaran gas terjadi di bronkhiolus respiratorius.
II.1.1.7 Alveolus
Gambar 2.6 Alveolus
Sumber : Van de graaff Human Anatomy
9
Alveolus adalah kantung udara berukuran sangat kecil
dan merupakan akhir dari bronkiolus respiratorius sehingga
memungkinkan pertukaran oksigen dan karbondioksida.
Alveolus terdiri dari membran alveolar dan ruang intesrstisial
(Hood Alsagaaff,2006).
II.1.1.8 Paru
Gambar 2.7 Paru
Sumber : Sobotta Edisi 21
Paru adalah organ berbentuk piramid seperti spons dan
berisi udara yang terletak di rongga toraks. Paru merupakan
jalinan atau susunan bronkus, bronkiolus, bronkiolus
respiratori, alveoli, sirkulasi paru, saraf dan sistem limfatik.
Paru adalah alat pernapasan utama yang merupakan organ
berbentuk kerucut dengan apex di atas dan sedikit lebih tinggi
dari klavikula di dalam dasar leher.
Paru dibagi menjadi beberapa lobus oleh fisura. Paru
kanan terbagi menjadi 3 lobus oleh 2 fisura, sedangkan paru
kiri terbagi menjadi 2 lobus oleh 1 fisura (Ethel Sloane, 2003).
Paru memiliki hilus paru yang dibentuk oleh a. pulmonalis, v.
10
pulmonalis, bronkus, a. Bronkialis, v. Bronkialis, pembuluh
limfe, persarafan, dan kelenjar limfe.
Paru dilapisi oleh pleura. Pleura terdiri dari pleura
viseral yang melekat pada paru dan tidak dapat dipisahkan dan
pleura parietal yang melapisi strenum, diafragma dan
mediastinum. Diantara kedua pleura tersebut terdapat rongga
pleura yang berisi cairan pleura sehingga memungkinkan paru
untuk berkembang dan berkontraksi tampa gesekan (Ethel
Sloane, 2003).
II.1.2 Fisiologi Pernapasan
Fungsi utama paru adalah menyelenggarakan
pengambilan oksigen oleh darah dan pembuangan
karbondioksida. Terdapat 4 tahap respirasi, yaitu (Lauralee
Sherwood, 2001) :
a. Ventilasi
Ventilasi adalah sirkulasi keluar masuknya udara atmosfer
dan alveoli. Proses ini berlangsung di sistem pernapasan.
b. Respirasi eksternal
Respirasi eksternal mengacu pada keseluruhan rangkaian
kejadian yang terlibat dalam pertukaran oksigen dan
karbondioksida antara lingkungan eksternal dan sel tubuh.
Proses ini terjadi di sistem pernapasan.
c. Transpor gas
Transpor gas adalah pengangkutan oksigen dan
karbondioksida dalam darah dan jaringan tubuh. Proses ini
terjadi di sistem sirkulasi
d. Respirasi internal
Respirasi internal adalah pertukaran gas pada metabolisme
energi yang terjadi dalam sel. Proses ini berlangsung di
jaringan tubuh.
11
Sistem respirasi dibagi menjadi 2 bagian yaitu (Hood
Alsagaaff, 2006) :
a. Bagian konduksi yang terdiri dari hidung, faring, laring,
trakea, bronkus, bronkiolus dan bronkiolus terminalis.
Bagian ini relatif kaku dan terbuka, merupakan penghubung
antara lingkungan luar dengan paru. Fungsi dari bagian
konduksi adalah mengalirkan udara dan sebagai penyaring,
penghangat, dan melembabkan udara sebelum sampai
bagian respirasi.
b. Bagian respirasi terdiri dari bronkiolus respiratorius, duktus
alveolaris, sakus alveolaris dan alveolus. Bagian respirasi
merupakan tempat terjadinya pertukaran udara dari
lingkungan luar dan dalam tubuh.
Udara cenderung bergerak dari daerah bertekanan tinggi
ke daerah bertekanan rendah yaitu menuruni gradien tekanan.
Udara mengalir masuk dan keluar paru selama proses
pernapasan dengan mengikuti penurunan tekanan gradien yang
berubah berselang-seling antara alveolus dan atmosfer akibat
aktivitas dari otot-otot pernapasan.
Terdapat 3 tekanan yang penting pada proses pertukaran
udara yaitu (Lauralee Sherwood,2001) :
a. Tekanan atmosfer (tekanan barometrik)
Tekanan atmosfer berkurang seiring dengan penambahan
ketinggian di atas permukaan laut karena kolom udara di
atas permukaan bumi menurun.
b. Tekanan intra alveolus
Tekanan inilah yang mengatur aliran udara karena
tekanannya dapat berubah sesuai dengan pergerakan
pernapasan.
c. Tekanan intra pleura
Merupakan tekanan di dalam kantung pleura atau disebut
juga tekanan intratoraks, yaitu tekanan yang terjadi di luar
12
paru dan di dalam rongga thoraks. Tekanan intra pleura ini
lebih rendah daripada tekanan atmosfer.
Pada saat inhalasi, terjadi kontraksi dari otot-otot
pernapasan sehingga volume rongga thoraks meningkat. Hal
ini menyebabkan tekanan pada rongga thoraks menurun dan
mengakibatkan adanya perbedaan tekanan udara di dalam dan
di luar tubuh dengan tekanan udara di dalam tubuh lebih
rendah sehingga udara masuk ke dalam paru dan paru
mengembang.
Pada saat ekhalasi, otot-otot respirasi berelaksasi
sehingga volume rongga thoraks menurun dan menyebabkan
tekanan rongga thoraks meningkat. Pada kondisi ini volume
rongga dada akan berkurang dan terjadi peningkatan tekanan di
dalam paru sehingga mendorong udara keluar dari dalam paru
ke atmosfer.
II.2 Volume dan Kapasitas Fungsi Paru
Volume paru dan kapasitas fungsi paru merupakan gambaran fungsi
ventilasi sistem pernapasan. Dengan mengetahui besarnya volume dan
kapasitas fungsi paru dapat diketahui besarnya kapasitas ventilasi maupun
ada atau tidaknya kelainan fungsi ventilasi paru.
Gambar 2.8 Volume dan Kapasitas Paru
Sumber : Essential of Anatomy and Physiology Edisi 5
13
II.2.1 Volume Paru
Selama berlangsungnya proses pernapasan terdapat volume
dari paru yang berubah-ubah. Terdapat beberapa parameter yang
menggambarkan volume paru, yaitu (Hall Guyton, 2008):
a. Volume tidal (VT)
Volume tidal adalah volume udara yang masuk atau keluar paru
selama satu kali bernapas. Nilai rata-rata volume tidal pada saat
istirahat adalah 500 ml.
b. Volume cadangan inspirasi (VCI)
Volume cadangan inspirasi adalah volume tambahan yang dapat
secara maksimal dihirup melebihi volume tidal saat istirahat.
Volume cadangan inspirasi dihasilkan oleh kontraksi maksimum
diafragma, musculus intercostae externus dan otot inspirasi
tambahan. Nilai rata-ratanya adalah 3.000 ml.
c. Volume cadangan ekspirasi (VCE)
Volume cadangan ekspirasi adalah volume tambahan udara yang
dapat secara aktif dikeluarkan oleh kontraksi maksimum
melebihi udara yang dikeluarkan secara pasif pada akhir volume
tidal biasa. Nilai rata-rata volume cadangan ekspirasi adalah
1.000 ml
d. Volume residual (VR)
Volume residual adalah volume minimum udara yang tersisa di
paru bahkan setelah ekspirasi maksimum. Nilai rata-rata volume
residual adalah 1.200 ml.
e. Volume ekspirasi paksa dalam satu detik (FEV1)
Volume ekspirasi paksa dalam satu detik adalah volume udara
yang dapat diekspirasikan selama satu detik pertama ekspirasi
pada penentuan kapasitas vital. Nilai volume ekspirasi paksa
dalam satu detik biasanya adalah sekitar 80% yang berarti dalam
keadaan normal 80% udara yang dapat dikeluarkan dalam satu
detik pertama.
14
II.2.2 Kapasitas Fungsi Paru
Kapasitas fungsi paru merupakan penjumlahan dari dua
volume paru atau lebih. Yang termasuk pemeriksaan kapasitas fungsi
paru adalah (Hall Guyton, 2008):
a. Kapasitas inspirasi (KI)
Kapasitas inspirasi adalah volume maksimum udara yang dapat
dihirup pada akhir ekspirasi normal tenang (KI=VCI+TV). Nilai
rata-rata kapasitas inspirasi adalah 3.500 ml.
b. Kapasitas residual fungsional (KRF)
Kapasitas residual fungsional adalah volume udara di paru pada
akhir ekspirasi pasif normal (KFR=VCE+VR). Nilai rata-rata
kapasitas residual fungsional adalah 2.200 ml.
c. Kapasitas Vital (KV)
Kapasitas vital adalah volume maksimum udara yang dapat
dikeluarkan selama satu kali bernapas setelah inspirasi
maksimum. Subyek mula-mula melakukan inspirasi maksimum
kemudian melakukan ekspirasi maksimum
(KV=VCI+VT+VCE). Nilai rata-rata kapasitas vital adalah
4.500 ml.
d. Kapasitas paru total (KPT)
Kapasitas paru total adalah volume udara maksimal yang dapat
ditampung oleh seluruh paru (KPT=KV+VR). Nilai rata-rata
kapasitas paru total adalah 5.700 ml.
II.2.3 Pengukuran Fisiologis Paru
Pengukuran fisiologis paru sangat dianjurkan bagi pekerja,
pengukuran dilakukan dengan menggunakan spirometer. Spirometer
dipilih dengan alasan mudah digunakan, biaya murah, ringan,
praktis, dapat dibawa kemana-mana, tidak memerlukan tempat
khusus, cukup sensitif, akurasi tinggi, dan tidak invasif (Faisal
Yunus, 1993).
15
Dengan pemeriksaan spirometri dapat diketahui hampir semua
volume dan kapasitas paru. Dengan demikian dapat dinilai gangguan
fungsional ventilasi paru yang dapat digolongkan menjadi (Faisal
Yunus, 1993) :
a. Gangguan obstruktif, yaitu gangguan berupa hambatan pada
aliran udara yang ditandai dengan penurunan FEV1 dan KV.
b. Gangguan restriktif, yaitu gangguan berupa kegagalan
pengembangan paru yang ditandai dengan penurunan KV, VR
dan KPT.
II.2.4 Nilai Normal Fisiologi Paru
Untuk menginterpretasikan hasil pemeriksaan yang telah
dilakukan perlu dilakukan pembandingan dengan nilai standarnya.
Berdasarkan hasil pemeriksaan, fungsi paru digolongkan menjadi
(Faisal Yunus, 1993) :
a. Normal, bila hasil KV >80% dan FEV1 >75%
b. Gangguan restriksi, bila KV <80% dan FEV1 75% atau <75%
c. Gangguan obstruksi, bila KV >80% dan FEV1 <75%
II.3 Penyakit Paru Akibat Kerja
Penyakit paru akibat kerja adalah berbagai jenis penyakit paru yang
terjadi akibat individu yang hidup di area lingkungan tertentu menghirup
udara ambien yang telah tercemari oleh bahan0bahan yang berbahaya bagi
kesehatan (Pasiyan Rahmatullah, 2009).
Umumnya penyakit paru akibat kerja berlangsung kronis menetap dan
kadang sulit untuk mengetahui kapan mulainya. Pasien umumnya
mengeluhkan sesak napas, batuk, mengi dan batuk berdahak. Kelainan yang
sering ditemukan pada pemeriksaan fisik adalah suara mengi, ekspirasi
memanjang, ronki dan batuk.
II.3.1 Paparan Debu Inorganik
Penyakit paru lingkungan yang disebabkan oleh inhalasi kronis
debu-debu inorganik maupun bahan partikel yang berasal dari udara
lingkungan maupun tempat kerja disebut pneumokoniasis.
16
Pneumokoniasis sering disebabkan oleh debu asbes, silika, batu bara,
berilium, bauksit, besi, baja, dan lain-lain.
1. Asbestosis
Penyakit ini timbul sebagai akibat inhalasi debu asbestos.
Umumnya asbestosis berupa fibrosis interstitial paru. paparan
debu asbestos sering terjadi pada pekerja pabrik yang
mengunakan bahan baku yang mengandung asbestos. Nilai
ambang batas debu asbestos adalah 2serabut/ / berat badan/
8 jam (Pasiyan Rahmatullah, 2009).
Sesudah debu asbestos terhirup, maka akan terdeposisi di
dinding bronkus. Makrofag akan memfagositosisnya, tetapi bila
pembersihannya tidak sempurna, timbul reaksi berupa
pembentukan fibrosis di dinding bronkus.
Manifestasi klinik asbetosis adalah sesak napas saat
aktifitas dan batuk nonproduktif timbul sebagai gejala awal. Bila
berlanjut akan timbul kelainan fisik berupa ronki basah di basal
kedua paru. Gambaran radiologis pada awal penyakit berupa
adanya gambaran garis-garis opasitas kecil di basis paru. Pada
keadaan lanjut tampak gambaran bervariasi berupa distorsi
arsitektur paru, pleural plaques (Pasiyan Rahmatullah, 2009).
Penyakit ini tidak dapat diobati dan pengbatan yang
diberikan merupakan pengobatan simptomatis. Pencegahannya
dilakukan dengan cara mencegah paparan debu asbestos,
menghindari rokok dan tidak mendekati pabrik
2. Silikosis
Silikosis merupakan suatu penyakit paru berupa fibrosis
paru difus akibat inhalasi, retensi dan reaksi parenkim paru
terhadap debu atau kristal silika. Dikenal ada tiga macam
silikosis yaitu silikosis kronis (terpapar debu silika selama >15
tahun sebelum timbul gejala), silikosis cepat (perubahan terjadi
dalam waktu 5-15 tahun), silikosis akut (perubahan terjadi
dalam waktu <5tahun (Pasiyan Rahmatullah, 2009).
17
Gambaran klinis silikosis kronik berupa nodul yang terdiri
dari jaringan hialin tersusun konsentris, dikelilingi kapsul
selular, isi nodul adalah silika, lokasi nodul di jaringan
interstitial sekitar bronkhiolus terminalis. Pada silikosis cepat
gambaran klinisnya serupa dengan silikosis kronik namun
berlangsung lebih cepat. Sedangkan pada silikosis akut gejala
predominannya pada paru bagian bawah. Gejala silikosis adalah
batuk, sesak napas, disertai kelainan fisiologi paru tipe restriktif
(Pasiyan Rahmatullah, 2009).
Pengobatan definitif terhadap silikosis tidak ada. Bila
terdapat infeksi sekunder maka diberikan terapi yang sesuai.
Usaha pencegahan dengan menghindari paparan debu silika.
3. Coal Workers Pneumoconiosis, Black Lung
Penyakit terjadi akibat penumpukan debu batubara di paru
dan menimbulkan reaksi jaringan terhadap debu tersebut.
Penyakit ini terjadi bila paparan cukup lama, biasanya setelah
pekerja terpapar lebih daii 10 tahun. Berdasarkan gambaran foto
toraks dibedakan atas bentuk simple dan complicated (Faisal
Yunus, 1997).
Simple Coal Workers Pneumoconiosis (Simple CWP)
terjadi karena inhalasi debu batubara saja. Gejalanya hampir
tidak ada, bila paparan tidak berlanjut maka penyakit ini tidak
akan memburuk. Kelainan foto toraks pada simple CWP berupa
perselubungan halus bentuk lingkar, perselubungan dapat terjadi
di bagian mana saja pada lapangan paru,yang paling sering di
lobus atas. Sering ditemukan perselubungan bentuk p dan q.
Pemeriksaan faal paru biasanya tidak menunjukkan kelainan.
ilai FEV1 dapat sedikit menurun sedangkan kapasitas difusi
biasanya normal.
Complicated Coal Workers Pneumoconiosis atau Fibrosis
Masif Progresif (PMF) ditandai oleh terjadinya daerah fibrosis
18
yang luas hampir selalu terdapat di lobus atas. Fibrosis biasanya
terjadi karena satu atau lebih faktor berikut:
1 . Terdapat silika bebas dalam debu batubara.
2. Konsentrasi debu yang sangat tinggi.
3. Infeksi Mycobacterium tubeivulosis atau atipik.
4. Imunologi penderita buruk.
Pada daerah fibrosis dapat timbul kavitas dan ini bisa
menyebabkan pneumotoraks. Foto toraks pada PMF sering
mirip tuberkulosis, tetapi sering ditemukan bentuk campuran
karena terjadi emfisema. Gelaja awal biasanya tidak khas.
Batuk dan sputum menjadi lebih sering, dahak berwarna hitam
(melanoptisis). Kerusakan yang luas menimbuikan sesak napas
yang makin bertambah, pada stadium lanjut terjadi kor
hipertensi pulmonal, gagal ventrikel kanan dan gagal napas
(Faisal Yunus, 1997)
4. Beryliosis
Merupakan suatu kelainan paru akibat paparan debu
berilium. Debu berilium merupakan debu yang paling halus dari
sejenis metal. Efek debu berilium pada paru ada dua macam,
efek akut dan efek kronis. Efek akut berupa bercak infiltrat paru,
bronkopneumoni. Efek kronis bisa timbul beberapa kerusakan
paru berupa granulom pada septum alveoli dan timbul nodul
halus, fibrosis, kerusakan jaringan elastis dan emfisema (Pasiyan
Rahmatullah, 2009).
Gambaran klinis berilosis akut berupa suatu keadaan
toksis,doserelated berylliosis injury syndrome, umumnya
menyerang saluran napas bagian atas, dan bila paparan hebat
dapat timbul bronkitis dan pneumonitis kemikal. Sedangkan
pada beriliosos kronis, timbul 6-18 bulan sesudah paparan.
Gejala awal biasanya asimptomatik, kemudian timbul gejala
berupa sesak napas saat aktifitas, batuk-batuk dan bila penyakit
memburuk timbul gejala penyakit paru interstitial yang meliputi
19
batuk nonproduktif, nyeri dada dan sesak nafas saat aktifitas.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan ronki kering pada bagian
basal paru (Pasiyan Rahmatullah, 2009).
Pada bentuk akut pengobatan yang diberikan adalah
menyingkirkan pasien dari paparan berilium, istirahat, terapi
oksigen, dan bila diperlukan bantuan ventilasi mekanik.
Sedangkan untuk bentuk kronik belum ada pengobatan yang
spesifik.
II.3.2 Polusi Udara Lingkungan
II.3.2.1 Definisi
Polusi udara lingkungan adalah masuknya atau
dimasukannya zat-zat, energi dan atau komponen-
komponen lain ke dalam udara lingkungan hidup oleh
kegiatan manusia (kebakaran hutan, emisi kendaraan,
kegiatan industri, merokok aktif) dan aktifitas alam (letusan
gunung berapi, gas alam) sehingga kualitas udara
lingkungan manusia (udara ambien) menurun sampai ke
tingkat tertentu yang menyebabkan atau mempengaruhi
kesehatan manusia (Pasiyan Rahmatullah, 2009)
II.3.2.2 Sumber polusi udara lingkungan
Polusi udara lingkungan dapat berasal dari berbagai
sumber dengan aktivitasnya masing-masing atau bisa
bersama menghasilkan komponen polutan. Beberapa
sumber polusi udara lingkungan antara lain (Pasiyan
Rahmatullah, 2009) :
1. Kebakaran hutan
Hutan terdiri atas tumbuhan dari berbagai jenis
kayu apabila terbakar akan terjadi asap bahkan kabut
asap. Asap tersebut memiliki komponen
karbondioksida, karbonmonoksida, metan, nitrogen
oksida, amonia, ozon, bahan partikel, aldehid, dan lain-
lain.
20
2. Emisi kendaraan
Asap knalpot mengandung CO, NO, ,
hidrokarbon, timah hitam (Pb) dan lain-lain. Seiring
dengan bertambahnya jumlah kendaraan bermotor
maka kandungan bahan tersebut di atas semakin banyak
di dalam udara ambien.
3. Kegiatan industri
Kegiatan industri seperti proses pertambangan
(batu kapur, batu bara, gas alam), industri keramik,
industri logam (baja, seng, aluminium, dan lain-lain),
industri patrokimin, industri obat-obatan dan lain-lain
dapat mencemari udara lingkungan.
Benda buang dari pabrik yang komponennya
bermacam-macam dapat mencemari udara lingkungan.
Benda buang tadi dapat dikategorikan sebagai bahan
toksis (noxious agents), bahan yang dapat merusak
struktur anatomi sel/organ dan fungsi paru. Benda
buang dalam lingkungan kerja dapat berbentuk debu
organik (industri pertanian/hewan), debu anorganik
atau mineral, bahan hirup lain yang berbentuk uap, asap
dan aerosol.
4. Asap rokok lingkungan
Merokok berarti sengaja mencemari udara
pernapasan dengan menghirup 4000 ribu macam bahan
kimia dan 400 macam yang berbahaya bagi kesehatan.
Merokok tidak hanya berbahaya bagi si perokok aktif
tetapi juga bagi individu disekitarnya (perokok pasif).
Asap rokok lingkungan terdiri atas kompones gas
dan padat (tar dan nikotin). Tar merupakan bahan
karsinogenik yang sangat kompleks yang mempunyai
potensi sebagai : tumor initiators, cocarcinogen, tumor
21
promoters, tumor accelerator, dan possible organ
specific carcinogen.
5. Letusan gunung berapi dan semburan gas alam
Letusan gunung berapi dan semburan gas alam
potensial menimbulkan polusi udara disekitarnya.
Belum ada data analisis komponen dari bahan-bahan
yang keluar dari letusan gunung berapi dan semburan
gas alam. Paling tidak pasti terdapat unsur gas
belerang, hidrokarbon, CO dan lain-lain.
II.3.2.3 Patogenesis timbulnya kelainan paru
Berbagai mekanisme timbulnya kelainan yang terjadi
akibat pencemaran udara lingkungan (Pasiyan Rahmatullah,
2009) :
1. Bahan-bahan yang berbentuk gas toksis sesudah masuk
menembus atau ditahan (retensi) mukosa saluran napas.
Dapat menembus atau diretensi mukosa tergantung
pada sifat fisis gas (kelarutannya), konsentrasi gas
dalam udara inspirasi, kecepatan dan dalamnya
ventilasi dan reaktivasi gas.
2. Bahan partikel yang tersuspensi sebagai aerosol
sesudah dihirup udara napas akan terdesposisi di
saluran napas. Hal ini dipengaruhi oleh sifat
aerodinamika partikel (besar partikel), anatomi saluran
napas, dan pola napas
3. Mekanisme kerusakan paru oleh gas atau partikel yang
terinhalasi melalui proses inflamasi
II.3.2.4 Efek biologis polusi udara lingkungan
Polutan akan memberikan efek yang kurang baik bagi
kesehatan manusia apabila polutan tersebut konsentrasinya
di udara ambien telah melebihi konsentrasi standar yang
dibolehkan. Nilai standar kualitas udara ambien dapat
dilihat pada tabel 2.1
22
Tabel 2.1 Nilai standar kualitas udara ambien
Nama
Polutan
Nilai Standar Primer Rerata Dalam
CO
Lead (Pb)
0,14 ppm (365 g/m)
0,03 ppm (80 gh/ m)
150 g/m
50 g/m
0,053 ppm (100 g/m)
35 ppm (40 g/m)
9 ppm (10 g/m)
0,12 ppm (235 g/m)
1,5 mg/m
24 jam
1 tahun
24 jam
1 tahun
1 tahun
1 jam
8 jam
1 jam (maks)
8 jam (maks)
Sumber : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi 5
Menurut WHO risiko kesehatan akibat polusi udara
lingkungan adalah timbulnya penyakit infeksi pernapasan
akut, penyakit paru obstruktif kerja, asma bronkial, kanker
paru, tuberkulosis, penyakit jantung iskemik, penyakit
serebrovaskular dan penyakit perinatal (Pasiyan
Rahmatullah, 2009)
II.3.3 Paparan debu Organik
Debu organik berasal dari bahan-bahan organik umumnya dari
tanaman atau hewan. Pengolahan bahan tersebut secara mekanis
dapat menimbulkan debu yang bila terhirup dapat mengakibatkan
penyakit paru lingkungan. Debu organik yang terinhalasi berlaku
sebagai antigen atau hapten dalam tubuh sehingga dapat
menimbulkan reaksi inflamasi pada parenkim paru. Beberapa
contoh penyakit akibat paparan debu organik (Pasiyan Rahmatullah,
2009) :
1. Pneumonitis hipersensitif
Adalah penyakit paru lingkungan yg timbul sebagai
respon imunnologis paru terhadap inhalasi bahan atau antigen
biologis dan khemical. Penyakit ini merupakan sindron respirasi
23
akut pada pekerja yang terpapar debu gandum. Antigen lain
yang menyebabkan pneumonitis hipersensitif yaitu spora
thermofilik aktinomycetes, fungi, protein insekta dan bahan
kimia seperti isosianad dan anhidrit. Antyigen yang terinhalasi
yang berukuran 1-5 mm menimbulkan jejas pada saluran nafas
tepi dan alveolus.
Penyakit pneumonitis hypersensitif yang banyak di
tremukan di indonesia misalnya farmers lung pada petani padi
dan gandum, pigeon breeders lung pada peternak burung atau
unggas, bagassosis pada pekerja penggiling tebu, byssinosis
pada pekerja pabrik tekstil.
Bagian paru yang mengalami perubahan patologis adalah
parenkim paru. gambaran patologinya berupa alveolitis dan
bronkiolitis. Mekanisme yang mendasari pneumonitis
hipersensitif amat kompleks dan tidak diketahui dengan jelas.
Respon imunoligis yang terjadi adalah respon imunologi tipe III
atau IV.
Terdapat dua gambaran klinis pneumonitis hipersensitif
yaitu bentuk akut dan kronis atau subakut. Bentuk akut terjadi
pada penderita setelah terpapar selama 2-9 jam dan timbul
serangan mendadak berupa flulike syndrome yaitu sesak napas,
batuk nonproduktif,demam, menggigil, myalgia, banyak
keringat sakit kepala dan malaise. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan demam, takipnea, takikardi, ada ronki basah halus
pada bagian basal paru.
Pada bentuk kronik atau subakut terjadi karena adanya
paparan bahan secara kronis dengan intensitas paparan yang
lebih rendah. Gejala sangat ringan atau tidak timbul dan
progresivitas penyakit berjalan perlahan. Gejala umumnya
berlangsung beberapa bulan atau tahun dengan gambaran klinis
sesak napas, batuk, anoreksia dan penurunan berat badan.
24
Pada bentuk akut, penggunaan kortikosteroid dapat
mempercepat penyembuhan dan pengurangan gejala. Dosis yang
diberikan 40-60 mg/hari selama dua minggu dilanjutkan dengan
tappering off.
2. Byssinosis
Adalah penyakit paru berupa bronchitis kronis akibat
terpapar debu kapas, rami, sisal, nenas. Kelainan peru pada
pasien bysinosis berupa bronchitis kronis disertai whezing
diduga erat hubungannya dengan adanya endotoksin yng
dikeluarkan oleh bakteri yang menhgkontaminasi partikel debu
kapas.
Gambaran klinis penyakit ini adalah sesak nafas setiap
kembali ke tempat kerja sesudah beberapa hari tidak bekerja
disertai dengan demam. Tidak ada pengobatan spesifik untuk
bysinosis, bila ada tanda obstruksi bronchus dapat diberikan
bronchodilator.
3. Farmers lung disease dan Bagassosis
Farmer lung disease adalah penyakit paru pada petani,
padi dan gandum akibat paparan debu jerami karena adanya
thermofilik actynomicetes vulgaris yang terdapat pada jerami
yang sedang membusuk.
Bagasossis adalah penyakit paru pada petani atau pekerja
pabrik tebu atau pabrik kertas yang memdapatkan paparan sisa
atau debu batang tebu. Yang berperan pada penyakit ini adalah
thermofilik actynomicetes sacchari yang hidup subur pada alas
batang tebu.
Gambaran klinis yang khas adalah gejala muncul 4-8 jam
sesudah terpapar berupa batuk, sesak nafas tanpa mengi,
demam, mengigil, diaforesis, malaise, mual dan sakit kepala.
Peada pemeriksaan fisis ditemukan takikardi, takipnea, sianosis,
ronki basah pada basal paru. gejala umumnya menetap selama
12-18 jam dan menghilang secara spontan bila paparan berhenti.
25
Pengobatan umumnya bersifat suportif dengan pemberian
kortikosteroid untuk meringankan gejala.
II.4 Debu Kayu
II.4.1 Pengertian
Debu kayu adalah partikel-partikel zat padat (kayu) yang
dihasilkan oleh kekuatan alami atau mekanik seperti pada
pengolahan, penghancuran, pelembutan, pengepakan yang cepat,
peledakan dal lain-lain dari bahan organik maupun non organik
seperti kayu, biji logam dan batu arang (Faisal Yunus,1997).
Debu industri terbagi menjadi dua yaitu (Tan Malaka, 1996) :
a. Deposit particulate matter
Partikel debu hanya berada sementara di udara dan akan segera
mengendap karena gaya gravitasi bumi.
b. Suspended particulate matter
Partikel debu tetap berada di udara dan tidak mudah untuk
mengendap.
II.4.2 Efek Debu Terhadap Kesehatan
Debu dapat terinhalasi dalam bentuk partikel debu solid atau
berupa campuran dan asap. Partikel-partikel yang memiliki ukuran
5m dapat mencapai alveoli dan partikel dengan ukuran 1m dapat
terdeposit dalam alveoli. Walaupun ukuran partikel yang mungkin
dapat memasuki alveoli adalah 5m, namun dalam kadar yang lebih
tinggi dapat terjadi inhalasi pada partikel dengan ukuran 5-10m dan
memiliki kemungkinan untuk terdeposit dalam alveoli (Faisal
Yunus, 1997).
Adanya partikel debu dalam alveoli dapat memicu suatu reaksi
inflamasi pada paru baik akut maupun kronis. Sistem pertahanan
paru dapat mengeluarkan partikel debu tersebut dengan terikat
bersama makrofag dan dikeluarkan bersama sputum. Kelainan paru
tetap dapat terjadi karena adanya deposit debu pada jaringan paru,
hal ini dikenal dengan pneumokoniasis (Khumaidah, 2009).
26
Pneumokoniasis adalah akumulasi debu dalam jaringan paru
yang mengakibatkan reaksi pada jaringan paru (International Labor
Organization). Dengan adanya reaksi inflamasi pada jaringan paru
dapat menyebabkan pengerasan pada jaringan alveoli, dimana bila
pengerasan alveoli telah mencapai 10% maka akan menyebabkan
penurunan elastisitas paru sehingga kapasitas vital paru akan
menurun. Efek selanjutnya dari penurunan kapasitas vital paru ini
adalah ketidakmampuan paru untuk memenuhi kebutuhan oksigen
jaringan sehingga dapat menyebabkan hipoksia jaringan (Siti
Yulaekah, 2007).
II.5 Penurunan Fungsi Paru akibat Kualitas Udara
II.5.1 Mekanisme Penurunan Fungsi Paru Akibat Paparan Debu
Paru sebagai organ pernapasan utama merupakan tempat
bertukarnya udara dari lingkungan dalam tubuh dan lingkungan luar
tubuh. Udara lingkungan luar tubuh yang berpolusi dapat terhirup
masuk ke dalam paru. Akibat dari adanya partikel-partikel dalam
alveolus adalah memicu reaksi pertahanan tubuh berupa reaksi
clearance alveolus. Bila jumlah partikel asing dalam alveolus cukup
banyak maka sistem clearance ini tidak dapat membersihkan semua
partikel dan akan ada partikel yang mengendap di alveolus. Dengan
adanya pengendapan partikel asing ini reaksi pertahanan tubuh akan
memicu reaksi inflamasi dengan efek samping rusaknya jaringan
alveolus (Dorce Mengkidi, 2006). Sebagai akibatnya paru tidak
dapat berfungsi secara maksimal.
II.5.2 Mekanisme Penimbunan Debu di Paru
Faktor yang berpengaruh pada inhalasi bahan pencemar ke
dalam paru adalah faktor komponen fisik, kimiawi dan faktor
penderita. Aspek komponen fisik yang pertama adalah keadaan dari
bahan yang diinhalasi (gas, debu, uap). Ukuran, bentuk, kelarutan
dan nilai higroskopi akan berpengaruh dalam proses penimbunan di
paru. Kompanen kimia yang berpengaruh adalah kecenderungan
27
berekasi dengan jaringan sekitar, keasaman dan tingkat alkalinitas
yang dapat merusak silia dan sistem enzim (Khumaidah, 2009).
Faktor manusia yang perlu diperhatikan terutama berkaitan
dengan sistem pertahanan paru, baik secara anatomis maupun
fisiologis, lamanya paparan dan kerentanan individu.
Mekanisme penimbunan debu dalam paru disebabkan karena
adanya inhalasi debu, pada debu dengan ukuran 3-10 akan tertahan
oleh saluran napas, sedangkan debu yang berukuran 1-3 disebut
respirabel, karena dapat memasuki saluran pernapasan bagian bawah
dan dapat tertimbun pada bronkiolus terminalis sampai alveoli.
Partikel debu yang masuk ke dalam paru-paru akan membentuk
fokus dan berkumpul di saluran limfe paru. Debu akan difagositosis
oleh makrofag. Akibat dari pembentukan dan destruksi makrofag
yang terus-menerus dapat menyebabkan pembentukan jaringan ikat
kolagen dan pengendapan hialin pada jaringan ikat tersebut. Fibrosis
paru akan menyebabkan penurunan elastisitas jaringan paru dan
menimbulkan gangguan pengembangan paru (Faisal Yunus, 1997).
II.5.3 Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Pengendapan Partikel
Debu
Tidak semua partikel yang terinhalasi mengendap di paru.
Faktor pengendapan debu di paru dipengaruhi oleh :
a. Jenis debu.
Jenis debu terkait daya larut sifat kimianya hal ini berkaitan
dengan kemampuan pengendapan dan tingkat kerusakan yang
ditimbulkannya. Debu dikelompokkan menjadi dua yaitu debu
organik dan anorganik. (lihat tabel 2.2)
b. Ukuran Partikel
Partikel yang berukuran besar umumnya tersaring di hidung.
Partikel dengan diameter 3-5 bila terhisap akan tertahan dan
tertimbun pada bronkus yang kemudian dikeluarkan dengan
gerakan silia saluran napas. Debu yang berukuran 1-3 disebut
28
debu respirabel dapat mengendap di alveoli dan menyebabkan
terjadinya pnemokoniosis (Faisal Yunus, 1997).
c. Konsentrasi pertikel debu dan lama paparan
Semakin tinggi konsentrasi partikel debu dalam udara dan
semakin lama paparan berlangsung, jumlah partikel yang
mengendap di paru juga akan semakin banyak. Pneumokoniosis
akibat debu akan timbul setelah penderita mengalami kontak
lama dengan debu. Pneumokoniosis jarang ditemui kelainan bila
paparan kurang dari 10 tahun. Dengan demikian lama paparan
mempunyai pengaruh besar terhadap kejadian gangguan fungsi
paru (Khumaidah,2009).
d. Pertahanan tubuh terhadap paparan partikel debu yang
terinhalasi
Adanya perbedaan kemampuan sistem pertahanan tubuh
terhadap paparan partikel debu terinhalasi memberikan
gambaran yang berbeda pada setiap orang walaupun paparan
debu yang diterima sama.
1. Secara mekanik pertahanan dilakukan dengan menyaring
partikel yang ikut terinhalasi bersama udara dan masuk
saluran pernafasan. Di hidung penyaringan dilakukan oleh
rambut-rambut yang terdapat dilubang hidung, sedangkan di
bronkus dilakukan reseptor yang terdapat pada otot polos
dapat berkonstraksi apabila ada iritasi. Apabila rangsangan
yang terjadi berlebihan, maka tubuh akan memberikan reaksi
berupa bersin atau batuk yang dapat mengeluarkan benda
asing termasuk partikel debu dari saluran nafas bagian atas
maupun bronkus (Juzar Ali, 2009).
2. Secara kimia denga mukus dan silia dalam saluran nafas yang
secara fisik memindahkan partikel yang melekat di saluran
nafas, dengan gerakan silia yang mucociliary escalator ke
laring (Lauralee Sherwood, 2001).
29
3. Secara imunitas, melalui proses biokimiawi yaitu humoral
dan seluler. Ketiga sistem tersebut saling berkait dan
berkoordinasi dengan baik sehingga partikel yang terinhalasi
disaring berdasarkan pengendapan kemudian terjadi
mekanisme reaksi peradangan atau perpindahan partikel
(Khumaidah, 2009).
30
Tabel 2.2 Jenis debu yang dapat menimbulkan penyakit paru pada manusia
No. Jenis Debu Contoh
1.
2.
Organik
b. Alamiah
1. Fosil
2. Bakteri
3. Jamur
4. Virus
5. Sayuran
6. Binatang
c. Sintesis
1. Plastik
2. Reagen
Anorganik
a. Silika bebas
1. Cristaline
2. Amorphus
b. Silika
1. Fibrosis
2. Lain-lain
c. Metal
1. Inert
2. Lain-lain
3. Bersifat
keganasan
Batu bara, karbon hitam, arang, granit
TBC, antraks, enzim bacillus substilis
Koksidimikosis,histoplasmosis,kriptokokus
thermophilic actinomycosis
Psikatosis, cacar air, Q fever
Kompos jamur, ampas tebu, tepung padi,
gabus, atap alang-alang, katun, rami
Kotoran burung merpati, kesturi, ayam
Politetra fluoretilen diesosianat
Minyak isopropyl, pelarut organik
Quarrz, trymite cristobalite
Diatomaceous earth, silica gel
Asbetosis, silinamite, talk
Mika, kaolin, debu semen
Besi, barium, titanium, tin, alumunium,
seng
Berilium
Arsen, kobal, nikel hematite, uranium, asbes
Sumber : Sumamur, 1998
31
II.5.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Saluran Pernapasan dan
Paru
Banyak faktor yang mempengaruhi saluran pernapasan seperti
aspek tenaga kerja berupa kebiasaan merokok, status gizi,
penggunaan alat pelindung diri, usia tenaga kerja, lama kerja dan
kebiasaan olahraga (Gerald L. Baum et all, 2003).
a. Kebiasaan merokok
Tembakau sebagai bahan baku rokok mengandung
bahan toksik dan dapat mempengaruhi kondisi kesehatan
karena lebih dari 2000 zat kimia dan diantaranya sebanyak
1200 sebagai bahan beracun bagi kesehatan manusia. Dampak
merokok terhadap kesehatan paru menyebabkan perubahan
struktur dan fungsi saluran nafas. Pada saluran nafas besar, sel
mukosa akan mengalami hipertropi dan kelenjar mukus
mengalami hyperplasia. Pada saluran nafas kecil terjadi radang
ringan hingga penyempitan akibat bertambahnya sel dan
penumpukan mukus (Dorce Mengkidi, 2006). Pada jaringan
paru-paru terjadi peningkatan jumlah sel radang dan kerusakan
alveoli. Akibat perubahan anatomi saluran nafas pada perokok
akan timbul perubahan pada fungsi paru-paru dengan segala
macam gejala klinisnya.
Partikel asap rokok seperti onpyrene, dibenzapyrene dan
urethan dikenal sebagai bahan karsinogen (Khumaidah, 2009).
Bahan tar berhubungan dengan risiko terjadinya kanker paru.
Kebiasaan merokok dapat menimbulkan gangguan ventilasi
paru karena menyebabkan iritasi dan sekresi mucus yang
berlebihan pada bronkus. Keadaan seperti ini mengurangi
efektifitas mukosilier dalam membawa partikel-partikel debu
sehingga merupakan media yang baik tumbuhnya bakteri.
32
Kebiasaan merokok terbagi menjadi 3 kategori perokok
yaitu sebagai berikut (JAMA,1994):
1. Perokok ringan, jumlah rokok yang dihisap 1-6 batang/hari
2. Perokok sedang, jumlah rokok yang dihisap 7-12
batang/hari
3. Perokok berat, jumlah rokok yang dihisap lebih dari
12 batang/hari
b. Status gizi
Status gizi adalah keadaan tubuh akibat konsumsi
makanan dan zat-zat gizi. Indeks standar yang dipakai untuk
menilai perkembangan gizi adalah Berat Badan (BB) terhadap
Tinggi Badan (TB). Dalam hal ini status gizi dapat dibedakan
menjadi status gizi kurang, status gizi baik/normal dan status
gizi lebih. Indeks Massa Tubuh (IMT) dihitung dengan cara
IMT=BB (kg) / TB (m).
Tabel 2.3 Nilai IMT orang Indonesia
Keadaan Kategori IMT
Kurang
Normal
Lebih
Kekurangan berat badan tingkat berat
Kekurangan berat badan tingkat ringan
Keadaan normal
Kelebihan berat badan tingkat ringan
Kelebihan berat badan tingkat berat
< 17,0
17,0 18,4
18,5 25,0
25,1 27,0
>27,0
Sumber : Pedoman Usaha Kesehatan Sekolah DepKes RI
(2002)
Status gizi buruk akan menyebabkan daya tahan tubuh
seseorang menurun, sehinga lebih mudah terinfeksi oleh
mikroba. Sebagai akibatnya seseorang akan mudah terserang
infeksi seperti batuk, pilek, serta penyakit saluran pernapasan
lain. Status gizi buruk juga menyebabkan berkurangnya
kemampuan tubuh untuk melakukan detoksifikasi terhadap
benda asing seperti debu kayu yang masuk ke dalam tubuh
(Khumaidah,2009).
33
c. Penggunaan alat pelindung diri
Alat pelindung diri untuk pekerja adalah alat pelindung
untuk pekerja agar aman dari bahaya atau kecelakaan akibat
melakukan suatu pekerjaannya. Alat pelindung diri (APD)
yang baik adalah yang memenuhi standar keamanan dan
kenyamanan bagi pekerja (Safety and acceptation). APD yang
tepat bagi tenaga kerja yang berada pada lingkungan kerja
dengan paparan debu berkonsentrasi tinggi dapat berupa
masker untuk melindungi dari debu atau partikel-partikel yang
lebih kasar yang masuk ke dalam saluran pernafasan. Masker
terbuat dari kain dengan ukuran pori-pori tertentu. Pemakaian
masker oleh pekerja industri yang udaranya banyak
mengandung debu, merupakan upaya mengurangi masuknya
partikel debu kedalam saluran pernapasan. Walaupun
demikian, tidak ada jaminan bahwa dengan mengenakan
masker, seorang pekerja di industri akan terhindar dari
kemungkinan terjadinya gangguan pernapasan.
Dalam pemilihan APD harus dilakukan secara hati-hati dan
memenuhi beberapa kriteria yang diperlukan antara lain :
a. APD harus memberikan perlindungan yang baik terhadap
bahaya yang dihadapi tenaga kerja
b. APD harus memenuhi standar yang telah ditetapkan
c. APD tidak menimbulkan bahaya tambahan yang lain bagi
pemakainannya yang dikarenakan bentuk atau bahannya
yang tidak tepat atau salah penggunaan
d. APD harus tahan untuk jangka pemakaian yang cukup
lama dan bersifat fleksibel.
d. Usia tenaga kerja
Fungsi paru pada tenaga kerja sangat dipengaruhi oleh
usia tenaga kerja itu sendiri. Meningkatnya umur seseorang
maka kerentanan terhadap penyakit akan bertambah, khususnya
gangguan saluran pernafasan pada tenaga kerja. Selain itu
34
seiring bertambahnya usia maka akan terjadi penurunan
kekuatan otot-otot tubuh, termasuk otot-otot yang digunakan
untuk bernapas seperti m.intercostalis externus, m.
sternokleidomastoideus, m. serratus anterior, m. Skalenus (Hall
Guyton, 2008). Hal ini menyebabkan berkurangnya jumlah
udara yang dapat dihirup oleh paru.
e. Lama kerja
Pada pekerja yang berada dilingkungan dengan kadar debu
tinggi dalam waktu lama memiliki risiko tinggi terkena
gangguan pada fungsi parunya. Waktu yang dibutuhkan
seseorang yang terpapar debu untuk terjadinya gangguan fungsi
paru kurang lebih 10 tahun. Penelitian Heri Sumanto tahun 1999
menunjukan hasil bahwa penambahan lama kerja satu tahun
akan terjadi penurunan kapasitas paru sebesar 35,3907 ml
(Irwan Budiono,2007).
f. Kebiasaan olahraga
Dengan rutin berolahraga dapat meningkatkan fungsi paru.
Olah raga yang baik untuk pernapasan adalah renang dan senam.
Olah raga yang rutin akan meningkatkan kemampuan
pernapasan sedemikian rupa sehingga kerja paru lebih efisien
dan paru dapat bekerja maksimal. Olah raga dapat meningkatkan
fungsi paru dengan cara meningkatkan kekuatan otot-otot
pernapasan, sehingga akan terjadi peningkatan volume udara
yang dapat masuk ke dalam paru (Hall Guyton, 2008).
35
II.6 Kerangka Teori
Keterangan:
= Variabel yang diteliti
= Variabel yang tidak diteliti
Umur
Lama
Kerja
Kebiasaan
olah raga
Penggunaan APD
Jumlah rokok
yang dikonsumsi
Kebiasaan
merokok
FUNGSI
PARU
Penurunan kekuatan
otot-otot pernapasan
Peningkatan
lama paparan
Peningkatan jumlah
debu terhirup
Jenis rokok
IMT
Reaksi inflamasi
jaringan paru
Tipe masker
Lama
penggunaan
Memproteksi
sistem pernapasan
dari paparan debu
Jenis olah raga
Intensitas
olah raga
Lama olah raga
Meningkatkan
kekuatan otot-otot
pernapasan
Status gizi
Reaksi
imun/pertahanan
tubuh terhadap
penyakit
Lama
merokok
36
II.7 Kerangka Konsep
Keterangan :
Variable independen
Variable dependen
II.8 Hipotesis
H0: tidak ada hubungan antara usia dengan fungsi paru pekerja mebel
H1: ada hubungan antara usia dengan fungsi paru pekerja mebel
H0: tidak ada hubungan antara status gizi dengan fungsi paru pekerja
mebel
H1: ada hubungan antara status gizi dengan fungsi paru pekerja mebel
H0: tidak ada hubungan antara lama kerja dengan fungsi paru pekerja
mebel
H1: ada hubungan antara lama kerja dengan fungsi paru pekerja mebel
H0: tidak ada hubungan antara kebiasaan olah raga dengan fungsi paru
pekerja mebel
H1: ada hubungan antara kebiasaan olah raga dengan fungsi paru
pekerja mebel
H0: tidak ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan fungsi paru
pekerja mebel
Paparan debu kayu
yang terhirup
Umur
Masa kerja
Status gizi
Kebiasaan merokok
Jumlah rokok yang dikonsumsi perhari
Penggunaan APD
Kebiasaan olahraga
Fungsi paru
1. Normal
2. Terganggu
37
H1: ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan fungsi paru
pekerja mebel
H0: tidak ada hubungan antara jumlah rokok yang dikonsumsi perhari
dengan fungsi paru pekerja mebel
H1: ada hubungan antara jumlah rokok yang dikonsumsi perhari
dengan fungsi paru pekerja mebel
H0: tidak ada hubungan antara kebiasaan penggunaan APD pekerja
dengan fungsi paru pekerja mebel
H1: ada hubungan antara kebiasaan penggunaan APD pekerja dengan
fungsi paru pekerja mebel

You might also like