You are on page 1of 38

Tugas Baca Book Reading dermatologi Anak Non Infeksi

Judul : - Peran pembatasan diet pada penderita dengan dermatitis atopi Sumber Alergi Inhalant dan Dermatitis Atopi Eczema herpeticum Aspek psikologi dari Dermatitis Atopi

: - The Role of Dietary restriction in Atopic Dermatitis Inhalant Allergens and Atopic Dermatitis Eczema Herpeticum Psikologic in dermatitis atopi

Text book of Pediatric dermatology volume 1 edited by Harper Pembimbing : Prof. dr. Herry. E.J Pandaleke, MSc, SpKK(K) Presentan : dr. Thigita A. Pandaleke

Peran pembatasan diet pada penderita dengan dermatitis atopi Peran pembatasan diet pada anak-anak dengan dermatitis atopi sampai sekarang masih kontroversial. Ada beberapa pendapat yang memperdebatkan hal ini menjadi 2 bagian yaitu: diet tidaklah relevan atau reaksi terhadap makanan mendasari pada setiap kasus. Untuk mendapatkan penjelasan mengenai hal ini, maka bab ini disusun berdasarkan beberapa konsep dasar. 1. Terdapat bukti dari suatu studi yang menggunakan double-blind, kontrol plasebo yang berpendapat bahwa pada beberapa anak dengan dermatitis atopik bereaksi negatif dengan mengkonsumsi satu atau lebih makanan. 2. Reaksi terhadap makanan, pada anak dengan dermatitis atopi dapat memberikan gejala baik pada dermatologi, respiratori ataupun gastrointestinal, pada beberapa kasus dapat mengancam nyawa seperti anaphylaxis.

3. Reaksi alergi terhadap makanan yang paling sering pada bidang dermatologi yaitu munculnya pruritus akut, erythematous, makula atau morbiliform rash dalam hitungan beberapa menit setelah mealalui proses pencernaan. Pada beberapa kasus, terdapat bukti bahwa paparan yang berulang terhadap makanan bisa memicu terjadinya dermatitis atopi yang semakin hebat. 4. Kenyataannya bahwa seorang anak yang dilaporkan bereaksi negatif terhadap satu atau lebih makanan tidak selalu berarti bahwa anak-anak dengan dermatitis atopik akan membaik bila makanan dihindari. 5. Jika dermatitis membaik saat diet makanan dimulai, manfaatnya belum tentu oleh karena menghindari antigen. Mungkin itu hanya efek placebo atau kebetulan mengalami perbaikan. 6. Jika dermatitis membaik setelah diet makanan, dan anak memberikan hasil yang positif ketika dicoba diberikan makanan dibawah double-blind, kondisi kontrol dengan placebo, hal ini menunjukkan bahwa anak ini sensitive terhadap makanan tersebut, tapi hal ini tidak berarti bahwa terdapat perbaikan pada dermatitis akibat diet terhadap faktor penyebab. 7. Tidak ada bukti bahwa dengan menghindari makanan tertentu dapat mengubah riwayat alami dermatitis atopik. 8. Diagnosis hypersensitivitas terhadap makanan, dan prediksi hasil dari diet makanan terhambat oleh karena kurangnya tes yang dapat diandalkan. 9. Diperlukan strategi untuk memastikan bahwa dengan diet tidak menyebabkan terjadinya kekurangan gizi. 10. Ada beberapa strategi diet yang berbeda-beda, namun data percobaan secara acak untuk mendukung diet ini sulit diperoleh dan umumnya kurang.

Reaksi terhadap makanan pada dermatitis atopik Tidak ada bukti bahwa hipersensitifitas terhadap makanan merupakan penyebab dari dermatitis atopi. Tapi bisa jadi merupakan salah satu dari sejumlah pemicu yang dapat

memperburuk dermatitis yang sudah ada sebelumnya. Ada bukti bahwa pada anak-anak dengan dermatitis atopik yang telah dipilih sebelumnya diberikan makanan tertentu dengan dosis 8 g atau kurang dari itu dapat menyebabkan ruam makular eritematosa, gatal disertai dengan peningkatan konsentrasi yang signifikan pada plasma histamine. Seperti yang tersirat dalam jenis penelitian ini adalah suatu kesimpulan yang akan menyebabkan ruam eritematosa atau memburuknya dermatitis jika dosis dilanjutkan. Suatu studi yang berhubungan dengan tantangan ini diberikan waktu 5 jam, mengamati reaksi onset akhir atau memperburuk dermatitis. Dermatologi konvensional di Inggris menyebutkan bahwa ini adalah reaksi langsung kejadian umum eritematosa pada anak-anak dengan dermatitis atopik namun merupakan masalah yang terpisah. Sulitnya yaitu bahwa provokasi makanan dengan dosis tungggal dan dosis rendah yang diuji coba di laboratorium sangat berbeda dengan situasi pada kehidupan nyata dimana paparan terus-menerus atau berulang dengan jumlah besar makanan. Contohnya, Hill et al Menemukan bahwa pada 8-10 g susu bubuk sapi itu sesuai dengan 60-70 ml susu, hal ini sudah cukup untuk memancing respons pada beberapa pasien dengan intoleransi protein susu sapi, sedangkan pada pasien lainnya dengan onset akhir khususnya dermatitis atopik , memerlukan waktu hingga 10 kali volume susu setiap hari selama lebih dari 48 jam sebelum gejala semakin berat. Reaksi Lambat Suatu studi pada anak dengan intoleransi protein susu sapi seperti yang dikemukakan Goldman et al dan Hill et al. Telah berulang kali menunjukkan bahwa reaksi eczematous cenderung lambat tidak langsung dan mungkin tidak nyata sampai beberapa hari setelah mengkonsumsi. Suatu studi tentang penghindaran yang tepat terhadap antigen yang berperan penting pada reaksi lambat ini terutama pada anak dengan dermatitis. Contoh berikutnya adalah lesi eczematous yang terjadi 1-8 hari setelah makan kacang mente olahan yang telah terkontaminasi dengan minyak dari kulit kacang. Sifat keterlambatan reaksi ini penting karena hal ini dapat menyebabkan sulitnya untuk mengidentifikasi makanan yang menjadi pemicu. Bahan bahan tambahan yang ditambahkan ke dalam makanan

Didapatkan bahwa ada efek samping dengan pemberian bahan-bahan tambahan pada makanan secara bertahap pada anak dengan dermatitis atopi, tetapi tidak terdapat bukti secara objektif dari penghindaran bahan makanan tersebut. Ostergraad, pada double-blind placebo-controlled, menemukan 5 dari 62 anak-anak dengan dermatitis atopi toleran terhadap kapsul yang mengandung kombinasi dari pewarna. Reaksi ini selain erythema, urtikaria atau meningkatkan gatal, tapi data yang ada belum memberikan keterlibatan terhadap subjek ini. Studi dengan menggunakan kontrol placebo terhadap101 pasien (hanya 5 yang dibawah umur 10 tahun) yang dicurigai bahwa dermatitisnya diperburuk oleh makanan, dan didapatkan terjadi reaksi hanya pada 8 pasien, tetapi tidak terdapat data yang menunjukkan adanya implikasi bahan bahan tambahan tersebut terhadap 8 subjek ini. Van Bever dkk melaporkan 2 dari 6 anak anak dengan dermatitis positif terhadap tartrazine, tetapi tidak dilakukan percobaan untuk melihat apakah reaksi ini dapat terjadi lagi, dan reaksinya terdiri dari bercak eritematosa yang cepat dan bukan merupakan suatu perburukan dari dermatitis. Dilakukan suatu penelitian mengenai intoleransi tartrazine pada 12 anak anak dengan dermatitis yang orang tuanya juga terjadi perburukan dermatitis setelah pemberian tartrazine, dan terjadi perbaikan setelah dilakukan diet terhadap bahan tersebut. Multiple double-blind placebocontrolled menunjukkan terjadinya reaksi ulang dan perburukan dermatitis yang berhubungan dengan pemberian tartrazine hanya pada 1 anak, dan kemungkinan ini terjadi secara kebetulan pada satu atau lebih dari 12 pasien yang ada. Reaksi dermatologi terhadap makanan pada dermatitis atopi Sampson melaporkan, diluar dari 761 double-blind placebo-controlled pada percobaan makanan menunjukkan pada beberapa anak-anak dengan dermatitis atopi, didapatkan 238 positif. Reaksi cutaneus pada 186 (78%). Reaksi cutaneus ini termasuk pruritus, erythematous, macular atau rash morbiliform, pada awal atau sebelum timbulnya rash di tempat predileksi. Lesi urticaria biasanya jarang, dan biasanya hanya beberapa lesi. Seringnya gatal dapat menyebabkan ekskoriasi yang superficial. Hubungan yang tepat antara gatal pada lesi erythematous dengan

dermatitis belum pasti, tapi implikasinya yaitu memberikan banyak waktu untuk menggaruk dan nantinya akan menjadi eczematous. Gejala non dermatologi pada reaksi makanan Pada percobaan Sampsons, menunjukkan 30% gejala hanya terbatas pada kulit. Gejala gastointestinal yang terlihat pada 108 reaksi, walaupun terdapat riwayat gejala gastrointestinal sebelumnya tapi sangat jarang menimbulkan gejala. Gejala gastrointestinal biasanya nausea, nyeri perut, muntah, diare. Gejala respiratori positif terlihat pada 81 kasus double-blind placebo controlled, dan yang paling sering pada traktur respiratorius bagian atas. Gejala respiratori seperti nasal congestion, rhinorrhoea, bersin, rasa keras di tenggorokan, suara parau dan sesak. Efek paparan berulang terhadap makanan Sangat sedikit data yang ada mengenai hal ini. Tahun 1936, Engman dan koleganya melaporkan anak umur 2 tahun dengan dermatitis atopi dan alergi terhadap gandum. Bila menghirup cracker gandum dapat menyebabkan gatal. Pada sebuah percobaan, anak ini dirawat inap di rumah sakit, dan menghindari gandum dari menu makanan, dan ketika kulit telah bersih, lengan kirinya dan kaki terbungkus dalam crinoline perban tebal dan kaku. Anak ini diberikan 2 crackers gandum, dan dalam 2 jam anak ini merasa gatal. Pada pagi berikutnya, anak ini terdapat lesi eczematous, kecuali pada daerah yang diperban, dimana kulit yang diperban tetap bersih. Kesimpulannya yaitu bahwa reaksi cutaeus pada makanan yang menyebabkan pruritus, dan menggaruk, adalah hal yang utama lesi kulit eczematous. Kemudian, Hammar melaporkan induksi pada lesi kulit eczematous pada 15 dari 81 anak yang dirawat di rumah sakit pada anak dibawah umur 5 tahun setelah 2-3 hari meminum 100 ml susu sapi setiap hari. Hal yang penting dilaporkan pada reaksi terhadap makanan Ketika seorang anak menunjukkan adanya dermatitis atopi, kemungkinan terdapat riwayat alergi (contohnya) terhadap susu dan telur. Sayangnya, penghindaran yang ketat terhadap makanan ini mungkin berhubungan dengan peningkatan lesi kulit kronis. Alasannya yaitu: 1. Riwayatnya mungkin salah, dan kenyatannya anak ini tidak sensitive terhadap makanan tersebut. Para orang tua sering melaporkan bahwa intoleransi terhadap makanan tidak

dapat diandalkan dan perlu mempertimbangkan dampak dari hipersensitifitas terhadap makanan. 2. Walaupun anak sensitif terhadap satu atau lebih makanan pemicu lain, penghapusan dua penyebab tidak dapat membantu. 3. Anak tidak sensitive terhadap jenis makanan (misalnya piaraan atau debu tungau rumah); menghilangkan dua makanan pemicu tidak bisa membantu, karena efek yang berkelanjutan terhadap alergen lainnya. 4. Efek non-alergi atau pemicu iritasi terus berlanjut. 5. Penurunan terjadi secara kebetulan karena beberapa faktor lain, seperti infeksi bakteri akut Alasan untuk perbaikan dermatitis pada diet eliminasi Terdapat bukti bahwa, dalam proporsi anak-anak dengan dermatitis atopi, penghapusan beberapa jenis makanan dari menu yang ada dikaitkan dengan peningkatan dermatitis, tapi tanpa studi kontrol secara random tidak mungkin untuk mengetahui bagaimana banyak terjadinya perbaikan pada efek placebo. Beberapa studi dari terapi diet, memilih salah satu jenis makanan/ diet tunggal, tetapi tidak menemukan bukti tantangan positif bahwa manfaat dari diet itu sematamata atau bahkan sebagian karena menghindari makanan tertentu. Pentingnya pantangan makanan yang positif Beberapa studi pada pengobatan dermatitis atopi, telah memilih untuk mengamati secara terbuka pada eliminasi diet, diikuti oleh percobaan beberapa makanan secara tertutup / tidak diketahui. Sayangnya, bukan pantangan makanan yang positif untuk membuktikan bahwa peningkatan terjadi karena diet. Satu hal yang harus diingat bahwa hipersensitifitas terhadap makanan dengan dermatitis atopi umunya sering bersamaan pada satu pasien. Karena itu jika seorang anak dengan dermatitis atopi mengalami peningkatan pada diet yang bertindak sebagai placebo, masih ada kesempatan bahwa anak akan bereaksi pada makanan yang dipilih sebagai percobaan. Penghindaran makanan dalam sejarah dermatitis atopi

Walaupun dengan diet akan mengalami perbaikan, tapi belum dapat dipastikan apakah dengan pengobatan untuk jangka waktu panjang, akan berpengaruh pada hasil akhir dari area yang terkena. Satu studi menyebutkan keuntungan dari diet bias jangka waktu pendek ataupun panjang. Hasilnya pada 12 bulan kemudian, sama dengan group yang berespon dengan diet, group yang tidak berespon dengan group yang gagal memenuhi karena kecenderungan untuk dermatitis meningkat secara signifikan pada ketiga group ini. Meskipun dengan cara eliminasi diet ini tidak terkait langsung mengalami perbaikan, hasil jangka panjang sepertinya tidak berpengaruh pada keberhasilan ataupun kegagalan diet. Kurangnya test yang dapat diandalkan Intoleransi makanan dapat disebabkan oleh bebrapa mekanisme, hanya beberapa saja yang dimediasi oleh faktor imunologis. Skin test dan Radioallergosorbent test (RASTs), keduanya dapat mendeteksi antibody IgE secara spesifik, sehingga diduga tidak membantu pada pasien yang tidak dimediasi oleh IgE karena hasilnya akan palsu, termasuk pada pasien yang intoleransi. Skin-prick test untuk tes hipersensitivitas makanan, tidak dapat diandalkan pada anak dengan dermatitis atopi karena sejumlah besar reaksi menunjukkan false positif dan false negative. Dengan test kulit, test untuk mendeteksi sirkulasi antibody IgE sulit untuk digunakan sehari-hari untuk mempredeksi respon pengobatan pada eliminasi diet. Strategi Diet Seleksi Pasien Sayangnya, tidak ada metode yang objektif untuk memprediksi keuntungan pasti dari diet. Pedoman yang terdapat di Tabel 3.9.2 berdasarkan data empiris dan pengalaman lokal. Masalah utamanya adalah antusiasme orang tua untuk mencoba diet eliminasi. Orang tua yang tidak tertarik untuk mencoba diet, cenderung kurang berhasil dalam mengikuti diet daripada keluarga yang bermotivasi tinggi. Mengurangi pemasukan satu atau dua jenis makanan

Upaya untuk mengurangi asupan dari satu atau dua jenis makanan (contohnya makan sedikit cokelat) yang dianggap sering oleh orang tua. Memberikan jumlah makan yang sedikit dapat memprovokasi suatu reaksi yang akan merugikan nanti, sehingga diet ini tidak akan berhasil. Salah satu keuntungan dari diet yang dipantau dan dilakukan secara berhati-hati, bahkan jika itu gagal, setidaknya orang tua akan merasa puas bahwa anaknya telah diperhatikan dengan baik. Mengeliminasi sumber penyebab Sangatlah masuk akal bagi orang tua untuk menghilangkan jenis makanan yang menyebabkan reaksi yang merugikan. Banyak orang tua telah mencoba cara ini sebelum pergi ke dokter, namun cara mereka mengeliminasi mungkin hanya dilakukan untuk jangka waktu pendek, dan tidak dilakukan secara berhati-hati, atau orang tua tanpa disadari memberikan makanan pada anak-anak yang diketahui toleran tanpa menerima saran sebelumnya tentang jenis makanan yang harus dieliminasi. Adalah umum, bagi orang tua untuk memberikan diet bebas susu sapi pada anak-anak tetapi mereka tidak menyadari bahwa beberapa jenis makanan mengandung kasein atau whey yang terkandung juga pada protein susu sapi. Walaupun dengan cara mengeliminasi sumber penyebab adalah masuk akal, tapi nantinya tidak ada hasil akhir yang berhubungan pada anak dengan dermatitis atopi. Menghindari susu dan telur Diet yang sederhana adalah percobaan dengan cara mengeksklusi protein susu dan telur. Beberapa hasil yang dipublikasikan mendukung pendekatan ini, tetapi yang lainnya tidak. Hanya 10% anak-anak yang alergi terhadap protein susu sapi juga alergi terhadap soya, penggunaan formula soya adalah alasan yang mungkin untuk mengurangi penggunaan susu sapi dan menghindari telur. Kemungkinan manfaat terkait dengan usia (yang terbaik mereka yang di bawah 12 bulan). Menghindari telur Mengingat kurangnya bukti susu sapi yang dikombinasikan dengan telur, maka bisa menjadi dasar agar menghindari hanya telur saja. Namun, alergi telur ini biasanya terjadi pada bayi dengan dermatitis atopi di bawah 12 bulan. Meskipun kebanyakan orangtua menyadari hal

ini dan hanya menghindari telur sampai anak melewati masa alergi, ada beberapa bukti manfaat menghindari telur secara teratur pada bayi dengan dermatitis atopi. Beberapa makanan yang harus diet Termasuk didalamnya semua makanan kecuali 5-6 item jenis makanan. Seperti daging (biasanya domba atau kalkun), sayuran hijau, buah-buahan, gandum atau sereal non gandum dan jagung. Dalam suatu studi unkontrol pada anak-anak dengan dermatitis atopi yang diet, didapatkan 9 dari 63 (14%) meninggalkan diet ini sebelum waktunya, 21 dari 63 (33%) menyelesaikan diet tapi tidak berhasil, dan 33 dari 63 (52%) pasien memperoleh 20% atau peningkatan yang lebih besar dalam skor keparahan penyakit selama 6 minggu. Bagaimanapun, hasil akhir pada 12 bulan adalah sama pada ketiga group ini. Pada studi lainnya, 85 anak-anak (umur pertengahan 2,3 tahun range 0,3-13,3 tahun) dengan dermatitis atopi refraktori mempengaruhi lebih dari 12% dari permukaan tubuh secara acak untuk menerima beberapa diet makanan yang dilengkapi dengan formula hydrolysate whey atau hydrolysate casein atau tetap pada diet yang biasa mereka lakukan dan bertindak sebagai kontrol selama 6 minggu. Secara keseluruhan, 35 pasien yang menerima diet, dan 4 kontrol subjek, dapat berulang karena diet atau kekambuhan dari penyakit. Perubahan pada tingkat keparahan dermatitis dievaluasi secara tertutup, dan perkirakan luas dan keparahan dermatitis, menggunakan skor keparahan kulit. Setelah 6 minggu, terdapat pengurangan secara signifikan pada ketiga group yang dipersentasikan berdasarkan area permukaan tubuh, [ kontrol, Median Reduksi (MR) = 4,9% (95% CL:1,5%, 11,9%); group Whey hydrolysate, MR = 17,8% (8,3%, 23%); group Casein hydrolysate, MR = 5% (1,6%, 21,2%)] dan skor permukaan kulit [ kontrol, MR = 15,9% (5%, 22,5%); group Whey hydrolysate, MR = 21,8% (12,8%, 30,2%); group Casein hydrolysate, MR = 13,5% (3,4%, 38%)]. Enam belas (73%) dari 22 kontrol subjek dan 15 (58%) dari 24 yang menerima diet menunjukkan lebih besar daripada 20% perbaikan berdasarkan skor permukaan kulit. Ini adalah salah satu studi yang hanya dikontrol berdasarkan diet beberapa makanan, dan gagal untuk menunjukkan manfaat. Kelemahan dari kedua studi ini yaitu usia rata-rata yang tinggi dan rentang usia yang panjang, yang penting disini yaitu merupakan suatu pengalaman yang umum untuk mendapatkan hasil terbaik untuk eliminasi diet sejak bayi baru lahir. Kecenderungan bagi kebanyakan anak pada usia 3 tahun akan keluar dari

masalah hipersensitifitas pada makanan, dimasukkannya jumlah anak yang lebih tua dalam penelitian ini biasa hasilnya akan menemukan manfaat dari diet. Oleh karena itu, masih belum ada data yang diuji secara terkontrol untuk menunjukkan bahwa teradapat beberapa jenis diet makanan yang bermanfaat dalam dermatitis atopi, namun dibutuhkan studi lebih lanjut pada bayi yang jelas-jelas kelompok yang paling mungkin untuk manfaat dari diet ini. Data ini telah membuat penulis kurang antusias tentang pengobatan diet dermatitis atopi pada anak yang lebih tua. Namun, respon yang baik sesekali secara dramatis untuk diet dan tekanan dari orangtua untuk mencoba diet sangatlah berarti, bahkan pada pasien yang lebih tua perlu dipantau untuk tetap menjadi tempat untuk jenis diet sebagai percobaan. Mengeliminasi semua jenis makanan Sangat jelas, semakin besar jumlah makanan yang disingkirkan, semakin besar kemungkinan makanan yang menjadi pemicu telah dihindari. Dalam prakteknya, diet seperti ini paling gampang di implementasikan pada bayi baru lahir, dibandingkan anak yang lebih tua harus bersedia untuk minum susu formula hydrolysate kurang enak seperti Cascin hydrolysate formula pregestimil atau Nutragimen atau sebaliknya yang berasal dari formula asam aminol, Neocate. Penerapan rejimen rawat inap dari 4-6 minggu dari unsur-unsur makanan yang dikenal adalah ujian akhir apakah toleran atau intoleran terhadap makanan. Jika langkah-langkah yang ekstrim akan digunakan, diharapkan juga untuk mengambil langkah-langkah untuk meminimalkan paparan antigen pada hewan dan tungau debu. Pada observasi dan studi uncontrol pada diet untuk anak dengan dermatitis atopi, 37 anak dengan dermatitis atopi refraktori secara umum diobati dengan pola atigen menghindari rawat inap, makan eksklusif dengan formula selama kurang lebih 30 hari dan mengurangi kontak dengan hewan peliharaan dan tungau debu. Setelah periode inisial dari eksklusi makanan, percobaan makanan terlihat setelah 7 hari, dan pasien akan di follow-up setidaknya 12 bulan. Secara total, 10 dari 37 (27%) walupun yang tidak berespon terhadap rejimen tersebut selama 12 bulan. Perbaikan pada dermatitis dapat terlihat pada 27 dari 37 (73%) pasien, setelah keluar dari rumah sakit, skor keparahan penyakit mereka telah menurun rata-rata 27% dari sebelum diterapi, dan hanya 3 dari 27 kortikosteroid topikal diperlukan. Kelemahan pada unsur-unsur diet ini yaitu tidak adanya jaminan akan berhasil, dan terjadinya perpecahan pada keluarga karena terkait dengan 2-3 bulan harus dirawat inap, berat badan yang menurun yang ditandai dengan diare dan hipoalbuminemia. Kurangnya kelompok

kontrol dalam penelitian ini berarti bahwa tidak mungkin untuk mengatakan berapa banyak manfaat karena efek dari placebo pada rejimen yang ada. Asupan Nutrisi Penghindaran dari satu jenis makanan, seperti strawberry atau tomat, yang sangat simple dan tidak menyebabkan defisiensi nutrisi. Bagaimanapun, penghindaran terhadap makanan lainnya seperti susu sapi merupakan suatu masalah nutrisi, khususnya pada anak-anak, dimana susu sebagai sumber protein, energy, calcium dan vitamin-vitamin. Anak-anak harus makan, makanan yang baik dan cukup untuk tumbuh berkembang. Hal ini jauh dari jelas, bagaimana mendefinisikan asupan yang memadai bagi anak, dan hal ini merupakan sesuatu yang tidak pasti. Jumlah harian yang direkomendasikan terlihat lemah, hal ini dikarenakan : (i) hanya diterapkan pada kelompok anak-anak, bukan secara individu terkait dari 1 anak ke anak lainnya, (ii) angka-angka yang disusun oleh komite, bukan didasarkan pada studi yang obyektif, (iii) angka-angka ini dirancang untuk berbuat salah dari segi keamanan, keamanan yang disamakan dengan asupan minimum diatas tidak secara tertulis. Jangka waktu yang lama dan tidak memuaskan jumlah harian yang direkomendasikan telah ditinggalkan di Inggris. Laporan dari The Committee on Medical Aspects of Food Policy telah memperkenalkan 2 konsep yang baru. Pertama, referensi dari asupan nutrisi, yang didefinisikan sebagai jumlah nutrisi yang cukup, lebih dari cukup untuk sekitar 97% dari kelompok. Yang satunya lagi adalah perkiraan kebutuhan rata-rata, yang didefinisikan sebagai kebutuhan nutrisi untuk sekelompok orang, lebih dari satu-setengah dari mereka biasanya akan membutuhkan lebih dari perkiraan kebutuhan rata-rata dan satu setengah akan membutuhkan lebih sedikit. Komite mendirikan sejumlah kelompok ahli untuk memeriksa kebutuhan anakanak dan orang dewasa, terdapat sekitar 40 nutrisi yang berbeda, dan direkomendasikan dengan memperhatikan fungsi, metabolisme dan usia berkaitan dengan persyaratan untuk setiap nutrisi. Asupan nutrisi hanyalah salah satu aspek gizi. Sangat diperlukan pada seorang anak, contohnya, tinggi energy dan protein karena adanya malabsorpsi dan penyakit kronik. Asupan nutrisi dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang memadai hanya ketika itu sama atau melebihi persyaratan dari individu yang mungkin berbeda. Sebagai contoh, yang menggambarkan kompleksitas dari masalah adalah bahwa anak-anak dengan dermatitis atopi berat mungkin

memiliki hipoalbuminemia, dan adalah mungkin bahwa dalam kasus seperti diet yang normal mungkin tidak memadai untuk memenuhi meningkatnya kebutuhan individu. Perlu menjadi suatu catatan, bahwa peningkatan asupan makanan pada anak-anak ini untuk memperbaiki hipoalbuminemia, tetapi kenyatannya dalam praktek belum terbukti. Susu, telur, ikan, daging, gandum, dan produk-produk terkait makanan yang diproduksi adalah sumber penting protein dan energy. Menghindari jenis makanan ini tanpa memberikan pilihan sumber protein lainnya merupakan resiko asupan yang tidak memadai, kegagalan pertumbuhan dan gizi yang buruk didokumentasikan dengan baik dan menghilangkan konsekuensi dari unsupresived makanan yang tidak memadai. Strategi untuk mencegah terjadinya kekurangan nutrisi Ada beberapa strategi yang telah dirancang untuk mencegah terjadinya kekurangan gizi: 1. Merujuk pasien ke para ahli, yang sepenuhnya akan memastikan untuk menghindari makanan tertentu dan memberikan saran makanan pengganti yang cocok dan memastikan bahwa diet yang dijalani adalah bergizi dan cukup. 2. Dapat membantu untuk mendapatkan asupan makanan sehari-hari selama 3-5 hari, yang memungkinkan para ahli untuk memeriksa asupan nutrisi. Tersedianya program khusus untuk membantu dalam analisi data. 3. Diet harus dianggap sebagai suatu terapi percobaan dan harus ada evaluasi dalam pengambilan keputusan setelah masa percobaan. Menerapkan diet untuk jangka waktu tertentu. 6 minggu sudah cukup untuk memastikan bahwa perbaikan apapun tidak akan diabaikan, dan memungkinkan fluktuasi harian yang tak terelakkan dalam aktivitas penyakit. Kemudian memutuskan apakah diet akan berhenti atau dilanjutkan dengan pengenalan makanan. Orang tua (dan anak), kadang merasa cemas apakah diet ini akna berhasil ketika kelihatannya tidak ada perbaikan, dan diperlukan bantuan untuk menghindari pola makanan yang tidak perlu. 4. Bila diet ini mengalami perbaikan, perlu menjadi catatan jenis makanan yang dimakan untuk mengigatkan jenis diet yang sesuai. Saran selalu diperlukan pada waktu pengenalan makanan. Kadang-kadang orangtua, tanpa bertanya pendapat, harus memantau beberapa jenis makanan, tidak termasuk makanan tambahan. Penting dilakukan pemantauan karena

kebutuhan gizi berubah seiring dengan usia. Jadi, seorang anak perempuan yang berusia 5 tahun dengan diet susu sapi dapat memiliki asupan kalsium yang cukup, tetapi pada usia 11 tahun suplemen kalsium diperlukan untuk memastikan pencapaian massa tulang maksimum selama pubertas. Anafilaktik Potensi bahaya, meskipun diet eliminasi untungnya jarang, tapi perlu diingat adalah anafilaksis. Periode untuk menghindari makanan, dari reaksi sebelum terpapar secara teratur adalah gejala kulit murni, dapat diikuti dengan reaksi anafilaksis yang mengancam jiwa ketika makanan tersebut diperkenalkan kembali. Faktor risiko utama untuk reaksi anafilaksis terhadap makanan merupakan reaksi yang parah sebelumnya, dan disertai asma. Namun, ada beberapa data yang menunjukkan bahwa diet yang ekstrim berhubungan dengan peningkatan risiko syok anafilaksis ketika makanan yang sebagai sumber pemicu dimasukkan lagi kedalam diet. Kesimpulan Seperti banyak penyakit kronis, ada efek placebo yang kuat dari setiap pengobatan baru yang diterapkan, terutama jika orang tua yakin itu akan membantu. Jangka waktu yang singkat dari studi kontrol secara acak dari pengobatan dengan diet berarti bahwa peran diet eliminasi tetap tidak menentu. Pengaturan pola makan mungkin sulit dan berbahaya, dan mungkin paling baik digunakan bersamaan dengan menghindari hewan peliharaan dan tungau debu, untuk menerapkan terapi awal konvensional yang sederhana. Meskipun secara keseluruhan hasil yang ada sedikit mengecewakan, sejumlah pasien dengan penyakit yang kritis mengalami manfaat yang terkait dengan menghindari makanan tertentu dan deteksi terhadap anak-anak dengan penerapan diet berbasis empiris merupakan bagian penting dari manajemen dermatitis atopik.

Alergi Inhalant dan Dermatitis Atopi Istilah atopy diperkenalkan oleh Coca dan Cooke pada tahun 1923, untuk

membedakan pasien dengan hay fever dan asma, di mana ia jarang menemukan riwayat keluarga dengan gangguan serupa. Menariknya, dimana dermatitis atopi tidak termasuk pada klasifikasi awal. Seri yang diperkenalkan oleh Cooke dan Van der Veer melibatkan deskripsi dari sejumlah besar pasien dengan hay fever dan asma, dimana banyak dari mereka juga memiliki eczema infantil. Identifikasi selanjutnya terhadap Imunoglobulin E (IgE) sebagai reagen antibody yang berhubungan dengan hay fever, asma dan dermatitis atopik mengelompokan gangguan ini sebagai atopik. Walaupun dermatitis atopi dapat dikelompokkan dengan asma, hay fever, keduanya merupakan suatu kondisi atopik yang memiliki proporsi tertinggi dari beberapa antibodi IgE dan tes kulit alergi positif adalah kondisi yang bukan lagi menjadi suatu kebingungan mengenai peran IgE yang dimediasi oleh mekanisme dalam suatu produksi yang menyebabkan gangguan. Patogenesisnya sampai sekarang tidak dimengerti, dan menjadi perdebatan apakah dermatitis alergi merupakan suatu kelainan alergi atau penyakit kulit akibat suatu inflamasi yang sering diasosiasi oleh bentuk lain dari atopi. Tidak semua individu menunjukkan kondisi kulit seperti dermatitis atopi dengan peningkatan IgE. Hal ini telah menjadi pemimpin kelompok kerja dari European Academy of Allergy and Clinical Immunology untuk mendesain tata nama baru untuk penyakit alergi. Dalam hal ini, dermatitis atopi telah dinamai eczema atopic / syndrome dermatitis (AEDS) dan telah dimasukkan dalam divisi alergi dan non alergi. Bentuk alergi dari AEDS dibagi menjadi IgE dan non IgE terkait. Prevalensi AEDS pada anak telah diidentifikasi lebih tinggi 20% dari UK International studi untuk asma dan alergi yang disurvey pada anak-anak di bagian barat (ISAAC). Proporsi pasien dari AEDS yang tidak diasosiasi oleh IgE bervariasi antara 16% - 40%. Antara non-IgE yang diasosiasi AEDS, sejumlah besar pasien telah dilakukan uji tempel (patch test) terhadap alergen inhalan dan hasilnya positif atopi. Hitherto, terdapat hampir lengkap strategi yang efektif untuk mencapai baik pencegahan atau pengendalian jangka panjang dari penyakit. Walaupun pengobatan modern dari topikal glukokortikoid yang efektif dan umumnya aman, dan telah dibuktikan aman terhadap hidup pasien. Secara signifikan lebih memikirkan tentang efek jangka panjang. Lebih jauh lagi, itu adalah keinginan dari pasien dan penasihat medis mereka untuk mengadopsi pendekatan kausal

terhadap terapi, berdasarkan pengetahuan yang akurat tentang immunopathology dan faktor pemicunya. Namun, terjadi kebingungan tentang peran relatif faktor-faktor seperti aeroalergen telah menyebabkan perbedaan pendapat tentang pendekatan relevansi yang berorientasi terhadap terapi alergi. Terdapat beberapa kekurangan yang relative dari penelitian yang meneylidiki pendekatan tersebut. Epidemiologi Semua yang atopi seperti asma, AEDS, dan hay fever, mengalami peningkatan prevalensi pada tingkat yang setara selama beberapa dekade terakhir. Pada kenyataannya, studi Aberdeen merinci anak umur 9-11tahun pada tahun 1964, 1989, 1994,dan 1999 menunjukkan terjadi peningkatan hay fever, seperti yang dilaporkan para orang tua, dari 3,2% ke 11,9%, 12,7% dan 15,5% secara respective. Hal ini dapat dikombinasi dengan peningkatan ashma, dari 4,1% ke 10,2%, 19,6%, dan 24,4%, dan AEDS dari 5,3% ke 12,0%,17,7% dan 21,3%. Terjadi tumpang tindih yang signifikan pada kondisi-kondisi ini pada penelitian ISAAC, yang menunjukkan bahwa prevalensi seumur hidup dari AEDS 22,5% dari 16,4% pada umur 12-14 tahun pada populasi yang mengalami gatal pada bagian flexural, 25% terjadi rhinoconjungtivitis dan wheezing. 25% lainnya juga mengalami wheezing dan 12,5% mengalami rhinoconjungtivitis sebagai suatu masalah tambahan. Seperti halnya wheezing dan rhinoconjungtivitis terkait dengan alergi inhalan, hal ini setidaknya membuktikan hubungan yang kuat dimana AEDS cenderung suatu alergi inhalan. Meningkatnya penyakit atopik seharusnya akibat dari perubahan lingkungan karena pada mereka yang memang genetik terjadi peningkatan yang berarti. Namun, tidak ada bukti yang jelas bahwa paparan terhadap asap rokok dari lingkungan atau bentuk lain dari polusi udara dikaitkan dengan perubahan prevalensi, termasuk pada penyakit asma. Oleh karena itu perhatian telah bergeser pada alergen dan sumber infeksi. Allergen Meskipun selama tiga dekade terakhir telah dilakukan upaya untuk menyelidiki efek paparan alergen pada prevalensi penyakit nantinya, masih tidak ada konsensus apakah ini memiliki efek atau tidak. Banyak studi longitudinal dari Cohort, lebih memfokuskan pada modifikasi lingkungan pada periode pertengahan postnatal, dengan berbagai kemungkinan

variable nantinya. Tidak jelas apakah menyusui memiliki manfaat imunologi positif yang memberikan perlindungan atau apakah upaya paparan aeroallergen modifikasi cukup efektif untuk mengubah hasil. Karena sekarang ada bukti yang menunjukkan bahwa sensitisasi alergi dapat terjadi sebelum kelahiran, sehingga fokus intervensi mungkin lebih dititik beratkan pada awal kwartal kedua. Dosis dan waktu paparan pada awal kehidupan dan pengaruhnya sampai sekarang sukar untuk dipahami, dan kesehatan ibu merupakan faktor utama. Ada konsensus mengenai pemberian ASI secara eksklusif dan pengenalan awal secara hati-hati terhadap alergi makanan yang dikaitkan dengan prevalensi menurunnya AEDS dan alergi makanan pada 2 tahun pertama kehidupan, tetapi kebanyakan studi tidak menunjukkan efek perlindungan terhadap penyakit saluran napas. Namun, studi terdahulu telah menemukan bahwa, walaupun telah menghindari tungau debu rumah, menghindari makan atau susu formula hipoalergenik tidak berpengaruh pada prevalensi dari asma, efek prevalensi AEDS tetap sampai pada usia 4 tahun. Beberapa peneliti sedang menginvestigasi tentang peran aeroallergen dengan fokus utama pada pengembangan asma. Dua studi yang telah dipublikasikan sejauh ini telah menunjukkan penurunan pada keparahan wheezing pada tahun pertama kehidupan, tetapi tidak berpengaruh pada AEDS. Di samping itu, sebuah studi multicenter yang besar sedang menyelidiki tentang menyusui secara eksklusif (ASI) dan / atau susu kedelai sebagai alternatif kombinasi untuk pengenalan allergen makanan dan prosedur penggunaan anti tungau debu. Hal ini tidak menunjukkan pengurangan dalam prevalensi AEDS meskipun dampak yang signifikan terhadap tingkat paparan tungau debu. Hygiene Hypothesis Baru-baru ini, sebuah hipotesis yang telah mendapatkan kredibilitas untuk menjelaskan mengenai kecenderungan meningkatnya penyakit atopik berkaitan dengan kebersihan. Hipotesis ini didasarkan pada premis bahwa, sebagai kontak mikroba selama periode postnatal awal memberikan stimulus alami untuk pematangan Th1 antagonis sensitisasi IgE, meningkatkan tingkat stimulasi dapat mempercepat dan memfasilitasi proses dengan Peraturan parsial dari respon spesifik Th2. Satu double-blind, placebo kontrol telah menjawab hipotesis ini menggunakan probiotik Lactobacillus GG, dan melaporkan terjadi penurunan dari insiden AEDS, namun tidak berpengaruh pada sensitisasi antibodi IgE. Namun, hasil awal dan jumlah sampel yang sedikit membatasi interpretasi dari penelitian ini. Kedepannya, hypothesis ini perlu

diperbandingkan, karena tidak ada bukti yang menunjukkan hubungan antara Th2 yang dimediasi oleh atopy dengan Th1 yang dimediasi oleh kelainan autoimun. Pada kenyataannya, keduanya memiliki peningkatan prevalensi di masyarakat dan terjadi secara bersamaan pada suatu komunitas dan terjadi lebih sering dari yang diharapkan secara kebetulan pada individu yang sama. Observasi ini menyiratkan faktor utama yang mempengaruhi kerentanan dari kedua kelainan ini. Dibutuhkan pemahaman tentang keseimbangan proses regulasi pada Th1 dan Th2 yang menunjukkan adanya keterlibatan dari sel T. Memang, probiotik telah terbukti meningkatkan kadar ASI dari transformasi growth faktor , sebuah sitokin yang terkait dengan fungsi immunoregulatory, dalam ASI dari ibu yang menerima probiotik dibandingkan dengan mereka yang tidak menerima prebiotik. Selain itu, ada beberapa saran menyebutkan bahwa reaksi autoimun dapat terlibat pada AEDS, dengan demonstrasi autoantibodi terhadap protein manusia pada pasien. Hal ini dapat menjelaskan tentang efek probiotik dalam mengurangi AEDS tetapi tidak berpengaruh pada sensitisasi alergi. Fitur yang mencolok dari semua kondisi atopik, termasuk AEDS, adalah asosiasi mereka dengan mudah. Gradasi dalam prevalensi berdasarkan kelas sosial, yang didasarkan pada pekerjaan orang tua hal ini mirip dengan yang ditemukan pada hay Fever, walaupun jarang pada asma. Hal ini dapat dijelaskan oleh perbedaan dalam lingkungan rumah tangga, yang bisa konsisten dengan hipotesis kebersihan. Namun, penggunaan lebih besar dari karpet, pemanas sentral dan alat penyimpan energi, dapat meningkatkan konsentrasi dalam ruangan dari beberapa alergen seperti tungau debu rumah, serta memiliki potensi iritasi. Memang, ada kemungkinan terdapat efek gabungan, mengurangi paparan produk mikroba seperti endotoksin, sementara pada saat yang sama meningkatkan paparan alergen seperti tungau debu, dengan dampak yang dihasilkan pada sensitisasi atopik dan penyakit. Immunoglobulin, skin test, dan dermatitis Atopi Pasien-pasien AEDS memiliki frekuensi paling tinggi dan skin test yang positif terhadap allergi udara, dan level total serum IgE yang tinggi. Allergen yang paling sering memberikan respon yang postif pada skin test dan produksi antibody IgE yang tinggi yaitu tungau debu. Namun, respon dari skin-prick tes terhadap allergen menyebabkan begkak dan merah, yang tidak

memiliki relevansi makroskopik dengan AEDS. Meskipun demikian, penelitian telah menunjukkan korelasi yang signifikan antara tingkat keparahan penyakit kulit dan tingkat sensitisasi terhadap kedua tungau debu rumah baik Dermatophagoides pteronyssinus dan allergen kucing. Memang, penulis mengamati sendiri dari studi allergy multicenter menyarankan adanya korelasi positif alergi antara tingkat antibodi IgE terhadap tungau debu rumah dan / atau alergen kucing dan / atau serbuk sari rumput dan tingkat keparahan penyakit ini diukur berdasarkan skor dermatitis atopic (SCORAD). Dalam penelitian ini, indeks SCORAD secara signifikan lebih tinggi pada bayi yang memiliki satu sensitivitas aeroallergen dan lebih tinggi adalah mereka dengan tiga sensitivitas aeroallergen. Paling tidak, histology tentang kurangnya perbandingan antara respon allergen hypersensitivitas type 1 dan eczema menimbulkan pertanyaan apakah hubungan antara tes kulit yang positif atau antibodi IgE dan AEDS merupakan hubungan sebab akibat atau hanya sebuah epiphenomenon. Pada kenyataannya, pasien-pasien AEDS memiliki tingkat paparan yang lebih tinggi terhadapa allergen tungau debu dibandingkan pasien-pasien dermatitis atopi lainnya yang memiliki skala kulit yang lebih besar dimana sebagai sumber nutrisi yang penting bagi tungau rumah. Dengan demikian, frekuensi tinggi dari sensitisasi terhadap tungau hanya karena pasien AEDS berbaring di tempat yang banyak tungau sehingga terjadi proses sensitisasi, dimana hal ini memiliki efek apapun pada proses penyakit. Hal ini dapat diatasi oleh sebuah studi terbaru yang telah menyelidiki karakteristik prediksi dari AEDS pada anak-anak. Hal ini menunjukkan bahwa skin-prick test positif terhadap tungau, terutama dalam hubungannya dengan paparan terhadap alergen lingkungan yang meningkat selama pengamatan 3 tahun terakhir ini. Sensitivitas terhadap aeroallergens Gagasan bahwa kontak aeroalergen dengan kulit dapat memperburuk AEDS bukan lah suatu gagasan yang baru. Tahun 1949, Tuff melaporkan terdapat peningkatan yang signifikan pada lesi kulit dengan manipulasi lingkungan yang akan mengurangii paparan tungau debu rumah. Ada bukti eksperimental yang cukup bahwa respon kulit tertunda dapat diinduksi oleh karena aplikasi topikal atau aeroalergen, seperti tungau dan serbuk sari. Patch test atopy atau test epicutaneous dengan aeroallergens dapat memreproduksi eczematous reaksi kulit pada respon sel T mediated classic. Bagaimanapun, banyak pasien memiliki IgE spesifik terhadap aeroallergen D.pteronyssinus dan patch test atopi positif, dan masih belum jelas apakah tes ini

relevansi dengan yang lainnya. Namun, terdapat hubungan positif antara distribusi dermatitis atopik, terutama di bagian tubuh yang terpapar udara dan adanya tes patch aeroallergen atopi yang positif. Namun, data yang membingungkan menunjukkan hubungan terbalik antara konsentrasi debu tungau rumah di rumah pasien dengan frekuensi patch test positif pada pasien atopi dengan AEDS. Anehnya, ada juga studi menunjukkan bahwa paparan terhadap aeroalergen yang sangat tinggi mungkin berhubungan dengan pengembangan tanggapan antibodi IgG terhadap alergen tanpa alergi berkembang. Pada studi retrospektif, penulis yang sama menunjukkan bahwa proporsi yang signifikan dari ibu dan anak-anak terpapar konsentrasi tinggi alergen kucing memiliki antibodi IgG serum tanpa antibodi IgE. Hal ini menunjukkan bahwa transfer pasif IgG spesifik antibodi aeroallergen dari ibu ke janin dapat melindungi janin dari sensitisasi. Ini adalah bentuk toleransi dosis tinggi, dan keduanya dapat mempengaruhi respon tipe 1 yang dimediasi IgE hipersensitivitas dan hipersensitivitas tertunda terkait dengan respon sel T. Mekanisme immune pada syndrome dermatitis dan atopic eczema Histologi dermatitis atopi ditandai dengan infiltrasi sel mononuclear, sel-sel dendritik dan beberapa sel neutrofil, sel-sel mast dan eosinofil. Hasil histology ini tidak menunjukkan adanya IgE mediated hypersensitivity tipe 1. Namun, reseptor IgE highaffinity diekspresikan pada sel Langerhans epidermal dan monosit dari pasien AEDS. Adalah mungkin bahwa IgE spesifik yang terikat pada reseptor akan memfasilitasi penyerapan antigen dan presentasi, sehingga respon sel T berkelanjutan. Hal ini memberikan beberapa bukti bahwa IgE tidak memiliki peran dalam perkembangan lesi dari AEDS. Memang, sel T kloning dari kulit telah menunjukkan untuk menanggapi alergen tungau debu rumah. Limfosit lebih berkembang biak pada lesi kulit alergen spontan dari pasien yang memiliki golongan darah yang sama pada pasien AEDS. Pada kulit yang terkena, alergen merangsang respon kekebalan pada sebagian yang dimediasi oleh limfosit Th2 yang memproduksi interleukin 4 (IL-4), baik yang dirangsang oleh tungau debu rumah atau serbuk sari rumput. Perbedaan yang sama di respon limfosit T-helper terhadap rangsangan mitogenik telah terlihat dalam darah perifer. Hal ini mirip dengan pengamatan yang dilakukan pada limfosit yang dirangsang profil sitokin pada pasien dengan asma atopik dan rhinitis alergi, di mana generasi IL-4 di antara sitokin selain interferon (IFN- ) adalah merupakan pola standar. Pada pengamatan ini akan menjelaskan mengapa Ig-E mediated type 1

dan delayed Limfosit T berespon pada allergen secara bersamaan dapat juga terjadi secara sendiri atau independen. Hal Ini juga menjelaskan mengapa toleransi dosis tinggi dapat diinduksi dengan cara lain. Jelaslah bahwa, tergantung pada status aktivasi mereka, sel dendritik kadangkadang dapat mengurangi respon sel T dan bahwa efek ini dapat berkelanjutan dan antigen spesifik. Meskipun wawasan mekanisme imun memberikan dasar yang kuat untuk membenarkan klaim bahwa aeroalergen yang terlibat dalam generasi dari AEDS, mereka meragukan kemungkinan memiliki dampak dalam mengendalikan kondisi penghindaran aeroallergen. Respon Imun Ontogeni pada eczema atopic / syndrome dermatitis Telah disarankan oleh banyak studi bahwa limfosit mungkin tersensitisasi oleh antigen lingkungan dan alergen pada awal trimester kedua kehamilan. kenyataannya, telah lama diketahui bahwa sensitisasi alergi dapat terjadi pada wanita hamil yang terinfeksi dengan cacing. Pada pengamatan kelompok kami menunjukkan sensitisai paling mungkin terjadi melalui cairan amnion. Transfer secara pasif dari kedua antibody IgE dan antigen dapat terjadi disekitar membrane amnion. Janin menelan kemudian memfasilitasi pengiriman antigen presenting sel pada usus janin yang relatif matang. Level IgE pada cairan amnion berkaitan erat dengan tingkat sirkulasi dimana lebih tinggi pada ibu yang terkena parasit. Antigen-presenting sel dalam usus janin sejak kehamilan 16-18 minggu memiliki lingkungan di mana sensitisasi dosis yang sangat rendah dapat terjadi. Bahkan, kami telah mengusulkan bisa menjadi makna evolusi dari interaksi dari system kekebalan tubuh yang dimediasi oleh antigen IgE pada saat terjadi paparan dengan helminth pada saat proses kelahiran dalam membentuk kekebalan tubuh di lingkungan ekstauterin. Kedepannya, penyakit helminthosis tidak lagi menjadi suatu masalah kesehatan yang utama, hal ini masih akan terus berlanjut yang berhubungan dengan penyakit atopik. Penurunan produksi IFN- telah dipandang sebagai cirri khas dari atopi, kekurangan produksi IFN- dari sel darah dipicu akibat allergen hal ini telah terbukti dengan peningkatan resiko terjadinya AEDS. Terdapat respon secara umum dari respon sel T terhadap Th 2 dari fenotipe janin. Hal ini diyakini sebagai konsekuensi dari mekanisme untuk melindungi janin terhadap penolakan dari kekebalan yang dimediasi oleh Th1 terhadap allergen oleh ibu fetopaternal. Setelah melahirkan, terdapat paparan terhadap agen mikroba dan tentu jsaja modifikasi terhadap respon allergen. Namun, keseimbangan antara ibu, plasenta dan janin yang mudah terganggu oleh variasi kecil dalam kesehatan ibu dan paparan lingkungan serta oleh

faktor genetik,

jadi respon imun fetal dimulai dengan pola Th2 yang didirikan dengan

perkembangan akhir dari penyakit atopik, yang pertama biasanya AEDS. Biasanya pada postnatal, allergen yang diinduksi oleh sel T proliferatif berespon terhadap allergen makanan seperti ovalbumin secara bertahap menurun, yang bisa menjadi fenomena dari allergen yang dipicu oleh zona modulasi mekanisme toleransi tinggi. Respon terhadap allergen inhalant seperti tungau debu rumah cenderung meningkat pada bayi dan ank-anak. Proses kinetic selama awal kehidupan postnatal memiliki variable populasi yang tinggi dan dipengaruhi oleh faktor genetik dan besarnya faktor lingkungan. Pengetahuan mekanisme imunologi niscaya akan mengidentifikasi target untuk intervensi dengan strategi pencegahan primer dan sekunder, yang mungkin fokus pada modulasi kekebalan dengan atau tanpa modifikasi dari paparan allergen. Menghindari aeroallergen Dari awal, untuk memahami imunologi dasar induksi aeroallergen dari AEDS, hal ini tidak mengherankan lagi bahwa studi yang dilakukan selama ini menghasilkan hasil yang bertentangan. Terdapat masalah dalam mencapai pengurangan yang efektif dari paparan allergen dan pemahaman bahwa tidak ada hubungan linear yang sederhana antara meningkatnya paparan dan kesadaran akan kerentanan terhadap penyakit tersebut. Memang, hal ini seperti sebuah hubungan yang ditunjukkan oleh kurvaa yang berbentuk lonceng. Jadi , kurangnya paparan berhubungan dengan kurangnya sensitifitas dan dengan demikian terjadi peningkatan yang baik pada sensitisasi dan ekspresi penyakit. Disisi lain, paparan dosis yang sangat tinggi akan menyebabkan induksi toleransi zona tinggi dan dengan demikian mengurangi respon alergi dan penyakit. Ada atau tidak, tapi yang terakhir hal ini berkaitan dengan generasi antibody IgG tapi masih harus perlu dikonfirmasi. Ada dua review Cochrane mengenai langkah-langkah pengendalian tungau debu rumah dalam kaitannya dengan pengelolaan asma. Keduanya menyimpulkan bahwa langkah-langkah penghindaran yang efektif dan secara keseluruhan tidak dapat direkomendasikan untuk pengobatan asma, meskipun dalam analisis keduanya, menyarankan untuk mengurangi kontak fisik. Tindakan fisik untuk mengurangi tungau debu rumah antara lainmelindungi tempat tidur dengan bed cover, menghilangkan karpet yang tidak diperlukan, tidak menaruh boneka di tempat tidur, mencuci seperei tempat tidur dan dehumidifikasi. Bukti dasar untuk mencegah allergen

rumah lainnya hampir tidak ada. Studi observasional tidak menemukan bahwa dengan menghindari binatang peliharaan yang ada di rumah dapat mengontrol terjadinya asma, kesulitan utama adalah bahwa adanya alergen kucing dimana-mana, dengan eksposur yang terjadi di luar rumah dan bahkan di rumah non-pemilik kucing. Bagaimanapun hal ini tidak menghalangi untuk diadakan uji klinis untuk menghindari tungau debu rumah pada penderita AEDS. Dua publikasi sebelumnya telah melaporkan adanya perbaikan gejala klinis pada pasien AEDS yang diberikan beberapa tindakan seperti encasings plastics, efisiensi penggunaan karpet, dan pengunaan vacum cleaner. Sepengetahuan saya, telah ada 4 percobaan terkontrol secara double blind dan plasebo, dimana dua diantaranya ditemukan adanya manfaat klinis dan pengurangan tingkat allergen dari tungau debu rumah, sedangkan dua yang lainnya eskipun menunjukkan adanya tingkat pengurangan dari allergen tapi tidak ditemukan adanya manfaat klinis. Jumlah pasien yang dilibatkan pada kedua studi ini hampir sama. Dari dua percobaan yang positif, yang melibatkan 60 pasien yang diteliti selama 6 bulan dan lain-lain 40 pasien yang diteliti selama 12 bulan, dan keduanya tidur menggunakan sistem penghalang. Dua studi negatif, yang melibatkan 20 pasien dan satu 90 pasien, menggunakan teknik yang serupa. Kesulitan terbesar dalam membandingkan studi ini yaitu adanya heterogenitas yang peting dari tingkat keparahan penyakit AEDS, tingkat kepekaan terhadap tungau, jumlah alergi yang terkait, dan titik awal pasien terkena tungau debu rumah. Suatu hal yang mungkin dimana percobaan yang dilakukan pada keadaan di mana tingkat rendah pada sisi kiri kurva berbentuk lonceng, sedangkan orang-orang dengan hasil negatif memiliki titik lebih tinggi awal dan tidak dapat mengurangi tingkat di bawah ambang batas yang bisa mengubah hasil klinisnya, yang akan terjadi di atas kurva berbentuk lonceng. Memang, korelasi terbalik yang diamati antara paparan tungau debu rumah dan reaktivitas uji tempel atopi dapat digambarkan sebagai bagian yang terletak di sisi kanan dari kurva yang berbentuk lonceng. Ada penelitian lain menggunakan strategi yang berbeda untuk mengurangi paparan terhadap alergen dalam ruangan, seperti mengeluarkan pasien dari rumah mereka, hanya menggunakan ruangan yang dibersihkan secara intensif atau pasien dirawat inapkan di rumah sakit, dimana semua ini untuk meminimalisasi paparan dengan tungau debu rumah. Tiga studi melaporkan perbaikan klinis. studi pada satu pasien yang dipindahkan ke lingkungan yang

dataran tinggi di mana kelembaban yang rendah terkait dengan pajanan rendah terhadap tungau debu rumah, hal ini menunjukkan perbaikan klinis. Namun, semua studi ini tidak terkontrol, dan karena itu analisis akhir harus menjadi perhatian dimana pada kasus ini untuk menghindari aeroallergen dalam pengobatan AEDS belum terselesaikan dan percobaan yang lebih besar dengan kelompok yang lebih homogen pasien harus dipilih berdasarkan antibodi IgE diangkat ke alergen atau atopi tes patch positif juga masih harus dibentuk. Immunotherapi Sebagai suatu zona induksi toleransi yang tinggi telah jelas diidentifikasi sebagai strategi alternatif yang potensial untuk alergi yang mematikan, tampaknya sangat layak untuk meninjau imunoterapi literatur dalam hubungannya dengan AEDS. Sayangnya hal ini sangatlah terbatas. Setidaknya ada beberapa bukti bahwa imunoterapi, yang biasanya dikenal sebagai hyposensitization, berguna pada asma yang dipicu oleh tungau debu rumah, terutama pada anakanak. Bentuk pengobatan terdiri dari pemberian suntikan secara bertahap meningkatkan jumlah antigen dalam upaya untuk mendorong beberapa bentuk toleransi imunologi. Mekanisme yang tepat untuk hal ini masih sering diperdebatkan meskipun perubahan dalam respon sel T dan sitokin profil mungkin menjadi modus utama tindakan. Penelitian oleh Warner et al pada tahun 1978 menunjukkan efek kecil tetapi tidak signifikan pada dermatitis atopik pada anak-anak penderita asma dengan sensitivitas tungau debu rumah dirawat dengan plasebo dibandingkan dengan imunoterapi aktif. Study itu memperkenalkan group dengan formasi secara paralel. Pada tahun berikutnya, kelompok pasien yang diberikan plasebo mendapatkan pengobataaan yang aktif dalam studi crossover single blind. Ketika kedua unsur dari group ini bersatu, Respons immunotherapy pada dermatitis atopi memiliki efek yang signifikan. Glover dan Atherton diminta untuk melakukan uji klinis secara terkontrol dengan imunoterapi, terutama pada 24 anak dengan dermatitis atopik dan skin prick test sensitivitas terhadap tungau debu rumah. Sayangnya, percobaan ini ditentang oleh Committee for safety of Medicines, mereka mengatakan immunotherapy sangatlah berbahaya dan percobannya tidak pernah komplit. Skore klinik menyarankan therapy secara aktif yang diperpanjang memiliki efektifitas yang lebih baik dibandingkan dengan placebo, namun jumlahnya terlalu sedikit kecil untuk menarik kesimpulan.

Selain itu, ada respon plasebo agak dramatis yang mungkin telah menyembunyikan manfaat terapeutik tambahan dari pengobatan aktif. Ringkasan Sebuah tinjauan literatur menunjukkan bahwa sekarang ada bukti yang masuk akal bahwa aeroalergen terhadap tungau, khususnya, memiliki kontribusi pada patologi dari dermatitis atopik. Sejauh mana mereka terlibat dengan induksi penyakit masih harus dicari. Termasuk immunopathology dari penyebab penyakit untuk menentukan target terapi yang sesuai. Namun studi terhadap penghindaran terhadap allergen sampai sekarang masih kurang jelas. Sangat mungkin bahwa kombinasi imunoterapi alergen dengan imunomodulator adalah metode yang paling tepat untuk nantinya menjadi bahan pembelajaran sebagai percobaan.

Eczema herpeticum

Definisi Eczema herpeticum adalah suatu penyakit kulit yang disebabkan oleh infeksi virus herpes simplex (HSV) pada pasien dengan dermatitis atopi, diikuti juga dengan gejala sistemik. Sejarah Deskripsi secara tradisional dari infeksi HSV pada dermatitis atopi berasal dari Kaposi, yang menggambarkan lepuh kecil seperti vesicle pada pasien-pasien yang sudah ada dermatitis sebelumnya. Meskipun istilah Kaposis varicelliform eruption (KVE) menjadi sering digunakan, Kaposi masih belum yakin dengan penggunaan istilah Varicella like eruption sehingga dia menyarankan penggunaan nama eczema herpetiforme. Tahun 1941, HSV pertama kali diisolasi dari pasien dengan KVE dan kemudian virus vaccinia dan coxsackie. Penyakit kulit lainnya yang berpredisposisi pada kulit seperti HSV, antara lain Dariers disease, ichtyosis vulgaris, congenital ichtyosis erythroderma, luka bakar derajat dua, dan pemfigus foliaceus. Istilah Eczema Herpeticum diperkenalkan oleh Lynch tahun 1945, pada infeksi HSV yang luas disertai eczema dan dermatosis lainnya. Untuk menghindari kebingungan, istilah eczema herpeticum hanya digunakan pada infeksi cutaeus HSV pada dermatitis atopi. Etiologi Mayoritas anak-anak dengan dermatitis atopi kontak dengan HSV dan tidak ada masalah dengan virus ini. Alasannya dimana pada beberapa anak-anak dengan dermatitis atopi rentan terhadap infeksi HSV yang multifaktorial. Walaupun abnormalitas dari keduanya cell mediated dan imunitas humoral ditemukan pada dermatitis atopi. Walaupun lymphoproliferasi in vitro pada HSV antigen berkurang pada orang dewasa dengan eczema herpeticum, tidak ada defek lymphoproliferafi pada antigen HSV yang ditemukan dan yang diteliti pada 10 anak-anak dengan eczema herpeticum. Sel Natutal Killer memberikan garis pertahanan pertama terhadap infeksi HSV, dan menurunkan aktivitas sel Natural killer pada dermatitis atopi yang didokumentasikan dengan baik. Penurunan reseptor interleukin 2 (IL-2) ditemukan pula pada eczema herpeticum. HSV diketahui mensupresi respon imun seluler pada episode akut dari HSV. Satu kemungkinan penurunan aktivitas dari Naturall killer pada dermatitis atopi menyebabkan proliferasi HSV yang

cukup untuk mensupresi efek mekanisme imun dari IL-2 reseptor, mengakibatkan infeksi HSV menjadi luas. Peran antibody terhadap infeksi HSV kurang jelas, tapi menunjukkan keterbatasan dari tingkat keparahan yang merupakan bagian dari sel mediated cytotoxicity. Tidak ada defek dari respon antibody yang diukur dengan enzyme linked immunoserbent assay (ELISA), western blotting dan netralisir antibody ditemukan pada 10 anak-anak walaupun tidak ada laporan persisten dari rendahnya ELISA ( < 1: 1600 ) diikuti eczema herpeticum pada waktu dewasa nanti. Belum ada kesepakatan mengenai penggunaan terapi topikal steroid pada infeksi virus cutaneus, meanariknya pada 1 studi hanya 3 dari 10 anak-anak yang menggunakan terapi steroid topikal pada saat penanganan eczema herpeticum. Eczema herpeticum telah dilaporkan pada pasien dengan dermatitis atopi menggunakan 0,1% tarcrolimus ointment. Eczema herpeticum biasanya adalah infeksi awal dari HSV pada anak-anak. Berbeda dengan orang dewasa, dimana terjadi rekurensi dari herpes labialis yang telah dilaporkan beberapa tahun sebelumnya sebelum eczema herpeticum. Semua laporan kasus yang dilaporkan pada anak-anak, dengan eczema herpeticum tergantung pada HSV-1 tapi insidensnya oleh infeksi HSV-2 masih diremehkan. Anak-anak pada semua umur dan etnik akan berpengaruh pada eczema herpeticum, dengan ank-anak pada awal umur 2-3 tahun yang memiliki insidens paling tinggi. Tidak ada variasi dari insidenseczema herpeticum yang telah diobservasi. Riwayat pada orang dewaya yang relative dengan rekurensi HSV labialis yang memiliki lesi yang lebih aktif disekitar eczema herpeticum. Banyak orang tua kurang peduli bila anak mereka dengan dermatitis atopi kontak dengan cold sores dibanding eczema herpeticum. Gejala klinis Eczema herpeticum biasanya terjadi akibat perburukan pada eczema anak-anak. Vesikel merupakan lesi yang paling sering, lesi berupa pustule, papul, krusta dan lesi yang menonjol keluar. Lesi dapat diskret atau konfluens dan cenderung kedalam, menghasilkan lesi pada tahapan yang berbeda. Setiap sisi kulit yang terkena mungkin akan terpengaruh, tetapi biasanya melibatkan anggota badan lainnya. Rupture vesikel akan terjadi cepat dan meninggalkan lesi dapat terjadi eksudat dan perdarahan. Gejala-gejala dari eczema herpeticum kadang-kadang halus dan sulit untuk membedakan antara infeksi bakteri dari eczema. Pireksia terdapat pada 40-

75% kasus dan tidak dapat diandalkan sebagai sebagaian dari gejala eczema herpeticum. Gejala klinik lainnya seperti gatal, lemah, muntah, anoreksia, diare dan lymphadenopathy. Sampai tahap vesikuler, dapat terjadi penyebarfan virus yang luas menyebabkan keterlibatan dari semua multisystem. Sangat jarang terjadi infeksi pada mata oleh HSV pada eczema herpeticum, walaupun terdapat infeksi pada wajah yang extensive. Dapat terjadi infeksi bacteria sekunder, biasanya Stahpylococcus aureus dan streptococcus hemolyticus group A, walaupun Pseudomonas Aeruginosa dan Pseudomonas Pyocyanosis telah diisolasi pada beberapa kasus. Diagnosa banding Sulit untuk menegakkan diagnosis pasti eczema herpeticum pada awal penyakit, apalagi tanpa adanya vesikel. Sulit untuk membedakan eczema herpeticum akibat dari infeksi bacteria atau severely excoriated eczema. Tes Tzanck, pada beberapa penelitian, membantu untuk membedakan infeksi virus herpes dari infeksi bakteri. Eczema herpeticum dapat juga di salah diagnosakan dengan chicken pox. Pengobatan dan pencegahan Penanganan suportif Perawatan kulit lokal, antipiretik dan analgetik. Pengobatan sekunder untuk infeksi bacteria yaitu pemberian antibiotic yang sesuai, cairan parenteral untuk mengatasi dehidrasi dan elektrolit imbalance dan produksi darah. Pemberian steroid topikal atau tacrolimus sebaiknya dihentikan pada fase akut dari eczema herpeticum yang disebabkan oleh karena pengobatan ini karena dapat menjadi predisposisi dari infeksi virus cutaneus dan mendukung penyebaran HSV. Terapi antivirus Pemberian asiklovir sitemik adalah pilihan untuk pengobatan eczema herpeticum. Banyak anak-anak akan mendapatkan asiklovir secara intravena, yang diberikan dengan cara infuse selama 1 jam, dengan dosis 500mg/m2 tiga kali sehari. Anak-anak yang secara sistemik tidak sakit dan memiliki lesi yang kurang luas dan berespon baik dengan pemberian acyclovir oral. Beberapa anak-anak yang mengalami infeksi HSV yang berulang antara 1-2 minggu dari eczema herpeticum, dan biasanya tidak diperlukan lagi pengobatan acyclovir.

Saran Dibutuhkan perhatian dari masyarakat, terutama orang tua, mengenai resiko dari kontak dengan cold sores pada anak-anak dengan dermatitis atopi. Prognosis Banyak anak-anak, sejak beberapa hari merasakan sakit, dan segera diberikan terapi, biasanya akan langsung berespons. Pada awal abad kedua puluh, tingkat mortalitas tinggi dan sampai 1944, 25% dari kasus yang dilaporkan telah berakibat fatal. Kematian menurun secara signifikan pada tahun 1950an hal ini dikarenakan pemberian terapi suportif yaitu dengan pemberian cairan parenteral, termasuk transfusi plasma dan darah serta antibiotik untuk menangani adanya infeksi sekunder dari bakteri. Sejak awal 1980an, acyclovir dapat diberikan untuk menangani kasus ini. Dapat terjadi demam 2-3 hari setelah pemberian asiklovir sitemik, kemudian produksi vesikel berhenti dan mengalami perbaikan kulit yang cepat. Mungkin dapat terjadi eczema herpeticum yang akan menyebabkan kematian meskipun dengan pemberian terapi suportif dan acyclovir intravena. Morbiditas dan mortalitas sering dikaitkan dengan keterlambatan dalam pengenalan penyakit. Tingkat keparahan infeksi HSV kulit tidak berkaitan dengan durasi atau derajat eczema. Jaringan parut dan depigmentasi infeksi yang persisten mungkin dapat berkembang pada beberapa kasus. Pada eczema herpeticum, 20% anak-anak akan mengalami rekurensi infeksi HSV. Kekambuhan infeksi HSV cenderung terjadi dalam beberapa bulan eczema herpeticum. Tidak seperti eczema herpeticum, lesi ini biasanya terlokalisasi dan mempengaruhi 2-3 area yang berbeda dan biasanya akan menjadi lebih parah bila terdapat penyakit lainnya yang mendasari. Interval waktu kekambuhan bervariasi dari masing-masing individu dari sekali seminggu sampai setahun 2 kali dan hal ini sering berbeda dalam individu yang sama. Eczema yang aktif tidak diperlukan pada rekurensi HSV, dan rekurensi HSV dapat bertahan meskipun terjadi resolusi eczema. Meskipun anak-anak cenderung tidak akan mengalami rekurensi HSV,tetapi diluar sekolah biasanya mereka mengantuk, letargi, perubahan mood, hal ini telah dilaporkan. Lain halnya dengan eczema herpeticum, rekurensi HSV sangatlah cepat. Sering tidak membutuhkan pengobatan, tetapi jika kekambuhan mengalami masalah, pasien perlu diberikan asiklovir topikal ataupun oral.

Aspek psikologi dari Dermatitis Atopi Literatur mengenai hubungan antara dermatitis atopi dan psikologi ada banyak metodologi yang sulit dalam penelitian psikosomatik. Hal ini termasuk sampel bias, kurangnya kontrol yang tepat, penggunaan instrumen penelitian yang terlalu subyektif atau terlalu dangkal, dan kelemahan yang terkait dengan diagnosis dermatologis. Ada sedikit cara yang sistematis untuk menilai tingkat keparahan dermatitis yang mempengaruhi perkembangan social dan psikologi anak, bahkan pada orang tua yang terkena. Pemahaman yang lebih baik diperlukan karena aspek psikososial yang mungkin penting dalam pengelolaan dermatitis atopic. Interaksi antara psikologi dan dermatitis atopi Teori interaksi yang mungkin antara dermatitis atopik dan faktor psikologis, ada 3 kategori utama: 1. Konflik emosional yang spesifik dapat menjadi penyebab dermatitis atopi, baik sendiri maupun kombinasi dengan faktor lainnya. 2. Ada beberapa unsur yang terkait dengan kepribadian dari individu ataupun riwayat keluarga yan berhubungan denan dermatitis, yang cenderung dapat memperburuk keadaan ataupun menghambat pengobatan. 3. Dermatitis atopik dapat menyebabkan masalah emosional bagi anak-anak ataupun keluarga. Konsep penyakit psikosomatis adalah pusat pembahasan dari efek psikososial pada dermatitis atopic. Ekspresi dari distress psikologikal termasuk gejala somatik yan frekuensi tersering pada anak-anak daripada orang dewasa hal ini dikarenakan keterbatasan anak-anak untuk menyampaikan apa yang mereka rasakan dalam bentuk kata-kata. Somatisasi tradisional, yang menghasilkan gejala-gejala fisik yang tidak dapat dijelaskan dengan adanya masalah yang berhubungan dengan perjalanan penyakit psikologi, tapi yang palin sering sakit kepala dan nyeri perut. Tipe kedua dari somatisasi diakui pada saat kondisi yang sudah ada dan diperburuk oleh

faktor psikososial. Dermatitis atopi, colitis ulseratif, dan asma, termasuk dalam kategori yang kedua. Teori maternal rejeksi Pada tahun 1940an, Alexander dan French yang memimpin sekolah psikosomatik, berpendapat bahwa dari ketujuh penyakit psikosomatik klasik disebabkan oleh konflik emosional antara spesifik naluriah individu dan tuntutan realitas eksternal. Pada kasus dermatitis atopi, konfliknya yaitu ekspresi anak yang merasa tertindas akibat kemarahan dari orang tuanya. Respon anak terhadap penolakan yang dilakukan ibu menimbulkan permusuhan antara ibu dan anak. Kesadaran anak terhadap penolakan yang dilakukan oleh ibu menyebabkan adanya hubungan ketergantungan yang bermusuhan antara ibu dan anak yang ditandai dengan pertempuran terus menerus antara kehendak ibu yang telah kelelahan, mudah tersinggung, cemas dan terlalu bersemangat, sedangkan anak merasa tidak aman dengan banyak ketakutan yang disengaja dan perilaku yang aresif. Sejumlah studi telah meneliti hipotesis mengenai penolakan ibu atau tekanan yan diberikan ibu yang disertai dengan kemarahan. Miller dan Barukh melakukan penelitian yang membandingkan 90 anak atopik dengan 53 subyek kontrol yang paling berpengaruh. Mereka menemukan adanya penolakan sekitar 98% pada group atopi tapi hanya sekitar 24,3% pada anak yang non atopi. Temuan ini harus ditafsirkan secara hati-hati karena evaluator tidak buta dengan status subyek atopik, dan tidak ada upaya yang dilakukan untuk membedakan pada mereka yang sudah ada penolakan terhadap sikap ibu. Studi terkontrol dari 30 anak prasekolah dengan dermatitis atopik tidak menunjukkan penolakan yang secara signifikan terhadap ibu. Studi ini menunjukkan bahwa kehidupan keluarga terganggu dengan memiliki anak dengan dermatitis dan ibu yang kebanyakan pekerjaannya hanya dirumah, kurang mendapat dukungan dari lingkungan sekitar. Disamping semua kesulitan ini, ibu ataupun pasien tidak berbeda dari segi kontrol dimana pada saat perawatan dilakukan pengawasan yang memadai, dan tidak menunjukkan sikap yang negative terhadap anak-anak mereka. Stress pada ibu memiliki prevalensi lebih tinggi dibandingkan masalah kebiasaan anak mereka, hal ini menunjukkan bahwa ibu turut merasakan penderitaan

yang dirasakan anak mereka sehingga diperlukan lingkungan emosional agar anak dapat merasa aman. Penelitian yang lebih baru melihat karakteristik yang relevan antara hubungan ibu dari 40 bayi di bawah usia 1 tahun dengan dermatitis atopik dibandingkan dengan ibu dari 40 bayi tanpa dermatitis atopik. Ibu yang memiliki bayi dengan dermatitis atopi menunjukkan bahwa mereka depresi dan hilang harapan, cemas atau terlalu protektif dan biasanya bayi mereka lebih sering berperilaku negative dibanding positif. Faktor psikologis yang memperburuk dermatitis Sejumlah faktor tampaknya mempengaruhi kecenderungan anak untuk mengalami penurunan gejala fisik dalam menanggapi tekanan psikologis.
1. Masalah komunikasi

keluarga yang kurang dalam komunikasi secara emosional biasanya meremehkan atau kadang menyangkal bahwa terdapat faktor psikologis yang mempengaruhi.
2. Harapan Orang Tua

Standar yang tinggi dari orang tua, terutama dalam hal perilaku dan prestasi akademik, bisa menyebabkan terhadap anak-anak.
3. Temparemen anak-anak

Kecenderungan anak-anak sanat peka terhadap suasana hati dari orang sekitar mereka.
4. Hubungan antara orang tua dan anak

Hubungan emosional yang dekat antara ibu dan anak dapat menimbulkan kesulitan bagi ibu untuk menjaga jarak emosional pada anak-anak yang memiliki gejala somatik.
5. Faktor pendidikan

Kesulitan

dalam

belajar

dapat

berpengaruh

pada

ketidakmampuan

untuk

mengekspresikan perasaannya secara verbal. Struktur kepribadiaan secara spesifik

Mencari tipe kepribadian tertentu dalam dermatitis atopik sulit dan tidak menguntungkan. Anak dengan dermatitis atopi biasanya emosinya tidak stabil, cemas, tegang dan perfeksionis, tetapi dalam banyak publikasi istilah ini sulit untuk didefinisikan, sehina menyebabkan kesulitan dalam interpretasi. Timbul pertanyaan apakah kepribadian menyebabkan dermatitis atau sebaliknya, masih belum ada jawaban yang memuaskan, dan hanya beberapa studi telah berusaha untuk menjelaskan efek dari gangguan gatal dan tidur dalam perilaku dan suasana hati. Secara keseluruhan, tampak bahwa tidak ada tipe kepribadian tertentu yang unik untuk dermatitis atopik, tetapi banyak pasien tampaknya cenderung utnuk menekan emosi mereka. Efek dermatitis pada anak dan keluarga Apapun interaksi yang tepat antara psikologi dan kulit, tidak ada suatu kerauan bahwa dermatitis secara umum menyebabkan masalah emosional bagi anak maupun keluarga. Kombinasi pengobatan topikal adalah sulit, anak agak sulit dan kurang tidur sehingga dapat menyebabkan rasa benci dan penarikan oleh orang tua, yang pada akhirnya menyebabkan anak semakin menggaruk, dan lebih banyak kecemasan dan kebencian pada orangtua. Anak-anak juga dapat belajar bahwa mereka bisa menghukum atau mengontrol oran tua mereka dengan cara menjaga kulit mereka tetap aktif. Seiring dengan perkembangan anak, masalah dermatitis semakin meluas. Kebanyakan orang cenderung menghindari anak mereka dari teman sebaya mereka yang menderita penyakit kulit. Masalah sekolah termasuk absensi meningkat, penurunan kinerja akibat kurang tidur dan penurunan kemampuan untuk berkonsentrasi menganggu dalam proses pembelajaran. Awalnya pola reaktif dari masalah ini dan menganggu kehidupan dan dapat bertahan ketika dermatitis tidak aktif. Dermatitis atopi memiliki skor tertinggi pada test disfungsi psikososial pada anak-anak yang datang ke klinik. Pada study dari 30 anak pre sekolah dengan dermatitis atopi dibandingkan dengan 20 kontrol subjek yang cocok, pasien-pasien dengan dermatitis memiliki peningkatan yang signifikan dalam gangguan perilaku, dengan kelebihan yang signifikan dari ketergantungan dan kemelekatan, rasa malu dan sulit tidur. Masalah kebiasaan anak dan stress pada ibu timbul pada anak yang menderita eczema yang parah.

Walaupun pada study ini didaptkan adanya peningkatan pada masalah perilaku dan stress dari orang tua yang kedepannya menjadi masalah yang penting pada dermatitis atopi pada anakanak, perkembangan sosial anak dan kualitas dari hubungan keterikatan dengan ibunya tidak terpengaruh. Sementara ini masalah perilaku dipandang berhubungan dengan keparahan dermatitis. Pada studi kontrol dari 60 sekolah, mereka dengan dermatitis atopik ditemukan memiliki tingkat masalah psikologis dua kali lipat dari populasi kontrol. Psikoneuroimmunologi Semakin banyak bukti menunjukkan bahwa stres psikologis dapat mengubah proses kekebalan tubuh dasar. Ada bukti bahwa faktor psikologis mempengaruhi proses inflamasi melalui mekanisme imunologi, vasoaktif, neuropetida, dan limfokin. Jalur utama dari emosi dan stres pada sistem kekebalan tubuh meliputi pengaktifan dari sistem simpatik adrenomedullary dan system hypothalamopituitary adrenocortical yang melepaskan opioid endogenous. Penelitian difokuskan pada efek stress jangka pendek, seperti kurang tidur dalam 48 jam atau pada ujian akademis, dalam fungsi sistem kekebalan tubuh pada orang dewasa yang sehat. Relatif sedikit penelitian yang mempertimbangkan tentang dampak dari stress kronis pada fungsi kekebalan tubuh. Hal ini sangat disayangkan karena ada bukti dari studi hewan dimana efek stres pada imunitas dapat berubah dari waktu ke waktu. Beberapa studi melihat stres kronis tidak menunjukkan adaptasi atau kompensasi untuk sistem kekebalan tubuh, sehingga stres berkepanjangan dapat menyebabkan disfungsi kekebalan tubuh yang panjang. Beberapa studi di bidang psikososial berpengaruh pada respon inflamasi yang cenderung sederhana, mengacu pada defisiensi imun atau kekebalan tubuh, sedangkan interaksi antara sistem saraf, endokrin dan system imun sepertinya sangat kompleks. Kecenderungan yang sama untuk menyederhanakan ditemukan dalam domain psikososial. Istilah kata stress digunakan untuk mencakup sejumlah besar keadaan emosi yang berbeda-beda. Pada tingkat biokimia, banyak stres yang berhubungan dengan hormon, neurotransmitter dan neuromodulators yang dapat menyertai keadaan emosional yang berbeda dan mempengaruhi fungsi kekebalan tubuh dengan cara yang berbeda.

Walaupun diakui secara luas terdapat hubungan yang erat antara antara kondisi kulit pada dermatitis atopik dengan keadaan stres psikososial, namun pemahaman tentang hal ini masih perlu diteliti lebih lanjut. Penelitian dari Buske-Kirschbaurn et al, menyarankan bahwa orang dengan dermatitis atopik terdapat penyimpangan dari regulasi system saraf symphatetic kekebalan tubuh hypothalamopituitary adrenocortica dan neuroendocryne, mengakibatkan perubahan reaktivitas imunologi. Oleh karena hypothalamopituitary adrenocortica dan system saraf symphatetic terlibat dalam respon adaptif terhadap stres, menganggu regulasi dari respon imun dan eksaserbasi eksim atopik. Oleh karena itu bisa diharapkan dalam kondisi stres psikososial. Mereka juga mengusulkan sebuah model psychobiological efek kepribadian eksim atopik, di mana struktur kepribadian yang mungkin berhubungan dengan biokimia tertentu di otak. Hal ini akan mengatur sebuah biokimia spesifik pada gilirannya untuk mengatur aktivitas sel-sel kekebalan tubuh melalui neurotransmiter dan neuropeptida, membuat organisme lebih atau kurang rentan terhadap proses inflamasi alergi. Hal ini juga bisa bertindak dalam peradangan kronis, fungsi neurotransmiter infuencing mungkin melalui pelepasan sitokin oleh sistem kekebalan tubuh yang diaktifkan, menyebabkan efek kepribadian. Indikator-indikator yang penting dalam dermatitis atopi psikososial Pada pasien-pasien yang berespon terhadap pengobatan konvensional seperti emollient, steroid tingkat rendah, biasanya merasa tidak puas dengan faktor-faktor yang menganggu seperti, infeksi, kontak alergi dan ketidakpatuhan, adalah mungkin bahwa yang mendasarinya yaitu psikopatologi dalam mempertahankan aktivitas penyakit. Kendala terhadap flare dermatitis pada pasien biasanya tidak selalu jelas dengan hanya menanyakan kepada pasien (anamnesa) diperlukan penerangan yang baik untuk melihat flare tersebut. seorang pasien yang dengan tingkat kesibukan yang tinggi biasanya acuh tak acuh dengan kecenderungan adanya dermatitis, tapi biasanya pada pasien ini memiliki tingkat psikopatologi yang signifikan. Pola yang biasanya pada dermatitis atau adanya beberapa luka mungkin suatu indikasi lain dari faktor psikologi, dimana dokter harusnya dapat melihat ketidaknyamanan yang dialami pasien. Seorang pasien yang berhasil membangkitkan perasaan marah di dokter mungkin memiliki kemarahan terpendam yang besar, yang mungkin berhubngan dengan dermatitis yang dialami. Ketika pasien atau orang tua tampaknya tidak mampu atau tidak

mau mengakui adanya perbaikan klinis yang tepat dan cenderung berkutat pada lesi sisa kecil, ada kemungkinan bahwa pasien atau keluarga memiliki keuntungan emosional dermatitis. Banyak orang tua yang perduli terhadap hubungan antara pengobatan dengan faktor-faktor psikologi. Akan sangat membantu bagi mereka untuk mengetahui kebiasaan dan frekuensi emosional mempengaruhi anak dengan eczema atopi, dan banyak keluarga berjuang di bawah beban kondisi medis yang kronis seperti eczema. Mendiskusikan sedini mungkin dengan tenaga ahli sedini mungkin, mengenai satu dari banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kekambuhan dan untuk penanganan selanjutnya. Buat orang tua merasa mudah untuk menerima penjelasan yang diberikan tanpa merasa mereka terancam. Konseling Beberapa peneliti menyebutkan sangatlah membantu bagi para non psikiatri untuk menenangkan respon emosional pada pasien dengan dermatitis. Pada dasarnya dibutuhkan waktu untuk menjelaskan mengenai dasar penyakit tersebut. Pasien usia sekolah dan remaja membutuhkan bantuan dari dokter untuk mengajari mereka belajar bertanggung jawab terhadap diri mereka untuk mengobati diri mereka dengan teratur. Timbul pertanyaan siapa yang bertanggung jawab pada lesi kulit yang terdapat pada anak-anak, hal ini yang sering menyebabkan konflik yang paling mencolok antara ibu dengan anak yang lebih tua. Dengan menanyakan kepada anak dibanding pada orang tua mengenai perkembangan terhadap pengobatan yang diberikan. Hypnosis diri dan citra kognitif Terdapat perdebatan apakah hypnosis adalah suatu pernyataan terpisah atau hanya perpanjangan dari sesuatu yang mirip. Teori hypnosis untuk mendefinisikan suatu keadaan dimana kesadaran dari subjek yang terlibat didalamnya menjadi tidak sadar. Kadang-kadang teknik yang dimaksud hanya sebagai petunjuk atau relaksasi dengan citra mental. Mencapai keadaan pikiran adalah mirip dengan keterlibatan imajinatif intens dalam subjek, dikombinasikan dengan keyakinan pada apa yang terjadi. Ada dua approciates utama yang relevan untuk pengobatan pasien dengan deratitis atopik:

1. Hypnosis neural digunakan pada relaksasi non spesifik dan telah ditunjukkan telah

ditunjukkan untuk mengurangi gairah dan manfaat autonomic dari berbagai gangguan psikosomatis.
2. Hypnosis yang spesifik melibatkan saran secara langsung mengenai gejala, sehingga kulit

terasa tenang dan nyaman atau dingin. Oleh karena hypnosis dapat digunakan untuk parameter dari psikologi, konduksi kulit, temperature kulit, dan reaksi vasomotor yang dapat digunakan dalam menangani dermatitis atopi. Beberapa studi yang diisolasi, dan beberapa percobaan klinis menyebutkan erdapat tbeberapa keuntungan dari penggunaan hypnosis dalam pengobatan dermatitis atopi. Pada anak-anak, teknik yang biasanya digunakan untuk mendorong pasien untuk memusatkan perhatian mereka ke objek dan mendengarkan suara terapi. Terapis dapat menyarankan anak untuk menutup matanya dan membayangkan 10 bintang di langit, untuk merasakan kenyamanan dan rileks pada setiap tahap. Minta anak untuk membayangkan tempat yang indah-indah agar menghilangkan keinginan mereka untuk menggaruk. Teknik ini menunjukkan terjadi keberhasilan pada dua studi pada anak dengan dermatitis atopi. Teknik ini lebih bekerja baik pada anak-anak perempuan dibanding laki-laki, karena anak perempuan memiliki daya imajinasi yang lebih dibanding anak laki-laki. Dapat digunakan sebagai acuan dalam pengobatan dermatitis pada anak-anak yang tidak mengalami perbaikan dengan pengobatan konvensional. Dan ini direkomendasikan untuk memenuhi syarat untuk psikologi anak, dalam hal ini teknik dalam memperlakukan anak-anak dengan dermatitis atopik. Terapi Kebiasaan Terapi kebiasaan menggunakan prinsip-prinsip pembelajaran buta huruf perubahan perilaku eksperimental yang tidak di adaptasi. Perilaku yang tidak diadaptasi dipandang sebagai hasil dari proses belajar yang salah dan tujuan dari pengobatan adalah untuk melemahkan atau menghilangkan kebiasaan-kebiasaan belajar yang salah dan memulai dan memperkuat adaptasi. Pengobatan dermatitis atopi pada anak-anak, umumnya biofeedback melibatkan penggunaan perangkat untuk memberikan informasi anak tentang relaksasi dan tingkatannya. Biofeedback yang sering digunakan yaitu konduksi kulit, yang bergantung pada derajat keringat. Dua elektroda menempel pada jari-jari yang terhubung ke sebuah kotak kecil, yang

menghasilkan nada bernada tinggi, frekuensi yang berubah sesuai dengan perubahan dalam konduktivitas kulit. Anak-anak diberitahu untuk mencoba dan menurunkan nada sampai hilang sama sekali, dengan menggunakan metode apa pun yang membantu mereka untuk bersantai terbaik. elektromiografi depan juga telah digunakan dengan beberapa keberhasilan. Desensitisasi sistematik telah digunakan ketika ansietas/ kecemasan mulai menonjol. keadaan santai diinduksi pada pasien, yang kemudian terkena rangsangan stimulus kecemasan. Paparan diulang sampai kehilangan stimulus untuk membangkitkan kecemasan. Terapi versi sebelumnya digunakan dalam pengobatan gangguan perilaku , seperti menggaruk secara berulang. Metode yang diberikan yaitu shock elektrik, ketika rasa gatal itu mulai timbul. Teknik Operant digunakan untuk memodifikasi kebiasaan tersebut. Teknik ini berfokus pada manfaat dari kebiasaan tersebut (tidak menggaruk) dan menolak kebiasaan menggaruk. Berdasarkan analisis psikoanalitik teori ini berorientasi pada konflik emosional yang bisa menyebabkan gatal. Diberikan penghargaan bagi mereka yang dermatitisnya terkontrol. Teknik Operant membantu orang tua untuk menolak gatal sampai dengan gatal itu tidak ada lagi. Pelatihan assertiviness dapat digunakan pada pasien yang lebih tua, yang tidak berani mengungkapkan rasa atau emosi dan yang mengalami rasa takut sosial yang cukup besar. Mereka juga menunjukkan kemerahan dan hyperhidrosis. Mereka yang telah di training mengajarkan pada mereka untuk berperilaku jujur untuk menghindari rasa takut. Program rehabilitasi pada anak dan orang dewasa dengan eczema atopic termasuk dalam management bagaimana mengatasi stress. Psikoterapi dan terapi keluarga Efektifitas psikoterapi dalam mengatasi masalah kulit kuranglah efektif. Ada beberapa bukti yang hasilnya positif bergantung pada komitmen terapis dan antusiasme sesuai pilihan pasien. Pasien harus memiliki pengangan yang nyata, mengenai kapasitas hubungan antara terapis dengan terapi klinik, tingkat rasa ingin tahu tentang penyakit mereka dan cara pandang yang terbuka tentang kausalitas. Yang penting dari ini adalah pilihan yang tepat dari pasien yang ditekankan oleh Browns dan Bettleys, studi dari 72 remaja dan orang dewasa penderita dermatitis atopik , 36 di antaranya yang menerima psikoterapi sebagai perawatan standar dibidang dermatological. Penggunaan pembersih kulit yang diukur dalam interval 18 bulan,

intervensi psikologis adalah yang paling berguna bagi mereka yang dengan jelas memiliki gejala psikologis, tekanan emosional yang terkait dengan berulangnya eczema dan motivasi yang tinggi untuk diterapi. Pasien-pasien yang positif terhadap tiga variable ini dan tidak menerima intervensi psikiatrik terjadi sedikit perbaikan, sedangkan pada kelompok yang sedikit indikasi tapi mendapat terapi hanya sedikit perbaikan. Walaupun studi yang hampir sama pada anak usia sekolah tidak tersedia, pengalaman klinik menunjukkan hasil yang relevant lebih baik pada pasien lebih muda. Pada anak usia muda, tugas utama adalah untuk membantu para orang tua untuk mengenali sifat disfungsional interaksi mereka dengan anak. Sebagaian besar dari terapi ini mengarahkan untuk mnghindari terjadinya konflik antara sesama anggota keluarga. Kesulitan bagi orang tua untuk menerima dan memahami sisi negative dari mereka yang ambivalence untuk mencapai tingkat kesadaran yang secara bertahap. Perasaan negative dapat dipahami oleh orang tua dalam konteks dimana itu merupakan pengalaman hidup dan keadaan mereka saat ini. Kebutuhan mereka akan pendapat orang tua untuk berpandangan lebih realistis sangat diperlukan. Rujukan ke psikiater Kebutuhan untuk merujuk ke psikiater, biasanya karena perasaan atau stigma dari orang tua yang telah terbentuk dimana mereka ragu akan kemampuan mereka sebagai orang tua. Orang tua perlu mengetahui dari ahli dermatologi alasan yang jelas mengapa merujuk ke psikiater. Diperlukan persiapan yang baik dalam membuat janji dengan psikiater, tanpa kehilangan kepercayaan dari ahli dermatologi.

You might also like