You are on page 1of 25

EPILEPSI A.

DEFINISI

Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh adanya bangkitan (seizure) yang terjadi secara berulang sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi otak secara intermiten, yang disebabkan oleh lepas muatan listrik abnormal dan berlebihan pada neuronneuron secara paroksismal yang disebabkan oleh beberapa etiologi.

B. ETIOLOGI Epilepsi idiopatik : penyebabnya tidak diketahui, meliputi 50% dari penderita epilepsi anak dan umumnya mempunyai predisposisi genetik, awitan biasanya pada usia > 3 tahun. Epilepsi simptomatik: disebabkan oleh kelainan/lesi pada susunan saraf pusat. Epilepsi kriptogenik: dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, termasuk disini adalah sindrom West, sindron Lennox-Gastaut dan epilepsi mioklonik C. PATOFISIOLOGI Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan transmisi pada sinaps. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter eksitasi yang memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi (inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik saraf dalam sinaps) yang menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah melepaskan listrik. Di antara neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi dapat disebut glutamate, aspartat, norepinefrin dan asetilkolin sedangkan neurotransmitter inhibisi yang terkenal ialah gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis lepas muatan listrik dan terjadi transmisi impuls atau rangsang. Dalam keadaan istirahat, membran neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi membran neuron dan seluruh sel akan melepas muatan listrik. Oleh berbagai faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau mengganggu fungsi membran neuron sehingga membran mudah dilampaui oleh ion Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi membran dan lepas

muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara sinkron merupakan dasar suatu serangan epilepsi. Suatu sifat khas serangan epilepsi ialah bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi. Diduga inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar sarang epileptic. Selain itu juga sistem-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuron-neuron tidak terusmenerus berlepas muatan memegang peranan. Keadaan lain yang dapat menyebabkan suatu serangan epilepsi terhenti ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi otak.

D. ALGORITMA DIAGNOSIS

E. TERAPI Dalam farmakoterapi, terdapat prinsip-prinsip penatalaksanaan untuk epilepsi yakni, 1. Terapi dimulai dengan monoterapi, dimulai dari dosis rendah dan dinaikan secara bertahap samapai dengan dosis efektif tercapai atau timbul efek samping obat. 2. Apabila dengan penggunakan OAE dosis maksimum tidak dapat mengontrol bangkitan, maka ditambahkan OAE kedua dimana bila sudah mencapai dosis terapi, maka OAE pertama dosisnya diturunkan secara perlahan. 3. Adapun penambahan OAE ketiga baru diberikan setelah terbukti bangkitan tidak terkontrol dengan pemberian OAE pertama dan kedua.

F. RESEP

R/ Diazepam inj mg 10 amp no. I Cum disposable syringe cc 3 No. I imm R/ Fenitoin Na cap mg 100 No. XXI 3 dd cap I R/ Karbamezepin tab mg 200 No. X 2 dd tab I Pro : Ny. M (27 th)

KETERANGAN: 1. Benzodiazepin Benzodiazepin yang terikat pada reseptor GABA (gamma-aminobutyric acid) akan

meningkatkan kerja GABA. Pengikatan GABA pada reseptornya akan menyebabkan pembukaan kanal klorida (Cl-). Pembukaan kanal tsb memungkinkan masuknya ion Cl melewati membran sel syaraf dan akan meningkatkan potensial elektrik sepanjang membran sel. Keadaan ini menyebabkan sel sukar tereksitasi (potensial istirahat). Aktivitas ke reseptor GABA memberikan keadaan potensiao istirahat (efek penenangan). Efek depresi SSP benzodiazepin meliputi : ansiolitik, relaksan otot, antiamnesia, antikonvulsan, dan sedatif. Dosis benzodiazepin untuk anak usia 2-5 tahun 0,5 mg/kg, anak usia 6-11 tahun 0,3 mg/kg,

anak usia 12 tahun atau lebih 0,2 mg/kg (11), dan dewasa 4-40 mg/hari. Saat status epileptikus : 0,2 mg/kgBB kecepatan 5gr/menit IV lambat, bila perlu diulang 15-20 menit, dosis maksimal 20-30 mg. Sediaan : 10mg/ml injeksi

2. Fenitoin Fenitoin adalah suatu antikonvulsan hidantoin yang strukturnya mirip dengan barbiturat tetapi lebih lemah keasamannya sehingga lebih sukar larut dalam air. Fenitoin efektif

mengurangi frekuensi dan keparahan kejang, tanpa menyebabkan depresi SSP. Mekanisme kerja fenitoin : Mempengaruhi perubahan fungsi membran saraf, misal pada pengaturan perubahan voltase yang diatur melalui kanal ion. Fenitoin dan karbamazepin memblok kanal Na pada saraf sehingga dapat mereduksi perulangan potensial aksi yang sangat berguna untuk mengontrol serangan tonik-klonik. Dosis awal penggunaan fenitoin 5 mg/kg/hari dan dosis pemeliharaan 20 mg/kg/hari tiap 6 jam.

3. Karbamazepin Karbamazepin merupakan obat pilihan pertama pada epilepsi karena efek sampingnya rendah dan tidak banyak mempengaruhi fungsi kognitif dan perilaku (behaviour). Karbamazepin bekerja dengan memblok sodium channel konduktan pada neuron, bekerja juga pada reseptor NMDA, monoamine dan asetilkolin. Dosis awal anak : 15-25 mg/kgBB/hari, dewasa 1000-2000 mg/hari ; Maintenance anak 400-800 mg/hari, dewasa 800-1000 mg/hari. Sediaan 200 mg/tab.

SUMBER: Harsono.2007.Epilepsi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Sidharta, Priguna M.D.,Ph. D.1999. Neurology klinis dalam praktek umum, Dian Rakyat, Jakarta.

ECZEMA

A. DEFINISI Dermatitis atopik atau eksema adalah peradangan kronik kulit yang kering dan gatal yang umumnya dimulai pada awal masa kanak-kanak. Eksema dapat menyebabkan gatal yang tidak tertahankan, peradangan, dan gangguan tidur. Penyakit ini dialami sekitar 10-20% anak. Umumnya episode pertama terjadi sebelum usia 12 bulan dan episode-episode selanjutnya akan hilang timbul hingga anak melewati masa tertentu. Sebagian besar anak akan sembuh dari eksema sebelum usia 5 tahun. Sebagian kecil anak akan terus mengalami eksema hingga dewasa. B. ETIOLOGI Masih banyak hal yang perlu dipelajari mengenai etiologi beberapa tipe eczema tertentu, akan tetapi, berdasarkan pengetahuan yang berkembang saat ini, eczema dapat diklasifikasikan menjadi endogen (disebabkan faktor internal atau konstitusional) dan eksogen (disebabkan kontak antara agen dengan kulit). Tabel 1 mencantumkan klasifikasi eczema.

Tabel 1. Klasifikasi Eczema Eksogen Kontak iritan Kontak alergi Endogen Eczema atopik (dipengaruhi faktor genetik) Seboroik (mempengaruhi area di kulit yang banyak mengandung kelenjar sebasea/keringat) Fotosensitif Diskoid (eczema yang khas dengan adanya lingkaran berbentuk seperti koin coin-shaped) Dermatitis venosa (disebabkan insufisiensi vena kronis) Pomfolix (area yang melepuh terbatas pada tangan dan kaki)

Penyakit ini dinamakan dermatitis atopik oleh karena kebanyakan penderitanya memberikan reaksi kulit yang didasari oleh IgE dan mempunyai kecenderungan untuk menderita asma, rinitis, atau keduanya di kemudian hari yang dikenal sebagai allergic march. Walaupun demikian, istilah dermatitis atopik tidak selalu memberikan arti bahwa penyakit ini didasari oleh interaksi antigen dengan antibodi. Nama lain untuk dermatitis atopik adalah eksema atopik, eksema dermatitis, prurigo Besnier, dan neurodermatitis.

Sangat mungkin peningkatan prevalensi ini berasal dari faktor lingkungan, seperti bahan kimia industri, makanan olahan, atau benda asing lainnya. Ada dugaan bahwa peningkatan ini juga disebabkan perbaikan prosedur diagnosis dan pengumpulan data. C. PATOFISIOLOGI Sampai saat ini etiologi maupun mekanisme yang pasti DA belum semuanya diketahui, demikian pula pruritus pada DA. Tanpa pruritus diagnosis DA tidak dapat ditegakkan. Rasa gatal dan rasa nyeri sama-sama memiliki reseptor di taut dermoepidermal, yang disalurkan lewat saraf C tidak bermielin ke saraf spinal sensorik yang selanjutnya diteruskan ke talamus kontralateral dan korteks untuk diartikan. Rangsangan yang ringan, superfisial dengan intensitas rendah menyebabkan rasa gatal, sedangkan yang dalam dan berintensitas tinggi menyebabkan rasa nyeri. Sebagian patogenesis DA dapat dijelaskan secara imunologik dan nonimunologik. 1. Reaksi imunologis DA Sekitar 70% anak dengan DA mempunyai riwayat atopi dalam keluarganya seperti asma bronkial, rinitis alergi, atau dermatitis atopik. Sebagian besar anak dengan DA (sekitar 80%) terdapat peningkatan kadar IgE total dan eosinofil di dalam darah. Anak dengan DA terutama yang moderat dan berat akan berlanjut dengan asma dan/atau rinitis alergika di kemudian hari (allergic march), dan semuanya ini memberikan dugaan bahwa dasar DA adalah suatu penyakit atopi. a. Ekspresi sitokin Keseimbangan sitokin yang berasal dari Th1 dan Th2 sangat berperan pada reaksi inflamasi penderita Dermatitis Atopik (DA). Pada lesi yang akut ditandai dengan kadar Il-4, Il-5, dan Il-13 yang tinggi sedangkan pada DA yang kronis disertai kadar Il-4 dan Il-13 yang lebih rendah, tetapi kadar Il-5, GM-CSF (granulocytemacrophage colony-stimulating factor), Il-12 dan INFg lebih tinggi dibandingkan pada DA akut. Anak dengan bawaan atopi lebih mudah bereaksi terhadap antigen lingkungan (makanan dan inhalan), dan menimbulkan sensitisasi terhadap reaksi hipersentivitas tipe I. Imunitas seluler dan respons terhadap reaksi hipersensitivitas tipe lambat akan menurun pada 80% penderita dengan DA, akibat menurunnya jumlah limfosit T sitolitik (CD8+), sehingga rasio limfosit T sitolitik (CD 8+) terhadap limfosit T helper (CD4+) menurun dengan akibat kepekaan terhadap infeksi virus, bakteri, dan jamur meningkat. Di antara mediator yang dilepaskan oleh sel mast, yang berperan pada pruritus adalah vasoaktif amin, seperti histamin, kinin, bradikinin, leukotrien, prostaglandin, dan sebagainya, sehingga dapat dipahami bahwa dalam penatalaksanaan DA, walaupun antihistamin sering digunakan, namun hasilnya tidak terlalu

menggembirakan dan sampai saat ini masih banyak silang pendapat para ahli mengenai manfaat antihistamin pada DA. Trauma mekanik (garukan) akan melepaskan TNF-a dan sitokin pro inflammatory lainnya di epidermis, yang selanjutnya akan meningkatkan kronisitas DA dan bertambah beratnya eksema. b. Antigen Presenting Cells Kulit penderita DA mengandung sel Langerhans (LC) yang mempunyai afinitas tinggi untuk mengikat antigen asing (Ag) dan IgE lewat reseptor FceRI pada permukaannya, dan beperan untuk mempresentasikan alergen ke limfosit Th2, mengaktifkan sel memori Th2 di kulit dan yang juga berperan mengaktifkan Th0 menjadi Th2 di dalam sirkulasi. 2. Faktor non imunologis Faktor non imunologis yang menyebabkan rasa gatal pada DA antara lain adanya faktor genetik, yaitu kulit DA yang kering (xerosis). Kekeringan kulit diperberat oleh udara yang lembab dan panas, banyak berkeringat, dan bahan detergen yang berasal dari sabun. Kulit yang kering akan menyebabkan nilai ambang rasa gatal menurun, sehingga dengan rangsangan yang ringan seperti iritasi wol, rangsangan mekanik, dan termal akan mengakibatkan rasa gatal. Faktor pencetus dapat berupa makanan, allergen hirup, dan infeksi kulit. D. ALUR DIAGNOSIS

KRITERIA MAYOR a. pruritus: morfologi dan distribusi khas: 1) dewasa: likenifikasi fleksura 2) bayi dan anak : lokasi kelainan di daerah muka dan

kriteria mayor >3 dan kriteria minor>3 KRITERIA MINOR a. xerosis iktiosis/pertambahan garis di palmar/keratosis pilaris b. reaktivasi pada uji kulit tipe cepat c. peningkatan kadar IgE d. kecenderungan mendapat infeksi kulit/kelainan imunitas selular e. dermatitis pada areola mammae f. keilitis g. konjungtivitis berulang h. lipatan Dennie-Morgan daerah infraorbita i. keratokonus j. katarak subskapular anterior k. hiperpigmentasi daerah orbita l. kepucatan/eritema daerah muka m. pitiriasis alba n. lipatan leher anterior o. gatal bila berkeringat p. intoleransi terhadap bahan wol dan lipid solven q. gambaran perifolikular lebih nyata r. intoleransi makanan s. perjalanan penyakit dipengaruhi lingkungan dan emosi t. white dermographism/delayed blanch

ECZEMA

G. TERAPI 1. Perawatan kulit Hidrasi adalah terapi DA yang esensial. Dasar hidrasi yang adekuat adalah peningkatan kandungan air pada kulit dengan cara mandi dan menerapkan sawar hidrofobik untuk mencegah evaporasi. Mandi selama 15-20 menit 2 kali sehari tidak menggunakan air

panas dan tidak menambahkan oil (minyak) karena mempengaruhi penetrasi air. Sabun dengan moisturizers disarankan. Setelah mandi memberihkan sisa air dengan handuk yang lembut. Bila perlu pengobatan topikal paling baik setelah mandi karena penetrasi obat jauh lebih baik. Pada pasien kronik diberikan 3-4 kali sehari dengan water-in-oil moisturizers sediaan lactic acid. 2. Pengobatan topikal Pengobatan topikal adalah untuk mengatasi kekeringan kulit dan peradangan. Mengatasi kekeringan kulit atau memelihara hidrasi kulit dapat dilakukan dengan mandi memakai sabun lunak tanpa pewangi. Meskipun mandi dikatakan dapat memperburuk kekeringan kulit, namun berguna untuk mencegah terjadi infeksi sekunder. Jangan menggunakan sabun yang bersifat alkalis dan sebaliknya pakailah sabun atau pembersih yang mempunyai pH 7,0. Pemberian pelembab kulit penting untuk menjaga hidrasi antara lain dengan dasar lanolin, krim air dalam minyak, atau urea 10% dalam krim. Untuk mengatasi peradangan dapat diberikan krim kortikosteroid. Penggunaan kortikosteroid topikal golongan kuat sebaiknya berhati-hati dan tidak digunakan di daerah muka. Apabila dermatitis telah teratasi maka secepatnya pengobatan dialihkan pada penggunaan kortikosteroid golongan lemah atau krim pelembab. Untuk daerah muka sebaiknya digunakan krim hidrokortison 1%. Dengan pengobatan topikal yang baik dapat dicegah penggunaan pengobatan sistemik. Karena perjalanan penyakit DA adalah kronik dan residif, maka untuk pemakaian kortikosteroid topikal maupun sistemik untuk jangka panjang sebaiknya diamati efek samping yang mungkin terjadi. Bila dengan kortikosteroid topikal tidak adekuat untuk menghilangkan rasa gatal dapat ditambahkan krim yang mengandung mental, fenol, lidokain, atau asam salisilat. Bila dengan pengobatan topikal ini tetap tidak adekuat, maka dapat dipertimbangkan pemberian pengobatan sistemik Kortikosteroid topikal mempunyai efek antiinflamasi, antipruritus, dan efek vasokonstriktor. Yang perlu diperhatikan pada penggunaan kortikosteroid topikal adalah segera setelah mandi dan diikuti berselimut untuk meningkatkan penetrasi; tidak lebih dari 2 kali sehari; bentuk salep untuk kulit lembab bisa menyebabkan folikulitis; bentuk krim toleransinya cukup baik; bentuk lotion dan spray untuk daerah yang berambut; pilihannya adalah obat yang efektif tetapi potensinya terendah; efek samping yang harus diperhatikan adalah: atropi, depigmentasi, steroid acne, dan kadang-kadang terjadi absorbsi sistemik dengan supresi dari hypothalamic-pituitary-adrenal axis; bila kasus membaik, frekuensi pemakaian diturunkan dan diganti dengan yang potensinya lebih rendah; bila kasus sudah terkontrol, dihentikan dan terapi difokuskan pada hidrasi. 3. Antihistamin Untuk mengurangi rasa gatal dapat diberikan antihistamin (H1) seperti difenhidramin atau terfenadin, atau antihistamin nonklasik lain. Kombinasi antihistamin H1 dengan H2

dapat menolong pada kasus tertentu. Pada bayi usia muda, pemberian sedasi dengan kloralhidrat dapat pula menolong. Penggunaan obat lain seperti sodium kromoglikat untuk menstabilkan dinding sel mast dapat memberikan hasil yang memuaskan pada 50% penderita. Penggunaan kortikosteroid oral sangat terbatas, hanya pada kasus sangat berat dan diberikan dalam waktu singkat, misalnya prednison 0,5-1,0 mg/kgBB/hari dalam waktu 4 hari. Merupakan terapi standar, tetapi belum tentu efektif untuk menghilangkan rasa gatal karena rasa gatal pada DA bisa tak terkait dengan histamin. 4. Tars Mempunyai efek anti-inflamasi dan sangat berguna untuk mengganti kortikosteroid topikal pada manajemen penyakit kronik. Efek samping dari tar adalah folikulitis, fotosensitisasi, dan dermatitis kontak. 5. Antibiotik sistemik Antibiotik sistemik dapat dipertimbangkan untuk mengatasi DA yang luas dengan infeksi sekunder. Antibiotik yang dianjurkan adalah eritromisin, sefalosporin, kloksasilin, dan terkadang ampisilin. Infeksi di curigai bila ada krusta yang luas, folikulits, pioderma, dan furunkulosis. S. aureus yang resisten penisilin merupakan penyebab tersering dari flare akut. Bila diduga ada resistensi penisilin, dicloxacillin, atau sefalexin dapat digunakan sebagai terapi oral lini pertama. Bila alergi penisilin, eritromisin adalah terapi pilihan utama, dengan perhatian pada pasien asma karena bersama eritromisin, teofilin akan menurunkan metabolismenya. Pilihan lain bila eritomisin resisten adalah klindamisin.. Dari hasil pembiakan dan uji kepekaan terhadap Staphylococcus aureus, 60% resisten terhadap penisilin, 20% terhadap eritromisin, 14% terhadap tetrasiklin, dan tidak ada yang resisten terhadap sefalosporin. Imunoterapi dengan ekstrak inhalan umumnya tidak menolong untuk mengatasi DA pada anak. 6. Identifikasi dan eliminasi faktor-faktor eksaserbasi Sabun dan baju yang bersifat iritatif dihindari. Baju iritatif dari wol dihindari. Demikian juga keringat dapat juga mengiritasi kulit. Stres sosial dan emosional juga harus dihindari. Eliminasi alergen makanan, binatang, dan debu rumah.

H. RESEP

R/ Hydrocortisone 2% cream tube No. I ue R/ Loratadine tab mg 10 No. V 1 dd tab I

Pro : Tn. F (28 th)

KETERANGAN: 1. Hydrocortisone Golongan kortikosteroid lemah Memiliki pootensi kecil sehingga tidak terlalu besar efeknya. Mekanisme kerja : mengurangi sintesis prostaglandin dan leukotrien yang diakibatkan oleh aktivasi fosfolipase A2 dengan mengurangi jumlah enzim yang tersedia untuk memprtoduksi prostaglandin Indikasi : Eczema, radang, dan penyakit kulit karena alergi Sediaan : 40 mg; 25mg/g cream

2. Loratadine Antihistamin non sedative golongan piperidin Pengobatan simptomatis pada berbagai jenis alergi Mekanisme kerja : Antihistamin meghambat reaksi alergi yang menghasilkan histamine, serotonin, bradikinin, asam arakidonat yang akan diubah menjadi prostaglandin. Dosis : Dewasa 10 mg/hari; anak-anak BB < 30 5 mg/hari Sediaan : 10 mg/tab atau syrup 5mg/ml

SUMBER: Gunawan S.G. 2007. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: FKUI.

Judarwanto W. 2009. Dermatitis Atopi pada Anak. Jakarta: Children Allergy Centre. Moeloek F.A. 2007. MIMS. Jakarta: CMP Medical Asia Pte Ltd. Sandy N.J. 2010. Manifestasi Klinis dan Terapi Dermatitis Atopi. Yogyakarta: UMY.

SKIZOFRENIA A. DEFINISI

Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, schizeinyang berarti terpisahatau pecah, dan phren yang artinya jiwa. Pada skizofrenia terjadi pecahnya atau ketidakserasian antara afeksi, kognitif dan perilaku. Secara umum, simptom skizofrenia dapat dibagi menjadi tiga golongan: yaitu simptom positif, simptom negatif, dan gangguan dalam hubungan interpersonal.

B. ETIOLOGI 1. Model Diatesis-stres Merupakan integrasi faktor biologis, faktor psikososial, faktor lingkungan. Model ini mendalilkan bahwa seseorang mungkin memiliki suatu kerentanan spesifik (diatesis) yang jika dikenai oleh suatu pengaruh lingkungan yang menimbulkan stress, memungkinkan perkembangan skizofrenia. 2. Faktor Neurobiologi Penelitian menunjukkan bahwa pada pasien skizofrenia ditemukan adanya kerusakan pada bagian otak tertentu. Namun sampai kini belum diketahui bagaimana hubungan antara kerusakan pada bagian otak tertentu dengan munculnya simptom skizofrenia. 3. Faktor Genetika Skizofrenia mempunyai komponen yang diturunkan secara bermakna, kompleks dan poligen. 4. Faktor Psikososial C. PATOFISIOLOGI Skizofrenia terjadi akibat dari peningkatan aktivitas neurotransmitter dopaminergik. Peningkatan ini mungkin merupakan akibat dari meningkatnya pelepasan dopamin, terlalu banyaknya reseptor dopamin, turunnya nilai ambang, atau hipersentivitas reseptor dopamin, atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut.

D. ALGORITMA DIAGNOSIS

Peningkatan aktivitas dopaminergik Simptom positif Waham, halusinasi, disorganisasi pembicaraan, dan disorganisasi perilaku seperti katatonia atau agitasi Simptom negatif Affective Flattening, alogia, avolition, anhedonia, dan gangguan atensi

SKIZOFRENIA

E. TERAPI Skizofrenia diobati dengan antipsikotika (AP). Obat ini dibagi dalam dua kelompok, berdasarkan mekanisme kerjanya, yaitu dopamine receptor antagonist (DRA) atau antipsikotika generasi I (APG-I) dan serotonin-dopamine antagonist (SDA) atau antipsikotika generasi II (APG-II). Obat APG-I disebut juga antipsikotika konvensional atau tipikal sedangkan APG-II disebut juga antipsikotik baru atau atipikal. a) Antipsikotik atipikal Lebih dari 70% pasien dengan skizofrenia (dan gangguan psikotik lainnya) perbaikan signifikan pengalaman klinis dari gejala positif dan disorganisasi ketika diobati dengan obat ini selama 4-6 minggu dengan tepat dosis. Pilihan obat neuroleptik tipikal untuk digunakan dasar pertimbangan variasi, termasuk availabilitas dari persiapan long acting. Obat Low-potency (dosis yang biasa diberikan 300mg/hari atau lebih seperti klorpromazin, thioridazin, mesoridazin) lebih sedatif dan lebih hipotensi daripada High-potency seperti haloperidol dan fluphenazin. Obat yang terakhir lebih menghasilkan EPS daripada Low-potency. Low - High Potency menurunkan agitasi dan perilaku agresif.

Obat high-potency seperti haloperidol dan fluphenazin sering menjadi pengobatan pilihan. Jika EPS terjadi obat anti kolinergik seperti benztropin, biperiden, atau trihexyphenidyl mungkin digunakan atau diganti ke mediumpotency (trifluoperazin) atau obat yang low-potency (thioridazine). Salah satu dari atipikal antipsikotik (clozapin, olanzapin, risperidon, serindole, ziprasidone) mungkin pilihan pengobatan terutama jika pasien sensitif EPS. Afinitas obat antipsikotik pada D2, 5-HT2A, dan reseptor muskarinik adalah yang menentukan kecenderungan untuk penyakit EPS. Afinitas reseptor D2 meramalkan level kerentanan terhadap EPS. Peningkatan serum prolaktin dan sedatif dan hipotensi efek samping histaminergik (H1) dan adrenergik (2) reseptor antagonis. Efek samping yang lain dari atipikal neuroleptik seperti ginekomasti, impotensi, dan amenorrhea juga dari blokade DA. Peningkatan berat badan pada blokade reseptor 5-HT2c dan H1. Efek hematologi, jaundice, efek pada jantung, fotosensitifitas, dan retinitis hasil dari efek toksik pada target jaringan spesifik. b) Antipsikotik atipikal Clozapine Adalah suatu obat antipsikotik yang efektif. Mekanisme kerjanya belum diketahui secara pasti. Clozapine adalah suatu antagonis lemah terhadap reseptor D2 tetapi merupakan antagonis yang kuat terhadap reseptor D4 dan mempunyai aktivitas antagonis pada reseptor serotogenik. Agranulositosis merupakan suatu efek samping yang mengharuskan monitoring setiap minggu pada indeks-indeks darah. Obat ini merupakan lini kedua, diindikasikan pada pasien dengan tardive diskinesia karena data yang tersedia menyatakan bahwa clozapine tidak disertai dengan perkembangan atau eksaserbasi gangguan tersebut. Risperidone Adalah suatu obat antispikotik dengan aktivitas antagonis yang bermakna pada reseptor serotonin tipe 2 (5-HT2) dan pada reseptor dopamine tipe 2 (d2). Risperidone menjadi obat lini pertama dalam pengobatan skizofrenia karena kemungkinan obat ini adalah lebih efektif dan lebih aman daripada antagonis reseptor dopaminergik yang tipikal.

F. RESEP R/ CPZ tab mg 100 No. XV S 2 dd tab. I R/ Risperidone tab. mg 2 No.VII S 3dd tab. I

KETERANGAN: A. Chlorperazin (CPZ) Bekerja dengan memblok reseptor dopaminergik di postsinaptik mesolimbik otak. Memblok kuat efek alfa adrenergik. Menekan penglepasan hormon hipotalamus dan hipofisa, menekan Reticular Activating System (RAS) sehingga mempengaruhi metabolisme basal, temperatur tubuh, kesiagaan, tonus vasomotor dan emesis.

B. Risperidone Suatu obat antispikotik dengan aktivitas antagonis yang bermakna pada reseptor serotonin tipe 2 (5-HT2) dan pada reseptor dopamine tipe 2 (d2). Risperidone menjadi obat lini pertama dalam pengobatan skizofrenia karena kemungkinan obat ini adalah lebih efektif dan lebih aman daripada antagonis reseptor dopaminergik yang tipikal.

Sumber: Sinaga, B.R., Skizofrenia & Diagnosis Banding. 2007, Jakarta: Balai Penerbit FK-UI. Ebert, M.H., P.T. Loosen, and B. Nurcombe, Current Diagnosis & Treatment in Psychiatry, E.L. Ebert, Editor. 2007, The McGraw-Hill Companies: Tennessee. Harold I. Kaplan, M.D., M.D. Benjamin J. Saddock, and M.D. Jack A. Grebb, Skizofrenia. 7 ed. Sinopsis Psikiatri, ed. D.I.M.W. S. Vol. 1. 2001, Jakarta: Universitas Trisakti.

ASMA BRONKIAL A. DEFINISI Asma adalah penyakit inflamasi kronis saluran pernapasan yang dihubungkan dengan hiperresponsif, keterbatasan aliran udara yang reversibel dan gejala pernapasan. Asma

bronkial adalah salah satu penyakit paru yang termasuk dalam kelompok penyakit paru alergi dan imunologi yang merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh tanggap reaksi yang meningkat dari trakea dan bronkus terhadap berbagai macam rangsangan dengan manifestasi berupa kesukaran bernapas yang disebabkan oleh penyempitan yang menyeluruh dari saluran napas.

B. ETIOLOGI 1. Faktor Lingkungan a. Alergen dalam rumah b. Alergen luar rumah 2. Faktor Lain a. Alergen makanan b. Alergen obat obat tertentu c. Bahan yang mengiritasi d. Ekspresi emosi berlebih e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun perokok pasif f. Polusi udara dari dalam dan luar ruangan

C. PATOFISIOLOGI Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas dan disebabkan oleh hiperreaktivitas saluran napas yang melibatkan beberapa sel inflamasi terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel epitel yang menyebabkan pelepasan mediator seperti histamin dan leukotrin yang dapat mengaktivasi target saluran napas sehingga terjadi bronkokonstriksi, kebocoran mikrovaskular, edema dan hipersekresi mukus. Inflamasi saluran napas pada asma merupakan proses yang sangat kompleks melibatkan faktor genetik, antigen dan berbagai sel inflamasi, interaksi antara sel dan mediator yang membentuk proses inflamasi kronik. Proses inflamasi kronik ini berhubungan dengan peningkatan kepekaan saluran napas sehingga memicu episode mengi berulang, sesak napas, batuk terutama pada malam hari. Hiperresponsivitas saluran napas adalah respon bronkus berlebihan yaitu penyempitan bronkus akibat berbagai rangsangan spesifik dan non-spesifik.

Asma : Inflamasi kronis Saluran Napas

pemicu Hiperreaktivita s

Banyak Sel : Sel Mast Eosinofil Netrofil Limfosit

Melepas MEDIATOR : Histamin Prostaglandin (PG) Leukotrien (L) Platelet Activating Factor (PAF), dll

Bronkokonstriksi, hipersekresi mukus, edema saluran napas

Obstruksi difus saluran napas

BATUK, MENGI, SESAK

D. ALGORITMA DIAGNOSIS

ANAMNESIS: batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan cuaca. Faktor faktor yang mempengaruhi asma, riwayat keluarga dan adanya riwayat alergi.

PEMERIKSAAN FISIK : ekspirasi memanjang diserta ronki kering, mengi

SPIROMETRI: peningkatan volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan atau kapasiti vital paksa (FVC) sebanyak 20% atau lebih sesudah pemberian bronkodilator.

ASMA

E. TERAPI Pengobatan ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan napas, terdiri atas pengontrol dan pelega.13 Pengontrol (Controllers) Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma, diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten. Pengontrol sering disebut pencegah, yang termasuk obat pengontrol : Kortikosteroid inhalasi Kortikosteroid sistemik Sodium kromoglikat Nedokromil sodium Metilsantin Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi Agonis beta-2 kerja lama, oral Leukotrien modifiers Antihistamin generasi ke dua (antagonis -H1)

Lain-lain

Glukokortikosteroid inhalasi Pengobatan jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol asma. Penggunaan steroid inhalasi menghasilkan perbaikan faal paru, menurunkan

hiperesponsif jalan napas, mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan berat serangan dan memperbaiki kualiti hidup. Steroid inhalasi adalah pilihan bagi pengobatan asma persisten (ringan sampai berat). Tabel 5. Dosis glukokortikosteroid inhalasi dan perkiraan kesamaan potensi13 Dewasa Obat Beklometason dipropionat Budesonid Flunisolid Flutikason Triamsinolon asetonid Anak Obat Beklometason dipropionat Budesonid Flunisolid Flutikason Triamsinolon asetonid 100-400 ug 100-200 ug 500-750 ug 100-200 ug 400-800 ug 400-800 ug 200-400 ug 1000-1250 ug 200-500 ug 800-1200 ug >800 ug >400 ug >1250 ug >500 ug >1200 ug 200-500 ug 200-400 ug 500-1000 ug 100-250 ug 400-1000 ug Dosis rendah 500-1000 ug 400-800 ug 1000-2000 ug 250-500 ug 1000-2000 ug Dosis medium >1000 ug >800 ug >2000 ug >500 ug >2000 ug Dosis tinggi Dosis rendah Dosis medium Dosis tinggi

Glukokortikosteroid sistemik

Cara pemberian melalui oral atau parenteral. Harus selalu diingat indeks terapi (efek/ efek samping), steroid inhalasi jangka panjang lebih baik daripada steroid oral jangka panjang.

Kromolin (sodium kromoglikat dan nedokromil sodium) Pemberiannya secara inhalasi. Digunakan sebagai pengontrol pada asma persisten ringan. Dibutuhkan waktu 4-6 minggu pengobatan untuk menetapkan apakah obat ini bermanfaat atau tidak. Metilsantin Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek ekstrapulmoner seperti antiinflamasi. Teofilin atau aminofilin lepas lambat dapat digunakan sebagai obat

pengontrol, berbagai studi menunjukkan pemberian jangka lama efektif mengontrol gejala dan memperbaiki faal paru. Agonis beta-2 kerja lama Termasuk di dalam agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah salmeterol dan formoterol yang mempunyai waktu kerja lama (> 12 jam). Seperti lazimnya agonis beta2 mempunyai efek relaksasi otot polos, meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan memodulasi penglepasan mediator dari sel mast dan basofil. Tabel 6. Onset dan durasi (lama kerja) inhalasi agonis beta-213 Onset Durasi (Lama kerja) Singkat Cepat Fenoterol Prokaterol Salbutamol/ Albuterol Lama Formoterol

Terbutalin Pirbuterol Lambat Salmeterol

Leukotriene modifiers Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya melalui oral. Mekanisme kerja menghasilkan efek bronkodilator minimal dan menurunkan bronkokonstriksi akibat alergen, sulfurdioksida dan exercise. Selain bersifat

bronkodilator, juga mempunyai efek antiinflamasi.

Kelebihan obat ini adalah

preparatnya dalam bentuk tablet (oral) sehingga mudah diberikan. Saat ini yang beredar di Indonesia adalah zafirlukas (antagonis reseptor leukotrien sisteinil).

Pelega (Reliever) Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan hiperesponsif jalan napas. Termasuk pelega adalah 13: Agonis beta2 kerja singkat Kortikosteroid sistemik. (Steroid sistemik digunakan sebagai obat pelega bila penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil belum tercapai, penggunaannya dikombinasikan dengan bronkodilator lain). Antikolinergik Aminofillin Adrenalin

Agonis beta-2 kerja singkat Termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol, dan prokaterol yang telah beredar di Indonesia. Mempunyai waktu mulai kerja (onset) yang cepat.

Mekanisme kerja sebagaimana agonis beta-2 yaitu relaksasi otot polos saluran napas, meningkatkan bersihan mukosilier, menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan modulasi penglepasan mediator dari sel mast. Merupakan terapi pilihan pada serangan akut dan sangat bermanfaat sebagai praterapi pada exercise-induced asthma Metilsantin Termasuk dalam bronkodilator walau efek bronkodilatasinya lebih lemah dibandingkan agonis beta-2 kerja singkat.

Antikolinergik Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek penglepasan asetilkolin dari saraf kolinergik pada jalan napas. Menimbulkan bronkodilatasi dengan menurunkan tonus kolinergik vagal intrinsik, selain itu juga menghambat refleks bronkokostriksi yang disebabkan iritan. Termasuk dalam golongan ini adalah ipratropium bromide dan tiotropium bromide. Adrenalin Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat. Pemberian secara subkutan harus dilakukan hati-hati pada penderita usia lanjut atau dengan gangguan kardiovaskular. Pemberian intravena dapat diberikan bila dibutuhkan, tetapi harus dengan pengawasan ketat (bedside monitoring).

Cara pemberian pengobatan Pengobatan asma dapat diberikan melalui berbagai cara yaitu inhalasi, oral dan parenteral (subkutan, intramuskular, intravena). Kelebihan pemberian pengobatan langsung ke jalan napas (inhalasi) adalah 13: lebih efektif untuk dapat mencapai konsentrasi tinggi di jalan napas

efek sistemik minimal atau dihindarkan beberapa obat hanya dapat diberikan melalui inhalasi, karena tidak terabsorpsi pada pemberian oral (antikolinergik dan kromolin). Waktu kerja bronkodilator adalah lebih cepat bila diberikan inhalasi daripada oral.

Tabel 7. Pengobatan sesuai berat asma 13 Semua tahapan : ditambahkan agonis beta-2 kerja singkat untuk pelega bila dibutuhkan, tidak melebihi 3-4 kali sehari. Berat Medikasi Alternatif / Pilihan lain Alternatif Asma pengontrol lain harian Asma Tidak perlu -------------Intermiten Asma Glukokortikoste Teofilin lepas lambat -----Persisten roid inhalasi Kromolin Ringan (200-400 ug Leukotriene modifiers BD/hari atau ekivalennya) Asma Kombinasi Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 Ditambah Persisten inhalasi ug BD atau ekivalennya) ditambah agonis Sedang glukokortikoster Teofilin lepas lambat ,atau beta-2 oid kerja lama Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 oral, atau ug BD atau ekivalennya) ditambah (400-800 ug agonis beta-2 kerja lama oral, atau Ditambah BD/hari atau teofilin Glukokortikosteroid inhalasi dosis ekivalennya) lepas tinggi (>800 ug BD atau ekivalennya) dan lambat atau Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 agonis beta-2 ug BD atau ekivalennya) ditambah kerja lama leukotriene modifiers

Asma Persisten Berat

Kombinasi inhalasi glukokortikoster oid (> 800 ug BD atau ekivalennya) dan agonis beta2 kerja lama, ditambah 1 di bawah ini: teofilin lepas lambat leukotriene modifiers glukokortikost eroid oral

Prednisolon/ metilprednisolon oral selang sehari 10 mg ditambah agonis beta-2 kerja lama oral, ditambah teofilin lepas lambat

F. RESEP R/ Ventolin MDI No. I S prn 1-2 dd puff I R/ Metil prednisolon tab mg 4 No.VII S 1 dd tab I Pro Ny. R (30tahun) KETERANGAN: 1. Ventolin Kandungan salbutamol sulfate, golongan beta2-mimetika Mekanisme kerja : bekerja spesifik pada reseptor-2. Selain mempunyai daya bronchodilatasi yang baik, juga memiliki efek yang lemah terhadap stabilisasi sel mast, sehingga sangat efektif untuk mencegah atau meniadakan asma. ESO : nyeri kepala, pusing, mual, tremor tangan. Pada overdose menimbulkan efek kardiovaskuler (takikardi, palpitasi, aritmia, hipotensi).

Dosis : tab 2 mg, inhaler 100 mcg. Inhalasi 3-4 dd 2 semprotan dari 100mcg, pada serangan akut 2 puff dapat diulang sesudah 15 menit. Pada serangan hebat i.m atau s.c 250-500 mcg, yang dapat diulang setelah 4 jam. Biasa digunakan dalam bentuk dosis aerosol, karena berefek pesat dan mempunyai efek samping yang ringan dibanding dengan dosis oral.

2. Metilprednisolon Merupakan kortikosteroid, sebagai antiinflamasi, mengatasi obstruksi jalan nafas. Mekanisme kerja : menghalangi enzim fosfolipase yang mampu mengubah fosfolipid membran sel menjadi mediator menimbulkan bronkospasme. ESO : gejala cushing (osteoporosis, moonface, hipertrichosis, impotensi, dll) serta penekanan fungsi anak ginjal. Dosis : Sediaan 4 mg, 16 mg. Prednisolon untuk terapi kur singkat 25-40 mg sesudah makan pagi, yang setiap dua hari dikurangi dengan 5 mg sampai kur selesai dalam 2-3 minggu. Untuk pemeliharaan 5-10 mg prednisolon setiap 48jam.

Sumber: 1. Riyanto BS, Hisyam B. Obstruksi Saluran Pernapasan Akut. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi ke - 4. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006. h 978 87. 2. Alsagaff H, Mukty A. Dasar - Dasar Ilmu Penyakit Paru. Edisi ke 2. Surabaya : Airlangga University Press. 2002. h 263 300.

You might also like