You are on page 1of 18

Prediksi dan Pencegahan Skizofrenia: Apa Yang Telah Dicapai dan Bagaimana Langkah Selanjutnya?

Joachim Klosterktter1, Frauke Schultze-Lutter2, Andreas Bechdolf1,3, Stephan Ruhrmann1 Department of Psychiatry and Psychotherapy, University of Cologne, Kerpener Strasse 62, 50924 Cologne, Germany; 2University Hospital of Child and Adolescent Psychiatry, Research Department, Bern, Switzerland; 3Department of Psychiatry, University of Melbourne, Australia Abstrak Dalam ilmu kedokteran modern, berbagai upaya dilakukan untuk dapat menemukan cara memprediksi dan mencegah berbagai penyakit. Konsep ilmu kedokteran modern ini tepat jika diterapkan pada gangguan mental. Penelitian terkini tentang indikator neurobiologi dan psikososial untuk risiko
1

berkembangnya skizofrenia ternyata tidak memberikan kekuatan prediktif yang cukup baik untuk mencegah terjadinya gangguan jiwa pada pasien yang berisiko mengalaminya tetapi tidak menunjukkan gejala. Namun, jika dasar prediktif dan gejala-gejala pre-psikotik risiko tinggi psikosis berkembang menjadi gejala prodormal dalam jangka waktu 5 tahun, kemungkinan berkembangnya gangguan jiwa dapat diprediksi dengan akurat. Beberapa penelitian terbaru menunjukkan bahwa strategi pencegahan berupa cognitive behavioral therapy dan pemberian antipsikotik atipikal dosis rendah pada pasien dengan gejala-gejala prodormal awal dapat bermanfaat. Tugas yang penting untuk masa mendatang adalah meningkatkan kekuatan prediktif melalui penilaian dan stratifikasi berbagai faktor risiko, dengan pengembangan strategi pencegahan terbaru, serta berfokus pada etiologi gangguan mental. Selain itu, pendekatan prediksi dan pencegahan gangguan jiwa dapat mengambil manfaat dari dimasukannya gejala-gejala risiko pada kriteria diagnosis DSM-5. Kata kunci : Skizofrenia, faktor risiko, proses awal penyakit, gejala utama, gejala risiko tinggi, staging risiko, pencegahan beragam

Pergeseran paradigma klinis ke paradigma molekuler menimbulkan perubahan cara pandang medis. Prediksi, pencegahan, dan personalisasi menjadi kata kunci pada pendekatan ini. Sama halnya dengan disiplin ilmu kedokteran lainnya, psikiatri juga memperluas fokusnya dari diagnosis dan terapi menjadi deteksi dan estimasi perkembangan faktor risiko penyakit, prediksi terjadinya onset, serta strategi untuk mencegah manifestasi gejala (1-4). Meskipun pengobatan skizofrenia mengalami banyak kemajuan dalam beberapa dekade terakhir ini, banyak pasien yang penyakitnya berkembang menjadi kronis (5-6). Hal inilah yang menyebabkan skizofrenia menjadi penyebab disabilitas yang permanen pada individu berumur di bawah 40 tahun di Jerman (7) dan berada pada peringkat kedelapan penyebab disabilitas seseorang dalam melakukan kegiatan sehari-hari/ disability adjusted life years (DALYs) pada individu berumur 15-34 tahun di seluruh dunia (8), meskipun prevalensinya rendah. Selain itu, skizofrenia memberikan beban sosial baik secara langsung maupun tidak langsung (9) serta menjadi beban yang besar bagi pasien dan keluarganya (8,10). Saat ini semakin jelas bahwa skizofrenia merupakan gangguan yang kompleks dengan hereditas poligenik dan patogenesisnya sangat dipengaruhi oleh interaksi antar gen maupun interaksi antara gen dengan lingkungan. Saat ini sudah diakui adanya hubungan skizofrenia dengan variasi gen pengkode dysbidin dan neuregulin-1, di lokus gen G72 dan DAOA (D-amino acid oksidase activator). Sama halnya dengan penyakit-penyakit kompleks lainnya, saat ini penelitian skizofrenia berfokus pada karakterisasi predisposisi poligenik dan menganalisis pengaruhnya terhadap perkembangan fenotip (11). Metode penelitian yang dilakukan berupa teknik molekular genetik melaui analisis proteome pada komponen biologi sel, neurofisiologi, gambaran struktural dan fungsional otak, serta neuropsikologi. Dengan metode-metode ini, beberapa indikator yang menunjukkan peningkatan risiko skizofrenia dapat diidentifikasi. Akan tetapi, faktor-faktor risiko neurobiologi yang saat ini kita kenal tidak cukup optimal untuk mengembangkan dan menerapkan upaya pencegahan selektif dengan target berupa pasien-pasien yang asimptomatik. Untuk faktor-faktor risiko

neuropsikologi, hal ini menjadi sangat jelas dalam penelitian berskala besar yang dilakukan oleh North American Prodrome Longitudinal Study (NAPLS) untuk meningkatkan multivariasi dengan mengintegrasikan variabel-variabel

neurokognitif (12). Ada beberapa faktor risiko lingkungan pada skizofrenia yang sudah banyak diketahui, seperti komplikasi kehamilan atau persalinan, tumbuh di kota besar, IQ yang rendah tetapi normal, dan konsumsi obat-obatan. Namun, dengan nilai odds rasio sekitar 2, masing-masing faktor risiko ini hanya menyebabkan peningkatan ringan pada risiko penyakit (13). Oleh karena itu, faktor-faktor risiko yang saat ini diketahui, baik berdiri sendiri atau secara bersamaan, tidak dapat digunakan dalam memprediksi mencegah, tanpa adanya pengetahuan yang komprehensif dan holistik tentang dasar dan hubungan antar gen, serta hubungan antara gen dengan lingkungan. Berdasarkan situasi ini, bisa diasumsikan bahwa usaha prediksi dan pencegahan penyakit ini masih belum matang dan masih diperlukan penelitian etiologi lebih lanjut. Akan tetapi terdapat cara pandang yang berbeda, yang muncul dari hasil penelitian di lembaga-lembaga pusat identifikasi awal dan pencegahan penyakit di Meulborne, Australia dan di Cologne, Jerman pada pertengahan tahun 1990-an, kemudian disusul oleh lembaga-lembaga penelitian lainnya. Cara pandang yang berbeda ini berasal dari penelitian retrospektif tentang psikosis tahap awal, dimana gangguan patofisiologi selama masa perkembangan otak dapat menyebabkan berbagai kelainan mulai dari gangguan perilaku awal hingga gejala risiko psikopatologis dini yang jelas dan gejala-gejala

psikopatologis risiko tinggi/ ultra high risk (UHR). Munculnya gangguan perilaku maupun gejala-gejala UHR ini bergantung pada kombinasi stressor dan daya tahan seseorang. Penelitian tentang episode pertama dari psikosis/ first episode psychosis (FEP) menunjukkan bahwa kemunculan 70-80% kasus gangguan jiwa didahului oleh adanya fase prodromal yang bertahan selama kurang lebih 5-6 tahun. Bahkan pada sistem pelayanan kesehatan yang sudah maju pun, gejalagejala positif psikosis membutuhkan kira-kira 1 tahun mulai dari kemunculan

gejala positif psikotik pada manifestasi pertamanya hingga dimulainya pengobatan yang adekuat (14,15). Periode dimana FEP tidak ditangani/ duration of untreated psychosis (DUP) dapat menyebabkan keterlambatan atau remisi yang tidak sempurna dari gejala-gejala yang ada, masa pengobatan yang lebih lama, risiko relaps yang lebih tinggi, kepuasan terhadap terapi yang lebih rendah, beban pada keluarga lebih besar, emosi terekspresikan yang lebih tinggi, peningkatan risiko depresi dan keinginan bunuh diri, dampak negatif yang lebih besar pada pekerjaan atau pendidikan, peningkatan penyalagunaan obat dan perilaku kejahatan, serta peningkatan biaya pengobatan yang signifikan (16). Berbagai korelasi tersebut telah dibuktikan dalam suatu penelitian metaanalysis (17), dengan koefisien penelitian yang berkisar antara 0,285 hingga 0,434 (95% CI). Korelasi ini tidak hanya menjadi alasan kuat perlunya pengobatan pada FEP sedini mungkin, tetapi juga menjadi alasan perlunya penanganan yang sistematik untuk menurunkan insidensi psikosis melalui tindakan pencegahan yang sesuai indikasi.

Prediksi Skizofrenia dengan Kriteria Gejala-Gejala Yang Utama

Dua penelitian penting yang menganalisis tentang tahap awal hingga tahap konversi ke FEP menunjukkan bahwa gejala-gejala yang paling awal dan paling sering muncul, dimana sebagian besar mendominasi selama masa prodromal, ternyata tidak spesifik dan tidak bisa dibedakan dengan gangguan mood, dorongan emosional, kontak, dan konsentrasi dari episode depresi. Kedua penelitian tersebut adalah Age-Beginning-Course (ABC) yang merupakan sebuah studi retrospektif dan metode optimisasi (14), dan Cologne Early Recognition (CER) yang merupakan suatu penelitian prospektif jangka panjang dengan masa pemantauan (follow-up) selama 10 tahun (18). Penelitian ini juga menemukan adanya gangguan kognitif pada proses berpikir, pembicaraan, dan persepsi yang kemudian disebut sebagai gejala-gejala utama, dimana dijumpai pada seperempat

pasien. Gejala-gejala utama ini memiliki spesifitas dan kekuatan prediksi yang tinggi dengan derajat positif palsu yang rendah (19-21). Gejala-gejala utama pertama kali digunakan dalam Bonn Scale for Assessment of Basic Symtoms (BSABS). Terdapat bentuk yang lebih sederhana dari skala ini untuk pasien dewasa dan anak-anak, yaitu Schizophrenia Proneness Instrument, Adult Version (SPI-A) dan Schizophrenia Proness Instrument, Child and Youth Version (SPI-CY), yang dikembangkan dari analisis-analisis dimensional (22-24). BSABS hanya dapat digunakan untuk menilai kondisi pasien pada saat itu saja, sedangkan SPI-A dan SPI-CY dapat digunakan untuk menilai derajat gangguan berdasarkan frekuensi kemunculan gejala dalam 3 bulan terakhir. Dalam studi CER, sebanyak 385 pasien yang diduga berada dalam masa prodromal dari skizofrenia dipantau selama rata-rata 9,6 (7,6) tahun. Sebanyak 20% kasus dengan kriteria awal positif (1 dari 66 gejala utama) mengalami perkembangan menjadi skizofrenia setelah 12 bulan, sebanyak 17% setelah 24 bulan, sebanyak 13% setelah 36 bulan, dan sebanyak 70% setelah 4,5 tahun. Jadi, hanya 30% pasien yang tidak berkembang menjadi skizofrenia. Ada atau tidaknya sekurang-kurangnya satu dari gejala utama dapat memprediksi secara tepat kemungkinan transisi menjadi skizofrenia pada 78.1% dari keseluruhan kasus. Berdasarkan analisis lebih lanjut, dua kriteria gejala yang secara parsial saling bertumpang tindih untuk menetukan at risk mental states (ARMS) untuk psikosis, terutama skizofrenia dikembangkan dan ditampilkan dalam tabel 1.

Tabel 1. Definisi status mental yang berisiko terkena psikosis atas dasar gejala utama dan keakuratan prediksi pada penelitian Cologne Early Recognition (CER).
Kriteria Keakuratan prediksi

Gejala utama persepsi dan kognisi/ Sensitivitas = 0,87 cognitive-perceptive (COPER) basic symptoms Spesifitas = 0,54 Nilai prediksi positif = 0,65

Paling sedikit terdapat 1 dari 10 gejala Nilai prediksi negatif = 0,82 utama dengan skor SPI-A/SPI-CY > 3 Likelihood ratio positif = 1,9

selama kurun waktu 3 bulan dan onset awal Likelihood ratio negatif = 0,24 > 12 bulan yang lalu, yaitu: thought Odds ratio = 7.86 interference, thought perseveration, thought Positif palsu = 23.1 % pressure, thought blockages, gangguan Negatif palsu = 6.3 % pemahaman bahasa, penurunan kemampuan untuk membedakan ide dan persepsi, fantasi dan memori nyata, ideas of reference ,ang tidak stabil, derealisasi, halusinasi visual (selain kasus mata kabur dan terlalu peka cahaya), halusinasi auditorik (selain kasus terlalu peka suara) Gangguan kognisi/ cognitive disturbance Sensitivitas = 0,67 (COGDIS) Spesifitas = 0,83

Paling sedikit 2 dari 9 gejala utama dengan Nilai prediksi positif = 0,79 skor SPI-A/SPI-CY >3selama kurun waktu Nilai prediksi negatif = 0,72 3 bulan, yaitu: ketidakmampuan Likelihood ratio positif = 3.94 thought Likelihood ratio negatif = 0.40

membedakan

perhatian,

interference, thought pressure, thought Odds ratio = 9,91 blockages, gangguan pemahaman bahasa, Positif palsu = 8,8 % ideas of reference yang tidak stabil Negatif palsu = 16,3 %

gangguan mengungkapkan dengan bahasa lisan, gangguan dalam berpikir abstrak, pemusatan perhatian pada detil objek yang dilihat

Kriteria yang pertama, yang terdiri dari 10 gejala utama kognisi dan persepsi/ cognitive-perceptive basic symptoms yang disingkat menjadi COPER, didasarkan pada penemuan mengenai keakuratan prediksi dari gejala-gejala utama pada individu (18, 25). Kriteria yang kedua berdasar pada analisis ulang pada data yang sama, dimana dikelompokkan menjadi 9 gejala kognitif utama yang dianggap paling prediktif. Kelompok ini disebut dengan cognitive disturbances (COGDIS). Menurut studi CER, COGDIS lebih konservatif dibanding dengan COPER dalam hal tingkat keakuratan prediksi secara umum. Perkiraan transisi

berdasar pemantauan dalam 10 tahun didapatkan 65% pada COPER dan 79% pada COGDIS, dengan transisi yang sebagian besar terjadi dalam 3 tahun pertama. Menurut studi prospektif kedua (26) yang dilakukan dengan SPI-A dan pemantauan yang sistematik dalam 24 bulan, sebanyak 38% dari 146 subjek penelitian mengalami perkembangan gangguan jiwa menjadi psikosis nyata, khususnya skizofenia, dalam rata-rata 12.3 (10.4) bulan (1-48; median=9) berdasarkan COPER. Hal ini menunjukkan kesesuaian dengan hasil positif pada penelitian CER. Oleh karenanya dapat disimpulkan kembali bahwa COGDIS lebih spesifik tetapi kurang sensitif. Sebagai konsekuensi dari penemuan-penemuan ini, gejala-gejala utama yang dapat digunakan untuk memprediksi, digunakan sebagai kriteria untuk penilaian risiko mengenai pengenalan awal adanya psikosis pada penelitian internasional. Jaringan penelitian mengenai skizofrenia di Jerman menggunakan gejala-gejala ini dikombinasikan dengan standar risiko deteriosasi fungsional dan biologi, dalam menentukan adanya early at-risk of psychosis state (ERPS), dengan menggunaka penilaian risiko secara klinis (Gambar 1).

Faktor resiko awal Status Psikosis


Kriteria Gejala Utama : 1 dari 10 gangguan kognitif-persepsi beberapa kali seminggu dalam 3 bulan terakhir : Thought interference Thought perseveration Thought pressure Thought blockages Gangguan bicara reseptif Penurunan kemampuan untuk membedakan antara ide / persepsi, fantasi / kenangan nyata Unstable idea of reference Derealisasi Gangguan persepsi visual (tidak termasuk hipersensitif terhadap cahaya atau penglihatan kabur) Gangguan persepsi akustik (tidak termasuk hipersensitif terhadap suara) dan /atau Keadaan Fungsional Kriteria Biologi: Penurunan skor fungsi penilaian global minimal 30 poin, setidaknya satu bulan dalam satu tahun ditambah dengan diagnosa relatif pertama kalinya penyakit skizofrenia atau spektrum skizofrenia Fokus pada intervensi dan / atau komplikasi Psikologis obstetri

Faktor resiko akhir Status Psikosis


Gejala Positif Ringan ( Attenuated Positive Symptoms (APS) ): Adanya > 1 dari gejala berikut, beberapa kali dalam seminggu untuk > 1 minggu: Isi pikir yang tidak biasa / delusi Kecurigaan / persecutory idea Kebesaran Gangguan persepsi / halusinasi Komunikasi yang tidak teratur Perilaku atau penampilan aneh dan / atau Gejala Psikotik Intermiten yang Singkat dan Terbatas ( Brief Limited Intermittent Psychotic Symptoms (BLIPS) ): Adanya > 1 gejala berikut, gejala hilang spontan dalam waktu 7 hari: Halusinasi Delusi Gangguan pikiran formal

Psikosis awal

Kriteria Transisi : Adanya > 1 gejala psikosis lebih dari seminggu

Fokus pada intervensi Farmakologis

Pengobatan

Indikasi Pencegahan
Gambar 1. Kondisi prodormal awal dan akhir : pendekatan klinis

Prediksi Skizofrenia Menggunakan Kriteria Risiko Tinggi/ Ultra High Risk (UHR)

Gejala-gejala positif yang khas pada skizofrenia, seperti delusi, halusinasi, atau gangguan berpikir, terkadang muncul pertama kali dalam waktu sementara selama fase prodromal. Adanya gejala-gejala ini menunjukkan prediksi yang valid akan adanya konversi ke episode psikosis pertama (FEP), khususnya dalam waktu singkat. Gejala-gejala yang harus diwaspadai ini digunakan dalam kriteria ultra high risk (UHR) (27, 28). Meskipun ada perbedaan-perbedaan diantara beberapa penelitian, kriteria ini secara umum terdiri dari elemen-elemen alternatif yang meliputi gejala positif/ attenuated positive symptoms (APS), gejala psikotik sementara yang terbatas/ brief limited intermitten psychotic symptoms (BLIPS), atau kombinasi dari satu atau lebih faktor risiko (selalu melibatkan risiko genetik) dan penurunan fungsional dalam periode waktu tertentu. Untuk memastikan kriteria UHR, kelompok peneliti Melbourne

mengembangkan instrumen yang spesifik, yaitu Comprehensive Assessment of at Risk Mental States (CAARMS) (29). Berdasarkan difinisi yang ditetapkan oleh para peneliti Australia tentang kriteria UHR, dikembangkanlah the Structured Interview for Prodromal syndromes (SIPS), the Scale for Prodromal Syndromes (SOPS), dan the Criteria of Prodromal Syndromes (COPS) (30,31). UHR yang berbeda juga dikembangkan oleh the Hillside Recognition and Prevention (RAP) di New York dan pada studi Basel Frherkennung von Psychosen (FEPSY). Hingga saat ini telah ada sedikitnya 15 penelitian prediksi menggunakan kriteria UHR, dimana beberapa diantaranya menggunakan sampel dalam jumlah besar (34-41). Tingkat transisi dalam 12 bulan menuju FEP berdasarkan berbagai penelitian terdapat sekitar 13-50%. Variasi yang besar juga diamati dengan masa observasi yang berbeda pada pusat penelitian yang sama (34,35). Insidensi tahunan dari segala bentuk psikosis di populasi umum hanya sekitar 0,034% (42). Walaupun dalam tingkat konversi yang rendah masih dapat mengindikasikan adanya peningkatan yang dramatis dalam risiko relatif suatu penyakit, paling tidak dalam bantuan pencarian sampel di pusat-pusat yang khusus. Tabel 2

menggambarkan pengukuran keakuratan prediksi yang telah dilakukan sejauh ini, dengan sekurang-kurangnya 5 penelitian yang mempresentasikan analisis faktorfaktor yang dapat memprediksi sampel-sampel yang masuk dalam kriteria berisiko. Sebagai hasilnya, di dalam jaringan penelitian tentang skizofrenia di Jerman, pendekatan dengan UHR dikombinasikan dengan pendekatan gejalagejala utama dan diterapkan dalam bentuk yang dimodifikasi sebagai ketentuan late at-risk of psychosis state (LRSPS) (Gambar 1). Model penentuan tingkatan secara klinis (staging) ini sangat mendukung diagnosis, yang juga menunjukkan adanya rangkaian perkembangan progresif FEP dari gejala-gejala prodromal yang tidak spesifik menjadi gejala-gejala utama yang dapat diprediksi, kemudian menjadi APS, BLIPS, sampai menculnya gejala-gejala psikotik yang jelas.

Pencegahan Skizofrenia dengan Suatu Strategi Pencegahan Yang Beragam

Upaya pencegahan yang bersifat menyeluruh maupu selektif ditujukan untuk kelompok populasi sehat maupun kelompok karier yang masih sehat (43). Pencegahan yang sesuai indikasi ditujukan pada individu dengan gejala-gejala utama dan gejala-gejala UHR. Bahkan pada stadium awal saat individu tersebut mulai mencari pertolongan dan pemecahan masalahnya di pusat diagnostik dini dan pencegahan penyakit, mereka harus dikategorikan sebagai individu sakit dan membutuhkan pengobatan. Lagipula, kemunduran yang nantinya akan dialami oleh pasien skizofrenia, seringkali muncul pada awal stadium prodromal, bahkan sebelum terjadi perubahan menjadi FEP (14, 15). Gangguan klinis dan psikososial tersebut mendorong dilakukannya intervensi dengan EPRS dan LPRS sebagai pencegahan utama, untuk mencapai 3 tujuan, yaitu: a) perbaikan dari gejala prodromal atau gangguan yang sekarang dialami, b) menghindari atau menghambat perkembangan gangguan psikososial, c) mencegah atau setidaknya menghambat atau meredam timbulnya psikosis. Lima penelitian internasional mengenai langkah-langkah intervensi tersebut telah berupaya mencari tahu sejauh mana ketiga capaian itu dapat diraih (tabel 3). Langkah-langkah pencegahan itu menggunakan terapi perilaku dan

kognitif/ cognitive behavioral therapy (CBT), sesuai kebutuhan individu yang berisiko, atau antipsikotik atipikal, seperti risperidon, olanzapin, dan amisulprid. Penelitian tersebut merupakan penelitian dengan metode randomisasi kontrol, tetapi terdapat kekurangan pada teknik blind sampel pada kedua intervensi CBT. Saat ini, kekurangan dari metodologi penelitian tersebut dan metodologi penelitian lainnya adalah kesimpulan yang terlalu terbatas atau sedikit, sehingga mendorong dibentuknya kelompok penelitian baru yang mengoptimalkan penelitian tentang langkah-langkah intervensi tersebut. Sebagai contoh, protokol penelitian yang sedang berlangsung saat ini tentang upaya pencegahan pada kelompok paralel memasukkan analisis komparatif yang cermat serta uji superioritas dan inferioritas dari terapi psikologis dan farmakologis dalam pelaksanaan penelitiannya (52). Penentuan tingkat (staging) risiko penyakit yang kemudian menunjukkan dimensi temporal, diaplikasikan untuk pertama kalinya di dua penelitian yang dilakukan oleh German Research Network pada kasus skizofrenia. Salah satu penelitian tersebut tidak menggunakan ERPS dan hanya menggunakan CBT sebagai langkah pencegahan. Penelitian yang satunya menggunakan LRPS dan hanya menggunakan obat amisulprid. Jika perkembangan gejala semakin meningkat seiring perjalanan waktu di awal fase prodromal, seperti yang ditunjukkan gambar 1, sangat penting bagi peneliti terutama sebagai alasan etik untuk fokus pada intervensi psikologi menggunakan ERPS, yang paling bisa ditoleransi dan diterima. Segera setelah gejala psikotik transien muncul, sebagai penghambatnya, dapat segera diberikan antipsikotik yang mudah ditoleransi tubuh dengan efek samping minimal. Strategi pencegahan yang beragam tersebut, saat ini telah diterapkan di pusat diagnostik dini Jerman, dan mulai merambah ke negara-negara lain. Pilihan terapi farmakologis yang lain, misalnya aripiprazol, telah diuji cobakan pada penelitian terkontrol yang diberikan pada pasien saat fase UHR. Efek pencegahan yang bisa dicapai saat ini sedang dianalisis. Antidepresan digunakan pada penelitaian nonrandomized dengan sampel remaja dengan kriteria inklusi berupa didapatkannya APS, tetapi karena alasan metodologi, penelitian

tersebut tidak membuahkan kesimpulan mengenai perbedaan efek pencegahan pada obat-obat tersebut (54). Tugas di Masa yang Akan Datang Suatu evaluasi kritis atas capaian-capaian penelitian yang didapatkan selama kurun waktu 15 tahun ini melalui usaha yang berkesinambungan tentang perkembangan diagnostik dini dan pencegahan gangguan psikosis, terutama skizofrenaia cukup membuahkan hasil. Walaupun demikian, pencapaian yang sudah sejauh itu masih memerlukan evaluasi lagi, terutama pada penemuan cara prediksi dan pencegahan yang lebih modern lagi. Sekali saja gejala utama dan gejala UHR sudah tampak, proses patofisiologi yang mendasari timbulnya penyakit mungkin sudah mengalami progresi. Untuk penyakit yang kompleks dengan onset lama dan mempunyai faktor predisposisi, identifikasi faktor risiko dan pencegahan atas faktor risiko tersebut mungkin sudah terlambat untuk dilakukan. Pengurangan insidensi mungkin bisa dicapai dengan langkah-langkah pencegahan yang menyeluruh maupun selektif. Oleh karena itu, prediksi berdasarkan gejala diiringi upaya pencegahnya harus lebih dikembangkan ke arah upaya pencegahan selektif atas individu berisiko yang tidak menunjukkan gejala. Di masa mendatang, dibutuhkan usaha untuk: a) perkembangan dalam penilaian rsisiko dengan melihat faktor risiko biologis, b) nilai estimasi risiko yang lebih akurat per individu, c) memasukkan kriteria subpsikotik pada sistem diagnostik seperti yang ditemukan pada kriteria individu dengan risiko, d) aplikasi dari strategi pencegahan yang lebih berkaitan dengan etiologi penyakit.

Penilaian Risiko Apabila fase prodromal inisial bertahan selama kurang lebih 5 tahun, maka sebagian besar periode follow-up yang ditunjukkan pada tabel 2 tidak dapat memenuhi atau tidak sesuai dengan tingkat transisi nyata dari gangguan jiwa. Banyak perubahan yang tidak terklasifikasikan sebagai perubahan, dan oleh karenanya kekuatan prediktif dari gejala-gejala yang berisiko mengarah kepada gangguan jiwa dapat jadi kurang diperhatikan (12). Oleh karena itu, tugas pertama dan paling penting di masa yang akan datang adalah untuk mengadakan penelitian berskala besar dengan periode follow-up yang panjang yang meliputi keseluruhan durasi fase prodormal inisial seperti pada studi CER (18). Penilaian risiko juga dapat dicapai melalui inklusi biomarker, seperti pada contoh dari beberapa penelitian terbaru mengenai prediksi demensia Alzheimer yang dilakukan dengan penilaian terhadap sindroma gangguan kognitif ringan/ mild cognitive impairment (MCI) syndrome (55). Kondisi ini mengindikasikan suatu risiko demensia Alzheimer dengan tingkat konversi yang dapat diperbandingkan dengan gejala-gejala risiko FEPS. Namun, jika pada pasien MCI secara simultan didapatkan hasil pencitraan yang jelas dan marker biokimiawi, kekuatan prediktifnya meningkat secara signifikan. Penilaian risiko dapat dilakukan pada FEPS dengan mengamati perubahan morfologis otak, selain itu juga mengamati gangguan dalam kecepatan pemrosesan dan memori verbal, yang mana berubungan dengan dengan gejala risiko psikosis, serta lebih sering ditemukan dan lebih berat pada kasus-kasus yang mengarah ke transisi menuju skizofrenia dan psikosis lainnya (12,56-60). Hanya penelitian baru berskala besar dengan periode observasi yang cukup panjanglah yang dapat memperjelas apakah penilaian risiko dapat dicapai dengan menggunakan biomarker. Kesuksesan strategi ini bergantung pada kemajuan penelitian pada faktor risiko biologis dan lingkungan dan interaksinya, seperti yang dijelaskan oleh European Network of national schizophrenia networks studying Gene-Environment Interactions (EUGEI) study (61).

Stratifikasi Risiko Dalam ranah disiplin medis lain seperti onkologi atau pneumologi, suatu prosedur model risiko yang disusun dengan baik, yang tidak menyebabkan hilangnya sensitivitas, menggunakan indeks prognosis/ prognosis indices (PI) untuk menentukan staging klinis multivariat dengan cara stratifikasi risiko. Pada penelitian European Prediction of Psychosis (EPOS), pendekatan ini digunakan dalam penelitian mengenai prediksi psikosis untuk pertama kalinya (41). Suatu model klinis dikembangkan berdasarkan persamaan regresi Cox yang meliputi enam variabel (skor positif SIPS, skor pemikiran aneh SIPS, skor gangguan tidur SIPS, gangguan personal skizotipal SIPS, nilai Global Assessment of Functioning (GAF) tertinggi dalam setahun terakhir, dan berapa tahun yang ditempuh untuk pendidikan). Berdasarkan skor regresi individual, diusulkanlah suatu PI multivariat untuk menstratifikasi lebih lanjut risiko transisi menuju psikosis ke dalam empat kelas risiko, dimana masing-masing kelas risikonya menggambarkan risiko relatif yang meningkat signifikan dibanding populasi umum, yang meningkat di tiap kelasnya. Model empat kelas ini diperdebatkan apakah dapat meningkatkan prediksi psikosis secara signifikan serta apakah dapat mendiferensiasi risiko individual berkaitan dengan tingkat keparahannya (derajatnya) dan waktu. Suatu estimasi risiko yang lebih bersifat individual atau staging klinis terhadap risiko, jika berhasil didapatkan di penelitian di masa yang akan datang, akan dapat meningkatkan pengembangan kriteria inklusi berdasarkan risiko untuk penelitian lanjutan dengan teknik randomisasi yang bersifat preventif. Pada aplikasi pendekatan ini untuk pertama kalinya pada EPOS, hanya variabel klinis dan demografik saja yang dipertimbangkan. Hal yang perlu dieksplorasi lebih lanjut adalah apakah model multilevel yang meliputi neurokognitif, neurobiologi, sosiobiografis, atau variabel lingkungan dapat meningkatkan akurasi prediktif di masa yang akan datang. Selain itu, penelitian lebih lanjut harus memeriksa apakah model tersebut juga dapat diaplikasikan untuk memprediksi psikosis dalam kerangka waktu yang berbeda.

Pengenalan status mental berisiko/ at risk mental state (ARMS) dalam diagnosis gangguan jiwa Revisi DSM yang saat ini sedang berjalan telah memicu perdebatan mengenai inklusi suatu gejala risiko psikosis dengan tujuan untuk memfasilitasi upaya pencegahannya (62). Beberapa peneliti awalnya tidak menyetujui proyek ini dan memberikan perhatian akan adanya kerugian aplikasi ARMS sebagai kriteria diagnosis. Mereka menekankan bahwa tingginya tingkat prediksi positif palsu dalam klinik spesialis (60-70%) dapat meningkat hingga 90% pada klinik pasien rawat jalan. Kritik ini benar adanya dan harus mendapatkan perhatian sebelum memutuskan apakah akan memasukkan ARMS dalam revisi selanjutnya pada sistem diagnosis DSM. Meskipun demikian, debat yang selama ini terjadi secara khusus berfokus pada validitas prediktif dari kriteria risiko / at risk criteria, dan oleh karenanya mengesampingkan temuan utama yang meliputi: individu yang memenuhi kriteria risiko bisa saja sudah mengalami gangguan mental dan fungsional multipel di saat mereka baru mencari pertolongan. Selain itu, pada individu tersebut juga bisa didapatkan defisit fisiologis dan kognitif beragam selain perubahan morfologi dan fungsi serebral. Oleh karenanya, mayoritas individu berisiko yang mencari pertolongan medis yang juga memenuhi kriteria umum DSM-IV untuk gangguan mental (misal gejala perilaku dan psikologis klinis signifikan yang berhubungan dengna disabilitas atau stress berat) dan dianggap sakit, misalnya orang yang membutuhkan bantuan dan perlu diberi penanganan medis. Dengan memiliki pertimbangan ini, merupakan alasan yang baik untuk memasukkan suatu profil klinis ke dalam sistem diagnosis seperti digambarkan dalam kriteria risiko, bukan sebagai suatu gejala risiko prodromal untuk onset psikosis yang pertama, tetapi sebagai gangguan tersendiri. Di samping mempermudah akses terhadap layanan medis standar, pengenalan diagnosis independen dapat memberikan manfaat dalam mencegah stigmatisasi yang dapat diakibatkan status mental seseorang yang dikaitkan dengan label negatif dan mengancam lingkungan. Meskipun peningkatan risiko psikosis dapat berlanjut menjadi karakteristik diagnosis, fokus psikologis dan medis dapat bergeser dari

outcome yang belum jelas di masa mendatang menjadi psikopatologi dan kebutuhan. Pada kondisi pengetahuan demikian, kriteria DSM-5 dapat menjadi kerangka yang tepat untuk diinklusikannya gejala-gejala ini. Dorongan yang kuat untuk perencanaan dan implementasi dari penelitian internasional dan nasional generasi baru dapat dipacu dengan inklusi kriteria ini dalam DSM-5 dan selanjutnya juga di ICD-11. Strategi Preventif Berorientasi Etiologi Suatu pendekatan preventif yang baru didasarkan pada konsep neuroproteksi (63,64) dan penelitian yang menunjukkan adanya kehilangan progresif dari volume gray matter sebelum onset psikosis (56, 58, 60). Diantara berbagai substansi dengan kandungan neuroprotektif, penelitian menunjukkan kandungan tersebut terdapat pada asam lemak omega 3 dosis tinggi, glisin, dan litium dosis rendah. Tingkat transisi 12 minggu secara signifikan lebih rendah pada kelompok orang dewasa dengan UHR yang diberi terapi asam lemak omega 3 dibanding kelompok yang diberi plasebo (65), dan efek ini bertahan hingga follow-up 6 bulan. Koagonis reseptor glisin dan N-methyl-d-aspartate dievaluasi pada 10 pasien dengan percobaan awal, dan terjadi perbaikan signifikan pada berbagai domain psikopatologi pasien (66). Pada suatu penelitian pembuktian konsep terbuka, waktu relaksasi T2 hippocampus ditemukan berkurang secara signifikan pada kelompok penderita UHR yang diterapi litium dosis rendah dibandingkan dengan kelompok serupa yang mendapatkan terapi suportif standar. Hal ini menunjukkan adanya proteksi terhadap mikrostruktur hippocampus (58, 67). Ini merupakan penelitian pertama yang menyediakan data pencitraan mengenai efek neuroprotektif pada individu yang berisiko. Efek preventif nyata dari asam lemak omega 3 saat ini sedang dalam proses peninjauan lanjutan pada penelitian North-American, European, Australian Prodrome (NEURAPRO) dengan sampel berukuran besar.

Kesimpulan Skizofrenia merupakan gangguan mental pertama dimana program prediksi dan preventif dari pengobatan medis modern diaplikasikan. Hasil yang didapatkan dari berbagai penelitian menjanjikan dan menguatkan harapan bahwa pada tahun-tahun mendatang akan didapatkan strategi preventif yang secara spesifik ditujukan untuk risiko sakit yang bersifat individual. Untuk mencapai penurunan insidensi, penilaian risiko yang berorientasi pada gejala harus diperkaya dengan dasar faktor risiko neurobiologi dan psikososial, dan tindakan preventif yang diindikasikan harus dikembangkan lebih lanjut ke arah preventif selektif. Hal ini membutuhkan pelaksanaan penelitian dengan sampel besar untuk prediksi dan preventif, dengan periode observasi yang secara signifikan lebih panjang. Pada penelitian tersebut, kombinasi menjanjikan dari indikator risiko, yang dipilih untuk memaksimalkan nilai prediktif harus dievaluasi. Intervensi psikologis dan farmakologis harus dinilai secara jangka panjang. Selain itu, strategi preventif yang berorientasi etiologi pun harus diuji. Untuk dapat merencanakan dan melaksanakan penelitian tersebut, memasukkan status mental sub-psikotik ke dalam revisi selanjutnya dari sistem diagnosis yang akan datang akan sangat bermanfaat.

You might also like