You are on page 1of 18

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Sistem Hemopoiesis Darah memiliki peran untuk menjaga tubuh tetap dalam keadaan

homeostasis. Selain meregulasi pH, temperatur, serta mengatur transport zat-zat dari dan ke jaringan, darah juga melakukan perlindungan dengan cara melawan penyakit. Fungsi-fungsi ini dikerjakan secara terbagi-bagi oleh komponenkomponen darah, yaitu plasma dan sel-sel darah. Plasma darah adalah cairan yang berada di kompartemen ekstraselular di dalam pembuluh darah yang berperan sebagai pelarut terhadap sel-sel darah dan substans lainnya. Sedangkan sel darah merupakan unit yang mempunyai tugas tertentu. Sel-sel darah yang terdiri dari eritrosit, leukosit dan trombosit dibentuk melalui suatu mekanisme yang sama, yaitu hemopoiesis. Hemopoiesis adalah proses pembentukan dan perkembangan sel-sel darah. Sebelum dilahirkan, proses ini terjadi berpindah-pindah. Pada beberapa minggu pertama kehamilan, hemopoiesis terjadi di yolk sac. Kemudian hingga fetus berusia 6-7 bulan, hati dan limpa merupakan organ hemopoietik utama dan akan terus memproduksi sel-sel darah hingga sekitar dua minggu setelah kelahiran. Selanjutnya pekerjaan ini diambil alih oleh sumsum tulang dimulai pada masa kanak-kanak hingga dewasa. Sumsum tulang atau bone marrow merupakan suatu jaringan ikat dengan vaskularisasi yang tinggi bertempat di ruang antara trabekula jaringan tulang spons. Tulang-tulang rangka axial, tulang-tulang melingkar pada pelvis dan pektoral, serta di bagian epifisis proksimal tulang humerus dan femur adalah tulang-tulang dengan sumsum tulang terbanyak di tubuh manusia. Terdapat dua jenis sumsum tulang pada manusia, yaitu sumsum tulang merah dan sumsum tulang kuning. Pada neonatus, seluruh sumsum tulangnya berwarna merah yang bermakna sumsum tulang yang bersifat hemopoietik, sedangkan ketika dewasa, sebagian besar dari sumsum tulang merahnya akan inaktif dan berubah menjadi

Universitas Sumatera Utara

sumsum tulang kuning (fatty marrow) (Tortora, 2009). Hal ini terjadi akibat adanya pertukaran sumsum menjadi lemak-lemak secara progresif terutama di tulang-tulang panjang. Bahkan di sumsum hemopoietik sekalipun, 50% penyusunnya adalah sel-sel lemak (Hoffbrand, 2006). Jadi pada dewasa, proses hemopoiesis hanya terpusat di tulang-tulang rangka sentral dan ujung proksimal dari humerus dan femur. Hemositoblas atau pluripotent stem cells merupakan bagian dari sumsum tulang yang berasal dari jaringan mesenkim. Jumlah sel ini sangat sedikit, diperkirakan hanya sekitar 1 sel dari setiap 20 juta sel di sumsum tulang. Sel-sel ini memiliki kemampuan untuk berkembang menjadi beberapa lineage yang berbeda melalui proses duplikasi, kemudian berproliferasi serta berdiferensiasi hingga akhirnya menjadi sel-sel darah, makrofag, sel-sel retikuler, sel mast dan sel adiposa. Selanjutnya sel darah yang sudah terbentuk ini akan memasuki sirkulasi general melalui kapiler sinusoid. Sebelum sel-sel darah secara spesifik terbentuk, sel pluripoten yang berada di sumsum tulang tersebut membentuk dua jenis stem cell, yaitu myeloid stem cell dan lymphoid stem cell. Setiap satu stem cell diperkirakan mampu memproduksi sekitar 106 sel darah matur setelah melalui 20 kali pembelahan sel. Myeloid stem cell memulai perkembangannya di sumsum tulang dan kemudian membentuk eritrosit, platelet, monosit, neutrofil, eosinofil dan basofil. Begitu juga dengan lymphoid stem cell. Sel-sel ini memulai perkembangannya di sumsum tulang namun proses ini dilanjutkan dan selesai di jaringan limfatik. Limfosit adalah turunan dari sel-sel tersebut. Selama proses hemopoiesis, sebagian sel myeloid berdiferensiasi menjadi sel progenitor. Sel progenitor tidak dapat berkembang membentuk sel namun membentuk elemen yang lebih spesifik yaitu colony-forming unit (CFU). Terdapat beberapa jenis CFU yang diberi nama sesuai sel yang akan dibentuknya, yaitu CFU-E membentuk eritrosit, CFU-Meg membentuk megakariosit, sumber platelet, dan CFU-GM membentuk granulosit dan monosit.

Universitas Sumatera Utara

Berikutnya, lymphoid stem cell, sel progenitor dan sebagian sel myeloid yang belum berdiferensiasi akan menjadi sel-sel prekursor yang dikenal sebagai blast. Sel-sel ini akan berkembang menjadi sel darah yang sebenarnya. Pada tahap ini sel-sel prekursor sudah dapat dibedakan berdasarkan tampilan

mikroskopiknya, sedangkan sel-sel di tahap sebelumnya yaitu stem cell dan sel progenitor hanya bisa dibedakan melalui marker yang terdapat di membran plasmanya.

Gambar 2.1. Hemopoiesis (Dikutip dari : Hoffbrand, 2006) Beberapa hormon yang disebut hemopoietic growth factors bertugas dalam meregulasi proses diferensiasi dan proliferasi dari sel-sel progenitor tertentu. Berikut adalah beberapa contohnya :

Universitas Sumatera Utara

1. Erythropoietin atau EPO meningkatkan jumlah prekursor sel darah merah atau eritrosit. EPO diproduksi oleh sel-sel khusus yang terdapat di ginjal yaitu peritubular interstitial cells. 2. Thrombopoietin atau TPO merupakan hormon yang diproduksi oleh hati yang menstimulasi pembentukan platelet atau trombosit. 3. Sitokin adalah glikoprotein yang dibentuk oleh sel, seperti sel sumsum tulang, sel darah, dan lainnya. Biasanya sitokin bekerja sebagai hormon lokal, namun disini sitokin bekerja dalam menstimulasi proliferasi selsel progenitor di sumsum tulang. Dua kelompok sitokin yang berperan adalah colony-stimulating factors dan interleukin. Selain contoh diatas masih banyak growth factor lainnya yang mempengaruhi proses hemopoiesis yang berbeda-beda fungsi dan lokasi kerjanya.

2.2.

Keganasan Hematologi Kanker adalah istilah yang merupakan sinonim untuk neoplasma yang

bersifat malignan (Harrison, 2011). Istilah ini tidak digunakan untuk menyebut tumor yang bersifat jinak. Sistem pembagian kanker disusun berdasarkan asal dan tipe sel kanker. Kanker jaringan limfatik disebut limfoma dan kanker yang berasal dari sel hemopoietik disebut dengan leukemia (Virshup, 2010).

2.2.1. Klasifikasi Keganasan Hematologi Keganasan pada sistem hematologi tidak hanya terbatas pada limfoma dan leukemia. Secara umum, penyakit keganasan hematologi dikelompokkan berdasarkan tiga karakteristik utama, yaitu: a. Berdasarkan Aggressiveness dibedakan menjadi akut dan kronik. b. Berdasarkan Lineage menurut sel progenitornya, limfoid dan myeloid. c. Berdasarkan Predominant Site of Involvement di darah dan bone marrow atau di jaringan.

Universitas Sumatera Utara

Tiga karakteristik di atas merupakan kerangka dasar dalam menyusun klasifikasi keganasan hematologi. WHO membagi keganasan hematologi menjadi enam bagian besar, yaitu: i. Proposed WHO classification of Myeloid Neoplasms Myeloproliferative Disease Myelodysplastic/myeloproliferative Diseases Myelodysplastic Syndromes Acute Myeloid Leukemia Acute Biphenotypic Leukemias

ii. Proposed WHO classification of Lymphoid Neoplasms B-Cell Neoplasms Precursor B-cell neoplasm Mature (peripheral) B-cell neoplasms

T and NK-Cell Neoplasms Precursor T-cell neoplasm Mature (peripheral) T-cell neoplasms

Hodgkins Lymphoma (Hodgkins Disease) iii. Mast Cell Diseases iv. Histiocytic and Dendritic-Cell Neoplasms Macrophage/histiocytic neoplasm Dendritic-Cell Neoplasms

v. Plasma Cell Disorders : Subtypes and Variants vi. Immunosecretory Disorders (Clinical Manifestations of Diverse Lymphoid Neoplasms)

2.2.2. Etiologi dan Faktor Predisposisi Keganasan Hematologi Keganasan hematologi merupakan penyakit-penyakit klonal yang berasal dari satu sel tunggal di sumsum tulang atau jaringan limfoid perifer yang telah mengalami perubahan genetik. Sel-sel yang mengalami perubahan ini akan berproliferasi secara berlebihan atau resisten terhadap apoptosis. Penyebabnya masih belum diketahui secara pasti, namun faktor-faktor yang mungkin dapat

Universitas Sumatera Utara

mencetuskannya sudah banyak diteliti. Kombinasi antara latar belakang genetik dan pengaruh lingkungan merupakan resiko terbesar menuju keganasan. Akan tetapi pada beberapa kasus, bahkan kedua resiko tersebut bisa saja tidak ditemukan sama sekali. a. Faktor Keturunan Kejadian leukemia meningkat secara signifikan pada beberapa penyakit genetik, terutama Downs Syndrome. Penyakit-penyakit lain seperti Blooms Syndrome, Fanconis Anemia, Klinefelters Syndrome dan lainnya. Namun gen yang menghubungkan penyakit ini dengan keganasan masih belum diketahui. b. Pengaruh Lingkungan Bahan Kimia Paparan kronis bahan tertentu seperti benzene dapat menyebabkan terjadinya abnormalitas bone marrow. Obat-obatan Alkylating agents, radioterapi, bahkan obat-obatan antileukemik pun juga dapat mencetuskan terjadinya kanker. Radiasi Semua jenis radiasi bersifat leukemogenik. Hal ini terlihat pada peningkatan insidensi leukemia pada korban selamat ledakan bom atom di Jepang. Infeksi

Tabel 2.1. Infeksi Yang Berhubungan dengan Keganasan Hematologi Infeksi Tumor Virus HTLV-1 Epstein-Barr Virus HHV-8 HIV-1 Bakteri Helicobacter pylori Protozoa Malaria Adult T-cell leukemia/lymphoma Burkitts dan Hodgkins Lymphomas; PTLD Primary Effusion Lymphoma ; multicentric Castlemans disease High-grade B-cell lymphoma Gastric lymphoma (MALT) Burkitts lymphoma (Dikutip dari : Hoffbrand, 2006)

Universitas Sumatera Utara

2.3.

Leukemia Leukemia, berasal dari bahasa Yunani, leukos yang berarti putih dan

haima yang berarti darah, adalah kanker darah ataupun bone marrow yang ditandai dengan peningkatan abnormal sel darah putih imatur yang disebut blast (Mosby, 1994). Sel abnormal ini menimbulkan gejala karena kegagalan bone marrow serta infiltrasi ke berbagai organ. Kegagalan bone marrow ini mengakibatkan dua proses penyakit. Pertama, produksi sel darah normal akan menurun secara signifikan. Oleh karena itu terjadilah anemia, trombositopenia dan neutropenia dalam derajat yang bervariasi. Kedua, proliferasi yang cepat dari sel-sel tersebut, diikuti dengan penurunan kemampuan untuk mencetuskan apoptosis, mengakibatkan penumpukan di bone marrow, darah, serta limpa dan hati. Darah yang berfungsi sebagai organ transportasi kemudian akan membawa sel-sel ini ke tempat lain seperti meningen, otak, kulit, testis, dan lainnya.

2.3.1. Klasifikasi Klasifikasi utama leukemia adalah dengan membaginya menjadi empat tipe yaitu leukemia akut dan kronik yang masing-masing dibagi lagi menjadi limfoid dan myeloid. Tabel 2.2. Klasifikasi Leukemia Akut Kronik Acute Lymphoblastic Leukemia Chronic Lmphocytic Leukemia Acute Myelogenous Leukemia Chronic Myelogenous Leukemia

Limfoid Myeloid 2.4.

Leukemia Akut Leukemia akut biasanya bersifat agresif, dimana proses keganasan terjadi

di hemopoietic stem cell atau sel progenitor awal. Perubahan genetika diduga berperan pada sistem biokimia yang menyebabkan peningkatan laju proliferasi, mengurangi apoptosis dan menghalangi proses diferensiasi selular. Jika tidak ditangani, penyakit ini bersifat fatal namun lebih mudah untuk diobati dari pada leukemia kronik. Selanjutnya, leukemia akut dikelompokkan menjadi acute

Universitas Sumatera Utara

myelogenous leukemia dan acute lymphoblastic leukemia berdasarkan jenis sel blast yang ditemukan.

2.4.1. Acute Myelogenous Leukemia Acute myelogenous leukemia (AML) atau leukemia myeloid akut adalah penyakit keganasan bone marrow dimana sel-sel prekursor hemopoietik terperangkap di fase awal perkembangannya. Kebanyakan subtipe dari AML dibedakan dari kelainan darah lainnya berdasarkan jumlah blast yang berada di bone marrow, yaitu sebanyak lebih dari 20%. Patofisiologi yang mendasari AML adalah kegagalan maturasi sel-sel bone marrow di fase awal perkembangan. Mekanismenya masih diteliti, namun pada beberapa kasus, hal ini melibatkan aktivasi gen-gen abnormal melalui translokasi kromosom dan kelainan genetik lainnya. Gejala klinis yang muncul pada pasien AML berakibat dari kegagalan bone marrow dan atau akibat infiltrasi sel-sel leukemik pada berbagai organ. Durasi perjalanan penyakit bervariasi. Beberapa pasien, khususnya anak-anak mengalami gejala akut selama beberapa hari hingga 1-2 minggu. Pasien lain mengalami durasi penyakit yang lebih panjang hingga berbulan-bulan. Anemia, neutropenia dan trombositopenia muncul akibat kegagalan bone marrow mempertahankan fungsinya. Gejala anemia yang paling sering adalah fatigue. Penurunan kadar neutrofil menyebabkan pasien rentan terkena infeksi. Perdarahan gusi dan ekimosis merupakan manifestasi akibat trombositopenia. Jika perdarahan terjadi di paru-paru, saluran cerna dan sistem saraf pusat, hal ini sangat membahayakan jiwa pasien (Seiter, 2012). Limpa, hati, gusi dan kulit adalah tempat-tempat yang sering disinggahi akibat infiltrasi sel-sel leukemik. Pasien dapat mengalami splenomegali, gingivitis dan gejala lainnya (Seiter, 2012). Selain pemeriksaan fisik, pemeriksaan yang harus dilakukan antara lain adalah pemeriksaan darah, pemeriksaan bone marrow, yang merupakan tes diagnostik defenitif, analisis kelainan genetik dan pencitraan.

Universitas Sumatera Utara

Pada pemeriksaan hasil aspirasi bone marrow, dapat dihitung jumlah sel blast. Menurut FAB, AML adalah ketika terdapat lebih dari 30% sel blast di bone marrow. Menurut klasifikasi terbaru WHO, AML sudah tegak jika terdapat lebih dari 20% sel blast di bone marrow.

Tabel 2.3. Klasifikasi Acute Myelogenous Leukemia i. Klasifikasi AML menurut FAB adalah sebagai berikut : M0 M1 M2 M3 M4 M5 Undifferentiated leukemia Myeloblastic without differentiation Myeloblastic with differentiation Promyelocytic Myelomonocytic; M4eo Myelomonocytic with eosinophilia Monoblastic leukemia; M5a Monoblastic without differentiation; M5b Monocytic with differentiation M6 M7 ii. Eryhtroleukemia Megakaryoblstic leukemia

Klasifikasi WHO - 2002 mengenai AML adalah sebagai berikut : AML with recurrent genetic abnormalities AML with multilineage dysplasia AML and MDS, therapy related AML, not otherwise classified AML, minimally differentiated; AML, without maturation; AML, with maturation; acute myelomonocytic leukemia; acute monoblastic or monocytic leukemia; acute erythroid leukemia; acute megakaryoblastic leukemia; acute basophilic leukemia; acute panmyelosis and myelofibrosis; myeloid sarcoma

2.4.2. Acute Lymphoblastic Leukemia Leukemia Limfoblastik akut adalah penyakit keganasan klonal bone marrow dimana prekursor awal limfoid berproliferasi dan menggantikan kedudukan sel-sel hemopoietik di marrow (Seiter, 2012).

Universitas Sumatera Utara

Hal ini akibat ekspresi gen abnormal, paling sering akibat translokasi kromosom. Karena limfoblast menggantikan posisi komponen-komponen marrow normal, terjadi peningkatan signifikan terhadap produksi sel-sel darah normal. Selain di marrow, sel-sel ini juga berproliferasi di hati, limpa dan nodus limfe. Gejala klinis ALL tersering adalah demam tanpa adanya bukti terjadinya infeksi. Namun, setiap demam yang terjadi pada pasien ALL tetap harus diduga sebagai infeksi hingga ada bukti yang menyangkalnya, karena kegagalan mengobati infeksi secara cepat dan tepat dapat berakibat fatal. Infeksi merupakan penyebab kematian tersering pada pasien ALL (Seiter, 2012). Pada pemeriksaan bone marrow, menurut FAB, harus ditemui setidaknya 30% sel limfoblast atau ditemukannya 20% sel limfoblast di darah dan atau di bone marrow (WHO, 2002) untuk menegakkan diagnosis ALL.

Tabel 2.4. Klasifikasi ALL Klasifikasi ALL menurut FAB adalah sebagai berikut : L1 Small cells with homogenous chromatin, regular nuclear shape, small or absent nucleolus, and scanty cytoplasm; subtype represents 25-30% of adult cases L2 Large and heterogenous cells, heterogenous

chromatin, irregular nuclear shape and nucleolus often large; subtype represents 70% of cases L3 Large and homogenous cells with multiple nucleoli, moderate deep blue cytoplasm and cytoplasmic vacuolization that often overlies the nucleus (most prominent feature); subtype represents 1-2% of adult cases

Sistem pengklasifikasian WHO, mengelompokkan subtipe L1 dan L2 ALL sebagai precursor B lymphoblastic leukemia/lymphoblastic lymphoma atau precursor T lymphoblastic leukemia/lymphoblastic lymphoma tergantung asal

Universitas Sumatera Utara

selnya. Subtipe L3 ALL dikelompokkan kedalam grup mature B-cell neoplasms sebagai subtipe dari Burkitt lymphoma/leukemia.

2.5.

Leukemia Kronik

2.5.1. Chronic Myelogenous Leukemia Leukemia myeloid kronis atau Chronic Myelogenous Leukemia (CML) adalah salah satu myeloproliferative disorder yang ditandai dengan peningkatan proliferasi sel-sel granulositik tanpa kehilangan kemampuan berdiferensiasi. Selain itu, gambaran darah perifer menunjukkan peningkatan jumlah granulosit dan prekursor imaturnya termasuk beberapa jenis sel blast. CML merupakan satu dari beberapa kanker yang disebabkan oleh mutasi genetik tunggal. Lebih dari 90% kasus, muncul akibat aberasi sitogenetik yang dikenal dengan sebutan Philadelphia chromosome. CML berkembang melewati tiga fase: chronic, accelerated, dan blast. Pada fase kronik, sel-sel matur berproliferasi; pada fase accelerated, terjadi kelainan sitogenetik tambahan; pada fase blast, terjadi proliferasi cepat sel-sel imatur. Sekitar 85% pasien terdiagnosa pada fase kronik yang kemudian berlanjut ke fase accelerated dan i dalam waktu 3-5 tahun. Diagnosis CML ditegakkan berdasarkan temuan histopatologi di darah perifer dan Philadelphia chromosome di sel-sel bone marrow. Kejadian CML berkisar 20% dari seluruh leukemia yang mengenai orang dewasa, khususnya individu berusia separuh baya. Hanya sedikit yang terjadi pada pasien-pasien yang lebih muda. CML yang terjadi pada pasien yang lebih muda biasanya lebih agresif terutama pada fase accelerated atau saat blast crisis. Manifestasi klinis CML bersifat insidious, artinya muncul perlahan dengan gejala tersamar namun dengan efek yang besar. Biasanya penyakit ini ditemukan pada fase kronis, ketika terlihat peningkatan jumlah sel darah putih pada pemeriksaan darah rutin atau ketika limpa yang membesar teraba pada saat pemeriksaan fisik umum.

Universitas Sumatera Utara

Gejala non-spesifik seperti fatigue dan penurunan berat badan biasanya timbul cukup lama setelah onset penyakit. Kehilangan tenaga dan menurunnya toleransi kegiatan fisik terjadi beberapa bulan setelah fase kronik. Pasien biasanya mengalami gejala-gejala akibat pembesaran limpa, hati atau keduanya. Pembesaran limpa mendesak lambung sehingga pasien merasa cepat kenyang yang berakibat pada menurunnya asupan makanan. Nyeri abdomen pada bagian kuadran kanan atas menunjukkan kemungkinan adanya infark pada limpa. Pembesaran limpa juga mungkin berhubungan dengan keadaan hipermetabolik, demam, penurunan berat badan dan keletihan yang berlebihan. Beberapa pasien CML menderita low grade fever dan keringat berlebihan akibat keadaan hipermetabolik. Pasien yang datang dalam keadaan fase accelerated atau fase akut dari CML, gejala yang paling khas adalah ditemukannya perdarahan, peteki, dan ekimosis. Apabila terjadi demam pada fase ini, maka penyebab paling mungkin adalah infeksi. Sedangkan gejala khas fase blast adalah nyeri tulang dan demam serta peningkatan fibrosis pada bone marrow.

2.5.2. Chronic Lymphocytic Leukemia Leukemia Limfoblastik Kronik atau Chronic Lymphocytic Leukemia (CLL) adalah kelainan monoklonal yang ditandai dengan akumulasi limfosit yang inkompeten secara fungsional secara progresif. Menurut Elter pada tahun 2006, CLL merupakan bentuk leukemia paling umum yang ditemukan pada dewasa di negara-negara Barat. Seperti kasus malignansi lainnya, penyebab pasti CLL belum diketahui. Penyakit ini merupakan penyakit yang didapat, jarang sekali ditemukan kasus familial (Slager, 2009). Onsetnya perlahan, dalam bentuk tersamar namun dengan hasil yang berbahaya dan jarang ditemukan secara tidak sengaja pada pemeriksaan hitung jenis sel darah untuk tujuan lain. Sebanyak 25-50% pasien CLL tidak menunjukkan gejala. Pembesaran nodus limfe merupakan gambaran klinis yang paling umum terjadi. Namun pasien dengan CLL bisa saja menunjukkan gejala yang sangat beragam.

Universitas Sumatera Utara

Sel-sel B klonal yang merupakan sel asal kanker pada pasien CLL, terperangkap di jalur diferensiasi sel B yaitu diantara pre sel-B dan sel-B matur. Secara morfologis, sel-sel ini menyerupai bentuk limfosit matur di darah perifer. Pada pasien CLL, pemeriksaan darah lengkap (CBC) menunjukkan limfositosis absolut dengan lebih dari 5000 Sel-B/l yang persisten selama lebih dari tiga bulan. Klonalitas harus dipastikan dengan flow cytometry. Sitopenia yang disebabkan oleh keterlibatan sel klonal di bone marrow juga dapat menegakkan diagnosis CLL tanpa memperhatikan jumlah sel-B perifer. Pemeriksaan apusan darah tepi dilakukan untuk melihat limfositosis. Biasanya ditemukan smudge cells yang merupakan artifak limfosit akibat kerusakan selama pembuatan slide apusan. Sel-sel atipikal besar, cleaved cells dan sel prolimfositik juga sering ditemukan dan bisa mencapai 55% dari total limfosit perifer. Flow cytometry darah perifer merupakan pemeriksaan paling baik untuk memastikan diagnosis CLL. Melalui pemeriksaan ini, tampak sel-B klonal yang mengekspresikan CD5, CD19, CD20(dim), CD 23 dan hilangnya FMC-7 staining.

2.6.

Miscellanous Leukemia

2.6.1. Hairy Cell Leukemia Hairy-Cell Leukemia adalah penyakit sel-B dengan sel abnormal memiliki proyeksi sitoplasma yang menyerupai rambut pada permukaannya. Penyakit ini merupakan salah satu leukemia limfoid kronis yang pertama kali dijelaskan oleh Bouroncle dkk pada tahun 1958. Penyakit keganasan sel-B ini dikenal berdasarkan susunan ulang gen immunoglobulin yang berakibat pada ekspresi fenotip sel-B terhadap antigen permukaan, dimana menunjukkan perbedaan antara sel-B imatur pada CLL dan sel plasma dari penyakit multiple myeloma. Sel-B klonal abnormal ini menginfiltrasi sistem retikuloendotelial penderita dan mengganggu fungsi dari bone marrow. Hal ini menyebabkan kegagalan bone marrow atau pansitopenia. Sel-sel ini juga menginfiltrasi hati dan limpa yang mengakibatkan organomegali.

Universitas Sumatera Utara

Etiologi masih belum diketahui, walaupun beberapa peneliti menduga bahawa paparan terhadap benzena, racun serangga organofosfat atau bahan-bahan lainnya mungkin berkaitan dengan perkembangan penyakit ini. Adanya overexpression dari protein cyclin D1, yang merupakan regulator siklus sel penting, ditemukan pada penderita hairy-cell leukemia dan mungkin saja berperan pada patogenesis molekuler penyakit ini. Penyakit ini biasanya jarang, hanya berkisar 2% dari seluruh kejadian leukemia dengan 600-800 pasien terdiagnosis setiap tahunnya. Orang kulit putih lebih sering menderita penyakit ini. Laki-laki lebih sering ditemukan menderita hairy-cell leukemia dengan rasio 4-5:1. Predominasi penyakit ini terjadi pada lelaki paruh baya dengan rata-rata umur 52 tahun. Proses aspirasi bone marrow biasanya tidak dapat dilakukan secara sempurna karena dry tap. Infiltrasi sel-sel leukemik pada bone marrow menyebabkan sel-sel yang akan diaspirasi sulit melewati jarum aspirasi. Gambaran hasil biopsi terhadap bone marrow menunjukkan pola infiltrasi hairy cell dengan nukleus tunggal berbentuk bulat atau oval yang terpisah oleh sejumlah sitoplasma yang membentuk jaring-jaring fibrin.

2.6.2. Large Granular Lymphocytic Leukemia Kelainan klonal dari limfosit besar bergranul dapat berasal dari sel T ataupun sel NK (Natural Killer). Walaupun sel-sel T-LGL dan NK-LGL mirip secara morfologi, sel-sel ini dapat dibedakan berdasarkan fenotip antigen permukaan dan menunjukkan dua penyakit terpisah dengan gejala klinis yang berbeda. Penyakit ini pertama kali dipaparkan pada tahun 1977 untuk

menggambarkan keadaan klinis akibat neutropenia dengan peningkatan sel LGL yang nyata, dan pada studi sitogenetik ditemukan bahwa hal ini berasal dari suatu sistem neoplastik. Nama lain yang digunakan untuk menyebut kelainan ini adalah Tg-lymphoproliferative disease dan lymphoproliferative disease of granular lymphocytes.

Universitas Sumatera Utara

Large granular lymphocytic leukemia meyumbang sekitar 10-15% dari seluruh sel mononuklear pada darah normal, dapat berupa sel NK atau sel-T. Oleh karena itu pengklasifikasiannya dibagi menjadi dua, yaitu T LGL leukemia dan NK- LGL leukemia. Leukemia T-LGL didefenisikan sebagai proliferasi klonal dari CD3+ LGL. Untuk mengkonfirmasi klonalitas dari kelainan ini, dilakukan pemeriksaan terhadap penyusunan ulang gen reseptor sel-T. NK-LGL adalah proliferasi klonal dari CD3- LGL. Berbeda dengan T-LGL, studi yang digunakan untuk konfirmasi adalah melalui pemeriksaan sitogenetik, karena mengandung hanya sedikit marka klonal sehingga sulit dilakukan pemeriksaan penyusunan ulang gen reseptor antigen. Beberapa kasus T-LGL leukemia menyerang limpa, dimana temuan khasnya adalah infiltrasi sel-sel leukemik pada sinus dan korda pulpa merah, hiperplasia sel plasma dan pusat germinal yang prominent. Sinusoid dan area portal di hati juga terinfiltrasi oleh LGL. Biopsi marrow dapat terdiri dari nodulnodul limfosit B dan LGL yang berserakan. Hal ini lebih terlihat jelas pada sampel marrow yang didapat melalui proses aspirasi. Selain itu kegagalan maturasi dari granulosit serta aplasia sel merah murni juga dapat ditemukan.

2.7.

Pemeriksaan Bone marrow Pemeriksaan bone marrow merujuk kepada suatu analisis patologi

terhadap sampel bone marrow yang didapat melalui bone marrow biopsy atau yang biasa disebut dengan trephine biopsy dan bone marrow aspiration. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendiagnosa beberapa keadaan, seperti leukemia, multiple myeloma, lymphoma, anemia dan pancytopenia. Hal ini penting dilakukan karena informasi yang didapat akan lebih memuaskan mengingat yang diperiksa adalah sumber dari sel-sel darah yang menggambarkan hemopoiesis. Dewasa ini pemeriksaan bone marrow merupakan salah satu uji diagnostik paling diperhitungkan dalam menegakkan diagnosis kelainan-kelainan hematologi.

Universitas Sumatera Utara

2.7.1. Bone marrow Aspiration Proses aspirasi bone marrow bertujuan mengambil sampel bone marrow yang bersifat semi-liquid dan kemudian diperiksa. Sampel ini digunakan untuk pemeriksaan sitologis dengan analisa lainnya yang ditujukan khusus terhadap morfologi serta hitung jenis. Selanjutnya sampel dapat digunakan untuk pemeriksaan sitogenetik, studi molekuler, kultur mikrobiologis,

immunohistokimia, dan flow cytometry. Peralatan yang digunakan adalah syringe 20 mL yang dapat mengambil sekitar 300 L bone marrow. Jika lebih dari itu, maka dapat terjadi dilusi antara sampel bone marrow dengan darah perifer.

a.

Lokasi Prosedur Lokasi utama prosedur ini adalah di tulang panggul atau spina iliaka

posterior. Selain mudah dicapai, lokasi ini dipilih karena resiko sakit tidak begitu besar. Lokasi lain adalah spina iliaka anterior. Lokasi ini dipilih jika spina iliaka posterior tidak dapat dicapai atau tidak memungkinkan untuk ditusuk akibat infeksi lokal, trauma atau obesitas parah. Namun, prosedurnya lebih sulit karena ruang yang lebih kecil, dan sampel yang didapat lebih sedikit. Selain itu resiko sakit lebih hebat dari daerah posterior. Lokasi lain yang memungkinkan adalah tulang sternum dan tibia.

b.

Langkah-langkah Prosedur Pasien diposisikan dalam keadaan pronasi atau posisi lateral decubitus

dengan bagian atas tunkai bawah difleksikan sedangkan bagian bawah diluruskan. Kemudian palpasi spina iliaka dan diberi tanda. Setelah itu melakukan tindakan asepsis dan antiseptik dimana kulit pada daerah yang akan diaspirasi di bersihkan. Selanjutnya kulit dan jaringan di bawahnya diberikan anestesi lokal misalnya lidocaine secara injeksi. Pasien juga dapat diberikan obat-obatan anti ansietas atau analgetik sebelumnya, namun hal ini tidak termasuk dalam prosedur rutin. Jarum aspirasi ditembuskan ke kulit dengan tekanan hingga mencapai tulang. Kemudian dengan gerakan memutar dari tangan dan pergelangan tangan

Universitas Sumatera Utara

dari operator, jarum akan terus menembus hingga bagian luar yang keras dari tulang yang disebut dengan bony cortex hingga kemudian sampai di ruang marrow dengan jarak tidak lebih dari 1cm. Setelah itu syringe dipasang pada jarum dan digunakan untuk mengaspirasi cairan bone marrow.

c.

Pembuatan Apusan Slide apusan bone marrow yang didapat melalui proses aspirasi dibuat

oleh mereka yang ahli dibidangnya seperti teknisi hematopatologis. Tetesan kecil dari sampel diletakkan pada kaca slide selanjutnya dapat dipersiapkan dalam berbagai cara namun tetap dengan tujuan yang sama yaitu mengevaluasi bone marrow. Apusan bone marrow adalah pembuatan sediaan paling sederhana yang mirip dengan pembuatan apusan darah tepi. Satu tetes sampel diletakkan 1cm dari ujung kaca slide yang sudah diberi label diujungnya yang berlawanan. Kemudian ambil kaca slide kedua yang diposisikan membentuk sudut 30o dari kaca slide pertama lalu didorong hingga ujung berlawanan secara mulus dan cepat. Cara lainnya adalah dengan metode squash preparation, cover slip method, dan touch prints dengan indikasi dan tampilan yang berbeda-beda. Pewarnaan standard yang digunakan untuk evaluasi awal adalah Wright atau May-Grunwald-Giemsa staining yang menonjolkan detail sitologis. Pewarnaan lainnya dapat digunakan untuk berbagai tujuan. Seperti Prussian blue untuk besi pada kasus yang dicurigai sebagai hemosiderosis. Sudan Black B dan leukocyte alkaline phosphatase digunakan dalam kategorisasi AML.

2.7.2. Bone marrow Biopsy (Trephine Biopsy) Biopsi bone marrow dilakukan dengan mengambil jaringan lunak yang disebut marrow dari dalam tulang. Sama seperti aspirasi bone marrow, sampel yang biasa dipakai adalah marrow yang berasal dari tulang pinggul. Namun pengambilan marrow dari sternum tidak dilakukan pada proses biopsi karena resiko terhadap kerusakan pembuluh darah, paru-paru dan jantung sangat besar.

Universitas Sumatera Utara

Berbeda dengan sampel bone marrow yang didapat melalui proses aspirasi, jaringan bone marrow yang didapat melalui proses biopsi digunakan dalam studi mengenai selularitas keseluruhan dari marrow, deteksi lesi-lesi fokal, dan peningkatan infiltrasi oleh berbagai sumber patologi lainnya. Biopsi dilakukan dengan prosedur yang sama dengan proses aspirasi bone marrow hanya saja dengan ukuran jarum yang lebih besar. Jarum yang digunakan disebut dengan trephine needle. Jarum ditembuskan dan tertahan di bony cortex. Dengan cara yang sama yaitu gerakan memutar, jarum akan mampu mendapatkan sampel berupa bagian padat dari bone marrow.

Universitas Sumatera Utara

You might also like