You are on page 1of 10

Pemodelan Inflasi Provinsi Riau Menggunakan ARIMA Dengan Deteksi Outlier

dan Model Intervensi



Erie Sadewo
Program Pascasarjana Statistika FMIPA ITS Surabaya
erie12@mhs.statistika.its.ac.id

Abstrak
Permasalahan inflasi memiliki dampak luas dalam perekonomian nasional. Demi kepentingan
pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan tingkat inflasi harus dijaga agar tetap berada
pada level tertentu. Berbagai kebijakan yang dihasilkan dari peramalan inflasi harus dilakukan
dengan menggunakan model yang tepat. Salah satu model yang sering digunakan dalam peramalan
tersebut adalah ARIMA, namun adanya nilai ekstrim dalam series data akan menyebabkan model
yang didapatkan menjadi tidak akurat. Untuk itu dilakukan pemodelan data inflasi dengan
menggunakan metode ARIMA dengan deteksi outlier dan model intervensi. Hasil pemodelan di
Provinsi Riau mendapati bahwa model terbaik ARIMA dengan deteksi outlier dan model intervensi
sama-sama dihasilkan dengan hanya memasukkan variabel kenaikan harga BBM Oktober 2005
kedalam model. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa peristiwa kenaikan harga BBM Oktober
2005 memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan tingkat inflasi di Provinsi Riau.
Berdasarkan perbandingan kriteria kebaikan model, tidak terdapat perbedaan berarti antara metode
ARIMA dengan deteksi outlier dan model intervensi. Penggunaan kedua metode tersebut dalam
peramalan inflasi di Provinsi Riau akan menghasilkan ramalan yang sama baiknya.
Kata Kunci: inflasi, nilai ekstrim, ARIMA, deteksi outlier, model intervensi

1. Pendahuluan
Permasalahan inflasi di Indonesia
memegang peranan yang sangat penting dalam
perekonomian nasional. Berbagai permasalahan
makroekonomi seperti kemiskinan,
pengangguran, dan pertumbuhan ekonomi
sangat dipengaruhi oleh tingkat inflasi yang
terjadi. Apa lagi jika mempertimbangkan bahwa
hampir separuh dari sumber pertumbuhan
ekonomi Indonesia berasal dari konsumsi, baik
rumah tangga, pemerintah, swasta maupun Non
Government Organization.
Tidak seperti negara-negara maju yang
memiliki tingkat inflasi sangat rendah, tingkat
inflasi di Indonesia berfluktuasi cukup tinggi
sejalan dengan pertumbuhan ekonomi. Hal ini
tentu memberikan dampak langsung terhadap
menurunnya daya beli masyarakat. Namun
karena adanya ekspektasi terhadap inflasi juga
memberikan rangsangan terhadap tumbuhnya
perekonomian, pemerintah melalui bank sentral
selaku pemegang regulasi berkepentingan untuk
tetap mempertahankan tingkat inflasi nasional
pada level tertentu.
Pengendalian inflasi pada level tertentu,
atau dikenal juga sebagai targeting inflasi akan
dapat dilakukan dengan baik apabila dapat
diperoleh hasil peramalan yang akurat. Namun
kadang kala terjadi permasalahan ketika suatu
regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat
mendorong terjadinya lonjakan inflasi di daerah.
Beberapa diantara kebijakan yang dinilai
memberikan pengaruh signifikan terhadap
perubahan tingkat inflasi di daerah adalah
kenaikan harga BBM serta tarif Dasar Listrik.
Tabel 1. Perubahan Harga Bahan Bakar Minyak
Periode 2000-2011 (Persen)
Periode Premium Solar Kerosene
Rata-
rata
1 Oktober
2000
15 9,10 25 16,37
16 Juni 2001 26,09 50 14,28 30,12
17 Januari
2002
6,90 27,78 50 28,23
2 Januari
2003
16,77 64,35 16,67 32,60
1 Maret 2005 32,6 11,11 214,3 86,00
1 Oktober
2005
87,5 104,8 -9,10 61,07
24 Mei 2008 33,3 27,9 25 28,73
1 Desember
2008
-8,33 0 0 -2,78
15 Desember
2008
-9,10 -12,7 0 -7,27
15 Januari
2009
-10 -6,25 0 -5,42
Sumber: Kementerian ESDM
Kenaikan harga BBM sebesar 61,07 persen
pada bulan Oktober tahun 2005 misalnya, telah
terbukti meningkatkan inflasi di Provinsi Riau
hingga mencapai 8,73 persen. Adanya nilai
ekstrim dalam suatu data deret waktu tersebut
tentu saja menjadikan berbagai upaya untuk
memodelkan tingkat inflasi menjadi terganggu,
sehingga menyebabkan ramalan yang dihasilkan
menjadi tidak tepat.
Gambar 1. Plot Time Series Inflasi Provinsi Riau
Januari 2000-Maret 2013
Year
Month
2012 2010 2008 2006 2004 2002 2000
Jan Jan Jan Jan Jan Jan Jan
10,0
7,5
5,0
2,5
0,0
-2,5
-5,0
I
n
f
l
a
s
i
Time Series Plot of Inflasi

Pemodelan pengaruh kebijakan harga BBM
terhadap tingkat inflasi sebelumnya pernah
dilakukan oleh Kismiantini Dan Wutsqa (2009).
Dengan menggunakan model intervensi step
function didapati bahwa peristiwa penurunan
harga BBM jenis premium pada bulan Desember
2008 memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap penurunan angka inflasi di kota
Yogyakarta sebesar 0,35 %, dengan pola respons
data setelah adanya intervensi adalah abrupt
permanent.
Penggunaan model intervensi pada data
inflasi sebelumnya juga pernah dilakukan oleh
Setyaningsih (2004) pada beberapa kota di Pulau
Jawa dan Syihabudin (2012) di Kota Malang.
Namun pada beberapa kasus dimana penyebab
inflasi tidak diketahui seperti pada data curah
hujan di Kota Surabaya (Mauludiyanto, et.al.,
2009), dan jumlah penumpang pesawat terbang
(Widyanti, 2013) maka metode yang tepat untuk
digunakan adalah ARIMA dengan deteksi outlier.
Ketika nilai-ekstrim tersebut berhasil dideteksi
dan diidentifikasi penyebabnya, maka dapat
dibuat model intervensi, berdasarkan deteksi
outlier (Budiarti, Tarno dan Warsito, 2013).
Di tingkat daerah, kebijakan mengenai inflasi
merupakan tanggung jawab bersama antara
perwakilan bank sentral serta pemerintah
daerah. Melalui Tim Pengendalian Inflasi Daerah
(TPID) setiap tahunnya dilakukan evaluasi serta
penyusunan rencana dalam rangka antisipasi
dampak inflasi terhadap kinerja pembangunan.
Mengingat betapa pentingnya pengetahuan
mengenai model tingkat inflasi bagi
perencanaan kebijakan pembangunan kedepan,
maka dalam penelitian ini akan dilakukan
pemodelan dengan beberapa metode,
diantaranya ARIMA dengan deteksi outlier dan
model intervensi.
2. Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah Inflasi bulanan Provinsi Riau yang diwakili
oleh gabungan dari data Kota Pekanbaru dan
Kota Dumai yang dipublikasikan setiap Bulan
oleh BPS. Sebelum tahun 2007, data inflasi
Provinsi Riau hanya diwakili oleh Kota
Pekanbaru. Namun setelah tahun 2007, terjadi
penambahan Kota Dumai menjadi sampel inflasi
Provinsi Riau sehingga diperlukan interpolasi
data untuk menghasilkan inflasi tingkat provinsi
menggunakan penimbang (W) Kota Tahun 2007
yang dimiliki oleh BPS.
IHK Riau = {( IHK
PKU
* W
PKU
) + (IHK
Dumai
*W
Dumai
)}
(W
PKU
+W
Dumai
)
Inflasi
Riau(t)
= IHK
Riau(t)
IHK
Riau(t-1)
x 100
IHK
Riau(t-1)

Dalam penelitian ini, digunakan data inflasi
Provinsi Riau periode Januari 2000 sampai Maret
2013 sebanyak 159 pengamatan. Selanjutnya
series data tersebut dibagi menjadi dua bagian,
yaitu sebanyak 144 pengamatan untuk data
insample dan 15 pengamatan untuk data
outsample.
3. Metodologi
3.1. Model ARIMA
Pendekatan ARIMA diperkenalkan oleh
Box dan Jenkins. Sebuah model ARIMA terdiri
dari autoregressive (AR), movinge average (MA),
atau gabungan dari keduanya. Ketika terdapat
proses yang tidak stasioner, maka dilakukan
differencing sehingga didapatkan model
autoregressive integrated moving average
dengan orde (p, d, q) yang dilambangkan dengan
model ARIMA (p, d, q) sebagai berikut (Wei,
2006).
( )( ) ( )
0
1
d
p t q t
B B Z B a | u u = +
dimana
( )
p
B | adalah operator autoregressive
( ) ( )
p
p p
B B B | | | = ... 1
1

( )( ) 1
d
p
B B | adalah operator generalized
autoregressive

( )
q
B u adalah operator moving average
( ) ( )
q
q q
B B B u u u = ... 1
1

( )
d
B 1 adalah differencing non musiman
dengan orde d
t
a merupakan residual white noise dengan
mean 0 dan varians
2
a
o
atau
( )
2
, 0 ~
a t
WN a o

Pendekatan iteratif untuk membentuk
model time series yang dikemukakan oleh Box-
Jenkins, memiliki tahap sebagai berikut.
i) Identifikasi model tentatif
ii) Estimasi parameter
iii) Diagnosa model sementara
iv) Pemilihan Model terbaik
Penjelasan lebih lanjut mengenai metode ARIMA
dapat dilihat pada Wei (2006).
3.2. Deteksi Outlier
Outlier adalah data pengamatan yang tidak
konsisten pada seriesnya. Ada empat macam
jenis outlier yaitu Innovational Outlier (IO),
Additive Outlier (AO), Temporary Change (TC),
dan Level Shift (LS). Fox (1972) dalam Wei (2006)
memperkenalkan outlier tipe 1 atau additive
outliers (AO) dan tipe 2 atau innovation outliers
(IO).
i. Additive outlier adalah kejadian yang hanya
mempunyai efek pada satu periode saja.
Bentuk umum Additive Outliers (AO) dalam
proses ARIMA adalah

( ) T
t A t t
P Z Y e + =
dimana
( ) T
t
P = fungsi pulse
A
e = besarnya deviasi dari nilai
t
Z
ii. Innovational outlier (IO) merupakan kejadian
dengan efek yang didasarkan pada proses
dari model ARIMA dan mempengaruhi semua
nilai pengamatan setelah kejadian tersebut
muncul. Menurut (Liu, 2006) model untuk
data series pengamatan dengan IO dituliskan
melalui persamaan berikut

( )
( )
( ) T
t I t t
P
B
B
Z Y e
|
u
+ =

atau
( )
( )
( )
( )
T
t I t t t
P a
B
B
Z Y e
|
u
+ + =

3.3. Model Intervensi
Jika waktu dan penyebab diketahui, efek
kejadian pada deteksi outlier dapat dihitung
dengan menggunakan model intervensi. Model
intervensi pada awalnya banyak digunakan
untuk mengeksplorasi dampak dari kejadian-
kejadian eksternal yang diluar dugaan terhadap
variabel yang menjadi obyek pengamatan. Jika
dianggap terdapat pengaruh beberapa kejadian
intervensi
t
I

pada suatu data deret waktu, maka
model umum intervensi dapat dituliskan sebagai
( )
t t t
Y f I N = +
dimana
t
Y = variabel respon pada saat t,
t
I = variabel intervensi
t
N = model noise yang mengikuti ARIMA (p,d,q)
t
d
p
q
t
a
B B
B
N
) 1 )( (
) (

=
|
u
.
) (B
p
| = ) 1 (
2
2 1
p
p
B B B | | | ,
) (B
q
u = ) 1 (
2
2 1
q
q
B B B u u u ,
B merupakan backshift operator, dimana
k t t
k
Y Y B

= .
Secara umum terdapat dua macam model
fungsi intervensi, yaitu fungsi step (step
function) dan fungsi pulse (pulse function). Step
function adalah suatu bentuk intervensi yang
terjadi dalam jangka waktu yang panjang,
sedangkan pulse function adalah suatu bentuk
intervensi yang hanya terjadi dalam suatu waktu
tertentu.
Bentuk intervensi step function dinotasikan
sebagai berikut
0,
1,
t
t T
I
t T
<
=

>


Sementara bentuk intervensi pulse function
dinotasikan sebagai berikut
0,
1,
t
t T
I
t T
=
=

=


dimana T adalah waktu terjadinya intervensi.
Secara umum model pengaruh intervensi
terhadap
t
Y dapat dituliskan sebagai
( )
( )
( )
b s
t t
r
B
f I B I
B
e
o
=
dimana :
) (B
s
e = ) (
2
2 1 0
s
s
B B B e e e e
) (B
r
o = ) 1 (
2
2 1
r
r
B B B o o o
Untuk penjelasan selengkapnya mengenai
model fungsi intervensi dapat dilihat dalam Wei
(2006)
4. Analisis dan Pembahasan
Sebagai langkah awal dalam pemodelan
berbasis data time series, dilakukan metode Box
Jenkins dengan menggunakan set data insample
untuk mendapatkan model ARIMA. Berdasarkan
Gambar 1. kemudian didapatkan plot ACF dan
PACF sebagai berikut:
Gambar 2. Plot ACF dan PACF Data Insample
Inflasi Provinsi Riau
40 35 30 25 20 15 10 5 1
1,0
0,8
0,6
0,4
0,2
0,0
-0,2
-0,4
-0,6
-0,8
-1,0
Lag
A
u
t
o
c
o
r
r
e
l
a
t
i
o
n
Autocorrelation Function for Inflasi
(with 5% significance limits for the autocorrelations)


40 35 30 25 20 15 10 5 1
1,0
0,8
0,6
0,4
0,2
0,0
-0,2
-0,4
-0,6
-0,8
-1,0
Lag
P
a
r
t
i
a
l

A
u
t
o
c
o
r
r
e
l
a
t
i
o
n
Partial Autocorrelation Function for Inflasi
(with 5% significance limits for the partial autocorrelations)


Dari Gambar 2 terlihat bahwa baik plot ACF
dan PACF sama-sama cut-off di lag pertama. Hal
ini mengindikasikan bahwa model ARIMA yang
paling memungkinkan adalah AR(1), MA(1), atau
ARMA (1,1). Hasil pengolahan dengan
menggunakan software SAS menghasilkan
perbandingan model sebagai berikut:
Tabel 2. Perbandingan Model ARIMA Data
Insample Inflasi Provinsi Riau
Model
ARIMA
Asumsi
AIC
Signifikan
White
Noise
Normal
dist
(1,0,0) Ya Ya Tidak 437,145
(0,0,1) Ya Ya Tidak 435,581
(1,0,1) Tidak Ya Tidak 437,552
Dari berbagai model yang didapat, ternyata
seluruhnya tidak dapat memenuhi asumsi
residual berdistribusi normal. Hal ini biasanya
terjadi akibat adanya outlier pada data. Salah
satu cara untuk mengatasinya akan dilakukan
dengan deteksi outlier.
4.1. ARIMA dengan Deteksi Outlier
Untuk melakukan deteksi outlier akan
digunakan model yang memiliki parameter
signifikan. Model AR(1) dan MA(1) memiliki
parameter signifikan sementara pada ARMA
(1,0,1) nilai parameternya tidak signifikan. Oleh
karena itu dalam pembahasan berikutnya model
ARMA (1,0,1) tidak akan disertakan dalam
analisis deteksi outlier.
The ARIMA Procedure

Outlier Detection Summary
Maximum number searched 4
Number found 3
Significance used 0.01

Outlier Details
Approx
Chi- Prob>
Obs Type Estimate Square ChiSq
70 Additive 7.64495 95.57 <.0001
109 Additive 4.34401 33.35 <.0001
71 Additive 2.05658 7.52 0.0061
Dari hasil deteksi outlier ARIMA dengan
menggunakan tingkat signifikansi 0,01 ternyata
diketahui bahwa dari batas maksimum empat
outlier yang diinginkan, software SAS hanya
menemukan tiga unit saja yaitu pada
pengamatan ke 70, 71, dan 109. Ketiga
pengamatan tersebut memiliki tipe aditif,
artinya bahwa efek yang ditimbulkan oleh
outlier tersebut hanya terjadi pada satu periode
tersebut, atau dapat ditulis sebagai berikut

()
{



Selanjutnya, outlier yang didapat
dimasukkan satu persatu ke dalam model
sebagai dummy, hingga diperoleh residual yang
memenuhi asumsi distribusi normal pada setiap
model ARIMA yang digunakan. Pada tahap
pertama dimasukkan outlier yang memiliki
probabilitas peluang Chi-Square terkecil yaitu
AO70. Hasilnya kedua model ARIMA yang
diujikan telah memenuhi seluruh asumsi yang
dipersyaratkan sehingga tidak perlu dilakukan
penambahan outlier serikutnya.
Tabel 3. Perbandingan Model ARIMA dengan
Deteksi Outlier
Kriteria
Model ARIMA
(1,0,0) (0,0,1)
Outlier AO70 AO70
Signifikan Ya Ya
White Noise Ya Ya
Normal Dist Ya Ya
AIC insample 370,8724 370,9641
RMSE outsample 0,589366 0,581449
Pemilihan model terbaik dilakukan
dengan memperhatikan nilai AIC data insample
dan RMSE data outsample yang dihasilkan setiap
model. Hasilnya meskipun pada data insample
AIC yang dihasilkan oleh model AR(1) sedikit
lebih baik, namun model MA(1) menghasilkan
nilai RMSE yang lebih baik. Karena perbedaan
nilai AIC dan RMSE antar kedua model tersebut
sangat tipis, maka keduanya merupakan model
yang relatif sama baiknya. Namun untuk
keperluan peramalan model ARIMA dengan
deteksi outlier, akan lebih baik jika digunakan
model MA(1), dimana model matematisnya
dapat dituliskan sebagai berikut:

()

Artinya, inflasi pada bulan ke t dipengaruhi
oleh bulan sebelumnya. Jika inflasi pada bulan
ke t-1 sebesar satu persen, maka inflasi pada
bulan ke t adalah sebesar 1,02, kecuali pada
pengamatan ke 70. Jika inflasi pada pengamatan
ke 69 sebesar satu persen, maka dimana
besarnya inflasi di bulan ke 70 adalah sebesar
8,38 persen.
4.2. Model Intervensi
Sebelumnya berdasarkan Gambar 1.
diketahui bahwa ketika terjadi kenaikan harga
BBM pada Oktober 2005, tingkat inflasi di
Provinsi Riau mencapai 8,73 persen, tertinggi
sepanjang 12 tahun terakhir. Selama periode
tahun 2000-2011 tercatat telah terjadi sepuluh
kali perubahan harga BBM dan tujuh kali
perubahan TDL. Untuk itu ingin diketahui apakah
kebijakan yang terkait dengan harga BBM dan
TDL terhadap inflasi Provinsi Riau dengan
variabel yang digunakan dan diurutkan menurut
waktu kejadian adalah sebagai berikut.
Tabel 4. Variabel Intervensi Yang Digunakan
No Variabel Keterangan
1 bbm1 Kenaikan Harga BBM Oktober 2000
2 bbm2 Kenaikan Harga BBM Juni 2001
3 tdl1 Kenaikan TDL Juni 2001
4 bbm3 Kenaikan harga BBM Januari 2002
5 bbm4 Kenaikan harga BBM Januari 2003
6 tdl2 Kenaikan TDL Januari 2003
7 tdl3 Kenaikan TDL April 2003
8 tdl4 Kenaikan TDL Juli 2003
9 tdl5 Kenaikan TDL Oktober 2003
10 bbm5 Kenaikan harga BBM Maret 2005
11 bbm6 Kenaikan harga BBM Oktober 2005
12 bbm7 Kenaikan harga BBM Mei 2008
13 bbm8
Penurunan harga BBM Desember
2008 #1
14 bbm9
Penurunan harga BBM Desember
2008 #2
15 bbm10
Penurunan harga BBM Januari
2009
16 tdl6 Kenaikan TDL Juli 2010
17 tdl7 Kenaikan TDL Januari 2011
Peyusunan model intervensi dilakukan secara
bertahap sebagai berikut:
a) Membagi set data menjadi sebanyak jumlah
intervensi
- Data sebelum intervensi pertama,
dinotasikan sebagai
t
Y
0

- Data dari intervensi pertama sampai dengan
sebelum intervensi kedua, dinotasikan
dengan
t
Y
1

- Data intervensi kedua sampai dengan data
sebelum intervensi ketiga, dinotasikan
sebagai
t
Y
2

- Dan seterusnya sampai dengan data setelah
terjadinya terakhir
b) Membuat model intervensi pertama
- Membentuk model ARIMA data sebelum
terjadinya intervensi pertama (
t
Y
0
)
- Meramalkan data pada selang antara
intervensi kedua dan ketiga (
1
Y ) dengan
model ARIMA dari
t
Y
0

- Menghitung nilai respon intervensi dari
pertama sampai sebelum intervensi kedua (
*
1
t
Y )
- Menentukan (
1 1 1
, , r s b ) dari intervensi
pertama berdasarkan plot nilai respon
intervensi pertama
- Estimasi parameter dan uji signifikasi untuk
model intervensi pertama
- Pemeriksaan diagnosa terhadap residual,
apakah telah memenuhi asumsi white noise
dan berdistribusi normal.
c) Mengulangi langkah b untuk intervensi kedua
sampai intervensi terakhir
Berdasarkan tahap penyusunan model
intervensi tersebut didapatkan hasil berupa
variabel yang signifikan sebagaimana pada tabel
5:



Tabel 5. Uji Signifikansi Masing-Masing Variabel Intervensi Terhadap Model Intervensi
Variabel
Intervensi
Model Interrvensi
Signifikan
White
Noise
Normal
dist
bbm1 - v -
bbm1, bbm2 - v -
bbm1,bbm2,tdl1 - v -
bbm1,bbm2,tdl1,bbm3 - v -
bbm1,bbm2,tdl1,bbm3,bbm4 - v -
bbm1,bbm2,tdl1,bbm3,bbm4,tdl2 - v -
bbm1,bbm2,tdl1,bbm3,bbm4,tdl2,tdl3 - v -
bbm1,bbm2,tdl1,bbm3,bbm4,tdl2,tdl3,tdl4 - v -
bbm1,bbm2,tdl1,bbm3,bbm4,tdl2,tdl3,tdl4,tdl5 - v -
bbm1,bbm2,tdl1,bbm3,bbm4,tdl2,tdl3,tdl4,tdl5,bbm5 - v -
bbm1,bbm2,tdl1,bbm3,bbm4,tdl2,tdl3,tdl4,tdl5,bbm5,
bbm6
bbm6 v v
bbm1,bbm2,tdl1,bbm3,bbm4,tdl2,tdl3,tdl4,tdl5,bbm5,
bbm6,bbm7
bbm6 v v
bbm1,bbm2,tdl1,bbm3,bbm4,tdl2,tdl3,tdl4,tdl5,bbm5,
bbm6,bbm7,bbm8
bbm6 v v
bbm1,bbm2,tdl1,bbm3,bbm4,tdl2,tdl3,tdl4,tdl5,bbm5,
bbm6,bbm7,bbm8,bbm9
bbm3, bbm6, bbm9 v v
bbm1,bbm2,tdl1,bbm3,bbm4,tdl2,tdl3,tdl4,tdl5,bbm5,
bbm6,bbm7,bbm8,bbm9,bbm10
bbm3, bbm6, bbm9 v v
bbm1,bbm2,tdl1,bbm3,bbm4,tdl2,tdl3,tdl4,tdl5,bbm5,
bbm6,bbm7,bbm8,bbm9,bbm10,tdl6
bbm3, bbm6, bbm9 v v
bbm1,bbm2,tdl1,bbm3,bbm4,tdl2,tdl3,tdl4,tdl5,bbm5,
bbm6,bbm7,bbm8,bbm9,bbm10,tdl7,tdl7
bbm3, bbmb, bbm9 v v

Dengan memasukkan satu persatu
variabel secara bertahap, ternyata didapatkan
bahwa dari 17 variabel yang digunakan
setidaknya terdapat tiga model intervensi yang
dapat digunakan:
1. Model 1. dengan hanya menggunakan
variabel bbm6, yaitu kenaikan harga BBM
bulan Oktober 2005 sebagai berikut:
0, 656 7, 595
t t t
Y I N = + +
1
(1 0, 368 )
t t
N a
B
=


1
0, 70
1, 70
t
T
I
T
=
=

=











2. Model 2. dengan menggunakan dua
variabel yaitu bbm6; kebijakan kenaikan
harga BBM Oktober 2005, dan bbm9;
penurunan harga BBM yang kedua kali pada
15 Desember 2008, dengan model
matematis sebagai berikut:
1 2
0, 687 7, 229 4, 741
t t t t
Y I I N = + +
2 20
1
(1 0, 674 0, 2 0,189 )
t t
N a
B B B
=
+ +

1
0, 70
1, 70
t
T
I
T
=
=

=


2
0, 108
1, 108
t
T
I
T
=
=

=





3. Model 3. dengan menggunakan tiga
variabel yaitu bbm3; kenaikan harga BBM
Januari 2002, bbm6; kebijakan kenaikan
harga BBM Oktober 2005, dan bbm9;
penurunan harga BBM yang kedua kali pada
15 Desember 2008, dengan model
matematis sebagai berikut:

1 2 3
0, 674 1,814 7, 545 4, 204
t t t t t
Y I I I N = + + +
4
1
(1 0, 674 )(1 0, 390 )
t t
N a
B B
=


1
0, 25
1, 25
t
T
I
T
=
=

=


2
0, 70
1, 70
t
T
I
T
=
=


3
0, 108
1, 108
t
T
I
T
=
=

=




Dari ketiga model tersebut didapatkan
perbandingan kriteria kebaikan model sebagai
berikut:
Tabel 6. Perbandingan Kriteria Kebaikan Model
Intervensi
Model
AIC data
Insample
RMSE data
outsample
1 370,8724 0,589
2 332,5657 0,635
3 335,1008 0,613

Ternyata didapatkan bahwa model 2. yang
menggunakan 2 variabel intervensi lebih baik
dalam memodelkan data dibandingkan dengan
model 1 dan 3. Namun demikian, untuk
keperluan peramalan, ternyata model dengan
variabel intervensi yang paling sedikit
memberikan hasil ramalan yang paling baik.
Namun demikian dari keseluruhan model
tersebut melibatkan variabel bbm6, artinya
variabel tersebut memberikan dampak terbesar
terhadap tingkat inflasi di Provinsi Riau.
Selanjutnya untuk keperluan peramalan maka
dipergunakan model 1.
5. Kesimpulan
Pada kasus dimana terdapat nilai ekstrim
pada data deret waktu, maka peramalan dengan
ARIMA Box Jenskins tidak dapat dilakukan
karena model yang dihasilkan tidak memenuhi
asumsi yang dipersyaratkan. Ketika nilai ekstrim
tersebut tidak diketahui penyebabnya, maka
penanganan dilakukan dengan metode ARIMA
deteksi outlier.
Hasil pemodelan ARIMA dengan deteksi
outlier menemukan adanya empat outlier
signifikan dalam mempengaruhi model yaitu
pada pengamatan ke 70, 71, dan 109. Dengan
memasukkan outlier yang memiliki signifikansi
terbesar yaitu pada pengamatan ke 70 pada
model ARIMA, ternyata didapati bahwa residual
terbaik mengikuti MA(1) dan telah memenuhi
seluruh asumsi yang dipersyaratkan. Artinya
model tersebut dapat digunakan untuk
peramalan lebih lanjut.
Selanjutnya berdasarkan informasi
mengenai kebijakan harga BBM serta tarif dasar
listrik, dilakukan pemodelan dengan variabel
intervensi. Dengan memasukkan masing-masing
variabel intervensi secara bertahap, didapatkan
bahwa variabel yang berpengaruh terhadap
tingkat inflasi pada periode pengujian adalah
kenaikan BBM pada Januari 2002, kenaikan
harga BBM pada Oktober 2005 dan penurunan
harga BBM yang kedua kalinya pada Desember
2008.
Perbandingan model intervensi dengan
memasukkan ketiga variabel baik secara
terpisah maupun secara bersama sama
mendapati bahwa model intervensi dengan
hanya memasukkan variabel intervensi kenaikan
harga BBM Oktober 2005 memiliki hasil ramalan
yang terbaik. Lebih lanjut, perbandingan kriteria
kebaikan model antara metode ARIMA dengan
deteksi outlier dan model intervensi dapat
dilihat pada tabel 7.
Tabel 7. Perbandingan Kriteria Kebaikan Model
Antara ARIMA dengan Deteksi Outlier dan
Model Intervensi
Metode
Model
terbaik
AIC data
insample
RMSE
data
outsample
ARIMA
dengan
Deteksi
Outlier
MA(1)
dengan
memasukkan
AO70
370,9641 0,581
Model
Intervensi
Hanya
melibatkan
variabel
kenaikan
BBM
Oktober
2005
370,8724 0,589
Dari hasil perbandingan kedua metode
didapati bahwa sesuangguhnya tidak terpata
perbedaan yang nyata antara penggunaan
metode ARIMA dengan deteksi outlier dan
model intervensi. Hal ini dapat terjadi karena
pada kedua metode tersebut, penggunaan satu
variabel kenaikan BBM Oktober 2005 telah
cukup untuk mendapatkan model time series
terbaik yang dapat digunakan dalam peramalan.
6. Daftar Pustaka
Box, G. E., Jenkins, G. M., & Reinsel, G. C. (1994).
Time Series Analysis: Forecasting and
Control (3rd ed.). New Jersey: Prentice-
Hall, Inc.
Budiarti, L., Tarno, dan Warsito, B. (2013).
Analisis Intervensi Dan Deteksi Outlier
Pada Data Wisatawan Domestik (Studi
Kasus Di Daerah Istimewa Yogyakarta).
Jurnal Gaussian, Vol. 2, No. 1, Hal. 39-48
Hendrantoro, G., Mauludiyanto, Mauludiyanto,
A., dan Mauridhi, H. P. (2009). Optimasi
Pemodelan Arima Dengan Efek Deteksi
Outlier Pada Data Curah Hujan Di
Surabaya. Seminar Radar Nasional Iii.
Bandung, 30 April 2009
Kismiantini Dan Wutsqa, D. U. (2009). Dampak
Penurunan Harga BBM Jenis Premium
Terhadap Angka Inflasi Di Kota
Yogyakarta (Studi Aplikasi Model
Intervensi Dengan Step Function).
Proceeding Seminar Nasional
Matematika Dan Pendidikan
Matematika, Universitas Negeri
Yogyakarta, 5 Desember 2009
Liu, L.-M. (2006). Time Series Analysis and
Forecasting. Illinois: Scientific Computing
Associates.
Mauludiyanto, A., Hendrantoro, G., Mauridhi, H.
P., dan Suhartono. (2009). Pemodelan
Arima Dan Deteksi Outlier Data Curah
Hujan Sebagai Evaluasi Sistem Radio
Gelombang Milimeter. Jurnal Ilmiah
Teknologi Informasi Vol. 7, No. 3
Mustika, H. (2012). Model ARMA (P,Q) Dengan
Additive Outliers Dan Innovation
Outliers. Tesis. Padang: Universitas
Andalas
Mauludiyanto, A., Hendrantoro, G., Mauridhi, H.
P., dan Suhartono. (2009). Pemodelan
Varima Dengan Efek Deteksi Outlier
Terhadap Data Curah Hujan. Seminar
Nasional Aplikasi Teknologi Informasi
2009 (Snati 2009), Yogyakarta, 20 Juni
2009
Setyaningsih, D. (2004). Penerapan Model
Intervensi, Variasi Kalender, Dan Deteksi
Outlier Untuk Penentuan Mean Model
Pada Data Inflasi Beberapa Kota Besar
Di Jawa. Skripsi. Surabaya: Institut
Teknologi Sepuluh Nopember
Syihabudin, A. A., (2012). Penggunaan Metode
Peramalan Model Intervensi Dalam
Analisis Laju Inflasi Ekonomi Kota
Malang. Skripsi. Malang: Universitas
Negeri Malang
Wei, W. W. (2006). Time Series Analysis:
Univariate and Multivariate Methods
(2nd ed.). USA: Pearson Education, Inc.
Widyanti, N. A. (2013). Pendeteksian Dan
Pemodelan Outlier Ganda (Innovational
Outlier, Additive Outlier, Level Shift,
Transient Change Dan Seasonal Additive)
(Jumlah Penumpang Pesawat Terbang Di
Bandara Internasional Juanda Dan
Soekarno Hatta). Skripsi. Malang:
Universitas Brawijaya Indonesia

You might also like