You are on page 1of 262

Nomor 14 Tahun VIII April 2013

ISSN 1907-3232
APRESIASI CERPEN SUAP KARYA PUTU WIJAYA
BERDASARKAN PENDEKATAN RESEPSI OLEH SISWA KELAS X
SMA N 8 DENPASAR TAHUN PELAJARAN 2012/2013
Oleh :
Ketut Yarsama
FPBS, IKIP PGRI BALI
ABSTRACT
The literary division is the ideal literary learning which balancing
between theory and practice (skills). The purpose of this study was to
determine the ability to appreciate the short story "SUAP" by Putu
Wijaya with reception approach by the students of class X SMA N 8
Denpasar academic year 2012/2013.
The subjects of this study were all students of class X SMA N 8
Denpasar academic year 2012/2013, amounting to 319 people. The
research sample was assigned 25% of the population. The approach
used empirical method of research subjects. Data collected by the
test method. Data were analyzed with descriptive statistics.
From the data analysis it can be concluded that the ability
appreciated short story "SUAP" from Putu Wijaya by students of Class
X SMA N 8 Denpasar that were categorized well, with the average
value of the 81. Students are advised to be more creative and critical
in appreciating literature.
Key words : Short story appreciation, reception approach
I. LATAR BELAKANG MASALAH
Pengajaran sastra selama ini dinilai hanya memenuhi tuntutan
kurikulum dan cenderung kurang mendapat tempat di hati siswa.
Kegiatan apresiasi sastra kemudian menjadi kurang hidup dan kering
karena terbatas pada penguasaan pengetahuan tentang sastra yang
bercorak teoretis dan hafalan semata. Para siswa tidak diajak untuk
mengapresiasi teks-teks sastra yang sesungguhnya, tetapi sekadar
menghafalkan nama-nama sastrawan beserta hasil karyanya
sehingga siswa kurang diberikan kesempatan di dalam menyatakan
pendapat mengenai penilaiannya terhadap suatu karya sastra.
1
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Pada dasarnya pengajaran sastra yang apresiatif bertitik tolak
pada hakikat apresiasi itu sendiri, yaitu kegiatan menggauli sebuah
karya sastra untuk kemudian memberi penghargaan terhadap karya
sastra itu berdasarkan pertimbangan-pertimbangan objektif atas hasil
analisis yang dilakukan terhadap karya sastra tersehut. Oleh sebab
itu, apresiasi tidak hanya sebatas pada pemahaman unsur-unsur
intrinsik dan ekstrinsik, tetapi para siswa diajak untuk meresapi karya
sastra dengan penuh kenikmatan. Selain itu, apresiasi bertujuan agar
para siswa mendapatkan sesuatu yang berharga dan mampu
membangkitkan tanggapan emosional berupa penerimaan terhadap
karya sastra tersebut. Hal tersebut bertolak dari apa yang menjadi
dasar pemikiran apresiasi sastra, yaitu sastra diciptakan untuk
dinikmati. Untuk itu, yang dibutuhkan dalam apresiasi yaitu
pembacaan, penghayatan, dan internalisasi melalui pendalaman
batin (Endraswara, 2005:81). Ini membuktikan bahwa apa yang
dibutuhkan untuk berapresiasi sejalan dengan hakikatnya, yaitu
bergaul secara utuh dengan karya sastra tersebut melalui
pembacaan, penghayatan dan internalisasi secara mendalam apabila
sastra dirasa sudah sebagai kawan, maka reaksi-reaksi pun akan
muncul dari pergaulan itu. Perasaan suka, duka, tawa, atau air mata
merupakan di antara sekian bentuk respons penerimaan terhadap
sebuah karya sastra.
Berdasarkan aspek penerimaan pembaca terhadap karya sastra,
maka penulis menekankan pada kajian pendekatan resepsi sastra
yang dikaitkan dengan salah satu genre sastra yaitu cerpen. Pada sisi
lain, penggunaan pendekatan resepsi sastra secara tidak langsung
akan diperoleh kualitas karya tersebut, dalam hal ini cerpen Suap
karya Putu Wijaya melalui tanggapan-tanggapan tadi. Penelitian
dengan pendekatan resepsi sastra tidak hanya menekankan pada
2
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
kemampuan apresiasi siswa saja, tetapi juga penilaian terhadap
cerpen tersebut. Cerpen dipilih karena memiliki posisi strategis dalam
pengajaran, selain sebagai bagian mata pelajaran bahasa dan sastra
Indonesia. Kelebihan lain yang dimiliki cerpen dibandingkan jenis
sastra yang lain ialah dilihat dari aspek waktu dan ruang. Pengajaran
cerpen dapat berlangsung dalam jangka waktu yang relatif pendek
atau singkat. Cerpen yang dipilih pun memiliki tema yang tidak jauh
dari realitas sosial masyarakat Indonesia sekarang, yakni bertemakan
tentang korupsi. Banyak yang berpendapat korupsi sudah
membudaya di Indonesia.
II. LANDASAN TEORI
Agar budaya korupsi dapat dikikis, pemerintah kemudian
mengadakan program kampanye antikorupsi dengan tujuan
menyosialisasikan pendidikan antikorupsi sejak dini. Program tersebut
dinamakan kantin kejujuran, khusus bagi para siswa di tingkat
sekolah dasar hingga sekolah menengah atas. Bahkan dikatakan
pendidikan antikorupsi dimasukkan pula ke dalam kurikulum sekolah
dengan mengintegrasikannya pada pelajaran agama, PPKN, dan tidak
ketinggalan pelajaran bahasa Indonesia (Jawa Pos, 29 Mei 2009). Ini
artinya, pelaiaran bahasa Indonesia melalui pengajaran sastra dapat
memberikan kontribusinya terhadap pembentukkan karakter dan
watak anak bangsa yang jujur dan bersih dari tindakan korupsi.
Pengajaran sastra dirasa mampu memberikan nilai pendidikan
tentang korupsi bagi para siswa karena sastra merupakan refleksi
kemanusiaan dan didalamnya mengandung nilai-nilai ajaran.
Dengan demikian pemilihan cerpen Suap karya Putu Wijaya
diharapkan tidak hanya memberikan kenikmatan atau penghiburan
bagi para siswa, akan tetapi nilai-nilai yang relevan dengan
3
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
kehidupan dapat juga diserap. Intinya sesuatu yang berharga akan
didapatkan oleh siswa dengan membaca cerpen Suap karya Putu
Wijaya, seperti pengalaman kemanusiaan. Sementara sebagai
pemenuhan tuntutan kurikulum, pelajaran bahasa Indonesia
khususnya pengajaran sastra tidak lagi menjenuhkan bagi siswa.
Siswa juga akan menjadi berani dan terbiasa untuk mengemukakan
pendapat, dalam hal ini memberikan penilaiannya terhadap suatu
karya sastra. Demikian pun dengan kriteria ketuntasan yang menjadi
standar masing-masing sekolah dapat terpenuhi. Di samping itu,
apabila dilihat dari sisi karyanya, tanggapan-tanggapan yang
diberikan oleh para siswa akan didapat gambaran sejauh mana baik
buruk cerpen tersebut di mata para siswa.
II. Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang di atas, masalah yang menjadi
kajian dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah kemampuan
apresiasi siswa kelas X SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran
2012/2013 terhadap cerpen Suap karya Putu Wijaya dengan
pendekatan resepsi sastra?
III. Tujuan Penulisan
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
kemampuan apresiasi siswa kelas X SMA Negeri 8 Denpasar tahun
pelajaran 2012/2013 terhadap cerpen Suap karya Putu Wijaya
dengan pendekatan resepsi sastra.
IV. Pembahasan
Sampai saat ini pengertian tentang apresiasi sastra sangat
beraneka ragam. Timbulnya keanekaragaman tersebut karena
4
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya apresiasi sastra
merupakan fenomena yang unik dan rumit. Menurut Saryono
(2009:28) peristiwa apresiasi sastra dikatakan unik dan rumit
dikarenakan kegiatan tersebut berhuhungan dengan kesenian yang
sifatnya individual dan momentum, yang mana lehih banyak
bersangkutan dengan jiwa, nurani, budi, rasa dan emosi. Selain itu,
seiring berjalannya waktu menyebabkan terjadinya perubahan dan
perkembangan pemikiran tentang apresiasi sastra, dan penyehab
lainnya ialah adanya perbedaan penyikapan dan pendekatan
terhadap hakikat apresiasi sastra sehingga tidak akan ada rumusan
yang pasti dan pendapat paling benar mengenai apresiasi sastra.
Istilah apresiasi berasal dari kata appreciation mengacu pada
pengertian pemahaman dan pengenalan yang tepat, pertimbangan,
penilaian, dan pernyataan yang memberikan penilaian (Hornby dalam
Saryono, 2009:33). Selain pengertian tadi ada pula beberapa
pendapat mengenai pengertian apresiasi, yaitu kegiatan menggauli
karya sastra dengan sungguh-sungguh sehingga tumbuh pengertian,
penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang
baik terhadap karya sastra (Effendi dalam Saryono, 2009:33).
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut maka apresiasi sastra
dapat diartikan sebagai upaya memahami karya sastra di antaranya
upaya bagaimana cara untuk mengerti sebuah karya sastra yang
dibaca, mengerti maknanya, dan mengerti seluk-beluk strukturnya.
Pendek kata, apresiasi sastra itu merupakan upaya merebut makna
karya sastra sebagai tugas utama seorang pembaca (Teeuw dalam
Endraswara, 2005; 160).
Secara umum ada lima tahapan apresiasi menurut Natawidjaja
(1982:2), yaitu (1) tahap penikmatan yang merasakan senang dan
baru sebatas dipengaruhi, (2) tahap penghargaan bersifat kekaguman
5
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
dan sudah mulai ingin memiliki, (3) tahap pemahaman yang bersifat
studi, seperti mencari pengertian, menganalisis ataupun
menyimpulkan, (4) tahap penghayatan yang mana meyakini apa dan
bagaimana akikat produk sastra itu, dan (5) tahap implikasi
memperoleh daya tepat guna, bagaimana dan untuk apa.
Dalam kaitannya dengan kegiatan apresiasi sastra di sekolah,
yang terpenting adalah memberikan pengalaman kepada peserta
didik. Peserta didik dibiarkan merasa memperoleh sesuatu, sekurang-
kurangnya kenikmatan dan atau kepuasaan batin. Apresiasi yang
paling indah dan sempurna, peserta didik harus masuk, luluh, dan
mencelupkan pada karya sastra karenanya apresiasi harus diawali
dengan pengenalan karya sastra.
Untuk itu, ada empat tingkatan bagi peserta didik di dalam
mengapresiasi sastra (Endraswara, 2005:79) adalah sebagai berikut :
(1) Menggemari, subjek didik tertarik dan ingin membaca karya
sastra. Ketertarikan untuk membaca adalah indikator bahwa mereka
telah gemar membaca. Apalagi kalau setiap ada karya yang terbit,
baik berupa Koran maupun buku lantas mereka bergegas ingin
membaca berarti telah ada kesungguhan berapresiasi. (2) Menikmati,
dalam diri subjek didik mulai muncul daya atau dorongan batin bahwa
karya sastra memiliki manfaat tertentu. Karya sastra dapat
menghibur (sweet) dan menumbuhkan rasa manis dalani dirinya.
Membaca karya sastra bagaikan orang yang telah lapar ketika akan
berbuka puasa. Kalau sikap ini sudah tumhuh tanpa ada yang
menyuruh, jelas ada rasa nikmat ketika berolah sastra. (3) Mereaksi,
subjek didik mampu memberi respons terhadap karya sastra.
Respons ini tergantung pengalaman masing-masing. Kedalaman
pemahaman mereka terhadap karya, juga akan menentukan respons.
Kalau memahami karya sastra disertai penghayatan emosional, tentu
6
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
akan berbeda reaksinya dibanding yang membaca sekadar mengisi
waktu luang. Tentu saja respons yang dimaksud tidak akan (harus)
sejauh pengalaman seorang cerpenis, penyair. dan aktor. Respons
yang baik, tentunya disertai alasan mapan dan bukan asbun (asal
bunyi) saja. (4) Produsi, melalui tiga tingkatan sebelumnya. apabila
subjek didik telah berkeinginan menciptakan karya sejenis berarti
apresiasi telah menunjukkan puncaknya. Kata sejenis tidak berarti
meniru atau mengepigon melainkan cukup disertai niat untuk
membuat karya orisinal dan visi baru.
Keempat tingkatan tadi sebenarnya tidak jauh berbeda dengan
tahapan menurut Natawidjaja, hanya saja tingkatan apresiasi yang
dimaksud oleh Endraswara lebih mengkhusus pada kegiatan apresiasi
di sekolah. Apabila dilihat dari tahapan-tahapan yang ada serta
tingkatan apresiasi di sekolah, penelitian ini mengacu pada tingkatan
mereaksi sebagai hasil dari tahapan pemahaman dan penghayatan
yang dilakukan oleh peserta didik. Secara eksplisit, hal tersebut
diuraikan pula oleh Endraswara yang menyatakan pada lingkaran
mereaksi sudah mencakup pemahaman dan penghayatan di
dalamnya.
Pada dasarnya pengajaran sastra bertujuan agar siswa menikmati
dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan,
memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan
kemampuan berbahasa. Ada beberapa fungsi pengajaran sastra
menurut Endraswara (2005:51), di antaranya sebagai berikut. (1)
Memberi Wawasan Kemanusiaan, dalam sastra itu sendiri terdapat
beraneka ragam aspek pendidikan mulai pendidikan watak,
keindahan. Religius, moral, dan sebagainya. Sastra yang baik akan
mencerminkan nilai pendidikan yang baik pula. Wawasan
kemanusiaan subjek didik akan dapat dibentuk melalui sastra,
7
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
manakala subjek didik telah menyelami kedalaman sifat-sifat
manusia, emosi-emosi seseorang, kemauan-kemauan manusia.
Kiranya mereka akan semakin arif dan menjadi manusia yang berbudi
luhur. (2) Mendidik Jiwa Bangsa, dunia pendidikan tentu saja secara
tak langsung berharap agar sastra menjadi salah satu alternatif jitu
terhadap masalah-masalah kehidupan. Sastra diharapkan menjadi
solusi terbaik dengan menggunakan caranya yang khas mendidik
masyarakat. Jika sastra mampu mendidik, mencerdaskan bangsa,
menawarkan nilai-nilai akhlak tentu akan besar sumbangannya
terhadap mental bangsa. (3) Memberi Wawasan Budaya, pendidikan
dan pengajaran sastra semestinya berkonteks pada harkat martabat
manusia, sehingga mampu membuahkan pemikiran-pemikiran
mengenai hak manusia, eksistensi, martabat, jati diri, kepribadian,
hak asasi, dan sebagainya. Manakala pendidikan dan pengajaran
sastra telah mempertinggi wawasan budaya, dengan sendirinya
subjek didik akan menguasai nilai-nilai dan norma-norma sebagai
bekal mengarungi kehidupan.
Untuk itu, agar tujuan pengajaran sastra dapat tercapai
hendaknya selalu bertolak pada aspek manusia, kebudayaan, dan
kepribadian. Dengan itu, melalui pengajaran sastra, baik langsung
maupun tidak langsung, akan memanusiakan manusia itu sendiri.
Cerpen mendapat salah satu bagian dari genre sastra yang
berbentuk prosa fiksi. Istilah prosa fiksi memiliki pengertian cerita
rekaan atau khayalan, sesuatu yang tidak perlu dicari kebenarannya
dalam dunia nyata. Walau berupa khayalan tidak benar jika fiksi
dianggap hasil kerja lamunan belaka, melainkan penghayatan dan
perenungan secara intens, perenungan terhadap hakikat hidup dan
kehidupan, perenungan yang dilakukan dengan penuh kosadaran dan
tanggung jawab (Nurgiyantoro. 2007:3). Hal tersebut didasari karena
8
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
pengarang menuliskan ceritanya berdasarkan pengalaman dan
pengamatannya terhadap kehidupan dengan memasukkan unsur
hiburan dan penerangan terhadap pengalaman kehidupan manusia.
Pada dasarnya isi sebuah karya sastra memuat perilaku manusia
melalui karakter tokoh-tokoh cerita. Oleh sebab itu, tidak terlepas dari
pengalaman kehidupan nyata sehari-hari. Yang jelas segala macam
bentuk sastra yang tergolong prosa fiksi merupakan karya imajiner
dan estetis, yang memiliki kebenaran fiksi sesuai pandangan
pengarang terhadap masalah hidup dan kehidupan. Dengan demikian
kebenaran dalam karya fiksi tidak harus sejalan dengan kebenaran
yang herlaku di dunia nyata.
Sebuah karya prosa fiksi secara garis besar dibangun oleh dua
bagian unsur. Pembagian dua unsur yang dimaksud adalah unsur
intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang
membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur intrinsik tersebut
adalah sebagai berikut. (1) Tokoh ialah pelaku yang mengemban
peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin
suatu cerita. Sedangkan cara pengarang menampilkan tokoh atau
pelaku itu disebut dengan penokohan, (2) Alur adalah rangkaian
cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga
menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu
cerita, (3) Setting adalah latar peristiwa dalam karya fiksi, baik
berupa tempat, waktu, maupun peristiwa serta memiliki fungsi fisikal
dan fungsi psikologi, (4) Titik pandang adalah cara pengarang
menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkannva. Titik
pandang atau biasa diistilahkan dengan point of view atau titik kisah
meliputi narrator omniscient (pengisah yang juga berfungsi sebagai
pelaku narrator observer omniscient (pengisah hanya berfungsi
sebagai pengamanat), dan narrator the third person omniscient
9
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
(sebagai pelaku ketiga yang tidak terlibat secara langsung dalam
keseluruhan jalinan cerita, pengarang dalam hal ini merupakan
penutur yang serba tahu, (5) Gaya bahasa ialah cara seorang
pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media
bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna
dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi
pembaca, (6) Tema adalah ide cerita yang mendasari
suatu cerita sehingga berperanan juga sebagai pangkal tolak
pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya.
(Aminuddin, 1991 : 67-91)
Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya
sastra tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau
sistem organisasi karya sastra. Unsur ekstrinsik dapat pula dikatakan
sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi bangunan cerita sebuah
karya sastra, tetapi tidak ikut menjadi bagian di dalamnya. Walaupun
demikian, unsur ekstrinsik cukup berpengaruh terhadap totalitas
bangunan cerita yang dihasilkan.
Oleh karena itu unsur ekstrinsik sebuah prosa harus tetap
dipandang sebagai sesuatu yang penting. Sebagaimana halnya unsur
intrinsik, unsur ekstrinsik juga terdiri atas sejumlah unsur, antara lain
keadaan subjektivitas individu pengarang psikologi (baik psikologi
pengarang, psikologi pembaca, maupun penerapan psikologi dalam
karya), keadaan di lingkungan pengarang (seperti : ekonomi, politik,
dan sosial) dan sebagainya (Nurgiantoro, 2007:24).
Dalam penulisan sebuah karva ilmiah pastinya ada tujuan yang
ingin dicapai, demikian pun dengan penalitian ini. Sehubungan
dengan permasalahan yang dikaji, peneliti akan memilih sebuah
pendekatan untuk dijadikan dasar atau pijakan. Pendekatan tersebut
tentunya disesuaikan dengan tujuan apresiasi itu sendiri. Hal tersebut
10
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
sesuai dengan apa yang dijelaskan Aminuddin (1991:40) bahwa
pendekatan ialah sebagai prinsip dasar atau landasan yang
digunakan oleh seseorang sewaktu mengapresiasi sebuah karya
sastra dan bertolak dari apa yang menjadi tujuan penelitian ini maka
peneliti menggunakan pendekatan resepsi sastra untuk dapat
mengetahui gambaran kemampuan siswa di dalam mengapresiasi
sebuah karya sastra.
Resepsi sastra sendiri merupakan wilayah telaah pragmatik
sastra. Meskipun resepsi bagian dari pragmatik sastra, tetapi
keduanya tetap memiliki kekhasan. Pendekatan resepsi sastra
menekankan pada aspek pembaca yang mencoba memahami dan
menilai karya sastra berdasarkan tanggapan para pembaca terhadap
suatu karya sastra tertentu. Sementara pragmatik sastra mengarah
pada kegunaan dan nilai karya sastra mengarah pada kegunaan dan
nilai karya sastra bagi pembaca.
Secara etimologis rcsepsi berarti tanggapan, maka resepsi sastra
berarti tanggapan pembaca terhadap karya sastra. Dengan demikian
pendekatan resepsi sastra adalah suatu pendekatan yang mencoba
memahami dan menilai karya sastra berdasarkan tanggapan para
pembaca terhadap karya sastra tertentu. Tanggapan tersebut dapat
bersifat positif ataupun negatif (Wiyatmi, 2006:101). Pendekatan ini
mendasarkan diri pada teori bahwa karya sastra sejak terbit selalu
mendapat resepsi atau tanggapan dari para pembaca.
Menurut Jauss (dalam Endraswara, 2008:23) apresiasi pembaca
terhadap karya sastra akan dilanjutkan dan diperkaya melalui
tanggapan-tanggapan. Oleh sebab itu, resepsi sastra berorientasi
pada pembaca di dalam memberikan makna terhadap suatu karya
sastra yang dibaca melalui reaksi atau tanggapan terhadapnya.
Tetapi perlu diketahui pemberian arti, respons atau tanggapan
11
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
terhadap sebuah karya sastra diperoleh dari pemaknaan yang
berbeda-beda tergantung pada cipta rasa sastra masing-masing
pembacanya. Pernyataan ini didukung pula oleh pendapat Damono
(dalam Siswanto, 2008:93) yang mengatakan, Dua orang kritikus
tidak mungkin menghasilkan kritik-kritik yang persis sama meskipun
mereka telah bertemu dengan sajak yang sama. Hal ini disebabkan
setiap orang memiliki kemampuan apresiasi yang berbeda. Begitu
pun dengan cerpen Suap karya Putu Wijaya jika dianalisis oleh
orang yang berbeda sudah tentu akan menghasilkan hasil analisis
yang berbeda pula.
Secara garis besar ada tiga jenis analisis resepsi sastra (Wiyatni,
2006 : 102-103), yaitu sebagai berikut. (1) Analisis resepsi sastra
secara eksperimental dilakukan dengan cara studi lapangan. Caranya
karya sastra tertentu disajikan kepada pembaca tertentu, baik secara
individu maupun berkelompok agar memberikan tanggapannya
dengan mengisi daftar pertanyaan. Jawaban yang menunjukkan
tanggapan para pembaca kemudian dianalisis secara sistematik dan
kuantitatif. Dapat pula dipancing jawaban yang tidak terarah dan
bebas, yang kemudian dianalisis secara kualitatif. (2) Analisis resepsi
sastra lewat kritik sastra. Dalam analisis ini, kritikus dianggap sebagai
penanggap utama dan khas. Karena kritikuslah yang dianggap dapat
menetapkan konkritisasi (pemaknaan) karya sastra dan kritikus pula
yang mewujudkan penempatan dan penilaian karya itu pada masanya
dan mengeksplisitkan tanggapannya terhadap karya sastra. (3)
Analisis resepsi sastra dengan pendekatan intertekstualitas dapat
diterapkan untuk mengetahui resepsi pembaca yang terwujud dalam
hubungan antara dua karya sastra atau lebih. Asumsinya karya sastra
tertentu merupakan bentuk tanggapan atau transformasi terhadap
karya sastra sebelumnya.
12
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Pada dasarnya ketiga jenis analisis sastra tersebut memiliki
tujuan kajian yang sama, yakni berdasarkan pada tanggapan atau
reaksi pembaca. Hanya saja cara kerja masing-masing analisisnya
yang berbeda. Berkaitan dengan pembaca di lapangan, dalam hal ini
siswa sebagai subjek penelitian maka analisis resepsi sastra yang
digunakan dengan bersifat eksperimental terhadap pembaca sastra.
Penelitian secara empirik ini sering dipandang lebih memenuhi
standar ilmiah (Endraswara, 2008 : 126). Apa yang dikemukakan
sebelumnya oleh Wiyatmi mengenai cara kerja resepsi sastra
eksperimental serupa dengan apa yang disampaikan Endraswara.
III. METODE PENELITIAN
Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X SMA Negeri 8
Denpasar tahun pelajaran 2012/2013 yang berjumlah 319 orang.
Tabel 1.1. Populasi Penelitian Siswa Kelas X SMA Negeri 8 Denpasar
tahun Pelajaran 2012/2013.
No. Kelas
Jenis Kelamin
Jumlah
Laki-laki Perempuan
1. X.1 25 15 40
2. X.2 24 16 40
3. X.3 18 22 40
4. X.4 26 14 40
5. X.5 17 22 39
6. X.6 27 13 40
7. X.7 22 19 41
8. X.8 16 23 39
Jumlah 175 144 319
Menurut Suharsimi (1993 : 107) untuk sekadar ancer-ancer
apabila subjek kurang dari 100, lebih baik diambil semua sehingga
penelitiannya merupakan penelitian populasi. Jika jumlah subjeknya
besar dapat diambil antara 10-15% atau 20-25% ataupun lebih,
13
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
tergantung dari kemampuan peneliti dilihat dari segi, waktu, tenaga
dan dana.
Berdasarkan hal tersebut, peneliti mengambil sampel sebanyak
25% dari jumlah populasi. Dengan demikian, jumlah sampel yang
diteliti adalah 25% x 319 = 79,75 yang dibulatkan menjadi 80.
Adapun teknik yang digunakan dalam penentuan sampel ini
adalah proporsional random sampling. Teknik random sampling yang
digunakan dalam penelitian ini adalah teknik undian.
Pendekatan terhadap subjek penelitian merupakan hal yang tidak
boleh diabaikan untuk mendapatkan data yang benar dan sesuai
dengan tujuan. Sehubungan dengan penelitian ini, metode yang
digunakan ialah metode empiris. Dalam hal ini, peneliti tidak lagi
membuat situasi buatan karena gejala yang akan diselidiki di
lapangan telah ada secara wajar. Hal ini sejalan dengan pendapat
Netra (1976:36) yang menyatakan bahwa metode empiris adalah
suatu cara pendekatan di mana gejala yang akan diselidiki itu telah
ada secara wajar. Gejala wajar yang dimaksud ialah apresiasi siswa
terhadap cerpen berdasarkan pendekatan resepsi sastra sesuai
dengan kurikulum yang digunakan di SMA Negeri 8 Denpasar.
Metode pngumpulan data sangat diperlukan setelah pendekatan
terhadap subjek penelitian dilakukan dengan harapan dapat
terkumpulnya data yang baik. Ada beberapa metode yang dapat
digunakan dalam pengumpulan data, antara lain : metode observasi,
metode wawancara, metode angket atau kuesioner, metode
pencatatan dokumen, dan metode tes. Berkaitan dengan penelitian
ini, metode yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah
metode tes. Menurut Nurkancana dan Sunartana (1992:34) yang
dimaksud dengan tes adalah suatu cara untuk mengadakan
penelitian yang berbentuk suatu tugas atau serangkaian tugas yang
14
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
harus dikerjakan oleh anak atau sekelompok anak sehingga
menghasilkan nilai tentang tingkah laku atau prestasi anak tersebut,
yang dapat dibandingkan dengan nilai yang dicapai oleh anak-anak
lain atau dengan nilai standar yang ditetapkan.
Dalam mengumpulkan data, tes yang digunakan peneliti berupa
tes uraian (esai). Tes esai adalah suatu bentuk tes yang terdiri dari
suatu pertanyaan atau suatu suruhan yang menghendaki jawaban
yang berupa uraian-uraian yang relatif panjang. Bentuk-bentuk
pertanyaan suruhan yang umum adalah meminta kepada murid-
murid untuk menginterpretasikan dan mencari perbedaan
(Nurkancana, 1992:48). Langkah-langkah yang harus ditempuh dalam
mengumpulkan data dengan metode tes adalah (1) penyusunan tes,
(2) pelaksanaan tes, dan (3) penilaian hasil tes.
Sebelum penyusunan tes, terlebih dahulu peneliti mengadakan
tinjauan terhadap silabus mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia
(khususnya berkaitan dengan kompetensi dasar apresiasi sastra
terhadap cerpen), buku pedoman guru, dan juga buku pelajaran wajib
yang digunakan di kelas X SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran
2012/2013. Hal ini dilakukan agar materi tes benar-benar
representatif terhadap bahan-bahan pelajaran yang diberikan.
Dalam penyusunan tes, peneliti menggunakan bentuk tes uraian
dengan bentuk pertanyaan yang berkaitan tentang apresiasi terhadap
cerpen Suap karya Putu Wijaya dengan berdasarkan pada
pendekatan resepsi sastra. Siswa diminta untuk mengapresiasi karya
sastra tersebut melalui pertanyaan yang diberikan (lihat pada
lampiran 02). Pertanyaan itu berjumlah empat butir dengan waktu
yang disediakan untuk mengerjakan soal-soal tersebut adalah 90
menit.
15
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Pelaksanaan tes berlangsung pada tanggal 2 Juni 2012 di SMA
Negeri 8 Denpasar. Pada pelaksanaan tes ini, peneliti dibantu oleh
guru bahasa dan sastra Indonesia yang mengajar kelas X di sekolah
tersebut. Bantuan guru bahasa dan sastra Indonesia diperlukan untuk
memberikan penjelasan mengenai tugas yang akan dikerjakan oleh
siswa. Selain itu, bertujuan agar pemberian tugas dapat berlangsung
dengan lancar dan tertib.
Setelah lembar jawaban terkumpul, langkah selanjutnya adalah
penskoran. Penilaian terhadap hasil tes (hasil kerja siswa) dilakukan
berdasarkan pembobotan atau aspek-aspek yang dinilai dalam
bentuk skor. Adapun aspek-aspek yang dijadikan sebagai pedoman
penilaian adalah sebagai berikut yang terdapat pada tabel di bawah
ini.
Tabel 3. Pedoman Penilaian Hasil Tes
No Aspek-Aspek Penilaian Skor
Maksimum
1
2
3
4
Kesesuaian tema dengan isi
Ketertarikan berdasarkan struktur
pembangun cerpen
Sikap berdasarkan emosi dan situasi
Penilaian berdasarkan minat, pengalaman,
dan struktur pembangun cerpen
5-10
5-10 15-20
5-10-15
15-10-15-20-
25
Jumlah
Pada metode pengolahan data, data yang diperoleh diolah lagi
karena data tersebut masih berupa data mentah. Sesuai dengan
objek penelitian ini, maka metede pengolahan data yang digunakan
adalah metode analisis statistik deskriptif. Metode analisis statistik
adalah suatu cara yang digunakan dalam pengolahan data dengan
16
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
menggunakan rumus-rumus matematika untuk menggambarkan atau
menganalisis suatu hasil penelitian. Sementara metode deskriptif
yaitu suatu cara pengolahan data yang dilakukan dengan jalan
menyusun data secara sistematis sehingga diperoleh suatu
kesimpulan umum (Netra, 1976:75). Data yang diperoleh akan
disajikan dari nilai tertinggi sampai pada nilai terendah.
Langkah-lankah yang ditempuh dalam pengolahan data ini
adalah (1) menskor tes, (2) membuat pedoman konversi, (3)
menentukan kriteria predikat kemampuan siswa, (4) mencari skor
rata-rata, dan (5) menarik kesimpulan.
Setelah tes dilaksanakan, lembar jawaban siswa selanjutnya
diperiksa berdasarkan pedoman penilaian yang telah ditentukan.
Langkah selanjutnya memberikan skor sesuai dengan item tes.
Berdasarkan item pertanyaan yang dibuat dan pemberian bobot
masing-masing pertanyaan maka skor maksimal ideal yang dicapai
siswa adalah 70.
Dalam mengubah skor mentah menjadi skor standar digunakan
norma absolut skala seratus, yaitu suatu skala yang bergerak antara
nol sampai seratus. Pengkonversian skor mentah menjadi skor
standar dengan norma absolut skala seratus dipergunakan rumus
sebagai berikut :
X
P = --------------- x 100
SMI
Keterangan :
P = Persentil
X = Skor yang dicapai
SMI = Skor maksimal ideal (Nurkancana dan Sunartana,
1992:99)
17
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Dalam menentukan kriteria predikat kemampuan siswa
digunakan kriteria yang lazim digunakan di sekolah menengah atas.
Demikian pula di dalam menentukan apresiasi siswa terhadap cerpen
Suapkarya Putu Wijaya berdasarkan pendekatan resepsi sastra,
digunakan sama dengan kriteria predikat pada umumnya di tingkat
SMA seperti yang tertera pada tabel berikut ini.
Tabel 4. Kriteria Predikat Kemampuan Siswa
No Nilai Standar Predikat
(1) (2) (3)
1. 86 100 A (Sangat Baik)
2. 71 85 B (Baik)
3. 56 70 C (Cukup)
4. 41 55 D (Kurang)
5. < 40 E (Sangat Kurang)
Rata-rata (mean) merupakan teknik penjelasan kelompok yang
didasari atas nilai rata-rata dari kelompok tersebut. Rata-rata (mean)
ini didapat dengan menjumlahkan data seluruh individu dalam
kelompok tersebut kemudian dibagi dengan jumlah individu yang ada
pada kelompok tersebut. Rumusnya sebagai berikut :
fx
M = --------------
N
Keterangan :
M = mean (rata-rata)
fx = jumlah skor dikalikan frekuensi
N = jumlah sampel (Nurkancana dan Sunartana, 1992 : 174)
V. HASIL PENELITIAN
Analisis data hasil tes dimaksudkan untuk menentukan perolehan
skor standar masing-masing siswa dan juga mencari atau menghitung
skor rata-rata prestasi siswa dalam mengapresiasi cerpen Suap
18
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
karya Putu Wijaya berdasarkan pada pendekatan resepsi sastra. Agar
mendapatkan gambaran dari data di atas, maka akan dihitung skor
standar siswa dan skor rata-rata siswa. Terlebih dahulu akan dihitung
skor standar yang diperoleh siswa berdasarkan pedoman konversi.
Hasil perhitungan tersebut, dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 5. Data Skor Standar Apresiasi Terhadap Cerpen Suap Karya
Putu Wijaya dengan Pendekatan Resepsi Sastra oleh Siswa
Kelas X SMA Negeri 8 Denpasar Tahun Pelajaran 2012/2013.
No Nama Siswa
Skor
Kualifikasi
Mentah
Standa
r
1 Ni Putu Lia Agustina 65 93 Baik Sekali
2 Ni Made Rian Sudarini 65 93 Baik Sekali
3 Made Teddy Satria Permana 65 93 Baik Sekali
4 I Kadek Andrie Prasetya 65 93 Baik Sekali
5 Made Arya Nugerah Inggas 65 93 Baik Sekali
6 I Gusti Ayu Dewi Mahayanti 65 93 Baik Sekali
7 Luh Putu Eva Sri Sedana 65 93 Baik Sekali
8 Harry Yoga Nugraha 65 93 Baik Sekali
9 I Made Handra Dwi Karya Putra 65 93 Baik Sekali
10 I Gst. Ngurah Oka Aditya Dharma 65 93 Baik Sekali
11 Ida Ayu Wayan Paramita 65 93 Baik Sekali
12 Ria Okta Lina Purnama Sari 65 93 Baik Sekali
13 I Gusti Made Satria Adiguna 65 93 Baik Sekali
14 Kadek Sri Puspa Yani 65 93 Baik Sekali
15 Gede Adi Maha Putra Sasmitha 60 86 Baik Sekali
16 I Gede Agus Andi Darmagosa 60 86 Baik Sekali
17 Made Vinanda Suparta 60 86 Baik Sekali
18 Ni Made Alit Suartami 60 86 Baik Sekali
19 Gede Andy Prawira 60 86 Baik Sekali
20 I Nyoman Tri Utama Putra 60 86 Baik Sekali
21 Ni Wayan Candra Dewi 60 86 Baik Sekali
22 I Made Dias Pratama 60 86 Baik Sekali
23 Edwin Wibisana 60 86 Baik Sekali
24 I Guti Putu Eka Wirya Adinata 60 86 Baik Sekali
25 Ester Liliana Suwito 60 86 Baik Sekali
26 Ketut Indra Purnama Dewi 60 86 Baik Sekali
27 I Putu Maha Andhika 60 86 Baik Sekali
28 Kadek Mia Komala Sari 60 86 Baik Sekali
29 Nopia Istiawan 60 86 Baik Sekali
30 A.A. Raka Riani Tanaya 60 86 Baik Sekali
31 Putu Ratna Dewi Damayanti 60 86 Baik Sekali
19
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
32 Ni Nyoman Sri Ariestini 60 86 Baik Sekali
33 Putu Cahya Januarta 60 86 Baik Sekali
34 Ketut Dima Surya 60 86 Baik Sekali
35 Kadek Dwi Chandra Sinta Dewi 60 86 Baik Sekali
36 I Gst. Ngr. Ag. Eka Martha Satya 60 86 Baik Sekali
37 Gangga Wiweka Sunu 60 86 Baik Sekali
38 Indra Lesmana 60 86 Baik Sekali
39 Putu Indra Miyari 60 86 Baik Sekali
40 Putu Isma Dewi Prabayanti 60 86 Baik Sekali
41 Sang Ayu Nyoman Risna Dewi 60 86 Baik Sekali
42 Nyoman Shintya Purnama Dewi 55 79 Baik
43 I Nyoman Agus Susanta 55 79 Baik
44 I Made Bayuartha 55 79 Baik
45 I Made Deni Surya Permana 55 79 Baik
46 Putu Dika Wijayatama 55 79 Baik
47 Ida Ayu made Dwi Jayanti 55 79 Baik
48 Ni Kadek Dwi Yanthi Supriyadhi 55 79 Baik
49 I Putu Karma Ismayasa 55 79 Baik
50 Ida Ayu Larashati 55 79 Baik
51 Maulana Khodimul H 55 79 Baik
52 Made Prihandika Ganiswara 55 79 Baik
53 I Gusti Ayu Dwi Anggreni 55 79 Baik
54 Made Ayu Indra Cahyani 55 79 Baik
55 Made Januarta Pratias 55 79 Baik
56 Ida Bagus Gede Krisna Wardana 55 79 Baik
57 Lidya Christina 55 79 Baik
58 Rizki Ashari Syahrial 55 79 Baik
59 I Gede Suma Ardika 55 79 Baik
60 Made Suryanata Prabawa 55 79 Baik
61 Ni Komang Hari Setia Dewi 50 71 Baik
62 Ni Nyoman Sri Budiantari 50 71 Baik
63 Ni Putu Ayu Siska Pebria Dewi 50 71 Baik
64 Ayu Wulandari 50 71 Baik
65 Putu Ayu Yulia Puspa Rani 50 71 Baik
66 Ni Made Dwi Permata Sari 50 71 Baik
67 Putu Emi Wahyudi Adi 50 71 Baik
68 Putu Gerhans Prawira Risnawan 50 71 Baik
69 Gery Dame Malelak 50 71 Baik
70 Ni Wayan Tiana Pertiwi 50 71 Baik
71 A.A. Tri Ayu Widyawathi 45 64 Cukup
72 Ida Ayu Angga Purnama Dewi 45 64 Cukup
73 I Gusti Ngr. Ag. Anom Suryawan 45 64 Cukup
74 Putu Ari Antara 45 64 Cukup
75 I Putu Arya Wibisana 45 64 Cukup
76 I Made Feki Raharjo 45 64 Cukup
77 I Wayan Eka Arta Jaya 45 64 Cukup
20
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
78 Gede Bagus Aryadhana 40 57 Cukup
79 I Gst. Ag. Ngr. Arpan Eka Putra 40 57 Cukup
80 Gede Chrisna Saputra 40 57 Cukup
Jumlah 4505
Bertolak dari apa yang disajikan pada tabel 5, maka dapat
diperoleh data sebagai berikut :
14 siswa memperoleh skor standar 93 dengan kualifikasi baik sekali;
27 siswa memperoleh skor standar 86 dengan kualifikasi baik sekali;
18 siswa memperoleh skor standar 79 dengan kualifikasi baik;
11 siswa memperoleh skor standar 71 dengan kualifikasi baik;
7 siswa memperoleh skor standar 64 dengan kualifikasi cukup;
3 siswa memperoleh skor standar 57 dengan kualifikasi cukup;
Apabila dilihat dari perolehan skor standar terdapat hanya tiga
orang siswa yang mendapatkan skor 57 dan berdasarkan kualifikasi
skor yang diperoleh maka ketiga siswa tersebut termasuk ke dalam
kategori cukup. Namun, jika dilihat dari perolehan skor di antara 80
siswa yang dijadikan subjek penelitian, ketiga siswa ini memperoleh
nilai yang paling kecil dibandingkan yang lainnya. Penyebabnya
bukan karena ketiga siswa tersebut tidak mampu, melainkan
kurangnya kemauan siswa untuk mengerjakan tugas yang diberikan
sehingga siswa mengerjakan tugas tersebut seadanya. Kasus yang
ada di lapangan adalah dua orang siswa jawabannya sama persis dan
satu orang lagi menjawab soal yang diberikan tanpa disertai alasan
atau penafsiran secara rinci.
Setelah memperoleh skor standar siswa, maka skor rata-rata
siswa akan dapat dihitung dengan menggunakan bantuan tabel
berikut ini.
Tabel 6. Data Frekuensi Nilai Siswa Dalam Mengapresiasi Cerpen
Suap Karya Putu Wijaya dengan Pendekatan Resepsi
Sastra oleh Siswa Kelas X SMA Negeri 8 Denpasar Tahun
Pelajaran 2012/2013.
21
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
No X F FX
1. 93 14 1302
2. 86 27 2322
3. 79 18 1422
4. 71 11 781
5. 64 7 448
6. 57 3 171
Jumlah 80 6446
Berdasarkan skor yang dicapai oleh masing-masing siswa seperti
yang terlihat pada tabel 4.3 di atas, maka dapat dihitung nilai rata-
rata siswa dengan menggunakan rumus berikut :
fx
M = --------------
N
Keterangan :
M = mean (rata-rata)
fx = jumlah skor dikalikan frekuensi
N = jumlah sampel (Nurkancana dan Sunartana, 1992 : 174)
Penggunaan rumus di atas akan diperoleh skor rata-rata siswa adalah
:
fx
M = -------------
N
6446
= -------------
80
= 80,57
Hasil perhitungan di atas, berupa bilangan pecahan. Untuk itu,
akan dilakukan pembulatan atas hasil yang diperoleh, rata-rata skor
yang didapat berdasarkan perhitungan di atas adalah 80,57
22
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
dibulatkan menjadi 81. Skor ini sudah dalam bentuk skor standar.
Sesuai dengan pedoman konversi, skor 81 berada pada rentangan 71-
85 dengan kualifikasi baik. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa apresiasi terhadap cerpen Suap karya Putu wijaya dengan
pendekatan resepsi sastra oleh siswa kelas X SMA Negeri 8 Denpasar
tahun pelajaran 2012/2013 dikategorikan baik.
Berdasarkan tabel 6 dan rata-rata skor siswa akan dapat
dihitung pula persentase tingkat apresiasi cerpen Suap karya Putu
Wijaya dengan pendekatan resepsi sastra oleh siswa kelas X SMA
Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2012/2013. Persentase tersebut
disajikan pada tabel di bawah ini.
Tabel 7. Persentase Tingkat Mengapresiasi Cerpen Suap Karya
Putu Wijaya dengan Pendekatan Resepsi Sastra oleh Siswa
Kelas X SMA Negeri 8 Denpasar Tahun Pelajaran 2012/2013.
No Nilai Kualifikasi Frekuensi Persentase
1. 86 - 93 Sangat Baik 41 51,25%
2. 7 - 79 Baik 29 36,25%
3. 57 - 64 Cukup 10 12,5%
Jumlah 80 100%
Sementara berpijak pada persyaratan ketuntasan mata
pelajaran bahasa Indonesia di SMA Negeri 8 Denpasar sebagai tempat
pelaksanaan penelitian ini, memiliki KKM (Kriteria Ketuntasan
Minimal) yang harus dipenuhi siswa untuk dapat dinyatakan tuntas
dengan nilai 70, maka dapat diperoleh data seperti tabel di bawah ini.
Tabel 8. Pengelompokan Mengapresiasi Cerpen Suap Karya Putu
Wijaya oleh Siswa Kelas X SMA Negeri 8 Denpasar dengan
Pendekatan Resepsi Sastra.
No Nilai Predikat Jumlah
Siswa
Persentase Keterangan
1. 86 -
93
Sangat
Baik
41 51,25% Tuntas
23
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
2. 7 - 79 Baik 29 36,25% Tuntas
3. 57 -
64
Cukup 10 12,5% Tidak Tuntas
Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa sebanyak 10
siswa atau 12,5% tidak memenuhi standar nilai ketuntasan yang
ditetapkan oleh sekolah tersebut, maka 10 siswa ini dinyatakan tidak
tuntas. Sebagian besar siswa, yakni 70 orang (87,5%) dinyatakan
tuntas sesuai kriteria ketuntasan yang telah ditetapkan.
VI. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan maka dapat disimpulkan tingkat
kemampuan apresiasi siswa kelas X SMA Negeri 8 Denpasar tahun
pelajaran 2012/2013 dengan pendekatan resepsi sastra tergolong
baik. Hal itu dilihat dari nilai rata-rata yang diperoleh adalah 81. Ini
artinya siswa memiliki pemahaman dan penghayatan yang baik
sehingga dapat memberikan tanggapan atau respons terhadap
cerpen Suap karya Putu Wijaya. Baiknya tingkat mereaksi siswa
terhadap sebuah karya terlihat dari perolehan skor yang didapat
masing-masing siswa, yang mana skor para siswa berada pada
rentangan nilai 57-93 dengan perolehan skor terbanyak 86.
Sementara dilihat dari sisi karyanya, sebagian besar siswa
memberikan tanggapan atau respon yang baik dan positif terhadap
cerpen ini sehingga secara tidak langsung menandakan bahwa
cerpen Suap karya Putu Wijaya diterima oleh siswa. Hal tersebut
dapat dilihat dari penilaian para siswa mengenai cerpen tersebut
melalui tes uraian yang diberikan. Namun, bukan masalah kualitas
karya yang menjadi pembahasan utama pada penelitian ini karena
peneliti lebih menitikberatkan pada kemampuan siswa dalam
24
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
mengapresiasi cerpen Suap karya Putu Wijaya dengan
menggunakan pendekatan resepsi sastra.
DAFTAR RUJUKAN
Aminuddin. 1991. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung : CV.
Sinar Baru.
Arifin, E. Zaenal. 2003. Dasar-dasar Penulisan Karangan Ilmiah;
Lengkap dengan Kaidah Bahasa Indonesia yang Benar untuk
Perguruan Tinggi. Jakarta : Grasindo.
Chulsum, Umi dan Windy Novia. 2006. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Surabaya : Kashiko.
Eagleton, Terry. 2007. Teori Sastra: Sebuah Pengantar Komprehensif.
Yogyakarta: Jalasutra.
Endraswara, Suwardi. 2008. Metodelogi Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Media Pressindo.
Endraswara, Suwardi. 200. Metode Penelitian Psikologi Sastra.
Yogyakarta: Media Pressindo.
Hadi, Sutrisno. 1983. Metodelogi Research 1. Yogyakarta: Fakultas
Psikologi Universitas Gajah Mada.
Junus, Umar. 1985. Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta:
Gramedia.
Luxemburg, Jan Van., dkk. 1991. Tentang Sastra. Jakarta: Intermasa
Natawidjaja, P. suparman. 1982. Apresiasi & Sastra Budaya. Jakarta:
Intermasa.
Netra, Ida Bagus. 1976. Metode Penelitian. Singaraja: Biro Penelitian
dan Penerbitan Universitas Udayana.
Nurkancana, Wayan dan Sunartana. 1992. Evaluasi Hasil belajar.
Surabaya: Usaha Nasional.
Nurgiyantoro, Burhan. 2007. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta Gajah
Mada University Press.
Pradopo, Rahmat Djoko. 2007. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik
dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
25
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Ratna, Nyoman Kutha. 2006. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian
Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Saryono, Djoko. 2009. Dasar Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Elmatera.
Sayuti, Suminto A. 2002. Berkenalan dengan Prosa Fiksi. Yogyakarta:
Gama Media.
Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta : Grasindo.
Suharsimi Arikunto. 1993. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan
Praktik. Jakarta: Bumi Aksara.
Suprapto. 2009. Pendidikan Antikorupsi yang Realistis. Dalam Jawa
Pos. 29 Mei 2009. Surabaya.
Suroso., dkk. 2009. Kritik Sastra: Teori, Metodelogi, dan Aplikasi.
Yogyakarta: Elmatera.
Wijaya, Putu. 2008. Suap. Dalam Jawa Pos. 21 September 2008.
Wiyatmi. 2006. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Pustaka.
www.Tokohindonesia.com Putu Wijaya, diakses hari Senin, 23
Februari 2009.
BIMBINGAN KONSELING HIV&AIDS
Oleh :
A. A. Ngurah Adhiputra
Dekan FIP IKIP PGRI Bali
ABSTRACT
Counsellor or guidance teacher will be very much strategy
in help the community and government to intimidate explode
26
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
epidemic HIV/AIDS. In the future, counselling services will not
only be limited to the order of school, but on the broader
society, where the school is only one part of social order. Either
of training are counsellor or guidance teacher in the school and
the student as well as mentors to understand comprehensive
and heighten on base the knowledge HIV/AIDS. To follow up an
people HIV/AIDS (Odha), to action counselling of the people
infection HIV positive. Service counselling HIV/AIDS is service to
client (Odha) of a problem solving will not be stress or mental
disorder, but the discrimination community-social and advice to
continuous hospitalization a number of CD4 in zone for the
best. The become not yet all as government this know is will be
service peer-counselling a people HIV positive, and individual
counselling a people AIDS.
Key Words: Peer Counselling, Individual Counselling, and
Advance Directives.
I. LATAR BELAKANG
Pada masa yang akan datang, tenaga konselor dan praksis
bimbingan dan konseling tidak hanya akan terbatas pada
tatanan sekolah, melainkan pada tatanan masyarakat yang
lebih luas, dimana sekolah hanya merupakan salah satu bagian
dari tatanan masyarakat tersebut. Menghadapi perkembangan
seperti itu, Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP PGRI Bali harus secara
antisipatif dan proaktif membenahi tatanan kinerja para
lulusannya, dengan menyiapkan perangkat program yang bukan
hanya sekedar memenuhi kebutuhan dan ekspektasi lingkungan
masa kini, melainkan kebutuhan dan ekspektasi lingkungan
pada masa yang akan datang, bahkan menyodorkan bidang-
bidang layanan baru kepada masyarakat. Dengan kata lain,
Program Studi Bimbingan dan Konseling FIP IKIP PGRI Bali
bukan hanya memenuhi kebutuhan masyarakat, melainkan
menciptakan kebutuhan masyarakat akan layanan baru tentang
bimbingan dan konseling. Dalam menghadapi tantangan begitu
27
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
pesatnya penyebaran infeksi HIV&AIDS dimasyarakat yang
sekarang jumlahnya secara signifikan terus mengalami
peningkatan yang cukup tinggi (epidemi HIV/AIDS adalah
penyakit yang terlihat dipermukaan begitu kecil, ibaratkan
puncak gunung es, tetapi kenyataannya akan mengancam
ribuan masyarakat akan terinfeksi HIV), maka diperlukan suatu
langkah strategis layanan konseling HIV& AIDS.
Pemerintah sudah melaksanakan langkah-langkah
pencegahan (preventive) yang optimal dalam memerangi
epidemi HIV& AIDS, melalui Komisi Penanggulangan AIDS (KPA)
baik di tingkat Pusat, Provinsi, Kabupaten dan Kota, seperti:
mensosialisasi bahaya penyebaran virus HIV& AIDS kepada
masyarakat luas dan para siswa di sekolah baik di tingkat SMP,
SMA, dan SMK; membentuk kelompok Tutor teman sebaya di
tingkat sekolah; membentuk Kelompok Siswa Peduli AIDS
(KSPA) dan Kelompok Mahasiswa Peduli AIDS (KMPA);
Pembentukan Pusat Informasi Konseling (PIK) Siswa dan
Mahasiswa melalui program penyiapan kehidupan berkeluarga
bagi remaja (PKBR) juga perlu dibentuk di setiap sekolah dan
kampus yang bekerjasama dengan pemerintah BKKBN Provinsi
dan kepala Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan
Perempuan di tingkat Kabupaten dan Kota guna
mempersiapkan generasi berencana dan menjauhkan diri dari
narkoba dan infeksi HIV&AIDS, dan juga memberikan pelayanan
konseling & Tes sukarela (VCT), pelayanan, dukungan &
perawatan (CST), layanan infeksi menular seksual (IMS),
layanan program pencegahan Ibu ke Anak (PMTCT), layanan
alat suntik steril (LASS), layanan program terapi rumatan
Matadon (PTRM).
28
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Berdasarkan hal tersebut di atas, perlu adanya dukungan
dari pihak pemerintah dan pihak-pihak yang terkait secara
bersama-sama membentuk kelompok-kelompok pendamping
untuk menekan angka peningkatan orang yang terinfeksi
HIV&AIDS. Salah satunya adalah melatih para guru pembimbing
atau konselor di sekolah dan juga melatih para mahasiswa
calon konselor yang dibekali tentang pemahaman secara
komprehensif dan mendalam tentang pengetahuan dasar
HIV&AIDS. Hal ini bisa dilakukan dengan mencetak buku
bimbingan konseling HIV&AIDS; melakukan seminar dan
lokakarya (Semlok) atau melakukan workshop dengan
pembicara dari para ahli di bidang kesehatan, psikolog, ketua
KPA, LSM, dan konselor. Dengan demikian hal yang belum
tersentuh oleh pemerintah selama ini adalah memberikan
pelayanan konseling kelompok teman sebaya (Peer Counseling)
bagi orang dengan HIV positif, dan Konseling Individual bagi
orang yang menderita AIDS. Dibawah ini dijelaskan secara
singkat asal muasal datangnya virus HIV di dunia dan jumlah
penderita yang terinfeksi HIV&AIDS di seluruh Dunia dan juga
perkembangan orang yang terinfeksi HIV positif di Indonesia.
Epidemi HIV sudah berlangsung selama 25 tahun, banyak
sekali informasi yang tersedia bagi pasien dan tenaga medis
mengenai HIV dan AIDS. Dengan sekian banyak situs Web dan
buku teks serta tumpukan pamflet yang tersedia, orang akan
bertanya apakah diperlukan sebuah buku lain mengenai
layanan bimbingan konseling HIV&AIDS bagi mahasiswa calon
konselor. Saya berpendapat sebagai praktisi di bidang
pendidikan dan sebagai konselor sangat dibutuhkan sebuah
buku atau informasi mengenai pengetahuan dasar tentang
29
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
HIV&AIDS bagi para mahasiswa jurusan bimbingan dan
konseling serta bagi orang yang peduli terhadap hal tersebut
untuk memberikan pelayanan profesional tentang layanan
konseling HIV&AIDS.
HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus. Ini
adalah virus yang menyebabkan AIDS (Acquired Immunodeficiency
Syndrome). HIV ditularkan dari orang ke orang lewat hubungan
seksual, terpapar darah, melahirkan anak, atau menyusui (Gallant,
MD., 2010: 16).
Hasil riset sekarang menunjukkan bahwa HIV-1*, jenis HIV yang
paling umum di seluruh dunia. Pertama kali menginveksi manusia di
sub-Sahara Afrika suatu saat dalam paruh pertama dari abad kedua
puluh. Virus itu ditularkan dari simpanse, mungkin ketika manusia
terkena darah simpanse sewaktu berburu atau memotong-motong
dagingnya. HIV mungkin tetap berada di Afrika selama bertahun
tahun, salah satu sebabnya adalah transportasi di dan dari Afrika
belum lancar. Ini terbukti bahwa manusia yang terinfeksi HIV di benua
Afrika sudah ada sejak tahun 1959. Virus ini akhirnya tersebar keluar
Afrika, mungkin memasuki benua Amerika Serikat (USA) antara
pertengahan dan akhir tahun 1970-an. Kasus luar biasa dari infeksi
langka dan kanker mulai dideteksi di antara kaum laki-laki
homoseksual dan biseksual antara tahun 1979 dan 1981, ketika
laporan ini pertama kali muncul dalam journal kedokteran, bukti yang
jelas bahwa ada epidemi yang baru muncul. HIV ditemukan tahun
1983, sehingga cara pengujian darah dan akhirnya pengobatan dapat
ditemukan.
Penyakit ini pada awalnya dilaporkan menjangkiti para laki-laki
homoseksual dan biseksual, tetapi kelompok resiko kemudian
meluas menyertakan pengguna obat terlarang yang disuntikkan,
30
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
penderita hemofili, dan orang Haiti. Akhirnya terkuak bahwa tingkah
laku beresiko lebih penting dari pada kelompok resiko. Orang
dapat terinfeksi lewat hubungan seksual yang tidak dilindungi,
terpapar darah yang terinfeksi, atau lewat persalinan atau menyusui.
Sekarang ini diperkirakan bahwa lebih dari 40 juta anak-anak dan
orang dewasa terinfeksi HIV di seluruh dunia (Gallant, MD., 2010: 19).
Sedangkan di Negara Indonesia diperkirakan bahwa kasus AIDS
berjumlah 26.483 jiwa dan 5.056 diantaranya telah meninggal
(laporan Ditjen PPM & PL Departemen Kesehatan Republik Indonesia
pada tanggal 13 Juli 2011). Kasus tersebut sebagian besar terdapat di
DKI Jakarta (3997), Papua (3938), Jawa Barat (3809), Jawa Timur
(3775), dan Bali (1747). Dari kasus tersebut 72,3 % adalah laki-laki
dan 27,4 % perempuan. Sehingga tidak mengherankan jika kasus
AIDS terbesar menular melalui hubungan seksual (54,8 %) dan
menimpa kelompok usia produktif (usia 20-29 tahun sebanyak 46,4
%, dan 30-39 tahun sebanyak 31,5 %). Permasalahan menjadi
tambah rumit karena meluasnya kegiatan prostitusi oleh pekerja seks
komersial (PSK) yang sulit dipantau dan dikendalikan. Kegiatan
prostitusi telah merambah sampai di pedesaan dengan adanya kafe
remang-remang yang menjamur. Resiko penularan tidak hanya
terjadi antara PSK dan pelanggannya, tetapi pelanggan dapat
menularkan infeksi kepada pasangan seksualnya yang lain termasuk
istri mereka dirumah. Apabila istri mereka sedang hamil maka infeksi
tersebut dapat menular kepada bayi yang dilahirkan.
Penderita HIV&AIDS di Indonesia pertama kali ditemukan di Bali
tahun 1987 seorang wisatawan berusia 44 tahun asal Belanda
meninggal di rumah sakit Sanglah Provinsi Bali. Dimana rumah sakit
Sanglah adalah rumah sakit pertama di Indonesia yang merawat
penderita HIV&AIDS. Hingga akhir tahun 1987, ada enam orang yang
31
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
didiagnosis HIV positif, dua diantara mereka telah mengidap AIDS.
Sejak tahun 1987, orang Indonesia yang pertama meninggal karena
AIDS dilaporkan di Bali pada bulan Juni 1988. Selain Bali, setidaknya
ada enam provinsi yang menjadi sumber perkembangan epidemi
HIV&AIDS. Ke-enam provinsi tersebut adalah Bali, DKI Jakarta, Jawa
Barat, Jawa Timur, Papua, dan Riau. Selain itu, kecenderungan serupa
juga terjadi di daerah lain. Seiring dengan perjalanan waktu, Bali kini
meraih peringkat ke dua tingkat nasional setelah Papua dalam hal
jumlah penderita HIV&AIDS di Indonesia. Bali sebagai daerah
pariwisata terkenal di Dunia, sejak lama telah dikhawatirkan akan
menerima dampak dari pergaulan internasional tersebut. Selain kasus
kriminal berjaringan internasional seperti narkoba dan pencucian
uang, daerah ini juga rentan berbagai kasus penyakit menular yang
dibawa masyarakat dunia. Salah satunya HIV&AIDS yang kasusnya
memang pertama kali ditemukan di Bali. Dan kini, fenomena gunung
es dalam kasus ini pun menjadi kenyataan, hanya dalam rentang
waktu seminggu, lima pasien HIV&AIDS yang dirawat di RS Sanglah
meninggal.
Dalam waktu tiga bulan, penambahan penderita HIV&AIDS
baru di Bali mencapai 695 orang. Berdasarkan data Dinas
Kesehatan Provinsi Bali, hingga akhir tahun 2011 penderita
HIV&AIDS di Bali tercatat 5.222 orang. Namun data Maret 2012
menunjukkan jumlahnya 5.917 orang atau terjadi penambahan
sekitar 695 orang terinfeksi positif HIV&AIDS saat ini (terjadi
peningkatan sekitar 20%). Penderita paling banyak di usia
produktif yaitu rentang umur 20-29 tahun sebanyak 2.456
orang (41,51%) dan rentang usia 30-39 tahun sebanyak 2.099
orang (33,47%). Faktor resiko tinggi masih dipegang oleh
hubungan heteroseksual sebanyak 73,77%, menyusul faktor
32
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
resiko IDU atau jarum suntik narkoba sebanyak 13,54%. Kasus
HIV&AIDS menyerang secara diam-diam di tubuh manusia.
Namun, jika mengalami tes dini, virus ini bisa terdeteksi pada
minggu ke-8 hingga ke-12 setelah virus masuk ke tubuh
manusia disebut periode jendela. Selama periode 5-10 tahun,
orang yang terinfeksi terlihat sehat atau disebut masa
Asimtomatik, sebelum akhirnya menunjukkan gejala setelah
periode tersebut. Ini membuktikan bahwa penyakit yang
mematikan dan nyaris fatal secara universal, tidak dapat
diobati atau belum dapat disembuhkan telah menjadi penyakit
yang sangat mengkuatirkan masyarakat dunia. Khusus di Bali,
biasanya kasus HIV&AIDS ditemukan pada pada periode
Asimtomatik. Jarang yang tertangkap saat masih dalam periode
jendela.
Jadi sebagai seorang Konselor harus dapat menyadarkan klien
(Odha) dalam memberikan layanan konseling bahwa untuk
memastikan Anda tidak pernah menulari siapa-pun, termasuk
pasangan anda yang negatif. Infeksi ini berhenti pada diri saya
adalah kata-kata yang seharusnya menjadi pegangan klien (Odha).
Tentu saja, orang dewasa yang HIV negatif harus waspada mengenai
risikonya dan harus melindungi diri sendiri juga. Sayangnya,
pendekatan itu tidak dicermati oleh kebanyakan orang. Epidemi tetap
terus tumbuh. Konselor memiliki peran yang sangat penting
mengubah pesan pencegahan untuk memfokuskan pada orang yang
menderita HIV positif orang yang tahu lebih baik dari pada siap-pun
betapa penting mencegah penularan dan mereka harus memikul
tanggungjawab paling besar untuk tidak menyebarkan infeksi HIV ini
kepada siapa-pun.
33
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Merupakan kewajiban moral pasangan yang positif HIV untuk
tidak bekerja sama dengan tingkah laku merusak diri seperti itu,
untuk memastikan bahwa HIV mereka tidak pernah menyebar.
Setiap orang bertanggungjawab atas dirinya sendiri bukan
falsafah yang memajukan dunia yang kita inginkan. Kita hidup
bermasyarakat dan harus saling mengawasi.
Kewajiban seorang Konselor untuk terus menerus
memberikan langkah yang aman agar terhindar dari infeksi
HIV&AIDS adalah sebagai berikut: (1) setia pada pasangan, (2)
tidak menggunakan jarum suntik secara bergantian atau
narkoba, (3) menggunakan kondom (kondom pria dan/atau
kondom wanita) secara konsisten dan benar, bila anda
melakukan hubungan seksual yang berisiko, dan (4) membatasi
jumlah pasangan seksual atau berpantang seks. Sebagai
tambahan yang lain untuk menghindari infeksi, yaitu: bila Anda
seorang pengguna narkoba suntikan, selalu gunakan jarum
suntik atau semprit baru yang sekali pakai atau jarum yang
secara tepat disterilkan sebelum digunakan kembali. Pastikan
bahwa darah dan produk darah telah melalui tes HIV dan
standar keamanan darah dilaksanakan.
II. PEMBAHASAN
1. Perbedaan antara HIV dan AIDS
Setiap orang menderita AIDS pasti terinfeksi HIV, namun tidak
semua orang dengan infeksi HIV menderita AIDS. AIDS adalah
singkatan dari Acquired Immunodeficiency Syndrome (sindrom
hilangnya kekebelan tubuh yang diperoleh). Disebut acquired
(diperoleh) karena Anda hanya menderita kalau terinfeksi HIV dari
orang lain yang sudah terinfeksi. Immunodeficiency berarti
34
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
menyebabkan rusaknya sistem kekebalan tubuh. ini disebut
Syndrome karena ditahun-tahun sebelum HIV ditemukan dan
dikenali sebagai penyebab AIDS, kita mengenali sejumlah gejala dan
komplikasi, termasuk infeksi dan kanker yang terjadi pada orang yang
mempunyai faktor-faktor risiko umum.
Di tahun 1993, Centers for Disease Control and Prevention (CDC)
memperluas difinisi AIDS dengan menyertakan orang dengan jumlah
CD4 kurang dari 200. Hindari istilah AIDS yang sudah berkembang
sepenuhnya. Ini istilah kuno, tidak perlu khawatir dan tidak berarti
apapun kecuali AIDS. Sebenarnya, kata AIDS juga tidak bermanfaat.
Bila Anda HIV positif, penyakit yang anda derita adalah infeksi HIV
atau penyakit HIV. AIDS hanya merujuk pada tahap yang lebih lanjut
dari penyakit itu. Pengobatan dapat mencegah agar infeksi HIV tidak
berubah menjadi AIDS, dan dapat memulihkan kesehatan orang yang
sudah menderita AIDS. Dalam pandangan organisasi dan ilmuwan
yang mengikuti perkembangan epidemic, setelah Anda menderita
AIDS, anda akan selalu menderita AIDS. Namun hal yang lebih
penting bagi perawat kesehatan Anda dan seharusnya lebih penting
bagi Anda adalah bagaimana keadaan anda sekarang.
Tahap pertama dari infeksi HIV, terjadi beberapa minggu setelah
penularan, disebut infeksi primer atau Acute Retroviral Syndrome
(ARS). Sakitnya mungkin ringan dan singkat atau bisa juga cukup
berat sehingga penderita harus dirawat di rumah sakit. Biasanya,
gejala-gejala serupa dengan penyakit flu atau mononucleosis. Gejala
itu termasuk demam, nyeri otot, lelah, sakit tenggorokan, kelenjar
betah bening bengkak atau ruam. Kadang-kadang orang yang
menderita ARS kekebalan tubuhnya tertekan secara serius dan
menderita infeksi oportunistik yang normalnya hanya terjadi pada
35
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
orang yang sudah lama menderita penyakit HIV, namun keadaan ini
jarang terjadi.
ARS akan mereda dengan sendirinya dan diikuti dengan tahap
laten (tersembunyi) biasanya disebut infeksi HIV Asimptomatik.
Penderita pada umumnya merasa sehat selama tahap ini, walaupun
kelenjar betah beningnya mungkin membesar (limfadenopati), dan
beberapa kondisi umum dapat terjadi lebih sering atau lebih berat,
termasuk infeksi ragi di vagina, herpes, atau sinanaga.
Beberapa orang mengalami gejala-gejala infeksi HIV sebelum
benar-benar mengalami AIDS. Tahap ini disebut sebagai infeksi HIV
simptomatik (sebelumnya disebut AIDS related complex, atau ARC).
Gejala-gejalanya termasuk penurunan berat badan, kandidiasis
(infeksi ragi dalam mulut), diare yang tak kunjung sembuh,
berkeringat dimalam hari, dan keletihan.
Selama ARS, tes HIV standar (serologi) sering negatif atau tidak
pasti, tetapi jumlah virus pasti amat tinggi (mencapai ratusan ribu
atau bahkan juta). Ke dua tes harus diminta kalau pasien diduga ARS.
Bila hasil serologi negatif dan jumlah virus tidak terdikteksi, maka HIV
bukan penyebab gejala-gejala tersebut.
Penting untuk menegakkan diagnosis ARS karena beberapa
alasan. Pertama, orang ditahap ini mempunyai jumlah HIV yang
amat besar dalam darah, air mani, dan cairan vagina mereka. Dengan
mudah mereka dapat menyebar HIV kepada orang lain, bila mereka
tidak tahu bahwa mereka sudah terinfeksi. Kedua, ada kemungkinan
terinfeksi dengan HIV yang resisten terhadap obat (virus yang tidak
tertekan oleh satu atau beberapa obat). Waktu yang paling baik
untuk menguji resistensi yang ditularkan adalah selama ARS. Hasil tes
resistensi menyatakan virus anda resisten terhadap obat yang mana.
Tidak semua virus terpengaruh oleh semua pengobatan. Tes
36
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
resistensi membantu tenaga medis Anda memilih obat terbaik untuk
mengobati virus anda (apakah anda menjadi kebal bila pengobatan
anda gagal dan untuk menentukan obat mana yang tidak dapat
digunakan lagi dan obat mana yang digunakan selanjutnya).
Anda menderita AIDS bila jumlah CD4 Anda turun di bawah 200
(anda mengalami gejala atau tidak) atau ketika kondisi indikator AIDS
telah didiagnosis. Pada umumnya jumlah CD4 mencapai 200 sebelum
pasiennya mengalami komplikasi, jadi jumlah CD4 yang rendah
adalah alasan paling umum untuk didiagnosis AIDS. Kalau jumlah CD4
turun lagi, kemunkinan komplikasi dalam daftar timbul (seorang
dengan jumlah CD4 di bawah 50 sebagai mengalami infeksi HIV
tingkat lanjut).
Hanya ada sedikit cara HIV dapat menyebar. Sebagai seorang
Konselor harus secara terus menerus memberikan layanan bimbingan
konseling bagi klien (orang yang belum terinfeksi) untuk tindakan
preventif (khusus bagi kalangan siswa di tingkat SMP, SMA/SMK
diperlukan pelatihan Tutor Sebaya KSPAN), yaitu:
a. Penularan Seksual. Hal ini terjadi lewat hubungan seksual di
vagina atau di anus. HIV dapat menyebar lewat seks, cairan
vagina, atau darah dari orang yang sudah terinfeksi harus
memasuki badan orang yang belum terinfeksi.
b. Terpapar Darah. HIV dapat tertular lewat transfusi darah,
walaupun risiko ini praktis dihilangkan di tempat-tempat yang
menguji darah donor. Jauh lebih umum, penularanya lewat
penggunaan obat terlarang yang disuntikan, ketika pengguna
yang negatif menggunakan jarum suntik bersama-sama
dengan pengguna yang positif. Tenaga medis ada yang
tertular kalau tertusuk jarum yang mengandung darah yang
37
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
terinfeksi atau ketika mata, hidung, atau luka yang terbuka
terpecik darah atau cairan badan dari pasien yang positif HIV.
c. Melahirkan Anak dan Menyusui. Perempuan yang
terinfensi HIV dapat menularkan HIV kepada bayinya saat
melahirkan anak (biasanya saat melahirkan atau beberapa
saat sebelumnya) atau dengan menyusui. Bayi tidak terinfeksi
saat dikandung, jadi laki-laki dengan HIV positif hanya dapat
menulari bayinya secara tidak langsung dengan menulari
ibunya.
HIV tidak menyebar, lewat kontak dengan air ludah, air seni,
keringat atau feses, dan tidak seperti yang dipercaya oleh
masyarakat luas, penyakit ini tidak ditularkan oleh nyamuk, kulit utuh
yang terpapar cairan badan, berpegangan tangan, berciuman,
berpelukan, menggunakan gelas minum atau peralatan makan
bersama-sama, saling melakukan mastrubasi, atau mempunyai
pikiran yang jorok.
Seberapa cepat HIV bisa berkembang menjadi AIDS, lamanya
dapat bervariasi dari satu individu dengan individu yang lain. Dengan
gaya hidup sehat, jarak waktu antara infeksi HIV dan menjadi sakit
karena AIDS dapat berkisar antara 10-15 tahun, kadang-kadang
bahkan lebih lama. Terapi antiretroviral dapat memperlambat
perkembangan AIDS dengan menurunkan jumlah virus (viral load)
dalam tubuh yang terinfeksi.

2. Metode dan Pendekatan
Dalam merancang model konseling HIV&AIDS digunakan
metode dan pendekatan konseling teman sebaya (peer counselling);
konseling individual; dan pengarahan awal (advance directives).
Untuk ketiga aspek tersebut akan dijelaskan pada bagian berikut.
38
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
3. Gejala-gejala Umum yang ditimbulkan oleh HIV
Sebagian besar orang yang terinfeksi HIV tidak menyadarinya
karena tidak ada gejala yang tampak segera telah terjadi infeksi awal.
Beberapa orang mengalami gangguan kelenjar yang menimbulkan
efek seperti demam (disertai panas tinggi, gatal-gatal, nyeri sendi,
dan pembengkakan pada limpa), yang dapat terjadi pada saat
seroconversion. Seroconversion adalah pembentukan antibodi akibat
HIV yang biasanya terjadi antara 6 minggu dan 3 bulan setelah
terjadinya infeksi.
Kendatipun infeksi HIV tidak disertai gejala awal, seseorang yang
terinfeksi HIV sangat mudah menularkan virus tersebut kepada orang
lain. Satu-satunya cara untuk menentukan apakah HIV ada di dalam
tubuh seseorang adalah melalui tes HIV. Infeksi HIV menyebabkan
penurunan dan melemahnya sistem kekebalan tubuh. Hal ini
menyebabkan tubuh renta terhadap infeksi penyakit dan dapat
menyebabkan berkembangnya AIDS.
Istilah AIDS dipergunakan untuk tahap-tahap infeksi HIV yang
paling lanjut. Sebagian besar orang yang terkena HIV, bila tidak
mendapat pengobatan, akan menunjukkan tanda-tanda AIDS dalam
waktu 8-10 tahun. AIDS diidentifikasi berdasarkan beberapa infeksi
tertentu, yang dikelompokkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia
(World Health Organizatioan), sebagai berikut:
a. Tahap I penyakit HIV tidak menunjukkan gejala apapun dan
tidak dikatagorikan sebagai AIDS.
b. Tahap II (meliputi manifestasi mucocutaneous minor dan
infeksi-infeksi saluran pernafasan bagian atas yang tak
sembuh-sembuh)
39
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
c. Tahap III (meliputi diare kronis yang tidak jelas penyebabnya
yang berlangsung lebih dari satu bulan, infeksi bakteri yang
parah, dan TBC paru-paru), atau
d. Tahap IV (meliputi Toksoplasmosis pada otak, Kandidiasis
pada saluran tenggorokan (oesophagus), saluran pernafasan
(trachea), batang saluran paru-paru (bronchi) atau paru-paru
dan Sarkoma Kaposi). Penyakit HIV digunakan sebagai
indikator AIDS.
Organisme yang paling umum menyebabkan masalah mulut
dan tenggorokan adalah Kandidiasis Orofaring, populasi Candida
(ragi atau jamur) yang menjadi banyak sekali. Kandidiasis ini mudah
didiagnosis menggunakan cermin dan senter. Anda akan melihat
bercak-bercak seperti gumpalan susu berwarna kuning keputihan,
terutama dilangit-langit dan di kedua sisi mulut, bagian belakang
tenggorokan, dan gusi. Bercak-bercak ini dengan mudah dapat
dibuang dengan dikerok. Jangan salah mengenali lapisan berwarna
putih pada lidah sebagai kandidiasis. Lidah biasanya bagian terakhir
dari mulut yang terinfeksi, dan lapisan putih pada lidah, tanpa bukti
adanya kandidiasis ditempat lain, biasanya ....... lapisan putih pada
lidah.
Kandidiasis dapat juga salah dikenali sebagai oral hairy
leukoplakia (OHL), kondisi yang disebabkan oleh virus Epstein-Barr
yang terlihat seperti garis-garis putih memanjang di kedua sisi lidah.
Tidak seperti kandidiasis, garis putih itu tidak dapat dibuang dengan
dikerok. Selain kandidiasis, Candida dapat menyebabkan masalah
mulut yang lain erythematous candidiasis (langit-langit berwarna
merah yang kadang-kadang sakit) dan angular cheilitis (sudut bibir
pecah-pecah).
40
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Tukak yang terasa sakit di mulut dapat disebabkan oleh virus,
namun lebih sering adalah apthous ulcer, yang pada dasarnya berarti
bahwa kita tidak tahu apa yang menyebabkannya. Diagnosis dari
kondisi ini pada umumnya didasarkan pada apa yang terlihat saja; tes
khusus biasanya tidak diperlukan.
Kandidiasis dan OHL (Oral Hairy Leukoplakia) adalah kondisi
yang cukup ringan, tetapi keduanya menunjukkan bahwa ada yang
tidak beres dengan sistem kekebalan tubuh Anda dan bahwa Anda
seharusnya mendapat ART. Kandidiasis diobatai dengan obat anti
jamur. Obat-obat seperti flu-conazole, yang diminum dan diserap
kedalam aliran darah, efektif, tetapi penggunaan berulang-ulang
dapat menyebabkan infeksi oleh jamur yang resisten terhadap obat.
Lebih baik menggunakan obat yang hanya mengobati permukaan,
seperti clotrimazole (Mycelex), troches (obat yang dikumur) atau
kumur-kumur dengan cairan anti jamur seperti nystatin. Karena
senyawa ini tidak merugikan, kita biasanya tidak mengobati OHL
kecuali dngan ART.
Sebelum kita meninggalkan mulut, jangan lupa gigi dan gusi
Anda. Orang dengan jumlah CD4 rendah berisiko terkena infeksi
mulut yang serius. Menggosok gigi, membersihkan selah gigi
menggunakan benang, dan memeriksakan diri ke dokter gigi serta
ahli higienis mulut secara teratur penting untuk menjaga gigi dan gusi
Anda dalam keadaan baik.
Pada orang dengan HIV positif, mual paling sering disebabkan
oleh pengobatan. Zidovudine dan beberapa penghambat protease
adalah penyebab yang paling umum. Bila mual Anda dimulai sesaat
setelah anda mulai minum obat baru, maka penyebabnya sudah jelas.
Dalam beberapa kasus, intensitas mual mungkin berkurang dengan
berlalunya waktu atau dengan menelan obat bersama dengan
41
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
makanan. Dokter Anda dapat juga meresepkan obat untuk mengatasi
rasa mual, namun bila masalah itu tidak hilang, anda mungkin harus
menganti obat. Bila Anda merasa mual baru-baru ini belum
mengubah atau menambahkan obat, maka dokter perlu mencari lebih
jauh penyebabnya.
Diare dapat juga disebabkan oleh obat, terutama beberapa PI.
Cara yang paling baik untuk mengobati diare yang berkaitan dengan
obat adalah dengan suplemen serat setiap hari, seperti psyllium.
Jangan menjadi khawatir dengan kata Laksatif di botol. Suplemen
serat menambah volume kotoran, keadaan ini baik bagi anda yang
menderita diare atau sembelit. Bila obat itu tidak berhasil mengatasi
masalah, mintalah dokter Anda untuk meresepkan obat atau beli obat
bebas anti diare.
Banyak infeksi yang menyebabkan diare, termasuk virus, bakteri,
dan parasit umum. Beberapa organisme ini, seperti Crytosporidium,
Microsporidia, Isospora, dan Salmonella adalah oportunistik
microorganisme ini muncul atau menjadi lebih ganas karena
kekebalan tubuh tertekan. Infeksi HIV tingkat lanjut dapat juga
menyebabkan diare. Bila Anda mengalami diare berkepanjangan yang
tidak disebabkan oleh pengobatan, Anda harus dievaluasi, pertama
dengan memeriksa tinja, dan bila hasilnya negative, dengan
peneropongan (pipa fleksibel dengan kamera), baik dari atas
(endoskopi), atau dari bawah (kolonoskopi), atau keduanya.
Diare yang disebabkan oleh virus atau keracunan makanan
biasanya menjadi lebih baik dengan sendirinya setelah beberapa hari,
tetapi periksalah diri ketenaga medis bila diare anda tidak kunjung
mereda, atau bila anda menderita demam, sakit perut, darah keluar
bersama dengan kotoran, atau pusing. Kalau Anda menderita diare,
42
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
kosumsi makanan yang lunak tanpa produk olahan susu, dan minum
air terus menerus.
Menderita batuk atau nafas pendek. Kemungkinan penyebab
batuk atau nafas pendek tergantung pada jumlah CD4 Anda. Bila
jumlahnya jauh di atas 200, maka daftarnya akan kira-kira sama
dengan yang akan dialami oleh orang dengan HIV negative. Batuk
dapat disebabkan oleh selesma, bronchitis, pneumonia, asma,
merokok, penggunaan obat tertentu, atau asam lambung mengalir
balik ke atas dalam kerongkongan (refluks esofagus). Napas pendek
dapat karena asma, pneumonia, anemia, asidosis (menumpuknya
asam dalam darah anda). Jenis batuk yang anda derita bersama
dengan selesma atau bronchitis biasanya tidak memerlukan
perhatian medis.
Orang dengan HIV positif yang sakit selesma dan flu sama
seperti semua orang lain. Gejala-gejala dan lama sakit sama, dan
resiko mereka mengalami konflikasi tidak lebih besar. Hal itu karena
virus yang menyebabkan selesma dan flu dikendalikan oleh system
kekebalan tubuh humoral (ditangani dengan anti bodi), bukan sistem
kekebalan tubuh seluler yang menggunakan sel-sel CD4 dan dirusak
oleh HIV. Karena alasan itu, Anda tidak perlu melakukan apapun yang
khusus bila Anda sakit selesma atau flu istirahat saja dan minum
banyak cairan. Obat selesma, yang dijual bebas, aman dan tidak
berinteraksi dengan obat HIV. Anda tidak perlu antibiotic hanya
karena anda positif. Sakit anda disebabkan oleh virus; antibiotic
hanya membunuh bakteri.
Berat badan turun. Selama masa kelam sebelum ada ART,
turunnya berat badan hampir universal ketika AIDS menjadi semakin
parah, dan banyak pasien menjadi kurus sekali pada waktu mereka
meninggal. Turunnya berat badan menjadi lebih jarang terjadi
43
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
sekarang karena kita mempunyai terapi yang efektif untuk infeksi
HIV. Dibawah ini tindakan bimbingan yang diperlukan, bila ada
beberapa penyebab turunnya berat badan yang dapat diobati, yaitu:
a. Infeksi HIV yang tidak diobati. Bila berat badan Anda turun karena
infeksi HIV, anda perlu minum obat ART. Kemungkinan turunya
berat badan lebih besar terjadi bila jumlah virus anda tinggi.
b. Hipogonadisme. Laki-laki denga kadar testosterone rendah dapat
turun berat badannya. Diagnosis dibuat dengan mengukur kadar
testoteron dalam darah. Kondisi ini diobati dengan gel, plester,
atau suntikan testoteron.
c. Depresi. Ini adalah penyebab umum turunya berat badan, karena
orang depresi sering kehilangan selera makannya. Orang yang
mengalami depresi merasa sedih, kosong, hampa, tanpa harapan,
dan terisolasi. Aktivitas dan orang yang mereka pernah senangi
tidak lagi memberikan kegembiraan. Mereka mungkin kehilangan
minat dalam seks, bekerja, hobi, teman, dan keluarga. Mereka
mungkin kehilangan selera makan aau makan berlebihan, mereka
mungkin menggunakan narkoba, minum alkohol dalam usaha
untuk merasa lebih baik. Hal tersebut di atas, Anda segera
berdiskusi dengan tenaga medis karena depresi aalah kondisi
yang berbahaya tetapi dapat diobati (cara yang baik untuk
mengobati depresi adalah minum obat antidepresan-obat yang
dapat mengembalikan keseimbangan kimia dalam otak).
d. Lipoatropi (menyusutnya lemak). Ini biasanya tidak menyebabkan
turunnya berat badan total, tetapi akibatnya dapat membuat anda
terlihat menjadi lebih ramping.
e. Gangguan percernaan. Masalah dengan esofagus dapat membuat
pasien lebih sulit menelan; rasa mual dan muntah dapat membuat
anda merasa engan untuk makan atau menyerap makanan. Anda
44
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
dapat juga mengalami masalah dengan penyerapan nutrisi dalam
usus alus.
Keletihan yang tidak biasa. Letih pada umumnya dirasakan
oleh orang yang menderita HIV positif. Bila Anda mengalami keletihan
yang tidak biasa, pertimbangkan kemungkinan penyebab di bawah ini
sebagai suatu langkah tindakan bimbingan dan konseling:
a. Depresi. Ini mungkin penyebab yang paling umum untuk
keletihan. Orang dengan depresi tidak mempunyai energi, tetapi
depresi juga mempunyai sejumlah gejala lain, seperti mereka
merasa sedih, kecewa, marah, khawatir, atau kehilangan
semangat sepenuhnya respon normal terhadap hal-hal
menyedihkan yang kita alami dalam hidup. Orang yang HIV positif
mengalami depresi sering menganggap mereka hanya mengalami
respon normal karena didiagnosis positif HIV. Tetapi depresi
dalam arti medis yang sesungguhnya, tidak pernah normal.
Tindakan bimbingan dan konseling yang dilakukan bila orang yang
HIV positif mengalami depresi adalah kondisi yang berbahaya
tetapi dapat diobati (minum obat antidepresan- obat yang
mengembalikan keseimbangan kimia dalam otak). Tindakan
konseling bukan sebagai pengganti untuk pengobatan karena
dalam keadaan depresi, berbicara tidak banyak membantu. Tetapi
berbicara bisa menjadi bermanfaat ketika Anda mulai menjadi
lebih baik konseling itu membantu anda kembali ke kehidupan,
untuk menghadapi berbagai masalah yang mungkin memberi
kontribusi pada depresi dan menjaga Anda tetap sehat setelah
anda menjadi lebih baik.
b. Anemia. Selain keletihan, orang dengan anemia mungkin terlihat
pucat, pusing, dan napas pendek. Penyebaabnya termasuk obat-
obatan (terutama zidovudine), kekurangan diet, komplikasi yang
45
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
berhubungan dengan HIV, dan HIV itu sendiri. Anemia mudah
didiagnosis dengan hitung darah sederhana.
c. Kekurangan Hormon. Ini termasuk kadar testosterone yang
rendah (hipogonadisme), kekurangan hormone tiroid
(hipotiroidisme), dan kekurangan adrenal.
d. Infeksi HIV. Keletihan umum pada orang dengan jumlah virus
tinggi dan/atau jumlah CD4 rendah, atau ketika ada penyusutan
otot yang cukup besar. Jadi tindakan bimbingan yang diperlukan
adalah masalah keletihan dapat diobati, diagnosis perlu dilakukan.
Keletihan bukan sesuatu untuk menemani hidup Anda.
Masalah kulit dapat disebabkan oleh HIV itu sendiri, oleh
komplikasi HIV, dan oleh obat-obatan. Bila anda mengalami masalah
kulit, kunjungi tenaga medis anda atau dokter ahli kulit. Tindakan
bimbingan yang diperlukan bila anda mengalami hal-hal yang dapat
terjadi di kulit segera berobat, yaitu :
a. Abses (bisul) menjadi umum karena epidemic community
acquired MRSA (staph aureus resisten terhadap methicillin). Bisul
ini biasanya harus dibuka dan dikeringkan, tetapi nanahnya perlu
dibiarkan lebih dahulu sehingga antibiotic yang tepat dan dapat
dipilih.
b. Reaksi Obat sering dimulai dengan bercak-bercak merah, gatal.
Reaksi ini dapat disebabkan oleh NNRTI (nevirapine, efavirenz,
dan delavirdine), fosamprenavir, trimethoprim-sulfamethoxazole,
dan banyak lagi obat yang lain.
c. Folliculitis menyebabkan benjolan gatal, merah di daerah yang
ada rambutnya. Masalah ini dapat disebabkan oleh bakteri, kutu
Demodex, atau dapat karena esosinofilik, istilah yang digunakan
untuk menggambarkan tipe sel yang terlihat pada biopsies.
46
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
d. Herpes simplex dapat menyerang bibir, alat kelamin, daerah
sekitar anus, atau bagian-bagian lain dari kulit. Virus ini
menyebabkan bisul kecil, sakit, pecah, dan menjadi tukak dangkal
dengan dasar berwarna merah.
e. Scabies disebabkan oleh kutu kulit. Kutu ini menyebabkan rasa
gatal yang amat menggangu, terutama dimalam hari. Lokasi yang
banyak dijangkiti adalah dipunggung tangan dan diantara jari-jari
tangan. Scabies dapat cukup luas dan berat pada orang dengan
jumlah CD4 rendah.
f. Sinanaga adalah reaktivitas dari varicella zoster virus (VZV),
virus cacar air, dalam kulit pada satu saraf tunggal. Virus ini
menyebabkan bisul yang sakit di daerah terbatas disalah satu sisi
badan.

4. Pengobatan dan cara menghadapinya dalam layanan
Bimbingan dan Konseling
Tidak ada obat yang dapat sepenuhnya menyembuhkan
HIV&AIDS. Perkembangan penyakit dapat diperlambat namun tidak
dapat dihentikan sepenuhnya. Kombinasi yang tepat antara berbagai
obat-obatan antiretroviral dapat memperlambat kerusakan yang
diakibatkan oleh HIV pada sistem kekebalan tubuh dan menunda awal
terjadinya AIDS.
Obat antiretroviral tidak membunuh HIV; obat ini menghentikan
penggandaan diri (reproduksi) virus. Menekan penggandaan diri juga
menghentikan proses aktivasi kekebalan tubuh yang diduga
menyebabkan terjadinya banyak kerusakan pada sistem kekebalan
tubuh. Selanjutnya sistem kekebalan tubuh dapat pulih tanpa terus
menerus kehilangan sel-sel CD4.
47
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Terapi kombinasi sudah menjadi pedoman utama sejak
pertengahan tahun 1990-an. Alasan untuk mengkombinasikan
beberapa obat ke dalam suatu campuran (Cocktail) adalah untuk
mencegah resistensi. Kalau anda minum kombinasi obat ART yang
menyertakan beberapa obat aktif, resistensi hanya dapat terjadi
kalau kadar obat-obat itu tidak cukup tinggi untuk menekan agar
virusnya tidak menggandakan diri, seperti kalau anda tidak minum
obat sesuai dengan dosisnya. Ada kemungkinan untuk menggunakan
obat yang lebih sedikit bila obat itu cukup kuat dan bila virus
memerlukan beberapa kali mutasi untuk menjadi resistensi terhadap
obat itu. Apa yang penting bukan angkanya, melainkan bahwa kita
menegakkan hambatan yang kuat melawan perkembangan
resistensi.
Pengobatan dan perawatan yang ada terdiri dari sejumlah unsur
yang berbeda, yang meliputi konseling dan tes mandiri (VCT),
dukungan bagi pencegahan penularan HIV, konseling tindak lanjut,
saran-saran mengenai makanan dan gizi, pengobatan IMS,
pengelolaan efek nutrisi, pencegahan dan perawatan infeksi
oportunistik (IOS), dan pemberian obat-obatan antiretroviral.
Tindakan layanan bimbingan dan konseling yang dilakukan
kepada orang yang dengan HIV positif adalah apakah Anda siap
untuk membuat semacam komitmen yang menjadi persyaratan ART
(Antiretroviral Therapy). Hanya ada dua kelompok orang yang kita
sarankan tidak memulai pengobatan, yaitu: mereka dengan hasil
jumlah CD4 normal dan jumlah virus rendah yang mungkin non-
progesor jangka panjang (orang yang sistem kekebalan tubuhnya
dapat menangani HIV dengan baik tanpa pengobatan), dan mereka
yang belum siap memberikan komitmen, atau dapat setia mengikuti
terapi.
48
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Konseling teman sebaya (peer counselling) sangat strategis
diberikan bagi para remaja produktif yang sudah terinfeksi HIV positif
karena teknik konseling ini dapat memecahkan permasalahan remaja
yang mengalami stress dan tekanan mental akibat dari perlakuan
deskriminasi sosial di masyarakat. Para remaja yang terinfeksi HIV
dapat saling bertukar informasi dan pengalamannya dengan
didampingi oleh konselor yang ahli HIV&AIDS untuk menemukan
solusi yang tepat untuk tetap berobat agar jumlah CD4 tetap berada
di zona yang aman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang yang
taat minum obat dapat menjalani hidup bertahun-tahun, mungkin
beberapa dekade tanpa pernah mengalami resistensi. Jadi sebagai
seorang Konselor harus dapat menyadarkan klien (Odha) dalam
memberikan layanan konseling bahwa untuk memastikan Anda tidak
pernah menulari siapa-pun, termasuk pasangan anda yang negatif.
Infeksi ini berhenti pada diri saya adalah kata-kata yang seharusnya
menjadi pegangan klien.
Konseling individual sangat strategis diberikan bagi orang
yang menderita AIDS (ingat setiap orang yang menderita AIDS pasti
terinfeksi HIV, namun tidak semua orang dengan infeksi HIV
menderita AIDS). Pelayanan konseling individual diberikan oleh
seorang konselor yang ahli HIV/AIDS kepada klien (Odha) sebagai
pengarahan awal (advance directives) yang berbicara mengenai
kematian dan prosesnya dan membantu klien untuk membuat
keputusan di akhir kehidupannya. Menganjurkan kepada klien,
teman-teman, dan anggota keluarganya untuk membuat rencana dan
mendiskusikan keinginan klien mengenai kematian dan prosesnya
dengan orang-orang yang penting bagi klien. Waktu yang paling baik
untuk memikirkan hal ini dalam proses konseling adalah ketika klien
49
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
sedang sehat dan tidak mempunyai rencana dalam waktu dekat
untuk meninggalkan dunia ini.
5. Hubungan Seksualitas yang lebih Aman
Tidak ada seks yang 100% aman. Seks yang lebih aman
menyangkut upaya-upaya kewaspadaan untuk menurunkan potensi
penularan dan terkena infeksi menular seksual (IMS), termasuk HIV,
saat melakukan hubungan seks. Menggunakan kondom secara tepat
dan konsisten selama melakukan hubungan seks dianggap sebagai
seks yang lebih aman. Kondom yang kualitasnya terjamin adalah
satu-satunya produk yang saat ini tersedia untuk melindungi pemakai
dari infeksi seksual karena HIV dan infeksi menular seksual (IMS)
lainnya. Ketika digunakan secara tepat, kondom terbukti menjadi alat
yang efektif untuk mencegah infeksi HIV di kalangan perempuan dan
laki-laki. Walaupun begitu, tidak ada metode perlindungan yang 100%
efektif, dan penggunaan kondom tidak dapat menjamin secara mutlak
perlindungan terhadap segala infeksi menular seksual (IMS). Agar
perlindungan kondom efektif, kondom tersebut harus digunakan
secara benar dan konsisten. Penggunaan yang kurang tepat dapat
mengakibatkan lepasnya atau bocornya kondom, sehingga menjadi
tidak efektif.
Dengan didiagnosis positif HIV tidak berarti Anda tidak dapat
mempunyai hubungan intim atau seks, tetapi hal itu rumit karena
anda harus mengungkapkan status HIV anda kepada pasangan dan
melindungi mereka yang negatif agar tidak menjadi terinfeksi.
Masalah pengungkapan dapat berlangsung tidak mulus. Berterus
terang terutama menjadi penting ketika Anda berkencan atau
memulai hubungan baru. Beberapa orang menyelesaikan masalah ini
dengan hanya berkencan dengan pasangan yang HIV positif. Hal ini
50
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
menyederhanakan berbagai hal, namun tidak semua orang dapat
melakukan itu. Menjelaskan status anda kepada pasangan yang
negatif dapat menjadi pemutus hubungan, akibatnya bukan hanya
penolakan melainkan resiko mantan anda yang baru mungkin
menyebarkan informasi mengenai anda kepada orang lain. Dengan
alasan ini, banyak orang yang memilih untuk menunggu sampai
sudah terbentuk perasaan saling sayang, percaya, dan rasa bahwa
hubungan ini masih akan dilanjutkan lagi.
Masalahnya adalah bahwa semakin lama Anda menunggu,
semakin besar kemungkinan pasangan baru anda akan merasa
dikhianati ketika akhirnya anda menceritakan status anda, terutama
bila hubungan ini telah menjadi hubungan seksual. Bila anda positif
HIV dan sasaran anda tetap menjaga hubungan, anda mungkin harus
memperlambat proses yang biasanya berlangsung masa kini dengan
menggunakan Kondom, dan kondom merupakan sesuatu
keharusan dalam hubungan apa-pun karena HIV dan penyakit
menular seksual yang lain. Kenali dan percayai pasangan anda lebih
dahulu, berbicara mengenai status HIV anda selanjutnya, dan
kemudian baru berhubungan seks. Bila proses ini memerlukan waktu,
hal itu tidak masalah. Dibawah ini beberapa komentar umum
mengenai tingkat resiko dari aktivitas seksual yang umum
dilakukan, yaitu:
a. Hubungan seksual Anal dan Vaginal. Bila pasangan positif HIV
berada di atas ini adalah aktivitas berisiko tinggi tanpa kondom.
Kondom yang rapat dapat mengurangi resiko secara dramatis
tetapi bila bocor tidak demikian. Resikonya lebih kecil bila
pasangan yang positif berada dibawah. Hal itu karena lapisan
dalam anus dan vagina terbuat dari sel-sel mukosa, yang dapat
terinfeksi, sedangkan penis hampir seluruhnya tertutup oleh kulit,
51
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
yang tidak dapat terinfeksi. Akan tetapi, laki-laki masih dapat
terinfeksi dari hubungan seksual dengan penis yang dimasukan.
Resikonya meningkat bila dia tidak disunat atau menderita
herpes, sefilis, atau ada luka terbuka di penisnya. Resiko
menularkan HIV dan virus hepatitis B meningkat bila terjadi luka
saat melakukan hubungan seks.
b. Seks Oral. HIV dapat ditularkan dengan memasukan cairan pra-air
mani, air mani, cairan vagina, atau darah menstruasi dari orang
yang positif ke dalam mulut (bukan masalah ditelan atau tidak).
Resikonya menjadi lebih tinggi bila gusi bentuknya buruk. Bila
pasangan yang positif HIV adalah yang menggunakan mulut ke
pasangan yang negatif, pada dasarnya tidak ada resiko
menularkan HIV, walaupun penyakit menular seksual (PMS) yang
lain dapat ditularkan dengan cara ini.
c. Seks Oral Anal (menjilat atau mengisap). Ini bukan cara yang
mudah untuk menyebarkan HIV, tetapi orang yang menjilat dapat
tertular hepatitis A atau infeksi bakteri atau parasit saluran
pencernaan.
d. Saling Masturbasi. Ini adalah cara yang amat aman asalkan Anda
tidak mempunyai luka atau bisul terbuka di tangan dan
menjauhkan cairan badan dari mulut dan mata.
e. Olah Raga Air (saling mengencingi). Air seni adalah cairan badan
yang aman.
f. Berciuman, saling memeluk, saling membelai, saling memijat.
Semuanya aman.
Berpasangan dengan orang yang positif HIV menghilangkan
persoalan mengenai penyebaran HIV baru, namun masih ada alasan
untuk mempertimbangkan seks yang aman, termasuk menghindari
penyakit menular seksual yang lain dan superinfeksi (kita sarankan
52
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
bagi orang yang positif mengenai seks dengan pasangan positif lain,
sebaiknya tetap menggunakan kondom dengan pasangan biasa). Kita
tahu bahwa orang dengan HIV positif dapat terinfeksi lagi dengan
galur virus tambahan. Terdapat banyak kasus yang didokumentasikan
dengan baik, yang juga menjelaskan mengapa terdapat galur
rekombinan HIV di dunia (virus yang merupakan kombinasi dua
subtipe atau lebih). Superinfeksi dapat menyebabkan naiknya jumlah
virus dan turunnya jumlah CD4, serupa dengan apa yang terjadi
dengan infeksi awal. Anda dapat juga mengalami superinfeksi dengan
galur virus yang resisten terhadap obat yang anda minum.
6. Penyakit Menular Seksual (PMS)
Perilaku seks yang tidak aman, bisa berimplikasi pada banyak
hal, baik secara fisik, psikis maupun social. Salah satu implikasi
fisiknya adalah terinfeksi Penyakit Menular Seksual (PMS) dan
HIV&AIDS. PMS ini kemudian bisa menimbulkan implikasi yang lain
lagi, misalnya kemandulan (BKKBN Provinsi Bali, 2008: 79).
PMS adalah singkatan dari penyakit menular seksual atau juga
dikenal dengan sebutan STD (Sexually Transmitted Deseases). PMS
merupakan penyakit-penyakit yang dapat ditularkan dari seseorang
kepada orang lain melalui hubungan seksual. Ada berbagai cara
penularan yaitu dengan melalui seks oral (Cunnilingus: stimulasi
vulva khususnya pada klitoris dan vagina pasangannya dengan mulut
atau lidah, Fellatio: stimulasi pada penis pasangan dengan mulut atau
lidah), seks vaginal (penis masuk vagina), seks anal (penis masuk
anus).
Sebanyak 90% kasus HIV merupakan akibat dari penularan
seksual, dan 60-70% kasus HIV terjadi dikalangan heteroseksual.
Anda akan dapat terkena lebih dari satu infeksi penyakit menular
53
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
seksual (IMS) pada saat yang bersamaan. Masing-masing infeksi
memerlukan pengobatan sendiri. Anda tidak dapat menjadi kebal
terhadap IMS. Anda juga dapat terkena infeksi yang sama berkali-kali.
Banyak pria dan wanita yang tidak merasa atau melihat gejala awal
apapun ketika mereka pertama kali terinfeksi dengan IMS, kendatipun
mereka masih bisa menulari pasangan seksualnya. Selain itu, Anda
harus ingat bahwa terapi antiretroviral tidak dapat mencegah
penularan virus HIV ke orang lain. Terapi dapat membantu
menurunkan jumlah virus ketingkat yang tidak terdeteksi, namun HIV
masih tetap ada dalam tubuh, dan dapat ditularkan kepada orang lain
melalui hubungan seksual, dengan bergantian memakai peralatan
suntikan, atau melalui ibu yang menyusui bayinya.
Menjadi positif tidak berarti Anda tidak perlu khawatir lagi
mengenai penyakit menular seksual (PMS). Anda sudah tertular oleh
yang Besar, tetapi masih ada lagi yang lain untuk dihindari. Seks
aman masih merupakan cara yang harus dipertahankan.
Sefilis dapat lebih parah pada orang dengan infeksi HIV.
Perkembangan dapat lebih cepat bila tidak diobati. Kemungkinan
besar penyakit ini menyerang sistem saraf, dan dapat mempengaruhi
penglihatan dan pendengaran anda. Tes darah yang digunakan untuk
memonitor respon anda terhadap pengobatan sefilis dapat lebih sulit
dipahami dan memerlukan waktu lebih lama untuk menjadi negatif
daripada orang dengan HIV negatif. Bila Anda HIV positif, anda harus
memeriksakan diri apakah terinfeksi sefilis, dan tes ini harus diulang-
ulang paling sedikit setahun bila anda aktif secara seksual.
Gonore dan Klamida adalah infeksi umum yang dapat
menginfeksi saluran air seni dalam penis, leher rahim, anus, dan
tenggorokan. Gonore telah menjadi resisten terhadap antibiotic
minum standar dan sekarang diobati dengan suntikan. Laki-laki
54
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
dengan HIV positif harus diperiksa apakah sakit gonore dan klamida
dengan tes air seni dan kadang-kadang dengan biakan yang diambil
dari anus dan/atau tenggorokan. Perempuan harus di tes pada waktu
mereka memeriksakan pinggul secara rutin. Tipe infeksi klamida
berbeda, limfogranuloma venereum (LGV) sudah ada laporannya
sekarang, terutama yang menyebabkan infeksi anus dan rectum
(proktitis) pada laki-laki homoseksual.
Herpes genitalis, biasanya disebabkan oleh herpes simplex
virus tipe 2 (HSV-2), menimbulkan bintil-bintil yang terasa sakit dan
tukak dangkal di alat kelamin, disekitar anus, atau kulit. Infeksi ini
tetap bertahan seumur hidup dan dapat timbul kembali, terutama
pada orang dengan jumlah CD4 rendah. ART dapat membantu, tetapi
ketika sedang timbul harus diobati dengan obat anti herpes, seperti
acyclovir (Zovirax), famciclovir (Famvir), atau valacyclovir (Valtrex).
Bila penyakit anda ini sering kambuh, anda harus minum salah satu
dari obat di atas setiap hari, yang bukan hanya mencegah herpes
berkembang, tetapi mungkin dapat membantu menurunkan jumlah
virus HIV anda dan resiko menularkan herpes (dan mungkin HIV).
HSV-1 biasanya menyebabkan bintik di bibir (herpes labialis); virus ini
tidak biasa menimbulkan masalah yang timbul berulang-ulang
dibawah pinggang.
PMS yang disebabkan oleh bakteri dan jamur umumnya relatif
mudah untuk disembuhkan dengan antibiotic tertentu, asal diketahui
dan diobati sedini mungkin. Sedangkan yang disebabkan oleh virus
lebih sulit diobati, bahkan seringkali tidak dapat disembuhkan.
Secara umum gejala-gejala yang nampak akan dirasakan oleh
penderita PMS pada laki-laki dan perempuan adalah rasa sakit atau
gatal di alat kelamin, muncul benjolan atau luka di sekitar alat
kelamin, dan pembengkakan di pangkal paha. Khusus pada
55
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
perempuan, kebanyakan PMS yang dideritanya biasanya tidak
menunjukkan gejala sama sekali. Hal ini disebabkan karena anatomi
organ produksi perempuan ada di dalam tubuh, sehingga bila ada
infeksi di dalam vagina maka sulit untuk diketahui (tidak bisa dilihat
dari luar). Jika ada gejala seringkali keluar cairan yang tidak biasa
keluar dari alat kelaminnya, biasanya akan berwarna kekuning-
kuningan dan berbau. Gejala lain yang mungkin nampak adalah
keluarnya darah bukan pada masa menstruasi. Hal ini menunjukkan
bahwa ada kemungkinan telah terjadi infeksi di dalam vagina.
Khusus pada laki-laki, sebagian besar PMS yang dideritanya akan
mudah menunjukkan gejala-gejalanya. Hal ini disebabkan karena
anatomi organ reproduksi laki-laki yang berada di luar tubuh,
sehingga akan mudah diketahui gejala-gejala yang muncul. Gejala-
gejala PMS pada pria antara lain: pada saat kencing terasa sakit dan
jika diurut akan keluar cairan ata nanah dari alat kelaminnya, terjadi
pembengkakan pada buah pelir dan terasa sakit atau panas.
Pada perempuan, sebagian PMS biasanya tidak dapat terasa
gejalanya. Hal ini paling sering terjadi pada penyakit yang disebabkan
oleh gonore atau klamidia. Pada laki-laki dan perempuan, ada
sebagian gejala PMS juga yang tidak akan terasa sakit sehingga
orang tersebut tidak akan sadar jika ada gejala tersebut. Kalau ada
kesempatan, sebaiknya diperiksa dulu alat kelamin pasangannya
untuk mengetahui apakah ada gejala PMS atau tidak. Terkadang
gejala seperti luka atau nanah dapat dilihat. Walaupun begitu, orang
yang kelihatan sehat mungkin terinfeksi PMS yang gejalanya tidak
dapat dilihat dengan mata. Mungkin jika orang yang kelihatan sehat
akan terinfeksi HIV (virus penyebab AIDS). Oleh karena itu
gunakanlah kondom, sampai dua-duanya telah diperiksa dokter.
56
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Kuman penyebab PMS hanya ada di cairan vagina dan air mani
dan terkadang di darah. Kalau salah satu cairan tersebut ada di WC
atau kamar mandi, kuman tersebut tidak dapat hidup cukup lama.
Dan yang perlu diingat bahwa seseorang akan tertular PMS jika
kuman tersebut masuk ke dalam tubuh sehingga tidak mungkin
terjadi penularan pada kegiatan sehari-hari. Tidak ada sabun atau
desinfektan apapun yang dapat mencegah PMS. Pada perempuan,
mencuci bagian dalam vagina justru akan mempertinggi resiko
terkena vaginitis (keputihan yang disebabkan bakteri). Demikian pula
minum antibiotik tidak bisa mencegah PMS, walaupun antibiotic
terkadang dapat menyembuhkan sebagian PMS sesudah seseorang
terinfeksi.
Infeksi PMS tidak akan mempengaruhi siklus menstruasi pada
perempuan, kalaupun ada kemungkinan darah yang keluar dari
vagina itu bukan merupakan darah menstruasi tetapi merupakan
darah akibat luka infeksi pada saluran reproduksi pada perempuan.
III. PENUTUP
Berbicara mengenai infeksi HIV sebagai penyakit kronik, yang
dapat dikelola seperti sekarang ini. Hal ini sudah banyak tersedia
tempat pengobatan dan dapat dijangkau (seperti: VCT disetiap
Rumah Sakit Umum dan Swasta, Puskesmas dan Klinik, dsb). Akan
tetapi, lebih sulit untuk bersikap optimistik mengenai keadaan
epidemi global. Lebih dari 25 juta orang meninggal karena AIDS, dan
lebih dari 40 juta orang sekarang hidup dengan infeksi HIV, sebagian
besar berada di Negara-negara sedang berkembang. AIDS membunuh
lebih dari 3 juta orang setiap tahun, dan ada infeksi baru setiap 5
detik. Dalam perkembangan global ini, berdampak buruk terhadap
pemberitaan tentang epidemi HIV&AIDS yang semakin meningkat
setiap tahun. Dunia maju akhirnya menyadari bahwa mereka tidak
57
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
dapat mengabaikan apa yang terjadi di dunia sedang berkembang.
Uang sekarang mengalir dari sektor pemerintah, swasta, dan para
dermawan untuk menyediakan pengobatan bagi orang di seluruh
Dunia, atau paling sedikit di Negara-negara yang mempunyai
kemauan politik untuk menangani epidemi HIV&AIDS. Obat generik
diproduksi, membuat pengobatan lebih terjangkau. Orang mulai
mendapat pengobatan, dan pengobatan membuat perbedaan besar
dalam hidup mereka. Sekarang ini sudah banyak ditemukan
pelayanan medis yang tepat, guna mengetahui apakah memang
terinfeksi atau tidak, masyarakat dapat memeriksakan diri ke klinik
maupun layanan yang tersebar di setiap Puskesmas baik Kabupaten
maupun Kota, seperti klinik IMS (layanan Infeksi Menular Seksual);
klinik PTRM (layanan Program Terapi Rumatan Metadon); klinik VCT
(layanan Konseling &Tes Sukarela); Layanan Konseling HIV&AIDS;
Layanan CST (layanan Dukungan & Perawatan), dan PMTCT (layanan
Program Pencegahan Ibu ke Anak) di Rumah Sakit Umum. Biaya
pengobatan HIV di Indonesia adalah gratis dari pemerintah untuk
mereka yang telah memenuhi syarat odha.
DAFTAR RUJUKAN
BKKBN Provinsi Bali. 2008. Seputar Seksualitas Remaja.
Denpasar: Dipa Satker.
Bloom Kelly, F.R. 2000. HIV Prevention with Young Men who
have Sex with Men: what Young Men Themselves Say is
Needed. Medical Collegge of Wisconsin, USA.
Currier Judith, MD. 2010 Informasi HIV. Los Angeles: University
of California.
Gallant Joel, MD, MPH. 2010 100 Tanya jawab mengenai HIV dan
AIDS. Jakarta: PT. Indeks
Gulick Roy, MD, MPH. 2011 Informasi Mengenai Obat dan Berita
Mengenai Percobaan Clinis mengenai HIV/AIDS. New
York: Clinical Trials Unit.
58
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Georges Guiella and Janet Madise. 2007. HIV/AIDS and Sexual
Risk Behaviors among Adolescents. African Journal of
Reproductive Health. Vol.11 No.3 Desember 2007.
Satati Retno Pudjiati. 2009. Sexuality Transmitted Deseases.
Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada.
GEGURITAN SEBUAH MEDIA PENDIDIKAN KARAKTER
Oleh :
Ni Nyoman Karmini
FPBS, IKIP Saraswati Tabanan
ABSTRACT
The creativity of a poet could make the reader ponder life
issues. Basically everyone would have problems and try to
solve them regardless of success or not. As well as an action
done by Damayanti who adhered to the principle of satyeng laki
in overcoming her problem. Her action proved that Damayanti
was able to show her pride and identity as a respectable
woman. Description of the porsonages life experiences and
how to cope with her life was a reflection of her character. The
analysis showed that eighteen characters announced by the
Ministry of Nation Education reflected on the behavior of the
storys personage.
Keyword : geguritan and character aducation
I. LATAR BELAKANG
Sebuah karya sastra bersumber dari kenyataan-kenyataan yang
hidup dalam masyarakat (realitas-objektif). Karya sastra bukan saja
mengungkapkan realitas objektif melainkan juga mengungkapkan
nilai-nilai. Karya sastra bukan semata-mata tiruan dari alam (imitation
of nature) atau tiruan dari hidup (imitation of life), tetapi juga
merupakan penafsiran-penafsiran tentang alam dan kehidupan itu
59
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
(interpretation of life). Karya sastra mengungkapkan masalah-
masalah manusia dan kemanusiaan, tentang makna hidup dan
kehidupan. Sastra melukiskan penderitaan-penderitaan manusia,
perjuangannya, kasih sayangnya, nafsunya, dan segala sesuatu yang
dialaminya. Lewat karya sastra, pengarang ingin menampilkan nilai-
nilai yang lebih tinggi dan lebih agung. Lewat karya sastra dapat
menafsirkan tentang makna hidup dan hakikat hidup (Karmini,
2011:2).
Hasil karya sastra, dapat membuat pembaca merenungkan
masalah kehidupan, yang pada akhirnya dapat mengasah batinnya,
menjadi lebih peka, berbudaya, serta dapat menghargai miliknya
serta milik orang lain. Pembaca dapat mempelajari keindahan dalam
karya, baik keindahan bahasa maupun keindahan suatu pemikiran.
Pembaca dapat belajar melalui pengalaman hidup sang tokoh cerita,
baik pengalaman yang baik maupun pengalaman yang buruk. Dengan
merenungkan pengalaman-pengalaman sang tokoh cerita, pembaca
dapat menentukan sikap, dapat menentukan pilihan hidup dan
kehidupan yang dicita-citakannya. Pada dasarnya, karya sastra
bermanfaat bagi hidup dan kehidupan manusia, memiliki manfaat
untuk membimbing manusia ke arah yang lebih positif, seperti
dikatakan Teeuw (2003:21), sastra adalah alat untuk mengajar, buku
petunjuk, buku instruksi atau pengajaran.
Setiap kelompok masyarakat memiliki hasil karya sastra, baik
karya sastra tradisional maupun karya sastra modern. Bentuknya pun
beraneka ragam, seperti bentuk puisi, prosa, dan drama. Bali
misalnya. Bali banyak sekali memiliki dan menyimpan hasil karya
sastra bermutu. Misalnya sastra geguritan. Bagus dan Ginarsa
menyatakan geguritan merupakan salah satu karya sastra tradisional
(Bali Purwa) (1978:6). Geguritan termasuk karya sastra yang
60
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
berbentuk puisi sekaligus berbentuk naratif. Geguritan dibentuk oleh
pupuh-pupuh, mengikuti persyaratan yang disebut padalingsa, dan
biasanya menggunakan tembang macapat atau sekar alit.
Geguritan Bali biasanya memuat nilai-nilai pendidikan yang
berkaitan dengan agama Hindu. Ajaran-ajaran moral sesuai agama
Hindu dituangkan dalam kisah kehidupan sang tokoh cerita. Dari
perilaku sang tokoh cerita dapat dipetik suatu pembelajaran moral,
yang tentunya berupa moral yang baik sesuai ajaran agama yang
semestinya ditiru. Pembelajaran moral yang baik dari sebuah kisah
cerita dapat dipetik dan dijadikan pedoman dalam menjalankan
kehidupan ini. Perilaku seseorang dalam menjalankan kehidupan ini
mencerminkan karakter seseorang. Karakter seseorang biasanya
dibentuk oleh budaya di sekitarnya (budaya daerah), sedangkan
karakter bangsa Indonesia dibentuk oleh budaya-budaya daerah yang
ada di wilayah Indonesia.
Bangsa Indonesia sedang mengalami degradasi moral. Moralitas
dikesampingkan, pemikiran-pemikian libral banyak bermunculan.
Pada masa ini, banyak yang tidak mampu membeda-bedakan dan
tidak bisa menimbang-nimbang antara yang baik dan yang buruk.
Keinginan-keinginan yang berlebihan menguasai sehingga muncul
keserakahan yang tidak terkendalikan. Keserakahan yang tidak
terkendalikan penyebab jatuhnya martabat sebagai manusia.
Untuk mengatasi keadaan dimaksud di atas, pemerintah dalam
hal ini Kementerian Pendidikan Nasional mencanangkan delapan
belas pendidikan karakter. Kedelapan belas pendidikan karakter
dimaksud dituangkan pada setiap bidang ilmu yang diajarkan di
sekolah-sekolah. Delapan belas pendidikan karakter yang
dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan Nasional adalah religius,
jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa
61
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai
prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca,
peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab.
Karakter dimaknai sebagai cara berpikir dan berperilaku yang
khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup
keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Perlu diketahui bahwa
sebagai manusia yang memiliki banyak kekurangan atau kelemahan,
mungkin saja setiap manusia atau siapa pun dapat mengalami
perubahan karakter akibat situasi tertentu yang mendesak dan
darurat. Namun, individu yang berkarakter baik adalah individu yang
dapat membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan
setiap akibat dari keputusannya.
Sastra melukiskan tentang hidup dan kehidupan manusia.
Tokoh ceritanya dijadikan pusat, dijadikan objek penceritaan, yang
menyangkut situasi, kondisi, dan pengalaman hidupnya. Dalam
tulisan ini disorot sebuah sastra tradisional berjudul Geguritan
Damayanti karya I Wayan Djapa. Di dalamnya ada penggambaran
tokoh yang kuat, berpendidikan, mampu menentukan sikap, mampu
mengambil keputusan, mampu melaksanakan tugas berat, mampu
mempertahankan citra diri, tahan uji, sabar, dan setia. Kalau dikaji
secara mendalam, Geguritan Damayanti berisi pemikiran yang
relevan dengan kehidupan masa kini, yang berkaitan dengan
pendidikan karakter, yang dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan
Nasional.
Hal-hal yang diuraikan di atas, sangat menarik untuk dibahas
dan diangkat ke permukaan mengingat salah satu wacana yang
muncul dewasa ini adalah soal karakter. Ketertarikan penulis
diwujudkan dalam tulisan berjudul Geguritan sebuah Media
62
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Pendidikan Karakter, dengan permasalahan karakter apa saja yang
terkandung dalam geguritan?
II. PEMBAHASAN
2.1 Pendidikan Karakter
Pengertian karakter sesuai Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang
membedakan seseorang dari orang lain; tabiat; watak (Alwi,
1996:445), sedangkan dalam Kamus Bahasa Inggris-Indonesia,
character berarti watak, karakter, sifat (Echols dan Shadily,
1996:107).
Karakter dimaknai sebagai cara berpikir dan berperilaku yang
khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup
keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Individu yang berkarakter
baik adalah individu yang dapat membuat keputusan dan siap
mempertanggung-jawabkan setiap akibat dari keputusannya.
Karakter dapat diangkat sebagai nilai-nilai perilaku manusia yang
berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama
manusia, lingkungan, dan kebangsaaan yang terwujud dalam pikiran.
sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma
agama, hukum, tata krama, budaya, adat istiadat, dan estetika.
Karakter adalah perilaku yang tampak dalam kehidupan sehari-hari
baik dalam bersikap maupun dalam bertindak (Samani dan Hariyanto,
2012:41-42).
Dari paparan di atas, dapat dikatakan bahwa karakter adalah
nilai dasar yang membangun pribadi seseorang, terbentuk baik
karena pengaruh hereditas maupun pengaruh lingkungan, yang
membedakannya dengan orang lain, serta diwujudkan dalam sikap
dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari.
63
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Mengingat degradasi moral melanda dunia, khususnya
Indonesia, maka Kementerian Pendidikan Nasional mencanangkan
delapan belas pendidikan karakter, yang dituangkan pada setiap
bidang ilmu dalam pembelajaran di sekolah-sekolah. Dalam
Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional dijelaskan sebagai berikut.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan-kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan
negara.
Selanjutnya pada pasal 3 dikemukan bahwa:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
untuk membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.
Dari pernyataan di atas, dapat dikatakan bahwa: pendidikan
adalah usaha sadar yang terencana; proses pendidikan yang
terencana itu diarahkan untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran; suasana belajar dan pembelajaran itu
diarahkan agar peserta didik dapat mengembangkan potensi dirinya;
akhir dari proses pendidikan adalah kemampuan anak memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Ini berarti proses
pendidikan berujung kepada pembentukan sikap, pengembangan
kecerdasan atau intelektual, serta pengembangan keterampilan anak
64
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
sesuai dengan kebutuhan. Sikap, kecerdasan dan keterampilan
merupakan arah dan tujuan pendidikan yang harus diupayakan
(Sanjaya, 2007:2).
Winton (2010) menyatakan pendidikan karakter adalah upaya
sadar dan sungguh-sungguh dari seorang guru untuk mengajarkan
nilai-nilai kepada para siswanya (dalam Samani dan Hariyanto,
2012:43). Pendidikan karakter juga dapat didefinisikan sebagai
pendidikan yang mengembangkan karakter yang mulia (good
character) dari peserta didik dengan mempraktekkan dan
mengajarkan nilai-nilai moral dan pengambilan keputusan yang
beradab dalam hubungan dengan sesama manusia maupun dalam
hubungannya dengan Tuhannya (Samani dan Hariyanto, 2012:44).
Pendidikan karakter adalah proses pemberian tuntunan kepada
peserta didik untuk menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter
dalam dimensi hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa. Pendidikan
karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi
pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang bertujuan
mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan
keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan
kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati
(Samani dan Hariyanto, 2012:45).
2.2 Isi Geguritan Damayanti
Geguritan Damayanti dibentuk oleh pupuh Durma, Pangkur,
Ginada, Sinom, Smarandana, Ginanti, dan Dangdang Gula. Geguritan
Damayanti dapat dibagi menjadi tiga bagian, yakni bagian pertama
berisi pemujaan dan permohonan penulis supaya berhasil menulis;
bagian kedua, mengenai isi Geguritan Damayanti; bagian ketiga,
65
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
berisi nasihat Resi Wrehadaswa kepada Yudhistira juga di dalamnya
implisit nasihat dari penulis.
Bagian pertama (pencerminan tradisi)
Cerita diawali dengan memuja dan memohon anugerah Tuhan
dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Nara Narayana dan Dewi
Saraswati. Tujuan pemujaan adalah supaya berhasil dalam membuat
karya sastra (Geguritan Damayanti) dan supaya dapat dijadikan
pedoman dalam menjalani suka duka kehidupan di dunia ini (pupuh
Durma, bait 1, 2). Sebagai contoh dikutip hanya bait 1
Inggih Ratu Sang Hyang Nara Narayana, miwah Dewi Saraswati,
jaya namostu manggala, maring bukpadanta wantah, mogi
ledang manywecanin, lelugrahan, wastu sida kang inapti.
Terjemahannya:
Ya Tuhan dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Nara
Narayana dan Dewi Saraswati, semoga berhasil dalam berkarya,
hanya kepada-Mu, semoga memberi jalan, memberi anugerah,
semoga tercapai yang diinginkan
Memuja Tuhan, memohon keberhasilan dalam berkarya, dan
hasilnya supaya bermanfaat bagi pembacanya, merupakan tradisi
dalam penulisan sastra tradisional Bali. Pada bagian ini tersirat pesan
bahwa setiap melakukan sesuatu hendaknya selalu memohon kepada
Tuhan supaya berhasil dan bermanfaat bagi kehidupan.
Bagian kedua (memuat isi cerita)
Tahap pertama, cerita diawali dengan menyebutkan dua
kerajaan, yakni kerajaan Nisadha dengan rajanya Wirasena dan
putranya Prabhu Nala dan kerajaan Widarbha dengan rajanya
bernama Bhima dan putrinya bernama Damayanti. Damayanti
mendengar keberadaan Prabhu Nala dan Prabhu Nala juga
mendengar keberadaan Damayanti. Mereka jatuh cinta walau belum
pernah bertemu. Mereka juga mendengar cerita tentang masing-
66
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
masing lewat seekor Angsa pada saat mereka berada di taman
masing-masing sedang mengenang sang pujaan hati. Cerita si Angsa
membuat Damayanti semakin mencintai Prabhu Nala, yang berakibat
Damayanti sakit sebab menahan rindu. Oleh karena itu, diadakanlah
sayembara memperebutkan Damayanti. Banyak raja yang datang
termasuk Hyang Catur Loka Pala (Hyang Indra, Hyang Agni, Hyang
Yama, dan Hyang Baruna) dan Prabhu Nala.
Pada saat perjalanan menuju Widarbha, Nala bertemu dengan
Hyang Catur Loka Pala dan Nala berjanji menolong Hyang Catur Loka
Pala untuk mendapatkan Damayanti. Dengan seizin Hyang Catur Loka
Pala, Nala dapat masuk ke kamar Damayanti yang sedang terbaring
sakit. Pada saat itu, Damayanti menyatakan cintanya dan berjanji
memilih Nala sebagai suaminya. Walaupun Nala telah menjelaskan
bahwa Hyang Catur Loka Pala mengikuti sayembaranya, namun,
Damayanti menyarankan Nala tetap hadir dalam sayembara.
Semua raja telah dipanggil satu persatu. Saat Nala dipanggil
terjadi keanehan, yakni Nala ada lima. Damayanti bingung, tidak
dapat membedakan Nala yang asli. Dalam kebingungan, Damayanti
memuja Hyang Widhi dan mohon supaya ia dapat memilih Nala yang
asli sebab ia telah berjanji menyerahkan cintanya hanya kepada Nala.
Permohonannya terkabul. Nala yang asli kelihatan menginjak tanah.
Akhirnya, ia dapat memilih Nala yang asli. Pernikahan pun
berlangsung atas anugrah Hyang Catur Loka Pala. Kemudian Nala dan
Damayanti bertolak ke Nisadha dan memerintah bersama-sama
dengan baik dan adil demi kesejahteraan rakyatnya, sedangkan
Hyang Catur Loka Pala kembali ke asalnya (Durma, bait 3-11;
Pangkur, bait 1-8; Ginada, bait 1-21; Sinom, bait 1-19).
67
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Bila dikaitkan dengan gerak alur menurut Tasrif (dalam Karmini,
2000:19), maka bagian ini tergolong situation. Berikut ini, hanya
dikutip satu contohnya.
Prabhu Nala kabuncingang, sareng Dewi Damayanti, antuk ida
Prabhu Bhima, maring Widarbha negari, yan maletan kudang
ratri, Prabhu Nala raris mantuk, sareng ida nrepa duhita, prapti
maring Nisadhapuri, lanang wadhu, guluk ngardi jagaddhita
(pupuh Sinom, bait 19).
Terjemahannya:
Nala dinikahkan dengan Damayanti, oleh Raja Bhima, di negara
Widarbha, entah beberapa malam, Nala kemudian pulang,
bersama permaisuri, sampai di negara Nisadha, suami-istri,
bertekad sama yakni membuat rakyatnya sejahtera dan hidup
damai
Pada bait di atas, ada persuasif penulis kepada pembaca yang
diangankannya agar mau memanfaatkan hidup ini sebaik mungkin.
Kehidupan ini harus dimanfaatkan dengan baik sehingga bermanfaat
pula bagi orang lain, sebab setiap saat manusia diincar oleh
kematian. Persuasinya mengandung makna bahwa manusia harus
melaksanakan kebaikan, manusia harus bermakna bagi dirinya
maupun bagi sesamanya.
Tahap kedua, saat Hyang Catur Loka Pala kembali ke asalnya,
dalam perjalanan bertemu dengan Hyang Kali dan Hyang Dwapara.
Dari pertemuan itu diketahui bahwa Hyang Kali ingin mengikuti
sayembara Damayanti. Hyang Kali marah kepada Nala dan berjanji
balas dendam dan mengutuk Nala supaya mereka meninggalkan
kerajaan dan hidup terpisah dengan istrinya. Caranya adalah dengan
merasuki tubuh Nala dan Hyang Dwapara masuk ke dalam batu dadu.
Mereka pun berangkat ke Nisadha dan tidak dapat segera melakukan
maksudnya. Hyang Kali pun menunggu waktu.
68
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Pernikahan Damayanti Nala telah 12 tahun berlalu. Pada suatu
saat Nala lupa membasuh kaki saat mau memuja, sehingga Hyang
Kali bisa merasuki tubuhnya dan menguasai pikirannya, sedangkan
Hyang Dwapara segera menemui Raja Puskara supaya menantang
Nala bermain dadu dengan janji kemenangan ada di pihak Puskara.
Dalam permainan dadu, harta dan negaranya dijadikan jaminan. Nala
kalah. Damayanti menugaskan Warsneya mengirim putra putrinya ke
Widabha dan membebaskannya memilih tempat tinggal untuk
mengabdikan diri. Nala dibuang ke hutan tanpa ada yang boleh
menolongnya. Setelah di hutan pun musibah datang lagi yang
dilakukan oleh Hyang Dwapara (Pangkur, bait 1-8; Sinom, bait 1-6;
Pangkur, bait 1-9; Smarandana, bait 1-8).
Bila dikaitkan dengan gerak alur menurut Tasrif, maka bagian ini
tergolong generating circumstances. Berikut ini, hanya dikutip satu
contohnya.
Napi pacang tohang malih, drewen Beli sampun telas, wenten
kantun maka etoh, Damayanti ratna diyah, durus punika
etohang, yening mantuk maring kayun, maka etohe panelas
(Smarandana, bait 2).
Terjemahannya:
Apalagi yang akan dijadikan taruhan, kekayaan kanda telah
habis, masih ada lagi sebagai barang taruhan, yakni Damayanti,
silakan dipertaruhkan, bila cocok di hati, sebagai taruhan
terakhir.
Pada bagian ini tersirat pesan bahwa pada dasarnya setiap
orang pasti berusaha untuk mengatasi masalah yang dihadapinya
terlepas dari berhasil atau tidak.. Hal itu dapat dilakukan karena
manusia mempunyai tiga kemampuan yang disebut Tri Sakti, yaitu
iccha-sakti (kemauan), krya-sakti (prana) dan jenana-sakti (intelek),
yang biasanya disebut cipta, rasa dan karsa atau bayu-sabda-idep
(Wiratmadja, 1988:66). Demikian halnya dengan Damayanti. Tujuan
69
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
hidup Damayanti adalah keserasian, keseimbangan dan kebahagiaan
hidup, baik di dunia ini maupun di dunia yang lain. Oleh karena itu, ia
berusaha menghentikan permainan dadu, ia berusaha
menyelamatkan keluarganya tetapi tidak berhasil. Usaha-usaha yang
dilakukannya dalam mencegah kehancuran telah dilakukannya
sejalan dengan kemampuan yang dimilikinya.
Tahap ketiga adalah Nala sangat kebingungan, pikirannya
kacau, lalu istrinya berkali-kali disarankan kembali ke Widarbha
(rumah orang tuanya), tetapi Damayanti menolak sebab sebagai istri
ia harus mendampingi suaminya dalam suka dan duka, ia seorang
satia. Suatu saat, karena kelelahan Damayanti tidur sangat pulas.
Saat itulah Nala meninggalkannya di hutan sendirian. Begitu terjaga,
Damayanti sangat sedih, tetapi ia tetap melanjutkan perjalanan
mencari suaminya. Banyak cobaan berat dialaminya, seperti hampir
diperkosa, dihina karena dikira tidak waras, hampir dibunuh oleh para
pedagang saat terjadi banyak kematian ketika gajah mengamuk.
Cobaan bertubi-tubi dialaminya. Ia tidak tahan, lalu mengutuk si
penyebab kehancuran keluarganya. Kutukan itu menyebabkan Hyang
Kali menderita dan tersiksa dalam tubuh Nala. Kemudian ia ditolong
seorang pendeta sampai di negara Cedi.
Nala meninggalkan Damayanti dan bertemu dengan Naga
Karkotaka yang kena kutuk. Nala menolongnya, dan sang Naga pun
berjanji menolong Nala. Nala menyamar menjadi Wahuka atas
bantuan Naga Karkotaka Kemudian Wahuka (Nala) disuruh mengabdi
di negara Ayodhya. Wahuka (Nala) setiap malam menyanyikan lagu
tentang perpisahannya dengan istrinya dengan penuh perasaan dan
kesedihan yang amat sangat (Ginada, bait 1-5; Ginanti, bait 1-5;
Sinom, bait 1-14; Durma, bait 1-11; Ginada, bait 1-3; Pangkur, bait 1-
8; Sinom, bait 1-10; Ginada, bait 1-10; Sinom, bait 1-12; Dangdang
70
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Gendis, bait 1-7). Bila dikaitkan dengan gerak alur menurut Tasrif,
maka bagian ini tergolong rising action. Berikut ini, hanya dikutip satu
contohnya.
Sang Wahuka cinarita mangkin, ring Ayodhya, suka trepti kocap,
ineman de narapati, rowange kekalih tutut, nyiksa kuda sahi-
sahi, sakewanten Sang Wahuka, nyabran dalu sedih ngunngun,
eling ring putri Widarbha, nandang rimang, asesambat nyabran
wengi, kariptayang jroning gita (Dangdang Gendis, bait 3)
Terjemahannya:
Diceritakan Wahuka, di Ayodhya, senang dan damai, sebagai
pelayan raja, temannya berdua sangat taat, melakukan
pekerjaan mengajari kuda, akan tetapi Wahuka, setiap malam
sangat sedih, ingat kepada Damayanti istrinya, menahan sedih,
setiap malam memanggil-manggil, lalu dituangkan dalam
bentuk nyayian.
Pelukisan yang panjang pada bagian ini berisi uraian tentang
tradisi yang dilakukan sang tokoh yang bersumber pada nilai-nilai
Hindu. Nilai-nilai dimaksud berupa ajaran tri hita karana dan trikaya
parisuda. Pelukisan dimaksud dalam bentuk perilaku, yang dapat
dikatakan sebagai rekaman budaya, dalam hal ini budaya Hindu.
Tindakan Damayanti mencerminkan seorang perempuan
terdidik yang sangat memahami sastra (ajaran agama), perempuan
yang mampu mengambil sikap, mampu membuat keputusan, mampu
melaksanakan tugas berat, mampu mempertahankan citra diri, tahan
uji, sabar, dan setia. Tindakannya itu sesuai dengan yang dinyatakan
dalam Rgveda, yakni perempuan sebagai penyeimbang (dhruva
bintang), pemegang tanggung jawab rumah tangga serta perempuan
seperti perawat yang menolong pasien (dhrtri dan Dharani). Oleh
karena itu, Tuhan memberikan panjang umur kepada perempuan
(Somvir, 2001:166).
Tahap keempat, yakni raja Widarbha mengerahkan rakyatnya
untuk mencari putri dan menantunya dengan memberikan hadiah
71
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
yang besar bagi penemunya. Usaha tersebut berhasil dengan
menemukan Damayanti di Negara Cedi dan kemudian dibawa
kembali ke Widarbha. Selanjutnya, Damayanti berusaha mengadakan
sayembara untuk menemukan suaminya Dalam sayembara ini yang
diundang hanya Raja Rituparna (Raja Ayodhya). Mendengar berita
sayembara itu, Wahuka (Nala) hampir pinsan, hatinya sangat sedih
dan beranggapan Damayanti sudah tidak satyeng laki. Sebagai kusir
kereta, ia tetap berangkat mengantar raja Rituparna ke Widarbha.
Kemudian dalam perjalanan terjadi perjanjian saling tukar ilmu, yakni
ilmu aswa aji milik Wahuka ditukar dengan ilmu wijnyeng aji,
mapetekan dan manita milik Raja Rituparna. Sejak Wahuka memiliki
ilmu aji nita, Hyang Kali ke luar dari tubuhnya dan muntah-muntah
karena tidak tahan kesakitan dan kepanasan karena kutuk Damayanti
dan racun Naga Karkotaka. Hyang Kali mohon maaf kepada Wahuka
(Prabhu Nala). Hyang Kali berjanji mengembalikan kekuasaannya dan
negaranya seperti dahulu. Dan, jika ada orang yang mau
menceritakan kisah Damayanti Nala, maka Hyang Kali akan
membebaskannya dari bahaya yang ditimbulkan oleh Hyang Kali.
Itulah janjinya dan Hyang Kali pun masuk ke dalam pohon Wibhitaka
sehingga pohon itu mendapat kesempurnaan.
Selanjutnya, mereka sampai di Widarbha. Tanda-tanda
sayembara tidak ada. Damayanti tidak melihat Prabhu Nala, tetapi ia
mencurigai si kusir kereta. Oleh karena itu, Damayanti menyuruh Ni
Kesini menyelidiki Wahuka. Dari tanda-tanda yang ada disimpulkan
bahwa Wahuka adalah Prabhu Nala yang menyamar. Dengan
demikian, Damayanti langsung berhadapan dengan Wahuka dan
berakhirlah penyamaran Prabhu Nala sesuai janji Naga Karkotaka.
Mereka pun hidup bahagia (Pangkur, bait 1-10; Sinom, bait 1-12;
Durma, bait 1-11; Ginanti, bait 1-6; Ginada, bait 1-31; Pangkur, bait
72
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
1-10; Sinom, bait 1-13; Ginada, bait 1-17, Durma, bait 1-3; Ginada,
bait 1-9; Durma, bait 1-11, Pangkur, bait 1-6.
Bila dikaitkan dengan gerak alur menurut Tasrif, maka bagian ini
tergolong climax. Berikut ini, hanya dikutip satu contohnya.
Prabhu Nala mewali ya jatimula, dahat ledang Damayanti,
Prabhu Nala ledang, rawuhing putra karuwa, Prabhu Bhima
ledang tan sipi, sareng girang, sadaging Widarbha puri (Durma,
bait 11).
Terjemahannya:
Nala kembali seperti semula, Damayanti sangat senang, Nala
senang, kedua putranya senang, raja Bhima sangat senang, ikut
senang, semua isi negara Widarbha
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa secara
tersirat tokoh Damayanti adalah tokoh yang berpendidikan. Dalam
menghadapi penderitaan hidup, Damayanti berjuang keras dan selalu
berusaha untuk meraih kembali kebahagiaan hidupnya. Damayanti
mampu mengambil keputusan terbaik dalam hidupnya. Dengan
berpegang pada prinsip satyeng laki dan keyakinan yang kuat, ia
dapat bertemu kembali dengan suaminya. Dalam penderitaan yang
dialaminya, Damayanti mampu menunjukkan sikap-sikap positif
dalam kehidupannya sehingga kebahagiaan hidup dapat diraihnya
kembali. Tokoh Damayanti dapat melakukan segala sesuatu sesuai
dengan kemampuannya, yakni mampu menentukan sikap, mampu
mengambil putusan, mampu melaksanakan tugas berat, mampu
mempertahankan citra diri, kuat dan tahan uji. Perjuangan dan usaha
yang dilakukan Damayanti untuk berkumpul kembali dengan
suaminya, membuktikan bahwa Damayanti mampu menunjukkan
harga dirinya dan jati dirinya sebagai perempuan terhormat.
Tokoh antagonis dalam Geguritan Damayanti bukan merupakan
tokoh manusia. Kedua tokoh tersebut, yakni Hyang Kali dan Sang
73
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Hyang Dwapara dikategorikan sebagai pelaksana takdir Tuhan
terhadap jalan kehidupan manusia. Dengan demikian, konflik
kehidupan yang dialami oleh tokoh disebabkan oleh kekuasaan dan
kekuatan yang lebih tinggi di luar diri manusia yaitu kekuatan
antagonistik (antagonistic force) berupa takdir Tuhan. Takdir itu
tercermin dalam jalan hidup kedua tokoh protagonis dan takdir itu
sendiri diakhiri pula oleh kekuatan antagonistik.
Tahap kelima, yakni kira-kira sebulan tinggal di Widarbha,
Prabhu Nala dan Damayanti kembali ke Nisadha dan menantang
Puskara bermain dadu dengan jaminan Damayanti. Kemenangan pun
terjadi sesuai janji Hyang Kali dan kerajaan Nisadha pun dapat direbut
dari tangan Puskara. Prabhu Nala tidak menghukum Puskara sebab ia
sangat menyadari bahwa Puskara tidak salah. Penderitaan yang
dialaminya itu karena keteledorannya sendiri yakni tidak mensucikan
diri pada saat sembahyang sehingga Hyang Kali merasukinya.
Kesadaran itu, menunjukkan bahwa Prabhu Nala dan Damayanti pada
hakikatnya orang arif bijaksana (Sinom, bait 1-9).
Bila dikaitkan dengan gerak alur menurut Tasrif, maka bagian ini
tergolong denoument. Berikut ini, hanya dikutip satu contohnya.
Cinarita Prabhu Nala, malih ida ngenca gumi, malinggih ring
singasana, Damayanti tan sah nyanding, ngardi jagat gemuh
trepti, kerta raharja tur landuh, jati ratu dahat prajnyan, nuntun
panjak ngawe trepti, sandang tiru, jroning ngardi jagaddhita
(Sinom, bait 9).
Terjemahannya:
Dikisahkan Nala, kembali menjadi raja, duduk di singgasana,
Damayanti selalu mendampingi, menjadikan negaranya damai
dan sejahtera, menjadi raja amat bijaksana, membimbing
rakyatnya menjadi damai, patut ditiru, dalam membuat
kesejahteraan dan kedamaian
74
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Dari uraian di atas, dapat dipetik simpulan bahwa setiap orang
pasti mengalami permasalahan hidup dan kehidupan. Permasalahan
datang dengan tidak membedakan orang kaya atau miskin, penguasa
atau bukan, berpendidikan atau tidak, dan sebagainya. Namun,
dalam memecahkan permasalahan diperlukan adanya waktu yang
tepat dan kesabaran, dalam arti setelah adanya ketenangan. Dengan
demikian, akan dapat mengambil keputusan yang tidak keliru
sehingga dapat menjaga kenyamanan bagi semua yang terkait.
Bagian ketiga (berisi nasihat)
Setelah selesai menceritakan kisah Damayanti, Resi
Wrehadaswa mendoakan Yudhisthira supaya menemukan
kebahagiaan hidup dengan mencontoh Prabhu Nala dan Damayanti.
Jika Yudhisthira bisa setiap hari melaksanakan ajaran sad angga dan
upaweda serta yang sejenis dengan itu, tentu kecil kemungkinan
menimbulkan kesengsaraan hidup. Kisah Naga Karkotaka, Nala
Damayanti, semestinya sering didengarkan dan dihayati sebab
berupa pembersihan jiwa. Dengan demikian, keburukan-keburukan
dalam diri sirna sebab dalam kehidupan menjadi manusia suka duka
silih berganti (Ginada, bait 1-8). Berikut ini disajikan bait 6 pupuh
Ginada.
Awinan sampunang girang, rikala sukane panggih, sampunang
banget duhkita, rikala mamanggih kewuh, tanggun sukane
duhkita, duhka panggih, sukane pasti nyantosang.
Terjemahannya:
Karena itu jangan senang, jikalau bertemu suka, jangan
bersedih, jika menemukan duka, ujung suka adalah duka, duka
ditemukan, suka pasti menunggu
Pada bagian ini, dapat dipetik bahwa penulis memberi saran
kepada pembaca lewat nasihat Resi Wrehadaswa untuk meniru
perilaku sang tokoh cerita. Persuasi penulis diulang lagi pada bagian
75
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
ini sebab ia mempunyai harapan yang sangat besar kepada pembaca
yang diangankannya untuk berbuat baik dan memberi arti bagi
kehidupannya demi tercapainya kebahagiaan hidup.
2.3 Karakter-Karakter Tokoh Sesuai Pendidikan Nasional
Setelah dicermati, Geguritan Damayanti menggambarkan
karakter-karakter tokohnya sesuai dengan pendidikan karakter yang
disiapkan oleh Kementerian Pendidikan Nasional. Hal itu bisa terjadi,
karena budaya nasional dibangun atas budaya-budaya daerah.
Geguritan Damayanti merupakan karya sastra tradisional Bali tentu
mencerminkan budaya yang banyak dipengaruhi ajaran agama
Hindu. Berkaitan dengan pembahasan pada bagian ini, berikut
dipaparkan karakter para tokoh Geguritan Damayanti yang sesuai
dengan karakter dalam pendidikan nasional.
1. Karakter Religius
Tokoh Damayanti dan Nala memiliki karakter religius. Karakter
religius terlihat pada bait-bait yang memaparkan saat-saat sang
tokoh berdoa memuja Hyang Widhi (Tuhan) atau manifestasi-Nya.
Dengan perilaku demikian berarti sang tokoh percaya terhadap
keberadaan-Nya. Karakter religius sang tokoh tersurat pada bait 9, 10
pupuh Sinom 1, bait 8 pupuh Sinom 4, dan bait 2 pupuh Gnada 3.
Sebagai contoh dapat dilihat pada bait yang dikutip di bawah ini.
Pupuh Sinom 1
Nenten keni antuk ida, ngelingan ida sang kapti, Prabhu Nala
wenten panca, adeg warni sami patis, Dewi Damayanti sedih,
antuk bingunge kalangkung, raris ida nunas ica, maring Ida
Sang Hyang Widhi, tur matimpuh, ngastawa Hyang Widhi Wasa
(bait 9, pupuh Sinom 1)
Terjemahannya:
Tidak diketahui olehnya, mengingat yang diharapkan, Prabhu
Nala ada lima, penampilan semua bagus/baik, Damayanti sedih,
76
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
karena sangat bingung, lalu berdoa, kepada Hyang Widhi
(Tuhan), dan bersimpuh berdoa kepada Hyang Widhi Wasa
2. Karakter Jujur
Damayanti dan Nala memiliki karakter jujur. Sang tokoh cerita
menjunjung tinggi kejujuran, baik kejujuran hati/pikiran, kejujuran
perkataan, maupun kejujuran perbuatan/tindakan. (Dalam agama
Hindu disebut ajaran trikaya parisuda). Kejujuran hati dimaksud di sini
adalah rasa cinta sang tokoh. Mereka saling mencintai, saling
merindukan walaupun sama-sama belum saling mengenal. Cinta
mereka tumbuh lewat berita dari seekor angsa tentang tokoh masing-
masing. Kemudian diadakan sayembara untuk pasangan hidup
Damayanti. Cobaan ada dalam pemilihan pasangan, yakni Prabu Nala
ada lima. Damayanti sempat kebingungan, lalu berdoa supaya tetap
dapat memilih Nala yang asli sebagai suaminya. Demikian juga Nala
berjanji hanya beristrikan Damayanti saja. Kejujuran perkataan,
maupun kejujuran perbuatan/ tindakan sang tokoh tersirat dan
tersurat dalam Geguritan Damayanti.
Kejujuran hati/pikiran sang tokoh dilukiskan pada bait 9, 10
pupuh Durma 1, bait 1, 10 pupuh Sinom 1, bait 3 pupuh Ginada 3.
Bait yang dipaparkan di bawah ini sebagai contoh.
Inggih Ratu Sang Hyang Titah, atur titiang pireng mangkin,
ngawit saking paksi angsa, ngaturang Nala Nrepati, manah
titiang ngilis tunggil, nunggal ring ida sang prabhu, naweg ratu
tulung titiang, keni antuk mangelingin, mangda durus, titiang
manunggal ring ida (bait 10, Pupuh Sinom 1)
Terjemahannya:
Ya Tuhan Yang Maha Kuasa, dengarkanlah doa hamba, sejak
burung angsa, menyampaikan tentang Nala, pikiranku hanya
satu, menyatu dengan Nala, tolonglah hamba, supaya bisa
mengenali Nala, supaya jadi, hamba menyatu dengan Nala.
77
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
3. Karakter Toleransi
Tokoh Damayanti dan Nala memiliki sifat toleransi yang tinggi.
Sifat toleransi tercermin pada saat Nala menangkap seekor angsa.
Angsa ketakutan dan supaya tidak dibunuh, angsa berjanji bercerita
tentang Nala kepada Damayanti. Hal ini dilukiskan pada bait 11
pupuh Durma 1, bait 18 pupuh Pangkur 1.
Nala selalu berharap supaya Damayanti kembali ke Widharba,
tetapi Damayanti tetap bertekad mendampingi suaminya dalam
penderitaan. Pada bagian kisah ini sifat toleransi tersurat dengan
jelas dalam cerita. Sifat toleransi dilukiskan pada bait 38 pupuh
Smarandana, bait 15 pupuh Ginada 2, bait 15 pupuh Ginanti 1, bait
114 pupuh Sinom 3, bait 111 pupuh Durma 2, bait 13 pupuh
Ginada 3, bait 18 pupuh Pangkur 4, bait 110 pupuh Sinom 4, dan
bait 110 pupuh Ginada 4.
Puskara dikalahkan oleh Nala saat perebutan kembali kerajaan
Nisadha. Puskara tidak dihukum dan tetap diberikan wilayah serta
tetap dianggap keluarga oleh Nala walaupun Puskara berbuat tidak
baik kepada Nala. Artinya, Nala tidak mendendam kepada Puskara.
Kisah ini dilukiskan pada bait 19 pupuh Sinom 8. Paparan pada bait
dimaksud, menurut penulis mencerminkan sifat atau sikap toleransi.
Di bawah ini dipaparkan hanya dua bait sebagai contoh sikap
toleransi sang tokoh cerita.
Prabhu Nala nuli nabda, ring ida sang satyeng laki, uduh adi
nrepa duhita, lacur beline kalangkung, lara lapa tan busanan,
kantun wastrane abidang, sareng ledis, saparan uber duhkita
(bait 2, Pupuh Ginada 2)
Terjemahannya:
Prabhu Nala berkata, kepada istrinya ynag setia, aduh adikku
sayang, penderitaan kakak teramat sangat, sengsara sekali
tanpa pakaian, pakaian hanya selembar, turut hilang, karena
dikejar derita
78
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Ento ane dadi krana, kita tan patut manampi, dosan Sang
Hyang Kali pecak, gumine atenga jani, urip kita muwuh malih,
pacang ya waliyang ingsun, mogi kita dirghayusa, kita mula
wandawan mami, preman ingsun, maring kita tan suruda (bait
7, pupuh Sinom 8)
Terjemahannya:
Itu yang menjadi sebab, kamu tidak perlu menerima, dosa Sang
Hyang Kali, sebagian tanah kamu, akan kukembalikan
kepadamu, semoga kamu panjang umur, kamu memang
keluargaku, premanku, aku tetap menganggapmu.
4. Karakter Disiplin
Sifat disiplin tersirat pada tokoh Damayanti dan Nala, sebab
mereka sebagai raja dan permaisuri raja yang dihormati dan disegani
oleh rakyat dan para sahabatnya. Pada saat Damayanti menjalani
masa penyamarannya sebagai pelayan di negara Cedi, ia sangat
disiplin melaksanakan pantangan yang ditetapkannya. Hal ini
dilukiskan pada bait 110 pupuh Ginada 4. Demikian juga Nala sangat
disiplin melaksanakan tugasnya sebagai hamba raja Rituparna,
sebagai perawat dan pengajar kuda. Hal ini dilukiskan pada bait 17
pupuh Dangdang Gendis. Sebagai contoh di bawah ini dipaparkan
dua bait saja.
Damayanti sahur sembah, naweg Ratu Prameswari, titiang
nyadia mangiringang, nging wenten utpanan ipun, titiang
pacang nenten nunas, sisan nasi, tan masuh sukun wong liyan
(bait 7, Pupuh Ginada 4)
Terjemahannya:
Damayanti berkata sopan, maaf Prameswari, saya bersedia,
tetapi ada syaratnya, saya tidak akan makan, makanan sisa,
tidak membasuh kaki orang lain
Sang Wahuka cinarita mangkin, ring Ayodhya, suka trepti
kocap, ineman de narapati, rowange kekalih tutut, nyiksa kuda
79
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
sahi-sahi, sakewanten Sang Wahuka, nyabran dalu sedih
ngunngun, eling ring putri Widarbha, nandang rimang,
asesambat nyabran wengi, kariptayang jroning gita (bait 3,
Pupuh Dangdang Gendis)
Terjemahannya:
Diceritakan Sang Wahuka, di Ayodhya, sangat nyaman, menjadi
pelayan raja, dua temannya sangat taat, setiap hari mengajari
kuda, tetapi Wahuka, setiap malam sedih sekali, ingat kepada
Damayanti, menahan sedih, setiap malam memanggil-manggil
Damayanti, lalu ditulis dalam sebuah lagu
5. Karakter Kerja Keras
Tokoh Damayanti adalah tokoh yang kerja keras. Kerja keras
dimaksudkan di sini adalah suatu usaha yang dilakukan terus
menerus, tidak mengenal lelah, dan tidak putus asa. Hal itu
dilakukannya pada saat mencari dan mencari suaminya Banyak
rintangan yang ditemukannya tetapi tidak menyurutkan keinginannya
untuk bertemu kembali dengan suaminya. Banyak usaha
dilakukannya. Usaha terakhir adalah dengan melakukan sayembara.
Akhirnya mereka berkumpul lagi dan hidup bahagia.
Bait yang dikutip di bawah ini hanya sebagai contoh untuk
melukiskan kerj keras Damayati dalam menemukan suaminya.
Raris ida masusupan maring alas, ngrereh ida Sri Nrepati,
nunggal tan parowang, ida nenten sahuninga, rawuh ring genah
lelipi, ageng tur lapa, galak ipun tan sinipi (bait 7, Pupuh Durma
2)
Terjemahannya:
Kemudian masuk ke hutan, mencari-cari Nala, sendirian,
Damayanti tidak tahu, sampai di tempat seekor ular, ular besar
dan kelaparan, galak luar biasa
6. Karakter Kreatif
Damayanti adalah tokoh yang kreatif. Setelah mendengar berita
bahwa ada yang membalas lagunya di Ayodhya, maka Damayanti
80
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
membuat sayembara upaya untuk memancing kedatangan Nala.
Contohnya dipaparkan di bawah ini.
Munggwing yajnyane puniku, swayambaran Damayanti, malih
milih anak lanang, swamin ida Nala Nrepati, rawuh mangkin
durung tinas, pati urip tan kuningin (bait 2, Pupuh Ginanti 2)
Terjemahannya:
Adapun upacara itu, adalah sayembara Damayanti, lagi mencari
suami, suaminya Nala, sampai sekarang belum pasti, hidup mati
tidak diketahui
7. Karakter Mandiri
Kemandirian sang tokoh terlihat pada saat mereka mengalami
penderitaan. Mereka bersama namun akhirnya terpisah. Damayanti
tidak mau pulang ke Widarbha. Ia tetap mengikuti suami dalam
penderitaannya. Bahkan pada saat Damayanti ditinggal sendirian di
hutan, ia tetap berusaha mencari Nala. Dalam pencarian banyak
cobaan dialaminya tetapi tetap tidak menyurutkan keinginannya.
Kalau Damayanti mau pulang ke Widarbha, ia tidak akan hidup
menderita, tetapi tidak dilakukannya karena ia berprinsip bahwa istri
adalah teman setia suami pada saat suka maupun duka.
Di bawah ini dikutip bait yang mendukung sifat mandiri sang
tokoh cerita sebagai contoh.
Yening manggeh patibrata, durus tulung titiang mangkin, sang
mamarikosa titiang, nenten pakarana lampus, Damayanti sihin
Hiyang, sang duskreti, magelebug nuli pejah (bait 3, Pupuh
Ginada 3)
Terjemahannya:
Kalau betul setia, silakan tolong saya, orang yang memperkosa
saya, mati tanpa sebab, Damayanti disayang Tuhan, si
penjahat, jatuh dan mati
8. Karakter Demokratis
81
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Nala seorang raja yang sangat arif dan bijaksana, sangat
mementingkan kesejahteraan dan kenyamanan rakyatnya. Itulah
sebabnya ia dihormati dan disegani oleh rakyat dan sahabat-
sahabatnya. Tokoh Nala mempunyai karakter demokratis. Untuk
melukiskan hal itu, hanya dikutip satu bait saja sebagai contoh.
Tuhu wibuh kasub kasumbung ring jagat, putus maring linging
aji, purusa norana sama, satyawadhi sistacara, wadwan ida sura
sakti, sayang pisan, ida seneng mamotohin (bait 4, Pupuh
Durma 1).
Terjemahannya:
Berkuasa dan terkenal di dunia, pandai dan bijaksana, laki-laki
tiada banding, sangat setia dan berperilaku utama, rakyatnya
kuat-kuat, tetapi sayang, ia suka berjudi.
9. Karakter Rasa Ingin Tahu
Rasa ingin tahu Nala sangat besar. Keingintahuan Nala terhadap
sesuatu, tercermin pada saat adanya berita tentang sayembara
Damayanti. Nala sangat terkejut, tetapi ia tetap bersedia menjadi
kusir kereta raja Rituparna. Nala ingin tahu kesetiaan Damayanti
kepada dirinya. Keingintahuan Nala juga muncul pada saat raja
Rituparna merinci jumlah daun dan buah pohon Wibhitaka. Nala ingin
membuktikan kebenaran perkataan raja Rituparna. Bait yang
mengandung rasa ingin tahu sang tokoh dikutip hanya satu bait
sebagai contoh.
Saja satia lawan nora, ne jani seken mabukti, kayun ida tusing
satia, sayang idane ya luntur, saja satia lawan nora, ane jani,
ada galah ka Widarbha (bait 4, Pupuh Ginada 5)
Terjemahannya:
Betul tidaknya setia, sekarang akan terbukti, hatinya tidak setia,
rasa sayangnya luntur, betul setia atau tidak, ada kesempatan
untuk ke Widarbha
82
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
10. Karakter Semangat Kebangsaan
Semangat kebangsaan Nala sangat tinggi. Ia seorang
negarawan. Itu sebabnya ia menjadi raja yang dihormati dan disegani
oleh rakyat dan para sahabatnya. Contohnya dipaparkan di bawah ini.
Cinarita Prabhu Nala, malih ida ngenca gumi, malinggih ring
singasana, Damayanti tan sah nyanding, ngardi jagat gemuh
trepti, kerta raharja tur landuh, jati ratu dahat prajnyan, nuntun
panjak ngawe trepti, sandang tiru, jroning ngardi jagaddhita
(bait 9, Pupuh Sinom 8)
Terjemahannya:
Diceritakan Prabhu Nala, kembali menjadi raja, duduk di
singasana, Damayanti selalu mendampingi, membuat negara
sejahtera dan nyaman, damai dan sentosa, betul-betul raja yang
sangat bijaksana, mengantarkan rakyat mencapai sejahtera dan
nyaman, patut dicontoh, dalam membuat kebahagiaan di dunia
11. Karakter Cinta Tanah Air
Rasa cinta tanah air Nala sangat tinggi, karena itu ia merebut
kembali kerajaannya dengan mempertaruhkan segala yang
dimilikinya. Usaha yang dilakukannya berakhir dengan kemenangan
dan negara diperolehnya kembali. Contohnya dipaparkan di bawah
ini.
Prabhu Nala gelis nimbal, jalan kawitang ne jani, Sang Puskara
andel pisan, pacang sida menang malih, panangtange
kadagingin, irika raris majuluk, jroning patohe partama, Prabhu
Nala mapikolih, kang nagantun, mawali ya kadrewenan (bait 4,
Pupuh Sinom 8)
Terjemahannya:
Nala cepat menjawab, silakan mulai sekarang, Puskara yakin
sekali, menang lagi, tantangan dipenuhi, perjudian pun terjadi,
taruhan pertama adalah negara, Nala menang, negara
diperolehnya, dan dimilikinya kembali
12. Karakter Menghargai Prestasi
83
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Tokoh Damayanti dan Nala adalah tokoh yang berusaha keras
dalam menghadapi permasalahan dalam kehidupannya. Damayanti
selalu setia dan berusaha untuk mencapai keinginannya yakni
berkumpul kembali bersama keluarganya dan hidup bahagia. Nala
berusaha dengan segala cara untuk mengatasi masalahnya. Ia berani
masuk ke dalam api yang besar, yang akhirnya ia mendapat bantuan
dari naga Karkotaka sehingga kekuatan (Hyang Kali) yang merasuki
tubuhnya kepanasan di dalam dirinya. Setelah Nala menjadi Wahuka,
ia bekerja dengan baik pada raja Rituparna sehingga disayang dan
akhirnya ia pun diberi ilmu manita (ilmu perjudian) oleh raja
Rituparna. Dengan bantuan naga Karkotaka dan ilmu manita, maka
keluarlah Hyang Kali dari dalam diri Nala. Usaha-usaha yang
dilakukan oleh Damayanti dan Nala menyebabkan mereka berkumpul
kembali dan hidup bahagia. Contoh bait yang dipaparkan berikut ini
sebagai pendukung pernyataan di atas.
Dwaning sampun adung kocap, raris ya saling tibakin,
kaputusan sowang-sowang, crita mangkin Nala Prabhu, sampun
ngamong aji nita, Sang Hyang Kali, medal saking anggan ida
(bait 25, Pupuh Ginada 5)
Terjemahannya:
Setelah sama-sama setuju, lalu saling memberi, keputusan
masing-masing, diceritakan Nala, telah memiliki ilmu nita, Sang
Hyang Kali, keluar dari tubuhnya
13. Karakter Bersahabat/Komunikatif
Nala adalah tokoh yang mempunyai sifat sangat bersahabat. Ia
mempunyai dua orang teman, yakni Warsneya dan Jiwala. Mereka
saling membantu dalam melaksanakan tugas. Pada saat malam
mereka selalu berkomunikasi. Jiwala selalu bertanya tentang
nyanyian dan kesedihan Wahuka. Untuk mendukung hal itu, di bawah
ini dikutip bait 6 pupuh Dangdang Gendis.
84
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Sang Jiwala pireng becik-becik, ada anak, wahu mapumahan,
indriyane mangodag reke, rabin ipun lintang hayu, satya laki
tan patanding, sang lanang kodag indriya, nuli ninggal rabi
sadhu, kija kaden twara tinas, dadi ati, ninggal wadhu satya
laki, tuhu saja tan pangrasa.
Terjemahannya:
Jiwala dengarkan baik-baik, ada orang, baru berumah tangga,
digoda inderia, istrinya sangat cantik, setia pada suami tiada
banding, suaminya dikluasai inderia, lalu meninggalkan istri
yang sangat baik, tidak tahu entah kemana, sampai hati,
meninggalkan istri yang sangat setia pada suami, sungguh
betul-betul tidak punya rasa
14. Karakter Cinta Damai
Tokoh Nala dalam Geguritan Damayanti adalah tokoh yang cinta
damai. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.
Bapa patut uttamayang, mikolihang Damayanti, Bapa jani
ngutus Dewa, durusang Cening lumaku, rawuh ya maring
Widarbha, Damayanti, durusang aturin ida (bait 11, Pupuh
Ginada 1)
Terjemahannya:
Bapa yang harus diutamakan, memperoleh Damayanti, Bapa
menugaskan Dewa, silakan berangkat, ke Widarbha, sampaikan
kepada Damayanti
15. Karakter Gemar Membaca
Tokoh Damayanti dan Nala adalah tokoh berpendidikan.
Dikatakan demikian karena mereka adalah tokoh nomor satu di
kerajaan Nisadha. Sebagai pemimpin suatu negara tentulah memiliki
kepandaian, keahlian, kebijaksanaan, kearifan. Para tokoh memang
tidak dinyatakan secara eksplisit sebagai orang yang gemar
membaca, tetapi para tokoh dinyatakan dengan jelas sebagai orang
yang memiliki kepandaian, keahlian, kebijaksanaan, kearifan, dan
mau menerima pengetahuan dari orang lain. Orang yang dinyatakan
demikian tentu orang yang suka membaca atau suka belajar. Di
85
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
bawah ini dikutip hanya satu bait sebagai contoh sifat atau sikap sang
tokoh cerita yang gemar membaca.
Sang Wahuka matur nimbal, yening wantah Narapati, arsa
ledang maicayang, kaweruhe ring inghulun, titiang pacang
mangaturang, aswa aji, anggen titiang panebasnya (bait 24,
Pupuh Ginada 5)
Terjemahannya:
Wahuka berkata, jika raja berkenan mewariskan, kepandaian
kepada saya, saya akan memberikan, keahlian tentang kuda
kepada raja, sebagai penggantinya
16. Karakter Peduli Lingkungan
Tokoh Nala sangat peduli pada lingkungan sosial. Pada saat
ditugaskan oleh Catur Lokapala untuk menemui Damayanti, Nala
tidak ingin diketahui oleh orang lain supaya tidak membuat keributan.
Nala bisa masuk istana Damayanti karena anugerah Hyang Catur
Lokapala. Pernyataan tersebut dilukiskan pada bait 21 pupuh Durma
1 yang dikutip di bawah ini.
Ida wantah ne ngawinang, wastu titiang sida ngranjing, nenten
pisan katangehan, raris matur ring i ratu, titiang sampun
lumaksana, sane mangkin, sara ledang pakayunan
Terjemahannya:
Beliau yang menyebabkan, sehingga saya bisa masuk, sama
sekali tidak ada yang melihat, lalu menyampaikan kepadamu,
saya sudah melaksanakan tugas, silakan memikirkannya
17. Karakter Peduli Sosial
Karakter peduli sosial dimiliki oleh Nala dan Damayanti sebagai
raja dan permaisuri. Nala dan Damayanti mempunyai karakter peduli
sosial sangat tinggi. Itu sebabnya mereka sangat dihormati dan
disegani oleh rakyat dan para sahabat, Setelah Damayanti berpikir
bahwa negaranya dan keluarganya akan kena bencana, maka ia
menyuruh Warsneya mengantar putra-putrinya ke Widharba,
86
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
sedangkan Warsneya diberi kebebasan untuk memilih tempat tinggal.
Demikian juga Nala. Setelah memenangkan kembali kerajaannya, ia
tidak menghukum Puskara, bahkan tetap menganggap Puskara
sebagai keluarganya. Di bawah ini dikutip satu bait yang mendukung
pernyataan di atas sebagai contoh.
Sesubane maka ruwa, putran ingsun katampi olih nrepati,
Paman dadi jenek ditu, nawi malih ya matinggal, sara Paman,
salampah paraning laku, nira tusing mamialang, sara Paman
maminehin (bait 6, Pupuh Pangkur 2)
Terjemahannya:
Setelah keduanya, anakku diterima oleh raja (ayah Damayanti),
paman boleh tinggal di sana, atau pergi lagi, terserah paman,
mau kemana, saya tidak menghalangi, terserah paman
memikirkan
18. Karakter Tanggung Jawab
Tokoh Nala dan Damayanti adalah tokoh yang bertanggung
jawab, baik terhadap dirinya, orang lain, maupun terhadap tugasnya.
Banyak bait melukiskan tokoh Damayanti dan Nala sebagai tokoh
yang bertanggung jawab. Di bawah ini hanya dikutip satu bait
sebagai contoh.
Ratu mula kantin titiang, imbuh ipun I Ratu manglantur raris,
dados wandawan inghulun, aswa siksa kreta siksa, pacang
katur, maring I Ratu Sang Prabhu, nuli raris katiwakang, aswa
siksa aji sarathi (bait 5, Pupuh Pangkur 7)
Terjemahannya:
Raja (Rituparana) memang sahabat saya, lebih lanjut dikatakan
bahwa, raja adalah keluarga saya, ilmu tentang mengendalikan
kuda dan kreta, akan saya serahkan, kepada raja, lalu
diserahkan, ilmu dimaksud
Dari paparan di atas dapat dikatakan bahwa Geguritan
Damayanti mengandung delapan belas karakter sesuai ketentuan
87
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
dalam pendidikan nasional. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
karya sastra tradisional merupakan representasi kehidupan manusia.
5. KESIMPULAN
Gambaran kehidupan tokoh-tokoh dalam Geguritan Damayanti
dapat dijadikan bahan renungan dalam hidup ini. Gambaran
pengalaman hidup sang tokoh dan cara mengatasi kehidupannya
merupakan cerminan karakter sang tokoh. Setelah dilakukan analisis
terhadap Geguritan Damayanti dapat diketahui bahwa di dalamnya
ditemukan delapan belas jenis karakter sang tokoh cerita yang sesuai
dengan delapan belas butir pendidikan karakter yang ditetapkan oleh
Kementerian Pendidikan Nasional. Delapan belas butir karakter
dimaksud adalah religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif,
mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta
tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai,
gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung
jawab. Dengan penemuan dimaksud, maka dapat disimpulkan bahwa
geguritan, dalam tulisan ini adalah Geguritan Damayanti dapat
dijadikan media pembelajaran untuk pembentukan karakter.
DAFTAR RUJUKAN
Alwi, Hasan. 1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Kedua.
Jakarta: Balai Pustaka.
Bagus, I Gusti Ngurah dan I Ketut Ginarsa. 1978. Kembang Rampe
Kesusastraan Bali Purwa. Buku I. Singaraja: Balai Penelitian
Bahasa.
Djapa, I Wayan. 1999. Kumpulan Geguritan. Tabanan.
Echols, John M, Hassan Shadily. 1996. Kamus Inggris-Indonesia.
Jakarta: Gramedia.
88
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Karmini, Ni Nyoman. 2000. Teori dan Pengkajian Prosa Fiksi :
Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni IKIP Saraswati Tabanan.
Karmini, Ni Nyoman. 2011. Teori Pengkajian Prosan Fiksi dan Drama.
Denpasar: Pustaka Larasan bekerja sama dengan Saraswati
Institut Press.
Samani, Muchlas dan Hariyanto. 2012. Pendidkan Karakter. Bandung:
REMAJA ROSDAKARYA
Sanjaya, Wina. 2007. Strategi Pembelajaran: Berorientasi Standar
Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Somvir. 2001. 108 Mutiara Veda: Untuk Kehidupan Sehari-hari.
Surabaya: Paramita.
Teeuw, A. 2003. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Wiratmaja, G.K. Adia. 1988. Etika Tata Susila Hindu Dharma
JAWA KUNA:
THE KEY OF THE ANTION CULTURE HERITAGE
Oleh :
A.A. Gde Alit Geria
FPBS, IKIP PGRI Bali


ABSTRACT
Jawa Kuna is one the oldest documentary languages
which has the richest material as well as the most beautiful and
the greatest cultural values. Jawa Kuna is the key point to
explain about the old history of Indonesian culture. As the
result, studying Jawa Kuna is like digging the hidden pearl,
due to its glamorous and supreme value (adiluhung) implied on
89
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
it and furthermore, it can be used a guidance in the daily life. A
very strong willing from the Jawa Kuna experts to know about
the history and the richness of the ancient culture, have been
able to change their mindset about the Jawa Kuna itself,
changing from the a wild, frightening and far jungle into a
virgin, close, attractive and friendly jungle.
In Bali, the influence of Jawa Kuna language has existed
since the 10
th
century to globalization era nowadays. The
Rakawi has put Jawa Kuna language into consideration in
making a piece of literature (parwa, kakawin) to the beginning
of 21
st
century. As a media to explore Hindu and Buddha
literature, Jawa Kuna language is not merely preserved by the
sense that it is read, sung and discussed, but it is also shown
by the production of new Kakawin using Jawa Kuna language
made by Balinese Rakawi. Bisides that, Jawa Kuna always plays
important role in every Hindu's ritual ceremony as seen in
pajajiwan, nyenuk, mider githa, mamutru,etc. This proved how
the beauty is inexplicitty expressed in Jawa Kuna manuscrif
which is archaic and sacred-religious.
Key Words: Jawa Kuna, adiluhung, lang, rakawi, and ritual
I. PENDAHULUAN
Belajar Jawa Kuna, ibarat menggali sebuah "mutiara
terpendam" (Jendra, 1985:6). Bila mutiara itu digali maka
kemilauan gemerlapan cahayanya akan menerangi keadaan
sekitarnya. Hal ini berarti bahwa bila studi Jawa Kuna telah
digali dan didalami isinya akan memberi manfaat yang sangat
besar bagi kepentingan teoretik ilmu pengetahuan itu sendiri
dan kepentingan praktis pembangunan bangsa (nation and
character building).
Jawa Kuna merupakan salah satu bahasa dokumenter
tertua yang memiliki materi terkaya di antara bahasa-bahasa
nusantara. Sederetan nama penakluk Jawa Kuna dengan aji
silamnya, (sebagaimana diungkap Budya Pradipta, dalam
seminar ahli-ahli Jawa Kuna se-Indonesia, 1975), yakni
90
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
keinginan kuat untuk mengetahui riwayat dan kekayaan budaya
masa silam, seperti: Kern, Juynboll, Poerbatjaraka, Zoetmulder,
Pigeaud, Teeuw, Hooykaas, Sutjipto Wirjosuparto, Robson,
Haryati Soebadio, Supomo, dan yang lainnya. Mereka telah
berhasil mengubah pandangan tentang Jawa Kuna dari hutan
buas yang amat jauh, menakutkan dan mengerikan menjadi
hutan perawan yang amat dekat, ramah dan penuh daya
tarik. Poerbatjaraka (1957:146) misalnya, salah seorang yang
telah menikmati keperawanan hutan tersebut, menyatakan
dalam Kepustakaan Djawanya sebagai berikut: Bagi saya,
pelajaran yang terdapat di dalam kitab Sanasunu, dirangkapi
dengan pelajaran dari kitab Ramayana, telah cukup untuk bekal
hidup lahir-bathin. Kiranya, banyak selamatnya daripada jatuh
sengsara. Meskipun demikian, patutlah dicoba saja".
Karya-karya sastra Jawa Kuna tidak hanya penting untuk
diketahui oleh ahli-ahli sastra Jawa Kuna, akan tetapi juga oleh
ahli-ahli sastra, sastrawan dan pecinta sastra lainnya, di luar
sastra Jawa Kuna terutama bagi sastra-sastra Indonesia. Bahasa
dan Sastra Jawa Kuna masih merupakan hutan perawan yang
memerlukan jamahan tangan-tangan ahli sastra Jawa Kuna
bersama-sama dengan sastrawan lainnya untuk lebih dapat
menyingkap betapa hakikat dan kekayaan karya sastra Jawa
Kuna itu. Karenanya, karya-karya sastra Jawa Kuna perlu
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang baik, agar
dapat dipakai sebagai bahan studi ilmu perbandingan sastra
Nusantara.
II. PEMBAHASAN
2.1 Jawa Kuna: Kunci Wasiat Budaya Masa Lampau
91
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Jawa Kuna/Kawi adalah kunci wasiat untuk membuka
sejarah budaya yang tersurat dalam lontar atau kitab sastra
zaman dulu. Tanpa pemahaman bahasa Jawa Kuna, sangatlah
mustahil dapat menyingkap isi teks yang ditulis para rakawi
zaman lampau. Di Jawa, misalnya diawali dengan penemuan
batu bertulis berangka tahun 760 menggunakan bahasa
Sanskerta, dengan bentuk tulisan tidak lagi menggunakan sifat-
sifat khusus tulisan Palawa, yang kemudian disebut huruf Jawa
Kuna. Krom mengatakan bahwa huruf Palawa berkembang
menjadi huruf Jawa Kuna (aksara Kawi), sebagaimana dijumpai
dalam sejumlah piagam tertulis berupa prasasti.
Pada zaman Dharmawangsa Teguh, Jawa Kuna tidak
hanya dipakai pada kesusasteraan, tetapi dipakai untuk
menulis undang-undang dan bahasa resmi kenegaraan. Atas
perintah raja dilakukan penyaduran kitab Mahabharata
Sanskerta ke dalam bahasa Jawa Kuna, yakni Adiparwa dan
Wirataparwa. Masing-masing parwa ini menyebut nama
Dharmawangsa Teguh. Adiparwa telah dicetak ke dalam huruf
Latin oleh Hazeau dan dikupas oleh Kern, sedangkan
Wirataparwa dicetak ke dalam huruf Latin oleh Juynboll. Kiranya
saduran kedua kitab tersebut masih terdapat pengaruh
Sanskerta, hal semacam ini dapat dijumpai pada seseorang
dalang dalam lakon wayangnya. Jika diperhatikan dari parwa-
parwa lainnya, Adiparwa merupakan bentuk prosa (gancaran)
tertua di Indonesia. Hingga kini ada parwa-parwa lain yang
telah disadur ke dalam bahasa Jawa Kuna, seperti
Bhismaparwa, Udyogaparwa, dan Asrama Wasanaparwa. Di
samping itu, pemakaian bahasa Jawa Kuna dan huruf Jawa Kuna
dapat dilihat dalam kitab Undang-undang Manawa
92
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Dharmasastra dan Siwa Sasana yang dikutip dari Purwa
Adhigama. Kitab ini terkenal di Bali sebagai pegangan salah
satu hukum adat karena secara teori memuat tentang hukum
Hindu.
Kemudian muncul Airlangga sebagai pengganti
Dharmawangsa sejak abad XI bertempat di Kahuripan. Pada
zamannya, gubahan-gubahan Jawa Kuna semakin diperhatikan.
Salah satu gubahan yang sangat penting adalah Kakawin
Arjunawiwaha karya Mpu Kanwa. Pada tahun 1850, kitab ini
dicetak ke dalam huruf Jawa oleh Friedrick dan tahun 1926
dicetak ke dalam huruf Latin. Menurut Berg, Kakawin
Arjunawiwaha adalah kesusasteraan Jawa yang paling indah.
Bukan hanya berupa terjemahan sloka Sanskertanya tetapi
merupakan gubahan baru dari Mahabharata yang mengambil
peristiwa di tanah Jawa. Selain itu, karya Jawa Kuna berupa
Kakawin Sumanasantaka karya Mpu Monaguna juga muncul
pada zaman Airlangga, yang melukiskan suatu kematian karena
kekuatan bunga.
Munculnya dua kitab Jawa Kuna, yakni Pararaton yang
ditulis dalam bentuk prosa dan Negarakertagama berbentuk
kakawin. Kedua kitab itu menggambarkan keberadaan raja
Singosari gambaran istana Majapahit terutama saat kekuasaan
Hayam Wuruk. Pada zaman Ken Arok, kehidupan bahasa Jawa
Kuna masih mendapat perhatian baik, terbukti adanya sebuah
Kakawin Lubdhaka karya Mpu Tan Akung. Kakawin ini
menyebutkan bahwa kerajaan Jawa telah pindah dari Kadiri ke
Tumapel. Di samping itu, lahirnya kakawin ini adalah untuk
mengambil hati Ken Arok semata.
93
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Pada zaman Majapahit, kehidupan Jawa Kuna tetap
mendapat perhatian terutama oleh raja Hayam Wuruk yang
didampingi mahapatih Gajah Mada. Muncul rakawi-rakawi
terkenal, seperti Prapanca mengarang Kakawin
Negarakertagama; Mpu Tantular mengarang Kakawin
Arjunawiwaha yang bersumber dari Uttarakanda, juga kitab
Purusadasanta yang kemudian terkenal dengan nama
Sutasoma. Setelah Hayam Wuruk dan Gajah Mada meninggal,
sinar Kerajaan Majapahit semakin surut terlebih sejak
kedatangan Islam pada abad XV. Desakan ini sangat terasa,
ketika pandangan rakyat semula berkiblat kepada keraton dan
raja, beralih ke Sunan. Akibatnya, seluruh kesusasteraan dan
kebudayaan Hindu terdesak ke pelosok-pelosok, di antaranya
Tengger, Blambangan, bahkan yang terbanyak hingga ke Bali.
Hingga abad XVI setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit
masih ada sekelompok pencinta sastra Jawa Kuna melakukan
penyelamatan terhadap naskah-naskah Jawa Kuna ke wilayah-
wilayah di sekitar Gunung Merapi dan Merbabu. Koleksi naskah-
naskah Jawa Kuna itu dinamakan koleksi Merapi-Merbabu
(Wiryamartana, 1994; Molen, 2002). Sekitar 400 cakep koleksi
lontar tersebut kini tersimpan di bagian naskah (manuscrift)
Perpustakaan Nasional Jakarta. Sifat istimewa yang tampak
pada koleksi tersebut adalah koleksi lama yang masih utuh;
usia naskah tergolong tua (sekitar abad XVI-XVIII); dan
sebagian besar berisikan tentang keagamaan dan sastra Hindu-
Buddha; diungkap dengan bahasa Jawa Kuna yang cenderung
bersifat ragam lokal. Yang paling unik dari koleksi tersebut
adalah bentuk aksaranya (Buddha atau sering disebut Jawa
Kuna) yang bervariasi dari setiap zamannya. Bentuk aksaranya
94
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
lebih mendekati aksara-aksara yang terdapat dalam prasasti
berhuruf Palawa. Selain itu, ciri-ciri aksara Dewanagari masih
mewarnai bentuk aksaranya. Hampir semua koleksi tersebut
berwarna kehitam-hitaman, sehingga tampak sebagai koleksi
lontar yang pernah tersimpan di sebuah perapian. Apabila
dilihat dari perjalanan sejarah kesusastraan Jawa Kuna,
penemuan koleksi naskah Merapi-Merbabu itu memperlihatkan
bahwa adanya kesinambungan kehidupan sastra Jawa Kuna
setelah runtuhnya Majapahit. Ada yang berlanjut di Jawa
Tengah dan ada pula diteruskan di Bali (Suarka, 2005:1).
2.2 Karya Sastra Jawa Kuna sebagai Wahana Sastra
Hindu
Di Bali, pengaruh ini telah terasa sejak abad X, yakni
saat kekuasaan Mahendradatta (Gunapriya Dharmapatni)
bersama suaminya Raja Udayana. Politik expedisi Jawa ke Bali
sejak abad X hingga jatuhnya Majapahit, kiranya tak dapat
dipungkiri bahwa Bali telah mendapat pengaruh Jawa Kuna
terlihat dalam bidang kesenian, adat, dan agama.
Pada abad XV, kerajaan Gelgel diperintah Raja
Waturenggong dengan patih Ki Dauh Bale Agung. Di sinilah
sebagaimana disebut dalam Pamancangah, sebagai pusat
aktivitas Jawa Kuna di Bali. Kehidupan bahasa Jawa Kuna pada
zaman Gelgel dapat dibedakan menjadi dua periode, yakni (1)
periode sebelum datangnya Danghyang Nirartha; dan (2)
periode setelah datangnya Danghyang Nirartha. Dalam
Pamancangah, secara jelas dinyatakan bahwa sebelum
datangnya Nirartha, di Gelgel sesungguhnya telah ada aktivitas
sastra memakai bahasa Jawa Kuna, di antaranya dapat dilihat
95
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
dalam karya sastra Wukir Padelengan, Tan Dirgha Rinasa, dan
Pupuh Sumaguna. Dengan datangnya Nirartha di kerajaan
Gelgel, pengaruh bahasa Jawa Kuna semakin luas. Bersama istri
dan para putranya, Nirartha semula berhenti di Desa Gading
Wani (Jembrana) setelah melewati Purancak. Nirartha berhasil
menolong penduduk yang terkena wabah. Di Gading Wani
beliau menghasilkan karya yang disebut Sebun Bangkung.
Kesaktian Nirartha didengar oleh Pangeran Mas, dan segera
dimohon agar Nirartha berkenan ke Desa Mas hingga
memperistri adiknya dan menurunkan Ida Mas. Didengar oleh
Raja Waturenggong, Danghyang Nirartha segera dijemput oleh
Ki Dauh Bale Agung dan dijadikan purahita di kerajaan Gelgel.
Tradisi sastra Jawa Kuna atau Kawi terus berlanjut pada
masa Kerajaan Klungkung abad XVIII--XIX, terutama pada masa
pemerintahan Dewa Agung Istri Kanya. Pada abad XIX muncul
pengarang besar Bali, yakni Ida Pedanda Ngurah dari Geria
Gede Blayu Marga Tabanan, dengan empat buah mahakaryanya
yaitu Kakawin Surantaka, Geguritan Yadneng Ukir, Kakawin
Gunung Kawi, dan Kidung Bhuwana Winasa (Phalguna, 1988).
Pada abad XX di Bali muncul sejumlah pujangga besar,
diawali oleh Ida Pedanda Made Sidemen dari Geriya Delod Pasar
Intaran Sanur. Beliau meninggal tahun 1984 dalam usia 126
tahun. Ada sejumlah karya beliau yang telah dipastikan, antara
lain Siwagama, Kakawin Candra Bhairawa, Kakawin Cayadijaya,
Kakawin Singhalanggyala, Kakawin Kalpha Sanghara, Kidung
Tantri Pisacarana, Kidung Rangsang, dan Geguritan Salampah
Laku (Agastia, 1994). Selanjutnya, I Nyoman Singgih Wikarman,
seorang pangawi muda asal Bangli dengan karyanya Kakawin
Kebo Tarunantaka dan Geguritan Gusti Wayan Kaprajaya.
96
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Munculnya Kakawin Gajah Mada yang diteliti oleh Partini
Sardjono Pradotokusuma (1994), dikatakan ditulis pada abad
XX (Kusuma, 2005:4). Lebih jauh Partini mengatakan, bahwa
pengarang Kakawin Gajah Mada itu bernama Ida Cokorda
Ngurah dari Puri Saren Kauh, Ubud Gianyar, seorang keturunan
bangsawan (kesatria, ahli sastra Kawi).
Di era globalisasi ini bahasa Jawa Kuna tetap eksis di
Bali. Tidak saja dilestarikan dalam artian dibaca, dilantunkan,
didiskusikan, justeru terciptanya karya baru Jawa Kuna berupa
kakawin, sebagaimana dilakukan para rakawi Bali. Pada akhir
abad XX di belahan Bali timur di Banjar Tengah Sibetan
Babandem Karangasem muncul seorang pangawi bernama
Made Degung sangat produktif di bidang olah sastra puisi Jawa
Kuna (kakawin). Kakawin Nilacandra (KN1, 1993) adalah hasil
mahakaryanya yang pertama, disusul karya yang kedua
(Kakawin Eka Dasa Siwa), dan Kakawin Candra Banu (Dharma
Acedya) sebagai karyanya yang ketiga yang kini tengah
dirampungkan. Karyanya yang pertama merupakan cerminan
masyarakat Bali dalam srada bhaktinya kepada Hyang Widhi,
yang sarat akan filosofis Siwa-Buddha yang menjiwai setiap
khazanah sastra lama, karena Siwa-Buddha bersisian
tempatnya yang diyakini sebagai jiwa alam semesta beserta
isinya (sira pinaka jiwaning praja). Berselang 4 tahun kemudian
lahir kembali Kakawin Nilacandra (KN2) karya I Wayan Mandra
(alm.) dari Banjar Dlod Tangluk Sukawati Gianyar. Menurut
informasi yang tertera pada kolofonnya, kakawin ini selesai
ditulis pada Radite Kliwon Medangkungan Purnamaning Kalima
(November) tahun Saka 1919 (1997 Masehi). Pada awal
penceritaannya dijumpai adanya kesamaan dengan KN1, yakni
97
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
silsilah Prabu Nilacandra dan keberhasilannya membuat tiruan
Sorga-Naraka, hingga membuat Kresna marah dan
menyerangnya. Selain itu, dijumpai tentang keberadaan kuda
milik Kresna sebagai anugerah Dewa Indra, hakikat Wisnumurti,
serta hakikat Siwa-Buddha. Pembicaraan konsep Siwa-Buddha,
tampak pada penyatuan hakikat dan ajaran yoga, sementara
Siwattatwa tidak dijelaskan secara mengkhusus.
Tampaknya kreativitas para pangawi Bali meresepsi teks
Nilacandra yang disadur menjadi sastra kakawin tidak berhenti
sampai di wilayah Karangasem dan Gianyar. Justru di tengah-
tengah kota penuh kebisingan, setahun kemudian di sekitar
daerah Kayu Mas Denpasar terlahir lagi Kakawin Nilacandra
(KN3) berangka tahun 1998 karya I Wayan Pamit (alm.).
Sebagaimana tertera dalam kolofon naskahnya, I Wayan Pamit
menyatakan, bahwa kakawin ini selesai disadur pada Sabtu
Kliwon Wariga (Tumpek Wariga), Panglong ke-8, sasih ke Sanga,
tepatnya pada tanggal 21 Maret 1998. Dalam KN3 ini diawali
dengan penjelasan tentang keutamaan ajaran Buddha,
penjelmaan Buddha zaman dahulu dan sekarang yang disebut
Sri Sakyamuni yang tersirat dalam ajaran Trikona. Sakyamuni
inilah dikatakan sebagai jalan utama, karena mampu
menghilangkan segala dosa dan kekurangan di dunia.
III. PENUTUP
3.1 Simpulan
Uraian Jawa Kuna sebagai kunci wasiat pembuka sejarah
budaya masa lampau adalah sebuah bahasa dokumenter tertua
98
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
tersirat ungkapan "mutiara terpendam" yang mesti digali untuk
sesuluh urip. Karena itu, sejak zaman silam (di Jawa) Jawa Kuna
sangat diindahkan oleh para rakawi hingga hidup dan lestari di
Bali. Hal itu dapat dibuktikan sejarah Jawa Kuna semula
tersurat di sejumlah prasasti, karya sastra klasik ( parwa,
kakawin), hingga ratusan koleksi Merapi-Merbabu beraksara
Jawa Kuna/Buddha senantiasa menunggu para ahli Jawa Kuna
untuk menyingkap isi teks Jawa Kuna yang susastra.
Melalui studi Jawa Kuna akan bermanfaat sebagai ssuluh
dalam kehidupan keseharian (berpikir, berkata, berperilaku).
Pentingnya pemahaman Jawa Kuna berkaitan dengan kegiatan
keagamaan di Bali. Tidak saja dilestarikan dalam artian dibaca,
dilantunkan, didiskusikan, justeru terciptanya karya baru Jawa
Kuna berupa kakawin, sebagaimana dilakukan para rakawi Bali.
Semua teks Jawa Kuna, pada hakikatnya adalah wahana sastra
Hindu.

3.2 Saran
Untuk menggali dan mengungkap keadiluhungan sastra
Jawa Kuna, semoga semakin tumbuh niat generasi muda
mendalami Jawa Kuna. Pada gilirannya mereka akan mampu
membabat hutan Jawa Kuna bersama para ahli Jawa Kuna,
hingga memperoleh kekayaan-kekayaan budaya, bahasa, dan
sastranya. Diharapkan kepada segenap pengajar Jawa Kuna
agar bersedia melaksanakan misi suci Jawa Kuna, yaitu
merangsang anak didiknya untuk lebih tertarik dan tergugah
minatnya terhadap warisan leluhur.
99
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
DAFTAR PUSTAKA
Agastia, IBG. 1982. Sastra Jawa Kuna dan Kita. Denpasar:
Wyasa Sanggraha.
Hadi, Sutrisno. 1983. Metodelogi Research. Yogyakarta:
Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi Universitas Gajah
Mada.
Jelantik, IB. dan IB. Putu Suamba. 2002. Ida Wayan Oka
Granoka: Seni sebagai Ritus. Cintamani, Edisi 06 Tahun
I: 50-52.
Mangunwijaya, Y.B. 1982. Sastra dan Religiusitas. Jakarta: Sinar
Harapan.
Molen, W. Van Der. 1983. Javaanse Tekstkritiek een overzicht
en een nieuwe benadering geillustreerd aan de
Kunjarakarna. Leiden: Koninklijk Instituut voor Taal.
Moleong, Lexy J. 1998. Metodelogi Penelitian Kualitatif.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Estetika Sastra dan Budaya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Robson, S.O. 1978. The Kawi Classic in Bali. BKI. 128. 308-
329.
Suarka, I Nyoman. 2007. Kidung Tantri Pisacarana. Denpasar:
Pustaka Larasan.
Zoetmulder, P.J. 1982. Old Javanese-English Dictionary. S-
Gravehage: Martinus Nijhoff.
Zoetmulser, P.J. 1983 dan 1985. Kalangwan Sastra Jawa Kuna
Selayang Pandang. Cetakan ke-1 dan ke-2. Jakarta:
Djambatan.
EFEKTIVITAS PSYCHOLOGICAL FIRST AID DALAM
MENGURANGI GEJALA KECEMASAN PADA PENYINTAS
KECELAKAAN KENDARAAN BERMOTOR
100
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Oleh
I Made Mahaardhika
Dosen BK FIP IKIP PGRI Bali
ABSTRACT
The aim of this research is to see the effect of PFA
intervention in decreasing anxiety symptoms that are
experienced by motor vehicle accident (MVA) survivors. This
research use the qualitative method with three teenager
participants. Anxiety level is measured with the Beck Anxiety
Inventory (BAI) and deep interview. PFA intervention is applied
during four meetings for four consecutively days. Anxiety
symptoms are experienced in the few days after accidents are :
fear, tension, and worries related to the impact of physical
injury the experience of the accident. PFA helps survivors to
change negative emotions in to more positive emotions,
positive coping strengths and awarenes of the importance of
psychosocial support. The result shows that intervention is able
to decrease the BAI score and anxiety symptoms are lower
between after the given intervention.
Keywords: anxiety, psychological first aid (PFA), motor vehicle
accidents (MVAs)
A. Latar Belakang Masalah
Di negara-negara barat seperti di Amerika Serikat,
kecelakaan kendaraan bermotor merupakan salah satu
penyebab trauma yang cukup besar. Data Departemen
Transportasi Amerika menunjukkan, terjadi enam juta
kecelakaan per tahun, dengan lebih dari 42 ribu yang fatal dan
2,7 juta mengalami luka personal (Hickling & Blanchard dalam
Carll 2007). Selanjunya Hickling dan Blanchard mengatakan,
luka fisik akibat kecelakaan tidak selalu akan disertai dengan
luka psikologis, namun luka fisik yang parah atau serius dapat
dijadikan pertimbangan akan adanya luka psikologis di
101
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
kemudian hari. Sebuah penelitian awal yang dilakukan oleh
Oxley dan Fildes (dalam Harrison, 1999) yang meneliti efek
jangka panjang dari luka fisik dan besarnya biaya yang harus
dikeluarkan oleh individu akibat kecelakaan menemukan
bahwa, luka fisik yang tidak terlalu parah juga menimbulkan
dampak psikologis sampai dua tahun setelah peristiwa
kecelakaan terjadi. Luka fisik yang tidak begitu parah juga
berpengaruh terhadap emosi dan perilaku yang disebabkan
adanya kecemasan dan avoidance reactions yang dialami
penyintas.
Motor Accidents Authority of NSW (2003) menyebutkan,
dalam rentang waktu dua minggu (immediate) pasca
kecelakaan, besar kemungkinan penyintas akan mengalami
kecemasan. Orang-orang yang mengalami kecemasan dan
sampai berkembang mengalami gangguan kecemasan atau
PTSD adalah orang-orang yang mempunyai pengalaman
kecemasan yang ekstrim, pikiran-pikiran yang mengganggu dan
ketakutan yang luar biasa setelah mengalami kecelakaan.
Biasanya orang-orang seperti itu juga terganggu dalam
melakukan aktivitas sehari-hari, dalam bekerja dan
berhubungan dengan orang lain, serta merasa tidak berdaya
akibat pengalaman kecelakaan yang dialaminya
Pada banyak kasus, ketika ditemukan adanya gejala-gejala
permasalahan psikologis yang akut, maka early treatment
sangat dibutuhkan untuk mencegah berkembangnya
permasalahan psikologis yang lebih serius atau sampai menjadi
PTSD (Bryant et.al, dalam Bryant, Moulds & Guthrie, 2000).
Early treatment yang dilakukan beberapa hari setelah peristiwa
traumatis, berfungsi untuk memfasilitasi pemulihan psikologis
102
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
(Yehuda, 2002). Selanjutnya Yehuda (2002) mengatakan,
proses pemulihan dapat terbantu dengan berkomunikasi dan
berbagi cerita dengan orang lain, yang dapat meningkatkan
kemampuan untuk menahan ketidaknyaman dan
mengekspresikan emosi-emosi yang tidak menyenangkan.
Intervensi awal atau sesegera mungkin (Early Intervention)
merupakan pendekatan yang menekankan pada penguatan
persepsi mengenai self-efficacy dalam menghadapi pengalaman
traumatis atau stresor yang menyertainya. Intervensi yang
dilakukan sesegera mungkin akan menjadi efektif dalam
mencegah dampak yang lebih serius akibat pengalaman
traumatis, apabila intervensi tersebut mampu membantu
penyintas menghadirkan gambaran baru dalam mempersepsi
coping yang sesuai dengan kebutuhan (Benight, Cielsak, Molton
& Johnson, 2008).
Motor Accidents Authority of NSW (2003)
merekomendasikan Psychological First Aid (PFA) untuk
diberikan dalam rentan waktu dua minggu sejak peristiwa
kecelakaan terjadi. PFA yang diberikan sesegera mungkin
kepada penyintas kecelakaan meliputi penyediaan rasa aman
dan kenyamanan, memfasilitasi kebutuhan fisiknya,
menghubungkannya dengan keluarga atau orang dekatnya,
serta meningkatkan fungsi sosial support. PFA juga mencakup
pemberian informasi yang sederhana namun akurat mengenai
respon normal berupa kecemasan maupun bentuk distres
lainnya yang muncul pasca mengalami kecelakaan, serta
informasi tentang layanan profesional kesehatan mental bagi
yang membutuhkannya. Apabila penyintas merasa butuh,
dengan berbicara tentang perasaan dan pikiran yang timbul
103
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
setelah mengalami kecelakaan kepada orang lain, juga
merupakan bentuk PFA yang direkomendasikan Motor Accidents
Authority of NSW.
Penyintas kecelakaan kendaraan bermotor yang merasa
bahwa dia harus bertanggung jawab serta mengakui dalam
dirinya bahwa kecelakaan tersebut adalah bagian dari
kesalahannya, mempunyai resiko lebih kecil untuk mengalami
PTSD dan mengalami pemulihan psikologis lebih cepat.
Penyintas kecelakaan yang memaknai bahwa dirinya bersalah
dalam kecelakaan yang terjadi, mempunyai kekuatan
mengontrol persepsinya dalam menilai peristiwa yang terjadi.
Penyintas mempunyai lebih banyak sense of control mengenai
apa yang telah dia alami dan bagaiamana menyikapi apa yang
akan terjadi ke depan (Delahanty et al., 1997).
Remaja usia 16-19 tahun beresiko lebih besar mengalami
kecelakaan jika dibandingkan dengan kelompok usia lainnya,
terutama pada remaja yang mulai mengemudikan kendaraan
bermotor (McCartt ; National Center for Injury Prevention and
Control-NCIPC, dalam Papalia, Olds & Feldman, 2009). Data dari
Kepolisian Daerah Bali Direktorat Lalu Lintas, pada semester I
Tahun 2010 mengenai korban kecelakaan lalu lintas terdapat
pada tabel 1 :
Tabel 1 : Angka jumlah korban kecelakaan kendaraan bermotor
periode Januari-Juni 2010 (Direktorat Lalu Lintas
Kepolisian Daerah Bali).
usia Jumlah (orang)
0 s/d 9 th 120
10 s/d 15 th 396
16 s/d 30 th 613
104
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
31 s/d 40 th 331
41 s/d 50 th 226
51 th ke atas 174
1860
Dari data tersebut, 54,25 % korban kecelakaan lalu lintas
pada wilayah Polda Bali adalah usia 10 sampai 30 tahun. Dari
hasil pengamatan peneliti, Di Bali sendiri terutama di wilayah
Kota Denpasar dan Kabupaten Badung, hampir sebagian besar
usia remaja, sejak mereka bersekolah di SMP, sudah
mengendarai motor sendiri untuk pergi ke sekolah. Hal ini tentu
menjadi perhatian penting bagi peneliti dalam
mempertimbangkan usia remaja sebagai partisipan penelitian.
Ketika remaja mengalami luka atau bekas luka pada wajah dan
daerah tubuh lainnya, mungkin muncul kekhawatiran mengenai
akan ditolak teman lawan jenisnya. Luka fisik juga akan
mengganggu aktivitas pendidikan remaja dan interaksi sosial
lainnya, yang mungkin menimbulkan ketidaknyamanan pada
diri remaja. Perasaan malu, harga diri yang menurun karena
dianggap tidak mahir dalam mengendarai motor oleh teman
sebaya, mungkin menjadi pikiran-pikiran yang hadir pada diri
remaja yang baru mengalami kecelakaan. Rasa sakit dibagian
tubuh yang luka dan penilaian tentang bagaimana nanti
keberfungsian organ tubuh yang luka mungkin menjadi sumber
stres atau kecemasan pada diri remaja.
Merujuk pada hasil pemaparan di atas, maka penelitian ini
dilakukan dengan tujuan untuk melihat apakah Psychological
First Aid (PFA) dapat mengurangi gejala kecemasan pada
penyintas kecelakaan kendaraan bermotor.
105
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
B. Tinjauan Teoritis
Freud (dalam Feist & Feist 2008) mendefinisikan
kecemasan sebagai kondisi yang tidak menyenangkan, bersifat
emosional dan sangat terasa kekuatannya, disertai sebuah
sensasi fisik yang memperingatkan seseorang terhadap bahaya
yang sedang mendekat. Ketidaknyamanan dari kondisi ini
seringkali samar-samar dan sulit untuk ditentukan
penyebabnya, namun kecemasan itu sendiri selalu dapat
dirasakan. Sedangkan Rogers mendefinisikan kecemasan
sebagai kondisi tidak nyaman atau tegangan yang
penyebabnya tidak diketahui.
Peurifoy (2005) mengatakan, kecemasan biasanya
didorong oleh ancaman yang hadirnya samar-samar, tidak
nyata atau tidak langsung, sedangkan ketakutan didorong oleh
ancaman yang jelas atau nyata. Baik kecemasan dan ketakutan
mengakibatkan gejala-gejala mental seperti rasa putus asa,
bingung, takut, khawatir dan adanya pengulangan pikiran-
pikiran negatif. Kecemasan dan ketakutan juga mengakibatkan
munculnya gejala fisik ringan seperti ketegangan otot-otot
tubuh.
Pada orang yang sedang sakit atau mengalami luka,
kondisi yang dialaminya menimbulkan perasaan yang tidak
nyaman dan terasa mengganggu dirinya. Terkadang perasaan
seperti ini menjadi sesuatu yang disadari, namun ketika
ketidaknyaman tersebut muncul tanpa disadari dan terasa
sangat mengganggu tanpa diketahui penyebab pastinya serta
106
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
terjadi terus menerus, hal inilah yang menjadi sebuah bentuk
kecemasan (Meares, 1963).
Motor Accidents Authority of NSW (2003) menyebutkan
bahwa penyebab kecemasan bisa karena ketakutan akibat
memikirkan sesuatu yang tidak jelas atau tidak pasti,
kekhawatiran karena penilaian tentang sesuatu yang akan
datang atau di kemudian hari, atau persepsi tentang sesuatu
yang sudah lalu, seperti tentang pengalaman kecelakaan yang
pernah dialaminya, bertanya-tanya dalam diri sendiri, mengapa
dan kenapa hal itu bisa terjadi, siapa yang salah dan penyebab
utama dari kecelakaan tersebut. Motor Accidents Authority of
NSW (2003) menyebutkan, dalam rentang waktu dua minggu
(immediate) pasca kecelakaan, besar kemungkinan penyintas
akan mengalami kecemasan.
Jacobson (dalam Soewondo, 2009) mengatakan bahwa,
relaksasi otot berjalan bersama dengan relaksasi mental.
Perasaan cemas subjektif dapat dikurangi atau dihilangkan
dengan sugesti tidak langsung atau menghapus atau
menghilangkan komponen otonomik perasaan-perasaan itu.
Jacobson mengembangkan relaksasi progresif untuk
mengurangi rasa cemas, stres atau tegang. Relaksasi progresif
ini juga menjadi salah satu bagian dari intervensi yang akan
peneliti berikan kepada partisipan, sebagai salah satu upaya
mengurangi kecemasan atau ketegangan yang dialami
penyintas kecelakaan kendaraan bermotor.
Seseorang dapat melakukan berbagai cara atau teknik
untuk mengurangi gejala kecemasan yang dia alami. Peurifoy
(2005) mengatakan ada empat keterampilan dasar yang bisa
dilakukan untuk mengurangi gejala kecemasan, yaitu :
107
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
1. Relaksasi.
2. Mengatur aliran nafas.
3. Coping Self-Statements. Ketika seseorang menginter-
pretasi suatu situasi, pikiran dan perasaannya sangat
berpengaruh dalam penilaian yang dihasilkannya.
Dengan melatih untuk memaknai secara positif sebuah
peristiwa yang tidak menyenangkan, seseorang dapat
merubah penilaiannya terhadap situasi atau pengalaman
tertentu, sehingga pikiran dan perasaan yang dihasilkan
juga menjadi lebih baik atau positif. Salah satu bagian
dalam sesi intervensi yang peneliti lakukan adalah
mengajak penyintas untuk memaknai secara positif dan
menemukan hikmah dari kecelakaan yang dialaminya.
4. Distraction, yaitu melakukan sesuatu aktivitas yang
mengasikkan atau menyenangkan untuk mengalihkan
fokus atau perhatian kita dari stresor atau sesuatu yang
membuat kita cemas. Bekerja, bermain, olahraga, berdoa
serta berbicara dengan orang lain merupakan bentuk
distraction yang umum dikakukan.
Psychological First Aid (PFA) adalah suatu pendekatan
untuk mengurangi distres yang dialami individu atau komunitas
yang terkena bencana, serta membantu mengembangkan
fungsi adaptif jangka pendek maupun jangka panjang dalam
menghadapi dampak bencana (Vernberg, et.al, 2008).
Sedangkan menurut Everly, Phillips, Kane & Feldman (2006)
Psychological First Aid (PFA) merupakan serangkaian
keterampilan yang digunakan untuk mengurangi distres dan
mencegah timbulnya perilaku negatif, memberikan pemahaman
mengenai respon normal terhadap situasi yang penuh tekanan
108
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
atau ketika mengalami peristiwa traumatis, termasuk
kemampuan untuk memahami kapan harus mencari bantuan
dari profesional kesehatan mental.
PFA digunakan dalam respon bencana dan ditujukan bagi
siapa saja yang terkena dampak dalam hitungan jam atau hari,
baik dalam situasi darurat, bencana atau serangan teroris.
Tujuan dasar PFA adalah memberikan bantuan atau dukungan
bagi individu dan resiliensi komunitas untuk mengurangi stres
akut yang muncul akibat bencana serta mendorong fungsi
adaptif jangka pendek maupun jangka panjang (Uhernik &
Husson, 2009). Konsep PFA adalah meningkatkan cara dalam
menyediakan dukungan dan ketenangan bagi orang yang
mengalami luka atau ketakutan ketika kondisi untuk
mendapatkan intervensi dari orang yang ahli dalam hal itu tidak
memungkinkan. Teman atau siapa pun dapat menyediakan
pertolongan non medis sementara kepada orang yang terluka,
sampai pertolongan dari orang yang berkompeten datang untuk
menolong. Jadi siapa saja dapat menggunakan teknik psikologis
sederhana untuk mengurangi kesedihan atau kepanikan yang
dialami seseorang yang terluka, sehingga apa yang dilakukan
tersebut dapat mencegah kebutuhan untuk mendapatkan
intervensi dari psikiater (Blain, Hoch & Ryan, dalam Reyes &
Jacobs, 2006).
Pemulihan dari trauma adalah dengan memfasilitasi
pengungkapan emosi serta menghubungkannya dengan
dukungan sosial yang ada (Pennebaker, dalam Boege & Gehrke,
2005). Orner (dalam Boege & Gehrke, 2005) menemukan,
setelah mengalami peristiwa traumatis atau kecelakaan, 71,4 %
orang melaporkan bahwa mereka melakukan kontak atau
109
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
hubungan dengan koleganya dan hanya 9,2 % melakukan
kontak dengan profesional.
C. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif.
Pendekatan kualitatif bertujuan untuk memahami dan
mendalami situasi nyata sehari-hari agar dapat
mendeskripsikan dan memahami tingkah laku yang tampak
maupun kondisi-kondisi internal manusia, baik itu pandangan
hidupnya, nilai-nilai yang dipegang, pemahaman tentang diri
dan lingkungan, serta bagaimana ia mengembangkan
pemahaman tersebut (Patton, dalam Poerwandari 2009).
Pendekatan kualitatif digunakan dalam penelitian ini untuk
mendapatkan pemahaman mengenai reaksi atau dampak yang
timbul dalam beberapa hari (reaksi akut) pada penyintas
kecelakaan kendaraan bermotor. Kecemasan merupakan reaksi
utama yang ingin dilihat dalam penelitian ini. Perilaku, pikiran
dan perasaan apa saja yang sering muncul dalam beberapa hari
yang dialami penyintas. Pendekatan kualitatif juga
dimaksudkan untuk memahami mekanisme coping penyintas,
serta dukungan psikososial seperti apa saja yang telah ia
dapatkan dan harapkan untuk membantu pemulihannya.
Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah
psychological first aid (PFA) sebagai sebuah bentuk treatment
awal dalam mengurangi dampak peristiwa traumatis, dapat
secara efektif mengurangi gejala kecemasan yang dialami
penyintas kecelakaan kendaraan bermotor. Untuk menguji
efektivitas sebuah intervensi atau program, maka penelitian ini
menggunakan desain pre test post test (Kumar, 1996).
110
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui
pengisian kuesioner Beck Anxiety Inventory (BAI) oleh
penyintas kecelakaan kendaraan bermotor untuk melihat
tingkat kecemasannya, serta wawancara dan observasi kepada
partisipan penelitian.
D. Partisipan Penelitian
Partisipan dalam penelitian ini adalah penyintas kecelakaan
kendaraan bermotor yang bertempat tinggal di wilayah Provinsi Bali.
Partisipan yang akan menjadi sampel dalam penelitian ini terdiri dari
tiga orang yang memiliki karakteristik tertentu sesuai dengan
fenomena atau tujuan yang ingin diteliti (purposive sampling), yaitu :
1. Penyintas kecelakaan kendaraan bermotor yang mendapatkan
penangan segera setelah kecelakaan di instalasi rawat darurat
(IRD) di rumah sakit, yang mengalami luka pada wajah
dan/atau bagian tubuh lainnya.
2. Berusia remaja (10-19 tahun).
3. Tingkat kecemasan tinggi (di atas skor 36) hasil interpretasi
BAI yang telah diisi oleh partisipan.
4. Bersedia menjadi partisipan penelitian dan mengisi inform
consent.
E. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Alat ukur the Beck Anxiety Inventory (BAI).
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan Beck
Anxiety Inventory (BAI) sebagai alat untuk mengukur tingkat
kecemasan penyintas kecelakaan kendaraan bermotor. BAI
111
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
merupakan Pengembangan dari 21 item self report inventory
untuk mengukur tingkat kecemasan. BAI sendiri telah
mempunyai panduan interpretasi mengenai tingkat
kecemasan itu sendiri, yaitu angka 0-21 mengindikasikan
kecemasan yang sangat rendah, 22-35 mengindikasikan
tingkat kecemasannya sedang dan 36-63 mengindikasikan
tingkat kecemasan yang tinggi dan perlu mendapatkan
perhatian yang serius (dalam Beck, Epstein, Brown, Steer,
1988). Dalam penelitian ini BAI yang digunakan sudah
diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia (Kartikasari, 2009).
b. Panduan wawancara bagi peneliti.
c. Modul PFA bagi penyintas kecelakaan kendaraan bermotor.
d. Alat bantu lain seperti kamera digital dan tape recorder untuk
merekam wawancara yang dilakukan.
F. Prosedur Intervensi
Intervensi dilakukan dengan mengunjungi penyintas di
rumahnya. Setelah peneliti memperkenalkan diri serta
menyampaikan maksud dan tujuan kedatangannya dan menjelaskan
bahwa peneliti mengetahui data penyintas dari rumah sakit, peneliti
meminta penyintas untuk mengisi Beck Anxiety Inventory (BAI)
sebagai alat untuk mengukur level gejala kecemasan. Apabila skor
kecemasan penyintas di atas skor 22-35 (sedang) atau 36-66 (tinggi),
maka peneliti akan melakukan intervensi kepada penyintas dengan
terlebih dahulu menanyakan kesediaannya untuk menjadi partisipan
penelitian. Bila skor kecemasan penyintas hanya 21 atau di bawahnya
(rendah), peneliti tidak akan memberikan intervensi, namun hanya
memberikan psikoedukasi. Penyintas dengan level kecemasan tinggi
atau sedang yang bersedia untuk menjadi partisipan penelitian, akan
112
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
menjalani empat sesi pertemuan selama empat hari berturut-turut,
dimana setiap sesinya akan berlangsung selama 90 menit.
Di sesi pertemuan pertama intervensi, peneliti lebih banyak
melakukan komunikasi yang sifatnya membangun raport dengan
partisipan. Peneliti memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud
dan tujuan kedatangaan peneliti menemui penyintas. Peneliti
menggali informasi dengan menanyakan hal-hal yang berkaitan
dengan rasa aman dan kenyamanan partisipan selama beristirahat di
rumah atau selama menjalani rawat jalan. Peneliti juga
mengkomunikasikan apakah partisipan mengalami kesulitan atau
hambatan dalam proses pemulihan.
Di sesi pertemuan kedua dengan partisipan, peneliti
memberikan intervensi dengan membantu penyintas untuk
mengungkapkan perasaan, pikiran serta reaksi fisik dan perilaku yang
partisipan alami pasca mengalami kecelakaan. Dalam sesi ini
diharapkan apa yang diungkapkan partisipan kepada peneliti bisa
menjadi ventilasi untuk mengekspresikan emosi-emosi negatif yang
dirasakan partisipan. Peneliti juga membantu penyintas untuk lebih
mengenal coping positif dan dukungan psikososial yang dapat
membantu penyintas dalam mempercepat proses pemulihan
psikologisnya.
Pada sesi pertemuan ketiga intervensi, peneliti mengajak
partisipan untuk memaknai secara positif dan menemukan hikmah
dari kecelakaan yang baru dialaminya. Peneliti memberikan teknik
relaksasi progresif kepada penyintas sebagai salah satu cara
mengurangi gejala kecemasan, ketegangan-ketegangan otot tubuh
ataupun mengurangi bentuk distres lainnya. Peneliti juga meminta
partisipan untuk mengajarkan sebuah teknik relaksasi atupun teknik
olah pernapasan atau teknik manajemen stres lainnya yang mungkin
113
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
telah dimiliki penyintas dan efektif bagi dirinya untuk mengurangi
distres yang pernah dia alami. Dengan partisipan mengajarkan
sebuah teknik relaksasi kepada peneliti, diharapkan penyintas merasa
bahwa dirinya berdaya dan lebih mengenal kapasitas yang ada dalam
dirinya juga dapat membantu mempercepat proses pemulihan
psikologisnya.
Pada sesi pertemuan terakhir (pertemuan ke empat),
partisipan diminta untuk mengungkapkan kembali gejala atau apa
yang dia rasakan pasca mengalami kecelakaan, serta bagaimana
perubahan yang terjadi terhadap gejala-gejala tersebut setelah
menjalani proses intervensi selama empat hari bersama peneliti.
Peneliti meminta penyintas menghayati kembali coping yang telah
dilakukannya serta apa yang dia rasakan dari dukungan psikososial
yang didapatkannya. Partisipan juga diminta mengisi kembali
kuesioner BAI, untuk melihat apakah ada penurunan skor gejala
kecemasan setelah dilakukan intervensi.
G. Metode Analisa Data
Data dianalisa sesuai dengan tema-tema yang ingin dicari
dalam penelitian ini. tema-tema yang ingin dilihat adalah gambaran
umum kehidupan sehari-hari partisipan (penyintas kecelakaan
kendaraan bermotor), gambaran stres dan gejala kecemasan
partisipan pasca mengalami kecelakaan, strategi coping, dukungan
psikososial, penilaian partisipan terhadap intervensi, serta perubahan
skor dan penghayatan stres dan gejala kecemasan partisipan pasca
menjalani proses intervensi.
H. Hasil Penelitian
114
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Secara ringkas hasil penelitian dapat peneliti paparkan dalam
tabel di bawah ini :
Y DP D
Gambaran
Umum
Kehidupan
Partisipan
Laki-laki berumur
15 tahun,
keluarga sangat
sejahtera, setiap
hari pergi ke
sekolah dan
melakukan
aktivitas lain di
luar rumah
dengan
mengendarai
motor sendiri.
Perempuan
berumur 16 tahun,
keluarga sangat
sederhana, setiap
hari pergi ke
sekolah dan
melakukan
aktivitas lain di
luar rumah dengan
mengendarai
motor sendiri.
Perempuan
berumur 20 tahun,
keluarga
menengah ke atas,
setiap hari pergi ke
kampus dan
melakukan
aktivitas lain di
luar rumah dengan
mengendarai
motor sendiri.
Pikiran Bertanya-tanya
pada diri sendiri
tentang
bagaimana
komentar teman-
teman dengan gigi
saya yang patah 2.
Bertanya-tanya
pada diri sendiri
bagaimana
keadaan ibu dan
bayi/kehamilannya
nanti, sulit
berkonsentrasi.
Bertanya-tanya
pada diri sendiri
kenapa saya bisa
jatuh lagi, teringat
tentang
kecelakaan yang
dialami, sulit
berkonsentrasi.
Perasaan Malu, kecewa,
kurang
semangat,
waspada, takut,
bosan, malas,
cemas, tidak
sabar, orang lain
yang
menyebabkan
dirinya
mengalami
kecelakaan.
Takut, merasa
bukan dirinya yang
bersalah dalam
peristiwa yang
terjadi.
Takut, cemas, was-
was, merasa tidak
enak karena
merepotkan orang
lain, kecelakaan
merupakan
kesalahan sendiri.
Fisik Otot tubuh
tegang, gigi sakit,
sulit tidur, baru
bangun tidur
leher sakit.
Otot-otot tubuh
tegang dan kaku,
sulit tidur, tubuh
lemas, kurang
bersemangat.
Perilaku Takut mengendarai
motor sendiri di
jalan raya.
Jadi sering
menyendiri di
kamar.
Strategi
Coping
Baca komik, main
game,
Bercerita/ngobrol
dengan anggota
Cerita atau ngobrol
dengan teman,
115
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
menggambar,
ngobrol dengan
keluarga,
memakai gigi
palsu,
sembahyang.
keluarga atau
teman,
mendengarkan
musik, nonton tv,
menulis diary
jalan-jalan, makan,
sms-an, internetan,
nonton tv,
sembahyang atau
berdoa.
Dukungan
Psikososial
Orang tua,
keluarga, teman
sekolah.
Anggota keluarga
di rumah, saudara,
teman sekolah.
Teman kampus.
Hambatan
dalam
pemulihan
psikologis
Kurangnya
perhatian dan
dukungan dari
anggota keluarga
di rumah.
Hikmah
Positif dari
Kecelakaan
yang
Dialami.
Harus lebih hati-
hati dan waspada
jika mengendarai
motor, jadi lebih
rajin berdoa.
Harus lebih
berhati-hati, tidak
boleh bengong jika
mengendarai
motor, harus lebih
terbuka dengan
keluarga jika
punya masalah.
Ketika
mengendarai
motor tidak boleh
buru-buru dan
dalam keadaan
marah atau kesal,
jadi lebih dekat
dengan teman,
tidak selalu
menyalahkan
lingkungan, diri
sendiri yang
sangat berperan
dalam
menyebabkan
kecelakaan yang
dialami.
Penilaian
Terhadap
Intervensi
Bermanfaat,
membantu
pemulihan
psikologis, ada
teman
berkomunikasi,
mendapat
manfaat dari
relaksasi dan
rileks. progresif
yaitu menjadi
lebih tenang
Bermanfaat,
membantu
pemulihan
psikologis,
membuat lebih
tenang, nyaman
dan dikuatkan
(coping DP
didukung atau
dinilai baik oleh
peneliti)
Membantu
pemulihan
psikologis,
membantu dalam
menemukan
hikmah positif.
Perubahan
penghayat
an gejala
kecemasan
.
Lebih rileks,
tenang, nyaman.
Tidur lebih
nyaman, lebih bisa
berkonsentrasi,
tenang, nyaman.
Merasa senang,
nyaman, merasa
banyak yang
perhatian, otot-
otot jadi lebih
116
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
rileks.
Perubahan/
Penurunan
Skor Gejala
Kecemasan
Sebelum
dan
Sesudah
Intervensi
Dari 36 menjadi
18 (turun 18
poin)
Dari 23 menjadi 8
(turun 15 poin)
Dari 34 menjadi 8
(turun 26 poin)
I. Analisa Antar Partisipan
Skor gejala kecemasan Y yang tinggi (36) ketika peneliti
memulai intervensi, kemungkinan dikarenakan Y masih
merasakan sakit dan persepsi yang tidak menyenangkan karena
giginya yang patah dua. Sebelum mengalami kecelakaan, bisa
dikatakan Y tidak pernah mengalami permasalahan atau stres
yang sampai mengganggu fungsi keseharian dalam hidupnya,
sehingga kecelakaan ini menjadi pengalaman traumatis
pertama dia alami. Oleh karena itu, peneliti memperkirakan
kecelakaan yang Y alami menjadi sesuatu yang dihayatinya
dengan sangat dalam, sehingga menimbulkan gejala-gejala
kecemasan yang tinggi ketika dilakukan pengukuran melalui
beck anxiety inventory (BAI).
DP merupakan partisipan yang menunjukkan skor gejala
kecemasan yang paling rendah (23) diantara ketiga partisipan
dalam penelitian ini. Meskipun skor gejala kecemasan DP
berada dalam tingkat sedang, namun dari apa yang
diungkapkan DP selama proses intervensi berjalan
menunjukkan bahwa, penghayatannya terhadap kecelakaan
yang baru saja dia alami sangat mengganggu dan membuatnya
tidak nyaman. Keyakinannya yang merasa tidak bersalah dalam
kecelakaan yang terjadi, namun tetap harus memberikan
117
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
perhatian kepada ibu yang bertabrakan dengan dirinya,
menjadi sesuatu yang bertentangan di dalam dirinya. DP juga
merasa bersalah pada dirinya dan kedua orang tuanya, karena
tidak mengikuti nasihat kedua orang tuanya agar tidak
menyeberang melewati candi (gapura gang yang terbuat dari
batu) ketika akan memasuki gang untuk menuju ke rumahnya
sebelum kecelakaan tersebut terjadi.
Terbatasnya keadaan ekonomi keluarga dan di sisi lain
DP harus berurusan dengan hukum karena motornya ditahan
dan dinyatakan bersalah oleh polisi, menjadikan stresor yang
sangat kuat dalam penghayatan DP. Kondisi ibu yang sedang
hamil delapan bulan anak pertamanya dan harus diopname,
menjadi stres yang sangat besar bagi DP karena dengan
terbatasnya ekonomi keluarga, bagaimana harus bertanggung
jawab dalam membantu biaya pengobatan ibu yang
bertabrakan dengan dirinya tersebut. DP lebih menerima
manfaat intervensi yang berupa penguatan-penguatan emosi
dan support dari peneliti yang menilai baik strategi coping yang
telah dilakukannya.
Temuan yang sangat menarik adalah baik Y dan DP
sama-sama mendapatkan dukungan psikososial dari teman dan
keluarga, sedangkan D hanya mendapatkan dukungan
psikososial dari temannya, bahkan menurut D keluarga
merupakan faktor penghambat dalam proses pemulihan
psikologisnya. Sebelum mengalami kecelakaan, D telah
mempunyai permasalahan dengan anggota keluarganya di
rumah. Hal ini juga menjadi stresor tambahan bagi D, karena
dia menghayati bahwa kurangnya perhatian dan komunikasi
dengan keluarga, membuat dirinya merasakan tidak
118
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
mempunyai sumber daya yang bisa dimintai bantuan ketika
mengalami permasalahan dalam hidupnya. Pengalaman
mengalami kecelakaan sebanyak dua kali dalam sebulan
menjadikan stres yang dialami D seolah terakumulasi, sehingga
faktor inilah yang menyebabkan skor gejala kecemasannya
hampir berada pada tingkat yang tinggi (34). Namun diantara
ketiga partisipan dalam penelitian ini, D mempunyai penurunan
skor gejala kecemasan yang paling besar. Walaupun D tidak
mendapatkan dukungan psikososial dari keluarga, namun
peneliti berkeyakinan bahwa faktor yang membuat skor gejala
kecemasannya menurun paling besar adalah karena D lebih
banyak memaknai secara positif dan mendapatkan hikmah dari
kecelakaan yang dialaminya. D sangat merasakan manfaat
intervensi dari hal-hal yang berusaha menggali lebih dalam
pemaknaan partisipan tentang peristiwa yang dialaminya, serta
mengajak partisipan menemukan hikmah positif dari
kecelakaan yang baru dialaminya.
J. Diskusi
PFA menjadi intervensi yang efektif dalam mengurangi
gejala kecemasan yang dialami penyintas dalam beberapa hari
pasca mengalami kecelakaan dikarenakan PFA membantu
penyintas untuk mengungkapkan perasaan dan pikiran yang
tidak menyenangkan, sehingga beban atau tekanan yang
dialami penyintas juga menjadi berkurang. Menguatkan dan
meningkatkan coping positif serta dukungan psikososial yang
dimiliki penyintas juga menjadi bagian utama intervensi.
Penyintas juga diajak untuk menemukan hikmah dan memaknai
secara positif kecelakaan yang dialaminya, sehingga dapat
119
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
mengimbangi atau mengurangi emosi-emosi negatif yang hadir
akibat persepsi penyintas tentang peristiwa yang dialaminya.
Peneliti menemukan bahwa tidak tersedianya data
lengkap tentang penyintas kecelakaan kendaraan bermotor
yang ditangani di instalasi gawat darurat (IGD) di kedua rumah
sakit tempat peneliti mencari data penelitian. Penyintas yang
diperbolehkan langsung pulang setelah mendapatkan
penanganan di IGD, menyebabkan data lengkap mengenai
identitas serta alamat penyintas menjadi tidak begitu penting
untuk menjadi bagian catatan atau dokumen pelayanan di
rumah sakit. Fenomena seperti ini juga didukung oleh faktor
bahwa, sebagian besar penyintas kecelakaan yang
mendapatkan penanganan di IGD merupakan, hasil rujukan
masyarakat atau sesama pengguna jalan, sehingga ketika tiba
di IGD tidak ada orang yang bertanggung jawab untuk
mendaftarkannya sesuai dengan identitas lengkap penyintas.
K. Kesimpulan
Peneliti menyimpulkan bahwa gejala kecemasan yang
dialami penyintas kecelakaan kendaraan bermotor dikarenakan
persepsi mengenai apa atau bagaiamana yang akan terjadi
nanti akibat dari kecelakaan yang terjadi. Persepsi mengenai
dampak negatif yang mungkin akan dialami penyintas ataupun
orang lain, menimbulkan perasaan-perasaan tidak nyaman
dalam diri penyintas. Perasaan takut, was-was dan khawatir
untuk mengendarai motor menjadi gejala yang paling sering
muncul pada penyintas. Penyintas juga menjadi tegang dan
tidak tenang pasca mengalami kecelakaan. Penyintas
cenderung menggunakan coping yang berfokus emosi untuk
120
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
menghadapi atau mengurangi stres yang dialaminya pasca
mengalami kecelakaan.
Hasil penelitian ini juga mendukung teori bahwa, orang
yang mengalami peristiwa traumatis dan mendapatkan
dukungan psikososial dari anggota keluarga, teman ataupun
orang-orang terdekatnya, akan mengalami pemulihan psikologis
yang lebih cepat. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa
individu yang lebih banyak mendapatkan hikmah positif dari
kecelakaan yang dialaminya, serta memaknai bahwa apa yang
dialaminya merupakan bagian dari kesalahan dirinya,
mengalami pemulihan psikologis yang lebih baik.
Penelitian ini juga membuktikan bahwa, bantuan
psikologis sesegera mungkin dalam hal ini melalui intervensi
psychological first aid (PFA) yang diberikan kepada penyintas
kecelakaan kendaraan bermotor sangat efektif dalam
mengurangi gejala kecemasan yang timbul dalam beberapa jam
atau beberapa hari pasca kecelakaan. Efektivitas PFA sebagai
sebuah intervensi dalam mengurangi gejala kecemasan yang
dialami penyintas kecelakaan kendaraan bermotor dapat dilihat
dengan penurunan gejala kecemasan yang antara sebelum
dengan sesudah intervensi, serta perubahan penghayatan
gejala kecemasan yang menjadi lebih baik (rileks, tenang,
nyaman, lebih dapat berkonsentrasi dan tidur lebih mudah),
selama menjalani proses intervensi.
L. Saran
Intervensi yang peneliti lakukan kepada partisipan dalam
penelitian ini terbatas hanya dalam empat sesi pertemuan
dalam empat hari berturut-turut. Oleh karena itu, pelaku PFA
121
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
sebaiknya melakukan monitoring terhadap penyintas, untuk
melihat apakah skor dan penghayatan gejala kecemasan
penyintas semakin menurun, meningkat atau tetap, selama
satu sampai dua minggu pasca melakukan intervensi. Ketika
ditemukan adanya gejala-gejala kecemasan ataupun perubahan
perilaku yang berlanjut pada partisipan, sebaiknya dilakukan
tindak lanjut, baik dengan melakukan pendampingan psikologis
maupun merujuk ke profesional kesehatan mental.
Dukungan psikologis awal seharusnya dapat dilakukan
ketika peyintas kecelakaan berada di instalasi gawat darurat
(IGD). Sebelum penyintas pulang setelah mendapatkan
penanganan di IGD, perawat atau petugas dapat melakukan
komunikasi atau memberikan informasi yang dapat membantu
mengurangi kecemasan yang dirasakan penyintas, sekaligus
mencari infomasi lengkap identitas penyintas. Petugas pencatat
identitas dapat memberikan informasi tentang reaksi-reaksi apa
yang biasanya muncul pada orang yang mengalami kecelakaan
kendaraan bermotor dan reaksi tersebut merupakan reaksi
yang normal.
Untuk di Bali sendiri, dengan sistem organisasi
kemasyarakatannya yang sangat kuat dan mengikat, pelatihan
PFA dapat dilakukan kepada ibu-ibu PKK atau pengurus banjar
setempat, sehingga promosi dan penerapan PFA dapat
menjangkau sampai ke lapisan masyarakat paling bawah,
termasuk ketika ada salah satu anggota banjar yang mengalami
kecelakaan. Pelatihan PFA juga harus melibatkan anggota STT
(seka teruna teruni/karang taruna), yang sekaligus disisipkan
dengan materi bagaimana perilaku berkendara yang baik di
jalan, disamping meningkatkan pengetahuan mereka tentang
122
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
pentingnya dukungan psikososial dan menjaga kesejahteraan
psikologis itu sendiri.
Khusus untuk di PMI sendiri, PFA seharusnya menjadi
kompetensi wajib bagi setiap relawan yang bertugas dalam
respon bencana. Selain berguna dalam membantu penyintas
bencana, PFA juga bisa diberikan bagi sesama anggota relawan
yang sedang bertugas. Dengan menerapkan prinsip-prinsip
komunikasi yang teraupetik dan penyediaan dukungan emosi,
PFA dapat menjadi salah satu alternatif bantuan psikologis bagi
sesama anggota relawan yang menghadapi permasalahan atau
distres ketika bertugas dalam seting respon bencana.
Keterbatasan waktu dan kecilnya jumlah partisipan
dalam penelitian ini, tentunya akan menjadi bahan diskusi dan
perdebatan ketika peneliti menarik kesimpulan tentang
efektivitas PFA. Hal ini menjadi alasan kuat mengapa
penelitian-penelitian serupa harus segera dilakukan. Tingginya
angka kecelakaan di Indonesia serta kurangnya literatur
mengenai dampak psikologis jangka panjang yang dialami
penyintas kecelakaan juga menjadi pertimbangan penting,
mengapa penelitian seperti ini harus menjadi perhatian serius
para penyedia layanan kesehatan mental. Diharapkan
penelitian serupa bisa dilakukan kepada penyintas kecelakaan
kendaraan bermotor usia dewasa atau anak-anak.
DAFTAR PUSTAKA
123
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Beck, A.T., Epstein, N., Brown, G., & Steer, R.A. (1988). An Inventory
for Measuring Clinical Anxiety: Psychometric Properties, APA.
Benight, C.C., Cielsak, R., Molton, I.R., & Johnson, L.E. (2008). Self-
Evaluative Appraisals of Coping Capability and Posttraumatic
Distress Following Motor Vehicle Accidents. Journal of
Consulting and Clinical Psychology. Vol. 76. No. 4, 677-685.
Boege, K., & Gehrke, A. (2005). Preventing Posttraumatic
Stress-Psychological First Aid at the Workplace, Safety
Science Monitor. Vol 9, Issue 1, Short Communication 1,
Dresden.
Bryant, R.A., Moulds, M.L., & Guthrie, R.M. (2000). Accute
Stress Disorder Scale: A Self-Report Measure of Acute
Stress Disorder, Psychological Assesment, Vol. 12, No. 1,
61-68.
Carll, E.K. (2000). Trauma Psychology, Issues in Violence,
Disaster, Health, and Illness, Volume 2 : Health and
Illness. USA : Praeger.
Delahanty, D.L. (1997). Acute and Chronic Distress and
Posttraumatic Stress Disorder as a Function of
Responsibility for Serious Motor Vehicle Accidents.
Journal of Consulting and Clinical Psychology. Vol. 165.
No. 4, 560-567.
Everly, G.S., Phillips, S.B., Kane, D., & Feldman, D. (2006).
Introduction to and overview of Group Psychological First
Aid. Oxford University Press.
Feist, J & Feist, G.J. Theories and Personality (Yudi Santosa,
Penerjemah). Jakarta: Pustaka Pelajar.
Harrison, W.A. (1999). Psychological Disorders as
Consequences of Involvement in Motor Vehicle
Accidents : A Discussion and Recommendations for A
Research Program. Monash University Accident Research
Centre. Report No. 153.
Kumar, R. (1996). Research Methodology A Step-By-Step Guide
For Beginners. London : Sage Publications.
Meares, A. (1963). The Management of The Anxious Patient.
London: W. B. Saunders Company.
124
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Motor Accidents Authority of NSW. (2003). Guidelines for the
Management of Anxiety Following Motor Vehicle
Accidents. Sydney NSW.
Papalia, D.E., Old, S.W., & Feldman, R.D. (2009). Human
Development Perkembangan Manusia, Jakarta: Salemba
Humanika.
Peurifoy, R.Z. (2005). Anxiety, Phobias, & Panic. New York:
Warner Books.
Poerwandari, E.,K. (2009). Pendekatan Kualitatif untuk
Penelitian Perilaku Manusia. Cetakan Ketiga. Depok:
LPSP3 UI.
Reyes, G., & Jacobs, G.A. (2006). Handbook of International
Disaster Psychology. Volume II Practices and Programs.
USA: Praeger Publisher.
Kartikasari, A. D. (2009). Pelatihan Teknik Relaksasi Untuk
Menurunkan Kecemasan pada Primary Caregiver
Penderita Kanker Payudara. Yogyakarta: Universitas
Gadjah Mada. Tesis.
Soewondo, S. (2009). Panduan dan Instruksi Latihan Relaksasi
Progresif. (CD) Depok: LPSP3 UI.
Uhernik, J.A., & Husson, M.A. (2009). Psychological First Aid : An
Evidence Informed Approach for acute Disaster
Behavioral Health Response. American Counseling
Association. North Carolina: Charlotte.
Vernberg, E.M., et al. (2008). Innovation in Disaster Mental
Health : Psychological First Aid, APA, Vol.39, No. 4,
381 388.
Yehuda, R. (2002). Treating Trauma Survivors With PTSD.
Washington: American Psychiatric Publishing.
125
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
PENGARUH PENERAPAN SENAM OTAK (BRAIN GYM) TERHADAP
KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS PESERTA DIDIK KELAS VII
SMP PGRI 8 DENPASAR
Oleh
I Wayan Suana
Jurusan Pendidikan Sejarah
ABSTRACT
This study aimed to determine the effect of the
application of brain exercises (Brain Gym) on the critical
thinking skills of students of class VII SMP PGRI 8 Denpasar.
The population in this study is learners VII 8 SMP PGRI many as
178 people. Sampling technique in this study using random
sampling techniques, but are randomized class. This type of
research includes studies ekspimen. Experimental design to be
used is the design of non-equivalent control group design, by
analyzing the results of post-test scores only from the
treatment and control groups.
From the analysis of the t-
test
showed that t count of 9.73
whereas t-
table
of 1.67 which was significant. It can be concluded
that the application of brain exercise no influence on the ability
of critical thinking class VII SMP PGRI 8 Denpasar.
Keywords: Gymnastics brain (Brain Gym), the ability to think
creatively
I. LATAR BELAKANG
Bidang pendidikan adalah salah satu wahana dan sarana
yang sangat penting untuk dipikirkan, karena pendidikan
sangat menentukan kualitas sumber daya manusia dalam
126
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
pembangunan suatu negara. Oleh karena itu bidang pendidikan
haruslah menjadi hal yang diprioritaskan oleh pemerintah,
masyarakat pada umumnya dan pengelola pendidikan pada
khususnya. Ahli-ahli kependidikan telah menyadari bahwa mutu
pendidikan sangat tergantung pada kualitas guru dan praktek
pembelajaran, sehingga peningkatan pembelajaran merupakan
issu yang sangat mendasar bagi peningkatan mutu pendidikan
secara nasional. Peningkatan mutu pendidikan dan pengajaran
harus selalu diupayakan dan dilaksanakan dengan cara
meningkatkan kualitas pembelajaran. Melalui peningkatan
kualitas pembelajaran maka peserta didik akan semakin
termotivasi untuk belajar, semakin bertambah pengetahuan
dan ketrampilannya, serta semakin mantap pemahamannya
terhadap materi yang dikuasai sehingga pada akhirnya dapat
meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik.
Tiga strategi spesifik untuk pembelajaran kemampuan
berpikir kritis, yakni membangun kategori, menentukan
masalah, dan menciptakan lingkungan yang mendukung (fisik
dan intelektual). Akan tetapi dalam pembelajaran di sekolah,
guru terbiasa menggunakan metode konvensional yaitu metode
ceramah. Metode mengajar ini menjadikan peserta didik pasif
dalam menerima informasi. Peserta didik hanya diajak untuk
mendengarkan, mencatat tanpa adanya aktivitas. Dengan
demikian guru tidak tahu apakah peserta didiknya benar-benar
mengerti dengan materi yang disampaikan sehingga berakibat
pada rendahnya kemampuan berpikir kritis peserta didik.
Pembelajaran konvensional selama ini yang diterapkan guru
membuat siswa kurangnya konsentrasi dalam hal perhatian dan
sikap peserta didik saat pelajaran berlangsung, sehingga
127
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
kondisi pembelajaran di kelas kurang kondusif. Proses belajar
mengajar yang baik adalah guru harus mampu menciptakan
suasana yang membuat perserta didik antusias terhadap materi
pelajaran yang sedang berlangsung sehingga mereka mampu
mengikuti dan dapat memahaminya.
Dalam proses belajar mengajar guru perlu membantu
mengaktifkan peserta didik untuk memaksimalkan kinerja otak
peserta didik, dan kurikulum saat ini telah mengarah kepada
pemikiran peserta didik yang bersifat pengoptimalan fungsi
otak. Dengan bekerjanya otak secara maksimal, maka akan
membuat kemampuan siswa dalam memahami materi pelajaran
akan semakin meningkat pula yang pada akirnya diharapkan
meningkatkan kemampuan berpikir kreatif peserta didik.
Peneliti mencoba suatu strategi yang dapat digunakan sebagai
alternatif untuk meningkatkan konsentrasi peserta didik dalam
belajar, yang selanjutnya diharapkan dapat meningkatkan
minat belajar peserta didik dalam pembelajarandan pada
ahkirnya meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa.
Strategi yang dimaksud adalah Metode Brain Gym.
Gerakan-gerakan sederhana dalam Brain Gym disinyalir
dapat membantu peserta didik untuk memaksimalkan kinerja
otak mereka, dapat meningkatkan konsentrasi peserta didik
saat pembelajaran berlangsung, mengurangi stres bagi peserta
didik yang mengalami kesulitan belajar, menguatkan
mekanisme integrasi otak yang melemah, menajamkan
penerimaan informasi yang diterima di otak bagian belakang
yang sulit diekspresikan sehingga peserta didik minat belajar.
Brain gym didasarkan pada tiga pokok yang sederhana yaitu; 1)
belajar adalah kegiatan yang alami dan menyenangkan yang
128
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
terus terjadi sepanjang hidup, 2) kesulitan belajar adalah
ketidakmampuan mengatasi stres dan keraguan dalam
menghadapi suatu tugas yang baru, dan 3) kita semua
mengalami kesulitan belajar selama kita telah belajar untuk
tidak bergerak.
Umumnya kita menerima saja keterbatasan dalam hidup
kita sebagai sesuatu yang tidak bisa dielakkan dan mungkin
juga gagal menemukan manfaat dari stres yang positif Selain
itu, Brain Gym dapat dilakukan dalam waktu singkat, tidak
memerlukan bahan atau tempat yang khusus gerakan-gerakan
ini membuat pelajaran lebih mudah dan terutama sangat
bermanfaat bagi kemampuan akademik, dapat dipakai dalam
semua situasi belajar, dapat meningkatkan kepercayaan diri
peserta didik, dapat memandirikan peserta didik dalam
pembelajaran dan mengaktifkan seluruh potensi dan
keterampilan yang mereka miliki.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk
melakukan penelitian yang berjudul pengaruh penerapan
senam otak (brain gym) terhadap kemampuan berpikir kritis
peserta didik kelas VII SMP PGRI 8 Denpasar
II. RUMUSAN PENELITIAN
Berdasarkan latar belakang masalah, maka dapat
dikemukakan rumusan masalah, yaitu apakah ada pengaruh
penerapan senam otak (brain gym) terhadap kemampuan
berpikir kritis peserta didik kelas VII SMP PGRI 8 Denpasar?
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penerapan
senam otak (brain gym) terhadap kemampuan berpikir kritis
peserta didik kelas VII SMP PGRI 8 Denpasar.
129
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
III. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen semu (quasy
exsperiment) dengan menggunakan desain Non Equivalent Control
Group design. Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII
SMP PGRI 8 Denpasar tahun pelajaran 2010/2011 yang terdistribusi
menjadi lima kelas, dengan banyaknya populasi 178 orang.
Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik random sampling,
tetapi yang dirandom adalah kelas. Hasil random yang dilakukan
ternyata terpilih Semester VIIB dan sebagai kelompok eksperimen
dan kelas VIID sebagai kelompok kontrol.
Penelitian ini mengkaji pengaruh penerapan senam otak
terhadap kemampuan berpikir kritis. Untuk itu, instrumen yang
digunakan untuk mengumpulkan data adalah tes kemampuan
berpikir kritis yang disusun oleh peneliti. Data kemampuan berpikir
kritis dalam penelitian ini diambil dari skor post test saja yang
dilakukan pada akhir penelitian.
Hipotesis yang diajukan adalah ada perbedaan kemampuan
berpikir kritis siswa yang mengikuti pembelajaran dengan senam otak
dengan kemampuan berpikir kritis siswa yang mengikuti
pembelajaran tanpa senam otak. Untuk menguji hipotesis tersebut
digunakan statistik parametrik, berupa uji-t.
IV. HASIL PENELITIAN
Berdasarkan hasil analisis data telah terbukti bahwa terdapat
terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis siswa yang mengikuti
pembelajaran dengan senam otak dengan kemampuan berpikir kritis
siswa yang mengikuti pembelajaran tanpa senam otak. Hal ini
ditunjukkan dengan dari hasil uji-t yang ternyata signifikan.
130
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Selanjutnya terbukti bahwa kemampuan berpikir kritis siswa yang
mengikuti pembelajaran dengan senam otak dengan skor rata-rata
sebesar 72,69 lebih tinggi daripada kemampuan berpikir kritis siswa
yang mengikuti pembelajaran tanpa senam otak dengan skor rata-
rata sebesar 53,00. Jadi dalam perbandingan antara pembelajaran
dengan senam otak dengan pembelajaran tanpa senam otak,
terdapat pengaruh senam otak terhadap kemampuan berpikir kritis
siswa. Tiga strategi spesifik untuk pembelajaran kemampuan berpikir
kritis, yakni membangun kategori, menentukan masalah, dan
menciptakan lingkungan yang mendukung (fisik dan intelektual).
Akan tetapi dalam pembelajaran di sekolah, guru terbiasa
menggunakan metode konvensional yaitu metode ceramah. Metode
mengajar ini menjadikan peserta didik pasif dalam menerima
informasi. Peserta didik hanya diajak untuk mendengarkan, mencatat
tanpa adanya aktivitas. Dengan demikian guru tidak tahu apakah
peserta didiknya benar-benar mengerti dengan materi yang
disampaikan sehingga berakibat pada rendahnya kemampuan
berpikir kritis peserta didik. Pembelajaran konvensional selama ini
yang diterapkan guru membuat siswa kurangnya konsentrasi dalam
hal perhatian dan sikap peserta didik saat pelajaran berlangsung,
sehingga kondisi pembelajaran di kelas kurang kondusif. Proses
belajar mengajar yang baik adalah guru harus mampu menciptakan
suasana yang membuat perserta didik antusias terhadap materi
pelajaran yang sedang berlangsung sehingga mereka mampu
mengikuti dan dapat memahaminya.
Dalam proses belajar mengajar guru perlu membantu
mengaktifkan peserta didik untuk memaksimalkan kinerja otak
peserta didik, dan kurikulum saat ini telah mengarah kepada
pemikiran peserta didik yang bersifat pengoptimalan fungsi otak.
131
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Dengan bekerjanya otak secara maksimal, maka akan membuat
kemampuan siswa dalam memahami materi pelajaran akan semakin
meningkat pula yang pada akirnya diharapkan meningkatkan
kemampuan berpikir kreatif peserta didik. Peneliti mencoba suatu
strategi yang dapat digunakan sebagai alternatif untuk meningkatkan
konsentrasi peserta didik dalam belajar, yang selanjutnya diharapkan
dapat meningkatkan minat belajar peserta didik dalam pembelajaran
dan pada ahkirnya meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa.
Strategi yang dimaksud adalah Metode Brain Gym.
Gerakan-gerakan sederhana dalam Brain Gym dapat
membantu peserta didik untuk memaksimalkan kinerja otak mereka,
dapat meningkatkan konsentrasi peserta didik saat pembelajaran
berlangsung, mengurangi stres bagi peserta didik yang mengalami
kesulitan belajar, menguatkan mekanisme integrasi otak yang
melemah, menajamkan penerimaan informasi yang diterima di otak
bagian belakang yang sulit diekspresikan sehingga peserta didik
minat belajar. Brain gym didasarkan pada tiga pokok yang sederhana
yaitu; 1) belajar adalah kegiatan yang alami dan menyenangkan yang
terus terjadi sepanjang hidup, 2) kesulitan belajar adalah
ketidakmampuan mengatasi stres dan keraguan dalam menghadapi
suatu tugas yang baru, dan 3) kita semua mengalami kesulitan
belajar selama kita telah belajar untuk tidak bergerak.
Seperti yang di jelaskan di atas bahwa berpikir merupakan
suatu kegiatan yang melibatkan kemampuan otak, dimana berpikir
kritis besar terdiri dari mengevaluasi argumen atau informasi dan
membuat keputusan yang dapat membantu mengembangkan
kepercayaan dan mengambil tindakan serta membuktikan. Berpikir
kritis matematis yaitu berpikir kritis dalam menyelesaikan
permasalahan matematika dimana diklasifikasikan atas lima
132
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
komponen berpikir kritis, yaitu analisis, evaluasi, pembuktian,
pemecahan masalah, dan menemukan analogi.
Agar peserta didik dapat meningkatkan kemampuan berpikir
kritisnya tentu saja dibutuhkan suatu metode untuk mengasah
kemampuan otak, salah satunya dengan metode senam otak. Metode
senam otak dapat meningkatkan kemampuan kognitif, yaitu
konsentrasi, kecepatan, persepsi, memori, pemecahan masalah, dan
kreatifitas. sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan kemampuan
berpikir kritisnya.
V. Simpulan
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis seperti disajikan
terdahulu, maka dalam penelitian ini diperoleh simpulan sebagai
berikut.
Penelitian ini menemukan bahwa kemampuan berpikir kritis
siswa yang mengikuti pembelajaran dengan senam otak berbeda
secara signifikan dengan kemampuan berpikir kritis siswa yang
mengikuti pembelajaran tanpa senam otak. Lebih jauh dapat dilihat
dari rata-rata kemampuan berpikir kritis siswa yang mengikuti
pembelajaran dengan senam otak lebih tinggi daripada kemampuan
berpikir kritis siswa yang mengikuti pembelajaran tanpa senam otak.
Berkenaan dengan hasil penelitian yang diperoleh maka
beberapa saran yang dapat diajukan adalah sebagai berikut.
Penelitian lanjutan yang berkaitan dengan senam otak perlu
dilakukan berkaitan dengan kemampuan siswa yang lain, misalnya
kemampuan memecahkan masalah, berpikir kreatif maupun yang
lainnya dengan melibatkan sampel yang lebih luas. Di samping itu,
variabel lain seperti: intelegensi, minat, bakat, motivasi, konsep diri
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari siswa perlu dikaji
133
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
pengaruhnya terhadap pengembangan dan penerapan pembelajaran
dengan senam otak.
DAFTAR RUJUKAN
Arikunto, Suharsini. 1993. Prosedur Penelitian.Jakarta : PT. Rineka
Cipta.
Aunurrahmad, 2009. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : PT. Bumi
Aksara
Dennison, Gail E. & Dennison, Paul E.. 2004. Brain gym (Senam Otak).
Jakarta: Gramedia.
...............2008. Brain Gym (Senam Otak) dan Aku Merasaka Kembali
Kenikmatan Belajar. Jakarta : Grasindo
Husaini. P. 2008. Pengantar Statistik. Jakarta : Bumi Aksara
Johnson, Elaine B, 2010. CTL (Contextual Teaching and Learning)
Bandung : Kaifa
Judy Willis, M.D, 2010. Srategi Pembelajaran Efektif Berbasis Riset
Otak. Yogyakarta: Mitra Media.
Sugiyono, 2009. Statistik Untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta
134
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
MATEMATIKA SEBAGAI MODAL DAN MODEL BERPIKIR ILMIAH
Oleh
I Made Surat
Dosen FPMIPA IKIP PGRI BALI
ABSTRACT
This scientific writing aimed to describe a model of scientific
thinking by taking a form of mathematical thinking can be used as a
reference or basis for developing Scientific think patterns. Thinking
is a form of directional sense and is a form of truth is the agreement
between theory and practice, expectations and reality.
Scientific thinking is to combine deductive and inductive
thinking patterns. Deductive and inductive mindset or otherwise
directing us to the scientific method, the method to obtain scientific
knowledge, which known as a model Logiko-hypothetico-verification.
Inductive-deductive reasoning process is one characteristic in
mathematics. Mathematics known as deductive science can also use
inductive thinking patterns that complete induction. A branch of
mathematics that is widely used in drawing the conclusions are
logical. In the material studied the logic of the procedures to deduce
the rules of Modus ponens, Modus Tollens and syllogism. People who
learn mathematics means to practice reasoning, which a mental
135
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
activity. Since in primary school children were trained in a matter of
working through the steps: Diketahui:.; Buktikan:..; Bukti:. The
mindset is the capital to train scientific thought process models
Logiko-hipotetiko-verifikatif.
Key words : Scientific, Logiko-hypothetico-verification and
characteristic in mathematics
I. LATAR BELAKANG MASALAH
Pengetahuan manusia bermula dari pengalaman-pengalaman
konkreet, pengalaman sensitive-rasional, fakta, objek-objek kejadian
atau peristiwa yang dialami. Tetapi akal kita tidak puas hanya dengan
mengetahui fakta-fakta saja. Akal kita ingin mengerti mengapa
sesuatu itu demikian adanya. Kita ingin bertanya terus dan mencari
bagaimana hal-hal yang kita ketahui itu berhubungan satu sama lain,
hubungan apa yang terdapat antara gejala-gejala yang kita ketahui.
Mengerti sungguh-sungguh, berarti mengerti mengapa dan
bagaimana sesuatu itu demikian. Berhadapan dengan sesuatu yang
tidak rutin dan kemudian mencoba memecahkannya merupakan ciri
khas dari makhluk hidup yang berakal, yang hanya dimiliki oleh
manusia.
Manusia dalam sejarahnya yang singkat telah mengubah wajah
dunia dan dirinya sendiri. Ciri khas yang dipunyai adalah perubahan
yang terarah dengan menggunakan pemikirannya. Dialah Si
Homosapien mahluk yang berpikir. Berpikirlah yang membedakan
manusia dengan mahluk lainnya. Kita sudah begitu sering berpikir,
rasa-rasanya berpikir begitu mudah, semenjak kecil kita sudah biasa
melakukannya. Setiap hari kita berdialog dengan diri kita sendiri,
berdialog dengan orang lain, bicara, menulis, membaca suatu uraian,
mengkaji suatu tulisan, mendengarkan penjelasan-penjelasan dan
mencoba menarik suatu kesimpulan dari apa yang kita lihat, dan kita
136
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
dengar. Namun apabila diselidiki lebih lanjut, dan terutama bila harus
dipraktikkan sungguh-sungguh, ternyata bahwa berpikir dengan teliti
dan tepat merupakan kegiatan yang cukup sukar. Manakala kita
meneliti dengan seksama dan sistematis berbagai penalaran,
ternyata banyak penalaran tidak nyambung ataupun sesat dalam
mengambil kesimpulan. Diperlukan kemampuan, pengetahuan dan
latihan yang cukup untuk dapat melakukan proses berpikir yang runut
dan benar. Dituntut kemampuan untuk melihat hubungan-hubungan,
kejanggalan-kejanggalan dan kesalahan yang tersambung. Waspada
terhadap pembenaran diri dicari-cari terhadap perasaan pribadi,
kelompok atau golongan . Charles Lamb ( dalam Poespoprojo dan
Gilarso, 1999 ) menyebut dirinya sebagai a bundle of prejudices
made up of liking and disliking . Orang biasanya menganggap benar
terhadap apa yang disukainya atau apa yang dimauinya, ucapan
salah kaprah, kebiasaan-kebiasaan dan pendapat umum
mempengaruhi jalan pikiran kita.
Kampus sebagai masyarakat ilmiah hendaknya
mengembangkan dan melatih pola-pola berpikir yang benar. Sebagai
masyarakat ilmiah tentu mempunyai beban dan tanggung jawab
untuk mengembangkan khasanah ke ilmuan. Pemikiran ke ilmuan
bukanlah pemikiran yang biasa. Pemikiran keilmuan adalah pemikiran
yang sungguh-sungguh. Artinya suatu cara berpikir yang berdisiplin,
di mana seorang yang berpikir sungguh-sungguh takkan membiarkan
ide dan konsep yang sedang dipikirkannya berkelana tanpa arah, tapi
harus diarahkan pada suatu tujuan tertentu, yaitu ilmu pengetahuan.
Ilmu adalah pengetahuan yang telah teruji kebenarannya
melalui metode ilmiah. Berarti ilmu pada hakikatnya adalah
pengetahun ilmiah. Seseorang yang telah memiliki pengetahuan
ilmiah dituntut memiliki sifat-sifat terbuka, jujur, teliti, kritis, tidak
137
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
mudah percaya tanpa adanya bukti-bukti tidak cepat putus asa dan
tidak cepat puas dengan hasil kerjanya. Sifat-sifat tersebut
merupakan pencerminan sikap ilmiah yang pada akhirnya
mempengaruhi cara berpikir dan bertindak. Setiap karya ilmiah harus
mengandung kebenaran ilmiah, yakni kebenaran yang tidak hanya
didasarkan atas rasio, tetapi juga dapat dibuktikan secara empiris.
Rasionalisme dan emperisme inilah yang menjadi tumpuan berpikir
manusia. Rasionalisme mengandalkan kemampuan penalaran,
sedangkan emperisme mengandalkan bukti-bukti fakta nyata.
Menggabungkan kedua cara tersebut yakni berpikir rasional dan
berpikir empiris adalah merupakan berpikir ilmiah.
Sebagai kaum terpelajar sudah sepatutnya berlatih dan terus
mengembangkan pola- pola berpikir ilmiah. Sebagaimana yang
diamanatkan dalam pendidikan yang berorientasi kecakapan hidup
(Depdiknas ; 2002) bahwa kemampuan berpikir rasional dan
kecakapan akademik yang disebut sebagai kemampuan berpikir
ilmiah adalah merupakan kompetensi dasar yang harus dicapai pada
setiap jenjang pendidikan menurut kompleksitas dan tingkatannya.
Dalam proses berpikir ilmiah yang membuahkan ilmu
pengetahuan, sering kali dalam kegiatannya menggunakan lambang.
Lambang merupakan abstraksi dari objek yang sedang dipikirkan.
Bahasa adalah salah satu dari lambang tersebut , di mana objek-
objek kehidupan yang konkret dinyatakan dengan kata-kata. Dapat
dibayangkan betapa sukarnya proses berpikir tersebut tanpa adanya
lambang-lambang yang dapat mengabstraksikan berbagai gejala
kehidupan.
Dalam pendidikan formal anak belajar matematika dari SD
sampai SLTA, bahkan dari TK sampai Perguruan Tinggi. Matematika
yang merupakan ilmu penalaran banyak menggunakan simbol-simbol
138
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
dalam proses penalaran, mempunyai fungsi yang sama dengan
bahasa. Melalui bahasa verbal dan bahasa kuantitatif, anak mulai
berkomunikasi dengan lingkungannya. Selanjutnya diperkenalkan
kepada anak suatu berpikir formal, yaitu suatu kegiatan yang untuk
selanjutnya tidak akan pernah berhenti sampai pada akhir hayatnya.
Persoalannya dapatkah matematika dijadikan sebagai modal dalam
berpikir ilmiah, serta bagaimana model-model berpikir ilmiah dalam
matematika. Untuk itu hal ini perlu dibahas lebih lanjut, sehingga
anak yang belajar matematika dapat menajamkan proses berpikirnya
serta menjadikan matematika sebagai pedoman dalam kerangka
berpikir ilmiah.
Menyadari adanya kesulitan dan kesesatan yang sering dialami
seseorang dalam berpikir ilmiah mendorong penulis untuk menggali
potensi-potensi ilmu matematika yang dikenal sebagai ilmu penalaran
yang bersifat deduktif. Melalui pola berpikir matematika seseorang
akan belajar memikirkan caranya ia berpikir serta menemukan suatu
model untuk berpikir ilmiah.
II. PEMBAHASAN
A. Hakikat Berpikir
Istilah berpikir menunjuk kepada suatu bentuk kegiatan akal
yang terarah (Poespoprodjo dan Gilarso, 1989). Melamun tidaklah
sama dengan berpikir, demikian pula merasakan, kerja pancaindra,
kegiatan ingatan dan khayalan. Dengan kata-kata yang lebih
sederhana Plato dan Aristoteles menyebutkan bahwa berpikir adalah
bicara dengan dirinya sendiri di dalam batin.
Pemahaman lain tentang berpikir dalam konteks keilmuan
adalah, bahwa berpikir itu merupakan suatu penalaran (reasoning).
Dalam hal ini titik beratnya terletak dalam usaha untuk memahami
139
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
objek yang belum ditetapkan. Bochenski (1992) menyebutkan bahwa
hanya terdapat dua kemungkinan dalam hubungannya dengan objek
yang ingin diketahui, yaitu apakah objek itu telah ditetapkan atau
belum. Jika objek itu telah ditetapkan maka kita lakukan hanyalah
mengamatinya dan kemudian mengilustrasikannya. Jika belum
ditetapkan maka tak ada jalan lain kecuali melakukan penalaran.
Tujuan pemikiran manusia adalah mencapai pengetahuan yang
benar dan sedapat mungkin pasti. Tetapi dalam kenyataan hasil
pemikiran (kesimpulan) maupun alasan-alasan yang diajukan belum
tentu selalu benar. Benar berarti sesuai dengan kenyataan. Ukuran
untuk menentukan apakah suatu pemikiran atau ucapan itu benar
atau tidak benar, bukanlah rasa senang atau tidak senang, enak atau
tidak enak didengar, melainkan cocok atau tidak cocok dengan
realitas atau fakta.
Agar suatu pemikiran atau penalaran menghasilkan kesimpulan
yang benar, harus memenuhi tiga syarat pokok yaitu :
1) Pikiran harus berpangkal dari kenyataan atau titik pangkalnya
harus benar
2) Alasan-alasan yang diajukan harus tepat dan kuat
3) Jalan pikiran harus logis/ urutan langkah-langkahnya tepat.
Sebagai contoh, bandingkan tiga pemikiran berikut ini, dan mengapa
kesimpulannya salah.
a) Semua orang berambut gondrong itu penjahat. Para penjahat
harus dihukum. Jadi, semua orang yang berambut gondrong harus
dihukum.
Analisis : Jalan pikiran logis tetapi kesimpulan salah karena titik
pangkal salah ; berambut Gondrong ; Tidak sama
dengan penjahat.
140
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
b) Tetangga saya mempunyai mobil. Oleh karena itu sayapun harus
mempunyai mobil.
Analisis : Tidak cukup alasan bahwa tetangga harus sama dengan
saya ; Jadi dalam hal apa harus sama atau tidak sama.
c) Semua sapi itu binatang. Semua kuda itu binatang. Jadi sapi itu
kuda.
Analisis : Kalimat pertama dan kedua benar (premis-premis), tapi
kesimpulan salah. Karena jalan pikiran (kaitan antara
premis dan kesimpulan) keliru.
Sesuai dengan titik pangkal dalam proses pemikiran, dapat
dibedakan dua pola dasar pemikiran, yaitu berpikir deduktif dan
berpikir induktif.
1. Berpikir Deduktif
Berpikir deduktif atau berpikir rasional merupakan sebagian dari
berpikir ilmiah. Logika deduktif yang dipergunakan dalam berpikir
rasional merupakan salah satu unsur dari metode logiko-hipoteko-
verifikatif atau metode ilmiah. Dalam logika deduktif, menarik suatu
kesimpulan dimulai dari pernyataan umum menuju pernyataan-
pernyataan khusus dengan menggunakan penalaran atau rasio
(berpikir rasional). Hasil atau produk berpikir deduktif dapat
digunakan untuk menyusun hipotesis, yakni jawaban sementara yang
kebenarannya masih perlu diuji atau dibuktikan melalui proses
keilmuan selanjutnya. Contoh berpikir deduktif : Salah satu prinsip
atau hukum dalam fisika menyatakan bahwa setiap benda padat
kalau dipanaskan akan memuai (pernyataan umum). Besi, seng ,
adalah benda padat (fakta-fakta khusus). Oleh sebab itu, besi dan
seng, jika dipanaskan, akan memuai (kesimpulan atau pernyataan
khusus). Dengan perkataan lain, menggunakan argumentasi teoritis
melalui penalaran, tidak menggunakan bukti-bukti secara empiris.
141
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Contoh lainnya : Teori dalam bidang pendidikan menyatakan :
prestasi seseorang ditentukan oleh kemampuan yang dimilikinya
(faktor intern) dan lingkungan yang membentuknya (faktor ekstern).
Cara belajar atau metode belajar termasuk salah satu lingkungan
(faktor eksternal). Oleh sebab itu, prestasi belajar siswa dipengaruhi
oleh cara belajar yang digunakannya. Pertanyaan yang dapat
diajukan adalah: dalam kondisi kemampuan siswa yang relatif sama,
manakah yang lebih tinggi prestasinya di antara siswa yang
menggunakan metode belajar kelompok dibandingkan siswa yang
menggunakan metode belajar mandiri?
Hipotesis yang bisa diturunkan dari pertanyaan di atas adalah:
a. Tidak terdapat perbedaan prestasi belajar diantara siswa yang
melakukan cara belajar mandiri dengan siswa yang melakukan
cara belajar secara kelompok (M=K).
b. Siswa yang melakukan cara belajar secara mandiri menunjukan
prestasi belajar yang lebih tinggi daripada siswa yang melakukan
cara belajar secara kelompok (M>K).
c. Siswa yang melakukan cara belajar secara kelompok menunjukan
prestasi belajar yang lebih tinggi daripada siswa yang melakukan
cara belajar secara mandiri (K>M).
Dari ketiga hipotesis di atas, hipotesis manakah yang paling benar?,
untuk menjawabnya dibutuhkan fakta-fakta empiris yang relepan.
2. Berpikir Induktif
Proses berpikir induktif adalah kebalikan dari berpikir deduktif,
yakni pengambilan kesimpulan dimulai dari pernyataan atau fakta-
fakta khusus menuju pada kesimpulan yang bersifat umum. Proses
berpikir induktif tidak dimulai dari teori yang bersifat umum, tetapi
dari fakta atau data khusus berdasarkan pengamatan di lapangan
142
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
atau pengalaman empiris. Data dan fakta hasil pengamatan empiris
disusun, diolah, dikaji, untuk kemudian ditarik maknanya dalam
bentuk pernyataan atau kesimpulan yang besifat umum. Menarik
kesimpulan umum dari data khusus berdasarkan pengamatan empiris
tidak menggunakan rasio atau penalaran, tetapi menggunakan cara
lain , yakni menggeneralisasikan fakta melalui statistika. Perhatikan
contoh di bawah ini.
Kita ingin mengetahui selera atau minat warga kota Denpasar
terhadap jenis film yang paling disukainya. Kemudian dipilih beberapa
jenis film yang sering diputar di sebagian besar bioskop yang ada di
kota Denpasar. Misalnya ada tiga jenis film, yakni film India, film
Mandarin dan film Nasional. Pertanyaan yang diajukan adalah : Jenis
film manakah yang paling disukai warga kota Denpasar? Apakah film
India, film Mandarin atau film Nasional? Hipotesis atau praduga
dirumuskan sebagai berikut :
a) Warga kota Denpasar lebih menyukai film Nasional daripada film
India.
b) Warga kota Denpasar lebih menyukai film India daripada film
Mandarin.
c) Warga kota Denpasar lebih menyukai film Mandarin daripada film
Nasional.
d) Warga kota Denpasar lebih menyukai film India daripada film
Nasional.
e) Dan seterusnya berdasarkan kemungkinan lainnya.
Untuk menguji manakah hipotesis yang paling betul, kita tidak
mungkin mengkaji teori atau argumentasi teoritis, tetapi perlu
pengamatan langsung di beberapa gedung bioskop. Misalnya
menghitung jumlah karcis yang terjual di sejumlah gedung bioskop
pada saat ketiga jenis film tersebut diputar. Langkah selanjutnya,
143
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
jumlah karcis yang terjual untuk setiap jenis film tersebut
dibandingkan. Usaha menghitung jumlah karcis yang terjual ini
dilakukan beberapa kali disejumlah gedung bioskop yang ada di kota
Denpasar. Pada akhirnya dicari rata-rata jumlah pengunjung untuk
ketiga film tersebut, dihitung pula simpangan baku atau deviasi
standarnya, lalu diuji perbedaan-perbedaan jumlah pengunjung
tersebut melalui cara cara yang lazim digunakan dalam statistika.
Hasil yang diperoleh dari pengujian tersebut adalah kesimpulan
umum mengenai minat warga kota Denpasar terhadap jenis film yang
disukai diantara tiga jenis film tersebut di atas. Kesimpulan tersebut
semata-mata hanya didasarkan atas hasil analisis data tanpa
didukung oleh penalaran teoritis. Demikian juga hipotesis tidak
diturunkan dari teori keilmuan. Oleh sebab itu, kesimpulan berpikir
induktif masih harus dipertanyakan. Ada semacam kecenderungan
kebenaran hasil analisis data dikaitkan dengan teori ilmiah hanya
sekedar untuk membenarkan kesimpulan deduktif.
B. Berpikir Ilmiah
Ilmu adalah pengetahuan yang telah teruji kebenarannya
melalui metode ilmiah, oleh sebab itu ilmu pada hakekatnya adalah
pengetahuan ilmiah. Seorang ilmuwan dituntut memiliki sifat-sifat
terbuka, jujur, teliti, kritis, tidak mudah percaya tanpa adanya bukti-
bukti, tidak cepat putus asa dan tidak cepat puas dengan hasil
karyanya untuk dapat menghasilkan ilmu pengetahuan harus melalui
proses berpikir ilmiah.
Berpikir ilmiah adalah menggabungkan berpikir deduktif
(rasional) dengan berpikir induktif (emperis). Proses berpikir ilmiah
mengikuti langkah-langkah tertentu yang disangga oleh tiga unsur
pokok, yakni pengajuan masalah, perumusan hipotesis dan verifikasi
144
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
data (Nana Sudjana: 2009). Melalui proses berpikir rasional (deduktif)
menghasilkan hipotesis, sedangkan hipotesis diuji kebenarannya
secara emperis (induktif) dengan menggunakan fakta-fakta.
Pengujian seperti tersebut di atas disebut metode logiko hipoteko
verifikatif yang menuntun kita kepada cara-cara berpikir untuk
menghasilkan pengetahuan yang bersifat ilmiah.
Apabila hipotesis tidak teruji kebenarannya, tetap harus
disimpulkan dengan memberikan pertimbangan dan penjelasan faktor
penyebabnya. Menurut Nana Sudjana (2009) penyebab yang paling
utama, yakni (a) kesalahan verifikasi data seperti intrumen kurang
tepat, sumber datanya keliru, teknis analisis data yang digunakan
tidak memenuhi syarat dan (b) kekurang tajaman dalam menurunkan
hipotesis atau teorinya kedaluarsa. Apabila proses penurunan
hipotesis telah dipenuhi dan verifikasi data telah memenuhi
persyaratan, hipotesis tetap tidak terbukti kebenarannya, dapat
disimpulkan: tidak terdapat bukti-bukti yang kuat bahwa teori yang
mendukung hipotesis dapat diaplikasikan dalam kondisi dan di
tempat penelitian tersebut dilaksanakan. Tidak berarti teori harus
disalahkan.
Berpikir rasional untuk menurunkan hipotesis, dilanjutkan
dengan berpikir secara empiris untuk membuktikan kebenaran
hipotesis, adalah tonggak utama dalam berpikir ilmiah. Sifat analisis
dalam berpikir rasional diikuti oleh sintesis dalam pengujian hipotesis.
Berpikir deduktif diikuti oleh berpikir induktif. Teori dibuktikan oleh
fakta. Rasio diikuti oleh pengamatan pancaindra. Berpikir ilmiah
mengarahkan kita kepada metode ilmiah, yakni metode untuk
mendapatkan pengetahuan ilmiah, atau metode logiko hipoteko
verifikatif. Wujud rasional dari metode ini adalah penelitian ilmiah
145
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
C. Hakikat Matematika
Banyak definisi yang dikemukakan oleh para pakar matematika
seperti : Johnson dan Rissing (1972), Moris Kline (1973), James dan
James (1976), Reys dkk (1984), serta masih banyak lagi yang lainnya
(Ruseffendi, 1993). Masing-masing mempunyai perbedaan dan
persamaan. Menerapkan definisi matematika yang eksak terasa agak
sulit karena perkembangan matematika itu sendiri dan kegunaannya
dalam ilmu-ilmu lain. Dari keseluruhan definisi yang dikemukakan
dapat dirangkum sebagai berikut. Pada hakikatnya matematika
adalah:
a. Merupakan aktivitas mental yang mengandung sifat ilmiah.
b. Merupakan pengetahuan tentang penalaran yang logis, pola pikir,
mengenai bentuk, susunan, besaran, konsep-konsep yang saling
berhubungan, suatu kunci guna memahami gejala-gejala alam,
teknologi, maupun kehidupan sosial masyarakat.
c. Merupakan suatu cabang ilmu yang eksak yang terorganisir
secara sistematis.
d. Merupakan bagian dari pengetahuan manusia tentang bilangan
dan kalkulasi.
e. Merupakan bahasa yang menggunakan istilah yang didefinikan
dengan cermat, jelas dan akurat, representasinya dengan simbol.
f. Sebagai pelayan dan sekaligus raja dari semua ilmu.
Ciri utama matematika adalah metode dalam penalaran. Metode
yang digunakan dalam mencari kebenaran di dalam matematika
adalah dengan cara deduksi (Ruseffendi, 1985). Suatu kebenaran
matematika dikembangkan berdasarkan alasan-alasan yang logis
dengan hipotesis deduktif. Namun cara kerja dari matematika terdiri
dari : observasi, intuisi, menguji hipotesis, mencari analog, induksi,
menebak, dan bahkan dengan cara coba-coba (trial and error).
146
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Matematika dimulai dari unsur-unsur yang tidak didefinisikan,
berkembang keunsur-unsur yang didefinisikan, terus ke aksioma atau
postulat, sampai kepada dalil atau teorema. Rangkaian argumentasi
deduktif yang menuju kepada suatu teorema atau formula, desebut
dengan pembuktian.
Dalam komunikasi pemikiran keilmuan, matematika memainkan
dua peranan penting, yaitu sebagai raja dan sebagai pelayan ilmu
(Ruseffendi, 1993). Sebagai raja, matematika merupakan bentuk
logika yang paling tinggi. Logika dilukiskan dalam bentuk sistem
simbolik dari kegiatan pemikiran serta sruktur yang teratur. Dapat
dicermati bahwa betapa rumitnya sistem yang ada di dalam
matematika, dari definisi yang satu kedefinisi yang lain, aksioma-
aksioma dan sifat-sifat yang digabungkan untuk membentuk sistem
baru maupun dalam menarik suatu kesimpulan, namun selalu taat
azas. Artinya dari satu sistem kesistem lain tidak pernah terdapat
kontradiksi. Sebagai pelayan matematika dapat digunakan sebagai
alat oleh ilmu-ilmu lain, matematika menyediakan formula bagi ilmu-
ilmu lain, bukan saja sistem logika matematikanya tetapi juga model
matematis dari berbagai segi kegiatan keilmuan.
Salah satu cabang matematika yang banyak digunakan dalam
menarik suatu kesimpulan adalah logika. Matematika dan logika
merupakan bidang yang sama, karena seluruh konsep dan dalil
matematika dapat diturunkan dari logika. Bertran Russel (Jujun S.
Suryasumantri, 1989) menyatakan bahwa logika telah menjadi
bersifat matematis dan matematika menjadi lebih logis. Akibatnya
adalah tidak mungkin menarik garis pemisah di antara keduanya,
sesungguhnya dua hal tersebut merupakan satu. Mereka berbeda
seperti anak dan orang dewasa, logika merupakan masa muda dari
matematika dan matematika merupakan masa dewasa dari logika.
147
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Salah satu pola berpikir menggunakan logika matematika
adalah dalam menarik suatu kesimpulan. Banyak sekali dalam proses
menarik kesimpulan yang sah dari suatu pernyataan matematik
dengan menggunakan kaidah-kaidah logika. Kaidah-kaidah tersebut
anatara lain:
a). Modus Ponens b). Modus Tollens c).
Silogisma
p q p q p
q
p ~q
q r
_____________ ____________ ___________
q ~p
p r
Keterangan :
Baris pertama disebut dengan premis mayor. Baris kedua disebut
dengan premis minor. Baris ketiga disebut dengan
konklusi/kesimpulan. Tanda merupakan notasi implikasi atau
jika....maka.... Tanda ~ merupakan notasi ingkaran/negasi, dan
~q dibaca bukan q.
Tanda dibaca jadi
Dengan demikian pada pernyataan majemuk modus ponens
dapat dibaca: Diketahui jika pernyataan p mengakibatkan q.
Selanjutnya dalam kondisi lain diketahui p benar, maka dapat
disimpulkan q terjadi. Pada pernyataan majemuk Modus Tollens dapat
dibaca: Jika p maka q adalah pernyataan yng benar, dan selanjutnya
diketahui bukan q, maka kita dapat menarik kesimpulan pastilah
bukan p. Pada pernyataan majemuk Sillogisme dapat dibaca: Jika
148
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
diketahui pernyataan p maka q dan q maka r bernilai benar, maka
kesimpulannya adalah p mengakibatkan r.
Pernyataan majemuk seperti di atas adalah merupakan
Tautologi artinya pernyataan yang selalu benar bagaimanapun nilai
kebenaran dari masing-masing komponennya, hal ini dapat
ditunjukkan melalui tabel kebenaran. Suatu kebenaran matematis
adalah bersifat menyeluruh, maksudnya apabila suatu sistem itu
dikatakan benar, maka pastilah berlaku benar untuk setiap komponen
yang terkandung di dalamnya. Jika suatu sistem itu dikatakan salah,
maka tidak berarti seluruh komponen di dalamnya salah. Prinsip ini
analog dengan sistem yang bekerja pada sebuah mesin. Mesin itu
dikatakan baik/hidup berarti semua komponen di dalamnya berjalan
baik, tetapi jika mesin itu dikatakan rusak bukanlah berarti semua
komponennya rusak.
D. Matematika Sebagai Modal dan Model Barpikir Ilmiah
Orang yang belajar matematika melakukan aktivitas mental.
Aktifitas mental yang dimaksud adalah cara berpikir atau menalar
untuk menguji sah atau tidaknya suatu argumen dengan
menggunakan metode penalaran logika deduktif. Melalui penalaran
secara logika deduktif inilah suatu kebenaran ilmiah ataupun
pengetahuan baru diturunkan dari pengetahuan sebelumnya yang
sudah diketahui kebenarannya. Sebagai contoh, misalkan kita
mempunyai fakta bahwa suatu kalimat terbuka yang berbentuk x 5
= 3. Kita akan mencari harga x yang memenuhi sehingga kalimat
tersebut menjadi pernyataan yang bernilai benar, yaitu nilai x
manakah apabila dikurangi 5 menghasilkan 3 ?. Proses yang
dilakukan adalah dengan cara menambahkan masing-masing ruas
dengan 5 maka diperoleh nilai x = 8. Persoalannya bolehkah kita
149
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
melakukan langkah yang demikian?. Untuk menjawab pertanyaan ini
maka kita harus mengacu pada pengetahuan sebelumnya, yaitu suau
sifat menyatakan bahwa suatu persamaan nilainya tak akan berubah
jika pada masing-masing ruas ditambahkan dengan bilangan yang
sama. Inilah rangkaian argumentasi deduktif, yaitu suatu pikiran
rasional yang dapat dijadikan sebagai modal dalam berpikir ilmiah.
Hipotesis yang diturunkan dari teori melalui proses penalaran,
proses pembuktian dalam matematika dapat dilakukan antara lain
dengan model pembuktian langsung, pembuktian tak langsung
(terbalik), atau dengan induksi matematika (Wono Setya Budhi, 2003)
a) Pembuktian langsung.
Cara ini menggunakan prinsip silogisme sebagai dasar kebenaran
pernyataan pertama, berakibat pada kebenaran pernyataan kedua,
dan demikian seterusnya.
Contoh: Buktikan ada benda langit yang tidak bulat.
Solusinya: Asteroid adalah benda langit dan asteroid tidak bulat.
Jadi ada benda langit yang tidak bulat. Argumen dari proses
pembuktian tersebut adalah sebagai berikut: Dalam hipotesis
tersebut termuat kata ada, ini berarti kalimat tersebut
mengandung kuantor eksistensial. Pada pernyataan berkuantor
eksistensial, bukti langsung dilakukan dengan menyebutkan
minimal sebuah contoh dari semesta yang menyebabkan
pernyataan bernilai benar. Cara lain adalah dengan melakukan
substitusi langsung.
Contoh lain adalah: Buktikan bahwa x
2
x ; untuk setiap x
bilangan asli.
Solusi: ambil sebarang (secara acak) bilangan asli n, berarti n 1
n n
n
n
n
n
n
2
1
2
1 . . Oleh karena n adalah sebarang bilangan
150
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
asli yang dipilih secara acak, maka n menjelajah /mewakili semua
bilangan asli x , maka terbukti x
2
x ; untuk setiap x bilangan
asli. Makna sebarang (random) merupakan konsep yang sangat
mendasar dalam proses pembuktian matematika yang memuat
kuantor universal (kata setiap), karena dengan mengambil
secara sebarang/acak berarti semua unsur telah terwakili
(representatif) atau paling tidak semua unsur telah mendapatkan
kesempatan yang sama untuk mewakili. Proses random
merupakan prinsip dasar sampling dalam melakukan penelitian
ilmiah yang akan melakukan generalisasi. Sebagai contoh nyata
misalkan kita sebagai seorang guru memiliki sebuah bendah yang
sangat berharga. Benda tersebut akan diberikan kepada seorang
siswanya, tanpa pandang bulu, artinya apakah siswa laki atau
perempuan, pintar atau bodoh, ganteng/cantik atau jelek tidak
menjadi syarat. Kalau kita berikan kepada salah seorang siswa
yang paling cantik (sebutlah si Oneng), tentu banyak siswa yang
lainnya akan protes. Memandang bahwa gurunya tidak adil, pilih
kasih. Lalu apa jalan keluarnya? Tentu dengan cara undianlah yang
dapat dianggap paling adil. Sekalipun nanti yang kebetulan keluar
namanya sebagai pemenang tetap si Oneng. Kalau orang yang
berakal tidak ada alasan untuk menolak hasilnya. Inilah prinsip
randomisasi.
b) Pembuktian tak langsung.
Cara pembuktian tidak langsung menggunakan prinsip modus
tollens sebagai dasarnya. Membuktikan sebuah pernyataan
berkuantor universal bernilai salah, adalah cukup dengan
mengambil contoh menyangkal kebenarannya, sedangkan untuk
membuktikan kebenarannya adalah cukup dibuktikan bahwa
ingkarannya salah.
151
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Contoh: Buktikan bahwa setiap x bilangan asli, x + 2 3
Solusi: Andaikan tidak benar bahwa setiap x bilangan asli, x + 2
3 ini berarti bahwa ingkaranya adalah ada bilangan asli x
sedemikian sehingga x + 2 < 3 1 2 3 < < x x . Karena diketahui
bahwa x adalah bilangan asli maka tak mungkin x < 1 jadi
pengandaian harus diingkar. Kesimpulannya benar berlaku bahwa
setiap x bilangan asli, berlaku x + 2 3.
Perkembangannya dalam bidang hukum ada yang namanya suatu
pembuktian terbalik. Apabila sulit untuk membuktkan secara
langsung sebagai bentuk pembuktian Modus Ponens maka
digunakan Modus Tollens.
c) Pembuktian dengan Induksi Lengkap.
Bentuknya adalah sebagai berikut: Misalkan P(n) adalah
pernyataan untuk setiap n N. Jika (1) P(1) benar ; (2) Jika P(k)
berakibat P(k+1) benar ; maka P(n) benar untuk setiap n N
Dalam ilmu sosial berlaku bahwa prilaku (behavior) dapat
dipengaruhi oleh watak dan lingkungan. Secara matematis
pernyataan ini dapat dapat dirumuskan ke dalam fungsi matematis
dua variabel yaitu, P = f (w,l) , yang mana P = prilaku; w = watak
bawaan; l = lingkungan. Seberapa kuat adanya pengaruh watak
bawaan dan seberapa kuat pengaruh lingkungan masing-masing
dapat dikuantifikasi dengan suatu konstanta a untuk watak dan b
untuk lingkungan. Selanjutnya formulasi untuk prinsip tentang prilaku
dapat dinyatakan sebagai persamaan linier:
P = a w + b l, model ini nantinya berkembang menjadi :
Regresi linier Y = B + B
1
X
1
+ B
2
X
2
Berpikir matematis adalah berpikir dengan menggunakan logika
deduktif dan induktif, maupun analogi. Menalar secara induksi dan
analogi menggunakan pengamatan dan bahkan percobaan untuk
152
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
memperoleh fakta yang dapat dipakai sebagai dasar argumentasi
untuk menarik kesimpulan, tetapi harus disadari bahwa pancaindra
kita terbatas dan tak teliti. Sebagai contoh misalnya: Melalui
pengamatan kita bahwa 3 adalah bilangan ganjil dan prima, begitu
juga 5, 7, 11, 13, 17 dan yang lainnya. Harus sangat hati-hati kita
menyimpulkan bahwa bilangan prima adalah bilangan ganjil atau
bilangan ganjil adalah prima. Inilah bahaya dari proses induksi
maupun analogi. Model matematika mempergunakan induksi lengkap
untuk memberikan jaminan kebenaran dari kesimpulan yang
diperoleh, namun bagaimana halnya dengan penerapan dalam bidang
penelitian? Untuk itu matematika dapat memberikan model untuk
mengatasi kelemahan tersebut.
Dalam proses pembuktian hipotesis, menggunakan pola pikir
induktif. Ini berarti harus dicari fakta-fakta empiris untuk mendukung
hipotesis yang diajukan. Sampel yang digunakan untuk mendukung
fakta harus diambil secara acak sehingga dapat melakukan
generalisasi. Beberapa teknik statistika mensyaratkan adanya asumsi
sampel diambil secara acak. Selanjutnya juga melakukan pengukuran
terhadap atribut-atribut dari sampel. Setiap pengukuran pasti
mengandung kesalahan. Untuk mengatasi semua persoalan ini, maka
matematika memperkenalkan teori peluang, sehingga setiap
penarikan kesimpulan disertai dengan peluang kesalahan sebagai
akibat kesalahan sampling, pengukuran atau yang lainnya.
Selanjutnya dalam penelitian ini dikenal dengan taraf signifikansi
penerimaan atau penolakan hipotesis.
Secara konvensional apabila kita menyelesaikan soal-soal
matematika, maka disarankan melakukan langkah-langkan sebagai
berikut:
- Diketahui:...............
153
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
- Tentukan / Hitung / Buktikan: ..........
- Jawaban / Hitungan / Bukti
Dari ketiga langkah pokok di atas, hal ini sejalan dengan kerangka
berpikir ilmiah, yaitu logiko hipotetiko verifikasi.
a) Pada langkah Diketahui :........., kita akan mengumpulkan semua
fakta pendukung yang diketahui, serta pengetahuan sebelumnya
yang diketahui benar (logika)
b) Pada langkah Tentukan / Hitung / Buktikan: ..........., ini
merupakan suatu hipotesis yang diturunkan dari suatu penalaran
logis secara deduktif, yang merupakan dugaan sementara. Tentu
saja hal ini harus dibuktikan pada langkah selanjutnya.
c) Pada Langkah Jawaban / Hitungan / Bukti : ................, ini
merupakan langkah-langkah mencari jawab, melakukan
perhitungan, atau melakukan pembuktian melalui proses antara
lain mencari pola, menghitung, mengukur, sintesa, analisa
substitusi, induksi, analogi, trial and error, bahkan menebak.
Sebagai contoh misalnya kita akan menyelidiki kebenaran dari
argumen berikut: Semua manusia akan mati. Sokrates adalah
manusia, karena itu Sokrates akan mati. Langkah-langkah menjawab
adalah: Diketahui : (1) Semua manusia akan mati; (2) Sokrates
adalah manusia. Buktikan : Sokrates akan mati. Bukti : Misalkan p =
manusia; q = mati, dengan demikian kalimat majemuk di atas dapat
dinyatakan sebagai model matematis:
Jika semua manusi akan mati : (p q)
Sedangkan Sokrates adalah manusia Sokrates p
-----------------------------------------------------
-------------------------
Maka dapat disimpulkan Sokrates akan mati p
154
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Ternyata bentuk pernyataan majemuk di atas setelah dibuat ke
dalam model matematis analog dengan modus ponen, sehingga
argumennya benar. Pernyataan pada soal di atas, menyiratkan
makna bahwa siapapun dia, asalkan dia manusia maka pasti dia akan
mati. Tak bisa kita menyimpulkan, kalau sesuatu itu bukan manusia
maka pasti tdak akan mati, tetapi yang pasti benar adalah: Jika ia
tidak akan mati maka pastilah itu bukan manusia.
V. PENUTUP
Dari hasil pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa:
Pola pikir dalam matematika yang merupakan penalaran logis,
melalui proses kerja deduksi, induksi, analogi, menghitung,
mengukur, trial and error, mencari pola, bahkan menebak, dapat
dijadikan modal dalam berpikir ilmiah. Bahkan bahasa simbolik yang
digunakan dapat menyederhanakan prmasalahan sehingga
menghemat intelektual, konsisten dan taat azas. Karateristik tersebut
sangat menunjang kemampuan untuk berpikir ilmiah.
Model berpikir ilmiah dalam matematika dapat direfleksikan
dalam memecahkan masalah, dengan mengambil model langkah-
langkah sebagai berikut:
Diketahui............, hal ini adalah merupakan sesuatu yang
dijadikan landasan atau dasar berpikir
Hitung / Tentukan / Buktikan:................., hal ini merupakan
dugaan atau hipotesis yang diturunkan berdasarkan kajian yang
diketahui.
Hitungan / Jawaban / Bukti:......., hal ini merupakan verifikasi lewat
langkah-langkah atau kajian yang logis atau melalui suatu induksi
matematika untuk menerima atau menolak dugaan/hipotesis
155
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Ini tidak lain dari pada suatu model kerangka berpikir ilmiah.
DAFTAR RUJUKAN
Amin, Moh. 1996. Filsafat, Science, Teknologi dan Manusia.
Yogyakarta: PPS IKIP Yogyakarta
Andi Hakim Nasution.1982. Landasan Matematika. Jakarta: Bratara
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian suatu Pendekatan
Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Baker, Stephen F. 1994. Philosophy of Mathematics. Englewood Cliffs:
Prentice Hall.
Bochenski. 1992. Philosophy An Introduction. New York: Harper & Row
DS Daniel Solow. 1990. How to Read and Do Proofs. John Wiley &
Sons: New York.
Depdiknas. 2002. Pendidikan Kecakapan Hidup. Jakarta : Depdiknas,
Tim Broad Based Education.
Evawati Alisah dan Eko Prasetyo D. 2007. Filsafat Dunia Matematika:
Pengantar Untuk Memahami Konsep-Konsep
Matematika. Jakarta: Prestasi Pustaka
Jujun S Suryasumantri. 1989. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: PT
Gramedia.
Max A. Sobel & Evan M. Maletsky. 1999. Teaching Mathematics: A
Sourcebook of Aids, Activities, and Strategi. Allyn & Bacon
Nana Sudjana. 2009. Tuntunan Penyusunan Karya Ilmiah. Denpasar:
Sinar Baru Algensindo.
Polya, PH G.. 1988. How to Solve it, A New Aspect to Mathematical
Method. Princeton Science Library
Poepoprodjo, W., Gilarso T. 1999. Logika Ilmu Menalar. Denpasar:
Remaja Karya
Ruseffendi, E.T. dkk. 1993. Pendidikan Matematika 3, Buku I dan II.
Jakarta: UT
-------------. 1985. Pengajaran Matematika Modern. Denpasar : Tarsito
Wono Setya Budhi, 2003. Langkah Awal Menuju ke Olimpiade
Matematika. Jakarta: CV Ricardo
156
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
PERBANDINGAN METODE PLS DAN PCA DALAM REGRESI COX
UNTUK MENGATASI TIDAK TERPENUHINYA ASUMSI
MULTIKOLINIERITAS
Oleh
1. I Wayan Sudiarsa
2. Adji Achmad Renaldo Fernandes
ABSTRACT
One of the methods it can be used to formulate multikolinearite
problem in kox regretion are using PLS-Cok and PCA-Cok methods.
Purpose of the research is to find out which of the methods is the best
to formulate multikolinearitas in kox regretion. The data which used
in this research is sekunder data with respon variabel is survival time
and continue respon variabel even the category based on analysis.
PLS-Cox regretion model shown a better results than PCA-Cox
regretion model.
I. LATAR BELAKANG
McCullagh and Nelder (1997), salah satu model linier
tergeneralisir adalah model untuk data survival, yaitu dengan variabel
respon berupa waktu hidup (lifetime) komponen atau survival time
(waktu ketahanan) pasien dari suatu penyakit.
157
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Salah satu metode yang dapat dipakai untuk memodelkan
antara variabel respon yang berupa waktu survival dengan satu atau
lebih variabel prediktor adalah model Cox Proportional Hazard atau
biasa disebutkan dengan model regresi Cox (Fox, 2002a). Jika analisis
regresi Cox melibatkan lebih dari satu variabel prediktor, maka akan
sangat memungkinkan terjadi hubungan yang erat diantara variabel
prediktor atau ditandai dengan adanya multikolinieritas.
Menurut Bastien (2004) salah satu metode yang dapat
digunakan untuk mengatasi masalah multikolinieritas dalam regresi
Cox adalah dengan menggunakan metode PLS-Cox (Partial Least
Square-Cox Regression). PLS-Cox merupakan metode yang dapat
digunakan untuk membentuk model dan meningkatkan kemampuan
prediksi ketika asumsi non-multikolinieritas tidak terpenuhi. Selain
metode PLS yang dikemukakan oleh Bastien (2004), Bair E., Hastie,
T., Paul, D., and Tibshirani, R. (2004) menyatakan bahwa Principal
Component Analysis Cox Regression (PCA-Cox) merupakan salah satu
alternatif metode yang bisa digunakan untuk mengatasi masalah
multikolinieritas.
Berdasarkan uraian di atas, pada penelitian ini akan diterapkan
dua metode dalam mengatasi multiolinieritas pada regresi Cox yaitu
metode Principal Component Cox Regression (PCA-Cox) dan metode
Partial Least Square-Cox Regression (PLS-Cox).
I.1 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang dapat dirumuskan masalah:
manakah metode yang paling baik diantara keduanya untuk
mengatasi multikolinearitas dalam Regresi Cox.
I.2 TUJUAN PENELITIAN
158
) ( 1 ) ( ) ( t F t T P t S
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui metode
mana yang paling baik dalam mengatasi multikolinearitas dalam
Regresi Cox.
II. TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Fungsi Survival dan Fungsi Hazard
Misal t didefinisikan sebagai waktu survival yang sebenarnya
dari suatu objek, dan nilai dari variable T mempunyai nilai yang non-
negatif. Fungsi survival S (t), didefinisikan sebagai sebagai peluang
atau probabiltas suatu objek mempunyai waktu survival lebih besar
daripada t, dengan kata lain suatu objek mempunyai peluang hidup
yang lebih lama daripada t dapat dinyatakan sebagai (Collet, 2003) :
(1)

Menurut Kleinbaum dan Klein (2005), S(t) adalah fungsi non-
increasing terhadap waktu t dinyatakan sebagai :
( )

'

t untuk
t untuk
t S
0
0 1
(2)
Berdasarkan persamaan (2) pada waktu t = 0 maka S(t) = S(0)
= 1 yang diartikan sebagai awal dari pengujian di mana tidak ada
satupun objek yang mendapatkan kejadian yang dispesifikasikan dan
peluang hidup dari suatu objek bernilai satu. Pada waktu t = maka
S(t) = S() = 0, artinya jika periode pengujian meningkat sampai
tidak terbatas maka pada akhirnya tidak akan ada suatu objek yang
dapat bertahan hidup sehingga peluang hidup dari suatu objek akan
mendekati nilai nol. Secara grafik, fungsi S(t) diilustrasikan pada
Gambar 1.
159

Nomor 14 Tahun VIII April 2013


ISSN 1907-3232
t = time
S

(
t
)

=

f
u
n
g
s
i

s
u
r
v
i
v
a
l
0
1
Gambar 1. Grafik Fungsi S(t) Berdasarkan Nilai t.
Berdasarkan Gambar 1. secara teori fungsi survival S(t)
digambarkan sebagai fungsi menurun seiring dengan peningkatan t.
II.2. Model Regresi Cox
Menurut Sun dan Tanaka (2003), model Cox Proportional Hazard
yang biasa disebut dengan Regresi Cox mempunyai peranan penting
di dalam analisis survival. Model dasar dari regresi Cox dihasilkan dari
fungsi hazard untuk objek ke-i pada waktu ke-t yang terdiri dari dari
dua faktor yaitu fungsi baseline hazard yang disimbolkan sebagai
( ) t h
0
dan fungsi linier dari sekumpulan k variabel prediktor yang
terbentuk secara eksponen. Secara umum model regresi Cox
didefinisikan sebagai berikut (Allison, 1995) :
( ) ( ) ( )
ik
x
k i
x t h t
i
h + + ...
1 1
exp
0
(3)
Fungsi ( ) t h
0
dapat dianggap sebagai fungsi hazard untuk suatu
objek, jika variabel prediktor dari persamaan (11) bernilai 0, maka
( )
ik
x
k i
x + +...
1 1
exp
dapat ditulis sebagai
( )
i
exp
dan disebut sebagai
relatif hazard dimana
i
disebut sebagai kombinasi linier dari k
variabel prediktor dalam
j
x
dimana
k j ..., , 2 , 1
.
160
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
ik
x
k i
x
i
x
i
+ + + ...
2 2 1 1

k
j
ij
x
j i
1
(4)
di mana

merupakan vektor dari koefisien parameter variabel


prediktor
j
x
dalam model. Jumlah
i
disebut sebagai komponen
linier model, tetapi juga diketahui sebagai nilai resiko untuk objek ke-
i. Model umum dari regresi Cox dapat juga ditulis sebagai berikut :
( )
( )
( )
ik
x
k i
x
i
x
t h
t
i
h
+ + +

,
_

...
2 2 1 1
exp
0
(5)
Di mana
( )
( )
( ) t S
t f
t h
0
h
i
(t) adalah peluang objek ke-i mengalami kegagalan atau mati pada
waktu t, h
0
(t) adalah fungsi baseline hazard, f (t) adalah fungsi
kepekatan peluang ketahanan objek ke-t, sedang S (t) adalah fungsi
survival. Nilai fungsi hazard, h
i
(t) ditentukan setelah nilai h
0
(t)
diperoleh.
II.2.1. Pendugaan Parameter dalam Regresi Cox
Dalam model regresi Cox, koefisien merupakan parameter
yang tidak diketahui, oleh karena itu diperlukan adanya suatu
estimasi untuk menaksir parameter ini. Menurut Collet (2003),
koefisien dalam model model regresi Cox dapat ditaksir dengan
menggunakan metode Maximum Partial Likelihood. Jika terdapat
sebanyak n objek yang mempunyai jarak waktu kegagalan (r) dengan
waktu survival (n-r), dengan r waktu kegagalan yang dinyatakan
dengan t
(1)
< t
(2)
<. < t
(r)
dan t
(j)
adalah waktu urutan kegagalan ke-
j, maka suatu objek yang mendapat resiko pada waktu t
(j)
dinyatakan
sebagai R(t
(j)
), di mana R(t
(j)
) adalah kelompok objek yang masih hidup
161
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
dan tidak tersensor oleh waktu t
(j)
. Penjumlahan dari R(t
(j)
) disebut
dengan sekumpulan resiko. Menurut Bastien (2004) fungsi likelihood
untuk model proportional hazard adalah :
( )
( )
( )

,
_

,
_

r
j
j
t R l
l
x
j
x
L
1
'
exp
'
exp
)
'
(

(6)
X
(j)
merupakan vektor variabel prediktor dari objek yang mati pada
saat ke-j pada urutan waktu t
(j)
. Apabila data terdiri dari n
pengamatan ditulis sebagai
n
t t t , ,
2
,
1

, dengan indikator kejadian (
t
) maka fungsi likelihood pada persamaan (13) dapat dinyatakan
dalam bentuk :
( )
( )
( )

'

n
i
i
i
t R l
l
x
i
x
L
1
,
' exp
' exp
)
'
(

(7)
di mana R(t
(i)
) adalah kelompok objek yang beresiko saat t
i
, dan
i
merupakan indikator tersensor yang bernilai nol jika t
i
, i=1,2,..,n
adalah tersensor kanan dan bernilai 1 untuk lainnya.
Fungsi kesesuaian log-likelihood adalah sebagai berikut :
( ) ( )
( )

'

n
i
i
t R l
i
x
i
x
i
L
1
' exp log ' log (8)
Penaksiran parameter pada model proportional hazard didapatkan
dengan cara memaksimumkan fungsi log-likelihood menggunakan
prosedur Newton-Raphson di mana penaksiran parameter
1
,
2
,...,
p
diperoleh dari penyelesaian sejumlah px1 vektor persamaan yang
dinyatakan dengan skor koefisien vektor ( ) u . Skor koefisien untuk
j
adalah
( )
( )
,
log
j
L
j
u

sehingga
162
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
( )
( )
( )
( )
( )

'

,
_

n
j
i
t R l
l
x
i
t R l
l
x
jl
x
jl
x
i j
u
1
exp
exp

(9)
Misal matriks I() adalah matriks pxp yang merupakan turunan kedua
dari fungsi log-likelihood yang bernilai negatif maka I() adalah :
( )
k j
L


log
2
) I(
(10)
dengan j = 1, 2,, p dan k = 1, 2,, p, maka I() disebut matriks
Hessian atau matriks informasi pengamatan.
Berdasarkan prosedur Newton-Raphson, penaksiran dari
parameter

pada s+1 yang disimbolkan


1

+ s
adalah :
( ) ( )
s
u
s
I
s s


+
+
(11)
dengan
( )
( )
( )
( )
( )
( )
( )
( )
( )
( )
( )
( )
( )

'

1
1
1
]
1

,
_

,
_

1
1
1
]
1

i
t R l
l
x
i
t R l
l
x
kl
x
i
t R l
l
x
i
t R l
l
x
jl
x
i
t R l
l
x
i
t R l
l
x
kl
x
jl
x
jk
I

exp
exp
exp
exp
exp
exp
1

(12)
di mana :
s : 0, 1, 2,
u ( )
s

: vektor skor koefisien


I
-1
( )
s

: invers matriks informasi yang diamati


Proses iterasi dimulai dengan menentukan nilai awal 0

0
dan
proses akan dihentikan jika perubahan pada fungsi likelihood relatif
kecil atau perubahan dalam nilai perkiraan parameter terbesar relatif
kecil.
163
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
II.3. Partial Least Square Cox Regression ( PLS-Cox )
Partial Least Square Regression (PLS) merupakan metode yang
dibentuk dari persamaan regresi linear dengan membentuk variabel
prediktor baru yang biasa disebut dengan faktor atau komponen yang
berfungsi sebagai kombinasi linear dari variabel asal (Li dan Gui,
2004).
Menurut Jian, J.D; L. Linh, dan D. Rocke (2006), metode PLS
mereduksi variabel menjadi variabel atau komponen baru dengan
banyak komponen dengan jumlah kurang dari atau sama dengan
dimensi terkecil matriks variabel prediktor. Komponen baru yang
telah terbentuk merupakan komponen yang saling bebas atau tidak
terdapat korelasi antar sesamanya, sehingga dapat digunakan untuk
mengatasi tidak terpenuhinya asumsi non-multikolinieritas pada
regresi.
II.3.1. Pendugaan Parameter Model Regresi PLS-Cox
a. Pembentukan Komponen
Menurut Boulesteix dan Strimmert (2005), regresi PLS
didasarkan pada dekomposisi variabel respon dan variabel prediktor
yang dapat ditulis sebagai :
X = KP

+ E (13)
Y = KQ

+ F (14)
di mana :
X : matriks variabel prediktor berukuran n x p (p banyaknya
prediktor)
Y

:

vektor variabel respon berukuran n x 1
K

:

matriks komponen PLS berukuran n x m
P

: matriks koefisien komponen PLS berukuran p x m
Q

: vektor koefisien PLS berukuran 1 x m
164
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
E

: matriks residual dari X berukuran n x p
F

: vektor residual dari Y berukuran n x 1
m : banyaknya komponen PLS
n : banyaknya observasi
Dalam PLS, matriks komponen K merupakan kombinasi linier
dari variabel prediktor, dan ditulis dengan persamaan :
K = XW (15)
di mana W
(pxm)
adalah matriks pembobot.
Matriks variabel prediktor X = {x
1
, x
2
, , x
p
} merupakan
matriks yang menentukan waktu survival dan berfungsi untuk
membentuk K
h
komponen PLS yang ortogonal.
Dalam regresi PLS-Cox pembentukan K
h
komponen untuk h = 1,
2, , m dapat dituliskan sebagai persamaan :
K
h
= w
1h
x
1
+ w
2h
x
2
+ + w
ph
x
p
(16)
di mana w
jh
merupakan normalisasi dari koefisien a
jh

jh
jh
jh
a
a
w
(17)
Koefisien a
jh
merupakan koefisien regresi Cox bagi variabel prediktor.
Koefisien a
jh
yang dinormalisasi pada PLS adalah koefisien a
jh
yang
signifikan, sedangkan untuk koefisien a
jh
yang tidak signifikan
ditetapkan bernilai nol. Koefisien a
jh
dalam regresi Cox dituliskan
sebagai :
h
i
(t) = h
0
(t) exp (c
1
k
1
+ c
2
k
2
+ + c
h-1
k
h-1
+ a
jh
x
jh
) (18)
dan x
jh
merupakan vektor residual yang diperoleh dari regresi antara
x
j(h-1)
dengan k
1
,,k
h-1
dengan persamaan :
x
j(h-1)
= p
j1
k
1
+ .... + p
j (h-1)
k
h-1
+ x
jh
(19)
di mana
k
h
: vektor komponen PLS ke-h berukuran (nx1)
w
jh
: pembobot x
j
pada komponen k
h
165
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
c
1
c
h-1
: koefisien regresi Cox untuk k
1
k
h-1

a
jh
: koefisien regresi Cox untuk masing-masing x
jh
x
jh
: vektor j variabel prediktor berukuran (nx1)
p
j1
p
j(h-1)
: koefisien komponen k
h
Untuk komponen k
1
, x
jh
= x
j1
= x
j
dengan x
j
adalah vektor
variabel prediktor awal. Pembentukan komponen dilakukan dengan
jalan mendapatkan koefisien a
jh
yang signifikan pada hasil regresi
Cox dan pembentukan komponen berakhir jika sudah tidak ada lagi
koefisien a
jh
yang signifikan. Syarat pembentukan komponen PLS
adalah adanya koefisien a
jh
yang signifikan, jika diketahui tidak ada
koefisien a
jh
yang signifikan pada regresi Cox maka pembentukan
komponen PLS tidak dapat dilakukan.
II.3.2. Uji Signifikansi Parameter Model Regresi PLS-Cox
Pengujian signifikansi parameter dalam model regresi PLS-Cox
dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh yang diberikan
oleh masing-masing variabel prediktor terhadap variabel respon.
Pengujian signifikansi koefisien dalam regresi PLS-Cox dapat
dilakukan dengan menggunakan metode bootstrap (Bastien, 2004).
Efron dan Tibshirani (1993), mengatakan bahwa metode
bootstrap merupakan metode yang menjelaskan masalah resampling
(sampling berulang) yaitu pengambilan contoh secara acak dari
sampel yang telah ada dengan pengembalian. Metode bootstrap
merupakan metode yang tergolong kedalam statistika nonparametrik,
di mana dalam pendugaan tidak memerlukan berbagai asumsi seperti
pada statistika parametrik. Metode bootstrap dapat digunakan
sebagai alernatif pada data yang berukuran kecil (Fox, 2002
b
).
Prinsip dari metode bootstrap adalah mengambil sampel secara
random sebanyak n dari data asal sebanyak B ulangan dengan
166
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
pengembalian. Berikut langkah-langkah metode bootstrap untuk
menguji signifikansi dari parameter regresi PLS-Cox:
1. Mengambil sampel secara random sebanyak n dari data asal X (x
1
,
x
2
, , x
p
) dan y.
2. Selanjutnya dibentuk sampel bootstrap X
*b
dan y
*b
berukuran n dari
data asal X dan y dengan melakukan pengambilan sebanyak B
ulangan dengan pengembalian. Pada tiap b sampel bootstrap
dibentuk komponen PLS dan model regresi PLS-Cox sehingga
didapatkan koefisien regresi PLS-Cox.
3. Untuk tiap b pengulangan, di mana b = 1, , B dihitung
simpangan baku dengan rumus:
( )
1 n
2
B
1 b
(.)
*

(b)
*

*
)

S(


,
dengan
B
B
1 b
(b)
*

(.)
*

di mana :
(b)
*

: koefisien regresi Cox dari setiap sampel bootstrap


(.)
*

: nilai penduga booststrap untuk koefisien regresi Cox


B : banyaknya pengambilan sampel bootstrap
*
)

S( : simpangan baku bootstrap


4. Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan statistik uji Z
yang dibandingkan dengan nilai Z tabel dengan taraf kesalahan
tertentu. Hipotesis yang diajukan untuk pengujian parameter
adalah sebagai berikut :
H
0
: = 0
H
1
: 0
Statistik uji didapatkan dengan rumus :
/2) (
)

(
hitung
Z ~
se

167
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
di mana
)

(
se
adalah standard error penduga . Jika Z
hitung
Z
(/2)
atau p-value , maka keputusannya tolak H
0
sehingga dapat
dikatakan bahwa koefisien yang dihasilkan layak digunakan dalam
model.
II.4. Principal Component Analysis Cox Regression (PCA-Cox)
Principal Component Analysis atau Analisis Komponen Utama
merupakan teknik statistik yang dapat digunakan untuk menjelaskan
struktur variansi-kovariansi dari sekumpulan variabel melalui
beberapa variabel baru di mana variabel baru ini merupakan
kombinasi linier dari variabel asal dan bersifat saling bebas.
Selanjutnya variabel baru ini dinamakan komponen utama (principal
component). Secara umum tujuan dari analisis komponen utama
adalah mereduksi dimensi data dan untuk kebutuhan interpretasi.
Menurut Bair et al (2004), PCA dapat diterapkan pada masalah
multikolinieritas pada analisis regresi seperti regresi cox pada analisis
survival. Metode PCA dapat juga melihat pengaruh dari variabel
prediktor serta mengidentifikasi variabel prediktor mana yang
penting. Pada analisis komponen utama, vektor kolom sebanyak p
variabel asal X ditransformasi menjadi sebanyak q vektor kolom
variabel baru Y di mana q p. Dalam bentuk persamaan, PCA
dinyatakan sebagai :
j
X
p
j
ij
a
i
C

1

di mana 1 i q, 1 j p dan
q 2 1
C , , C , C
saling bebas. Vektor
variabel baru C
q
menjelaskan sebesar mungkin proporsi keragaman
vektor variabel asal.
168
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
II.4.1. Pembentukan Komponen Utama
Komponen utama didefinisikan sebagai kombinasi linier dari p
variabel asal yang dinyatakan dalam bentuk persamaan matriks
sebagai berikut (Gasperz, 1992) :
C
px1
= a
pxp
X
px1
(20)
di mana a merupakan matriks konstanta, C dan X adalah Matriks
variabel baru dan matriks variabel asal.
Persamaan (31) dapat dinyatakan sebagai berikut :
169
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
1
1
1
1
1
]
1

1
1
1
1
1
]
1

1
1
1
1
1
]
1

p
X
X
X
pp
a
p
a
p
a
p
a a a
p
a a a
p
C
C
C

2
1
2 1
2 22 21
1 12 11
2
1
(21)
Menurut Giudici (2003), jika didefinisikan C = a X dan
diketahui bahwa = {(X - ) (X - )} maka diperoleh ragam setiap
komponen utama yaitu :
Var (C) = Var ( a X)
= E {( a X - a ) ( a X - a )}
= E [(X - ) ( a ( X - ))] a
= a E (X - ) ( X - ) a
170
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
= a a
di mana,
px1
= vektor rata-rata X
Agar didapatkan Var (C) maksimum digunakan batasan a
i
a
i
= 1 dan dengan menggunakan metode pengganda Lagrange
didapatkan :
L ( a
i
, ) = a
i
a
i

i
( a
i
a
i
-1)
Fungsi ini akan maksimum jika turunan parsial pertama dari L (
a , ) terhadap a
i
dan
i
disama dengankan dengan nilai nol,
sehingga didapatkan :

i
i i
a
a L ) , (
2 a
i
2 a
i
= 0
= 2 ( -
i
I) a
i
= 0
= ( -
i
I) a
i
= 0
= a
i
-
i
a
i
= 0

i
)
i
,
i
(

a L
a
i
a
i
1 = 0
= a
i
a
i
= 1
Persamaan di atas dikenal sebagai persamaan karakteristik dari
matriks ragam-peragam, sehingga diperoleh akar-akar karakteristik
q
, . ,
2
,
1

di mana
. 0
2 1

q

Jika persamaan di atas
dikalikan dengan a
i
dan a
i
a
i
= 1, maka akan diperoleh hasil
( a
i
-
i
a
i
) a
i
= a
i
a
i
- a
i

i
a
i
= 0
= a
i
a
i
-
i
a
i
a
i
= 0
= a
i
a
i
-
i
= 0

i
= a
i
a
i

sehingga berdasarkan persamaan diatas didapatkan nilai untuk Var
(C) adalah sama dengan . Dengan demikian diketahui bahwa ragam
setiap komponen utama berpadanan dengan nilai setiap akar ciri
yang ada (Johnson dan Winchern, 2002).
171
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Menurut Johnson dan Winchern (2002), keragaman yang dapat
dijelaskan oleh komponen utama ke-i terhadap keragaman total
adalah :
% 100
1
1
x
p
i
i
q
i
i

(22)
Di mana q adalah banyaknya komponen utama yang ditentukan (q
p).
Menurut Morrison dalam Draper dan Smith (1992), prosedur
penentuan jumlah komponen utama yang digunakan dalam
membentuk model adalah :
1. Mengambil akar ciri yang lebih besar dari satu (
i
>1) dan atau
2. Memilih beberapa q buah komponen utama yang dapat
menyumbang keragaman data lebih besar dari 75%.
Dalam analisis komponen utama setelah didapatkan komponen
utama, tahap selanjutnya adalah pembentukan skor komponen
utama dari setiap observasi untuk digunakan sebagai analisis lebih
lanjut.
Jika observasi ke-i pada variabel asal ke-j adalah
np i i
X X X , , ,
2 1

maka skor komponen dari observasi ke-i, di mana
i = 1, 2, , n dan j = 1, 2, , p pada komponen utama c
l
(l = 1, 2, ,
r dengan r = >1) yang dihasilkan dari matriks korelasi R, maka
matriks data objek digantikan oleh matriks data skor baku Z
ij
. Skor
komponen utama dituliskan sebagai berikut :
( )
ij
Z
i
a
ij
SK
,

(23)
di mana
ij
SK : skor komponen ke-i variabel asal ke-j
172
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
i : 1, 2, , n
n : banyaknya observasi
,
i
a
: vektor koefisien komponen utama ke-i
Z
ij
: vektor kolom nilai variabel standarisasi X ke- i pada
variabel asal ke-j.
II.4.2. Uji Signifikansi Parameter Model Regresi PCA-Cox
Pengujian signifikansi parameter dalam model regresi PCA-Cox
dapat dilakukan dengan menggunakan metode bootstrap dengan
tujuan untuk menguji pengaruh masing-masing variabel prediktor
terhadap variabel respon (Mehlman, D.W., Sepherd, U.L., and Kelt,
D.A., 1995). Berbeda dengan perhitungan bootstrap pada PLSCox
langkah-langkah perhitungan bootstrap pada PCA-Cox tidak
melibatkan variabel y dalam pembentukan komponen. Berikut
langkah-langkah metode bootstrap untuk menguji signifikansi
parameter regresi PCA-Cox:
1. Mengambil sampel secara random sebanyak n dari data asal X
(x
1
, x
2
, , x
p
).
2. Selanjutnya dibentuk sampel bootstrap X
*b
yang berukuran n
dari data asal X dengan mengambil sebanyak B ulangan
dengan pengembalian. Pada tiap b sampel bootstrap dibentuk
komponen PCA dan model regresi PCA-Cox sehingga didapatkan
koefisien regresi PCA-Cox.
3. Untuk tiap b ulangan, di mana b = 1, , B dihitung simpangan
baku.
4. Dilakukan pengujian hipotesis untuk menentukan koefisien yang
layak digunakan dalam model.
173
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
II.5. Kemampuan Prediksi
Kemampuan prediksi dengan nilai cross validation (Q
2
) dapat
digunakan untuk mengetahui seberapa baik keakuratan prediksi yang
dihasilkan dari model yang terbentuk (Polanski, J. A. Bak, R. Gieleciak
dan T. Magdzdiarz, 2004). Perbandingan model regresi PLS-Cox dan
model regresi PCA-Cox dapat dilakukan dengan cara membandingkan
nilai Q
2
adjusted yang didapatkan dari kedua model. Hal ini
dikarenakan nilai Q
2
adjusted merupakan ukuran kemampuan prediksi
yang mempertimbangkan banyaknya variabel prediktor yang
terbentuk dalam model. Nilai Q
2
adjusted dapat diperoleh dengan
rumus sebagai berikut :
( )
( )
n
k n
adjusted



i
2
y
i
y
i
2
i
y
i
y
1
2
Q (24)
di mana :
Q
2
adjusted: nilai cross validation yang disesuaikan
k : banyak variabel prediktor yang terbentuk
y
i
: variabel respon pengamatan ke-i
i
y : nilai prediksi bagi y
i
y
: rata-rata variabel respon
Besaran Q
2
adjusted memiliki nilai dengan rentang -1 < Q
2
adjusted <
1, di mana semakin mendekati 1 berarti model yang diperoleh
menghasilkan prediksi yang semakin akurat.
III. Data Penelitian
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
sekunder dengan variabel respon berupa waktu survival dan variabel
174
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
prediktor bersifat kontinyu maupun kategorik. Berikut data yang akan
digunakan dalam Penelitian tentang Probabilitas kesembuhan pasien
CVA Infark di RSU Sanglah. Subyek yang diteliti sebanyak 69 pasien
(Ismiyati, 2007). Variabel respon (Y) adalah lama rawat pasien (hari),
dengan variabel prediktor adalah usia (X1), jenis kelamin (X2,
0=perempuan, 1=laki-laki), diagnosis (X3, 4 kategori, komplikasi DM,
komplikasi hipertensi, komplikasi lebih dari satu penyakit, dan tanpa
komplikasi), kolesterol LDL (X4), kolesterol HDL (X5), dan Tekanan
Darah (X6).
Tabel 1. Hasil Pengujian Asumsi Multikolinieritas Data
Penelitian
Variabel VIF
- Usia (X1) 1,0
- Jenis
Kelamin (X2)
1,1
- Diagnosis
(X3)
1,1
- Kolesterol
LDL (X4)
13,4
- Kolesterol
HDL (X5)
9,8
- Tekanan
Darah (X6)
4,2
Pemodelan Regresi Cox menggunakan pendekatan metode
kuadrat terkecil parsial (PLS-Cox) maupun komponen utama (PCA-
Cox) sangat sensitif terhadap adanya sifat multikolinieritas yang
terjadi pada variabel prediktornya. Hasil perhitungan asumsi
multikolinieritas data penelitian ditunjukkan pada Tabel 1 dan terlihat
asumsi multikolinieritas tidak terpenuhi.
IV. Hasil Penelitian:
IV.1. Model Regresi PLS-Cox
175
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Berdasarkan hasil uji asumsi didapatkan bahwa data penelitian
mengandung multikolinieritas sehingga sebelum dilakukan
pemodelan regresi Cox diperlukan metode partial least square
dengan tujuan untuk mendapatkan variabel prediktor baru yang
bebas atau tidak saling berkorelasi antara satu dengan lainnya.
Pendugaan parameter model regresi PLS-Cox dilakukan
melalui pembentukan komponen yang didasarkan pada dekomposisi
variabel respon dan variabel prediktor. Tiap komponen k
h
yang
terbentuk merupakan kombinasi linier dari variabel prediktor x
jh
dengan koefisien w
jh
yang didapatkan dari perhitungan normalisasi
koefisien a
jh
yang signifikan dari hasil regresi variabel prediktor x
jh
terhadap variabel respon secara parsial. Perhitungan pembentukan
komponen dapat dilihat pada Lampiran 1 dan secara ringkas
ditunjukkan pada Tabel 2 sebagai berikut :
Tabel 2. Hasil Pembentukan Komponen PLS-Cox
Tahap Pembentukan Komponen Terbentuk
Komponen k
1
k
1
= 0,69667 x
4
+ 0,60122 x
5
+ 0,39139 x
6
Komponen k
2
k
2
= 0,87354 x
4
+ 0,39626 x
5
- 0,28295 x
6
Komponen k
3
k
3
= 1,0000 x
1
Komponen k
4
k
4
= -3,61612 x
3.2
+ 0,99007 x
4

- 0,59743 x
5
+ 1,29290 x
6
Komponen k
5
Tidak terbentuk
Pada Tabel 2 terlihat bahwa hanya terbentuk empat komponen
PLS-Cox pada yaitu k
1,
k
2,
k
3
dan k
4
sedangkan pada k
5
tidak
terbentuk dikarenakan tidak terdapat koefisien a
j5
yang signifikan
dapat digunakan dalam pembentukan koefisien w
j5
. Kemudian
pembentukan model regresi PLS-Cox untuk dilanjutkan dengan
meregresikan kedua komponen yaitu k
1,
k
2,
k
3
dan k
4
dengan variabel
Y (lama rawat pasien) sehingga didapatkan koefisien hasil regresi Cox
yang ditunjukkan Tabel 3 sebagai berikut:
Tabel 3. Koefisien Regresi Cox Komponen k
h
terhadap Y
176
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Kompon
en
Koefisie
n
SE Wald
p-
value
95.0% Normal CI
Lower Upper
k1 0.02504 0.001 15.77 0.000 0.022 0.028
k2 0.03913 0.007 5.34 0.000 0.024 0.053
k3 0.00880 0.003 2.58 0.010 0.003 0.015
k4 0.08160 0.030 2.69 0.007 0.022 0.141
Berdasarkan Tabel 3 nilai koefisien pada komponen PLS-Cox
dapat digunakan sebagai dasar pembentukan model regresi Cox
untuk dengan memasukkan koefisien hasil regresi komponen k
1,
k
2,
k
3
dan k
4
dengan variabel Y, sehingga didapatkan bentuk persamaan
model regresi PLS-Cox dalam bentuk komponen yang dituliskan
sebagai persamaan :
h
i
(t) = h
0
(t) exp (0,02504 k
1
+ 0,03913 k
2
+ 0,00880 k
3
+
0,08160 k
4
)
Selanjutnya diperlukan transformasi model untuk mengetahui
bentuk hubungan antara variabel prediktor X dengan variabel respon
Y serta menguji signifikansi parameter untuk melihat pengaruh yang
diberikan masing-masing variabel prediktor X terhadap variabel
respon Y dengan menggunakan metode bootstrap. Berdasarkan
Lampiran 1 hasil transformasi model regresi PLS-Cox dapat dituliskan
kedalam bentuk persamaan :
h
i
(t) = h
0
(t) exp (0,00880 x
1
0,29508 x
3.2
+ 0,13241 x
4
0,01819 x
5
+
0,10423 x
6
)
Uji signifikansi paramater model regresi PLS-Cox untuk ditunjukkan
pada Tabel 4 sebagai berikut :
Tabel 4 Hasil Pengujian Signifikansi Parameter Model Regresi
PLS-Cox
177
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Variabel Koefisien p-value
X1 0.00880 0.94571
X2
X3.1
X3.2 -0.29508 0.99270
X3.3
X4 0.13241 0.00000
X5 -0.01819 0.00000
X6 0.10423 0.00000
Pada Tabel 4 terlihat bahwa dari delapan variabel prediktor,
hanya lima variabel prediktor yaitu Usia (X
1
), Diagnosis Komplikasi
Hipertensi (X
3.2
), Kolesterol LDL (X
4
), Kolesterol HDL (X
5
) dan Tekanan
Darah (X
6
) yang membentuk model regresi PLS-Cox. Terlihat pula
bahwa dari kelima variabel yang terbentuk, hanya variabel Kolesterol
LDL (X
4
), Kolesterol HDL (X
5
) dan Tekanan Darah (X
6
) yang
memberikan pengaruh signifikan terhadap lama rawat pasien
penderita CVA infark di RSU Sanglah karena mempunyai p-value yang
lebih kecil daripada taraf signifikansi () sebesar 5%.
IV.2. Model Regresi PCA-Cox
Sebagai metode yang membentuk komponen baru dengan cara
memaksimumkan ragam dari variabel prediktor, dalam mengatasi
permasalahan multikolinieritas, Regresi principal component analysis
Cox regression (PCA-Cox) memberikan alternatif lain disamping
penggunaan metode PLS-Cox.
Pendugaan paramater model regresi PCA-Cox dilakukan
dengan membentuk komponen utama pada di mana pembentukan
komponen utama dilakukan dengan cara memaksimumkan ragam
variabel prediktor asal melalui turunan parsial pertama. Berdasarkan
Lampiran 2, nilai akar ciri yang lebih besar dari 1 sebanyak empat
sehingga didapatkan bahwa pada komponen yang terbentuk
sebanyak empat komponen yaitu k
1,
k
2,
k
3,
dan k
4
. Hasil pembentukan
178
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
komponen utama dapat dilihat pada Lampiran 2 dan ditunjukkan
pada Tabel 5.
Tabel 5. Pembentukan Komponen PCA-Cox
Tahap Pembentukan Komponen Terbentuk
Komponen k
1
k
1
= 0,059 x
1
+ 0,172 x
2
- 0,157 x
3.1

- 0,013 x
3.2
- 0,120 x
3.3
- 0,569 x
4

- 0,555 x
5
-0,544 x
6
Komponen k
2
k
2
= 0,600 x
1
+ 0,237 x
2
- 0,511 x
3.1
+ 0,445 x
3.2
+ 0,331 x
3.3
+ 0,055 x
4
+ 0,094 x
5
+ 0,052 x
6
Komponen k
3
k
3
= - 0,004 x
1
+ 0,134 x
2
+ 0,228 x
3.1
+ 0,681 x
3.2
- 0,678 x
3.3
+ 0,056 x
4
+ 0,063 x
5
- 0,013 x
6
Komponen k
4
k
4
= - 0,244 x
1
+ 0,831 x
2
+ 0,358 x
3.1
+ 0,037 x
3.2
+ 0,334 x
3.3
+ 0,036 x
4
+ 0,072 x
5
- 0,053 x
6
Pada Tabel 5 di atas terlihat bahwa pemodelan regresi PCA-Cox
pada terbentuk tiga komponen yaitu k
1,
k
2,
dan

k
3
. Terlihat pula bahwa
masing-masing komponen yang terbentuk merupakan kombinasi
linear dari variabel asal sehingga pada tiap komponen yang terbentuk
terdiri dari semua dari variabel prediktor asal. Selanjutnya dibentuk
model regresi PCA-Cox dengan meregresikan skor komponen utama
dengan variabel Y (lama rawat pasien). Berdasarkan Lampiran 2,
didapatkan koefisien hasil regresi Cox tiap komponen serta
ditunjukkan pada Tabel berikut :
Tabel 6. Koefisien Regresi PCA-Cox Sk
ij
terhadap Y
Kompone
n
Koefisien SE Wald p-value
95.0% Normal CI
Lower Upper
179
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
k1 -0.29255 0.022
-
13.25
0.000 -0.336 -0.249
k2 0.06224 0.042 1.49 0.137 -0.019 0.144
k3 0.08348 0.059 1.4 0.161 -0.033 0.200
k4 0.01168 0.043 0.27 0.787 -0.073 0.096
Berdasarkan Tabel 6 di atas dapat dibentuk persamaan regeresi
PCA-Cox didapatkan persamaan regresi Cox dengan variabel
prediktor berupa komponen dalam bentuk persamaan :
h
i
(t) = h
0
(t) exp (-0,29255 k
1
+ 0,06224 k
2
+ 0,08348 k
3
+
0,01168 k
4
)
Kemudian dilakukan transformasi model kedalam bentuk
persamaan variabel asal untuk mengetahui bentuk hubungan antara
variabel prediktor X dengan variabel respon Y sehingga didapatkan
bentuk persamaan kedalam bentuk variabel asal dengan persamaan :
h
i
(t) = h
0
(t) exp (0,01690 x
1
- 0,01467 x
2
+ 0,03735 x
3.1
+
0,08878 x
3.2

+ 0, 00301 x
3.3
+ 0,17498 x
4
- 0,17432x
5
+ 0,16068 x
6
)
Selanjutnya dilakukan pengujian signifikansi parameter untuk
mengetahui pengaruh masing-masing variabel prediktor X terhadap
variabel respon Y dengan menggunakan metode bootstrap. Hasil
pengujian signifikansi parameter masing-masing variabel prediktor
terdapat pada Lampiran 2 dan ditunjukkan pada Tabel 4 sebagai
berikut:
Tabel 7 Hasil Pengujian Signifikansi Parameter Model Regresi
PCA-Cox
Variabel Koefisien p-value
X1 0.01690 0.67137
X2 -0.01467 0.26056
X3.1 0.03735 0.34340
X3.2 0.08878 0.58132
X3.3 0.00301 0.31960
X4 0.17498 0.00000
X5 -0.17432 0.00000
180
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
X6 0.16068 0.00000
Pada Tabel 7 terlihat bahwa dari dari delapan variabel prediktor
yaitu Usia (X
1
), Jenis Kelamin (X
2
), Diagnosis Komplikasi DM (X
3.1
),
Diagnosis Komplikasi Hipertensi (X
3.2
), Diagnosis > 1 penyakit (X
3.3
),
Kolesterol LDL (X
4
), Kolesterol HDL (X
5
) dan Tekanan Darah (X
6
)
hanya variabel prediktor Kolesterol LDL (X
4
), Kolesterol HDL (X
5
) dan
Tekanan Darah (X
6
) yang memberikan pengaruh signifikan terhadap
Y (lama rawat pasien CVA infark). Hal ini dikarenakan ketiga variabel
tersebut mempunyai p-value yang lebih kecil daripada taraf
signifikansi () sebesar 5%.
IV.3. Perbandingan Model Regresi PLS-Cox dan PCA-Cox
Berdasarkan hasil pemodelan regresi PLS-Cox dan PCA-Cox
yang telah dilakukan pada data penelitian di atas, perbandingan
antara hasil pengaruh variabel prediktor terhadap peluang kegagalan
suatu objek pada pada masing-masing data penelitian. Hasil
perbandingan pengaruh variabel prediktor terhadap peluang
kegagalan antara pemodelan regresi PLS-Cox dan regresi PCA-Cox
masing-masing data penelitian ditunjukkan sebagai berikut :
Tabel 8. Perbandingan Pengaruh Variabel Prediktor antara
Model Regresi PLS-Cox dan Model Regresi PCA-Cox
Variabel Regresi PLS-Cox Regresi PCA-Cox
Prediktor Koefisien p-value Koefisien p-value
X1 0.00880 0.94571 0.01690 0.67137
X2 -0.01467 0.26056
X3.1 0.03735 0.34340
X3.2 -0.29508 0.99270 0.08878 0.58132
X3.3 0.00301 0.31960
X4 0.13241* 0.00000 0.17498* 0.00000
X5 -0.01819* 0.00000 -0.17432* 0.00000
X6 0.10423* 0.00000 0.16068* 0.00000
Q
2
adj
0,8991 0,8379
Keterangan : tanda * menyatakan signifikan pada taraf 5%
181
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Berdasarkan Tabel 8 di atas, dengan menggunakan model
regresi PLS-Cox maupun regresi PCA-Cox pada taraf signifikansi ()
sebesar 5%, terdapat kesamaan pengaruh variabel prediktor
terhadap peluang bertahan hidup. Berdasarkan Tabel 8 di atas
terlihat bahwa variabel yang mempunyai pengaruh sama terhadap
peluang bertahan hidup pasien CVA Infark adalah variabel Kolesterol
LDL (X
4
), Kolesterol HDL (X
5
) dan Tekanan Darah (X
6
). Kesamaan
dalam hal ini juga terlihat dari sisi signifikansi koefisien dan
magnitude koefisien (tanda koefisien).
Selanjutnya dilakukan perbandingan antara pemodelan PLS-
Cox dan PCA-Cox dengan nilai Q
2
adjusted. Pada Tabel di atas terlihat
bahwa dari data yang diteliti, pemodelan dengan menggunakan
model regresi PLS-Cox menunjukkan hasil yang lebih baik
dibandingkan dengan menggunakan model regresi PCA-Cox. Hal ini
didukung dengan hasil perhitungan nilai Q
2
adjusted yang relatif lebih
besar untuk model regresi PLS-Cox dibandingkan dengan model
regresi PCA-Cox, sehingga dapat disimpulkan bahwa pemodelan
menggunakan regresi PLS-Cox pada data yang mengandung
multikolinieritas dapat memberikan kemampuan prediksi yang baik
dan relatif lebih baik.
V. Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan hasil penelitian menggunakan nilai cross validation
yang disesuaikan (Q
2
adjusted), dapat disimpulkan bahwa pemodelan
menggunakan regresi PLS-Cox pada data yang mengandung
multikolinieritas dapat memberikan kemampuan prediksi yang baik
dan relatif lebih baik.
Saran yang diperoleh adalah bahwa pada kenyataan tidak
semua data survival memenuhi asumsi proportional hazard sehingga
182
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
seringkali terjadi hilangnya informasi yang didapatkan. Oleh karena
itu, disarankan pada penelitian selanjutnya dilakukan pemodelan
regresi PLS-Cox dan PCA-Cox pada data survival yang tidak
memenuhi asumsi proportional hazard dengan menerapkan
pemodelan regresi PLS-Cox dan PCA-Cox pada model stratified Cox
atau model regresi Cox dengan variabel time-dependent.
DAFTAR RUJUKAN
Abdi, H. 2003. Partial Least Square (PLS) Regression.
http:/www.utdallas.edu~herveAbdi-PLS-pretty.pdf.
Agresti, A. 2002. An Introduction to Categorical Data Analysis.
John Wiley & Sons. New York.
Bair, E., Hastie, T., Paul, D., and Tibshirani, R. 2004. Prediction by
Supervised Principal Component. Department of
Statistics and Health, Research Policy. University of Stanford.
Bastien, P. 2004. PLS-Cox model: Application to Gene
Expression. In: COMSTAT, Section: Partial Least Square.
Bastien, P.,Vinci. E., dan Tenenhaus, M. 2005. PLS Generalized
Linear Regression. Computational Statistics & Data
Analysis.
Berka, M. 2007. Multicollinearity. http://www.massey.ac.nz~
mberkaMChandout.pdf.
Borovkova, S. 2002. Analysis of Survival Data. Journal of
Technische Universiteit Delft. Faculteit Informatietechnologie
System: 302-
307.http://citeseerx.ist.psu.edu=10.1.167.5970.pdf.
Boulesteix, A. dan K. Strimmer. 2005. Partial Least Square : A
Versatile Tool For The Analysis of High-Dimensional
Genomic Data. http://www.stat.unimuenchen.desfb386.
papersdspaper457.pdf.
Candes E. J., Li X., Ma Y., and Wright J. 2009. Robust Principal
Component Analysis. Department of Statistics. Stanford
University.
183
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Chan, YH. 2004. Bostatistics 203 : Survival Analysis. Singapore
Med J Vol. 45 (6) : 249.
Collet, D. 2003. Modelling Survival Data in Medical Research
Second Edition. Chapman and Hall. London.
Draper, N.R. dan Smith, H. 1992. Analisis Regresi Terapan. PT
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Efron, B. dan R.J. Tibshirani. 1993. An Introduction to The
Bootstrap. Chapman & Hall. New York.
Etzioni, R. D. Feuer, E. J., Sullivan D. S., Lin, D., Hu, C., Remsey, D. S.
1997. On the Use of Survival Analysis Techniques to
Estimate Medical Care Costs. Department of Biostatistics.
University of Wahington. USA.
Fox, J. 2002
a
. Cox Proportional Hazards Regression for Survival
Data. http://www.google.com/Search:Cox-ph-Fox/files,
Gujarati, D. 1995. Ekonometrika Dasar. Terjemahan: Zain, S.
Erlangga, Jakarta.
Hosmer, DW., Lemeshow, S. 1999. Applied Survival Analysis:
Regression Modelling of Time to Event Data. John Wiley
and Son. Canada.
Iachine, I. 2001. Basic Survival Analysis. Biostatistik- Basale
Bregeber. Revision 2.11. hal. 1-34.
Ismiyati. 2007. Penerapan Metode Product Limit kaplan Meier
untuk Mengetahui Probabilitas Kesembuhan Pasien
CVA Infark (Studi Kasus di RSU Sanglah). Universitas
Airlangga. Surabaya. Tesis. Tidak Dipublikasikan.
Jenkins, SP,. 2005. Survival Analysis.
http://www.google.com/search/ 627D2174d01
Jian, J.D; L. Linh, dan D. Rocke. 2006. Dimension Redustion for
Classification With Gene Expression Microarray Data.
http://www.cipic.ucdavis.edu~
dmrockepapersDai_Lieu_Rocke_SAGMB2006.pdf.
Johnson, R.A. and D.W. Wichern. 2002. Applied Multivariate
Statistical Analysis, Fifth Edition. Prentice-Hall, Inc. New
Jersey.
Kleinbaum, D.G. and Klein, M. 2005. Survival Analysis : A Self-
Learning Text. Second Edition. Springer-Verlag. New York.
184
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Kutner, M. H., Machtseim, dan J. Neter. 2004. Applied Linier
Regression Models. Fourth Edition. Mc Graw Hill. New York.
Lee, E.T. and Wang, J. W. 2003. Statistical Methods for Survival
Data Analysis. Wiley.
Li, H. dan J. Gui. 2004. Partial Cox Regression Analysis for High-
Dimensional Microarray Gene Expression Data. Center
for Bioinformatics & Molecular Biostatistics. University of
California. San Fransisco.
Mehlman, D.W., Sepherd, U.L., and Kelt, D.A. 1995. Bootstraping
Principal Component Analysis. Journal of Ecology, 76 (2)
pp. 640-643. Ecological Society of Amerika.
Nguyen, D.V. dan D. Rocke. 2002. Partial Least Square
Proportional Hazard Regression for Applicaation to
DNA Microarray Survival Data. Bioinformatics, 18, 1625-
1632.
O Brien, Robert M. 2007. A Caution Regarding Rules of Tumb for
Variance Inflation Factors. Quality and Quantity 41 (5);
673-690. http://cat. inist.fr/?aModele=afficheN&cpsidt.
Sung, J., dan Tanaka, Y., 2003. A Numerical Study on Statistical
Diagnostics in Cox Proportional Hazard Model for
Survival Data Analysis. Okayama University. Vol. 9, No. 1.
Tableman, M. dan Kim, J. S. 2005. Survival Analysis Using S-
Analysis of Time to Event Data. Chapman & Hall. New
York.
185
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
CORRELATION BETWEEN ACHIEVEMENT MOTIVATION OF
PARENTS WITH LEARNING IPA SEVENTH GRADE STUDENTS
SEMESTER JUNIOR SILA CANDRA BATUBULAN
ACADEMIC YEAR 2011/2012
Oleh
Ni Nyoman Parmithi
Lecturer FPMIPA IKIP PGRI Bali
ABSTRACT
Student achievement is inseparable from the factors that effect.
One such factor is motivation. Motivation is a mental boost that
drives and directs human behavior, including learning behavior.
Motivation can come from the student (internal motivation) and those
from outside the student (external motivation). One motivation that
comes from outside is not less important to the motivation of the
student is motivated parents, where a student was raised and is the
headliner.
This study aimed to determine the correlation between parental
motivation to learn science achievement even junior high school
students Semester Sila Batubulan Candra school year 2011/2012. The
population consists of 5 classes with a number of 205 people, which is
defined as a sample of 67 people who are determined by proportional
random sampling technique. Instrument used to find data on
motivation of the parents was a questionnaire, and the value
obtained from the list of values IPA IPA semester. The data obtained
were then processed using statistical correlation test.
The results of the analysis of data obtained value rxy = 0.52.
Using a significance level of 5%, then r count is greater than the table
r = 0.244. This means that on the way the null hypothesis is rejected
186
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
and accept the alternative hypothesis, so it can be concluded that
there is a significant correlation between parental motivation to learn
science achievement of students of class VII semester junior Sila
Batubulan Candra school year 2011/2012.
Key words : Motivation; science achievement
I. LATAR BELAKANG
Pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam
mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Keberhasilan
tujuan pendidikan tidak hanya dipengaruhi oleh pihak sekolah
sebagai lembaga formal, namun juga sangat dipengaruhi oleh
lingkungan keluarga dan masyarakat. Begitu juga prestasi belajar
siswa di sekolah, tidak hanya dipengaruhi oleh faktor dari dalam
dirinya sendiri (faktor intrinsik), namun banyak faktor yang berasal
dari luar dirinya (faktor ekstrinsik) yang dapat mempengaruhinya.
Salah satu faktor yang berasal dari luar dirinya, yang
memegang peranan penting adalah faktor keluarga yaitu orang tua.
Orang tua merupakan lingkungan pertama dikenal oleh anak,
sehingga orang tua merupakan faktor utama yang dapat memotivasi
seorang anak untuk meraih prestasi belajarnya. Dengan motivasi
siswa dapat mengembangkan aktivitas dan inisiatif, dapat
mengarahkan dan memelihara ketekunan dalam melakukan kegiatan
belajar.
Dimyati dan Mudjiono (2009), menyatakan bahwa motivasi
orang tua dipandang sebagai dorongan mental yang menggerakkan
dan mengarahkan perilaku manusia, termasuk perilaku belajar.
Dalam motivasi terkandung adanya keinginan yang mengaktifkan,
menggerakkan, menyalurkan dan mengarahkan sikap dan perilaku
individu belajar. Dorongan merupakan kekuatan mental untuk
187
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
melakukan kegiatan dalam rangka memenuhi harapan. Dorongan
merupakan kekuatan mental yang berorientasi pada pemenuhan
harapan atau pencapaian tujuan.
Selanjutnya dikatakan bahwa anak akan selalu membutuhkan
suatu motivasi untuk bisa terus konsisten belajar. Ada beberapa
motivasi yang bisa diberikan orang tua kepada anak, misalnya : (1)
memberikan semangat pada putra-putrinya, karena orang tua adalah
sebagai sosok yang paling dekat dengan mereka; (2) memberikan
pujian, karena dengan memberikan pujian akan menambah
kepercayaan diri seorang anak hingga ia menjadi lebih semangat
untuk belajar; (3) memberikan suatu barang sebagai hadiah atas
prestasi tertentu yang dicapai oleh siswa; (4) memberikan iming-
iming yang dilakukan sebelum anak melakukan kegiatan belajar; dan
(5) perancangan cita-cita. Maksudnya, orang tua sebaiknya
menanyakan terlebih dahulu apa cita-cita siswa, setelah itu akan
lebih mudah mendorong anak untuk belajar lebih giat.
Oleh karena itu yang menjadi penanggung jawab dalam
pendidikan, dan bimbingan anak adalah orang tua, disamping sekolah
dan masyarakat, sebab waktu anak sebagian besar ada dalam
lingkungan keluarga. Peran keluarga khususnya orang tua dalam
memberikan pendidikan dan bimbingan terhadap anak, lebih banyak
bila dibandingkan dengan pendidikan dan bimbingan yang diberikan
oleh guru di sekolah. Dengan demikian, motivasi orang tua
diharapkan mampu mengkondisikan anak supaya mau belajar dan
berhasil meraih prestasi belajarnya dengan baik.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara
motivasi orang tua dengan prestasi belajar IPA pada siswa kelas VII
semester genap SMP Sila Candra Batubulan, tahun pelajaran
2011/2012.
188
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
II. KAJIAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan tentang Motivasi
Motivasi kadang-kadang diibaratkan sebagai mesin dan kemudi
pada mobil. Energi dan arah inilah yang menjadi inti dari konsep
tentang motivasi. Motivasi merupakan sebuah konsep yang luas
(diffuse), dan seringkali dikaitkan dengan faktor-faktor lain yang
mempengaruhi energi dan arah aktivitas manusia, misalnya minat
(interest), kebutuhan (need), nilai (value), sikap (attitude), aspirasi
dan insentif (Gage dan Berliner,1984).
Motivasi mempunyai fungsi yang penting dalam belajar, karena
motivasi akan menentukan intensitas usaha belajar yang dilakukan
siswa. Yusuf Syamsu (1993) menyatakan bahwa para siswa yang
memiliki motivasi tinggi, belajarnya lebih baik dibandingkan dengan
siswa yang motivasi belajarnya rendah. Hal ini dapat dipahami,
karena siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi akan tekun dalam
belajar dan terus belajar secara kontinyu tanpa mengenal putus asa
serta dapat mengesampingkan hal-hal yang dapat mengganggu
kegiatan belajar yang dilakukannya.
Sardiman (1988) mengemukakan ada tiga fungsi motivasi, yaitu
: (1) Mendorong manusia untuk berbuat. Motivasi dalam hal ini
merupakan motor penggerak dari setiap kegiatan yang akan
dikerjakan; (2) Menuntun arah perbuatan, yakni ke arah tujuan yang
hendak dicapai, dengan demikian motivasi dapat memberi arah, dan
kegiatan yang harus dikerjakan sesuai dengan rumusan tujuannya. ;
(3) Menyeleksi perbuatan, yakni menentukan perbuatan-perbuatan
apa yang harus dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan, dengan
menyisihkan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan
tersebut.
189
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Syaodih dalam Riduwan (2005) menyatakan fungsi dari motivasi
adalah: 1) Mendorong anak dalam melaksanakan sesuatu aktivitas
dan tindakan; (2) Dapat menentukan arah perbuatan seseorang; (3)
Motivasi berfungsi dalam menyeleksi jenis-jenis perbuatan dan
aktivitas seseorang.
Selanjutnya Prayitno dalam Sardiman (1988) mengatakan
bahwa fungsi dari motivasi dalam Proses Belajar Mengajar adalah : (1)
Menyediakan kondisi yang optimal bagi terjadinya belajar; (2)
Menguatkan semangat belajar siswa; (3) Menimbulkan atau
menggugah minat siswa agar mau belajar; (4) Mengikat perhatian
siswa agar mau dan menemukan serta memilih jalan/tingkah laku
yang sesuai untuk mencapai tujuan belajar maupun tujuan hidup
jangka panjang.
Aspek motivasi dalam keseluruhan proses belajar mengajar
sangat penting, karena motivasi dapat mendorong siswa untuk
melakukan aktivitas-aktivitas tertentu yang berhubungan dengan
kegiatan belajar. Motivasi dapat memberikan semangat kepada siswa
dalam kegiatan-kegiatan belajarnya dan memberi petunjuk atas
perbuatan yang dilakukannya.
Pada dasarnya motivasi orang tua terhadap pendidikan anaknya
menyangkut dua hal pokok yaitu dukungan moral dan dukungan
material. Dukungan moral dari orang tua terhadap pendidikan
anaknya dapat berupa perhatian terhadap pemenuhan kebutuhan
psikis yang meliputi kasih sayang, keteladanan, bimbingan dan
pengarahan, dorongan, menanamkan rasa percaya diri. Dengan
perhatian orang tua yang berupa pemenuhan kebutuhan psikis
tersebut diharapkan dapat memberikan semangat belajar anak guna
meraih suatu cita-cita atau prestasi.
190
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Keaktifan orang tua dalam memperhatikan dan memberikan
dorongan kepada anak di saat belajar meliputi : pengawasan di saat
belajar; memberi teguran jika malas belajar; mempedulikan tentang
kesulitan belajar; memberi bantuan/membimbing untuk mengatasi
kesulitan belajar; mambatasi waktu bermain; dan mengingatkan
waktu untuk belajar.
Sedangkan keaktifan orang tua dalam memperhatikan prestasi
belajar siswa di sekolah meliputi : mengontrol nilai ulangan harian;
mengontrol nilai UTS; mengotrol nilai raport; memberikan teguran jika
prestasi menurun; berkomunikasi dengan siswa mengenai hal-hal
yang berhubungan dengan sekolah; berkomunikasi dengan sekolah
(Guru, Wali Kelas, BP) tentang kemajuan belajar siswa.
Dengan adanya perhatian terhadap pemenuhan kebutuhan
psikis tersebut di atas, akan sangat mempermudah bagi orang tua
dalam mengawasi atau memantau aktivitas belajar anaknya selama
di rumah sebagai penunjang aktivitas belajar di sekolahnya.
Dengan demikian bahwa orang tua tersebut telah
melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya dengan baik dalam
mengasuh anak-anaknya di tengah-tengah keluarga yang dibinanya
dalam rangka mempersiapkan masa depan anak-anaknya dalam
meraih kehidupan yang lebih cemerlang.
Namun berdasarkan fenomena yang terjadi di masyarakat tidak
semua orang tua atau keluarga dapat memenuhi kebutuhan psikis
tersebut karena adanya berbagai macam susunan atau karakter
dalam sebuah keluarga tersebut. Adapun mengenai susunan keluarga
tersebut, menurut Ary Gunawan (2006) membagikan menjadi tiga
macam yaitu : (1) Keluarga yang bersifat otoriter, disini
perkembangan anak itu semata-mata ditentukan oleh orang tuanya.
Sifat pribadi anak yang otoriter suka menyendiri, mengalami
191
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
kemunduran kematangannya, ragu-ragu didalam semua tindakan
serta lambat berinisiatif. (2) Keluarga Demokrasi, disini sikap pribadi
anak lebih dapat menyesuaikan diri, sifatnya fleksibel, dapat
menguasai diri, mau menghargai pekerjaan orang lain, menerima
kritik dengan terbuka, aktif di dalam hidupnya, emosi lebih stabil,
serta mempunyai rasa tanggung jawab. (3) Keluarga liberal, disini
anak-anak bebas bertindak dan berbuat. Sifat-sifat dari keluarga ini
biasanya bersifat agresif, tak dapat bekerjasama dengan orang lain,
sukar menyesuaikan diri, emosi kurang stabil serta mempunyai sifat
selalu curiga.
Perbedaan pola asuh dari setiap keluarga akan berdampak pada
sifat atau tingkah laku anak di masing-masing keluarga. Hal ini
merupakan hasil dari pola asuh dari perhatian yang telah ditujukan
kepada anak, sebagai contoh dalam belajar di sekolah.
Jadi meskipun terdapat keanekaragaman bentuk atau susunan
keluarga yang ada di masyarakat, namun kesadaran akan tanggung
jawab mendidik dan membina anak secara terus menerus perlu
dikembangkan pada setiap orang tua tentunya dengan bekal teori-
teori pendidikan modern sesuai dengan perkembangan zaman. Bila
hal ini dapat dilakukan oleh setiap orang tua maka generasi
mendatang telah mempunyai kekuatan mental menghadapi
perubahan dalam masyarakat.
Selain dukungan moral orang tua terhadap kelangsungan
pendidikannya, ada juga dukungan dari orang tua yang berupa
dukungan material. Dimana dukungan material ini berupa
pemenuhan fasilitas belajar siswa, yaitu : ruang belajar, meja belajar,
lampu terang untuk belajar, buku pelajaran yang sesuai dengan
kebutuhan, pemberian uang saku untuk sekolah, pemberian alat tulis,
mengantar saat berangkat sekolah, menjemput saat pulang sekolah
192
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Untuk memenuhi kebutuhan fisik tersebut tentunya berkaitan
dengan status sosial ekonomi keluarga atau pendapatan di dalam
keluarga itu sendiri. Pendapatan orang tua adalah segala penghasilan
baik yang berupa uang atau barang yang diterima sebagai balas jasa
atau kontraprestasi. Keluarga yang memiliki pendapatan tinggi akan
dengan mudah memenuhi biaya kebutuhan pendidikan anak yang
meliputi sumbangan komite, peralatan sekolah, transportasi, sarana
belajar dirumah, baju seragam, biaya ekstrakurikuler, dan tidak
terkecuali uang saku anak. Dan sebaliknya, keluarga yang memiliki
pendapatan rendah akan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan anak.
Dengan demikian, siswa yang orang tuanya memiliki
pendapatan tinggi, semua kebutuhan yang berkaitan dengan aktivitas
belajar akan segera terpenuhi, sehingga dengan pemenuhan
kebutuhan belajar tersebut dapat menunjang tercapainya prestasi
belajar yang baik yang merupakan harapan atau cita-cita akhir dari
aktivitas belajar. Dan sebaliknya jika dalam suatu keluarga yang
status ekonominya rendah akan merasa keberatan dalam memenuhi
kebutuhan belajar anaknya secara penuh, sehingga kondisi yang
seperti akan berdampak pada perolehan prestasi belajar yang
rendah.
Berdasarkan uraian tersebut di atas mengenai dukungan moral
maupun material yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya,
dapat disimpulkan bahwa potensi seorang anak itu akan dapat
berkembang dengan baik apabila mendapat bimbingan dan dukungan
serta pengawasan dari orang tuanya dalam pendidikan informalnya
dan selalu terpenuhinya semua kebutuhan belajar akan lebih mudah
dalam meraih prestasi dibandingkan dengan siswa yang tidak pernah
mendapat perhatian, bimbingan dan dukungan orang tuanya.
193
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
2.2 Prestasi Belajar
Prestasi belajar merupakan hasil yang telah dicapai dari suatu
proses belajar yang telah dilakukan. Untuk mengetahui berhasil atau
tidaknya diperlukan suatu pengukuran. Pengukuran adalah proses
penentuan luas/kuantitas sesuatu (Nurkancana,1986). Dalam
kegiatan pengukuran hasil belajar, siswa dihadapkan pada tugas,
pertanyaan atau persoalan yang harus dipecahkan/dijawab. Hasil
pengukuran tersebut masih berupa skor mentah yang belum dapat
memberikan informasi kemampuan siswa. Agar dapat memberikan
informasi yang diharapkan tentang kemampuan siswa maka diadakan
penilaian terhadap keseluruhan proses belajar mengajar sehingga
akan memperlihatkan banyak hal yang dicapai selama proses belajar
mengajar. Misalnya pencapaian aspek kognitif, aspek afektif dan
aspek psikomotorik. Prestasi belajar menurut Bloom meliputi 3 aspek
yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. Dalam penelitian ini yang
ditinjau adalah aspek kognitif yang meliputi: pengetahuan,
pemahaman, dan penerapan.
Prestasi belajar ditunjukkan dengan skor atau angka yang
menunjukkan nilai-nilai dari sejumlah mata pelajaran yang
menggambarkan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh
siswa, serta untuk dapat memperoleh nilai digunakan tes terhadap
mata pelajaran terlebih dahulu. Hasil tes inilah yang menunjukkan
keadaan tinggi rendahnya prestasi yang dicapai oleh siswa.
2.3 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah dan landasan teori di atas,
maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah hipotesis
alternatif (Ha) yang menyatakan bahwa ada korelasi antara motivasi
orang tua dengan prestasi belajar IPA siswa kelas VII semester genap
SMP Sila Candra Batubulan tahun pelajaran 2011/2012.
194
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
III. METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di kelas VII SMP Sila Candra
Batubulan. Jenis penelitian ini adalah penelitian korelasional, dengan
populasi adalah seluruh siswa kelas VII SMP Sila Candra Batubulan
yang terdiri dari 5 kelas dengan jumlah keseluruhan adalah 205 orang
siswa. Mengingat populasinya cukup besar, maka untuk menentukan
ukuran sampel sebagai wakil populasi digunakan rumus
2
. 1 e N
N
n
+

Dengan rumus tersebut maka teknik pengambilan sampelnya


adalah proporsional random sampling, yaitu cara pengambilan
sampel dari anggota atau unsur yang heterogen (tak sejenis) dan
berstrata secara proporsional. Dengan teknik ini setiap anggota
populasi memperoleh peluang yang sama untuk menjadi sampel.
Dengan demikian maka diperoleh sampel sebanyak 67 orang siswa,
yang berasal dari 5 kelas, dan dari masing-masing kelas diambil
secara proporsional.
Dalam penelitian ini terdiri dari 2 variabel, yaitu variabel bebas
adalah motivasi orang tua, dan variabel terikat adalah prestasi belajar
IPA. Untuk mendapatkan data tentang motivasi orang tua digunakan
metode angket, yang terdiri dari 15 pertanyaan, sedangkan prestasi
belajar IPA diambil dari nilai rata-rata ulangan yang terdapat pada
leger nilai. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi
analisis statistik deskriptif dan analisis korelasi untuk menguji
hipotesis penelitian. Analisis statistik deskriptif digunakan untuk
mengetahui nilai kecenderungan data hasil penelitian yaitu dengan
jalan menguraikan atau menjabarkan data-data variabel penelitian
(motivasi dan prestasi belajar) seperti: mean, median, range, dan
standar deviasi. Cara permberian skor untuk mengungkap variabel
195
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
motivasi belajar siswa digunakan skala Likert dengan pemberian skor
berdasarkan pernyataan positif dan pernyataan negatif. Pernyataan
positip terdiri dari sangat setuju nilainya 5, setuju nilainya 4, ragu
nilainya 3, tidak setuju nilainya 2, dan sangat tidak setuju nilainya 1.
Sebaliknya pernyataan negatif terdiri dari sangat setuju nilainya 1,
setuju nilainya 2, ragu nilainya 3, tidak setuju nilainya 4, dan sangat
tidak setuju nilainya 5 (Riduwan, 2005).
Tingkat motivasi orang tua dapat diklasifikasikan berdasarkan
skala pengukurannya yaitu ordinal dengan kategori rendah bila M
(mean) SD (standar deviasi), sedang bila skor antara (M-SD)
(M+SD), dan tinggi bila skor (M+SD), sebelum menentukan rentang
nilai, terlebih dahulu dihitung mean, dan standar deviasinya (Agus
Irianto, 2004).
Selanjutnya, analisis korelasi dilakukan untuk mengetahui kuat
lemahnya hubungan antar variabel yang dianalisis. Analisis korelasi
yang digunakan adalah Pearson Product Moment (PPM).
Rumus korelasi PPM sebagai berikut:
rxy =
( )( )
( ) ( ) ( ) ( )
2
2
(
2
2
(

Y Y n X X n
Y X XY n
Keterangan :
rxy = koefisien korelasi yang dicari
n = banyaknya subjek pemilik nilai
X = nilai variabel X
Y = nilai variabel Y
(Sumber : Arikunto, 2000)
Korelasi PPM dilambangkan (r) dengan ketentuan nilai r tidak
lebih dari harga (-1 < r < + 1). Apabila nilai r = 1 artinya
korelasinya negatif sempurna; r = 0 artinya tidak ada korelasi; dan r
= 1 berarti korelasinya sangat kuat. Sebelum dilakukan analisis data,
196
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
maka terlebih dahulu dilakukan uji persyaratan analisis yang terdiri
dari: 1) Uji normalitas data, dan 2) Uji Linieritas.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
Berdasarkan standar deviasi dan mean yang diperoleh, maka
diperoleh tingkat motivasi orang tua seperti dalam tabel 01.
Tabel 01
Pengkategorian Tingkat Motivasi Orang Tua
Rumus Rentang
Nilai
Kategori
M SD= (62,49 4,71) = 57,78 < 57,78 Rendah
(M SD)-(M+SD) =(62,49-4,71)
(62,49+4,71) = 57,78-67,2
57,78 67,2 Sedang
M+SD = 62,49+4,71 = 67,2 >67,2 Tinggi
Setelah diketahui tingkat motivasi orang tua, maka distribusi
frekuensi motivasinya adalah sebagai berikut.
Tabel 02
Distribusi Frekuensi Motivasi Orang Tua
Motivasi
Orang Tua
Frekuensi Persentase
Rendah 10 14,92 %
Sedang 50 74,62 %
Tinggi 7 10,44 %
Jumlah 67 100 %
197
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Selanjutnya setelah melalui beberapa uji persyaratan yaitu uji
normalitas data, dan uji linearitas, maka diperoleh hasil uji hipotesis
yaitu nilai rxy sebesar 0,52.
Harga r tabel untuk taraf kesalahan 5% dengan n =67 diperoleh
r tabel = 0,244. Karena r hitung lebih besar dari r tabel untuk
kesalahan 5 %, maka Ho di tolak dan Ha diterima, yang berarti bahwa
ada korelasi yang positif dan signifikan sebesar 0,52 yang tergolong
sedang, antara motivasi orang tua dengan prestasi belajar IPA siswa
kelas VII semester genap SMP Sila Candra Batubulan. Koefisien
determinasinya r= 0,52 = 0,2704. Hal ini berarti nilai prestasi
belajar IPA siswa kelas VII 27,04 % ditentukan oleh motivasi orang
tua, melalui persamaan regresi Y
2
= 14,55 +0,91X. Sisanya 72,96%
dipengaruhi oleh faktor lain.
4.2 Pembahasan
Dengan diterimanya hipotesis alternatif yang menyatakan
bahwa ada korelasi antara motivasi orang tua dengan prestasi belajar
IPA siswa kelas VII semester genap tahun pelajaran 2011/2012, maka
hasil penelitiasn ini dapat dipakai sebagai acuan bagi para orang tua
dalam upaya meningkatkan prestasi belajar anaknya. Dari hasil
perhitungan diketahui koefisien determinasinya 0,52 = 0,2704, yang
berarti nilai prestasi belajar IPA siswa kelas VII 27,04 % ditentukan
oleh motivasi orang tua, melalui persamaan regresi Y
2
= 14,55
+0,91X. Sisanya 72,96% dipengaruhi oleh faktor lain.
Motivasi orang tua merupakan motivasi ekstrinsik, yang ikut
berperan dalam menentukan prestasi belajar anaknya. Sardiman
(2011) menyatakan bahwa motivasi ekstrinsik adalah motif-motif
yang aktif dan berfungsinya karena adanya perangsang dari luar.
Selanjutnya juga dikatakan bahwa dalam kegiatan belajar mengajar
198
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
motivasi ekstrinsik tetap penting, karena kemungkinan besar
kesadaran siswa itu dinamis, berubah-ubah, dan juga mungkin
komponen-komponen lain dalam proses belajar mengajar ada yang
kurang menarik bagi siswa, sehingga diperlukan motivasi ekstrinsik.
Aspek motivasi dalam keseluruhan proses belajar mengajar
sangat penting, karena motivasi dapat mendorong siswa untuk
melakukan aktivitas-aktivitas tertentu yang berhubungan dengan
kegiatan belajar. Motivasi dapat memberikan semangat kepada siswa
dalam kegiatan-kegiatan belajarnya dan memberi petunjuk atas
perbuatan yang dilakukannya. Berdasarkan pernyataan tersebut,
maka harus dilakukan suatu upaya agar siswa memiliki motivasi
belajar yang tinggi. Dengan demikian siswa yang bersangkutan dapat
mencapai hasil belajar yang optimal.
V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa
ada korelasi positif yang signifikan antara motivasi orang tua dengan
prestasi belajar IPA siswa kelas VII semester genap SMP Sila Candra
Batubulan, Tahun Pelajaran 2011/2012.
5.2Saran
1. Dalam upaya meningkatkan prestasi belajar siswa, guru
hendaknya selalu menjalin kerja sama dengan orang tua, karena
baik guru maupun orang tua dapat berfungsi sebagai motivator
dalam proses belajar anak.
2. Orang tua sebagai keluarga terdekat diharapkan mampu
memotivasi anak dalam belajarnya, baik melalui perhatian,
komunikasi, pemberian hadiah, maupun hal-hal lainnya yang
199
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
mampu membangkitkan semangat belajar anak, sehingga anak
mampu meraih prestasinya yang optimal.
DAFTAR RUJUKAN
Arikunto, Suharsimi. 2000. Manajemen Penelitian. Jakarta : Rineka
Cipta
Ary, H. Gunawan. 2006. Sosiologi Pendidikan Suatu Analisis Sosiologi
tentang Pelbagai Problem Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta.
Candiasa. 2007. Statistik Multivariat. Bahan Ajar. DIKSH . Undiksha
Singaraja.
Depdiknas. 2000. Penyusunan Butir Soal dan Instrumen Penilaian.
Jakarta.
Dimyati & Mudjiono. 1994. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Proyek
Pembinaan dan Peningkatan Mutu Kependidikan, Dirjen Dikti
Depdikbud.
Gage dan Berliner. 1984. Teori Belajar Behavioristik. Jakarta : CV.
Rajawali
Hamalik, Oemar. 2000. Psikologi Belajar dan Manager. Bandung :
Sinar Baru Algessindo
Hasbullah. 2001. Dasar-dasar Pendidikan. Edisi Revisi Jakarta : PT.
Grafindo Persada.
Notoadmodjo, Soekidjo. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan.
Jakarta : Rineka Cipta.
Nurkancana, Wayan dan Sunartana. 1986. Evaluasi Pendidikan.
Surabaya: Usaha Nasional.
Purwanto, M. Ngalim. 2000. Psikologi Pendidikan. Bandung : Remaja
Rosdakarya.
Riduwan. 2005. Belajar Mudah Penelitian untuk Guru-Karyawan dan
Peneliti Pemula. Bandung : Alfabeta.
Sardiman, A.M. 1988. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta.
PT. Raya Grafindo Persada.
Yusuf, Syamsu. 1993. Dasar-dasar Pembinaan Kemampuan Proses
Belajar Mengajar. Bandung : CV. Andria.
200
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
BAHASA BALI DALAM AKULTURASI MULTIKULTURAL
DAN POSMODEREN
Oleh
Ni Ketut Ratna Erawati
FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS UDAYANA
ABSTRACT
The article focuses on the existence of Balinese diversity,
which is aimed at seeng the Balinese change together with its culture
201
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
change. This article is based on the concept of the language change
and cultural diffusion. The concept of language change is based on
William Labovs opinion (1993) while the concept of cultural diffusion
is based on F. Ratzels opinion supported also by his students
opinion, L. Probenius. Considering the two concepts, in this global era,
it was found that the use of some Balinese verbs in the society were
shifted that caused to cultural change. Therefore, language and
cultural are two different but collaborated concepts that can be in a
linear development.
Key words : akulturation, multicultural, verbal lexikal, posmodern
I. PENDAHULUAN
Bahasa dan budaya merupakan dua hal yang sangat sulit
menentukan dalam perkembangannya. Kebudayaan mempunyai
tujuh unsur kebudayaan yang sangat penting. Salah satunya adalah
bahasa yang dianggap sangat fundamental dan memberi pengaruh
dalam suatu perkembangan antarunsur terkait ke arah yang lebih
maju. Kebudayaan sebagai payung konsep yang sangat luas akan
dapat sebagai wahana dalam memaknai suatu perubahan.
Selanjutnya kebudayaan dapat dikatakan mempunyai makna tertentu
dalam kehidupan manusia. Makna itu merupakan inti budaya berupa
sistem nilai dan seperangkat konsep dasar yang terintegrasi dalam
pikiran manusia yang sangat berpengaruh bagi perilaku manusia dan
masyarakat bersangkutan (Sedyawati, 1997: 7). Hal tersebut
mencerminkan bahwa kebudayaan dapat dipandang sebagai
anugerah Tuhan Yang Mahakuasa dan manusia sebagai aktor budaya
harus mampu berpikir serta memiliki visi dan misi, apa yang harus
dilakukan, untuk apa hal itu dilakukan sehingga dapat dipandang
sebagai suatu filsafat ilmu.
Sebagai salah satu dari tujuh unsur kebudayaan bahasa
merupakan sarana komunikasi yang sangat penting untuk
202
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
menyatukan antarbangsa, antarbudaya, dan antarbahasa sehingga
bahasa memiliki kedududkan dan fungsi yang sangat dominan dalam
mengantarkan perkembangan budaya, bahasa, maupun
perkembangan teknologi informasi pada umumnya. Sejalan dengan
pernyataan di atas, dalam etnis Bali yang memiliki bahasa Bali
sebagai alat komunikasi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Bali
sangat berkaitan erat dengan budaya Bali. Saat ini bahasa Bali telah
berkembang pesat dan banyak terpengaruh oleh bahasa-bahasa lain.
Bahasa yang semakin sering digunakan kemudian dipungut untuk
menambah kosa kata bahasa Bali. Hal ini sangat mempengaruhi
situasi kebahasaan bahasa Bali demikian pula terhadap budaya
masyarakat Bali.
Berdasarkan uraian di atas dapat dimunculkan permasalahan
yang akan di formulasikan dalam bentuk pertanyaan berikut ini.
1) Bagaimanakah akulturasi bahasa Bali dalam multikultural dan
posmoderen?
2) Bagaimanakah akulturasi unsur-unsur budaya Bali akibat adanya
multikultural dan posmoderen?
Masalah-masalah di atas akan dikaji berdasarkan konsep
perubahan bahasa, difusi budaya, dan akulturasi budaya. Konsep
perubahan bahasa didasari oleh pendapat William Labov (1994)
dalam bukunya Principles of Language Change. Dua konsep dasar
dari perubahan bahasa yakni bahasa itu dapat berubah secara
internal dan eksternal. Perubahan secara internal maksudnya
perubahan bahasa yang disebabkan oleh faktor bahasa itu sendiri
yang menyangkut tata bahasanya, sedangkan perubahan secara
eksternal merupakan perubahan yang disebabkan oleh faktor
geografis dan migrasi penduduk dengan bahasanya. Selanjutnya
konsep tentang difusi kebudayaan yang diacu adalah seorang
203
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
ilmuwan bernama F. Ratzel (1884-1904) dan sorang muridnya L.
Frobenius. Anggapan dasarnya adalah kebudayaan manusia itu
pangkalnya satu di satu tempat tertentu pada waktu manusia itu
muncul. Kemudian kebudayaan induk itu berkembang, menyebar,
dan pecah ke dalam banyak kebudayaan baru karena pengaruh
keadaan lingkungan dan waktu. Proses penyebaran seperti itu
menyebabkabkan akulturasi budaya pendatang dengan budaya lokal
yang menyangkut bahasanya. Gabungan kedua konsep di atas cukup
relevan untuk mengkaji masalah kebahasaan bahasa Bali dan
kebudayaannya. Selanjutnya pendekatan dalam mengkaji masalah di
atas berdasarkan pendekatan deskriptif, artinya pendekatan itu
dibahas dengan fakta-fakta dan realita sebagaimana adanya.
II. MULTIKULTURAL DAN POSMODEREN
2.1. Multikultural
Multikultural merupakan sebuah bentuk kompleks. Pada
awalnya kata ini merupakan kata bahasa Inggris, yakni multicultural.
Kata ini dibentuk dari dua kata yaitu multi aneka dan cultural
kebudayaan, namun kata multicultural ini sudah diserap ke dalam
bahasa Indonesia menjadi multikultural. Selanjutnya, kata tersebut
dipadankan dengan kata-kata bahasa Indonesia asli dengan kata
aneka budaya.
Di era globalisasi ini wawasan multikultural banyak sekali
ditampilkan dan dianjurkan dalam berbagai forum atau pertemuan-
pertemuan ilmiah lainnya seperti misalnya; pada Pameran Seni Rupa
Kontemporer Negara-Negara Nonblok dan pada Art Summit
Indonesia 1995: Music and Dance. Kalau dicermati lebih jauh
mengenai konsep multikultural antarnegara di dunia, situasi aneka
204
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
budaya tidaklah sama. Ketidaksamaan budaya itu dilandasi oleh
ideologi negara yang berbudaya itu memang terdapat kemajemukan.
Terkait dengan hal tersebut, konsep multikultural ini yang
berkaitan dengan bahasa dapat dipakai sebagai acuan konseptual
terutama berkaitan dengan hal-hal yang sesuai dengan pandangan
terhadap pemberdayaan masyarakat. Masalah pemberdayaan
masyarakat dalam konteks civil society sangat ditekankan karena
dalam masyarakat sipil merupakan wilayah kehidupan sosial yang
terletak di antara negara dan komunitas lokal yang terhimpun
kekuatan masyarakat untuk mempertahankan kebebasan dalam
keberanekaragaman serta kemandirian masyarakat terhadap
kekuasaan negara dan pemerintah (Alam, 1999: 1).
Konsep aneka budaya jika dikaitkan dengan persoalan bahasa,
maka multikulturalisme sebagai suatu konsep menyeluruh dalam
suatu masyarakat yang beradab dengan sendirinya menyangkut pula
persoalan bahasa sebagai salah satu unsur di dalamnya. Multikultural
dipahami sebagai konsep aneka budaya memiliki berbagai
pengertian. Di sisi lain dapat pula dipahami bahwa multikultural itu
hanya menekankan pada ras semata. Oleh karena lebih menekankan
ras tersebut, maka yang diacu sebagai keanekaragaman yang hanya
menunjukkan keharmonisannya saja tanpa memperhatikan masalah
bahasa dan budaya. Dalam kenyataannya masing-masing ras tidak
menyatakan keharmonisannya (termasuk juga di dalamnya
kehidupan bahasa) sehingga sering kali memunculkan konflik-konflik
horizontal seperti yang terlihat juga di Indonesia. Sesungguhnya
dalam kebijakan politik bahasa nasional telah dicantumkan tiga hal
pokok, yaitu bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing.
Ketiga hal pokok itu hendaknya dapat berjalan bersama-sama untuk
membangun persatuan dan kesatuan sehingga dapat
205
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
mempertahankan faham nasionalisme yang didasari oleh
kemajemukan. Selanjutnya bahasa dan budaya merupakan dua
konsep yang berbeda tetapi tidak dapat dipisahkan yang dianalogikan
seperti sekeping uang logam salah satu sisinya mengandung nilai
masing-masing. Jelaslah antara budaya dan bahasa sangatlah erat di
mana ada budaya di sana pasti ada masyarakat dengan bahasanya,
demikian pula di mana ada bahasa pastilah di sana ada masyarakat
yang mempunyai budaya-budaya tersendiri.
2.2. Moderenisme dan Posmoderen
Posmoderen merupakan tindak lanjut dari moderenisme. Di
Indonesia modernisasi mulai tampak tahun tiga puluhan yang
merupakan pengaruh modernisme dari Eropa khususnya dari negeri
Belanda. Pelajar-pelajar Indonesia yang kembali dari Belanda banyak
terpengaruh model modernisme Eropa itu. Semangat modernisme itu
tampak dalam pemikiran Sutan Takdir Alisyahbana dalam wacana
kebudayaan nasional. Menurut beliau kebudayaan nasional Indonesia
harus meniru kebudayaan modern dari barat yang bersifat progresif,
individual (mandiri), dan melepaskan budaya timur yang berbau
mistik. Dalam hal ini Indonesia harus meningkatkan kualitas
materialisme, intelektualisme, egoisme, dan individualisme. Konsep
yang dituangkan oleh barat itu lambat laun akan mempengaruhi pola
pikir bangsa timur khususnya Indonesia, namun di sisi lain hal ini
ditolak oleh Armin Pane yang mengemukan bahwa kemajuan bangsa
Indonesia dicapai dengan cara kembali ke kepribadian timur yang
lebih mementingkan kerohanian, perasaan gotong royong, dan
berorientasi pada masa lalu budaya suku bangsa di derah-daerah
bersangkutan. Namun, hal-hal yang berbau provinsionalisme perlu
dihindari. Konsep barat ini telah diterapkan pada masa pemerintahan
206
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
orde baru. Pada pemerintahan ini sangat terpengaruh nasionalisme
yang berkembang di Eropa yang mengunggulkan arti kesatuan,
keseragaman atau homogenitas yang dapat melahirkan konsep
negara bangsa. Hal semacam ini menyebabkan terjadinya perubahan
ke arah pluralisme yang dipengaruhi oleh posmoderen.
Istilah posmoderen pada mulanya muncul di bidang arsitektur
kemudian menjadi istilah yang cukup popoler di dunia sastra dan
budaya sejak tahun 1950. Di bidang filsafat ilmu dan ilmu sosial
istilah ini baru menggema sekitar tahun 1970 dan 1980-an namun
istilah itu belum secara jelas. Misalnya, di bidang arsitektur istilah
posmoderen lebih menunjuk pad gaya atau corak bentuk bangunan
yang mencoba melepaskan diri dari kaidah-kaidah arsitektur moderen
atau gaya internasional. Indonesia sendiri baru mengalami
moderenisasi secara nyata pada dasawarsa tujuh puluhan. Pada
periode ini adalah periode orde baru. Dari kaca mata barat,
kolonialisme itu bukanlah gejala penjajahan maupun eksploitasi
melainkan sebuah proses modernisasi. Pada masa orde baru kita
menerima dan menjalankan modernisasi (progres, kemajuan,
rasionalitas, dan teknologi) tetapi kita juga mengeluh dan memprotes
modernisasi. Dalam hal ini ada keerosian jati diri sehingga
dilaksanakan penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila (P4).sebagai upaya untuk menangkal pengaruh kebudayaan
asing.
Demam posmoderen (pascamoderen) muncul di kalangan
intelektual Indonesia pada tahun 1993 pada saat perayaan ritual
bulan bahasa. Posmoderen menunjukkan kepada kita bahwa apa
yang tidak beres dalam Garis-Garis Besar Haluan tertama yang
sangat terkait dengan kajian ini adalah studi bahasa, sastra, dan
budaya di Indonesia selama ini. Bangkitnya demam posmoderen
207
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
pantas diterima sebagai cambuk yang pedas tetapi sekaligus perlu
bagi para pencinta ilmu bahasa dan sastra. Istilah posmoderen ini
menyadarkan kita betapa mubazirnya format dan wawasan resmi
yang mematok acara-acara bulan bahasa selama beberapa tahun ini.
Demam posmoderen di Indonesia masih pada tarap awal. Para
pencinta kajian bahasa dan sastra Indonesia berpeluang memberikan
sumbangan yang lebih serius dan bersejarah bagi perkembangan
masyarakat ini dibandingkan hanya sekadar tukang bongkar pasang
onderdil bahasa (Heryanto, 1996: 94). Di era posmoderen ini
tampaknya hal-hal yang bersifat monoton perlu diadakan penyegaran
sehingga apa yang menjadi kebijakan dalam politik bahasa nasional
dapat terbina dan berkembang sesuai dengan pola yang telah
disepakati pada acara-acara seperti Kongres Bahasa Indonesia yang
telah beberapa kali diadakan oleh lembaga-lembaga terkait. Maka
dari itu hal yang perlu ditekankan adalah sumber daya manusia yang
perlu ditingkatkan untuk mencapai hal-hal yang diinginkan, yaitu
bahasa Indonesia yang dilatari oleh aneka budaya atau multikultural
yang bersifat pluralistik.
3. Bahasa Bali Dalam Akulturasi
Berdasarkan beberapa konsep yang disebutkan di atas maka
konsep multikultural sangat berkaitan dengan bahasa (penggunaan
bahasa). Secara konseptual istilah ini digunakan sebagai pandangan
untuk memberdayakan masyarakat. Bahasa dan budaya merupakan
dua konsep yang berbeda tetapi tidak dapat dipisahkan seperti
sekeping uang logam yang mana salah satu sisinya mengandung nilai
masing-masing. Hubungan budaya dengan bahasa sangatlah erat
sehingga keduanya tumbuh dan berkembang secara ekuivalen. Di
mana ada budaya pasti ada masyarakat dengan bahasanya, demikian
208
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
pula di mana ada bahasa pastilah ada masyarakat yang memiliki
budaya-budaya tersendiri. Demikian pula dengan bahasa Bali di sana
pula ada budaya masyarakat Bali yang sekarang telah menyebar ke
berbagai pelosok di Nusantara. Misalnya, bahasa Bali yang ada di
Sulawesi, Lampung, dan lain-lainnya yang masing-masing membawa
budaya tersendiri.
Konsep aneka budaya dan aneka bahasa yang dikaitkan
dengan situasi kebahasaan bahasa Bali merupakan suatu konsep
yang menyeluruh dalam masyarakat yang beradab yang menyangkut
persoalan bahasa sebagai salah satu unsur di dalamnya. Bahasa dan
budaya Bali telah tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan
zaman dari struktural, posstruktural, moderen, dan posmoderen.
Tahapan-tahapan perkembangan seperti itu sangat berpengaruh
terhadap perkembangan budaya Bali yang menyebabkan situasi
terhadap bahasa Bali semakin mengalami perubahan. Perubahan
terhadap budaya dan bahasa Bali akan dideskripsikan melalui
penggunaan bahasa Bali dalam ranah keluarga berikut ini.
Pengguna-pengguna bahasa yang dilatari oleh multukultural
dan multilingual sudah tentunya akan terjadi kontak di antara
budaya-budaya yang ada sekaligus terjadi kontak antara bahasa-
bahasa daerah yang satu dengan bahasa daerah lainnya. Terjadinya
kontak bahasa dengan kadar yang cukup banyak seringkali
menyebabkan terjadinya pergeseran penggunaan bahasa sehingga
lama kelamaan terjadi penyusupan bahasa dan akhirnya situasi
kebahasaan pun akan menjadi lain dari sebelumnya dan
menyebabkan terjadinya pemakaian campur kode dan alih kode
(istilah sosiolinguistik). Hal-hal seperti ini lambat laun akan
menyebabkan terjadinya perubahan bahasa. Contohnya dapat
209
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
diamati seperti yang terjadi dalam ranah keluarga yang memiliki
bahasa ibu yang sama seperti berikut ini.
Sepasang suami istri yang baru menikah. Sejak berpacaran
senantiasa menggunakan bahasa daerah (bahasa Bali). Namun,
setelah mereka dikaruniai anak mereka mengasuh anak-anaknya
dengan bahasa Indonesia. Bukan saja dalam mengasuh anak-anaknya
berbahasa, mereka dalam memakai bahasa Bali pun telah bergeser.
Hal seperti ini tampak dalam kata sapaan untuk suami istri tersebut
menjadi sebutan mama dan papa, ada juga menggunakan sebutan
ded (dady) dan mam (mother) bagi mereka yang multilingual. Hal-hal
semacam ini banyak tampak dalam kehidupan keluarga yang bersifat
heterogen yang berdampingan dengan banyak bahasa di sekitarnya.
Perubahan seperti itu banyak dijumpai di daerah perkotaan. Hal
penting yang menyebabkan perubahan itu adalah faktor pendidikan
yang lebih tinggi dengan tujuan mengejar kemajuan yang lebih baik.
Di sisi lain dijumpai pada ranah keluarga yang kawin campur
antarsuku. Dalam keluarga yang dilandasi oleh kawin campur
umumnya mereka berkomunikasi dengan bahasa Indonesia.
Contohnya: sepasang suami istri (suku Bali-suku Jawa). Si suami
adalah orang Bali atau pengguna bahasa ibu bahasa Bali tetapi
pernah tinggal di Jawa sedangkan istrinya orang Jawa. Pasangan ini
telah menikah lebih dari dua puluh tahun dan dikaruniai anak-
anaknya. Penulis mengamati dalam keseharian bahasa yang
digunakan dalam berkomunikasi adalah bahasa Indonesia dan bahasa
Jawa pasangan ini telah tinggal di Bali. Apa yang menyebabkan
situasi kebahasaan dalam keluarga ini demikian?. Apakah bahasa Bali
sulit dipahami?. Atau ada hal-hal yang sangat subjektif
mempengaruhinya?. Kalau masalah itu dicermati sangatlah aneh
berada dalam lingkungan etnis Bali tidak bisa menggunakan bahasa
210
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Bali. Namun, tidak semua pasangan kawin campur seperti itu, banyak
juga pasangan kawin campur menggunakan bahasa Bali secara baik
bahkan menjadi lebih fasih berkomunikasi dengan bahasa Bali
sehingga tidak tampak yang melatari aslinya. Jika hal ini bisa terjadi
barangkali sendi dasar dalam penggunaan sebuah bahasa khususnya
bahasa Bali berpulang kepada masing-masing individu pengguna
bahasa. Berdasrkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa kawin
campur sangat mempengaruhi situasi kebahasaan bahasa Bali yang
tidak bisa lepas dari budayanya masing-masing.
Di samping terjadi pergeseran terhadap bahasa Bali, lambat
laun terlihat juga adanya pergeseran budaya. Budaya tradisional
semakin berubah didesak oleh budaya moderen. Hal-hal semacam ini
dapat dijumpai dalam beberapa budaya Bali yang telah terakulturasi.
Di era global ini budaya-budaya tradisional semakin tidak dikenali
oleh anak-anak dan remaja bagi mereka yang lahir di era delapan
puluhan ke atas. Beberapa budaya itu dapat ditunjukkan dengan
struktur leksikal bahasa Bali seperti berikut ini.
Sebutan budaya nebuk menumbuk padi. Sekarang ini muda-
mudi tidak pernah melihat orang nebuk. Hal ini disebabkan oleh
adanya peralatan yang sangat moderen bahkan mengarah pada
posmoderen sehingga budaya nebuk ini semakin ditinggalkan dan
beralih pada peralatan yang lebih canggih yaitu mesin penggilingan.
Demikian pula budaya makan dengan menggunakan tangan. Di era
global ini kebanyakan orang-orang telah beralih dengan
menggunakan sendok, bahkan ada beberapa orang telah
menggunakan alat-alat lain seperti sumpit ataupun pisau dengan
meniru gaya atau pola luar negeri seperti negara-negara barat, Cina,
Jepang, dan lain-lain. Budaya ngidu mendekatkan diri ke api/bara
api. Di daerah-daerah yang heterogen dengan aneka budaya dan
211
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
aneka bahasa, budaya seperti itu tidak ditemukan lagi. Peralatan
dapur yang tradisional sudah ditinggalkan kemudian mengarah pada
peralatan dapur yang semakin moderen. Di kota-kota tidak lagi ada
tungku, yang ada hanya seperangkat peralatan elektronik seperti
kompor gas bahkan kompor listrik atau rice cooker beserta majic
jarnya. Secara pragmatik budaya ngidu tidak dikenali lagi oleh remaja
sekarang atau mungkin hanya mengenali leksikalnya tetapi mereka
tidak pernah sebagai pelakunya.
Hal lain yang dapat diungkapkan di sini adalah ngayah
bekerja tampa pamrih biasanya dilakukan secara bersama-sama
atau gotong royong. Gotong royong merupakan sebuah tatanan nilai
dan menjadi salah satu ciri khas budaya bangsa yang konon memiliki
kelebihan-kelebihan dengan sistem bekerja bersama-sama. Dalam
gotong royong bisa didapati nuansa kekeluargaan dan persaudaraan
yang senasib sepenanggungan, ada nilai tanpa pamrih, rasa saling
membantu, dan sangat ideal bagi suatu kelompok masyarakat yang
sifatnya komunal. Seiring dengan perubahan zaman yang serba
canggih dan instan, barangkali dapat ditanyakan sampai sejauh
manakah nilai-nilai yang ideal tersebut diapresiasi oleh masyarakat?.
Di zaman sekarang masih adakah orang yang betutl-betul bekerja
tanpa pamrih?. Senyatanyalah didapati di masyarakat sekarang
bahwa pragmatisme dalam kehidupan tampak orang-orang sudah
menghargai waktu untuk kepentingan pribadinya, egoistis, acuh tak
acuh, dan sejenisnya sehingga pekerjaan yang pengerjaannya
sifatnya masal sekarang lebih banyak diongkoskan.
Contoh lain yang dapat diungkapka yaitu pada saat
membangun. Dahulu ketika masyarakat ingin membangun sebuah
bale banjar, tiap-tiap anggota banjar kena iuran material seperti batu
atau bata masing-masing seratus biji misalnya, lalu pada hari tertentu
212
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
anggota banjar tersebut mendapat giliran bekerja berkelompok.
Demikian seterusnya sampai bangunan tersebut selesai. Sekarang hal
itu sangat jarang, mereka cenderung menggunakan jasa pemborong
untuk menyelesaikan masalah seperti itu bahkan untuk
pemeliharaannya sudah menggunakan jasa tukang sapu. Tidak itu
saja, pada saat akan dilakukan upacara di pura atau rumah-rumah
warga biasanya banten sesajen dikerjakan secara bergotongroyong,
namun kenyataannya banyak didapati mereka mengambil dengan
cara lain, yakni dengan cara membeli sehingga pada hari Hnya
mereka hanya cukup datang saja. Penggunaan leksikal-leksikal
seperti di atas dari hari ke hari semakin berkurang akhirnya tidak
dikenali lagi. Artinya perilaku terhadap budaya itu berubah sehingga
penggunaan bahasanya pun berubah.
4. PEMBAHASAN
Berdasarkan bebrapa deskripsi di atas, rupanya sangat
mengena apa yang diungkapkan oleh Haugen, dkk.,(1981) bahwa
ekologi bahasa dengan konsep multikultural atau aneka budaya harus
dimaknai sebagai suatu yang tidak diartikan semata-mata sebagai
pluralisme antara ras saja melainkan juga berhadapan dengan
budaya sehingga bahasa dan budaya berkembang secara dinamis
mengikuti perkembangan zaman. Keragaman dalam pertumbuhan
yang beraneka ragam merupakan angan-angan dari semua
masyarakat yang selalu hidup berdampingan secara selaras dan
saling menguntungkan.
Terjadinya perubahan situasi dalam penggunaan bahasa Bali
seperti yang diuraikan di atas nampaknya disebabkan oleh adanya
keanekaan bahasa atau kedwibahasaan. Salah satu faktor yang
mengkondisikan keadaan seperti itu adalah tidak adanya loyalitas
213
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
masyarakt etnis Bali sebagai pilar utama pewaris kebudayaan Bali
tidak mampu berkompetisi dengan ekologinya sehingga kurang
mampu mempertahankan bahasa Bali sebagai identitas diri dan jati
diri bagi masyarakat Bali. Hal ini menyebabkan adanya kebocoran
kedwibahasaan (Bagus dan Aron, 1996). Pengalihan seperti itu tidak
saja terjadi di Bali bahkan telah terjadi terhadap bahasa lain di
Nusantara. Apakah bahasa Bali akan punah seperti yang telah
dikumandangkan oleh pakar-pakar dalam Kongres Bahasa Bali 1996?.
Hal seperti itu bukan menjadi tanggung jawab sepihak melainkan
harus menjadi tanggung jawab bersama sebagi etnis Bali.
5. SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa
bahasa Bali telah mulai bergeser. Hal ini tampak dalam perilaku
budaya yang dapat diwujudkan dalam leksikal verbal. Peristiwa itu
terjadi pada masyarakat yang dilandasi multikultural sehingga
masyarakat itu minimal berdwibahasa.
Hal yang perlu disarankan bahasa Bali yang memiliki fungsi
dan kedudukan penting bagi etnis Bali dan bahasa Indonesia di satu
sisi sebagai bahasa Nusantara hendaknya dapat hidup berdampingan
secara harmonis sehingga bahasa dan budaya Bali perlu diberi ruang
gerak yang bebas sesuai dengan hak kebudayaannya secara utuh
untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran tanpa
mengesampingkan ciri-ciri universal Indonesia yang multikultural,
multietnis, dan sekaligus multilingual.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulah, Taufik. 1999. Nasionalisme Indonesia. Dalam Sejarah,
Pemikiran, Rekonstruksi, Persepsi. Edisi 8. Jakarta: MSI
Bekerja sama dengan Arsip Nasional RI.
214
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Abdulah, Taufik, 2000. Beberapa Gagasan ke Arah Perumusan
Kembali Politik Bahasa dalam Bahasa Indonesia Dalam Era
Globalisasi: Pemantapan Peran Bahasa Sebagai Sarana
Pembangunan Bangsa. Risalah Kongres Bahasa Indonesia
VII. Penyunting Hasan Alwi dkk. Jakarta: Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Alam, Bachtiar. 1999. Civil Society dan Wacan Kebudayaan. Jakarta:
Harian Kompas. Hari Selasa, tanggal 1 Juni 1999.
Alwi, Hasan. 1998.Bahasa Sebagai Jati Diri Bangsa dalam Kongres
Bahasa Bali IV. Penyunting I Made Purwa dkk. Denpasar.
Balai Penelitian Bahasa, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Bagus, I Gusti Ngurah, I Wayan Bawa, Aron Meko Mbete, dan Ni Luh
Sutjiati Beratha. 1999. Kedwibahasaan Masyarakat Bali,
Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Laporan
Penelitian Proyek URGE Batch I. Denpasar. Program
Pascasarjana, Program Studi Magister Linguistik Universitas
Udayana.
Haugen, Eniar dkk. 1981. Minority Language To Day. Adinburgh.
University Press.
Heryanto, Ariel. 1996. Bahasa dan Kuasa Tatapan Posmoderenisme
dalam Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung
Orde Baru. Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim (ed.).
Bandung: Mizan Pustaka.
Labov, William. 1994. Priciples of Linguistic Change. Volume 1:
Internal Factor. Cambridge: Blackwell.
Purwo, Bambang Kaswanti. 2000. Bangkitnya Dunia Linguistik dan
Pendidikan. Orasi Ilmiah Pengukuhan guru Besar Linguistik
Universitas Atma Jaya. Jakarta: Mega Media Abadi.
Sedyawati, Edi. 1997. Kebudayaan dan Pembangunan dalam
Masalah Budaya dan Pariwisata dalam Pembangunan.
Disunting oleh I Gusti Ngurah Bagus. Denpasar: Program
Studi Magister (S2) Kajian Budaya Universitas Udayana.
Tim Peneliti LIPI. 2001. Bara dalam Sekam. Identifikasi Akar Masalah
dan Solusi Atas Konflik-konflik Lokal, Aceh, Maluku, Papua,
dan Riau. Bandung: Mizan.
215
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
PENERAPAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL DENGAN METODE
OBSERVASI UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENULIS
WACANA DESKRIPSI OLEH SISWA KELAS X.3 SMA NEGERI 8
DENPASAR TAHUN PELAJARAN 2012/2013
Oleh :
DEWA AYU WIDIASRI
ABSTRACT
Writing is an active and productive language skill. Nevertheless,
writing a descriptive composition is not an easy thing for the
students. Referring to the problem elaborated in the background of
the study, one of the solutions is by appying Observation Method of
Contextual Approach during the teaching-learning process. The
problem of the study, then, was whether the use of The observation
method of contextual approach really could improve the X.3 students
of SMA NEGERI 8 DENPASAR in the academic year of 2012/2013s
ability in writing descriptive composition? It had been expected that
the use of observation method of contextual approach could improve
the students achievement and ability in writing descriptive
composition.
The theoretical background of the study was (1) the theory of
contextual learning and (2) the theory of descriptive writing. The
methods applied in this study were: (1) the research setting, (2) the
subject of the study, (3) the action procedure, (4) data collection
method and (5) data processing method.
The raw data which was the test result of Cycle I and II was
processed into standard scores using descriptive statistics served in
the form of tables. Using the data procession method , the average
score in cycle I was calculated to be 54.02% which belonged to the
Less Good category, while the data in cycle II showed an
216
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
improvement in the average score of 82.27% and, thus, belonged to
the Good Category. The students mastery learning in cycle I was only
27.27 and improved significantly into 84.09% in the cycle II.
Based on the data procession result, this study can be
considered a success since the implementation of observation
method of contextual approach was able to improve the students
ability in writing descriptive composition. Therefore, the conclusion to
be drawn from the study is that the implementation of obeservation
method of contextual approach improved students ability in writing
descriptive composition of the x.3 students of sma negeri 8 denpasar
in the academic year of 2012/2013.
Keywords: Observation method of contextual approach, descriptive
composition
1. Latar Belakang Masalah
Pembelajaran bahasa merupakan alat untuk belajar
berkomunikasi, mengingat bahasa merupakan sarana komunikasi
dalam masyarakat. Untuk dapat berkomunikasi dengan baik, maka
seseorang perlu belajar cara berbahasa yang baik dan benar.
Pembelajaran tersebut akan lebih baik apabila dipelajari sejak usia
dini dan secara berkesinambungan. Oleh sebab itu, pembelajaran
bahasa disertakan dalam kurikulum. Hal ini berarti bahwa, setiap
peserta didik dituntut agar mampu menguasai bahasa yang mereka
pelajari terutama dalam penggunaan bahasa resmi yang dipakai oleh
warga negara khususnya bagi peserta didik. Bahasa Indonesia
menjadi materi pembelajaran yang wajib diberikan di setiap jenjang
pendidikan, mulai dari sekolah dasar hingga di perguruan tinggi. Hal
ini dilakukan agar peserta didik mampu menguasai Bahasa Indonesia
dengan baik dan benar serta mampu menerapkannya dalam
kehidupan masyarakat.
Menulis merupakan salah satu dari empat keterampilan
berbahasa yang mendasar (berbicara, mendengar, menulis, dan
membaca). Dewasa ini, keterampilan berpikir kritis (critical thinking)
217
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
dan literasi (literacy skill) sudah menjadi keterampilan berbahasa
lanjutan (advanced linguistic skill) (Zainurrahman 2011: 2)
Selama ini pembelajaran menulis wacana deskripsi dilakukan
secara umum. Dalam hal ini siswa diberi sebuah teori tentang menulis
deskripsi, kemudian siswa melihat contoh, dan akhirnya siswa
ditugaskan untuk menulis wacana deskripsi secara langsung.
Fenomena yang terjadi saat ini dalam pembelajaran menulis di
sekolah, khususnya di SMA Negeri 8 Denpasar, berdasarkan hasil
survei yang telah dilaksanakan menunjukkan bahwa rendahnya hasil
pembelajaran menulis siswa kelas X.3. Hal ini dapat dilihat dari hasil
evaluasi (free test) dari menulis wacana pada kelas tersebut, di mana
dari 49 orang siswa hanya 10 orang siswa yang berhasil mencapai
ketuntasan belajar yaitu dengan nilai 75 ke atas, padahal SKBM dari
menulis wacana adalah 75. Ini berarti ketuntasan klasikal baru
tercapai sebesar 20% atau dengan kata lain secara klasikal belum
tercapai. Selain itu, peneliti beranggapan bahwa metode pengajaran
dan pembelajaran yang digunakan oleh guru cenderung
menggunakan metode ceramah dan kegiatan tanya jawab yang tidak
berpengaruh pada perubahan hasil pembelajaran siswa dalam
menulis. Masalah lain yang muncul, adalah siswa akan beranggapan
negatif terhadap materi menulis, karena metode yang digunakan
terkesan membosankan serta membingungkan.
Melihat kondisi demikian, maka permasalahan tersebut
haruslah dapat diminimalisasikan. Akhirnya peneliti bersama guru
bidang studi Bahasa Indonesia di SMA Negeri 8 Denpasar berusaha
memberikan solusi alternatif dalam pembelajaran menulis agar
segala permasalahan serta kendala yang terdapat pada siswa
maupun guru dapat diatasi melalui pendekatan kontekstual dengan
metode observasi dalam pembelajaran.
218
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Pendekatan kontekstual dengan metode observasi merupakan
pembelajaran konseptual untuk membantu guru dalam penulisan
wacana deskripsi karena adanya masalah yang dialami siswa kelas
X.3 SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2012/2013.
Bertitik tolak pada permasalahan- permasalahan di atas, maka
peneliti memandang perlu untuk mengangkat topik ini menjadi
sebuah penelitian dengan judul: Pendekatan Kontekstual dengan
Metode Observasi untuk Meningkatkan Kemampuan Menulis Wacana
Deskripsi oleh Siswa Kelas X.3 SMA Negeri 8 Denpasar Tahun
Pelajaran 2012/2013. Penerapan strategi pembelajaran ini
diharapkan mampu memberikan tanggapan atas permasalahan yang
diberikan oleh pendidik. Apabila siswa mampu menjadi pelajar yang
mandiri diharapkan pula mampu menjadi pelajar yang mandiri serta
mampu menciptakan suasana pembelajaran yang aktif, kreatif, dan
menyenangkan.
2. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Setiap suatu kegiatan tentulah mempunyai tujuan tertentu
yang ingin dicapai. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian
tindakan kelas ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu tujuan umum dan
tujuan khusus seperti berikut.
a. Tujuan Umum
Secara umum penelitian tindakan kelas ini bertujuan untuk
mengetahui kemampuan siswa dalam menulis wacana.
b. Tujuan Khusus
Selain memiliki tujuan umum, penelitian ini juga memiliki tujuan
khusus. Adapun tujuan khusus penelitian tindakan kelas ini adalah
sebagai berikut.
219
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
1) Untuk mengetahui kemampuan siswa kelas X.3 SMA Negeri 8
Denpasar tahun pelajaran 2012/2013 dalam menulis wacana
deskripsi melalui pendekatan kontekstual dengan metode
observasi.
2) Untuk dapat mengetahui respon terhadap pendekatan
kontekstual dengan metode observasi dalam menulis wacana
deskripsi siswa kelas X.3 SMA Negeri 8 Denpasar tahun
pelajaran 2012/2013.
Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian tindakan
kelas ini dapat dibagi menjadi empat, yaitu bagi siswa, guru, sekolah,
dan pengembangan kurikulum.
1. Manfaat bagi siswa
Dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam menulis pada
umumnya, menulis wacana deskripsi pada khususnya, serta
meningkatkan kreativitas dan keberanian siswa dalam berpikir.
2. Manfaat bagi guru
Untuk memperkaya khasanah/ wawasan metode dan strategi
dalam pembelajaran menulis, dapat memperbaiki metode yang
tepat dalam mengajar, dan dapat mengembangkan keterampilan
guru Bahasa Indonesia khususnya dalam menerapkan
pembelajaran menulis wacana deskripsi melalui pendekatan
kontekstual dengan metode observasi.
3. Manfaat bagi sekolah
Dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam rangka memajukan
dan meningkatkan prestasi sekolah yang dapat disampaikan
dalam pembinaan guru bahwa alam pembelajaran menulis
220
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
wacana deskripsi dapat menggunakan pendekatan kontekstual
dengan metode observasi.
4. Manfaat bagi pengembangan kurikulum. Dapat dijadikan bahan
pertimbangan dalam rangka memajukan dan meningkatkan
prestasi belajar siswa dan kemajuan bidang pendidikan serta
dapat disampaikan dalam pembinaan guru Bahasa Indonesia, dan
dapat dijadikan pertimbangan dalam penyusunan kurikulum
berikutnya.
3. Metode Penelitian
Penelitian tindakan kelas ini akan dilaksanakan di SMA Negeri
8 Denpasar, khususnya di kelas X.3 karena permasalahan yang
muncul di dalam kaitannya dengan pembelajaran menulis wacana
deskripsi. Dalam hal ini, peneliti berkolaborasi dengan guru bidang
studi Bahasa Indonesia, di mana peneliti berperan sebagai perencana,
pengamat, pelaksana pengumpulan data, penganalisis data, pelapor
hasil penelitian, dan selalu berada di lapangan selama proses
penelitian berlangsung.
Dalam penelitian ini akan direncanakan beberapa siklus yang
dilaksanakan selama satu kali pertemuan (2X45 Menit). Apabila
dalam siklus pertama belum mencapai hasil yang maksimal maka
akan dilanjutkan dengan siklus II yang dilaksanakan pada minggu
berikutnya, dan telah mendapat persetujuan dari kepala sekolah dan
guru bidang studi Bahasa Indonesia di SMA Negeri 8 Denpasar.
Subjek penelitian ini adalah siswa kelas X.3 SMA Negeri 8
Denpasar pada semester ganjil tahun pelajaran 2012/2013 yang
berjumlah 44 orang siswa. Sedangkan yang menjadi objek penelitian
tindakan kelas ini adalah pembelajaran menulis wacana deskripsi
melalui pendekatan kontekstual dengan metode observasi.
221
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Kegiatan yang dilakukan oleh peneliti pada tahap ini adalah:
1. Melakukan observasi awal tentang pembelajaran tentang menulis
wacana deskripsi di kelas X.3 SMA Negeri 8 Denpasar.
2. Mengidentifikasi masalah mengenai pembelajaran menulis
wacana deskripsi di kelas X.3 SMA Negeri 8 Denpasar.
3. Menganalisis masalah secara mendalam dengan mengacu pada
teori- teori yang relevan.
4. Menyusun bentuk tindakan yang sesuai untuk mengatasi
permasalahan yang ditemukan dengan memanfaatkan
pendekatan kontekstual dengan metode observasi pada siklus
pertama.
5. Menyusun jadwal penelitian dan rancangan pelaksanaan tindakan.
6. Menyusun lembar observasi dan lembar evaluasi kerja siswa yang
berupa rubrik penilaian kerja siswa berupa tulisan deskripsi.
Pada tahap ini, peneliti dan guru menyusun:
1. Perangkat pembelajaran berupa penentuan kompetensi dasar
yang akan dicapai.
2. Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang isinya sebagai
berikut.
a. Guru membuka pelajaran.
b. Guru memberikan materi tentang menulis wacana deskripsi.
c. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya
tentang materi yang disampaikan.
d. Guru bersama dengan siswa melakukan observasi pada
tempat yang telah ditentukan.
222
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
e. Guru membagikan lembar kerja dan menugaskan siswa untuk
menulis wacana deskripsi berdasarkan pendekatan
kontekstual dengan metode observasi.
Indikator yang ingin dicapai dalam penelitian tindakan kelas ini
adalah meningkatnya kemampuan menulis wacana deskripsi pada
siswa kelas X.3 SMA Negeri 8 Denpasar melalui pengoptimalan
pemanfaatan pendekatan kontekstual dengan metode observasi.
Setiap tindakan menunjukkan peningkatan indikator tersebut
dirancang dalam satu siklus. Setiap siklus terdiri dari empat tahap,
yaitu 1) perencanaan tindakan, 2) pelaksanaan tindakan, 3) observasi
dan evaluasi, dan 4) analisis dan refleksi untuk perencanaan siklus
berikutnya. Tahap ini dilakukan dengan melaksanakan Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang telah direncanakan. Pada
siklus I, direncanakan satu kali pertemuan dengan alokasi waktu 2 X
45 menit.
Gambar 01 Desain Penelitian Tindakan
223
Observasi
Refleksi
Perencanaa
n
Tindakan
Observasi
Refleksi
Perencanaa
n
Tindakan
Siklus I Siklus II
N Siklus
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Adapun langkah- langkah yang ditempuh dalam pengumpulan
data dengan metode tes adalah: 1) menyusun tes, 2) menyusun
format penyekoran tes, dan 3) melaksanakan tes. Untuk lebih
jelasnya, pembahasan terhadap ketiga langkah tersebut dapat dilihat
pada bagian berikut ini.
1. Menyusun Tes
Instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data penelitian
ini adalah tes, instrumen penelitian harus disusun dengan teliti agar
hasilnya sesuai dengan yang diharapkan. Untuk itu bentuk tes yang
digunakan dalam penelitiannya ini adalah tes tulis, yaitu dengan cara
menyuruh siswa membuat wacana deskripsi berdasarkan hasil
observasi.
2. Menetapkan Skor
Setelah lembar jawaban siswa dikumpul, langkah selanjutnya
adalah menetapkan skor. Aspek yang dinilai dalam penetapan skor
yaitu: 1) struktur wacana deskripsi, 2) hubungan antar kalimat, 3)
pemakaian kalimat efektif, 4) pilihan kata, dan 5) pemakaian ejaan
Tes dilaksanakan setiap akhir siklus di mana siswa diberikan
tugas untuk menulis sebuah wacana deskripsi. Tes dikerjakan ketika
jam pelajaran Bahasa Indonesia, serta pelaksanaan tes dilakukan dan
diawasi oleh guru bidang studi Bahasa Indonesia dan peneliti.
224
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik analisis kritis. Teknik tersebut mencakup kegiatan yang
mengungkapkan kelebihan dan kekurangan kerja siswa dan guru
dalam proses belajar mengajar yang terjadi di kelas selama penelitian
berlangsung. Hasil analisis digunakan untuk menyusun rencana
tindakan kelas berikutnya sesuai dengan siklus yang ada. Analisis
dilakukan oleh guru dan peneliti secara bersama- sama.
Data yang diperoleh dari penelitian ini masih merupakan skor
mentah atas jawaban siswa terhadap tes yang dikerjakan oleh siswa
sebagai subjek penelitian sehingga data tersebut perlu diolah dengan
langkah- langkah sebagai berikut: (1) mengubah skor mentah
menjadi skor standar, (2) menentukan kreteria predikat, (3) kreteria
ketuntasan minimal, (4) mencari skor rata- rata, (5) skor maksimal
ideal, dan (6) menarik kesimpulan.
Data respon siswa terhadap penerapan pendekatan
kontekstual dikumpulkan melalui angket dengan cara menyebarkan
angket kepada siswa pada akhir siklus. Jumlah item dalam angket
sebanyak 10 item yang penyekorannya menggunakan skala likert 5.
Angket yang digunakan terdiri atas 5 alternatif jawaban yaitu: SS
untuk pilihan sangat setuju, S untuk pilihan setuju, KS untuk pilihan
kurang setuju, TS untuk pilihan tidak setuju, dan STS untuk pilihan
sangat tidak setuju.
Data hasil wawancara dan penyebaran angket yang digunakan
untuk mengetahui respon siswa dianalisis secara deskriptif
kuantitatif. Data mengenai respon siswa dianalisis untuk memperoleh
gambaran tentang respon siswa terhadap proses pembelajaran yang
dilaksanakan. Skor Maksimal Ideal (SMI) respon siswa adalah 50 dan
skor minimum idealnya adalah 10. Nilai tersebut diperoleh dari
225
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
penjumlahan nilai indikator respon siswa dengan 5 alternatif jawaban
respon siswa.
Indikator keberhasilan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Hasil pembelajaran menulis siswa, ditandai dengan keaktifan
siswa dalam mengikuti pembelajaran menulis, serta
meningkatnya kemampuan siswa dalam menghasilkan kosa kata
yang bervariasi dalam tulisan, mampu menggorganisasikan
gagasan dengan baik, munculnya kreatifitas dan imajinasi siswa
dalam menyusun kalimat- kalimat menjadi sebuah tulisan yang
baik, dan ada kesesuaian antara isi tulisan dengan objek yang
diamati.
2. Ketuntasan hasil belajar ditandai dengan hasil pekerjaan siswa
yang telah mencapai angka 75% ke atas dari jumlah KKM yang
telah ditentukan.
4. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Hasil observasi awal menunjukkan rendahnya minat siswa
ketika mengikuti kegiatan pembelajaran di kelas. Di samping itu siswa
cenderung pasif selama proses pembelajaran. Tidak semua siswa
yang aktif mengeluarkan pendapat dengan sukarela selama proses
pembelajaran. Walaupun sudah ditunjuk pun terkadang siswa masih
ragu dalam mengeluarkan pendapat. Siswa tidak memiliki kemauan
untuk bekerjasama, berkreativitas untuk membahas materi
pembelajaran dan hanya menunggu penjelasan dari guru sehingga
pembelajaran terlihat monoton dan tidak efektif. Namun, dalam
menyimak penjelasan guru siswa cukup serius. Begitu pula dengan
semangat siswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran masih
sangat cukup. Hal inilah yang menjadi usaha awal bagi peneliti untuk
226
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
menyampaikan materi pembelajaran dan sekaligus menjadi data awal
bagi peneliti dalam melakukan penelitian selanjutnya.
Dalam penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan sesuai
dengan rancangan prosedur penelitian yang sudah ditentukan.
Prosedur penelitian tindakan ini terbagi dalam dua siklus seperti yang
akan diuraikan di bawah ini.
Siklus I
Adapun langkah- langkah yang dilaksanakan pada siklus I ini
akan diuraikan sebagai berikut.
Perencanaan Tindakan
Kegiatan pada tahap perencanaan yaitu membuat Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) sesuai dengan Standar Kompetensi
Dasar (lampiran 01).
Pelaksanaan Tindakan
Pelaksanaan tindakan siklus I dilaksanakan di ruang kelas X.3
SMA Negeri 8 Denpasar pada tanggal 17-18 Oktober 2012 selama 2
jam pelajaran (2X45 Menit).
Berdasarkan data dari hasil siklus I, dapat disimpulkan sebagai
berikut. Dari 44 orang siswa kelas X.3 SMA Negeri 8 Denpasar yang
mengikuti pembelajaran melalui pendekatan kontekstual dengan
metode observasi 12 orang yang mendapat nilai baik (B), dengan
persentase 27,27% dan 32 orang yang mendapat nilai kurang (D),
dengan persentase 72,73%. Rata- rata nilai siswa baru mencapai
54,02. Dengan demikian dapat dikatakan tingkat ketuntasan belajar
baru dicapai sebanyak 12 orang dengan persentase 27,27%,
sedangkan sebanyak 32 orang siswa atau 72,73% belum tuntas
Selama pelaksanaan pembelajaran siklus I diadakan
pengamatan yang dilaksanakan guru pendamping untuk mengetahui
respon siswa terhadap tindakan yang diberikan. Sesuai metode
227
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
pembelajaran yang digunakan oleh guru dan berdasarkan
pengamatan peneliti, tampaknya siswa mengikuti kegiatan
pembelajaran dengan baik. Hal ini dilihat dari suasana pembelajaran
yang aktif dan menyenangkan. Namun, respon siswa terhadap
metode yang yang digunakan oleh guru masih rendah. Hal ini terlihat
dari hasil pengamatan peneliti melalui lembar observasi yang
menunjukkan skor 23,11 yang dikategorikan Rendah.
Berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh maka,
terlihatlah kemampuan siswa dalam menulis wacana deskripsi yang
dapat dikategorikan kurang dan masih berada di bawah KKM (Kriteria
Ketuntasan Minimal). Sedangkan proses pembelajaran menulis
wacana melalui pendekatan kontekstual dengan metode observasi
pada siklus I masih dikategorikan rendah karena siswa masih belum
mampu melaksanakan tahap- tahap pelaksanaan pembelajaran
kontekstual dengan baik.
Adapun kelemahan- kelemahan yang masih ditemukan pada
pelaksanaan siklus I adalah sebagi berikut.
a. Dalam evaluasi, siswa masih belum terampil dalam menulis
wacana deskripsi.
b. Sebagian siswa masih belum memahami pendekatan kontekstual
dengan metode observasi yang diterapkan oleh peneliti.
c. Siswa masih kurang percaya diri dalam menuangkan gagasan dan
menyampaikan pendapat.
d. Suasana pembelajaran yang mengarah pada pendekatan
kontekstual dengan metode observasi masih belum tercipta
dengan baik karena siswa masih terbiasa belajar melalui metode
ceramah.
Selama pelaksanaan pembelajaran siklus I juga diperoleh
beberapa keberhasilan, diantaranya sebagai berikut.
228
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
a. Kreativitas siswa selama mengikuti pembelajaran meningkat
walaupun tidak signifikan.
b. Semangat belajar siswa bertambah karena belajar dengan metode
pembelajaran baru. Pendekatan kontekstual dengan metode
observasi ini mengajak siswa untuk selalu belajar dari hasil
pengamatan sehari-hari mereka.
Untuk memperbaiki kelemahan- kelemahan yang masih
ditemui selama siklus I dan mempertahankan serta meningkatkan
keberhasilan yang sudah diperoleh, maka peneliti merumuskan
perbaikan tindakan yang akan dilaksanakan pada siklus selanjutnya,
diantaranya sebagai berikut.
a. Selama pembelajaran berlangsung, peneliti memberikan motivasi
serta penguatan positif sehingga akan mampu menambah rasa
percaya diri siswa.
b. Bimbingan dengan memberi contoh yang relevan ditingkatkan
sehingga siswa lebih memahami materi pembelajaran yang
diberikan.
c. Guru dan peneliti membantu serta mengarahkan siswa dalam
memahami materi, serta melaksanakan langkah- langkah
pembelajaran yang diberikan.
Perencanaan tindakan siklus II dilakukan terlebih dahulu dengan
melihat kelemahan- kelemahan yang ditemui pada siklus I. Hal ini
menunjukkan bahwa pemberian tindakan pada siklus II merupakan
upaya perbaikan dari siklus I. Dilihat dari pelaksanaan siklus I, maka
upaya perbaikan yang dilaksanakan pada siklus II adalah sebagai
berikut.
a. Guru dan peneliti memberikan lebih banyak motivasi serta
penguatan positif sehingga mampu menambah rasa percaya diri
siswa.
229
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
b. Lebih intensif untuk membimbing siswa dalam melaksanakan
pembelajaran melalui pendekatan kontekstual dengan metode
observasi.
c. Menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) sesuai
dengan Standar Kompetensi yang dikembangkan dengan melihat
hasil refleksi dari siklus I.
Pelaksanaan tindakan pada siklus II ini dilaksanakan di ruang
kelas X.3 SMA Negeri 8 Denpasar pada tanggal 24-25 Oktober 2012,
selama 2 jam pelajaran (2 X 45 Menit) setelah memperoleh hasil dari
penelitian pada siklus I.
Selama pembelajaran pada siklus II juga dilakukan
pengamatan yang dilakukan oleh guru pendamping. Pengamatan ini
bertujuan untuk mengetahui respon siswa terhadap penerapan
pendekatan kontekstual dengan metode observasi. Tujuan lainnya
adalah untuk mengetahui keberhasilan pelaksanaan perbaikan
terhadap hambatan- hambatan yang ditemui pada siklus sebelumnya.
Berikut akan disajikan hasil observasi melalui angket yang sudah
disebarkan kepada siswa kelas X.3 SMA Negeri 8 Denpasar tahun
pelajaran 2012/2013.
Adapun keberhasilan- keberhasilan yang diperoleh pada siklus
II ini antara lain sebagai berikut.
a. Setelah penerapan pendekatan kontekstual dengan metode
observasi dilaksanakan secara efektif, kemampuan siswa dalam
menulis wacana deskripsi meningkat dari siklus sebelumnya.
b. Dengan pemberian motivasi pada penerapan pendekatan
kontekstual, mampu meningkatkan rasa percaya diri siswa dalam
menuangkan gagasan mereka ke dalam sebuah wacana deskripsi.
Selain memperoleh keberhasilan, masih ditemui juga beberapa
kelemahan dimana masih ada 7 orang siswa yang belum tuntas
230
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
belajar. Namun hal ini tidak begitu berpengaruh karena
persentasenya hanya 15,90%. Dengan semakin terbiasanya siswa
belajar menulis wacana deskripsi dengan pendekatan kontekstual,
maka ketuntasan belajar siswa dapat mencapai hasil yang maksimal.
Berdasarkan analisis data menunjukan bahwa penerapan
pendekatan kontekstual dengan metode observasi mampu
meningkatkan kemampuan menulis wacana deskripsi siswa. Hal ini
terlihat dari rata- rata kelas sebesar 54,02 pada siklus I yang
kemudian meningkat menjadi 82,45 pada siklus II.
Peningkatan ini tidak hanya pada rata- rata kelas saja tetapi,
secara individual juga mengalami peningkatan dimana pada siklus I
terdapat 12 orang siswa memperoleh nilai baik (B), dengan
persentase 27,27% dan 32 orang siswa yang mendapat nilai kurang
(D), dengan persentase 73, 73%. Sedangkan pada siklus II terdapat 6
orang siswa yang memperoleh nilai amat baik (A), dengan persentase
13,64%, 31 orang siswa yang memperoleh nilai baik (B),
dengan persentase 70,45%, 4 orang memperoleh nilai cukup (C),
dengan persentase 9, 09%, dan 3 orang siswa yang memperoleh nilai
kurang (D), dengan persentase 6,82%. Berikut akan disajikan tabel
perbandingan nilai siswa dalam menulis wacana deskripsi melalui
penerapan pendekatan kontekstual dengan metode observasi.
Berdasarkan hasil analisis data yang sudah disajikan, maka
hipotesis penelitian yang diajukan terbukti, bahwa penerapan
pendekatan kontekstual dengan metode observasi secara efektif
mampu meningkatkan kemmpuan menulis wacana deskripsi siswa
kelas X.3 SMA Negeri 8 Denpasar tahun Pelajaran 2012/2013. Selain
meningkatkan kemampuan siswa, pendekatan kontekstual dengan
metode observasi juga mendapatkan respon yang positif, sehingga
dalam proses pembelajaran ini dapat meningkatkan keaktifan,
231
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
kreativitas, dan rasa percaya diri siswa dalam mengikuti kegiatan
pembelajaran.
5. Penutup
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh di kelas X.3 SMA
Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2012/2013 tentang penerapan
pendekatan kontekstual dengan metode observasi untuk
meningkatkan kemampuan menulis wacana deskripsi, maka dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut.
1. Penerapan pendekatan kontekstual dengan metode observasi
dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas X.3 SMA Negeri 8
Denpasar tahun pelajaran 2012/2013 dalam menulis wacana
deskripsi. Hal ini dapat dilihat dari nilai rata- rata pada
perbandingan siklus I dengan siklus II yang mengalami
peningkatan nilai dari 54,02 menjadi 82,45.
2. Respon siswa terhadap pendekatan kontekstual dengan metode
observasi yang diterapkan oleh guru bidang studi dalam menulis
wacana deskripsi pada siswa kelas X.3 SMA Negeri 8 Denpasar
mengalami peningkatan skor rata- rata dari 23,11 yang
berkategori Rendah menjadi 44,34 yang berkategori Sangat
Tinggi.
Meningkatkan mutu pengajaran Bahasa Indonesia, khususnya
pengajaran keterampilan menulis wacana di Sekolah Menengah Atas
(SMA) tidak terlepas dari kerjasama antara guru bidang studi dan
siswa di sekolah tersebut. Berikut adalah saran- saran yang perlu
penulis sampaikan.
1. Siswa yang telah dinyatakan berhasil memperoleh nilai di atas
KKM disarankan agar mempertahankan, bahkan meningkatkan
232
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
lagi penerapan pendekatan kontekstual dengan metode observasi
dalam menulis wacana deskripsi.
2. Guru bidang studi hendaknya selalu bersikaf kreatif dan inovatif
dalam menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan
dan mampu untuk mengajak siswa untuk terus belajar.
3. Supaya pembelajaran lebih menarik bagi siswa, maka guru
hendaknya selalu memilih dan menerapkan metode, serta media
pembelajaran yang sesuai dengan situasi ketika kegiatan
pembelajaran berlangsung.
4. Kepada seluruh pihak pemerintah yang menangani masalah
pendidikan, hendaknya lebih banyak menyiapkan program-
program untuk memotivasi para guru untuk meningkatkan
kreatifitas dalam upaya mencapai keberhasilan dalam
pembelajaran. Pemerintah juga diharapkan memberikan buku-
buku penujang dan sarana belajar yang memadai untuk sekolah,
sehingga tujuan pembinaan, pelestarian, dan pengembangan
keterampilan berbahasa dapat terwujud.
5. Setelah diperolehnya hasil penelitian bahwa penerapan
pendekatan kontekstual dengan metode observasi dapat
memberikan hasil yang lebih baik dalam menulis wacana
deskripsi, maka sebagai tinjak lanjut disarankan agar keberhasilan
itu hendaknya diteruskan sehingga pengulangan dalam proses
pembelajaran dapat diatasi. Apabila penerapan pendekatan
kontekstual dengan metode observasi mengalami perubahan hasil
terhadap evaluasi belajar siswa, maka guru dapat mengganti
dengan metode lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
233
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Arikunto, Suharsini dkk. 2007. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta:
Bumi Aksara.
Eriyanto. 2003. Analisis Wacana. Yogyakarta: LKiS.
Johnson, Elaine B. 2011. CTL (Contextual Teaching & Learning).
Bandung: Kaifa Learning.
Keraf, Gorys. 2004. Komposisi: Sebuah Pengantar Kemahiran
Berbahasa. Ende: Nusa Indah.
Moeliono, Anton M. (penyunting). 1993. Tata Bahasa Baku Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Nababan, Diana. 2008. Intisari Bahasa Indonesia untuk SMA. Jakarta:
Kawan Pustaka.
Nurkencana dan Sunartana. 1990. Evaluasi Hasil Belajar. Surabaya:
Usaha Nasional.
Riyanto, Yatim. 2009. Paradigma Baru Pembelajaran: Sebagai
Refrensi bagi Guru/Pendidik dalam Implementasi
Pembelajaran yang Efektif dan Berkualitas. Jakarta: Kencana
Prenada Media Grup.
Rosidi, Imron. 2009. Menulis Siapa Takut? Panduan bagi Penulis
Pemula. Yogyakarta: Kanisius.
Saminanto. 2010. Ayo Praktik PTK (Penelitian Tindakan Kelas).
Semarang: RaSAIL Media Group.
Sapta Wigunadika, I Wayan. 2011. Kemampuan Memahami Isi
Wacana yang Menggunakan Aksara Bali Siswa Kelas XI SMA
Negeri 1 Gianyar Tahun Pelajaran 2010/2011 Skripsi.
Denpasar: FPBS IKIP PGRI Bali.
Sastrawan, Gede Agus. 2011. Kemampuan Menulis Hasil Observasi
dalam Bentuk Karangan Deskripsi Siswa Kelas X SMA Negeri 1
Abiansemal Kabupaten Badung Tahun Pelajaran 2010/2011
Skripsi. Denpasar. FPBS IKIP PGRI Bali.
Sukardi. 2011. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Bumi
Aksara.
234
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
PENGGUNAAN METODE KONTEKTUAL UNTUK MENINGKATKAN
KEMAMPUAN MEMAHAMI KRUNA TIRON OLEH SISWA
KELAS VI SDN I SUMERTA DENPASAR TAHUN
PELAJARAN 2012/2013
Oleh :
Ni Nyoman Sutarpini
FPBS, IKIP PGRI BALI
ABSTRACT
Use contextual methods to improve the ability to understand
Kruna Tiron by 6th grade students SDN 1 Sumerta Denpasar, school
year 2012/2013. In line with the development of a very rapid
education in the era of globalization, then the civil servants who work
as teachers are required to create human resources at its disposal. In
order to improve the quality of education in primary schools it is
necessary to prepare students in a creative, independent and
responsible and personable. For some elements and the way it should
be controlled and developed by schools and teachers as
implementers. Among other subject matter and its curriculum
development, management development, and utilization of the
environment, infrastructure and education facilities, supervising the
development, test development and assessment of learning
outcomes and the relationship with the public schools.
In this case the authors use contextual methods to improve the
ability to understand Kruna tiron as a writer baseline study carried
out in SDN 1 Sumerta, Denpasar Timur.
The problem is: 1). whether by using contextual methods can
improve learning achievement bali, especially Kruna tiron? 2). how to
respond after using contextual methods? Goals: 1. to improve the
quality of language learning Bali. 2. improve students' responses after
using contextual methods. thus the general research objectives are to
improve / enhance the quality of bali language learning, and research
objectives in particular is to improve learning achievement in
particular bali Kruna Tiron and want to improve students' responses
after using contextual methods.
Hypothesis: the role of contextual will be able to improve the
ability to understand Kruna Tiron and improve students' responses.
Subject: siswa kelas 6 SDN 1 Sumerta Denpasar with a total of 39
people. Method used is the method of contextual.
Key Words: Contextual methods, to understand, Kruna Tiron.
235
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
I. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan sehari-hari bahasa Bali masih tetap digunakan
sebagai alat komunikasi bagi penuturnya. Pemakaian bahasa Bali
diberbagai ranah masih nampak terpelihara dengan baik. Sebagai
upaya penyelamatan, pemerintah daerah Bali telah menetapkan
peraturan daerah, Propinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor 3 Tahun
1992, tentang bahasa, aksara, dan sastra Bali. Pada pasal 4 dikatakan
bahwa, bahasa, aksara, dan sastra Bali merupakan wahana tumbuh
dan berkembangnya kebudayaan Bali khususnya di Pulau Dewata
ini.
Usaha terus dilakukan oleh pemerintah untuk melestarikan
bahasa Bali, misalnya dengan mengadakan perlombaan-perlombaan
di bidang bahasa Bali, contohnya lomba menulis aksara Bali,
masatwa, dharma gita, dharma wacana Bali, dan puisi Bali. Dalam hal
ini untuk memenuhi persyaratan tersebut di atas kami para guru
berusaha semaksimal mungkin memotivasi peserta didik supaya
selalu bersemangat menghadapi pelajaran yang mereka hadapi.
Selama ini penulis menghadapi kendala di dalam pengajaran bahasa
Bali dengan penggunaan metode-metode yang ada, karena di sisi lain
seperti metode ceramah misalnya menghadapi kendala terutama
dengan tingkat kemampuan penerimaan materi pelajaran oleh siswa.
Dari sekian metode yang ada, salah satunya adalah metode
kontekstual yang dapat meningkatkan kemampuan memahami kruna
tiron. Penulis mengangkat judul Penggunaan Metode Kontekstual
Untuk Meningkatkan Kemampuan Memahami Kruna Tiron Oleh Siswa
Kelas VI SD 1 Sumerta Denpasar Tahun Pelajaran 2012/2013, karena
sebagian besar siswa masih belum memahami tentang kruna-kruna
yang ada dalam pelajaran bahasa Bali. Penulis mengangkat kruna
236
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
tiron sebagai dasar acuan penelitian, karena masih rancu bagi siswa
untuk dapat memahami kruna-kruna yang ada, seperti contoh; kruna
lingga, kruna polah, kruna dwi sama lingga, kruna dwi samatra
lingga, kruna dwi maya lingga, kruna dwi purwa, kruna dwi wesana,
kruna tiron dan kruna satma. Di antara kruna-kruna yang disebutkan
tadi maka penulis menganggap kruna tiron yang paling sulit untuk
dipahami oleh siswa.
Hal ini dapat dibuktikan melalui test yang telah dilaksanakan
sebelumnya sehingga penulis mengambil kesimpulan bahwa kruna
tiron sebagai acuan dasar penelitian. Untuk mendapatkan hasil
pembelajaran yang memuaskan sesuai dengan yang diharapkan,
tidak terlepas dari faktor proses pembelajaran yang dikelola oleh
guru. Proses pembelajaran akan dapat berjalan optimal dengan
adanya bimbingan guru terhadap siswa dan kemampuan faktor guru
dalam merancang, mempersiapkan dan melaksanakan proses
pembelajaran.
Di samping itu media pengajaran dan metode juga akan
membantu para siswa, yaitu akan mempermudah untuk memahami
dan menerima materi yang diberikan oleh guru. Diharapkan melalui
pemanfaatan media atau metode dalam proses pembelajaran, siswa
dapat melihat secara lebih nyata sehingga teori yang diberikan dapat
lebih melekat dalam ingatan siswa yang akhirnya akan dapat
meningkatkan prestasi belajar. Bertitik tolak dari hal tersebut penulis
mengadakan penelitian yang fokusnya pada model pembelajaran
kontekstual.
Beberapa alasan kami dalam menggunakan metode kontektual
diantaranya; (1).menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk
menemukan materi, artinya proses belajar diorientasikan pada proses
pengalaman secara langsung. (2). Mendorong agar siswa dapat
237
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi
kehidupan nyata, artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap
hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan
nyata. Hal ini sangat penting. (3). Mendorong siswa untuk dapat
menerapkannya dalam kehidupan, artinya metode kontektual bukan
hanya mengharapkan siswa dapat memahami materi yang
dipelajarinya, akan tetapi bagaimana materi pelajaran itu dapat
mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian
yang hendak dicapai adalah tujuan umum dan tujuan khusus. Secara
umum tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk
memperbaiki atau meningkatkan kualitas pembelajaran bahasa Bali.
Tujuan umum yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai
berikut: untuk meningkatkan prestasi belajar bahasa Bali khususnya
Kruna Tiron.
II. KAJIAN TEORI
Metode Kontekstual adalah suatu strategi pembelajaran yang
menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk
dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya
dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk
dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka (Elok Sudibyo.
2003). Dari konsep tersebut di atas, ada tiga hal yang harus
dipahami, yaitu (1) Kontekstual, menekankan pada proses
keterlibatan siswa untuk menemukan materi, artinya proses belajar
diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung. Proses ini
tidak mengharapkan agar siswa hanya menerima, akan tetapi proses
mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran. (2) Mendorong
agar siswa dapat menemukan hubungan antara materi yang
238
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
dipelajari dengan situasi kehidupan nyata, artinya siswa dituntut
untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di
sekolah dengan kehidupan nyata. (3) Mendorong siswa untuk dapat
menerapkannya dalam kehidupan, artinya bukan hanya
mengharapkan siswa dapat memahami materi yang dipelajarinya,
akan tetapi bagaimana materi pelajaran itu dapat mewarnai
perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Definisi yang mendasar
tentang pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar, dimana
guru menghadirkan dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa
membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari.
A. Metode Pembelajaran (Penelitian Tindakan Kelas)
Penelitian ini dilakukan di SDN 1 Sumerta, Denpasar Timur pada
siswa kelas V. peneliti adalah guru bahasa Bali pada instansi tersebut.
Penelitian ini dirancang dalam 2 siklus penelitian.
B. Tinjauan Tentang Kruna Tiron
Kruna Tiron inggih punika kruna sane sampun polih wewehan
(afiks). Wewehan punika luire pangater (prefiks), seselan (infiks),
pangiring (sufiks), miwah gabungan wewehan (konfiks). Kruna tiron
yening selehin mawit saking kruna tiru miwah pangiring -an, dadosne
kruna tiron punika tiruan saking kruna lingga (Disbud Prov Bali, 2007:
9).
C. Kruna Tiron yang dibentuk oleh Pangater
Pangater itu terletak di depan kata dasar. Pangater dalam
bahasa Bali misalnya N- (anusuara) ma-, ka-, sa-, pa-, pi-, a-, pra-,
pari-, pati-, maka-, saka-, dan kuma-. Dari sekian banyak pangater
239
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
yang ada, sesuai dengan ruang lingkup di atas, penulis akan
membahas pangater ma- dan ka-, pangater dan pangiring ma-an, ka-
an, serta pemakaiannya dalam kalimat aktif dan kalimat pasif.
D. Pangater ma-
Pangater ma- membentuk kruna kria (kata kerja). Bentuk
pangater ma-, bukan saja berubah bila kata dasarnya diawali dengan
vokal dan konsonan. Pangater ma- sering membentuk sandi tat kala
kruna tiron kata dasarnya diawali dengan vokal, misalnya :
ma- + kenta > makenta
ma- + gigi > magigi
ma- + sar > masar
ma- + adan > madan
ma- + umah > mumah
ma- + mbon > mmbon dan lain-lain.
Contoh pangater ma- dalam kalimat aktif (limaksana).
I Putra seleg (ga) di jumahn
I Putra seleg maga di jumahn
Contoh pangater ma- dalam kalimat pasif (linaksana).
I Putra (sar) di jumahn
I Putra masar di jumahn
E. Pangater ka-
Bentuk pangater ka- sama dengan pangater ma-, yaitu bisa
membentuk sandi bila digabungkan dengan kata dasar yang diawali
dengan vokal, seperti:
uber > kauber > kuber
ucap > kaucap > kocap
icn > kaicn > kicn
tulis > katulis
baang > kabaang
240
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Pangater ka- dalam kalimat aktif (limaksana), seperti:
Nomer ujian suba (tulis) di lembaran jawaban
Nomor ujian suba katulis di lembaran jawaban
Pangater ka- dalam kalimat pasif, seperti:
Pianak tiang luh tusing pati (baang) majalan peteng
Pianak tiang luh tusing pati kabaang majalan peteng
F. Kruna Tiron yang dibentuk oleh Wewehan ma-an
Gabungan imbuhan ma-an, berguna untuk membentuk kruna
kria (kata kerja). Syarat gabungan imbuhan itu, apabila digabungkan
dengan kata dasar sama seperti pangater ma- dan pangiring an,
misalnya:
jemak > majemakan
jahit > majahitan
jagur > majaguran
jukung > majukungan
banyol > mabanyolan
Wewehan ma-an dalam kalimat aktif, contoh:
I Putra jagur ibi sanja
I Putra majaguran ibi sanja
Wewehan ma-an dalam kalimat pasif, contoh
I Putra jukung ka Nusa Penida
I Putra majukungan ka Nusa Penida.
G. Kruna Tiron yang dibentuk oleh Wewehan ka-an.
Gabungan Wewehan ka-an memiliki makna untuk membentuk
kruna aran (kata benda). Syarat Wewehan ka-an bila bergabung
dengan kata dasar, sama seperti pangater ka- dan pangiring an.
Contoh:
241
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
sengsara > kasengsaran
sugih > kasugihan
rahayu > karahayuan
pati > kapatian
bupati > kabupaten
ditu > kadituan
Wewehan ka-an dalam kalimat aktif
Siap suba (ulah) tekn Ni Sari
Siap suba kaulahan tek Ni Sari
Wewehan ka-an dalam kalimat pasif
Gagapan I Mm (telah) olih adin
Gagapan I Mm katelahan olih adin (Depdikbud, 2007: 9-
29).
H. Kruna Tiron yang dibentuk oleh Wewehan ma-in
Kruna Tiron yang dibentuk oleh wewehan ma-in, seperti :
Wewehan ma-in dalam kalimat aktif :
I Putra (jagur) ibi sanja
I Putra majagurin ibi sanja
Wewehan ma-in dalam kalimat pasif :
I Putra (jukung) ka Nusa Penida
I Putra majukungin ka Nusa Penida
I. Kruna Tiron yang dibentuk olih Wewehan ka-in
Kruna Tiron yang dibentuk oleh wewehan ka-in misalnya :
Wewehan ka-in dalam kalimat aktif
Siap (ulah) tekn I Mm
Siap kaulahin tekn I Mem
242
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Wewehan ka-in dalam kalimat pasif
Jajan (telah) tekn I Beli
Jajan katelahin tekn I Beli
Hipotesis Tindakan
Secara etimologi kata hipotesa berasal dari dua kata, yaitu
hipo artinya di bawah dan thesa artinya kebenaran atau
pendapat. Selanjutnya penulisannya menjadi hipotesa
menurut ejaan bahasa Insdonesia yang diperbaharui. Menurut
maknanya dalam suatu penelitian hipotesa merupakan
jawaban sementara atau kesimpulan yang diambil untuk
menjawab permasalahan yang dilakukan dalam penelitian
(Mardalis, 2006: 47).
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah bahwa
penerapan metode kontektual dapat meningkatkan kemampuan
memahami kruna tiron siswa kelas VI SDN 1 Sumerta Denpasar
Tahun Pelajaran 2012/2013.
III. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan pada kelas VI SDN 1 Sumerta tahun
pelajaran 2012/2013. Penelitian ini dirancang untuk dua siklus dengan
melibatkan seorang guru, jumlah siswa yang dijadikan subjek
penelitian sebanyak 30 (tiga puluh ) orang terdiri dari 15 orang laki-
laki dan 15 orang perempuan. Topik yang akan diteliti adalah : 1)
memahami pembentukan kata: ma-, ka- (siklus I). 2) memahami
kombinasi ma-in, ka-in (siklus II). Dalam penelitian ini, yang penulis
jadikan objek adalah kemampuan memahami kruna tiron yang
mapangater ma-ka dan kruna tiron yang mendapat gabungan
(wewehan) ma-an, ka-an ,ma-in, dan ka-in.
A. Tahap Observasi/Evaluasi
Melalui observasi dapat diketahui bagaimana sikap dan prilaku
siswa pada saat berlangsungnya proses pembelajaran. Pada tahapan
243
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
ini dilakukan kegiatan yang ada kaitannya dengan proses dan hasil
belajar siswa yang meliputi:
a. Pengamatan terhadap aktivitas siswa dalam proses
pembelajaran.
b. Pengamatan terhadap kesungguhan siswa dalam proses
pembelajaran siswa di dalam kelas.
c. Pengamatan terhadap interaksi antara siswa dengan
siswa/siswa dengan guru.
d. Pengamatan dan pencatatan terhadap keberanian siswa untuk
bertanya dan mengemukakan pendapat serta dalam
menjawab pertanyaan.
e. Memberikan tes pada setiap akhir siklus untuk memperoleh
data tentang hasil pembelajaran.
B. Tahap Refleksi
Refleksi dilakukan menjelang berakhirnya kegiatan pada siklus.
Kegiatan refleksi ini dilakukan dengan menyaring kesan siswa
terhadap metode yang digunakan dalam proses pembelajaran dan ini
dilakukan setiap akhir pelajaran. Tujuannya adalah untuk
memperoleh umpan balik dan perbaikan serta penemuan unsur-unsur
yang menguatkan. Kegiatan refleksi ini juga dilakuakan untuk
mengkaji pelaksanaan dengan melihat hambatan-hambatan yang
dialami dalam siklus sebelumnya dan factor penyebab hambatan
tersebut, kemudian mencari jalan pemencahan untuk merencanakan
perbaikan yang akan dilaksanakan pada siklus berikutnya.
C. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini disesuaikan dengan data
yang akan dibutuhkan untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai.
244
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Data yang dibutuhkan adalah jumlah siswa dalam kelas baik laki
maupun perempuan, nama siswa sesuai dengan daftar absensinya.
Data yang dimaksud adalah kemampuan memahami kruna tiron.
Yang mana, data tersebut nantinya akan dianalisis untuk mengetahui
tujuan yang dicapai. Pengumpulan data seperti ini menggunakan
metode tes.
Tes adalah suatu cara untuk mengadakan penilaian yang
berbentuk tugas, yang harus dikerjaka oleh siswa atau sekelompok
siswa, sehingga menghasilkan nilai tentang tingkah laku prestasi
siswa tersebut, yang dapat dibandingkan dengan nilai yang dicapai
anak-anak lain atau nilai standar yang ditetapkan.
Dari pendapat di atas, dalam penelitian menggunakan metode
tes. Tujuannya untuk memperoleh data secara obyektif tentang
penggunaan metode kontektual dalam pembelajaran kruna tiron
siswa kelas VIC SD 1 Sumerta Denpasr Tahun Pelajaran 2012/2013.
Langkah-langkah yang akan ditempuh dalam pengumpulan data
dengan metode tes :
1) Penyusunan Tes
Untuk memperoleh data diperlukan alat yang bernama
instrument penelitian. Sebuah instrument harus disusun
dengan teliti agar hasilnya sesuai dengan yang diharapkan.
Tes yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes objektif
tipe pilihan ganda. Hal yang terpenting dilakukan di dalam
menyusun tes adalah sebagai berikut:
2) Menentukan Materi Tes
Materi tes ditentukan berdasarkan materi pembelajaran
tentang kruna tiron yang mapangater ma-, ka-, kruna tiron
yang mendapat gabungan wewehan ma-an, ka-an, ma-in, dan
ka-in
245
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
3) Menentukan jumlah dan jenis tes
Bentuk tes yang digunakan adalah objektif tipe pilihan ganda.
4) Menulis Soal
5) Menentukan Bobot Tes: berdasarkan pembobotan ini, maka
skor maksimal idealnya adalah 50 x 1 = 50.
6) Waktu Mengerjakan Tes
7) Uji Coba Tes
Tes yang disusun untuk penelitian tentang kemampuan
memahami kruna tiron Siswa Kelas VI SDN 1 Sumerta
Denpasar, Tahun Pelajaran 2012/2013, diharapkan memenuhi
persyaratan tes yang baik, Nurkencana (1983:123)
Menyatakan,baik buruknya tes dapat ditinjau dari beberapa
segi yaitu: (1) Validitas Tes, (2) Derajat Kesukaran, (3) Daya
Beda, dan (4) Reabilitas Tes.
DK = WL+WH x 100%
NL + NH
Keterangan :
DK = derajat kesukaran
WL = jumlah individu kelompok bawah (27% dari bawah
yang tidak menjawab atau menjawab salah) pada item
tertentu
WH = jumlah individu kelompok atas (27% dari atas yang
tidak menjawab atau menjawab salah) pada item
tertentu.
nL = jumlah kelompok bawah
nH = jumlah kelompok atas (Nurkancana, dan Sunartana,
1986:136)
c. Daya beda
246
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Tes yang baik adalah item yang mampu membedakan
antara anak yang pandai dengan yang kurang pandai. Adapun
rumus yang digunakan dalam menentukan daya beda adalah
sebagai berikut.:
DB = WL WH
n
Keterangan:
DB = Daya Beda
WL = Jumlah individu kelompok bawah (27%) yang tidak
menjawab atau menjawab salah pada item tertentu.
N = Jumlah kelompok atas atau kelompok bawah
(Nurkancana, 1986:136).
Tabel 3.1: Kriteria Predikat Kemampuan Memahami kruna tiron siswa
kelas VI SDN 1 Sumerta Denpasar
Skor Standar Predikat
86-100
71-85
56-70
41-55
40-35
A = Baik Sekali
B = Baik
C = Cukup
D = Kurang
E = Sangat Kurang
(Depdikbud, 2000: 11)
8) Mencari Skor Rata-rata
Rata-rata (mean) merupakan teknik penjelasan kelompok yang
didasarkan atas nilai rata-rata dari kelompok tersebut.
Tabel 1: Subjek siswa kelas VI SDN 1 Sumerta Denpasar
tahun pelajaran 2012/2013
Nama
Sekolah
Kelas
Jenis Kelamin
Laki
Perempua
n
Jumlah
247
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
SDN 1
Sumerta
Denpasar
VI A
VI B
VI C
20
17
15
19
14
15
39
31
30
Jumlah siswa 100
Netra (1979: 20) menyatakan, bahwa objek penelitian
adalah setiap gejala atau peristiwa yang akan diteliti atau
diselidiki, baik itu berupa gejala alam, maupun gejala
kehidupan. Dalam penelitian ini, yang penulis jadikan objek
adalah Kruna Tiron.
9) Analisis Data
Dalam melaksanakan kegiatan pengolahan data ada
suatu cara yang digunakan, yaitu dengan metode pengolahan
data atau analisis data. Metode pengolahan data adalah suatu
cara yang digunakan untuk mengolah data hasil penelitian.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
statistik deskriptif.
Sesuai dengan metode yang digunakan dalam mengolah
data penelitian ini, maka ditempuh langkah-langkah sebagai
berikut.
i. Mengubah skor mentah menjadi skor standar, langkah-
langkah:
a. menentukan Skor Maksimal Ideal (SMI)
b. membuat pedoman konversi.
ii. Menentukan kriteria predikat;
iii. Mencari skor rata-rata;
D. Skor Mentah menjadi Skor Standar
1. Menentukan Skor Maksimal Ideal
Skor maksimal ideal dapat ditentukan setelah tes
dilaksanakan, lembar jawaban siswa selanjutnya diperiksa
248
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
berdasarkan kunci jawaban yang telah disiapkan. Setiap
jawaban yang benar diberi skor 1 dan yang salah diberi skor 0.
Langkah berikutnya adalah menghitung berapa jumlah betul
dan salahnya. Sebagaimana telah diungkapkan di muka bahwa
tes yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes objektif
tipe pilihan ganda (multiple choice), dengan jumlah 25 item.
Bobot masing-masing item adalah 1. Berdasarkan hal tersebut,
diketahui besar skor maksimal ideal yang dapat dicapai oleh
siswa adalah 25. Hal ini berarti bahwa skor tertinggi yang
dicapai siswa adalah 25 jika siswa mampu mengerjakan
seluruh item dengan benar.
Pedoman konversi yang digunakan dalam penelitian ini
adalah menggunakan norma absolut seratus (persentil)
digunakan rumus sebagai berikut.
X
P = --- x 100
SMI
Keterangan:
P = Persentil
X = Skor yang dicapai
SMI = Skor Maksimal Ideal (Nurkencana, 1992:99)
1) 25 x 100 2) 12 x 100
25 25
= 100 = 48
Tabel 3.2: Kriteria Predikat Kemampuan Memahami Kruna Tiron
siswa kelas VI SD 1 Sumerta Denpasar
Skor Standar Predikat
249
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
86-100
71-85
56-70
41-55
< 40
A = Baik Sekali
B = Baik
C = Cukup
D = Kurang
E = Sangat Kurang
(Depdikbud, 2000)
E. Hasil Penelitian
Rumus rata-rata hasil belajar (mean):
X
M =
N
Keterangan
M = nilai rata-rata
X = jumlah nilai siswa
N = jumlah siswa/individu (Sutrisno Hadi, 2000: 40).
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pelaksanaan penelitian difokuskan pada peningkatan prestasi
belajar siswa. Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan dua
siklus. Waktu yang digunakan dalam masing-masing siklus yaitu 2
(dua) kali pertemuan atau 4 (empat) jam pelajaran. Siswa yang
dilibatkan
A. Hasil Penelitian siklus I
Data hasil penelitian tentang prestasi belajar siswa dapat
dilihat dalam tabel di bawah ini.
Tabel 4.1 : Prestasi Belajar Siswa Kelas VI SD 1 Sumerta Denpasar
Tahun Pelajaran 2012/2013
No. Nama Siswa
Skor
Mentah
Skor
Standar
Keterangan
1 Juniantara, I Wayan 32 62 Tidak tuntas
250
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
2 A Januarta, I Wayan 34 68 Tidak tuntas
3 Agus Ariana, I Wayan 38 76 Tuntas
4 A Sirsilia, Ni Made 44 88 Tuntas
5 Agus Sanjana, Kadek 40 80 Tuntas
6 Dipta A. Wijaya, I Gede 32 62 Tidak tuntas
7 Dwiyani Agustin, Kadek 35 70 Tuntas
8 Dedi Ariani, Komang 32 62 Tidak tuntas
9 Stya P. Gung Made 33 64 Tidak tuntas
10 Herjawan, Putu 35 70 Tuntas
11 Indri Savitri, Putu 32 62 Tidak tuntas
12 Indah Maharani 32 62 Tidak tuntas
13 Inten Dwipaya, Gst. A. 42 84 Tuntas
14 Ifanco D. Hidayatulla 33 64 Tidak tuntas
15 Ludri T. Alaulana 31 60 Tidak tuntas
16 L. M. Galuh, Ni Wayan 41 82 Tuntas
17 Kurniawan, Ngh W 40 80 Tuntas
18 Ayu Martiningsih, Kadek 32 62 Tidak tuntas
19 Natih A. Ni Luh Wayan 31 60 Tidak tuntas
20 Novi Ekayani, Ni Putu 33 64 Tidak tuntas
21 Putrayasa, Gede 40 80 Tuntas
22 Rindiani, Ni Luh Made 32 62 Tidak tuntas
23 Sinta Pratiwi, Ni Kadek 39 78 Tuntas
24 Sri Wahyuni, Ni Komang 31 60 Tidak tuntas
25 Sudiantara P. I Gede 39 78 Tuntas
26 Siti Nursamsah 39 78 Tuntas
27 Sinta Yuliani, Gst. A. 31 60 Tidak tuntas
28 Yogi Pratama, I Wayan 38 76 Tuntas
29 Yuki Paramita, Ni Made 38 76 Tuntas
30 Yoga Nic. Pratama P. 37 74 Tuntas
Jumlah 1066
B. Hasil Penelitian siklus II
Hasil penelitian tentang prestasi belajar siswa kelas VIII B SMP
Dharma Wiweka Denpasar pada siklus II dapat dilihat dalam tabel 4.2
di bawah ini.
Tabel 4.2: Prestasi belajar siswa kelas VI SD 1 Sumerta Denpasar
Tahun Pelajaran 2012/2013.
No. Nama Siswa Skor Skor Keterangan
251
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Mentah Standar
1 Juniantara, I Wayan 45 90 Baik sekali
2 A Januarta, I Wayan 45 90 Baik sekali
3 Agus Ariana, I Wayan 45 90 Baik sekali
4 A Sirsilia, Ni Made 44 88 Baik sekali
5 Agus Sanjana, Kadek 44 88 Baik sekali
6 Dipta A. Wijaya, I Gede 44 88 Baik sekali
7 Dwiyani Agustin, Kadek 44 88 Baik sekali
8 Dedi Ariani, Komang 44 88 Baik sekali
9 Stya P. Gung Made 43 86 Baik sekali
10 Herjawan, Putu 43 86 Baik sekali
11 Indri Savitri, Putu 43 86 Baik sekali
12 Indah Maharani 42 84 Baik
13 Inten Dwipaya, Gst. A. 42 84 Baik
14 Ifanco D. Hidayatulla 42 84 Baik
15 Ludri T. Alaulana 41 82 Baik
16 L. M. Galuh, Ni Wayan 41 82 Baik
17 Kurniawan, Ngh W 41 82 Baik
18 Ayu Martiningsih, Kadek 41 82 Baik
19 Natih A. Ni Luh Wayan 41 82 Baik
20 Novi Ekayani, Ni Putu 40 80 Baik
21 Putrayasa, Gede 40 80 Baik
22 Rindiani, Ni Luh Made 40 80 Baik
23 Sinta Pratiwi, Ni Kadek 39 78 Baik
24 Sri Wahyuni, Ni Komang 39 78 Baik
25 Sudiantara P. I Gede 39 78 Baik
26 Siti Nursamsah 39 78 Baik
27 Sinta Yuliani, Gst. A. 38 76 Baik
28 Yogi Pratama, I Wayan 38 76 Baik
29 Yuki Paramita, Ni Made 38 76 Baik
30 Yoga Nic. Pratama P. 37 74 Baik
Jumlah 1285 2404
Tabel 4.4: Kriteria Predikat Kemampuan Memahami Kruna Tiron
siswa kelas VI SD 1 Sumerta Denpasar
No. SKOR PREDIKAT JUMLAH
SISWA
%
1
2
86 100
71 85
Baik sekali
Baik
11
19
37
67
252
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Dari tabel di atas dapat dilihat hasil siklus II mengenai nilai
rata ketuntasan siswa, yaitu:
Rumus:
X
X =
N
1285
X =
30
X = 42,83 = 43 (dibulatkan) skor mentah
C. Prestasi Belajar
Prestasi belajar siswa dapat dinilai dari hasil tes pada setiap
siklus yang dilaksanakan pada akhir pelajaran. Hasil yang diperoleh
dapat dilihat dari perbandingan nilai-nilai yang diperoleh pada siklus I
dan siklus II sesuai dengan tabel 4.3 dibawah ini.
Tabel 4.3 : Prestasi Belajar Siswa Kelas VI SD 1 Sumerta Denpasar
Tahun Pelajaran 2012/2013
Nomor Nilai Nilai Perubahan
Keterangan
Siswa siklus I siklus II Nilai %
01 32 45 13 26 Meningkat
_
02 34 45 11 22 Meningkat
03 38 45 7 14 Meningkat
04 44 44 0 0 Tetap
05 40 44 4 8 Meningkat
06 32 44 12 24 Meningkat
__
07
35 44
9 18
Meningkat
_ _
08 32 44 8 16 Meningkat
_
09 33 43 10 20 Meningkat
10 35 43 8 16 Meningkat
253
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
11 32 43 11 22 Meningkat
12 32 42 10 20 Meningkat
13 42 42 0 0 Tetap
14 33 42 9 18 Meningkat
15 31 41 10 20 Meningkat
16 41 41 0 0 Tetap
17 40 41 1 2 Meningkat
18 32 41 9 18 Meningkat
19 31 41 10 20 Meningkat
20 33 40 7 14 Meningkat
21 40 40 0 0 Tetap
_
22 32 40 8 16 Meningkat
23 39 39 0 0 Tetap
24 31 39 8 16 Meningkat
25 39 39 0 0 Tetap
26 39 39 0 0 Tetap
27 31 38 7 14 Meningkat
28 38 38 0 0 Tetap
29 38 38 0 0 Tetap
30 37 37 0 0 Tetap
Jml 1066 1285 219 Meningkat
Rt-Rt 36 43 7
Berdasarkan tabel di atas terlihat adanya peningkatan prestasi
belajar siswa kelas VI SD 1 Sumerta Denpasar dari siklus I ke siklus II.
Pada siklus I nilai rata-rata hasil belajar siswa sebesar 36 (skor
mentah) dalam skor standarnya 72, sedangkan pada siklus II
meningkat menjadi 43 (skor mentah) skor standarnya 86. Ini berarti
prestasi belajar siswa mengalami peningkatan sebesar 7 (14%)
setelah dilaksanakannya metode kontekstual sehingga hipotesis yang
diajukan pada Bab. II yaitu penerapan metode kontekstual dapat
meningkatkan prestasi belajar siswa kelas VI SD 1 Sumerta Denpasar
Tahun Pelajaran 2012/2013 dapat diterima.
V. PENUTUP
254
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
A. Simpulan
Berdasarkan analisis dan pembahasan hasil penelitan pada Bab.
IV yang penelitiannya dilaksanakan di kelas VI SD 1 Sumerta
Denpasar dalam pembelajaran bahasa Bali, yaitu kruna tiron dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Penerapan model pembelajaran kontekstual dapat meningkatkan
prestasi belajar siswa kelas VI SD 1 Sumerta Denpasar tahun
pelajaran 2012/2013, terbukti dengan meningkatnya prestasi
belajar siswa pada penelitian siklus I yang mencapai nilai rata-rata
36 (skor mentah) dengan skor standar 72 menjadi 43 (skor
mentah) dengan skor standar 86 pada pelaksanaan penelitian
siklus II.
2. Penerapan metode kontekstual dapat memberikan motivasi
kepada siswa untuk mengeluarkan pendapat melalui diskusi
kelompok.
DAFTAR PUSTAKA
Agung, A. A. Gede, 1997. Pengantar Evaluasi Pengajaran. Singaraja :
STKIP Singaraja.
Arikunto, Suharsini, dkk. 2006. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta : PT
Bumi Aksara.
Depdikbud, 1994. Kurikulum Muatan Lokal Bahasa Daerah
Depdiknas. Ditdik (2002). Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis
Sekolah; Pembelajaran dan Pengejaran Kontekstual. Jakarta.
Depdiknas, 2002. Konsep Pendidikan Berorietasi Kecakapan Hidup
melalui Pendekatan Pendidikan Berbasis Luas. Bahan
Workshop Sosialisasi Program Pendidikan Menengah Umum.
255
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, 2003.
Pendekatan Kontekstual (Contekstual teaching and learning).
Jakarta.
Departemen Pendidikan Nasional, 2003. Undang-undang Republik
Indonesia tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta.
Erman, 2002. Pembelajaran Berbasis CTL (Contextual Teaching and
Learning). Malang.
Ibrahim, M., dkk. 2002. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya :
Penerbit Universitas Negeri Surabaya.
Nasution, 1995, Dikdatik Azas-Azas Mengajar, Jakarta : Bumi Aksara.
Netra, Ida Bagus, 1974. Metode Penelitian, Biro Penelitian dan
Penelitian Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Singaraja :
Universitas Udayana.
Nurhadi, Burhan Yasin dan A.G. Senduk. 2004. Pembelajaran
Kontekstual dan Penerapan dalam KBK. Malang : UM Press.
Nurkancana, I Wayan dan PPN Sunartana, 1981, Evaluasi Pendidikan,
Surabaya: Usaha Pendidikan.
Kristiani, Ninik, 2007. Penelitian Tindakan Kelas. Malang : P4TK dan
IPS.
Mulyasa, E, (2003). Kurikulum berbasis kompetensi, konsep,
karakteristik, dan implementasi. Bandung: Remaja Rosdakarya
Tim Abdi guru. Jakarta: Erlangga
Ruseffendi, E. T. (1988). Pengantar kepada Membantu Guru dalam
Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran.
Syah Muhibbin, 2003, Psikologi Belajar, Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Sudjana, Nana, 2002. Evaluasi Hasil Belajar dan Konstruksi Analisis,
Bandung : Pustaka Martiana.
Tarigan, Henry Guntur, 1984. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung:
Angkasa.
Teeuw, 1991. Membaca dan Menilai Sastra Cet. Ke-2. Jakarta:
Gramedia
Wiraatmadja R. 2005. Metode Penelitian Tindakan Kelas. Bandung :
Remaja Rosdakarya.
256
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Pengantar Redaksi
IKIP PGRI Bali merupakan salah satu institusi akademik yang
berkonsentrasi pada ilmu pendidikan. Dinamika ilmu pendidikan
amatlah pesat. Oleh karena itu diperlukan wadah untuk menghimpun
dan mensosialisasikan perkembangan ilmu pendidikan itu.
Berdasarkan kesadaran dan komitmen civitas akademika, IKIP PGRI
Bali berhasil mewujudkan idealisme ilmiahnya melalui jurnal
257
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
pendidikan Widyadari yang terbit dua kali setahun, yakni pada bulan
April dan Oktober. Apa yang ada di tangan pembaca budiman saat
ini merupakan jurnal pendidikan Widyadari Nomor 14 Tahun VIII
April 2013.
Jurnal pendidikan Widyadari ini memiliki makna tersendiri.
Penerbitan edisi ini disebarkan secara internal dalam kampus IKIP
PGRI Bali, seperti terbitan edisi sebelumnya, juga didistribusikan pada
komunitas akademik yang lebih luas. Jurnal pendidikan Widyadari kali
ini memuat sepuluh artikel ilmiah yang dihasilkan oleh para dosen
IKIP PGRI Bali dan beberapa artikel ilmiah dari dosen luar IKIP PGRI
Bali. Adanya sumbangan tulisan dari luar kampus IKIP PGRI Bali
diharapkan memperluas cakrawala ilmiah komunitas akademik.
Semoga penerbitan jurnal pendidikan Widyadari ini menjadi
wahana yang baik untuk membangun atmosfer akademik. Akhirnya,
sumbangan pemikiran, kritik, dan saran dari pembaca diharapkan
dapat memperbaiki terbitan edisi selanjutnya.
Redaksi
258
ii
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.......................................................................... ii
Daftar Isi.................................................................................... iii
Aprisiasi Cerpen SUAP Karya Putu Wijaya Berdasarkan Pendekatan Resepsi
oleh Siswa Kelas X SMA N 8 Denpasar Tahun Pelajaran 2012/2013
Ketut Yarsama........................................................................... 1
Bimbingan Konseling HIV & AIDS
A.A. Ngurah Adhiputra .............................................................. 26
Geguritan Sebuah Media Pendidikan Karakter
Ni Nym. Karmini........................................................................ 57
Jawa Kuna: The Key of The Antion Culture Heritage
A.A. Gde Alit Geria..................................................................... 85
Efektivitas Psychological First Aid Dalam Mengurangi Gejala Kecemasan Pada
Penyintas Kecelakaan Kendaraan Bermotor
I Made Mahaardika .................................................................... 97
Pengaruh Penerapan Senam Otak (Brain Gym) Terhadap Kemampuan Berpikir
Kritis Peserta Didik Kelas VII SMP PGRI 8 Denpasar
I Wayan Suana...........................................................................
............................................................................................ 121
Matematika Sebagai Modal dan Model Berpikir Ilmiah
I Made Surat...............................................................................
............................................................................................ 130
Perbandingan Metode PLC dan PCA Dalam Regresi COX Untuk Mengatasi
Tidak Terpenuhinya Asumsi Multikolinearitas
I Wayan Sudiarsa dan Adji Achmad Renaldo Fenandes..............
............................................................................................ 151
Correlation Between Achievement Motivation of Parents With Learning IPA
Seventh Grade Students Semester Junior Sila Candra Batubulan Academic Year
2011/2012
Ni Nyoman Parmithi...................................................................
............................................................................................ 177
Bahasa Bali Dalam Akulturasi Multikultural dan Posmoderen
Ni Ketut Ratna Erawati...............................................................
............................................................................................ 192
Penerapan Pendekatan Kontekstual Dengan Metode Observasi Untuk
Meningkatkan Kemampuan Menulis Wacana Deskripsi Oleh Siswa Kelas X.3
SMA Negeri 8 Denpasar Tahun Pelajaran 2012/2013
Dewa Ayu Widiasri.....................................................................
............................................................................................ 206
259
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Penggunaan Metode Kontekstual Untuk Meningkatkan Kemampuan Memahami
Kruna Tiron oleh Siswa Kelas VI SDN 1 Sumerta Denpasar Tahun Pelajaran
2012/2013
Ni Nyoman Sutarpini..................................................................
............................................................................................ 224
Pelindung :
Drs. I Dewa Putu Tengah (Pembina YPLP PT IKIP PGRI Bali)
Drs. IGB. Arthanegara, S.H., M.Pd. (Ketua YPLP PT IKIP PGRI Bali)
I Gusti Ngurah Oka, S.H. (Sekretaris YPLP PT IKIP PGRI Bali)
Penanggung Jawab
Dr. I Made Suarta, S.H., M.Hum.
(Rektor IKIP PGRI Bali)
Ketua Redaksi
Drs. I Wayan Citrawan, M.Pd.
Sekretaris Redaksi
Dr. Ketut Yarsama, M.Hum.
Anggota Dewan Redaksi :
Prof. Dr. Ida Bagus Yudha Triguna, M.Si. (Unhi)
Prof. Dr. I Nyoman Wedakusuma, M.S. (Unud)
Drs. Pande Wayan Bawa, M.Si.
Drs. I Dewa Putu Juwana, M.Pd.
Drs. IGB. Ardana Adnya, M.Si.
Dr. Nengah Arnawa, M.Hum.
Dr. A.A. Ngr. Adi Putra, M.Pd.
Drs. I Ketut Sumerta, M.For.
Drs. I Dewa Made Alit, M.Pd.
Drs. I Wayan Suanda, S.Pd., M.Si.
Bendahara
Ni Putu Siti Firmani, SE.
Distribusi
I Ketut Sudana
Ni Luh Putu Ayu Suati
260
iii
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
Alamat Redaksi
Kampus IKIP PGRI Bali
Jalan Seroja-Tonja Denpasar Utara
Telp. (0361) 431434
Website : www.ikippgribali.ac.id
Email : ikippgribali@yahoo.com
261
Nomor 14 Tahun VIII April 2013
ISSN 1907-3232
262
Website : www.ikippgribali.ac.id
Email : ikippgribali@yahoo.com

You might also like