You are on page 1of 8

Tanggung Jawab Bisnis pada HAM: Mempertanyakan peran Negara

Indonesia, dan hampir pasti juga kebanyakan negara berkembang lainnya, dewasa ini
kian tergantung pada modal privat terutama FDI sebagai sumber pembiayaan
pembangunan. Untuk menarik FDI inilah Negara kemudian menawarkan serangkaian
insentif. Celakanya kemudahan-kemudahan yang ditawarkan tidak hanya berupa
instrument ekonomi, seperti fasilitas fiscal dan bea, tetapi juga dengan melemahkan
berbagai regulasi lingkungan dan social (seperti hukum perburuhan dan HAM).

Sebagaimana dengan tepat dinyatakan oleh oleh Maude Barlow dari Canadian Council:
"In the race to compete for foreign direct investment, countries are stripping their
environmental laws and protection of natural resources. In some cases, such as the
world’s 850 free trade zones, they either look the other way as social and environmental
laws are broken or actually set lower standards in these zones than the rest of the
country."

Beberapa kasus yang terjadi di Indonesia belakangan ini dapat menjadi bukti
berlangsungnya situasi di atas:

• Di sektor kehutanan, akibat tekanan dari sector privat, pemerintah mengesahkan


proses penambangan terbuka (open pit mining) in protected forest meski UU
Kehutanan Indonesia melarang kegiatan tersebut. Hal ini di satu sisi membuka
peluang bisnis baru terutama bagi korporasi raksasa pertambangan. Di sisi lain
keputusan ini akan semakin menghancurkan sumber-sumber kehidupan berbagai
komunitas masyarakat adat yang menjadikan hutan sebagai habitat hidup mereka.

• Beberapa tahun sebelumnya, pemerintah RI juga membubarkan BAPPEDAL –


sebuah lembaga public yang berfungsi memonitor dan menyelidiki dampak
lingkungan termasuk yang disebabkan oleh kinerja bisnis.

• Pemerintah RI baru saja menerima kesepakatan pembayaran kompensasi 30 juta


dolar AS dari PT Newmont Minahasa Raya (NMR), terkait dengan tuduhan
pencemaran lingkungan di teluk Buyat Minahasa dari libah tailing mereka.
Padahal kompensasi itu lebih rendah dari tuntutan yang diajukan semula di
Pengadilan Negeri Manado yakni sebesar 130 juta dolar AS.

• Pada tahun 2001, Exxon menghadapi gugatan karena perusahaan itu dianggap
terlibat dalam teror yang dilakukan pihak militer Indonesia di Aceh dengan
melakukan pembunuhan massal, penyiksaan, pembunuhan, pemerkosaan dan
"penghilangan" paksa tanpa hukum secara sewenang-wenang . Nasib gugatan ini
hingga kini tidak jelas kelanjutannya. Justru sebaliknya, tahun 2006 ini
pemerintah Indonesia melalui Pertamina menandatangani kontrak kerjasama
eksploitasi minyak di Cepu.

• Pada akhir February 2006, terjadi bentrokan antara aparat keamanan, petugas
keamanan PT.Freeport Indonesia dengan warga sipil pendulang emas di mile-71
Tembagapura yang mengakibatkan dua aparat keamanan luka-luka terkena
lembaran batu dan tiga warga sipil terkena tembakan peluru tajam . Konflik antara
Freeport dan masyarakat Papua telah terjadi berkali-kali, Freeport dituduh telah
melakukan penjarahan sumberdaya alam dan kejahatan lingkungan, dan juga
terlibat dalam kekerasan yang dilakukan oleh militer terhadap masyarakat Papua.
Pemerintah RI hingga kini tidak pernah menyelidiki secara serius tuduhan-
tuduhan tersebut, justru memperpanjang kerjasama penambangan emas dan
tembaga bersama Freeport.

• Sementara itu, terkait dengan persoalan perburuhan, untuk mendorong masuknya


investasi asing ke Indonesia, pemerintah RI tengah berupaya merubah regulasi
perburuhan, dengan tujuan mengenalkan skema labor market flexibility. Skema
semacam ini, apabila sungguh diberlakukan hanya akan menambah deretan
pelanggaran serius terhadap hak-hak kaum buruh.

Kasus-kasus semacam ini dapat terus diperpanjang, mereka hanya akan mengukuhkan
kenyataan bahwa kapasitas dan kekuasaan pemerintah-negara kian terbatas ketika
berhadapan dengan kekuasaan bisnis.
Tidaklah mengherankan, apabila kemudian ada sebagian kalangan, misalnya saja
organisasi-organisasi masyarakat sipil yang karena kecewa dan tidak lagi percaya akan
kemampuan dan kemauan pemerintah mengendalikan beragam malpraktek bisnis,
memunculkan berbagai inisiatif yang dikenal dengan istilah civil regulations. Mereka
dapat mengambil banyak bentuk seperti sertifikasi, audit social, fair trade labeling, dsb.
Meski dalam beberapa kasus inisiatif-inisiatif tersebut terbukti cukup efektif, mengingat
terbatasnya resource dan otoritas yang dimiliki oleh organisasi-organisasi masyarakat
sipil, sangatlah sulit untuk diharapkan bahwa mereka dapat menjadi solusi komprehensif
bagi rangkaian kasus pelanggaran-pelanggaran HAM dalam frekuensi yang kian
meningkat dan skala yang semakin massif.

Dalam konteks ini, tidak ada cara lain, selain memperkuat kapasitas Negara baik dalam
hal mengontrol dan mengawasi kinerja bisnis, juga kapasitas untuk mendorong tanggung
jawab bisnis terhadap HAM.

Hal pertama yang perlu dilakukan tentu saja dengan memperkuat regulasi-regulasi yang
terutama terkait dengan standar HAM misalnya dengan mengadopsi beragam regulasi
multilateral seperti konvensi-konvensi PBB. Perlu dipikirkan pula langkah yang bisa jadi
lebih praktis, misalnya mengharuskan TNC beroperasi dengan menggunakan standar
social dan HAM selain yang berlaku di host country juga yang berlaku di home country
mereka.

Terkait dengan proses standard-setting di atas, kita juga membutuhkan skema pelaporan
social dan HAM yang juga bersifat mandatory. Pada dasarnya pelaporan ini berfungsi
untuk memberikan informasi kepada public perihal kinerja dan dampak operasi sebuah
korporasi terkait dengan beragam aspek HAM. Adalah tugas pemerintah, kemudian,
untuk menyusun sebuah database sekaligus menjamin prinsip keterbukaannya dan hak
public untuk mengaksesnya.

Yang menjadi persoalan kemudian, cukup banyak contoh dimana pelaporan oleh
korporasi, baik atas kinerja lingkungan maupun social mereka sekedar dijadikan
instrument public relations. Salah satu cara untuk menguji kredibilitas pelaporan tersebut
adalah dengan membangun sebuah system monitoring dan verifikasi yang juga dapat
dipercaya.

Sementara itu, pada tahapan enforcement, keberadaan standar-standar HAM yang bersifat
mandatory tersebut harus diikuti dengan pemberdayaan enforcer institutions. Lembaga-
lembaga seperti inspektur perburuhan, dan HAM harus mendapat otoritas dan kapasitas
yang memadai. Sementara itu lembaga-komisi pada level nasional yang terkait dengan
isu HAM - Indonesia misalnya yang memiliki Komisi Nasional HAM – perlu dilengkapi
dengan unit kerja yang khusus memantau perkembangan HAM yang terkait dengan
kinerja bisnis. Demikian pula perlu dipertimbangkan kemungkinan keberadaan sebuah
komite pengawas HAM yang melekat pada struktur parlemen (parliamentary oversight
committee).

Selain peran-peran yang berkarakteristik mandating di atas, pemerintah juga perlu


berperan sebagai fasilitator. Melalui otoritasnya, pemerintah dapat mendorong
keterlibatan stakeholder dalam berbagai proses atau tahapan.

Pada tahap formulasi atau penentuan standar, pemerintah perlu mendorong keterlibatan
public atau stakeholder dalam merumuskan indicator dan criteria standard yang
kontekstual dengan kondisi nasional atau bahkan dengan situasi masyarakat local. Pada
tahap ini perlu dihindari terjadi proses konsultasi yang tidak partisipatif. Hal ini menjadi
krusial, mengingat hingga kini patut diakui tema-tema seperti standar sosial, lingkungan
maupun HAM masih bergulir dikalangan elit ekonomi dan intelektual.

Sementara itu pada tahap monitoring dan verifikasi, pemerintah perlu mendorong
keterlibatan publik khususnya mereka yang terkelompok dalam primary stakeholder-
kelompok yang memiliki relasi paling dekat dan paling berkepentingan dengan korporasi
yang bersangkutan.

Dewasa ini idea tentang tanggung jawab bisnis terhadap human right memang kian
mengemuka, dan mulai memasuki mainstream manajemen bisnis modern. Meski
demikian, kita perlu bersikap kritis. Apakah trend demikian dilatarbelakangi oleh
kesadaran dari pelaku bisnis untuk berbisnis secara etis dan responsible, ataukah bagian
dari strategi risk management mereka. Akan tetapi, terlepas dari berbagai motif yang
melatarbelakanginya, sepanjang ia bermanfaat bagi kebaikan kita bersama, trend
semacam ini perlu mendapatkan dukungan dari semua pihak, terlebih dari Negara-
pemerintah yang memiliki tanggung jawab atau tugas utama sebagai penjaga kepentingan
dan kesejahteraan publik.

Hak Asasi Manusia dalam Bayang-bayang Pragmatisme

Kekuatan negara dengan berbagai kebijakan dan institusi reformis ternyata belum mampu
memenuhi kebutuhan hak asasi warga negara secara layak. Publik bahkan tergiring dalam
pandangan pragmatis terkait dengan hak asasi manusia.

Sejak negeri ini dibentuk pengakuan hak asasi manusia, hak hidup merdeka, dan hak
sederajat merupakan tulang punggung bersatunya berbagai etnis dan kelompok.
Pandangan antidiskriminasi dan hormat kepada hidup manusia menjadikan Indonesia
salah satu negara yang paling awal mengakui hak asasi manusia, bahkan lebih awal
daripada Deklarasi HAM PBB, 10 Desember 1948.

Perjalanan sejarah bangsa ini kemudian memberi bukti, pemaknaan ”hak asasi” di negeri
ini bisa ”maju-mundur” sesuai dengan konsep rezim yang berkuasa di pemerintahan.
Pada masa pemerintahan Soeharto hak asasi diberi makna sebagai hak hidup dari Tuhan
Yang Maha Esa, sejauh serasi dan tidak menjadi penghalang bagi laju pembangunan
nasional.

Era reformasi, yang sebagian energinya menyembur dari kawah tekanan represi politik
atas nama stabilitas, memberikan warna lain pemaknaan hak asasi. Salah satu yang
kentara adalah formalisasi simbol hak asasi dalam bentuk perundang-undangan terkait
HAM (Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999), kebijakan birokrasi yang pro-hak asasi
dan pembentukan institusi nasional, seperti Dephuk dan HAM serta Komnas HAM.

Jika dihitung-hitung, bisa dibilang saat ini mungkin tinggal soal niat saja yang tidak
”diinstitusikan” untuk menjamin terselenggaranya pemenuhan hak asasi di negeri ini.
Namun, dengan segenap kekuatan negara seperti itu, apakah persoalan pelanggaran HAM
di negeri ini bisa segera diselesaikan?

Sebatas kebebasan

Dibandingkan era Orde Baru, reformasi yang digembar-gemborkan sejauh ini ditengarai
masih sebatas memberikan jaminan kebebasan berekspresi, menyatakan pendapat, dan
unjuk rasa. Rangkaian jajak pendapat Litbang Kompas mendapati, bagian terbesar
responden senantiasa menilai positif berbagai perubahan yang terjadi dalam batas-batas
kebebasan berpendapat dan berekspresi.

Lebih dari itu, kondisi tampak masih tertatih-tatih. Pemenuhan aspek pendidikan,
pekerjaan, dan tempat tinggal yang layak masih menyisakan ”lubang” besar. Ambil
contoh soal tempat tinggal. Becermin dari suara responden, mayoritas responden (61,3
persen responden) menyatakan tidak puas dengan upaya pemerintah. Demikian juga
terhadap hak masyarakat atas pendidikan yang layak, dinilai lebih separuh responden
(56,4 persen) belum berjalan memuaskan.

Jika menengok lebih jauh, persoalan HAM yang lebih mengusik publik adalah
penanganan terhadap pelaku dan korban kasus lumpur Lapindo. Eksekusi hukum yang
tak kunjung selesai, baik terhadap PT Lapindo Brantas maupun ganti rugi terhadap
korban, menjadikan kasus itu dinilai publik sebagai salah satu persoalan HAM yang
paling belum terselesaikan.

Memang, jika dilihat secara keseluruhan, persoalan pelanggaran HAM paling menonjol
adalah dampak dari kasus-kasus pertentangan elite politik ketimbang sengketa horizontal
antarwarga. Seperti hasil jajak pendapat sebelumnya, kasus-kasus yang paling menonjol
diingat publik ialah kasus terbunuhnya aktivis HAM, Munir, dan aktivis buruh, Marsinah,
serta tragedi Trisakti 1998. (lihat tabel)

Sikap tak abai oleh negara seharusnya juga tak hanya ditujukan terhadap pelanggaran
HAM skala besar. Pada kenyataannya, pelanggaran hak asasi dalam konteks keluarga
(KDRT), ketenagakerjaan (TKI, tenaga kerja anak), ataupun yang berbasis primordial
(etnis dan agama) masih terjadi secara sporadis hingga saat ini.

Cerminan sikap publik atas kondisi tersebut adalah ketidakpuasan bagian terbesar
responden (71,4 persen) atas upaya pemerintah menangani berbagai kasus pelanggaran
HAM. Meski demikian, ketidakpuasan ini juga bersifat relatif. Meski penegakan HAM
dinilai belum memuaskan, dibandingkan masa Orde Baru, kal ini lebih diapresiasi dan
dinilai lebih baik oleh mayoritas responden.

Pragmatisme pandangan

Dari perjalanan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat, tampak betapa


sulitnya komponen bangsa ini menemukan benang merah penegakan hak asasi atas nama
kebenaran substantif. Sebagaimana terjadi dalam penyelesaian kasus Munir, berubah-
ubahnya nuansa keputusan hakim terhadap terdakwa menyebabkan sebagian publik
hilang kepercayaan kepada institusi hukum negara.

Jika merunut ke penyelesaian kasus Tragedi Trisakti dan kerusuhan Mei 1998, lebih sulit
lagi bagi publik menerima fakta bahwa peristiwa itu bukan pelanggaran HAM berat.
Ironisnya, negara yang diwakili oleh Panitia Khusus DPR ketika itu justru berperan
mementahkan penyidikan khusus dengan menyatakan peristiwa itu sebagai pelanggaran
HAM biasa.

Risiko yang muncul dari hilangnya kepastian dalam penyelesaian sebuah kasus
pelanggaran HAM berat ialah munculnya sebuah pandangan pragmatis sebagai buah dari
sikap apatis. Aspek mendasar dari hak asasi tidak lagi terfokus pada persoalan idealisme
kebebasan, kemerdekaan dan hak hidup, tetapi bergeser pada sekadar pemenuhan
kebutuhan ekonomi.
Dalam hal ini, perspektif hak asasi warga negara sebagai pihak yang ”dijamin” hidupnya
oleh negara menjadi lebih mengemuka.

Sebagian besar responden saat ini memandang pelaksanaan pemenuhan HAM sangat
terkait dengan aspek ekonomi, suatu hal yang mungkin tidak muncul pada masa
Soeharto. Bagian terbesar responden (73,9 persen) bahkan, jika harus memilih,
menyatakan lebih mendahulukan pemenuhan ekonomi ketimbang pemenuhan hak asasi.

Parahnya, hiruk-pikuk aktor politik menjelang pemilihan umum tak satu pun yang berani
menyentuh isu pelanggaran HAM berat masa lalu. Nyaris semua elite dan parpol
berlindung di balik tema-tema ”populis” seperti perekonomian. Di sisi lain, publik
tampaknya juga makin pesimistis ada elite politik atau parpol yang bisa menyelesaikan
pelanggaran HAM.

Sulit dimungkiri arus utama isu di dalam masyarakat senantiasa didominasi oleh aspek
terpenuhinya kebutuhan mendasar. Namun, hilangnya militansi kepada kebenaran
merupakan kondisi yang bisa menjerumuskan bangsa dalam ilusi materialisme. (Litbang
Kompas)

You might also like