You are on page 1of 12

PEMANFAATAN TKKS MENJADI PUPUK KOMPOS

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kompos merupakan salah satu jenis pupuk organik, adalah merupakan hasil dekomposisi parsial atau tidak lengkap, yang dipercepat secara artifisial dari campuran bahan-bahan organik oleh populasi berbagai macam mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembab, dan aerobik. Pupuk organik merupakan hasil akhir dari perubahan atau peruraian sisa tanaman atau hewan, misalnya bungkil, guano, dan tepung tulang. Pupuk organik berasal dari bahan organik yang mengandung berbagai macam unsur, meskipun ketersediannya dalam jumlah sedikit. Pupuk organik biasanya ditandai dengan adanya nitrogen dalam bentuk persenyawaan organik, sehingga mudah diserap oleh tanaman, pupuk organik tidak meninggalkansisa asam anorganik di dalam tanah dan mempunyai kadar persenyawaan c-organik yang tinggi, misalnya hidrat arang. Produksi kelapa sawit di Indonesia cukup melimpah, diperkirakan 10 tahun kedepan produksi sawit indonesia akan naik dua kali lipat menjadi 40 50 juta ton CPO. Produktivitas ini diyakini terbesar didunia, perluasan terjadi di areal lahan sawit rakyat persen dari total luas lahan sawit yang mencapai 7 juta hektar. TKKS (Tandan Kosong Kelapa Sawit) merupakan salah satu limbah dari pabrik kelapa sawit yang jumlahnya sangat melimpah. Setiap pengolahan 1 ton TBS (Tandan Buah Segar) akan dihasilkan TKKS sebanyak 22 23% TKKS atau sebanyak 220 230 kg TKKS. Limbah ini belum dimanfaatkan secara baik oleh sebagian besar pabrik kelapa sawit di Indonesia. Pengolahan TKKS oleh pabrik kelapa sawit masih sangat terbatas. Sebagian besar pabrik kelapa sawit di Indonesia masih membakar TKKS dalam incinerator, meskipun cara ini sudah dilarang oleh pemerintah. Alternatif pengolahan seluas 2-50 hektar komposisi luas lahan sawit rakyat ini jumlahnya hanya sekitar 25 30

lainya adalah dengan menimbun (open dumping), dijadikan mulsa di perkebunan kelapa sawit, atau diolah menjadi kompos.TKKS pada saat ini hanya dimanfaatkan bagi perkebunan kelapa sawit secara langsung maupun tidak langsung. Pemanfaatan secara langsung ialah dengan menjadikan TKKS sebagai mulsa sedangkan secara tidak langsung dengan mengomposkan terlebih dahulu sebelum digunakan bahan sebagai organik pupuk kelapa organik. sawit ke Bagaimanapun tanah akan juga, pengembalian menjaga

pelestarian kandungan bahan organic lahan kelapa sawit demikian pula hara tanah. Selain itu, pengembalian bahan organik ke tanah akan mempengaruhi populasi mikroba tanah yang secara langsung dan tidak langsung akan mempengaruhi kesehatan dan kualitas tanah. Aktivitas mikroba akan berperan dalam menjaga stabilitas dan produktivitas ekosistem alami, demikian pula ekosistem pertanian. Komponen utama limbah pada kelapa sawit ialah selulosa dan lignin, sehingga limbah ini disebut sebagai limbah lignoselulosa. Selulosa adalah senyawa karbon yang terdiri lebih dari 1000 unit glukosa yang terikat oleh ikatan beta 1,4 glikosida dan dapat didekomposisi oleh berbagai organisme selulolitik menjadi senyawa C sederhana. Sedangkan lignin merupakan komponen limbah TKKS yang relatif sulit didegradasi. Senyawa ini merupakan polimer struktural yang berasosiasi dengan selulosa dan hemiselulosa. Tanah sangat kaya akan keragaman mikroorganisme, seperti bakteri, aktinomicetes, fungi, protozoa, alga, dan virus. Tanah pertanian yang subur mengandung lebih dari 100 juta mikroba per gram tanah. Produktivitas dan daya dukung tanah tergantung pada aktivitas mikroba tersebut. Sebagian besar mikroba tanah memiliki peranan yang menguntungkan bagi pertanian, yaitu berperan dalam menghancurkan limbah organik, re-cycling hara tanaman, fiksasi biologis nitrogen, pelarutan fosfat, merangsang pertumbuhan, biokotrol patogen dan membantu penyerapan unsur hara. Bioteknologi berbasis mikroba dikembangkan dengan memanfaatkan peran-

peran penting mikroba. Kompos memiliki banyak manfaat yang ditinjau dari beberapa aspek: 1. Aspek ekonomi, menghemat biaya untuk transportasi dan penimbunan limbah, mengurangi volume/ ukuran limbah, memiliki nilai jual yang lebih tinggi daripada bahan asalnya 2. Aspek lingkungan, mengurangi polusi udara karena pembakaran limbah, mengurangi kebutuhan lahan untuk penimbunan 3. Aspek bagi tanah/ tanaman, meningkatkan kesuburan tanah, memperbaiki struktur dan karakteristik tanah, meningkatkan aktivitas mikroba tanah, meningkatkan kualitas hasil panen Proses pengkomposan alami memakan waktu yang sangat lama, berkisar antara enam bulan hingga setahun sampai bahan organik tersebut benarbenar tersedia bagi tanaman. Oleh karena itu diperlukan penelitian untuk memperoleh kondisi operasi produksi pupuk organik yang optimum dan peralatan yang efisien. Jamur Pelapuk Putih (JPP) merupakan kelompok jamur yang dikenal menghasilkan enzim ligninolitik secara ekstra seluler sehingga mampu mendegradasi lignin untuk mendapatkan yang diperlukan untuk pertumbuhannya. Salah satu JPP yang dapat dikonsumsi adalah jamur merang (Volvariella volvacea). Jamur merang bersifat saprofitik sehingga memerlukan sumber karbon untuk pertumbuhannya. Untuk mencukupi kebutuhan karbon, jamur merang melakukan dekomposisi bahan organik menghasilkan senyawa karbon sederhana di samping hara yang tersedia yang digunakan untuk pertumbuhannya. Selain penggunaan jamur merang (Volvariella volvacea) untuk mendegradasi lignin, pada pengomposan ini juga dilakukan penambahan effective microorganism (EM-4) sebagai aktivator untuk mempercepat proses pengomposan dan dapat meningkatkan unsur hara. I.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana pembuatan pupuk organic dari Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) dengan penambahan jamur merang (Volvariella volvacea) dan activator effective microorganism secara aerob ?

2. Bagaimana

pengaruh

penambahan

jamur

merang

(Volvariella

volvacea) dan penambahan aktivator effective microorganism (EM-4) pada TKKS terhadap waktu proses pengomposan dan peningkatan unsur hara. I.3 Tujuan Penelitian 1. Mempelajari pembuatan pupuk organik dari Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) dengan penambahan jamur merang (Volvariella volvacea) dan aktivator effective microorganism secara aerob. 2. Mengetahui pengaruh penambahan jamur merang (Volvariella volvacea) dan penambahan aktivator effective microorganism pada TKKS terhadap waktu proses pengomposan dan peningkatan unsur hara. BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kompos Kompos merupakan bahan organik, seperti daun-daunan, rumput-rumputan, alang-alangan, dedak padi, batang jagung, dan limbah rumah tangga dimana mengalami proses dekomposisi oleh mikroorganisme pengurai, sehingga dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki sifat-sifat tanah. Kompos mengandung hara-hara mineral yang essensial bagi tanaman. Sisa tanaman, hewan atau kotoran hewan, juga sisa jutaan makhluk kecil yang berupa bakteri, jamur, ganggang, hewan satu sel, maupun banyak sel merupakan sumber bahan organik yang sangat potensial bagi tanah karena perannya yang sangat penting terhadap perbaikan sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Prinsip dasar dalam proses pengomposan adalah terjadinya penguraian bahan organik oleh sejumlah besar mikroorganisme perombak, dalam lingkungan yang hangat, lembab, dan aerobik dengan hasil akhir berupa

humus. Dalam proses ini mikroorganisme mengambil oksigen dari udara, air dan makanan dari bahan organik. Kecepatan proses dekomposisi antara lain sangat ditentukan oleh ukuran partikel bahan organik dan C/N rasio bahan organik yang akan dirombak. Perbandingan C/N rasio dalam bahan campuran pembuatan kompos yang baik, berkisar antara : 25/1 sampai 35/1. Untuk menurunkan C/N rasio bahan dasar kompos, maka dalam membuat campuran formulasi, dapat ditambahkan beberapa limbah ternak, antara lain: limbah peternakan sapi, ayam, maupun babi. Selain itu penambahan aktivator (mikroorganisme perombak) sangat nyata berpengaruh terhadap kecepatan proses dekomposisi. Tujuan utama pengomposan adalah untuk menghasilkan humus berkualitas sebanyak mungkin. Dalam proses pembusukan terjadi perubahan fisik dan kimia dari sisa-sisa tanaman dan atau hewan menjadi bahan organik matang. Respon tanaman merupakan indikator utama dari kualitas kompos Menurut Schuchard, et al. (1998) tingkat kematangan kompos dapat dilihat dari kriteria primer maupun sekunder. Ratio C/N, suhu, kadar air, warna, dan struktur bahan merupakan kriteria sekunder. Sedangkan kriteria utama dari tingkat kematangan kompos adalah pertumbuhan tanaman yang dipengaruhi oleh pemberian kompos tersebut. Pengomposan pada material organik menghasilkan carbon dioksida dan air, diatas 75% pada material organik dapat didekomposisi dengan menggunakan dua proses. Produk akhir pada pada biotreatment yang stabil dan dapat digunakan sebagai penyubur tanah atau penguraian pada permukaan tanah. Oksigen yang diperlukan pada produk akhir yang stabil adalah kurang dari 6 jam dibandingakn dengan material organik yang tidak diperlukan. Bagaimanapun, ratio C/N rendah pada produk ( kompos) membuatnya cocok digunakan pada tanah. Kompos adalah proses eksotermik dan dapat diperoleh pada suhu maksimal 60 -70oC. Jika dipertahankan selama satu jam atau lebih temperatur ini dapat mengahancurkan phatogen utama dan parasit. Kompos yang stabil dapat digunakan untuk penyuburan, nilai produk kompos tergantung pada

metoda yang digunakan. Kompos anaerob menghasilkan lebih dari 50% ( pada metrial organik) ini sebagai kompos. Percobaan anaerob bisa menghasilkan 20 -40 % produk kompos. Pada penelitian digunakan jamur merang (Volvariella volvacea) yaitu pupuk kompos yang dihasilkan dari proses fermentasi atau peragian bahan organik dengan teknologi EM4 (Effective Microorganisms 4). EM4 sendiri mengandung bakteri fotosintetik ,Lactobacillus (bakteri asam laktat), Streptomyces, ragi, dan Actinomycetes. Karakteristik Volvariella volvacea : 1. Suhu : 30 - 38C, optimum 35C 2. Kelembaban : 80 - 90%, cukup oksigen 3. Tidak tahan cahaya matahari langsung 4. pH : 6,8 7 5. Jamur merang bersifat saprofitik sehingga memerlukan sumber karbon untuk pertumbuhannya. 2.1.1 Penggunaan kompos Kompos dapat diperoleh dari sampah kota yang mengandung masing masingnya 1% NPK dan bermanfaat untuk hasil produksi. Bagaimanapun pengomposan dapat mengubah nutrien seperti pelepasan secara perlahan lahan untuk absorbsi pada tanaman dengan cara meminimalkan kerugian kerugian yang terjadi. Kompos biasanya juga mengandung sedikit unsur lain seperti Mn,Cu,Bo dan Mo yang esensial untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman, pada beberapa situasi dimana pada tanah yang terkena cahaya dan mengandung pasir. Penambahan kompos dapat memperbaiki tekstur tanah dan mengurangi aliran air dan oleh sebab itu, kapasitas untuk menahan air meningkat. Penambahan kompos juga dapat memperbaiki perubahan kapasitas ion pada tanah dan perbaikan tanah pada umumnya, sedangkan kapasitas penyangga dapat dicapai karena penambahan pasangan organik yang stabil. 2.1.2 Pre- kondisi ( keadaan sebelum pengomposan )

Beberapa

pre

kondisi

yang

perlu

diselesaikan

sebelum

memulai

pengomposan. Kriteria yang penting pada pengomposan adalah kecocokan pada sampah seperti : PH, ratio C/N, kelembapan dll. 2.2 Prinsip prinsip pada proses pengomposan Pengomposan adalah pembusukan aerob senyawa organik yang berbentuk CO2,NO2 dan NO3. Mikrooragisme aerob menggunakan karbon dari sampah sebagai sumber energi sedangkan nitrogen bisa dimanfaatkan kembali. Aerob Senyawa organik Oksidasi Proses pengomposan umumnya dilakukan dengan empat tingkat yaitu : 1. Mesophilic Organisme mesophilic secara aktif menghancurkan material organik pada temperatur material pengomposan mencapai 50 55oC selama dua hari. Pada tingkat ini bakteri mesophilic dan populasi fungi berturut turut adalah 108 dan 106 / g pada kompos basah sedangkan pada bakteri thermopilic dan populsi actinomycetes akan mencapai 104 / g pada kompos basah, disamping itu populasi fungi thermopilic adalah 103/g kompos basah. 2. Thermopilic Populasi mikrofloral thermopilic mencapai 107 109/g kompos basah sedangkan mesophilic menurun 103 106. Temperatur awal mencapai maksimum dimana organisme yang sensitive pada temperatur ini akan mati. 3. Mesophilic kedua tingkat mesophilic kedua dari tingkat thermopilic ketika selanjutnya CO2,NO2,NO3

pendinginan awal sampai akhir pada tingkat kedua dan populasi miroba menurun. Pada langkah ini sekali lagi populasi bakteri mesophilic meningkat sekitar 1011/g kompos basah sedangkan populasi fungal adalah 105. Perbandingan 4. Maturasi mikroba pada sisa material organik pada tingkat ini, disebabkan oleh kerusakan selulosa dan lignin pada sampah.

Pada tingkat keempat adalah tingkat maturasi atau kematangan adalah ketika kompos telah siap dan populasi mikroba secara berangsur angsur mati dengan semua total kerusakan material organik. 2.3 Faktor yang mempengaruhi pengomposan a. Perbandingan C dan N Apapun jenisnya, sampah organik rumah tangga yang akan dikomposkan sebaiknya memiliki perbandingan undur karbon dan nitrogen sekitar 30 (atau anatara 20 40). Jika rasionya tinggi, proses pengomposan akan sangat lambat. Akan tetapi jika rasio terlalu kecil akan timbul gas amoniak yang menyengat atau berlebihnya pelepasan gas yang mengandung N. Unsur C dipergunakan oleh mikroba terutama digunakan untuk sumber energi, sedangkan unsur N terutama sebagai perkembangbiakan mikroba.Setiap jenis sampah organik mengandung unsur C dan N dengan perbandingan tertentu. Sampah coklat (sampah yang kandungan karbonnya tinggi) memiliki perbandingan C/N 50/500 lebih. Pada sampah hijau (sampah yang kandungan nitrogennya tinggi) perbandingan C dan N umumnya di bawah 30. tinggi kandungan unsur C dalam sampah coklat harus diimbangi dengan sampah hijau, sehingga mendapatkan perbandingan C dan N yang optimal. Dalam praktek pengomposan, oleh karena sering memperhitungkan volume maka kita dapat memcampur sampah coklat dengan sampah hijau dengan perbandingan 2 :1 dan 3 : 1. b. Kelembaban Air sangat diperlukan bagi kehidupan mikroba yang bekerja dalam proses pengomposan. Akan tetapi jika terlalu banyak air maka ruang antar partikel sampah akan tersumbat sehingga udara tidak bisa masuk. Jika udara tidak bisa masuk maka mikroba aerob akan mati. Selanjutnya yang bekerja menguraikan proses pembusukan akan menhhasilkan bau busuk. Namun, jika sampah terlalu kering maka akan menimbulkan dehidrasi bagi mikroba dan pengomposan berjalan dengan lambat.

Kelembaban yang optimal adalah sekitar 50-60%. Nilai kelembaban tersebut dapat dirasakan dengan tangan yaitu terasa basah seperti busa spon yang habis diperas tetapi airnya tidak sampai menetes. Jika menyiram kompos sebaiknya digunakan air yang tidak mengandung klorin. c. Aerasi Mikroba yang berperan dalam proses pengomposan adalah bersifat aerob sehingga memerlukan udara dalam kehidupannya. Mikroba memerlukan oksigen untuk tumbuh dan berkembang biak. Jika udara tidak tersedia, mikroba anaerob akan mengambil alih proses penguraian sampah. Mikroba tersebut menguraikan secara lebih lambat, menghasilkan gas metan yang beracun dan gas H2S yang berbau busuk. Pada lapisan sampah yang baru, masih terkandung cukup oksigen. Tetapi jika mikroba telah berkembang biak, dan kompos sudah mulai terbentuk, mikroba ini memerlukan banyak oksigen sehingga meteri yang dikomposkan perlu sering di aduk atau di balik untuk memasukan udara segar. Untuk mempertahankan oksigen, pada dinding bagian bawah atau di samping wadah pengomposan diberi lubang. d. Suhu Proses pengomposan oleh mikroba menghasilkan energi dalam bentuk panas. Panas ini, sebagian akan tersimpan dalam tumpukan dan sebagian lagi terpakai oleh proses penguapan. Panas yang terperangkap di dalam tumpukan akan menaikan suhu tumpukan. Biasanya suhu tumpukan berada diatas 55oC pada dua minggu pertama. Selanjutnya temperatur secara perlahan akan menurun sejalan dengan menurunnya aktivitas mikroba dalam menguraikan material sampai mendekati suhu ruang. Hangatnya suhu pada level tertentu akan meningkatkan proses metabolisme mikroba. e. Tingkat Keasaman (pH) Pada awal proses pengomposan, pH cenderung menurun karena pembentukan asam organik sederhana. Beberapa hari kemudian pH akan nail sampai agak basa, akibat adanya penguraian protein dan pelepasan amonia.

Keadaan awal yang terlalu asam dapat mengakibatkan kegagalan tumpukan untuk menjadi panas. Upaya yang paling bijaksana untuk menghindari kondisi 8. f. Ukuran Partikel Ukuran partikel akan berpengaruh terhadap aerasi dan efektivitas permukaan partikel yag diuraikan mikroba. Semakin kecil ukuran partikel, semakin besar luas permukaan yang tersedia untuk diuraikan oleh mikroba sehingga proses pengomposan dapat lebih cepat. Akan tetapi, partikel yang terlalu kecil akan memadat menyebabkan ruang antar partikel menjadi kecil dan sempit sehingga aliran udara menjadi terhambat. Jika hal itu terjadi, maka akan terjadi proses penguraian sampah secara anaerob.Jika ukuran partikelnya amat besar, luas permukaan untuk operasi mikroba menjadi berkurang sehingga proses pengomposan berjalan lambat. g. Ukuran wadah pengomposan/ komposter Menurut kepustakaan, ukuran tumpukan atau wadah pengomposan untuk pencampuran satu adonan yang ideal adalah 1 m x 1 m x 1 m, atau volumenya 1 m3. Dengan ukuran ini dapat dipertahankan suhu dan kelembapan kompos dan cukup memberi kesempatan udara segar masuk ke bagian tengah tumpukan pada saat pembalikan. h. Aktivator Berbagai jenis mikroba secara alamiah telah ada di dalam semua jenis sampah organik yang dikomposkan. Semakin beragam material sampah yang dikomposkan, semakin beragam pula mikroba yang tersedia. Kita dapat menggunakan activator alamiah yang sangat murah dan bagus seperti kompos, tanah subur dan kotoran ternak. 2.4 kompos tandan kelapa sawit tersebut adalah memberikan perhatian penuh pada saat pencampuran bahan. Kondisi optimum pH adalah 7 atau mulai dari 5 sampai

Proses

pengomposan

pada tandan

kosong

kelapa

sawit

ini

tidak

menggunakan bahan cair asam dan bahan kimia lain sehingga tidak terdapat pencemaran atau polusi, selain itu proses pengomposannya pun tidak menghasilkan limbah. Peneliti sebelumnya, menyatakan bahwa dalam kompos TKKS terdapat beberapa kandungan nutrisi penting bagi tanaman. Kompos TKKS dapat diaplikasikan untuk berbagai tanaman sebagai pupuk organik, baik secara tunggal maupun dikombinasikan dengan pupuk kimia. Penelitian sebelumnya telah mengaplikasikan kompos TKKS pada tanaman cabe yang dilakukan di Kabupaten Tanah Karo pada tahun 2002. Hasilnya menunjukkan bahwa aplikasi kompos TKKS dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi cabe, yang lebih baik dibandingkan dengan perlakuan tanpa pupuk organik (kontrol) maupun aplikasi pupuk kandang. Aplikasi 0,25 dan 0,50 kg kompos TKKS dapat meningkatkan hasil cabe berturut-turut hingga 24% dan 45% dibanding perlakuan kontrol, sedangkan aplikasi pupuk kandang hanya dapat meningkatkan hasil sebesar 7% dibanding perlakuan kontrol. Kompos TKKS juga dapat dimanfaat sebagai media tumbuh tanaman hortikultura. Pada penelitian sebelumnya mengenai pemanfaatan kompos TKKS sebagai media tanpa tanah dan pemupukan pada tanaman pot Spathiphyllum, kombinasi kompos TKKS dan pupuk kandang digunakan sebagai petak utama dan frekuensi pemupukan sebagai anak petak. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa komposisi media berpengaruh nyata terhadap semua parameter yang diamati kecuali untuk pori terisi udara dan kadar N daun, sedang frekuensi pemupukan tidak berpengaruh nyata terhadap semua paramater yang diamati kecuali terhadap tinggi tanaman mulai umur dua bulan dan kadar K pada tanaman umur enam bulan. Kombinasi 50% kompos TKKS dan 50% pupuk kandang adalah media yang baik untuk tanaman Spathiphyllum. 2.4.1 Keunggulan kompos TKKS 1. kandungan kalium yang tinggi, 2. Tanpa penambahan starter dan bahan kimia,

3. Memperkaya unsur hara yang ada di dalam tanah 4. Mampu memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi 2.4.2 Kompos TKKS memiliki beberapa sifat yang menguntungkan antara lain: (1) memperbaiki struktur tanah berlempung menjadi ringan (2) membantu kelarutan unsur-unsur hara yang diperlukan bagi pertumbuhan tanaman (3) bersifat homogen dan mengurangi risiko sebagai pembawa hama tanaman (4) merupakan pupuk yang tidak mudah tercuci oleh air yang meresap dalam tanah (5) dapat diaplikasikan pada sembarang musim

You might also like