You are on page 1of 28

DERMATITIS ATOPIK

PEMBIMBING : Dr. Retno Satuti,Sp.KK

DISUSUN OLEH: Rusiana Nasilah (1102008225)

KEPANITRAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI RSUD GUNUNG JATI CIREBON

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Dermatitis atopik masih merupakan masalah kesehatan, karena sifatnya yang kronik residif, sehingga dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien. Dermatitis atopik paling sering pada bayi, namun dapat juga pada anak dan dewasa. Pada sebagian besar pasien, dermatitis atopik merupakan manifestasi klinis atopi yang pertama, dan banyak diantara mereka kemudian akan mengalami asma dan rinitis alergik. Walaupun predisposisi genetik merupakan salah satu faktor risiko yang paling penting, tetapi meningkatnya prevalensi dermatitis atopik di negara-negara industri menunjukkan bahwa faktor lingkungan (pajanan mikroba dan nutrisi) juga mempunyai peran yang cukup penting . Etiologi pasti dermatitis atopik ini belum diketahui, namun berbagai penelitian menunjukkan bahwa dermatitis atopik ini disebabkan dari interaksi antara genetik, lingkungan, defek sawar kulit dan sistem imun Simptom utama dari dermatitis atopik ialah gatal. Gatal merupakan masalah utama selama tidur, pada waktu kontrol kesadaran terhadap garukan menjadi hilang. Untuk bayi, dermatitis atopik dapat menyebabkan keadaan yang tidak menyenangkan dan mengganggu oleh karena iritasi di daerah kulit yang disertai rasa gatal, garukan, sampai terjadinya infeksi. Tidak ada penyembuhan yang total untuk dermatitis atopik, namun gejala yang timbul cenderung berkurang seiring dengan perjalanan usia1.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEFINISI Dermatitis atopik adalah keadaan peradangan kulit kronis dan residif, disertai gatal yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak, sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat atopi pada keluarga atau penderita (dermatitis atopi, rhinitis alergika, asma bronkhiale, dan konjungtivitis alergika). Kelainan kulit berupa papul gatal yang kemudian mengalami ekskoriasi dan likinefikasi, distribusinya di lipatan(fleksura)(3). Kata atopi pertama kali diperkenalkan oleh Coca (1923), yaitu istilah yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai kepekaan dalam keluarganya. Misalnya : asma bronchial, rhinitis alergika, dermatitis atopi, dan konjungtivitis alergika(1).

2.2.SINONIM Banyak istilah dermatitis atopik lain yang digunakan, misalnya : ekzema konstitusional, fleksural eczema, disseminated neurodermatitis, prurigo basiler(1).

2.3. EPIDEMIOLOGI Oleh karena definisi secara klinis tidak ada yang tepat maka untuk menginterpretasikan hasil penelitian epidemiologi harus berhati-hati. Berbagai penelitian menyatakan bahwa prevalensi D.A makin meningkat sehingga merupakan masalah kesehatan besar. Di Amerika Serikat, Eropa, Jepang, Australia dan Negara industri lain, prevalensi D.A pada anak mencapai 10-20%, sedangkan pada dewasa kira-kira 1-3 %. Di negara agraris, misalnya Cina,Eropa Timur, Asia Tengah, prevalensi D.A jauh lebih rendah. Wanita lebih banyak menderita D.A daripada pria dengan rasio 3:1. Berbagai faktor lingkungan berpengaruh terhadap prevalensi D.A misalnya jumlah keluarga kecil,pendidikan ibu makin tinggi, penghasilan meningkat, migrasi dari desa ke kota, dan meningkatnya penggunakan antibiotik, berpotensi menaikan jumlah penderita D.A(4).

Sedangkan rumah yang berpenghuni banyak, meningkatnya jumlah keluarga, urutan lahir makin belakang, sering mengalami infeksi sewaktu kecil, akan melindungi kemungkinan timbul D.A pada kemudian hari(4). D.A cenderung diturunkan. Lebih dari seperempat anak dari seorang ibu yang menderita atopi akan mengalami D.A pada masa kehidupan tiga bulan pertama. Bila salah satu orang tua menderita atopi, lebih dari seperuh jumlah anak akan mengalami gejala alergi sampai usia dua tahun, dan meningkat sampai 79% bila kedua orang tua menderita atopi. Resiko mewarisi D.A lebih tinggi bila ibu yang menderita D.A dibandingkan dengan ayah. Tetapi, bila D.A yang dialami berlanjut hingga masa dewasa, ,maka resiko untuk mewariskan untuk anaknya sama saja yaitukira-kira 50%(3).

2.4. ETIOPATOGENESIS Berbagai faktor ikut berinteraksi dalam patogenesis D.A, misalnya faktor genetik, lingkungan, sawar kulit, farmakologikdan imunilogik konsep dasar terjadinya D.A adalah melalui reaksi imunologik yang diperantarai oleh sel- sel dari sum sum tulang (1). Kadar IgE dalam serum penderita D.A Dan jumlah eosinofil dlaam darah perifer umumnya meningkat. Terbukti bahwa da hubunganya secara sistemik antara D.A dan alergi saluran napas, karena 80% anak dengan D.A mengalami asma bronkhial atau rinitis alergik. Dari percobaan pada tikus yang di sensitisasi secara epikutan dengan antigen, akan terjadi reaksi dermatitis alergik, IgE dalam serum meningkat, eosinofilia saluran napas, dan respon berlebihan terhadap metakolin. Hal tersebut menguatkan dugaan bahwa pajanan alergen pada D.A. akan mempermudah timbulnya Asma bronkial.(3) Berikut ini 4 gen yang mempengaruhi penyakit atopi Kelas 1 IgE a) Reseptor FcR8-, mempunyai afinitas tinggi untuk IgE (kromosom 11q 12-13) b) Gen sitokin IL-4 (kromosom 5 ) : gen perdisposisi untuk atopi dan respons umum

c) Gen reseptor IL-4 (kromosom 16) Kelas II : Gen yang berpengaruh pada respon IgE spesifik

a) TCR (kromosom 7 dan 14) b) HLA (kromosom 6) Kelas III : gen yang mempengaruhi mekanisme non inflamasi (

misalnya hiperenposif bronkhial) Kelas IV IgE a) TNF (kromosom 6) b) Gen kimase sel mast (kromosom 14) : gen yang mempengaruhi inlamasi yang tidak di perantarai

Genetik Kromosom 5q 31-33 mengandung kumpulan famili gen sitokin IL-3, IL13,Dan GM-CSF, yang diekspresikan oleh sel TH2. Ekspresi gen IL-4 memainkan peranan penting dalam ekspresikan D.A. Perbedaan genetik aktivitas transkripsi gen IL-4 mempengaruhi perdisposisi D.A. ada hubungan yang erat antara polimorfisme spesifik gen kinase mas dan D.A, tetapi tidak dengan asma bronkhial atau rinitis alergika. Varian genetik kimase sel mas, yaitu serine protease yang di sekresi oleh sel mas di kuli, mempunyai efek spesifik pada organ, dan berperan dalam timbulnya D.A(3).

Respons Imun Pada Kulit Sitokin TH2 dan TH1 berperan dalam patogenesis peradangan kulit D.A. Jumlah TH2 lebih banyak pada penderita atopi, sebaliknya TH1 menurun. Pada kulit 'normal' (tidak ada kelainan kulitnya) penderita D.A. bila dibandingkan dengan kulit normal orang yang bukan penderita D.A., ditemukan lebih banyak sel-sel yang mengekspresikan mRNA IL-4 dan IL-13, tetapi bukan IL-5, IL-12, atau IFN-y. Pada lesi akut dan kronis bila dibandingkan dengan kulit normal atau kulit yang tidak ada lesinya penderita D.A., menunjukkan jumlah yang lebih besar sel-sel yang mengekspresikan mRNA IL-4, IL-5, dan IL-13. Tetapi pada lesi akut tidak banyak mengandung sel yang mengekspresikan mRA IFN-y atau IL-12.

Lesi kronis D.A. mengandung sangat sedikit sel yang mengekspresikan mRNA IL-4 dan IL-13, tetapi jumlah sel yang mengekpresikan mRNA IL-5, GM-CSF,IL12, dan IFN-y, meningkat bila dibandingkan dengan yang akut. Peningkatan IL12 pada lesi kronis D.A. berperan dalam perkembangan TH1(3). Sel T yang teraktivasi di kulit juga akan menginduksi apoptosis keratinosit, sehingga terjadi spongiosis. Proses ini diperantarai oleh IFN-y yang dilepaskan sel T teraktivasi dan meningkatkan Fas dalam keratinosit(3). Berbagai kemokin ditemukan pada lesi kulit D.A. yang dapat menarik selsel, misalnya eosinofil, limfosit T, dan monosit, masuk ke dalam kulit. Pada D.A. kronis, ekspresi IL-5 akan mempertahankan eosinofil hidup lebih lama dan menggiatkan fungsinya, sedangkan peningkatan ekspresi GM-SCF mempertahankan hidup dan fungsi monosit, sel Langerhans, dan eosinofil. Produksi TNF-a dan IFN-y pada D.A. memicu kronisitas dan keparahan dermatitis. Stimulasi TNF-a dan IFN-y pada keritinosit epidermal akan meningkatkan jumlah RANTES (regulated on activation, normal T cell expressed and secreted). Garukan kronis dapat menginduksi terlepasnya TNF-a dan sitokin proinflamasi yang lain dari epidermis, sehingga mempercepat timbulnya peradangan di kulit D.A (3). IL-4 meningkatkan perkembangan TH2, sedangkan IL-12 yang diproduksi oleh makrofag, sel berdendrit,atau eosinofil, menginduksi TH1. Subunit reseptor IL-12RP2 diekpresi pada TH1 tidak pada TH2. Sedangkan ekspresi IL-12RP2 dihambat oleh IL-4, tetapi sebaliknya diinduksi oleh IL-12, IFN-a, dan IFN-y. IL4 juga menghambat produksi IFN-y dan menekan deferensiasi sel TH1. Sel mas dan basofil juga merupakan sumber sitokin tipe TH2, sehingga ekspresi IL-4 oleh sel T, sel mas/basofilpada D.A. akan merangsang perkembangan sel TH2. Sel mononuklear penderita D.A. meningkatkan aktivitas enzim cyclicadenosine monophosphate (CAMP) phosphodiesterase (PDE), yang akan meningkatkan sintesis IgE oleh sel B dan produksi IL-4 oleh sel T. Produksi IgE dan IL-4 secara in vitro dapat diturunkan oleh penghambat PDE (PDEinhibitor). Sekresi IL-10 dan PGE2 dari monosit juga meningkat; kedua produk ini menghambat IFN-y yang dihasilkan oleh sel T.

Sel Langerhans (SL) pada kulit penderita D.A. adalah abnormal, dapat secara langsung menstimulasi sel TH tanpa adanya antigen; secara selektif dapat mengaktivasi sel TH menjadi fenotip TH2. SL yang mengandung IgE meningkat;sel ini mampu mempresentasikan alergen tungau debu rumah (D. pteronyssinus) kepada sel T. SL yang mengandung IgE setelah menangkap allergen akan mengaktifkan sel TH2 memori di kulit atopi, juga bermigrasi ke kelenjar getah bening setempat untuk menstimulasi sel T nai've sehingga jumlah sel TH2 bertambah banyak. SL pada kulit normal mempunyai tiga macam reseptor untuk IgE, yaitu FceRII, FceRII (CD23), dan IgE-binding protein. Reseptor FceRI mempunyai afinitas kuat untuk mengikat IgE. IgE terikat pada SL melalui reseptor spesifik FceRI pada permukaan SL. Pada orang normal dan penderita alergi saluran napas kadar ekpresi FceRI di permukaan SLnya rendah, sedangkan di lesi ekzematosa D.A. tinggi. Ada korelasi antara ekspresi permukaan FceRI dan kadar IgE dalam serum. Selain pada SL, reseptor IgE dengan afinitas tinggi (FceRI) juga ditemukan pada permukaan sel mas dan monosit. Kadar seramid pada kulit penderita D.A. berkurang sehingga kehilangan air (transepidermal water loss=TEWL) melalui epidermis dipermudah. Hal ini mempercepat absorbsi antigen ke dalam kulit. Sebagaimana diketahui bahwa sensitisasi epikutan terhadap alergen menimbulkan respons TH2 yang lebih tinggi daripada melalui sistemik atau jalan udara, maka kulit yang terganggu fungsi sawarnya merupakan tempat yang sensitive (3).

Respons Sistemik Jumlah IFN-y yang dihasilkan oleh sel mononuklear darah tepi penderita D.A. menurun, sedangkan konsentrasi IgE dalam serum meningkat. IFN-y menghambat sintesis IgE, proliferasi sel TH2 dan ekspresi reseptor IL-4 pada sel T. Sel T spesifik untuk alergen di darah tepi meningkat dan memproduksi IL-4, IL-5, IL-13 dan sedikit IFN-y. IL-4 dan IL-13 merupakan sitokin yang menginduksi transkripsi pada ekson C sehingga terjadi pembentukan IgE. IL-4 dan IL-13 juga menginduksi ekspresi molekul adesi permukaan pembuluh darah,

misalnya VCAM-1 (vascular cell adhesion molecular-1), infiltrasi eosinofil, dan menurunkan fungsi sel TH1. Sel monosit di darah tepi penderita D.A. diaktivasi, mempunyai insidens apoptosis spontan rendah, tidak responsif terhadap induksi apoptosis IL-4. Hambatan apoptosis ini disebabkan oleh meningkatnya produksi GM-CSF oleh monosit yang beredar pada D.A. Perubahan sistemik pada D.A. adalah sebagai berikut: Sintesis IgE meningkat. IgE spesifik terhadap alergen ganda meningkat, termasuk terhadap makanan, aeroalergen, mikroorganisme, toksin bakteri, dan autoalergen. Ekspresi CD23 (reseptor IgE berafinitas rendah) pada sel B dan monosit meningkat. Pelepasan histamin dari basofil meningkat. Respons hipersensitivitas lambat terganggu. Eosinofilia. Sekresi IL-4, IL-5, dan IL-13 oleh sel TH2 meningkat. Sekresi IFN-y oleh sel TH1 menurun. Kadar reseptor IL-2 yang dapat larut meningkat. Kadar CAMP-phosphodiesterase monosit meningkat, disertai peningkatan IL10 dan PGE21.

Berbagai Faktor Pemicu Dermatitis atopik dibagi menjadi 2 tipe: (1) bentuk murni - tidak disertai keterlibatan saluran pernafasan, dan (2) bentuk campuran - disertai gejala pada saluran pernafasan dan terdapatnya sensitisasi IgE polivalen terhadap alergen hirup dan alergen makanan(4). Bentuk murni dibagi atas 2 tipe, yaitu (a) tipe intrinsik tidak tedeteksi adanya sensitasi IgE spesifik dan tidak terdapatya peningkatan IgE total serum, dan (b) tipe ekstrinsik terdapat bukti sensitisasi terhadap alergen hirup dan alergen makanan pada uji kulit atau pada serum(4).

Dermatitis atopik merupakan sindrom multifaktorial; berbagai faktor berkaitan dengan fenotip penyakit sehingga perlu dicermati berbagai fakto risiko, yaitu(2): 1. Genetik: diketahui bahwa kecenderungan mendapat penyakit atopi diturunkan secara autosomal dominan; 75% anak akan mengalami alergi bila kedua orang tua mempunyai riwayat alergi, dibandingkan dengan 50% anak bila hanya 1 orang tua mempunyai yang riwayat alergi, meskipun demikian faktor lain (lingkungan) sangat pula berpengaruh atas berkembangnya penyakit. 2. Sosioekonomi: lebih banyak ditemukam pada status sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan status sosial yang lebih rendah. Hal tersebut dapat diterangkan dengan teori higiene. 3. Jumlah anggota keluarga: kejadian dermatitis atopik berbanding terbalik dengan banyaknya jumlah anggota keluarga. Hal tersebut dapat pula diterangkan dengan teori higiene, yaitu terjadi infeksi pada anggota muda keluarga yang ditularkan oleh anggota keluaraga yang lebih tua 4. Laktasi: makin lama mendapat air susu ibu makin kecil kemungkinan untuk mendapat dermatitis atopik. Hal tersebut perlu dicermati karena

perkembangan penyakit berhubungan dengan alergen lingkunagan dan status ibu (misanya perokok) 5. Pengenalan makanan padat terlalu dini (sebelum 4 bulan), akan meningkatkan angka kejadian dermatitis atopik sebesar 1,6 kali. Sensitisasi umumnya terjadi terhadap alergen makanan, terutama susu sapi, telur, kacang-kacangan dan gandum 6. Polusi lingkungan, antara lain daerah industri dengan peningkatan polusi udara, pemakaian pemanas ruangan sehingga terjadi peningkatan suhu dan penurunan kelembaban udara, water hardeness, asap roklok, penggunaan pendingin ruangan yang berpengaruh pula pada kelemban, penggunanan shampo dan sabun yang berlebihan, dan detergen yang tidak dibilas dengan sempurna2.

2.5. GAMBARAN KLINIS Kulit penderita D.A. umumnya kering, pucat/redup, kadar lipid di epidermis berkurang, dan kehilangan air lewat epidermis meningkat. Jari tangan teraba dingin. Penderita D.A. cenderung tipe astenik, dengan inteligensia di atas rata-rata, sering merasa cemas, egois, frustrasi, agresif, atau merasa tertekan. Gejala utama D.A. Jalah (pruritus), dapat hilang timbul sepanjang hari, tetapi umumnya lebih hebat pada malam hari. Akibatnya penderita akan menggaruk sehingga timbul bermacam-macam kelainan di kulit berupa papul, likenifikasi, eritema, erosi, ekskoriasi, eksudasi, dan krusta(3). D.A. dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu: D.A. infantil (terjadi pada usia 2 bulan sampai 2 tahun; D.A. anak (2 sampai 10 tahun); dan D.A. pada remaja dan dewasa1.

D.A. infantil (usia 2 bulan sampai 2 tahun) D.A. paling sering muncul pada tahun pertama kehidupan, biasanya setelah usia 2 bulan. Lesi mulai di muka (dahi, pipi) berupa eritema, papulovesikel yang halus, karena gatal digosok, pecah, eksudatif, dan akhirnya terbentuk krusta. Lesi kemudian meluas ke tempat lain yaitu ke skalp, leher, pergelangan tangan, lengan dan tungkai. Bila anak mulai merangkak, lesi ditemukan di lutut. Biasanya anak mulai menggaruk setelah berumur 2 bulan. Rasa gatal yang timbul sangat mengganggu sehingga anak gelisah, susah tidur, dan sering menangis. Pada umumnya lesi D.A. infantil eksudatif, banyak eksudat, erosi, krusta dan dapat mengalami infeksi. Lesi dapat meluas generalisata bahkan, walaupun jarang, dapat terjadi eritroderma. Lambat laun lesi menjadi kronis dan residif(4). Sekitar usia 18 bulan mulai tampak likenifikasi. Pada sebagian besar penderita sembuh setelah usia 2 tahun, mungkin juga sebelumnya, sebagian lagi berlanjut menjadi bentuk anak. Pada saat itu penderita tidak lagi mengalami eksaserbasi, bila makan makanan yang sebelumnya menyebabkan kambuh penyakitnya. Larangan makan atau minuman yang mengandung susu sapi pada bayi masih ada silang pendapat. Ada yang melaporkan bahwa kelainan secara dramatis

membaik setelah makanan tersebut dihentikan, sebaliknya ada pula yang mendapatkan tidak ada perbedaan1.

Gambar 1. Dermatitis infantil

D.A. pada anak (usia 2 sampai 10 tahun) Dapat merupakan kelanjutan bentuk infantil, atau timbul sendiri (de novo). Lesi lebih kering, tidak begitu eksudatif, lebih banyak papul, likenifikasi, dan sedikit skuama. Letak kelainan kulit di lipat siku, lipat lutut, pergelangan tangan bagian fleksor, kelopak mata, leher, jarang di muka. Rasa gatal menyebabkan penderita sering menggaruk; dapat terjadi erosi, likenifikasi, mungkin juga mengalami infeksi sekunder. Akibat garukan, kulit menebal dan perubahan lainnya yang menyebabkan gatal, sehingga terjadi lingkaran setan siklus gatalgaruk. Rangsangan menggaruk sering di luar kendali. Penderita sensitif terhadap, wol, bulu kucing dan anjing, juga bulu ayam, burung dan sejenisnya. D.A. berat yang melebihi 50% permukaan tubuh dapat memperlambat pertumbuhan(3).

10

Gambar 2. Dermatitis pada anak

D.A. pada remaja dan dewasa Lesi kulit D.A. pada bentuk ini dapat berupa plak papular-eritematosa dan berskuama, atau plak likenifikasi yang gatal. Pada D.A. remaja lokalisasi lesi di lipat siku, lipat lutut, dan samping leher, dahi, dan sekitar mata. Pada D.A. dewasa, distribusi lesi kurang karakteristik, sering mengenai tangan dan pergelangan tangan, dapat pula ditemukan setempat, misalnya di bibir (kering, pecah, bersisik), vulva, puting susu, atau skalp. Kadang erupsi meluas, dan paling parah di lipatan, mengalami likenifikasi. Lesi kering, agak menimbul, papul datar dan cenderung bergabung menjadi plak likenifikasi dengan sedikit skuama, dan sering tejadi eksoriasi dan eksudasi karena garukan. Lambat laun terjadi hiperpigmentasi(5). Lesi sangat gatal, terutama pada malam hari waktu beristirahat. Pada orang dewasa sering mengeluh bahwa penyakitnya kambuh bila mengalami stres. Mungkin karena stres dapat menurunkan ambang rangsang gatal. Penderita atopik memang sulit mengeluarkan keringat, sehingga rasa gatal timbul bila mengadakan latihan fisik. Pada umumnya D.A. remaja atau dewasa berlangsung lama, kemudian cenderung menurun dan membaik (sembuh) setelah usia 30 tahun, jarang sampai usia pertengahan; hanya sebagian kecil terus berlangsung sampai

11

tua. Kulit penderita D.A. yang telah sembuh mudah gatal dan cepat meradang bila terpajan oleh bahan iritan eksogen (5). Penderita atopik berisiko tinggi menderita dermatitis tangan, kira-kira 70% suatu saat dapat mengalaminya. D.A. pada tangan dapat mengenai punggung maupun telapak tangan, sulit dibedakan dengan dermatitis kontak. D.A. di tangan biasa timbul pada wanita muda setelah melahirkan anak pertama, ketika sering terpajan sabun dan air sebagai pemicunya2. Berbagai kelainan dapat menyertai DA, misalnya: hipedinearis palmaris, xerosis kutis, iktiosis, pomfoliks, pitiriasis alba, keratosis pilaris, lipatan Dennie Morgan, penipisan alis bagian luar (tanda Hertoghe), keilitis, katarak subkapsular anterior, lidah geografik, liken spinulosus, dan keratokonus (bentuk kornea yang abnormal). Selain itu penderita D.A. cenderung mudah mengalami kontak urtikaria, reaksi anafilaksis terhadap obat, gigitan atau sengatan serangga3.

Gambar 3. Dermatitis pada dewasa

IMUNOHISTOLOGI gambaran histopatologi D.A tidak spesifik. Lesi akut awal ditandai dengan spongiosis, eksositosis limfosit T, jumlah SL meningkat, Dermis : edema, bersebukan sel radang terutama limfosit T, makrofag, sel mas jumlahya masih dalam batas normal, tetapi dalam keadaan degranulasi, sebagian besar limfosit adalah sel T-CD4+, dan hanya sedikit sel T-CD8+. Kebanyakan sel T di kulit mengekspresikan CLA (cutaneus lymphocyte-associated antigen ), penting untuk

12

homing sel T di kulit. Sebagian besar sel T pada kulit D.A. juga mengekspresikan CD45RO pada permukaannya, menandakan bahwa sel tersebut adalah sel memori yang sebelumnya pernah bertemu antigen. Pembuluh darah kulit pada D.A. menunjukan peningkatan ekspresi molekul adesi E-selektin, VCAM-1 (vascular cell adhesion molecule -1), dan ICAM-1 (intercellular adhesion molecule-1) pada sel endotel.molekul ini penting untuk memfasilitasi masuknya sel radang yang berasal dari sumsum tulang di dalam sirkulasi masuk ke kulit4. Lesi kronis D.A. menunjukkan hyperkeratosis dan akantosis. Dermis bersebukan sel radang terutama makrofag dan eosinofil. Eosinofilia melepaskan major basic protein dan eosinofil cationic protein ke dalam kulit dan sirkulasi4.

2.6. DIAGNOSIS Diagnosis D.A. didasarkan kriteria yang disusun oleh Hanifin dan Rajka yang diperbaiki oleh kelompok kerja dari Inggris yang dikoordinasi oleh Williams (1994)3.

Kriteria mayor Pruritus Dermatitis di muka atau ekstensor pada bayi dan anak Dermatitis di fleksura pada dewasa Dermatitis kronis atau residif Riwayat atopi pada penderita atau keluarganya

Gambar 4. Dermatitis di muka atau ekstensor pada bayi dan anak

13

Kriteria minor

Gambar 5. Kriteria Minor

Xerosis Infeksi kulit (khususnya oleh S.aureus dan virus herpes simpleks) Dermatitis nonspesifik pada tangan atau kaki lktiosis/hipediniar palmads/keratosis pilaris Pitiriasis alba Dermatitis di papila mame White dermographism dan delayed blanch response Keilitis Lipatan infra orbital Dennie-Morgan Konjungtivitis berulang Keratokonus Katarak subkapsular anterior Orbita menjadi gelap Muka pucat atau eritem Gatal bila berkeringat Intolerans terhadap wol atau pelarut lemak Aksentuasi perifolikular

14

Hipersensitif terhadap makanan Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan atau emosi Tes kulit alergi tipe dadakan positif Kadar IgE di dalam serum meningkat Awitan pada usia dini3.

Diagnosis D.A. harus mempunyai tiga kriteria mayor dan tiga kriteria minor. Untuk bayi, kriteria diagnosis dimodifikasi yaitu: Tiga kriteria mayor berupa: riwayat atopi pada keluarga, dermatitis di muka atau ekstensor, pruritus,

ditambah tiga kriteria minor xerosis/iktiosis/hiperliniaris palmaris, aksentuasi perifolikular, fisura belakang telinga, skuama di skalp kronis3.

Kriteria major dan minor yang diusulkan oleh Hanifin dan Rajka didasarkan pengalaman klinis. Kriteria ini cocok untuk diagnosis penelitian berbasis rumah sakit (hospital based) dan eksperimental, tetapi tidak dapat dipakai pada penelitian berbasis populasi, karena kriteria minor umumnya ditemukan pula pada kelompok kontrol, di samping juga belum divalidasi terhadap diagnosis dokter atau diuji untuk pengulangan (repeatability). Oleh karena itu kelompok kerja Inggris (UK working party) yang dikoordinasi oleh William memperbaiki dan meyederhanakan kriteria Hanifin dan Rajka menjadi satu set kriteria untuk pedoman diagnosis D.A. yang dapat diulang dan divalidasi. Pedoman ini sahih untuk orang dewasa, anak, berbagai ras, dan sudah divalidasi dalam populasi, sehingga dapat membantu dokter Puskesmas membuat diagnosis3. Pedoman diagnosis D.A. yang diusulkan oleh kelompok tersebut yaitu: Harus mempunyai kondisi kulit gatal (itchy skin) atau dari laporan orang tuanya bahwa anaknya suka menggaruk atau menggosok3.

15

Ditambah 3 atau lebih kriteria berikut: 1. Riwayat terkenanya lipatan kulit, misalnya lipat siku, belakang lutut, bagian depan pergelangan kaki atau sekeliling leher (termasuk pipi anak usia di bawah 10 tahun). 2. Riwayat asma bronkial atau hay fever pada penderita (atau riwayat penyakit atopi pada keluarga tingkat pertama dari anak di bawah 4 tahun). 3. Riwayat kulit kedng secara umum pada tahun terakhir. 4. Adanya dermatitis yang tampak di lipatan (atau dermatitis pada pipi/dahi dan anggota badan bagian luar anak di bawah 4 tahun). 5. Awitan di bawah usia 2 tahun (tidak digunakan bila anak di bawah 4 tahun)4

PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Laboratorium Tidak ada hasil laboratorium yang spesifik yang dapat dipergunakan untuk menegakkan diagnosis dermatitis atopik. Hasil yang dapat ditemukan pada dermatitis atopik, misalnya kenaikkan kadar IgE dalam serum, mengurangnya jumlah sel-T ( terutama T-supresor) dan imunitas seluler, jumlah eosinofil dalah darah relatif meningkat3. 2. Dermatografisme putih Penggoresan pada kulit normal akan menimbulkan tiga respon yakni berturutturut akan terlihat: Garis merah ditempat penggoresan selama 15 detik, warna merah disekitarnya selama beberapa detik, edema timbul setelah beberapa menit. Penggoresan pada penderita yang atopi akan bereaksi belainan. Garis merah tidak disusul warna kemerahan, tetapi kepucatan selama 2 detik sampai 5 menit, sedangkan edema tidak timbul. Keadaan ini disebut dermatografisme putih3.

3. Percobaan asetil kolin

16

Suntikan secara intra kutan solusio asetilkolin 1/5000 akan menyebabkan hyperemia pada orang normal. Pada orang dengan dermatitis atopi akan timbul vasokonstriksi terlihat kepucatan selama satu jam3. 4. Percobaan histamin Jika histamin fosfat disuntikkan pada lesi penderita dermatitis atopi eritema akan berkurang dibandingkan orang lain sebagai kontrol. Kalau obat tersebut disuntikkan parenteral, tampak eritema bertambah pada kulit orang normal4.

2.7. DIAGNOSIS BANDING

D kontak alergi

psoriasis

Dermatitis numularis

nnnunumularis

Dermatitis seboroik

Gambar.6 Diagnosis Banding dermatitis atopik

Penyakit Seboroik dermatitis Psoriasis

Gambaran klinis Berminyak, skuama, riwayat keluarga tidak ada Lesi berwarna merah, skuama seperti mika, Plak pada daerah ekstensor, skalp, gluteus Gatal, soliter, riwayat keluarga tidak ada Riwayat kontak, ruam di tempat kontak, riwayat keluarga tidak ada

Neurodermatitis Dermatitis kontak

17

Skabies

Papul, sela jari, rasa gatal pada malam hari, distribusi lesi tidak khas, positif ditemukan tungau Vesikel berkelompok di daerah lipatan, simetris dan gatal Eritema merah menyala, yang universal disertai skuama dan rasa sangat gatal4

Dermatitis herpetiformis Sindroma sezary

2.8. PENATALAKSANAAN

Non Farmakologi Kulit penderita D.A. cenderung lebih rentan terhadap bahan iritan, oleh karena itu penting untuk mengidentifikasi kemudian menyingkirkan faktor yang memperberat dan memicu siklus gatal-garuk, misalnya sabun dan deterjen; kontak dengan bahan kimia, pakaian kasar, pajanan terhadap panas atau dingin yang ekstrim. Bila memakai sabun hendaknya yang berdaya larut minimal terhadap lemak dan mempunyai pH netral. Pakaian baru sebaiknya dicuci terlebih dahulu sebelum dipakai untuk membersihkan formaldehid atau bahan kimia tambahan. Mencuci pakaian dengan deterjen harus dibilas dengan baik, sebab sisa deterjen dapat bersifat iritan. Kalau selesai berenang harus segera mandi untuk membilas klorin yang biasanya digunakan pada kolam renang. Stres psikik juga dapat menyebabkan eksaserbasi DA5. serangan dermatitis pada bayi dan anak dipicu oleh iritasi dari luar, misalnya terlalu sering dimandikan; menggosok terlalu kuat; pakaian terlalu tebal, ketat atau kotor; kebersihan kurang terutama di daerah popok; infeksi lokal; iritasi oleh kencing atau feses; bahkan juga medicated baby oil. Pada bayi penting diperhatikan kebersihan daerah bokong dan genitalia; popok segera diganti, bila basah atau kotor. Upaya pertama adalah melindungi daerah yang terkena terhadap garukan agar tidak memperparah penyakitnya. Usahakan tidak memakai pakaian yang bersifat iritan (misalnya wol, atau sintetik), bahan katun lebih baik. Kulit

18

anak/bayi dijaga tetap tertutup pakaian untuk menghindari pajanan iritan atau trauma garukan5. Mandi dengan pembersih yang mengandung pelembab; hindari pembersih antibakterial karena berisiko menginduksi resistensi(1).

FARMAKOLOGI PENGOBATAN TOPIKAL

Hidrasi kulit. Kulit penderita D.A. kering dan fungsi sawarnya berkurang, mudah retak sehingga mempermudah masuknya mikroorganisme patogen, bahan iritan dan alergen. Pada kulit yang demikian perlu diberikan pelembab, misalnya krim hidrofilik urea 10%; dapat pula ditambahkan hidrokortison 1% di dalamnya. Bila memakai pelembab yang mengandung asam laktat, konsentrasinya jangan lebih dari 5%, karena dapat mengiritasi bila dermatitisnya masih aktif. Setelah mandi kulit dilap, kemudian memakai emolien agar kulit tetap lembab. Emolien dipakai beberapa kali sehari, karena lama kerja maksimum 6 jam3.

Kortikosteroid topikal. Pengobatan D.A. dengan kortikosteroid topikal adalah yang paling sering digunakan sebagai anti-inflamasi lesi kulit. Namun demikian harus waspada karena dapat terjadi efek samping yang tidak diinginkan3. Pada bayi digunakan salap steroid berpotensi rendah, misalnya hidrokortison 1 %-2.5%. Pada anak dan dewasa dipakai steroid berpotensi menengah, misalnya triamsinolon, kecuali pada muka digunakan steroid berpotensi lebih rendah. Kortikosteroid berpotensi rendah juga dipakai di daerah genitalia dan intertriginosa, jangan digunakan yang berpotensi kuat, misalnya fluorinated glucocorticoid. Bila aktivitas penyakit telah terkontrol, dipakai secara intermiten, umumnya 2 kali seminggu, untuk menjaga agar tidak cepat kambuh; sebaiknya dengan kortikosteroid yang potensinya paling rendah5.

19

Pada lesi akut yang basah dikompres dahulu sebelum digunakan steroid, misalnya dengan larutan Burowi, atau dengan larutan permanganas kalikus 1:500

Imunomodulator topical Takrolimus. Takrolimus (FK-506), suatu penghambat calcineurin, dapat diberikan dalam bentuk salap 0,03% untuk anak usia 2-15 tahun; untuk dewasa 0,03% dan 0,1%. Takrolimus menghambat aktivasi sel yang terlibat dalam D.A. yaitu: sel Langerhans, sel T, sel mas, dan keratinosit. Pada pengobatan jangka panjang dengan salep takrolimus, koloni S. aureus menurun. Tidak ditemukan efek samping kecuali rasa seperti terbakar setempat. Tidak menyebabkan atrofi kulit seperti pada pemakaian kortikosteroid; dapat digunakan di muka dan kelopak mata3.

Pimekrolimus. Dikenal juga dengan ASM 81, suatu senyawa askomisin yaitu imunomodulator golongan makrolaktam, yang pertama ditemukan dari hasil fermentasi Streptomyces hygroscopicus var. ascomyceticus. Cara kerja sangat mirip siklosporin dan takrolimus yang dihasilkan dari Streptomyces tsuku-baensis, walaupun ketiganya berbeda dalam struktur kimianya, yaitu bekerja sebagai prodrug, yang baru menjadi aktif bila terikat pada reseptor sitosolik imunofilin. Reseptor imunofilin untuk askomisin ialah makrofilin-12. Ikatan askomisin pada makrofilin-12 dalam sitoplasma sel T, akan menghambat calcineurin (suatu molekul yang dibutuhkan untuk inisiasi transkripsi gen sitokin), sehingga produksi sitokin TH1 ( IFN-y dan IL-2) dan TH2 ( IL-4 dan IL-10) dihambat. Askomisin juga menghambat aktivasi sel mas. Askomisin menghasilkan efek imunomodulator lebih selektif dalam menghambat fase elisitasi dermatitis kontak alergik, tetapi respons imun primer tidak terganggu bila diberikan secara sistemik, tidak seperti takrolimus dan siklosporin5. Derivat askomisin yang digunakan ialah krim SDZ ASM 981 konsentrasi 1%, mempunyai efektivitas sama dengan krim klobetasol-17- propionat 0.05%

20

(steroid superpoten), tidak menyebabkan atrofi kulit (setidaknya selama 4 minggu), aman pada anak dan dapat dipakai pada kulit sensitif misalnya pada muka dan lipatan. Cara pemakaian dioleskan 2 kali sehari3. Pimekrolimus dan takrolimus tidak dianjurkan pada anak usia kurang dari 2 tahun. Penderita yang diobati dengan pimekrolimus dan takrolimus dinasehati untuk memakai pelindung matahari karena ada dugaan bahwa kedua obat tersebut berpotensi menimbulkan kanker kulit2.

Preparat ter. Preparat ter mempunyai efek antipruritus dan anti-inflamasi pada kulit. Dipakai pada lesi kronis, jangan pada lesi akut. Sediaan dalam bentuk salap hidrofilik, misainya yang mengandung likuor karbonis detergen 5% sampai 10 %, atau crude coal tar 1 % sampai 5%3.

Antihistamin. Pengobatan D.A. dengan antihistamin topikal tidak dianjurkan karena berpotensi kuat menimbulkan sensitisasi pada kulit. Dilaporkan bahwa aplikasi topikal krim doksepin 5% dalam jangka pendek (satu minggu), dapat mengurangi gatal tanpa terjadi sensitisasi. Tetapi perlu diperhatikan, bila dipakai pada area yang luas akan menimbulkan efek samping sedatif1.

21

PENGOBATAN SISTEMIK

Kortikosteroid. Kortikosteroid sistemik hanya digunakan untuk mengendalikan eksaserbasi akut, dalam jangka pendek, dan dosis rendah, diberikan berselang-seling (alternate), atau diturunkan bertahap (tapering), kemudian segera diganti dengan

kortikosteroid topikal. Pemakaian jangka panjang menimbulkan berbagai efek samping, dan bila dihentikan, lesi yang lebih berat akan muncul kembali3.

Antihistamin. Antihistamin digunakan untuk membantu mengurangi rasa gatal yang hebat, terutama malam hari, sehingga mengganggu tidur. Oleh karena itu antihistamin yang dipakai ialah yang mempunyai efek sedatif, misalnya hidroksisin atau difenhidramin. Pada kasus yang lebih sulit dapat diberikan doksepin hidroklorid yang mempunyai efek antidepresan dan memblokade reseptor histamih H1 dan H2, dengan dosis 10 sampai 75 mg secara oral malam hari pada orang dewasa4.

Anti-infeksi. Pada D.A. ditemukan peningkatan koloni S. aureus. Untuk yang belum resisten dapat diberikan eritromisin, asitromisin atau, klaritromisin, sedang untuk yang sudah resisten diberikan dikloksasilin, oksasilin, atau generasi pertama sefalosporin. Bila dicurigai terinfeksi oleh virus herpes simpleks kortikosteroid dihentikan sementara dan diberikan per oral asiklovir 400 mg 3 kali per hari selama 10 hari, atau 200 mg 4 kali per hari selama 10 hari3.

Interferon. IFN-y diketahui menekan respons IgE dan menurunkan fungsi dan proliferasi sel TH2. Pengobatan dengan IFN-y rekombinan menghasilkan perbaikan klinis, karena dapat menurunkan jumlah eosinofil total dalam sirkulasi.

22

Siklosporin. D.A. yang sulit diatasi dengan pengobatan konvensional dapat diberikan pengobatan dengan siklosporin dalam jangka pendek. Dosis jangka pendek yang dianjurkan per oral: 5 mg/kg berat badan. Siklosporin adalah obat imunosupresif kuat yang terutama bekerja pada sel T akan terikat dengan cyclophilin (suatu protein intraselular) menjadi satu kompleks yang akan menghambat calcineurin sehingga transkripsi sitokin ditekan. Tetapi, bila pengobatan dengan siklosporin dihentikan umumnya penyakitnya akan segera kambuh lagi. Efek samping yang mungkin timbal yaitu peningkatan kreatinin dalam serum, atau bahkan terjadi penurunan fungsi ginjal dan hipertensi(3).

TERAPI SINAR (phototherapy) Untuk D.A. yang berat dan luas dapat digunakan PUVA

(photochemotherapy) seperti yang dipakai pada psoriasis. Terapi UVB, atau Goeckerman dengan UVB dan ter juga efektif. Kombinasi UVB dan UVA lebih baik daripada hanya UVB. UVA bekerja pada sel Langerhans dan eosinofil, sedangkan UVB mempunyai efek imunosupresif dengan cara memblokade fungsi sel Langerhans, dan mengubah produksi sitokin keratinosit(1). Terapi sinar di gunakan sebagai terapi tambahan karena dapat menyebabkan remisi panjang, namun berisiko menimbulkan penuaan kulit dini dan keganasan kulit pada pengobatan jangka lama. Sinar UVB lebih aman di bandingkan dengan UVA, yang di hubungkan dengan karsinoma sel skuamosa dan melanoma maligna. Fototerapi dipertimbangkan pada dermatitis atopic berat dan luas yang tidak responsive terhadap pengobatan topical. Fotokemoterapi tidak di anjurkan untuk anak usia kurang dari 12 tahun karena dapat mengganggu perkembangan mata.(5)

23

2.9.KOMPLIKASI

Infeksi sekunder akibat bakteri Merupakan komplikasi yang paling sering pada dermatitis atopic, yang di sebabkan oleh infeksi bakteri streptococcus b-hemolyticus, studi lain mengatakan staphylococcus merupakan 93% penyebab infeksi skunder pada lesi dermatitis atopic (6).

Infeksi jamur kulit Adanya gangguan epidermal barrier function, kelembaban dan maserasi mempengaruhi timbulnya kepekaan terhadap infeksi jamur, Faktor individu dan lingkungan sehari-hari juga berperan penting pada timbulnya komplikasi ini.

Infeksi virus Herpes simplek dan moluskum kontagiosum di laporkan sering di temukan pada dermatitis atopik.

Eritroderma Terjadi pada 4-14% kasus dermatitis atopik, keadaan ini terjadi karena karena pemakaian kortikosteroid sistemik pada kasus dermatitis atopik berat(5)

2.10.

PROGNOSIS Sulit meramalkan prognosis D.A. pada seseorang. Prognosis lebih buruk

bila kedua orang tuanya menderita DA. Ada kecenderungan perbaikan spontan pada masa anak, dan sering ada yang kambuh pada masa remaja. Sebagian kasus menetap pada usia di atas 30 tahun. Penyembuhan spontan D.A. yang diderita sejak bayi pernah dilaporkan terjadi setelah umur 5 tahun sebesar 40-60%, terutama kalau penyakitnya ringan. Sebelumnya juga ada yang melaporkan bahwa 84% D.A. anak berlangsung sampai masa remaja. Ada pula laporan, D.A. pada anak yang diikuti sejak bayi hingga remaja, 20% menghilang, dan 65 % berkurang

24

gejalanya. Lebih dari separo D.A. remaja yang telah diobati kambuh kembali setelah dewasa. Faktor yang berhubungan dengan prognosis kurang baik D.A. yaitu: DA luas pada anak menderita rinitis alergik dan asma bronkial riwayat D.A. pada orang tua atau saudara kandung awitan (onset) D.A. pada usia muda anak tunggal kadar igE serum sangat tinggi. Diperkirakan 30 hingga 50 persen D.A. infantil akan berkembang menjadi asma bronkial atau hay fever. Penderita atopi mempunyai risiko menderita dermatitis kontak iritan akibat kerja di tangan3.

25

BAB III KESIMPULAN

Dermatitis atopik adalah keadaan peradangan kulit kronis dan residif, disertai gatal yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak, sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat atopi pada keluarga atau penderita (dermatitis atopi, rhinitis alergika, asma bronkhiale, dan konjungtivitis alergika). Kelainan kulit berupa papul gatal yang kemudian mengalami ekskoriasi dan likinefikasi, distribusinya di lipatan(fleksura).

Simptom

utama dari dermatitis atopik ialah gatal. Gatal merupakan

masalah utama selama tidur, pada waktu kontrol kesadaran terhadap garukan menjadi hilang. Untuk bayi, dermatitis atopik dapat menyebabkan keadaan yang tidak menyenangkan dan mengganggu oleh karena iritasi di daerah kulit yang disertai rasa gatal, garukan, sampai terjadinya infeksi. Tidak ada penyembuhan yang total untuk dermatitis atopik, namun gejala yang timbul cenderung berkurang seiring dengan perjalanan usia.

Kortikosteroid topical Pengobatan D.A. dengan kortikosteroid topikal adalah yang paling sering digunakan sebagai anti-inflamasi lesi kulit. Namun demikian harus waspada karena dapat terjadi efek samping yang tidak diinginkan. Pada lesi akut yang basah dikompres dahulu sebelum digunakan steroid, misalnya dengan larutan Burowi, atau dengan larutan permanganas kalikus 1:5000. Pada pengobatan jangka panjang dengan salep takrolimus, koloni S. aureus menurun. Tidak ditemukan efek samping kecuali rasa seperti terbakar setempat. Tidak menyebabkan atrofi kulit seperti pada pemakaian kortikosteroid; dapat digunakan di muka dan kelopak mata.

26

DAFTAR PUSTAKA

1. Arif, Mansjoer,2000.kapita selekta kedokteran jilid 2, Jakarta : media Aesculapius. 2. Boediarja S.A,2006. Penatalaksanaan dermatitis atopik.Balai penerbit FKUI, Jakarta. Hal. 39-55 3. Djuanda, A.2009. ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi Kelima. Balai Penerbit FKUI, Jakarta. Hal 138 -147 4. Lubis, Ramona. 2008. Gambaran Dermatitis Atopic . Bagian penyakit Kulit, Universitas Sumatra Utara. 5. Siregar, RS. 2005. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit edisi ke-2. EGC. Jakarta 6. http://emedicine.medscape.com/article/Dermatitis-atopik.html,7April 2013. 7. Webmaster. Drmatitis atopik, Di unduh dari: http://www.umm.edu/imagepages/2459.htm pada 7 april 2013

27

You might also like