You are on page 1of 14

Definisi

Istilah alergi obat sering kali menimbulkan salah pengertian antara dokter dan penderita. Bagi dokter yang berkecimpung di bidang alergi-imunologi , istilah alergi obat berarti suatu reaksi yang dimediasi oleh IgE spesifik yang diikuti oleh pelepasan mediator akibat degranulasi sel mast dan basofil atau reaksi yang dimediasi oleh aktivasi sel T. Spektrum klinis reaksi alergi yang dimediasi oleh IgE spesifik terhadap suatu antigen (obat) meliputi urtikaria, angiodema, spasme otot polos bronkus , hipotensi dan gejala-gejala laindari anafilaksis reaksi alergi yang dimediasi oleh aktivasi sel T. Manifestasi kliniknya bervariasi mulai dari vaskulitis, kerusakan sel hingga destruksi kulit.Bagi penderita dan masyarakat umum , alergi obat berarti semua reaksi adversi yang timbul akibat pemakaian obat , tidak peduli apapun mekanismenya. Untuk keseragaman maka yang dimaksud dengan reaksi adversi terhadap suatu obat adalah setiap reaksi yang tidak dikehendaki/tidak disengaja yang timbul setelah pemakaian obat tertentu dalam dosis standar dan jalur pemberian yang benar, baik untuk tujuan diagnostik, pengobatan, maupun pencegahan suatu penyakit. Reaksi tersebut umumnya timbul beberapa waktu setelah pemberian obat yang dimaksud. Beberapa jenis reaksi adversi tersebut dapat terjadi pada semua orang , sedangkan beberapa jenis reaksi yang lain hanya terjadi pada orang-orang tertentu yang mempunyai bakat. Alergi obat yang dimediasi oleh IgE spesifik akan selalu muncul kembali setiap kali terjadi paparan ulang terhadap obat yang sama. Epidemiologi Reaksi adversi terhadap obat cukup sering dijumpai , merupakan 2-6% indikasi penderita rawat rumah sakit. Sekitar 15-30% penderita yang dirawat dirumah sakit mengalami reaksi adversi terhadap obat. Sebesar 0,1% penderita kasus nonbedah dan 0,01% penderita kasus bedah mengalami kematian akibat reaksi adversi tersebut. Obat utama yang seringkali menjadi penyebab adalah golongan antibiotika dan antiinflamasi nonsteroid (OAINS). Reaksi adversi terhadap obat yang terjadi selama pembiusan (pelemas otot, anestetik umum dan opiat) walaupun lebih jarang ( 1 diantara 6000 penderita yang menjalani pembiusan ) tetapi lebih gawat dengan mortalitas sekitar 6%. Sebagian besar reaksi adversi terhadap obat tidak memiliki dasar alergi. Reaksi alergi obat ( yang dimediasi oleh IgE) hanya merupakan 6-10% dari reaksi adversi terhadap obat yang dapat diamati.secara umum, risiko terjadinya reaksi alergi untuk suatu jenis obat berkisar antara 1-3%. Klasifikasi reaksi Adversi terhadap obat Reaksi adversi terhadap obat dapat dibagi menjadi 2 golongan besar yaitu reaksi yang tidak terkait langsung dengan efek obat dan reaksi yang terkait langsung dengan efek obat. Reaksi adversi yang tidak terkait langsung dengan efek obat meliputi : 1. Reaksi psikogenik , misalnya reaksi vasovagal terhadap injeksi yang dapat bermanifestasi sebagai kegelisahan , mual muntah , dadan lemas atau syncope dan 2. Reaksi koinsidental , yang sebenarnya merupakan manifestasi dari penyakit dasar tetapi disalahartikan sebagai reaksi adversi terhadap obat yang kebetulan diberikan kepada penderita, misalnya eksantema kulit akibat

infeksi virus pada penderita yang mendapat antibiotika. Sedangkan reaksi adversi yang terkait langsung dengan efek obat dapat dibagi lagi menjadi : 1. Reaksi yang dapat timbul pada semua orang 2. Reaksi yang hanya timbul pada orang tertentu yang memiliki bakat Usaha untuk mengklasifikasikan reaksi adversi tersebut mungkin membantu, namun pada kenyataannya tidaklah mudah menggolongkan suatu reaksi terhadap obat ke dalam suatu kelompok tertentu karena manifestasi klinisnya yang beraneka ragam dan banyaknya interaksi antara obat dan inang, yang sebagian masih belum dapat dipahami mekanismenya. Sedikitnya pemeriksaan laboratorium yang tersedia untuk menegakkan diagnosis alergi obat membuat dokter hanya dapat mengandalkan datadata klinis.

Klasifikasi reaksi adversi terhadap obat

A. Reaksi yang tidak terkait langsung dengan efek obat 1. Reaksi psikogenik 2. Reaksi koinsindental B. Reaksi yang terkait langsung dengan efek obat 1. Reaksi adversi yang dapat terjadi pada semua orang a. Overdosis : keracunan obat b. Efek samping c. Efek sekunder d. Interaksi obat

1. a. Overdosis/ keracunan Obat

Efek toksik suatu obat terkait langsung dengan konsentrasi lokal atau sistemik obat tersebut di dalam tubuh. Efek tersebut biasanya dapat diprediksi berdasarkan hasil uji coba pada binatang dan akan timbul pada setiap orang bila batas nilai ambang toksiknya dilewati ( misalnya depresi pernafasan

akibat overdosis obat sedatif). Setiap obat memiliki sifat toksik tersendiri.overdosis dapat terjadi secara tidak disengaja tatu kadang-kadang sebagai suatu percobaan bunuh diri. Gangguan metabolisme atau eksresi obat juga dapat menimbulkan overdosis . Toksisitas morfin meningkat pada penderita penyakit hati (hati tidak mampu mendetoksifikasi obat). Pada penderita gagal ginjal obat golongan aminoglikosida ( yang dalam keadaan normal dieksresi melalui ginjal) akan mengalami dan menyebabkan efek toksik

b. Efek samping Efek samping adalah reaksi adversi terhadap obat yang paling sering dijumpai. Di pandang dari sudut pengobatan , efek samping suatu obat sebenarnya tidak dikehendaki, namun sering kali tidak dapat dihindari karena merupakan efek farmakologis obat yang diberikan dalam dosis yang normal. Suatu obat umumnya memiliki beberapa efek farmakologis , salah satu diantaranya mungkin merupakan efek yang tidak dikehendaki. Obat antihistamin generasi pertama biasanya menimbulkan efek samping berupa sedasi. Obat antikolinergik menimbulkan efek samping mulut kering , penglihatan kabur dan retensi urine. Obat-obatan yang lain mungkin memiliki efek samping yang tidak segera dapat dikenali, termasuk diantaranya efek teratogenik atau karsinogenik. c. Efek sekunder Efek sekunder suatu obat tidak terkait secara langsung dengan efek farmakologis utama obat tersebut dan dapat dianggap sebagai sesuatu yang secara alamiah terjadi sebagai konsekuensi pemberian obat. Pemberian antibiotika dapat menginduksi pelepasan antigen mikrobial dan endotoksin oleh kuman-kuman yang mati , misalnya reaksi jarish-herxeimer pada penderita sifilis atau leptospirosis yang diobati dengan penicilin. Pemberian antibiotika tertentu ( ampicillin , klindamisin atau sefalosporin) dapat menyebabkan pertumbuhan berlebihan kuman clostridium difficile akibat hilangnya kompetisis antarkuman. Toksin yang diproduksi oleh kuman tersebut dapat menyebabkan timbulnya kolitis pseudomembran. d. Interaksi obat Interaksi obat pada umumnya merupakan modifikasi efek suatu obat oleh obat lain yang kebetulan telah diberikan sebelumnya atau diberikan secara bersama-sam. Tidak semua interaksi obat bersifat membahayakan , beberapa diantaranya malah memberikan manfaat klinis . semakin banyak jumlah obat yang diberikan pada seorang penderita , makin besar kemungkinan terjadinya interaksi obat. Obat antihistamin generasi kedua seperti terfenadin dan asemizol ( dimetabolisir oleh

sistem enzim sitokrom p-450), bila diberikan bersama-sama dengan obat yang menghambat kerja sistem enzim tersebut, seperti golongan imidazol atau antibiotika makrolid akan menyebabkan peningkatan konsentrasi antihistamin yang dapat menimbulkan perpanjangan interval QT, torsades de pointes atau kelainan irama jantung lainnya. 2. a. Intoleransi intoleransi adalah timbulnya efek farmakologis yang khas dari suatu obat pada penderita-penderita tertentu , meskipun diberikan dalam dosis yang kecil. Penderita pada umumnya memiliki bakat genetik yang mengakibatkan rendahnya nilai ambang terapeutik suatu obat bagi dirinya. Penderita tertentu sangat peka terhadap efek sedasi obat antihistamin, sedangkan penderita yang lain sangat peka terhadap efek batuk penghambat angiotensin converting enzyme (ACE).

b. Reaksi idiosinkrasi Idionsikrasi adalah respons tidak terduga terhadap suatu obat yang secara kualitatif abnormal dan berbeda dari efek farmakologis obat tersebut. Walaupun dapat menyerupai tidak terbukti melibatkan mekanisme alergi. Contoh idiosinkrasi yang paling sering adalah timbulnya anemia hemolitik pada penderita defisiensi enzim glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD) yang mendapatkan primakuin , sulfonamid, nitrofuran atau analog vitamin K. Kloramfenikol dapat menimbulkan reaksi idiosinkrasi berupa anemia aplastik. Obat penghambat ACE dapat menimbulkan reaksi idiosinkrasi berupa angiodema yang parah. c. Reaksi Alergi Reaksi alergi terhadap obat hanya terjadi pada sekelompok penderita tertentu , merupakan reaksi tidak terduga yang secara kuantitatif abnormal, dan melalui mekanisme imunologis. Untuk memastikan bahwa mekanisme imunologis memang terlibat dalam reaksi adversi terhadap suatu obat harus dapat dibuktikan adanya antibodi spesifik , limfosit T yang tersensitisasi atau kedua-duanya. Namun nyatanya hal itu sulit diperoleh . Diagnosis umumnya didasarkan pada pengamatan klinis dan pada kasus-kasus tertentu dengan uji paparan ulang terhadap obat yang dicurigai ( pada kondisi yang dapat dikendalikan) Reaksi alergi terhadap suatu obat perlu dipikirkan bila terdapat beberapa kriteria klinis dan laboratoris tertentu. Reaksi tipe segera (immediate reaction) terjadi dalam beberapa menit setelah paparan obat dengan manifestasi anafilaksis. Reaksi tipe cepat (accelerated reaction) terjadi setelah 1 jam hingga 3 hari setelah paparan obat , sering kali muncul berupa urtikaria, angiodema, bercak-bercak(rash) pada kulit terutama eksantema dan demam. Reaksi tipe lambat (delayed/late reaction) muncul lebih dari 3 hari setelah paparan obat dengan manifestasi berupa rash kulit , demam obat, reaksi yang menyerupai serum sickness , reaksi pada paru, hepar,ginjal , vaskulitis atau reaksi yang menyerupai lupus

eritematosus. Karena kriteria klinis saja belum cukup untuk menegakkan diagnosis , maka disarankan pemeriksaan imunoglobulin spesifik. Sebelum hasil pemeriksaan tersebut diperoleh maka adanya alergi obat hanya didasarkan pada dugaan. kriteria klinis kecurigaan adanya reaksi alergi obat : Manifestasi klinis yang diamati tidak sesuai dengan efek farmakologis obat Bila sebelumnya belum pernah terpapar dengan obat yang dicurigai, gejala reaksi alergi biasanya muncul setelah > 1 minggu paparan secara terus-menerus. Setelah sensitisasi, walaupun sudah bertahun-tahun sebelumnya , reaksi alergi dapat muncul secara cepat segera setelah paparan ulang terhadap obat tersebut. Gejala dapat menyerupai reaksi alergi lainnya, seperti anafilaksis , urtikaria , asma, serum sickness , eksantema, demam, infiltrat paru eosinofilik, hepatitis,nefrtis interstitial akut, dan sindroma lupus sering kali merupakan manifestasi hipersensitivitas terhadap obat Gejala dapat ditimbulkan kembali dengan memberikan kembali obat yang dicurigai atau senyawa lain yang memiliki struktur kimiawi serupa walaupun dengan dosis kecil Adanya peningkatan hitung eosinofil darah tepi mendukung kecurigaan Adanya antibodi atau limfosit T spesifik terhadap obat yang dicurigai atau terhadap metabolitnya. Gejalanya berangsur-angsur menghilang dalam beberapa hari setelah pemberian obat dihentikan d. Reaksi Pseudoalergi/Anafilaktoid Pseudoalergi atau reaksi anafilaktoid adalah reaksi sitemik tipe segera yang disebabkan oleh pelepasan mediator sel mast melalui mekanisme yang tidak melibatkan IgE. Walaupun manifestasi klinisnya sangat menyerupai reaksi yang dimediasi oleh IgE, reaksi ini tidak memerlukan paparan sebelumnya terhadap obat atau bahan yang dicurigai.obat golongan opiat , vancomisin , polimiksin B dapat menyebabkan urtikaria atau angiodema. Golongan OAINS dapat menyebabkan asma atau bahkan anafilaksis. Imunopatogenesis Alergi Obat Sifat alegenik suatu obat tergantung pada sifat-sifat kimiawinya.Obat dengan berat molekul yang besar (>4000 dalton) dan struktur yang kompleks sangat besar kemungkinannya membangkitkan respon imun dan menimbulkan reaksi hipersensitivitas. Obat yang struktur molekulnya sederhana dengan berat molekul <1000 dalton merupakan hapten yang bersifat nonimunogenik. Obat tersebut harus berikatan secara kovalen dengan makromolekul lain (carrier) sebelum mampu

menimbulkan respons imun. Adanya obat-obatan lain yang diberikan secara bersama-sama mungkin menimbulkan interaksi yang dapat meningkatkan sifat alergenik suatu obat. Faktor Resiko Timbulnya Alergi Obat Beberapa faktor diketahui dapat mempengaruhi timbulnya reaksi adversi terhadap obat sealin struktur dan berat molekul suatu obat antara lain cara/jalur pemberian obat, dosis dan lama pemberian , usia dan jenis kelamin penderita ,faktor genetik , riwayat atopi , kecepatan metabolisme suatu obat, riwayat timbulnya reaksi adversi terhadap obat, sensitivitas silang antarbeberapa obat, adanya obat-obatan lain yang diberikan secara bersama-sama dan adanya penyakit dasar tertentu. Pemberian obat melalui kulit memiliki risiko lebih besar untuk menimbulkan alergi dibandingkan pemberian intramuskuler atau intravena. Dibandingkan pemberian secara parnteral, pemberian obat secara oral lebih jarang menimbulkan anafilaksis. Dosis dan lama pemberian hidralasin merupakan faktor penentu timbulnya lupus eritematosus akibat obat tersebut. Anemia hemolitik akibat penissilin timbul setelah pemberian dosis tinggi jangka panjang.kemungkinan timbulnya alergi obat lebih banyak terjadi pada orang dewasa dibandingkan anak-anak.penderita dengan riwayat atopi memiliki kecenderungan lebih besar untuk mengalami reaksi pseudoalergi, terutama terhadap media kontras. Penderita yang secara genetik termasuk slow acetylator lebih mudah mengalami lupus eritematosus setelah pemberian hidralasin atau prokainamid. Gen HLA tertentu berasosiasi dengan risiko timbulnya alergi obat. Penderita dengan riwayat alergi penissilin memiliki risiko lebih besar untuk mengalami alergi terhadap karbapenem, cepalosforin atau antibiotika lain non--laktam. Penderita yang terinfeksi virus (misalnya virus epstein barr) lebih sering mengalami reaksi berupa rash makulopapuler pada pemberian ampicilin. Penderita yang mendapat terapi penyekat adrenergik memiliki resiko lebih tinggi untuk mengalami anafilaksis.
Faktor yang terkait dengan Faktor risiko timbulnya alergi obat obat dan cara pemberian Sifat kimiawi obat Sifat imunogenik obat atau metabolitnya Cara/jalur pemberian Dosis dan lama pemberian obat Faktor terkait penderita Usia dan jenis kelamin Faktor genetik tipe HLA Riwayat atopi dan alergi obat dalam keluarga Riwayat reaksi simpang terhadap suatu obat dimasa lampau Sensitivitas silang antar beberapa obat Penyakit dasar penderita (misalnya infeksi virus)

Mekanisme Imunopatologi Penggolongan tipe reaksi alergi obat dapat diklasifikasikan menurut organ yang terkena atau menurut mekanisme kerusakan jaringan akibat reaksi imunologis Gell dan Coombs (tipe I sampai dengan IV). Tipe I (Hipersensivitas Tipe Cepat) Manifestasi yang terjadi merupakan efek mediator kimia akibat reaksi antigen dengan IgE yang telah terbentuk menyebabkan kontraksi otot polos. Meningkatnya permeabilitas kapiler serta hipersekresi kelenjar mukus. a) Kejang bronkus gejalanya berupa sesak, kadang kadang kejang bronkus disertai kejang laring. Bila disertai edema laring keadaan karena pasien tidak dapat atau sangat sulit bernapas. b) Urtikaria, c) Angiodema, d) Pingsan dan hipotensi. Renjatan anafilatik dapat terjadi beberapa menit setelah suntikan seperti penisilin. Manifestasi klinis renjatan anafilatik dapat terjadi dalam waktu 30 menit setelah pemberian obat, karena hal tersebut mengenai beberapa organ dan secara potensial membahayakan. Reaksi ini sering disebut sebgai anafilaksis. Penyebab yang tersering adalah penisilin. Pada tipe I ini terjadi beberapa fase yaitu : a. Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE; b. Fase aktivasi yaitu fase yang terjadi karena paparan ulang antigen spesifik. Akibat aktivasi ini sel mast basofil mengeluarkan kandungan yang berbentuk granual yang dapat menimbulkan reaksi; c. Fase efektor yaitu fase terjadinya respon imun yang kompleks akibat pelepasan mediator. Reaksi hipersensivitas tipe II atau reaksi sitotaksik

terjadi karena terbentuknya IgM atau IgG oleh pajanan antigen. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel sel yang memiliki reseptornya (FcgR). Ikatan antibodi antigen juga dapat mengaktifkan komplemen melalui reseptor komplemen. Manifestasi klinis reaksi alergi tipe II umumnya berupa kelainan darah seperti anemia hemolitik, trombositopena, eosinofilia dan granulasitopenia. Nefritis interstisial dapat juga merupakan reaksi alergi tipe ini. Tipe III Reaksi kompleks imun terjadi bila kompleks ini mengendap pada jaringan. Antibodi yang berperan di sini ialah IgM dan IgG. Kompleks ini akan mengaktifkan pertahanan tubuh yaitu dengan penglepasan komplemen. Manifestasi klinis reaksi alergi tipe III dapat berupa : a. Demam; b. Limfadenopati; c. Kelainan sendia, artralgia dan efusi sendi; d. Urtikaria, angiodema, eritema, makulopapula, eritema multiforme. Gejala tersebut sering disertai pruritis; e. Lainnnya seperti kejang perut, mual, neuritis optik, glomerulonefritis, sindrom lupus eritematosus sistemk serta vaskulitis. Gejala tadi timbul 5 20 hari setelah pemberian obat, tetapi bila sebelumnya pernah mendapat obat tersebut gejalanya dalam waktu 1 5 hari. Tipe IV Delayed Type Hypersensitivity (DTH) Tipe IV atau Tipe lambat juga dikenal sebagai Cell Mediated Imunity (reaksi imun seluler). Pada reaksi ini tidak ada peranan antibodi. Reaksi terjadi karena respon sel T yang telah disensitasi oleh antigen tertentu. Berbagai jenis Delayed Type Hypersensitivity (DTH) antara lain : a. Cutaneous Basophil Hypersensitivity; b. Hipersensivitas kontak (kontak dermatits); c. Reaksi tuberkulin; d. Reaksi granuloma. Manifestasi klinis reaksi alergi tipe IV dapat berupa reaksi paru akut seperti demam, sesak, batuk, infiltrat paru dan efusi pleura. Obat yang tersering menyebabkan reaksi ini yaitu nitrofurantoin, nefritis intersyisial, ensefalomielitis

dan hepatitis. Namun, dermatitis merupakan manifestasi yang paling sering. Kadang kadang gejala baru timbul bertahun tahun setelah sensitasi. Contohnya, pemakaian obat tropikal (sulfa, penisilin atau antihistamin). Bila pasien telah sensitif, gejala dapat muncul 18 24 jam setelah obat dioleskan. Suatu obat ,misalnya penisillin atau turunannya (amoxicilin, ampicilin dll) , dapat menimbulkan beberapa jenis reaksi alergi. Anafilaksi dan urtikaria setelah pemberian penissilin merupakan contoh reaksi tipe I. Anemia hemolitik setelah pemberian penissilin dosis tinggi yang menetap merupakan contoh reaksi tipe II. Suatu reaksi yang menyerupai serum sickness sering kali muncul setelah pemberian penisilin , merupakan reaksi tipe III. Sedangkan dermatitis kontak akibat pemberian penisilin topikal di masa lalu merupakan contoh reaksi tipe IV. Obat obatan tertentu ( media kontras, opiat, OAINS) dapat memicu pelepasan mediator sel mast secara langsung tanpa melibatkan IgE. Obat-obatan yang lain dapat menimbulkan reaksi imunologis melalui aktivasi limfosit T (rash morbiliformis akibat pemberian sulfonamid) atau ikatan antara Fas/fasligand yang memicu apoptosis ( sindroma steven johnson atau Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) akibat pemberian sulfonamid atau antikonvulsan). Manifestasi Alergi Obat Manifestasi klinis alergi obat dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu reaksi yang melibatkan multiorgan (sistemik) dan reaksi yang secara spesifik mengenai suatu organ tertentu. Reaksi yang melibatkan Multiorgan (sistemik) Reaksi tipe segera Reaksi sistemik akut terhadap obat merupakan keadaan gawat darurat. Istilah anafilaksis hanya digunakan untuk reaksi sistemik yang dimediasi oleh IgE. Sedangkan reaksi anafilaktoid digunakan untuk reaksi sistemik yang gejalanya menyerupai anafilaksis namun terjadi melalui mekanisme non IgE. Obat yang sering dikaitkan dengan anafilaksis antara lain antibiotika laktam, ekstrak alergen , antisera heterolog , insulin , vaksin, streptokinase , cisplatin dan lateks. Obat yang sering dikaitkan dengan reaksi anafilaktoid , antara lain media kontras , aspirin , OAINS , dekstran , obat anestetik, protamin ,vancomisisn, dan ciprofloxasin. Umumnya reaksi terjadi dalam 30 menit setelah paparan. Bila tidakl segera dilakukan pengobatan yang tepat , kematian bisa terjadi dalam hitungan menit akibat kolaps kardiovaskuler atau obstruksi saluran nafas. Sebagian besar terjadi setelah pemberian obat parenteral , namun dapat pula terjadi pada pemberiansecara oral, perkutan maupun inhalasi.semakin cepat waktu antara awal paparan obat dan awal timbulnya gejala , biasanya semakin berat derajat reaksinya. Gejala pada umumnya menghilang dengan cepat setelah pengobatan yang tepat , namun kadang

kala terus menetap hingga 24 jam atau lebih , dengan kemungkinan timbulnyakekambuhan akibat pelepasan mediator reaksi fase lambat. Serum sick ness Serum sickness timbul akibat pemberian antisera heterolog.sedangkan reaksi yang menyerupai serum sickness dapat ditimbulkan oleh obat-obatan nonprotein , khususnya antibiotika lactam. Antisera heterolog saat ini masih digunakan untuk melawan toksin, misalnya serum anti bisa ular , serum anti sengatan laba-laba black widow, serum anti difteri dan rabies. Beberapa obat yang dapat menimbulkan reaksi yang menyerupai serum sickness antara lain ciprofloxacin, metronidazol, streptomicin , sulfonamid, allopurinol, karbamazepin , metimazol, tiourasil, dan propanolol. Gejala demam, lesu, erupsi kulit , nyeri sendi dan limfadenopati muncul 6-21 hari setelah paparan obat. Periode laten ini menggambarkan waktu yang diperlukan untuk membentuk antibodi. Munculnya gejala adalah bersamaan dengan timbulnya kompleks imun. Pada penderita yang telah tersensitisasi reaksi bisa timbul 2-4 hari setelah paparan obat. Demam obat Demam merupakan salah satu reaksi reaksi hipersensitivitas terhadap obat yang diduga melalui mekanisme imunologis . penderita dapat mengalami demam tinggi disertai menggigil. Adanya rash kulit mendukung kecurigaan adanya reaksi obat. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan leukositosis (shift to the left) dan peningkatan laju endap darah yang menyerupai proses infeksi. Sering kali didapatkan pula abnormalitas tes faal hati. Demam segera turun dalam 48-72 jam setelah obat dihentikan, tetapi timbul kembali dalam beberapa jam bila obat kembali diberikan. Otopsi pada penderita yang meninggal dunia akibat demam obat menunjukkan adanya arteritis dan nekrosis fokal pada beberapa organ seperti otot jantung , paru dan hati. Drug-induced lupus erythematosus Keadaan ini dapat ditimbulkan oleh beberapa obat antara lain , hidralazin , prokainamid , izoniasid , klorpromasin , metildopa , kuinidin , penyekat , obat antitiroid , antikonvulsan , penisilamin , dan sulfasalazin. Demam , malaise , nyeri sendi dan otot , radang selaput paru dan penurunan berat badan bisa saja timbul segera setelah paparan , namun pada umumnya gejala klinis baru muncul beberapa bulan setelah pemakaian obat. Manifestasi pleuroperikardial lebih sering dijumpai , sedangkan gambaran klasik seperti malar rash , lesi diskoid , ulserasi rongga mulut, fenomena raynaud, alopesia , kelainan ginjal dan susunan saraf pusat agak jarang ditemukan. Gejala klinis tersebut biasanya menghilang dalam beberapa hari setelah penghentian obat, namun kadang-kadang terus menetap atau kambuh-kambuhan selama beberapa bulan sebelum akhirnya menghilang. Vaskulitis hipersensitivitas

Vaskulitis hipersensitivitas ditandai oleh inflamasi dan neksrosis pada pembuluh darah . organ atau jaringan yang banyak memiliki aliran pembuluh darah merupakan tempat predileksi utama.kelainan ini dapat terjadi pada semua kelompok usia , namun paling sering pada dekade kelima. Beberapa obat yang terkait antara lain, diuretika , penisilin , sulfonamid ,tiourasil , iodida dan alopurinol. Gambaran klinis tersering berupa purpura yang dapat diraba pada kulit ekstremitas bawah dan daerah sakral.demam , malaise , nyeri otot, dan anoreksia dapat menyertai lesi kulit. Kadang-kadang dijumpai pula radang glomerulus , nyeri dan radang sendi , nyeri abdomen dan perdarahan saluran cerna , infiltrat paru , dan neuropati perifer. Gejala berangsur-angsur menghilang setelah obat dihentikan. Reaksi sitemik yang melibatkan multiorgan
Anafilaksis ( dimediasi oleh IgE) Reaksi anafilaktoid (dimediasi oleh non IgE) Serum sickness dan reaksi yang menyerupai serum sickness Demam obat Drug induced autoimmunity Drug induced systemic lupus erythematosus Vaskulitis

Reaksi yang mengenai organ spesifik Manifestasi kulit Erupsi kulit merupakan manifestasi reaksi simpang terhadap obat yang paling sering dijumpai. Erupsi dapat berupa lesi eksantemateus atau morbiliformis. Sebagian besar bersifat ringan atau sedang dan menghilang sendiri dalam beberapa hari.namun adakalanya sangat berat dan mengancam jiwa seperti pada sindroma steven johnson atau TEN. Tanda-tanda yang menunjukkan bahwa gejalanya serius adalah urtikaria , lepuh kulit , terlibatnya mukosa , edema facial , ulserasi, purpura yang dapat diraba, demam, limfadenopati dan eosinofilia. Manifestasi kulit lainnya

dapat berupa urtikaria dan angiodema , pruritus , dermatitis kontak , fixed drug eruption , erythema multiforme , dermatitis eksfoliativa , fotosensitivitas , purpura dan erythema nodosum. Manifestasi paru Manifestasi paru pada umumnya berupa asma , infiltrat paru disertai eosinofilia , pneumonia disertai fibrosis dan edema paru nonkardiogenik. Obat-obatan sering kali menjadi penyebab kekambuhan akut asma. Paparan obat bisa saja melalui inhalasi , oral , parenteral maupun tetes mata. Aspirin dan OAINS merupakan penyebab pada lebih dari dua per tiga kekmbuhanasma akibat obat. Obat-obatan lain meliputi penyekat , penghambat kolinesterase , penghambat ACE, serta sulfit dan metabisulfit. Infiltrat paru disertai eosinofilia berkaitan dengan penggunaan sulfonamid , penisilin , OAINS , karbamazepin , metrotexat , nitrofurantoin , dan kromolin sodium. Amiodaron terutama bila diberikan dengan dosis > 400 mg/hari selama > 2 bulan merupakan penyebab pneumonitis dan fibrosis yang utama. Obatobatan lain meliputi bleomisin sulfat , busulfan ,klorambusil , siklofosfamid , hidroksiurea ,dan mitomisin . edema paru nonkardiogenik dapat disebabkan oleh hidroklorotiazid , kokain , heroin atau metadon. Manifestasi hematologis Eosinofilia , trombositopenia , anemia hemolitik , dan agranulositosis merupakan manifestasi hematologis reaksi adversi terhadap obat. Kadang-kadang gejala tersebut muncul tanpa disertai gejala pada orang lain.awal munculnya gejala sangat cepat, sedangkan menghilangnya gejala membutuhkan waktu 1-2 minggu setelah penghentian obat. Eosinofilia dapat disebabkan oleh garam emas , alopurinol ,acetosal ,ampisilin , antidepresan trisiklik , karbamazepin , digitalis , fenitoin , sulfonamid, dan streptomisin. Trombositopenia timbul dengan manifestasi kulit berupa petechiae , ecchymoses, perdarahan saluran cerna , hemoptoe , hematuria , dan perdarahan vaginal.beberapa obat yang sering menyebabkan trombositopenia antara lain kuinidin , sulfonamid garam emas dan heparin. Manifestasi hepatik Hati merupakan organ yang rentan terhadap reaksi alergi obat karena tingginya konsentrasi obat di hati sesudah ditelan. Hati juga merupakan tempat biotransformasi obat menjadi metabolit yang potensial bersifat toksik. Contoh paling sering obat yang bersifat hepatotoksik adalah parasetamol dosis tinggi. Manifestasi lain alergi obat dapat berupa ikterus akibat kolestasis atau kerusakan hepatoseluler. Pada kolestasis alkali fosfatase serum bisa meningkat 2-10 kali nilai normal , sementara transaminase serum hanya sedikit meningkat.kerusakan hepatoseluler dapat menyerupai hepatitis virus namun memiliki mortalitas yang lebih tinggi. Sepuluh hingga 20% dari kasus hepatitis fulminan disebabkan oleh reaksi obat.transaminase serum meningkat tinggi , disertai ikterus. Obat-obat yang

sering dikaitkan dengan kerusakan hepatoseluler adalah halotan, isoniazid , nitrofurantoin ,alopurinol , dan sulfonamid. Manifestasi ginjal Ginjal juga merupakan organ yang rentan terhadap reaksi alergi obat. Nekrosis tubuler dapat timbul setelah syok anafilaktik atau hemolisis akibat reaksi terhadap obat tertentu.walaupun jarang beberapa kelainan ginjal , seperti glomerulitis, sindroma nefrotik dan nefritis intersitial akut (NIA) telah dilaporkan sebagai manifestasi alergi obat. Garam emas , captopril , heroin ,OAINS , penisilamin dan probenesid sering dikaitkan sebagai penyebab sindroma nefrotik, sedangkan NIA sering dikaitkan dengan obat-obatan seperti metisilin (antibiotika laktam). Rifampisin , derivat sulfonamid , metildopa , cimetidin , ciprofloxacin , OAINS , kaptopril dan alopurinol. NIA harus dicurigai bila terdapat penurunan fungsi ginjal akut disertai demam , rash kulit , nyeri sendi , eosinofilia , proteinuria , mikrohematuria yang timbul beberapa hari hingga beberapa minggu setelah pemberian suatu obat. Manifestasi jantung Miokarditis merupakan salah satu manifestasi alergi obat. Beberapa obat yang sering dikaitkan sebagai penyebab antara lain sulfonamid , metildopa , penisilin dan derivatnya. Kecurigaan adanya miokarditis akibat alergi obat perlu dipikirkan bila terdapat perubahan elektrokardiogram disertai takikardia yang tidak jelas penyebabnya, peningkatan enzim-enzim jantung, kardiomegali dan eosinofilia. Manifestasi neurologis Kerusakan susunan saraf pusat atau perifer akibat alergi obat sangat jarang dijumpai. Neuritis perifer mungkin terjadi akibat pemberian garam emas , colchisin , nitrofurantoin , dan sulfonamid. Pemberian vaksin dapat menimbulkan ensefalomielitis.

Manifestasi kulit Eksantema/erupsi morbiliformis Urtikaria dan angiodema Dermatitis kontak Eritema multiforme Fixed drug eruptions Toxic Epidermal Necrolysis

Manifestasi hematologis Eosinofilia Trombositopenia Agranulositosis Anemia Hemolitik

Manifestasi hepatik Kolestasis Kerusakan hepatoseluler

Manifestasi paru Asma Infiltrat paru disertai eosinofilia Pneumonitis dan fibrosis Edema paru nonkardiogenik

Manifestasi Ginjal Glomerulitis , sindroma nefroti Intersitial nefritis akut

Manifestasi jantung, Neurologis

You might also like