You are on page 1of 10

TUGAS DASAR-DASAR PENANGKAPAN IKAN OLEH : THRESIA, ASTERINA, ATHIF

JENIS ALAT TANGKAP DI RAWA PENING

I PENDAHULUAN A. Latar belakang RawaPening merupakan perairan terbuka yang berpotensi untuk dimanfaatkan untuk menghasilkan pendapatan daerah melalui produksi ikan. Dalam rangka dimanfaatkan secara optimal, sangat penting untuk menentukan berbagai spesies ikan yang ada, terutama yang memiliki kepentingan ekonomi, tingkat eksploitasi saat ini, dan capacuty tercatat habitat. Semua informasi ini penting digunakan sebagai dasar untuk merumuskan strategi pengelolaan yang tepat. Dalam rangka mewujudkan perikanan tangkap yang berkelanjutan (sustainable fisheries cupture) sesuai dengan ketentuan pelaksanaan perikanan yang bertanggung jawab (FAO Code of conduct for Responsible Fisheries/CCRF) maka eksploitasi sumberdaya hayati laut harus dapat dilakukan secara bertanggung jawab (Responsible fisheries). Data dari SOFIA (The State of World Fisheries and Aquaculture) menyatakan bahwa 5 % dari perikanan dunia dalam status deplesi atau penurunan produksi secara terus menerus, 16 % telah dieksploitasi secara berlebihan dan melampaui batas optimim produksi, 52 % telah penuh eksploitasi, 23 % pada tahap moderat yang artinya produksinya masih dapat ditingkatkan meskipun dalam jumlah yang kecil, 3 % sumberdaya ikan masih dibawah tingkat eksploitasi optimumnya dan hanya 1 % yang dalam proses pemulihan melalui program-program konservasi. Berdasarkan pernyataan di atas, untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan perlu dikaji penggunaan alat-alat penangkapan ikan yang ramah lingkungan dari segi pengoperasian alat penangkapan ikan, daerah penangkapan dan lain sebagainya sesuai dengan tata laksana untuk perikanan yang bertanggungjawab atau Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). Teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan adalah suatu alat tangkap yang tidak memberikan dampat negatif terhadap lingkungan, yaitu sejauh mana alat tangkap tersebut tidak merusak dasar perairan, tidak berdampak

negatif terhadap biodiversity, target resources dan non target resources. Oleh sebab itulah dirancanglah bermacam macam alat tangkap yang ramah lingkungan sehingga dapat mengurangi kerusakan kerusakan yang sering terjadi pada saat penangkapan dan dapat meningkatkan hasil tangkapan nelayan. Dalam rangka Pengelolaan Sumberdaya Perikanan, baik perikanan skala kecil maupun perikanan skala menengah dan skala besar (industri) pihak pemerintah selalu berupaya melakukan pembaharuan atau modifikasi alat tangkap dan penerapan regulasi perikanan yang sesuai dengan perkemabangan ilmu pengetahuan dan teknologi penangkapan, Sedangkan pihak masyarakat dan perusahaan perikanan diharapkan dapat memenuhi dan mentaati atau mematuhi regulasi perikanan, sehingga diharapkan terciptanya pengelolaan sumberhayati perikanan yang berkelanjutan, bertanggung jawab dan ramah lingkungan. Sehingga dari penjelasan diatas maka perlu untuk memahami dan mengetahui penggunaan alat tangkap sehingga tidak merusak biota, habitat, dan sumberdaya yang lainnya.

B. Tujuan

Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut : 1. Mengetahui sejarah alat tangkap di Rawapening dan permasalahannya 2. Dapat mengetahui alat tangkap yang digunakan di Rawapening

II LANDASAN TEORI

A. Study Area Rawa Pening ("pening" berasal dari "bening") adalah danau sekaligus tempat wisata air di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Dengan luas 2.670 hektare ia menempati wilayah Kecamatan Ambarawa, Bawen, Tuntang, dan Banyubiru. Rawa Pening terletak di cekungan terendah lereng Gunung Merbabu, Gunung Telomoyo, dan Gunung Ungaran. Danau ini mengalami pendangkalan yang pesat. Pernah menjadi tempat mencari ikan, kini hampir seluruh permukaan rawa ini tertutup eceng gondok. Gulma ini juga sudah menutupi Sungai Tuntang, terutama di bagian hulu. Usaha

mengatasi spesies invasif ini dilakukan dengan melakukan pembersihan serta pelatihan pemanfaatan eceng gondok dalam kerajinan, namun tekanan populasi tumbuhan ini sangat tinggi. Menurut legenda, Rawa Pening terbentuk dari muntahan air yang mengalir dari bekas cabutan lidi yang dilakukan oleh Baru Klinthing. Cerita Baru Klinthing yang berubah menjadi anak kecil yang penuh luka dan berbau amis sehingga tidak diterima masyarakat dan akhirnya ditolong janda tua ini sudah berlalu. Rawa ini digemari sebagai obyek wisata pemancingan dan sarana olahraga air. Namun akhir-akhir ini, perahu nelayan bergerak pun sulit

(http://id.wikipedia.org/wiki/Rawa_Pening).

III HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Sejarah alat tangkap yang digunakan di Rawa Pening pertama kali adalah pancing, dimana perairan masih jernih dan banyak ikan di dalamnya. Seiiring berjalannya waktu, Rawa Pening mulai dipenuhi dengan enceng gondok, dan sampai sekarang belum bisa teratasi. Retnaningsih, peneliti dari Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Diponegoro Semarang, dalam rapat revitalisasi Rawa Pening yang diadakan Kementerian Lingkungan Hidup, menyebutkan, endapan di danau itu mencapai 270-880 kilogram per hari. Ia juga menyebutkan, 70 persen dari danau seluas 2.500 hektar itu kini ditutupi tumbuhan air eceng dan volume air juga sudah berkurang hingga 30 persen. Dengan kondisi demikian, pada tahun 2021, atau 8 tahun lagi, Rawa Pening diprediksi menjadi daratan(Tim penyusun.2004) Dulu mencari ikan di danau sangat mudah. Kini, nelayan harus bekerja keras menyingkap eceng gondok untuk menuju tengah danau. Belum lagi ketika menjaring ikan, jaring tersangkut eceng gondok. Akibatnya nelayan justru merugi. Eceng gondok meluas dan banyaknya nelayan yang mencari penghidupan, membuat beberapa nelayan menangkap dengan racun dan alat setrum ikan. Meskipun masih ada nelayan yang menggunakan alat tangkap dengan alat yang tidak merusak lingkungan, tetap saja beberapa nelayan yang memakain racun dan

alat setrum merugikan nelayan yang lainnya. Ini terjadi karena sempitnya lahan mencari ikan karena tertutup eceng gondok. Menurut seorang nelayang di Rawa Pening, Dulu pernah disemprot dan berhasil, danau menjadi bersih. Bahkan sempat jadi tempat lomba dayung. Tapi itu dulu sekali. Terakhir, eceng gondok diangkat, lalu dijadikan humus untuk sawah, tetapi tidak semua, sehingga eceng gondok kembali berkembang pesat.

1. Bubu

Bubu adalah alat tangkap yang umum dikenal dikalangan nelayan, yang berupa jebakan, dan bersifat pasif. Bubu sering juga disebut perangkap traps dan penghadang guiding barriers .

Bubu merupakan alat tangkap yang umum dikenal dikalangan nelayan. Variasi bentuk bubu banyak sekali hampir setiap daerah perikanan mempunyai model bentuk sendiri seperti bentuk sangkar, silinder, gendang, segi tiga memanjang (kubus), dll. Bahan bubu umumnya dari anyaman bambu, secara garis besar bubu terdiri dari bagian-bagian badan, mulut dan pintu. Bubu termasuk alat perangkap (traps) artinya alat tangkap ini berupa jebakan dan alat tangkap ini sifatnya pasif. Badan bubu berupa rongga, tempat dimana ikan-ikan terkurung, mulut bubu berbentuk seperti corong, merupakan pintu dimana ikan dapat pengambilan hasil tangkapan.

Dilihat dari cara operasional penangkapannya bubu dapat dibedakan menjadi 3 golongan : - Bubu dasar (ground fishpot) - Bubu apung (floating fishpot) - Bubu hanyut (drifting fishpot) Alat bantu penangkapan bubu antara lain : umpan, perahu, katrol, perahu, umpan, dan rumpon
2. Pancing

Pancing adalahsalahsatualatpenangkap yang terdiri dari dua komponen utama,yaitu : tali (line) dan mata pancing (hook). Jumlah mata pancing berbeda-beda, yaitu mata pancing tunggal, ganda, bahkan sampai ribuan.

Prinsip alat tangkap ini merangsang ikan dengan umpan alam atau buatan yang dikaitkan pada mata pancingnya. Alat ini pada dasarnya terdiri dari dua komponen utama yaitu tali dan mata pancing. Namun, sesuai dengan jenisnya dapat dilengkapi pula komponen lain seperti :tangkai (pole), pemberat(sinker), pelampung (float), dankili-kili (swivel) Cara pengoperasiannya bisa di pasang menetap pada suatu perairan, ditarik dari belakang perahu/kapal yang sedang dalam keadaan berjalan, dihanyutkan, maupun langsung diulur dengan tangan. Alat ini cenderung tidak destruktif dan sangat selektif.
3. Jaring Bandrong

Jaring bandrong adalah jaring angkat yang berbentuk empat persegi panjang atau bentuk bujur sangkar, dibuat dari waring (bandong rebon) atau waring karuna, dari benang katun (banrong). Jaring banrong dikelompokkan ke dalam alat tangkap jaring angkat (lift nets). Menurut ukurannya, banrong dapat dibagi menjadi dua yaitu : bandrong besar dan bandrong kecil Bandrong terdiri dari beberapa bagian yaitu tiang penyanggah yang biasa terbuat dari bambu atau kayu yang berfungsi sebagai panahan agar banrong dapat berdiri biasanya terdiri dari 6 buah tiang, jala-jala terdapat pada banrong besar yang berfungsi sebagai pintu penutup sebelum bibir jaring utama terangkat ke permukaan air tali pengangkut yang berfungsi untuk mengangkat jaring saat ikan telah terkumpul pada banrong, tali pembentang yang berfungsi sebagai tempat terkaitnya sisi jaring, pemberat yang terbuat dari timah atau batu kali dan yang terakhir jaring terbuat dari bahan katun yang merupakan tempat ikan terkumpul. Parameter utama dari banrong ini adalah besar atau kecil jaring yang digunakan dan lama waktu perendaman jaring bandrong (Mulyono,1986). Nelayan yang dibutuhkan pada penoperasian pada jaring banrong besar sebanyak 4-5 orang, sedangkan banrong kecil hanya 1-2 orang. Mereka bertugas mengawasi ikan yang sudah terkumpul dan mengangkatnya. Alat bantu yang digunakan dalam pengoperasian jaring banrong adalah serok yang berfungsi untuk mengambil hasil tangkapan yang telah terkumpul dalam jaring. Daerah pengoperasian adalah perairan pantai, disepanjang pantai yang terlindung dari gelombang besar dan di perairan terumbu karang, serta di muara-muara sungai sepanjang aliran sungai. Hasil tangkapan banrong pada

umumnya adalah ikan pelagis. Hasil tangkapan utama adalah tembang (Sardinella fimbriata), teri (Stolephorus sp), Belanak (Beolopthalmus bodarti ). Hasil tangkapan sampingan adalah tongkol (Auxis sp)
4. Anco

Jaring angkat anco (portable lift nets) adalah jaring angkat yang dipasang menetap di perairan, berbentuk empat persegi panjang, terdiri dari jaring yang keempat ujungnya diikat pada dua bambu yang di belah dan kedua ujungnya dihaluskan (diruncingkan) kemudian dipasang bersilangan satu sama lain dengan sudut 90 derajat. Berdasarkan cara pengoperasiannya, anco tetap diklasifikasikan ke dalam kelompok jaring angkat (lift nets). Anco atau portable lift nets termasuk lat tangkap yang sangat sederhana, terbuat dari bambu sebagai alat untuk menaik dan menurunkan jarin, mata jaring anco relatif lebih kecil kecil karena penangkapan tujuan penangkapan ikan adalah ikan-ikan kecil seperti ikan petek, lebar jaring anco sangat bervariasi dari 1m dan ada pula yang sampai 5m. Alat ini bila dioperasikan harus dengan bantuan lampu atau umpan untuk menarik ikan Al a t i ni bi l a di oprasikan harus dengan bantuan lampu atau umpan untuk menarik ikan. Anco tetap dioperasikan dengan cara jarring diturunkan kea rah dasar perairan pantai, muara sungai dan teluk-teluk yang relative dangkal dengan muka jaring menghadap ke dalam perairan. Setelah ikan terkumpul, lalu secara perlahan jaring diputar atau dibalik dan diangkat kea rah permukaan hingga kumpulan ikan berada di dalam jarring. Kemudian hasil tangkapan diangkat dari jaring. B. Pembahasan Sejak dulu hingga sekarang perkembangan eceng gondok

(Eichorniacrassipes) di Rawapening Kabupaten Semarang takpernahbisadiatasi. Akibatnya perkembang biakannya yang makin meluas mengganggu aktivitas nelayan di wilayah KecamatanTuntang, Bawen, Ambarawa, dan Banyubiru Kabupaten Semarang. Jika dilihat sekilas keberadaan Rawapening ini wajar-wajar saja, namun jika kita terjun kedalamnya,danau tersebut tampaknya sedang ''sakit''. Akibatnya, warga yang menggantungkan hidupnya dari Rawapening termasuk ribuan petani dan

nelayan dari empat kecamatan di wilayahKabupaten Semarang pun menangis bertahun-tahun untuk memperoleh ikan sekilo per hari sangat sulit Hal itu disebabkan mulai sesaknya lahanu ntuk mencari ikan. Kesesakan ini terjadi akibat makin banyaknya jumlah nelayan di sekitar Rawapening yang mencari ikan atau mendirikan keramba-keramba ikan. Mereka yang mencari ikan di danau tersebut, memang tak hanya nelayan di sekitarRawapening, akan tetapi juga nelayan liar. Mereka sama-sama menggantungkan hidupnya pada Rawapening. Akibatnya, terjadilah persaingan dalam mencari ikan, sehingga rawan konflik pula. Meski pemerintah Kabupaten (Pemkab) Semarang telah menerbitkan aturan tentang pembagian zona penangkapan ikan melalui Perda Nomor 25 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Budi Daya Ikan di Rawapening (sebagai

perbaruanPerdaNomor 16 Tahun 1999), fakta di lapangan ternyata masih menunjukkan banyaknya nelayan yang melanggar batas zona yang ditentukan. Itu semua karena desakan kebutuhan untuk mendapatkan ikan, sehingga perda-perda yang ada hanya menjadi cetak biru saja. Permasalahan social ekonomi yang muncul di seputar Rawapening terjadi ketika daya dukung tidak mampu lagi menjadi penyangga tuntutan penduduk, pengusaha, dan tuntutan pembangunan yang terus meningkat. Dari catatan Paguyuban Tani Nelayan Sedyo Rukun pada 1999, ada 1.503 tani nelayan yang mencari dan membudidayakan ikan di danau tersebut. Namun disebutkan pada catatan lain, bahwa pada 2002, perkembagan nelayan dan pekerja lain melonjak dua kali lipatnya atau menjadi sekitar 3.000 orang. Apabila tiap anggota keluarga nelayan dan pekerja lain ada tiga orang, maka paling tidak terdapat 9.000 orang yang menggantungkan hidupnya pada Rawapening. Mereka berasal dari sepuluh desa, yakni DesaAsinan, Bejalen, Banyubiru, Kebondowo, Rowoboni, Rowosari, Sraten, Kesongo, Lopait, dan DesaTuntang. Kesepuluh desaitu tersebar di empat kecamatan yakni Kecamatan Banyubiru, Bawen, Ambarawa, dan Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang. Ketua Forum Rembuk Rawapening Wibowo mengatakan, masalah penangkapan ikan oleh nelayan memang terjadi sejak lama. Sebelum tahun 1991, sebenarnya masyarakat sekitar Rawapening memiliki rasa kepemilikan yang besar terhadap Rawapening. Namun, setelah diterbitkan Perda Nomor 16 Tahun 1991 tentang Pengelolaan Sumber Daya Ikan di Rawapening, ternyatahampir 70 %

pengguna alat tangkap ikan tidak diperbolehkan (dilarang). Mereka yang tadinya dilarang, merasa bersalah mengambil sikap mendiamkan saudara-saudaranya yang mengambil ikan dengan alat tangkap racun dan setrum. Pemakaian alat yang merusak lingkungan ini terjadi hingga tahun 1999. Akibatnya, penyalahgunaan kedua alat tangkap itu sempat merajarela beberapa saat Akibat masyarakat tidak memperdulikan penyalahgunaan alattangkap setrum danr acun itu, pendapatan ekonomi masyarakat turun drastis. Bila biasanya pendapatan nelayan dalam mencari ikan rata-rata mencapaiRp 15 ribu/hari, dengan merajalelanya penggunaan racun dan setrum, turun menjadi Rp 5 ribu/hari. Di lain pihak, penghasilan mereka dulu yang memakai alat tangkap racun dansetrum mencapai Rp 50 ribu/hari. Dari alat tangkap yang dipergunakan di Rawapening, contonya bubu merupakan alat tradisional tangkap ikan yang sangat aman digunakan serta aman terhadap lingkungan, dan tidak merusak. Kearifan lokal masyarakat dalam menangkap ikan tersebut merupakan salah satu cara masyarakat setempat menjaga kelestarian lingkungan dan habitatnya, sebab dengan menggunakan alat ini keberadaan ikan dan lingkungan tetap terjaga tidak habis diambil. Dalam kaitannya dengan pemeliharaan lingkungan terutamamen jaga habitat kehidupan laut, maka alat tradisional bubu ini sangat baik untuk digunakan. Peralatan ini juga sangat murah tidak memerlukan modal yang banyak untuk membuat alat ini. Untuk alat tangkap pancing,alat tangkap ini sangat ramah lingkungan, alat tangkap ini tidak membahayakan nelayan dan tidak membahayakan ikan-ikan yang di tangkap. Alat tangkap ini juga selektif, sehingga ikan yang tidak ingin di tangkap tidak dilukai dan tidak diambil oleh nelayan. Hasil tangkapan juga tidak berlebihan, sehingga dapat mengatur agar tidak over fishing. Dari aspek social sendiri pancing atau yang disebut juga long line ini sangat di terima oleh masyarakat. Untuk alat tangkap jarring angkat dan anco ini sangat mirip, karena anco sering disebut juga masuk dalam jenis alat tangkap jarring angkat. Kedua alat tangkap ini dinilai ramah lingkungan jika dilihat dari jenis jaring yang di gunakan. Jika jaringnya digunakan berukuran kecil, itu sangat rawan terhadap ekosistem perairan karena bisa dimungkinkan ikan-ikan kecil juga ikut terangkat, sehingga dapat menyebabkan kerusakan ekosisem. Namun untuk pengunaan di Rawapening sendri kedua alat tangkap ini wajar-wajar saja, hanya saja untuk anco, alat tangkap

ini di pasang di Rawapening dan banyak yang memasang. Sehingga perbandingan luas rawa dengan jumlah penguna tidak seimbang hingga memicu overfishing. Namun, kedua alat ini sangat membantu masyarakat dalam hitungan jumlah tangkapan karena alat tangkap ini bias menangkap banak dalam sekali angkat. Oleh masyarakat alat ini dinilai sangat membantu perekonomian dalam bidang perikanan. Dalam beberapa hal yang perlu disoroti disini adalah ekosistem yang ada di Rawapening, dimana ekosistem kurang terjaga dengan baik. Perlu adanya kerjasama antara pemerintah dengan warga setempat dalam menjaga ekosistem di Rawapening. Seperti membersihkan enceng gondok yang ada di permukaan perairan yang sangat sulit untuk dibasmi, dan juga menjaga perairan dari sampah dan bahan-bahan kimia yang dapat mencemari perairanan. Kemudian, dalam menangkap ikan di Rawapening diharapkan masyarakat tetap menggunakan alat tangkap ikan yang ramah lingkungan. Perstiwa yang terjadi pada tahun pada sebelum 1999 adalah sebagai pembelajaran bahwa alat tangkap racun dan setrum akan mengakibatkan hal-hal yang buruk bagi para nelayan setempat. Sehingga tidak ada over fishing di perairan Rawapening dan para nelayan tetap dapat menangkap ikan meskipun perebutan sumber daya ikan sangat tinggi di antara nelayan. IV KESIMPULAN 1. Rawapening merupakan sumber penhidupan bagi masyarakat yang berada di sekitarnya. Pernah terjadi penyalahgunaan alat tangkap dengan menggunakan setrum dan racun yang tidak ramah lingkungan sehingga terjadi kerusakan ekosistem hingga tahun 1999. Permasalahan yang terjadi hingga saat ini adalah eceng gondok yang menutupi perairan di Rawapening 2. Alat tangkap yang digunakan di Rawapening adalah bubu, pancing, jarring bandrong, dan anco.

V SARAN Perlu adanya kerjasama antara pemerintah dengan masyarakat dalam menjaga ekosistem di perairan Rawapening

You might also like