You are on page 1of 32

BAB 1 PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat nonspesifik dan imunitas spesifik ialah sistem imunitas humoral yang secara aktif diperankan oleh sel limfosit B, yang memproduksi 5 macam imunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE) dan sistem imunitas seluler yang dihantarkan oleh sel limfosit T, yang bila mana ketemu dengan antigen lalu mengadakan diferensiasi dan menghasilkan zat limfokin, yang mengatur sel-sel lain untuk menghancurkan antigen tersebut. Bilamana suatu alergen masuk ke tubuh, maka tubuh akan mengadakan respon. Bilamana alergen tersebut hancur, maka ini merupakan hal yang menguntungkan, sehingga yang terjadi ialah keadaan imun. Tetapi, bilamana merugikan, jaringan tubuh menjadi rusak, maka terjadilah reaksi hipersensitivitas atau alergi. Reaksi alergi akut yang mengenai beberapa organ tubuh secara simultan (biasanya system kardiovaskular, respirasi, kulit, dan gastrointestinal) disebut sebagai reaksi anafilaksis (ana=balik; phylaxis=perlindungan). Dalam hal ini respon imun yang seharusnya melindungi (prophylaxis) justru merusak jaringan (Syamsu, 2001). Anafilaksis merupakan manifestasi dari hipersensitivitas tipe cepat di mana individu yang peka terpajan suatu antigen spesifik atau hapten yang mengakibatkan gangguan pernapasan yang mengancam jiwa, biasanya diikuti oleh kolaps vaskular serta syok dan disertai dengan urtikaria, pruritus, dan angioedema (Dorland, 1998). Sedangkan menurut Guyton (1997). anafilaksis merupakan kondisi alergi di mana curah jantung dan tekanan arteri seringkali menurun dengan hebat. Anafilaksis terutama disebabkan oleh suatu reaksi antigen-antibodi yang timbul segera setelah suatu antigen, yang sensitive untuk seseorang, telah masuk ke dalam sirkulasi. Angka kejadian yang pasti sukar diperoleh karena sering tidak dilaporkan. Diperkirakan 0,4 kasus perjuta penduduk pertahun dan di rumah sakit diperkirakan 0,6 perseribu pasien. Di Amerika Serikat diperkirakan 1-2 % pasien
Page | 1

yang disuntik penisilin mengalami reaksi anafilaksis dan 400-800 di antaranya meninggal pertahun. Reaksi anafilaktiod oleh zat kontras 5% dari pengguna dan 250-1000 orang di antaranya meninggal pertahun. Reaksi anafilaksis oleh makanan sukar ditentukan oleh karena tidak ada data yang akurat. Diperkirakan 1/5 1/3 penduduk dunia pernah mengalami reaksi alergi makanan. Reaksi anafilaksis lebih sering terjadi pada mereka yang mempunyai riwayat atopi atau reaksi alergi sebelumnya. 1.2 Rumusan masalah 1.2.1 Apa definisi dari anafilaksis? 1.2.2 Bagaimana epidemilogi dari anafilaksis? 1.2.3 Bagaimana etiologi dari anafilaksis? 1.2.4 Apa saja zat-zat yang menimbulkan reaksi anafilaksis? 1.2.5 Bagaimana patogenesis dari anafilaksis? 1.2.6 Bagaimana gambaran klinis pasien pasien dengan anafilaksis? 1.2.7 Bagaimana diagnosa pada pasien dengan anafilaksis? 1.2.8 Bagaimana pengobatan pada pasien dengan anafilaksis? 1.2.9 Bagaimana prognosis dari anafilaksis? 1.2.10 Bagaimana pencegahan anafilaksis? 1.2.11 Bagaimana penatalaksanaan pada pasien dengan anafilaksis? 1.2.12 Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan anafilaksis? 1.3 Tujuan 1.3.1 Tujuan Umum Setelah mengikuti seminar tentang anafilaksis ini peserta diharapkan mampu untuk mengetahui,melaksanakan dan memahami anafilaksis beserta asuhan keperawatan nya. 1.3.2 Tujuan Khusus a. Mampu menjelaskan definisi dari anafilaksis b. Mampu menjelaskan epidemiologi dari anafilaksis c. Mampu menjelaskan dan menyebutkan etiologi dari anafilaksis d. Mampu menyebutkan zat-zat yang dapat menimbulkan reaksi
Page | 2

e. Mampu menjelaskan patogenesis dari anafilaksis f. Mampu menjelaskan gambaran klinis pasien dengan anafilaksis g. Mampu menjelaskan diagnosa pada pasien dengan anafilaksis h. Mampu menjelaskan pengobatan pada pasien dengan anafilaksis i. Mampu menjelaskan prognosis dari anafilaksis j. Mampu menjelaskan pencegahan anafilaksis k. Mampu menjelaskan penatalaksanaan pada pasien dengan anafilaksis l. Mampu menjelaskan asuhan keperawatan anafilaksis

1.4 Manfaat Mahasiswa mampu melakukan pemberian asuhan keperawatan pada pasien dengan masalah anafilaksis.

Page | 3

BAB 2 PEMBAHASAN 2.1 Definisi Anafilaksis Anafilaksis adalah suatu alergi yang bersifat akut, menyeluruh dan bisa menjadi berat. Anafilaksis terjadi pada seseorang yang sebelumnya telah mengalami sensitisasi akibat pemaparan terhadap suatu allergen. Anafilaksis tidak terjadi pada kontak pertama dengan allergen. Pada pemaparan kedua atau pemaparan berikutnya, terjadi suatu reaksi alergi. Reaksi ini terjadi secara tiba-tiba, berat dan melibatkan seluruh tubuh. Anafilaksis merupakan reaksi alergi yang serius. Muncul dengan cepat dan bisa berakibat fatal. Jenis reaksi ini merupakan keadaan darurat medis dan perlu pertolongan segera. Bagi siapa pun mengalami reaksi anafilaksis, epinefrin harus segera diberikan diikuti dengan perawatan lebih lanjut dan transfer ke rumah sakit Menurut Brunner & Suddart (2002) anafilaksis merupakan respon klinis terhadap reaksi imunologi cepat (hipersensitivitas tipe I) antara antigen yang spesifik dan antibody. Reaksi tersebut terjadi akibat antigen IgE dengan cara berikut: a Antigen melekat pada antibody IgE yang terikat dengan membrane permukaan sel mast serta basofil dan menyebabkan sel-sel target ini diaktifkan b Sel mast dan basofil kemudian melepas mediator yang menyebabkan perubahan vaskuler; pengaktifan trombosit, eosinofil serta neutrofil; dan pengaktifan rangkaian peristiwa koagulasi.

Tipe-tipe reaksi anafilaksis:

Page | 4

Reaksi local Reaksi anafilaksis local biasanya meliputi urtikaria serta angioedema pada tempat kontak dengan antigen dan dapat merupakan reaksi yang berat tetapi jarang fatal.

Reaksi sistemik Reaksi sistemik terjadi dalam tempo kurang lebih 30 menit sesudah kontak dalam system organ berikut ini: kardiovaskuler, respiratorius, gastrointestinal, dan integument.

2.2 Epidemiologi Insidensi anafilaksis secara pasti belum diketahui, sebagian besar disebabkan oleh belum jelasnya definisi dari sindrom itu sendiri. Anafilaksis yang fatal relatif jarang, pada individu yang benar-benar mengalami anafilaksis, hampir 1% terjadi kematian. Bentuk yang lebih ringan lebih sering terjadi. Insidensi anafilaksis di Amerika Serikat per tahun diperkirakan 30 kasus per 100.000 orang per tahun (81.000 kasus per tahun). Suatu survey di Australia menyebutkan 0,59% dari anak-anak berusia 3-17 tahun mengalami sedikitnya satu kejadian anafilaksis. Suatu penelitian epidemiologi menyebutkan anafilaksis sekarang lebih sering terjadi pada komunitas daripada di pusat kesehatan. Angka kejadiannya meningkat pada individu dengan status sosioekonomi baik. Insiden tertinggi terjadi pada anak-anak dan remaja. Sampai usia 15 tahun, predileksinya adalah pada laki-laki, namun setelah usia 15 tahun, predileksinya pada wanita. Terdapat kecenderungan perbedaan faktor pencetus pada kelompok usia yang berbeda-beda, sebagai contoh, anafilaksis fatal yang dicetuskan oleh makanan puncaknya terjadi pada remaja dan dewasa muda, sedangkan anafilaksis fatal yang dicetuskan oleh sengatan serangga, zat-zat yang

Page | 5

digunakan untuk diagnostik, dan obat-obatan terjadi terutama pada usia pertengahan dan dewasa lanjut. Dari studi epidemiologi meperlihatkan tiap tahun sebesar 30/100.000 orang dan 21/100.000 rata-rata insidensinya tiap tahun. Gejala dan tanda yang menyertai, dimana tanda dan gejala kulit (100%), pernapasan (69%), oral dan gastroentistinal (24%), dan kardiovaskuler (41%). Menurut Neugut et al dari hasil surveinya, diperkirakan bahwa antara 3.3 dan 43 milyar orang di USA mempunyai resiko untuk mengalami reaksi anapilaksis. Baru-baru ini diperkirakan antara 1453 sampai 1503 orang meninggal tiap tahunnya akibat anapilaktik atau reaksi anapilaksis (disebabkan makanan 100, penicillin 400, media radiokontras 900, latex 3, getah 40-100). Dari data yang diperoleh menunjukkan bahwa anapilaksis merupakan masalah serious kesehatan di USA.(6,7,8,9) 2.3 Etiologi Berbagai zat atau keadaan dapat menyebabkan reaksi anafilaksis/anafilaktoid. Ada yang berupa antigen seperti protein (serum, hormone, enzim, bisa binatang, makanan, dan sebagainya), atau polisakarida, juga ada yang berupa hapten yang nanti bertindak sebagai antigen apabila berikatan dengan protein (antibiotik, anastesi lokal, analgetik, zat kontras, dan lain-lain). Antigen tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui oral, suntikan/sengatan, inhalasi, atau topikal. Di samping itu ada juga penyebab yang tidak bersifat antigen. Secara umum penyebab anafilaksis/anafilaktoid dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1. Obat a. Molekul besar : hormone insulin, ACTH, estrogen, relaksin, kortison

Page | 6

b. Antibiotik

penisilin,

streptomisin,

klorampenikol,

sulfonamide, kanamisin, dll. c. Kemoterapeutik klorambusil, dll. d. Vaksin : difteri, morbili, parotitis, influenza, pertusis, rabies, tetanus, tipoid. 2. Makanan a. Ikan : cakalang, lemuru, salmon, sardine, lele, layang. b. Udang : kepiting, cumi-cumi, kerang, teripang. c. Kacang tanah, kacang kedelai, kacang mete, ercis, coklat. d. Susu, telur, jamur, daging tupai, daging sapi, daging kelinci, daging ayam, daging rusa. e. Buah : nanas, mangga, nangka, apel, rambutan, langsap, durian, strawberi, salak, jeruk, pisang, jagung, f. Bumbu atau rempah : lada, pala, seledri, cengkeh, adas, asam,lombok, jahe, bawang, ragi, vanili, kayu manis. 3. Bisa/cairan binatang : a) serangga, b) ular, laba-laba, c) ubur-ubur, dan d) beberapa jenis ikan atau hewan air. 4. Getah tumbuhan : lateks, perekat akasia. 5. Bahan kosmetik/industri : cat rambut, parfum, pelurus rambut, pemutih kulit, pengawet kayu, penyamak, cat. : siklosporin, metotreksat, melfalan,

Page | 7

6. Faktor lisis : panas, dingin, getaran, cahaya, tekanan. 7. Faktor kolinergik dan kegiatan jasmani 2.4 Zat Zat yang menimbulkan reaksi Anafilaksis Zat-zat yang sering menyebabkan terjadinya reaksi anafilaksis dapat dibagi atas : a Mediator IgE Protein (kelapa,ikan,kerang-kerangan,telur) Antiserum ( tetanus,dan antitoksin dipteri ) Hormon, enzim ( insulin, vasopressin, paratohormone ,ACTH dan TSH ) Enzim (Tripsin, kimotripsin, penisilinase, streptokinase) Bisa binatang atau Sengatan lebah penyengat, lebah madu,semut api Ekstrak allergen Vaksin (Antilimsofitik Gamma Globulin) Bahan-bahan tumbuhan (Alang-alang, rumput, pohon) Bahan-bahan bukan tumbuhan (Kutu, bulu anjing dan kucing, dan hewan uji coba laboratorium Makanan (Susu, telur, ikan laut, kacang,padi-padian, biji-bijian, gelatin pada kapsul) Polisakarida Dekstran dan ferum dekstran b Mediator komplemen Reaksi transfusi dengan defisiensi IgA dan metrotreksat c Mediator arakidonat Aspirin dan NSAID d Yang dibebaskan sel mast secara langsung Opiad, tubokurarin, radiokontras dan hidralasin serta olah ragae. e Golongan protamin dan antibiotikaGolongan Penisilin, amfotericin B, nitrofurantoin, golongan kuinolon
Page | 8

f Anastesi local Prokain, lidokain g Relaksan otot Suxamethonium, gallamine, pancuronium h Vitamin Thiamin, asam folat i Agen untuk diagnostic Sodium dehidrokolat, sulfobromophthalein j Bahan kimia yang berhubungan dengan pekerjaan Etilen oksida 2.5 Patogenesis Pengetahuan kita tentang metabolisme obat serta

metabolitnya masih terbatas dan banyak yang belum jelas, demikian pula tentang mekanisme imun terhadap obat. Alergi obat biasanya tidak dihubungkan dengan efek farmakologik, tidak tergantung dari dosis yang diberikan, dan tidak terjadi pada pajanan awal. Sensitisasi imunologik memerlukan pajanan awal dan tenggang waktu beberapa lama (masa laten) sebelum timbul reaksi hipersensitivitas. Substansi obat biasanya mempunyai berat molekul rendah sehingga tidak dapat langsung merangsang sistem imun bila tidak bergabung dengan karier yang mempunyai berat molekul besar. Antigen yang bersifat tidak lengkap seperti ini merupakan kompleks obat dan protein yang disebut sebagai hapten. Hapten dapat membentuk ikatan kovalen dengan protein jaringan yang bersifat stabil, dan ikatan ini akan tetap utuh selama diproses di makrofag dan dipresentasikan kepada sel limfosit hingga sifat imunogeniknya stabil. Sebagian kecil substansi obat mempunyai berat molekul besar (insulin, antisera, ekstrak organ) dan bersifat imunogenik sehingga dapat langsung merangsang sistem imun tubuh. Tetapi ada beberapa jenis obat dengan berat molekul relatif rendah yang bersifat imunogenik tanpa bergabung dengan karier. Mekanismenya belum jelas, tetapi diduga obat ini membentuk polimer rantai panjang.

Page | 9

Setelah pajanan awal maka kompleks obat-karier akan merangsang pembentukan antibodi dan aktivasi sel imun dalam masa laten yang dapat berlangsung selama 10-20 hari. Pada pajanan berikutnya periode laten menjadi lebih singkat karena antigen tersebut sudah dikenal oleh sistem imun tubuh melalui mekanisme pembentukan sel memori (reaksi anamnestik) . Alergi obat merupakan reaksi hipersensitivitas yang dapat digolongkan menjadi 4 tipe menurut Gell dan Coombs (lihat bab tentang reaksi hipersensitivitas). Alergi obat dapat terjadi melalui mekanisme ke-4 tipe tersebut (Tabel 26-2). Bila antibodi spesifik yang terbentuk adalah IgE pada penderita atopi (IgE-mediated) maka yang terjadi adalah reaksi tipe I (anafilaksis). Bila antibodi yang terbentuk adalah IgG dan IgM, kemudian diikuti oleh aktivasi komplemen maka yang terjadi adalah reaksi hipersensitivitas tipe II atau tipe III. Bila yang tersensitisasi adalah respons imun selular maka akan terjadi reaksi tipe IV. Reaksi tipe II sampai IV merupakan reaksi imun yang tidak dapat diprediksi dan tidak melalui pembentukan IgE (non IgEmediated). Perlu diingat bahwa dapat saja terjadi alergi obat melalui keempat mekanisme tersebut terhadap satu macam obat secara bersamaan. Alergi obat tersering biasanya melalui mekanisme tipe I dan IV. Sedangkan alergi obat melalui mekanisme tipe II dan tipe III umumnya merupakan bagian dari kelainan hematologik atau penyakit autoimun.

2.6

Gambaran Klinis Secara klinis gejala anafilaksis dapat berupa reaksi lokal dan reaksi sistemik. Reaksi lokal terdiri dari urtikaria dan angioedema pada daerah yang kontak dengan antigen. Reaksi lokal dapat berat tetapi jarang sekali fatal. Reaksi sistemik terjadi pada oragan target seperti traktus respiratorius, sistem

Page | 10

kardiovaskular, traktus gastrointestinalis, dan kulit. Reaksi ini biasanya terjadi dalam waktu 30 menit sesudah kontak dengan penyebab. a. Reaksi sistemik ringan Gejala awal reaksi sistemik ringan adalah rasa gatal dan panas di bagian perifer tubuh, biasanya disertai perasaan penuh dalam mulut dan tenggorokan. Gejala permulaan ini dapat disertai dengan hidung tersumbat dan pembengkakan peri orbita. Dapat juga disertai rasa gatal pada membran mukosa, keluarnya air mata, dan bersin. Gejala ini biasanya timbul dalam 2 jam sesudah kontak dengan antigen. Lamanya gejala bergantung pada pengobatan, umumnya berjalan 1-2 hari atau lebih pada kasus kronik Tabel 2.1 Gambaran klinis anafilaksis Sitem Umum Gejala dan tanda Malaise, lemah, sakitUrtikaria, eritemaEdema (prodromal)KuliMukosa periorbita, tersumbat angioedema, sianosis Tidak diketahui Bersin, pilek, dispnu, Tidak diketahui edema stridor Dispnu, emfisema akut, asma, bronkospasme, bronkorea Peningkatan peristaltik, muntah, disfagia, mual, kejang perut, diare laring, serak, edema lidah dan faring, dan Mediator rasa HistaminHistamin Histamin SRS-A, histamin, lainhidung lain gatal, pucat,

Pernapasan Jalan napas atas Jalan napas bawah Gastrointestinal Susunan saraf pusat

Page | 11

Gelisah, ke

b. Reaksi sistemik sedang Reaksi sistemik sedang mencakup semua gejala dan tanda yang ditemukan pada reaksi sistemik ringan ditambah dengan bronkospasme dan atau edema jalan napas, dispnu, batuk dan mengi. Dapat juga terjadi angioedema, urtikaria umum, mual dan muntah. Biasanya penderita mengeluh gatal menyeluruh, merasa panas, dan gelisah. Masa awitan dan lamanya reaksi sistemik sedang hampir sama dengan reaksi sistemik ringan. c. Reaksi sistemik berat Masa awitan biasanya pendek, timbul mendadak dengan tanda dan gejala seperti reaksi sistemik ringan dan reaksi sistemik sedang, kemudian dengan cepat dalam beberapa menit (terkadang tanpa gejala permulaan) timbul bronkospasme hebat dan edema laring disertai serak, stridor, dispnu berat, sianosis, dan kadangkala terjadi henti napas. Edema faring, gastrointestinal dan hipermotilitas menyebabkan disfagia, kejang perut hebat, diare dan muntah. Kejang umum dapat terjadi, dapat disebabkan oleh rangsangan sistem saraf pusat atau karena hipoksia. Kolaps kardiovaskular menyebabkan hipotensi, aritmia jantung, syok dan koma. Rangkaian peristiwa yang menyebabkan gagal napas dan kolaps kardiovaskular sering sangat cepat dan mungkin merupakan gejala objektif pertama pada anafilaksis. Beratnya reaksi berhubungan langsung dengan cepatnya masa awitan. Reaksi fatal umumnya terjadi pada orang dewasa. Pada anak penyebab kematian paling sering adalah edema laring.

2.7

Diagnosa dan Diagnose Banding

Page | 12

Diagnosa Diagnosis anafilaksis ditegakkan secara klinis. Perlu dicari riwayat penggunaan obat, makanan, gigitan binatang atau tranfusi. Pada beberapa keadaan dapat timbul keraguan terhadap penyebab lain sehingga perlu dipikirkan diagnosis banding. Pada reaksi sistemik ringan dan sedang diagnosis bandingnya adalah diagnosis banding urtikaria dan angioedema Pada pasien dengan reaksi anafilaksis biasanya dijumpai keluhan 2 organ atau lebih setelah terpapar dengan alergen tertentu. Untuk membantu menegakkan diagnosis maka American Academy of Allergy, Asthma and Immunology telah membuat suatu kriteria. Kriteria pertama adalah onset akut dari suatu penyakit (beberapa menit hingga beberapa jam) dengan terlibatnya kulit, jaringan mukosa atau kedua-duanya (misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir, lidah, uvula), dan salah satu dari respiratory compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing, penurunan PEF, hipoksemia) dan penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan disfungsi organ sasaran (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia). Kriteria kedua, dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara mendadak setelah terpapar alergen yang spesifik pada pasien tersebut (beberapa menit hingga beberapa jam), yaitu keterlibatan jaringan mukosa kulit (misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir-lidah-uvula); Respiratory compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing, penurunan PEF, hipoksemia); penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia); dan gejala gastrointestinal yang persisten (misalnya nyeri abdominal, kram, muntah) Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah setelah terpapar pada alergen yang diketahui beberapa menit hingga beberapa jam (syok anafilaktik). Pada bayi dan anak-anak, tekanan darah sistolik yang rendah (spesifik umur) atau penurunan darah sistolik lebih dari 30%. Sementara pada orang dewasa, tekanan darah sistolik kurang dari 90

Page | 13

mmHg atau penurunan darah sistolik lebih dari 30% dari tekanan darah awal. b Diagnosa Banding Beberapa keadaan dapat menyerupai reaksi anafilaktik. Gambaran klinis yang tidak spesifik dari anafilaksis mengakibatkan reaksi tersebut sulit dibedakan dengan penyakit lainnya yang memiliki gejala yang sama. Hal ini terjadi karena anafilaksis mempengaruhi seluruh sistem organ pada tubuh manusia sebagai akibat pelepasan berbagai macam mediator dari sel mast dan basofil, dimana masing-masing mediator tersebut memiliki afinitas yang berbeda pada setiap reseptor pada sistem organ. Beberapa kondisi yang menyerupai reaksi anafilaksis dan syok anafilaktik adalah reaksi vasovagal, infark miokard akut, reaksi hipoglikemik, reaksi histeris, Carsinoid syndrome, Chinese restaurant syndrome, asma bronkiale, dan rhinitis alergika Reaksi vasovagal, sering dijumpai setelah pasien mandapat suntikan. Pasien tampak pingsan, pucat dan berkeringat. Tetapi dibandingkan dengan reaksi anafilaktik, pada reaksi vasovagal nadinya lambat dan tidak terjadi sianosis. Meskipun tekanan darahnya turun tetapi masih mudah diukur dan biasanya tidak terlalu rendah seperti anafilaktik. Sementara infark miokard akut, gejala yang menonjol adalah nyeri dada, dengan atau tanpa penjalaran. Gejala tersebut sering diikuti rasa sesak tetapi tidak tampak tanda-tanda obstruksi saluran napas. Sedangkan pada anafilaktik tidak ada nyeri dada. Reaksi hipoglikemik, disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau sebab lain. Pasien tampak lemah, pucat, berkeringat, sampai tidak sadar. Tekanan darah kadang-kadang menurun tetapi tidak dijumpai tandatanda obstruksi saluran napas. Sedangkan pada reaksi anafilaktik ditemui obstruksi saluran napas. Sedangkan pada reaksi histeris, tidak dijumpai adanya tanda-tanda gagal napas, hipotensi, atau sianosis. Pasien kadangkadang pingsan meskipun hanya sementara. Sedangkan tanda-tanda diatas dijumpai pada reaksi anafilaksis.

Page | 14

Carsinoid

syndrome,

dijumpai

gejala-gejala

seperti

muka

kemerahan, nyeri kepala, diare, serangan sesak napas seperti asma. Chinese restaurant syndrome, dapat dijumpai beberapa keadaan seperti mual, pusing, dan muntah pada beberapa menit setelah mengkonsumsi MSG lebih dari 1gr, bila penggunaan lebih dari 5 gr bisa menyebabkan asma. Namun tekanan darah, kecepatan denyut nadi, dan pernapasan tidak berbeda nyata dengan mereka yang diberi makanan tanpa MSG. Asma bronkiale, gejala-gejalanya dapat berupa sesak napas, batuk berdahak, dan suara napas mengi (wheezing). Dan biasanya timbul karena faktor pencetus seperti debu, aktivitas fisik, dan makanan, dan lebih sering terjadi pada pagi hari. Rhinitis alergika, penyakit ini menyebabkan gejala seperti pilek, bersin, buntu hidung, gatal hidung yang hilang-timbul, mata berair yang disebabkan karena faktor pencetus seperti debu, terutama di udara dingin. 2.8 Pengobatan Anafilaksis merupakan keadaan darurat yang memerlukan

penanganan segera. Bila perlu, segera lakukan resusitasi kardiopulmonal, intubasi endotrakeal (pemasangan selang melalui hidung atau mulut ke saluran pernafasan) atau trakeostomi/krikotirotomi (pembuatan lubang di trakea untuk membantu pernafasan). Epinefrin diberikan dalam bentuk suntikan atau obat hirup, untuk membuka saluran pernafasan dan meningkatkan tekanan darah. Untuk mengatasi syok, diberikan cairan melalui infus dan obat-obatan untuk menyokong fungsi jantung dan peredaran darah. Antihistamin (contohnya diphenhydramine) dan kortikosteroid (misalnya prednison) diberikan untuk meringankan gejala lainnya (setelah dilakukan tindakan penyelamatan dan pemberian epinefrin). Manifestasi klinis ringan umumnya tidak memerlukan pengobatan khusus. Untuk pruritus, urtikaria atau edema angionerotik dapat diberikan antihistamin misalnya, diphenhidramin, loratadin atau cetirizine dan kalau kelainan cukup luas diberikan pula adrenalin subkutan dengan dosis 0,01

Page | 15

mg/kg/dosis maksimum 0,3 mg/dosis. Difenhidramin diberikan dengan dosis 0,5 mg/kg/dosis, 3 kali/24 jam. CTM diberikan dengan dosis 0,09 mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam. Setirizin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 2-5 tahun: 2.5 mg/dosis, 1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari. Dan Loratadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 2-5 tahun: 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 10 mg/dosis, 1 kali/hari. Feksofenadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 6-11 tahun : 30 mg/hari, 2 kali/hari; > 12 tahun : 60 mg/hari, 2 kali/hari atau 180mg/hari, 4kali/hari. Bila gejala klinis sangat berat misalnya dermatitois eksfoliatif, ekrosis epidermal toksik, sindroma Steven Johnson, vaskulitis, kelainan paru, kelainan hematologi harus diberikan kortikosteroid serta pengobatan suportif dengan menjaga kebutuhan cairan dan elektrolit, tranfusi, antibiotik profilaksis dan perawatan kulit sebagaimana pada luka bakar untuk kelainan-kelainan dermatitis eksfoliatif, nekrosis epidermal toksik dan Sindroma Steven Johnson. Prednison diberikan sebagai dosis awal adalah 1-2 mg/kg/hari dosis tunggal pagi hari sampai keadaan stabil kira-kira 4 hari kemudian diturunkan sampai 0,5 mg/kg/hari, dibagi 3-4 kali/hari dalam 4-10 hari. Steroid parenteral yang digunakan adalah metil prednisolon atau hidrokortison dengan dosis 4-10 mg/kg/dosis tiap 4-6 jam sampai kegawatan dilewati disusul rumatan prednison oral. Cairan dan elektrolit dipenuhi dengan pemberian Dekstrosa 5% dalam 0,225% NaCl atau Dekstrosa 5% dalam 0,45% NaCl dengan jumlah rumatan dan dehidrasi yang ada. Perawatan lokal segera dilakukan untuk mencegah perlekatan, parut atau kontraktur. Reaksi anafilaksis harus mendapat penatalaksanaan adekwat secepatnya. Kortikosteroid topikal diberikan untuk erupsi kulit dengan dasar reaksi tipe IV dengan memperhatikan kaidah-kaidah yang telah ditentukan. Pemilihan sediaan dan macam obat tergantung luasnya

Page | 16

lesi dan tempat. Prinsip umum adalah : dimulai dengan kortikosteroid potensi rendah. Krim mempunyai kelebihan lebih mudah dioles, baik untuk lesi basah tetapi kurang melindungi kehilangan kelembaban kulit. Salep lebih melindungi kehilangan kelembaban kulit, tetapi sering menyebabkan gatal dan folikulitis. Sediaan semprotan digunakan pada daerah kepala dan daerah berambut lain. Pada umumnya steroid topikal diberikan setelah mandi, tidak diberikan lebih dari 2 kali sehari. Tidak boleh memakai potensi medium sampai tinggi untuk daerah kulit yang tipis misalnya muka, leher, ketiak dan selangkangan. Manifestasi klinis ringan umumnya tidak memerlukan pengobatan khusus. Untuk pruritus, urtikaria, atau edema angioneurotik dapat diberikan antihistamin dan bila kelainan tersebut cukup luas diberikan pula adrenalin. Reaksi anafilaktik akut membutuhkan epinefrin, patensi jalan nafas, oksigen, cairan intravena, antihistamin dan kortikosteroid. Reaksi kompleks imun biasanya sembuh spontan setelah antigen hilang, namun sebagai terapi simtomatik dapat diberikan antihistamin dan antiinflamasi non-steroid. Antihistamin generasi kedua dapat pula digunakan, seperti loratadin. Steroid topikal dengan potensi sedang (hidrokortison atau desonid) dan pelembab dapat digunakan pada tahap deskumasasi. Bila gejala klinis berat (dermatitis eksfoliatif, nekrolisis epidermal toksik, sindrom Stevens-Johnson, vaskulitis, kelainan paru, kelainan hematologik) harus diberikan kortikosteroid serta pengobatan suportif dengan menjaga kebutuhan cairan dan elektrolit, transfusi, antibiotik profilaksis). Perawatan lokal segera dilakukan untuk mencegah perlekatan, sikatriks, atau kontraktur melalui konsultasi dan kerjasama interdisiplin dengan bagian terkait (mata, kulit, bedah). Pada reaksi pseudoalergi seperti pewarnaan radiokontras dapat diberikan terlebih dahulu obat sebelum prosedur pemeriksaan, seperti kortikosteroid, antihistamin dan atau efedrin. Pencegahan reaksi alergi obat merupakan langkah terpenting dalam penatalaksanaan. Penggunaan obat yang sering memberikan reaksi alergi, seperti antibiotik, harus

Page | 17

diberikan sesuai indikasi. Pemberian obat secara oral lebih sedikit memberikan reaksi alergi dibandingkan parenteral atau topikal. Pemberian obat parenteral harus ditunjang dengan ketersediaan epinefrin atau sarana gawat darurat lain. 2.9 Prognosis Estimasi saat ini menunjukkan angka kejadian alergi obat makinmeningkat. Laporan dari seluruh dunia menunjukkan angka 0,01% sampai 5% dan sekurang kurangnya 15%-30% penderita yang dirawat di rumah sakit mengalami reaksi sedikitnya terhadap 1 macam obat dan 610% merupakan alergi obat. Dengan penatalaksanaan yang baik, prognosis alergi obat adalah baik bahkan untuk alergi obat yang berat sekalipun. Dapat terjadi perlekatan kulit, kontraktur, simblefaron, kebutaan bila tindakan tidak tepat dan terlambat dilakukan. Angka kematian dilaporkan 1 dari 10.000 kejadian, pada sindroma Steven Johnson kematian sebesar 5-15%.

2.10 a b c

Pencegahan Anamnesis teliti mengenai alergi obat Penderita menunggu 30 menit sesudah pemberian obat Penggunaan antibiotik atau obat lain harus atas indikasi, kalau mungkin berikanlah p.o. daripada suntikan

d e f

Bacalah label obat dengan telit Kalau diperlukan anti serum, pergunakanlah preparat serum manumur Lakukanlah tes kulit atau tes konjungtiva

Page | 18

Bila alergi terhadap obat, harus mempunyai catatan mengenai macam/jenis obat tersebut.

Hindari alergen penyebab reaksi alergi. Untuk mencegah anafilaksis akibat alergi obat, kadang sebelum obat penyebab alergi diberikan, terlebih dahulu diberikan kortikosteroid, antihistamin atau epinefrin

2.11

Penatalaksanaan Terapi spesifik tergantung dari beratnya reaksi. Pada mulanya diperlukan pemeriksaan untuk mengevaluasi fungsi respiratorius dan kardiovaskuler. Jika pasien berada dalam keadaan henti jantung, resusitasi kardiopulmoner harus segera dilakukan. Oksigen diberikan dalam konsentrasi yang tinggi selama pelaksanaan resusitasi kardiopulmoner atau kalau pasien tampak mengalami sianosis, dispnea, atau mengi. Epinefrin dalam bentuk larutan dengan pengenceran 1 : 1000 disuntikkan subkutan pada ekstremitas atas atau paha dan dapat diikuti dengan pemberian infuse yang kontinu. Antihistamin dan kortikosteroid dapat pula diberikan untuk mencegah berulangnya reaksi dan urtikaria serta angioedema. Untuk mempertahankan tekanan darah dan status hemodinamika yang normal, diberikan preparat volume expander dan vasopresor. Pada pasien dengan bronkospasme atau riwayat asma bronkiale atau penyakit paru obstruktif menahun, preparat aminofilin, dan kortikosteroid dapat pula diberikan untuk memperbaiki kepatenan serta fungsi saluran nafas. Pada kasus-kasus dimana keadan hipotensi tidak responsive terhadap preparat vasopresor, penyuntikan glukagon intravena dapat dilakukan untuk memberikan efek kronotropik dan inotropik yang kuat. Pasien dengan reaksi yang berat harus diamati dengan ketat selama 12 hingga 14 jam. Karena berpotensi untuk kambuh kembali, pasien dengan reaksi yang ringan sekalipun harus mendapatkan penjelasan mengenai resiko ini (Brunner & suddart, 2002). Penanggulangan syok anafilaktik memerlukan tindakan cepat sebab penderita berada pada keadaan gawat. Sebenarnya, pengobatan syok anafilaktik tidaklah sulit, asal tersedia obat-obat emergensi dan alat bantu
Page | 19

resusitasi gawat darurat serta dilakukan secepat mungkin. Hal ini diperlukan karena kita berpacu dengan waktu yang singkat agar tidak terjadi kematian atau cacat organ tubuh menetap. Kalau terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan obat atau zat kimia, baik peroral maupun parenteral, maka tindakan yang perlu dilakukan, adalah: a. Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan darah. b. Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu: i. Airway 'penilaian jalan napas'. Jalan napas harus dijaga tetap bebas, tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan ekstensi kepala, tarik mandibula ke depan, dan buka mulut. ii. Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada tanda-tanda bernapas, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial. Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan napas dan oksigen. Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi. iii. Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis, atau a. femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar.

Page | 20

Penilaian A, B, C ini merupakan penilaian terhadap kebutuhan bantuan hidup dasar yang penatalaksanaannya sesuai dengan protokol resusitasi jantung paru. c. Segera berikan adrenalin 0.3--0.5 mg larutan 1 : 1000 untuk penderita dewasa atau 0.01 mk/kg untuk penderita anak-anak, intramuskular. Pemberian ini dapat diulang tiap 15 menit sampai keadaan membaik. Beberapa penulis menganjurkan pemberian infus kontinyu adrenalin 2--4 ug/menit. d. Dalam hal terjadi spasme bronkus di mana pemberian adrenalin kurang memberi respons, dapat ditambahkan aminofilin 5--6 mg/kgBB intravena dosis awal yang diteruskan 0.4--0.9 mg/kgBB/menit dalam cairan infus. e. Dapat diberikan kortikosteroid, misalnya hidrokortison 100 mg atau deksametason 5--10 mg intravena sebagai terapi penunjang untuk mengatasi efek lanjut dari syok anafilaktik atau syok yang membandel. f. Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena untuk koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular sebagai tujuan utama dalam mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan darah dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan koloid tetap merupakan perdebatan didasarkan atas keuntungan dan kerugian mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3--4 kali dari perkiraan kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20--40% dari volume plasma. Sedangkan bila diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang sama dengan perkiraan kehilangan volume plasma. Tetapi, perlu

Page | 21

dipikirkan juga bahwa larutan koloid plasma protein atau dextran juga bisa melepaskan histamin. g. Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok anafilaktik dikirim ke rumah sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan. Kalau terpaksa dilakukan, maka penanganan penderita di tempat kejadian sudah harus semaksimal mungkin sesuai dengan fasilitas yang tersedia dan transportasi penderita harus dikawal oleh dokter. Posisi waktu dibawa harus tetap dalam posisi telentang dengan kaki lebih tinggi dari jantung. h. Kalau syok sudah teratasi, penderita jangan cepat-cepat

dipulangkan, tetapi harus diawasi/diobservasi dulu selama kurang lebih 4 jam. Sedangkan penderita yang telah mendapat terapi adrenalin lebih dari 2--3 kali suntikan, harus dirawat di rumah sakit semalam untuk observasi BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN REAKSI ANAFILAKSIS

3.1

Pengkajian 1. Identitas pasien dan keluarga (penanggung jawab): Nama, umur, jenis kelamin, alamat, golongan darah, , hubungan pasien dengan penanggung jawab, dll. 2. Riwayat kesehatan a) Riwayat kesehatan sekarang : pasien ditanya tentang riwayat alergi, termasuk tipe allergen (serbuk, debu, tanaman, kosmetika, makanan, obat-obatan, dan vaksin). Pasien yang mengalami reaksi anafilaksis harus mendapatkan pertolongan sesegera mungkin, karena reaksi ini akan mempengaruhi kerja dari organ yang lain.

Page | 22

b) Riwayat kesehatan dahulu : pasien ditanya tentang status imunisasi (yaitu imunisasi yang sudah pernah diberikan ketika masih kecil) dan penyakit yang lazim diderita dalam masa kanak-kanak. 3. Pemeriksaan fisik a) Pengkajian fisik pasien dengan gangguan imunologis mencakup palpasi nodus limfatikus dan pemeriksaan kulit, membrane mukosa, dan system respiratorius, gastrointestinal, urogenital, kardiovaskuler serta neurogenik. b) Pada pemeriksaan jasmani, kondisi kulit dan membran mukosa pasien harus dinilai untuk menemukan lesi, dermatitis, purpura (perdarahan subkutan), urtikaria, inflamasi atau pun pengeluaran sekret.Tandatanda infeksi perlu diperhatikan.Suhu tubuh pasien dicatat dan observasi dilakukan untuk mengamati gejala menggigil serta perspirasi. c) Kelenjar limfe servikal anterior serta posterior, aksilaris dan inguinalis harus dipalpasi untuk menemukan pembesaran; jika kelenjar limfe atau nodus limfatikus teraba, maka lokasi, ukuran, konsestensi dan keluhan nyeri tekan pada saat palpasi harus dicatat. d) Status respiratorius pasien dievaluasi dengan memantau frekuensi pernapasan dan menilai adanya gejala batuk (kering atau produktif) serta suara paru yang abnormal (mengi, krepitasi, ronkhi).Pasien juga dikaji untuk menemukan rinitis, hiperventilasi danbronkospasme. e) Status kardiovaskuler dievaluasi dengan memerikasa kemungkinan hipotensi, takikardi, aritmia, vaskulitis, dan anemia. f) Status gastrointestinal pasien dinilai dengan mengecek kemungkinan hepatospenomegali, kolitis, vomitus serta diare. g) Status urogenital dinilai dengan mengamati tanda-tanda infeksi saluran kemih (sering kencing atau rasa terbakar saat buang air kecil, hematuri dan pengeluaran secret dari uretra). 4. Pengkajian neurosensorik Pemeriksaan pasien juga dilakukan untuk menilai perubahan pada status neurosensorik (yaitu, gangguan fungsi kognitif, gangguan

Page | 23

pendengaran, perubahan visual, sakit kepala, serta migrain, ataksia dan tetani). 5. Data/pengkajian spiritual Diperlukan adalah ketaatan terhadap agamanya, semangat dan falsafah hidup pasien serta ke-Tuhanan yang diyakininya. 6. Pengkajian psikologis Status nutrisi pasien, tingkat stress dan kemampuan untuk mengatasi masalah juga harus dinilai bersama dengan usianya dan setiap keterbatasan fungsional (keadaaan mudah lelah serta ketahanan tubuh). 7. Pemeriksaan diagnostic a. Skin test b. Tes provokasi c. Tes radioalergosorbent (RAST) 3.2 1. 2. 3. 4. 5. Diagnosa Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan spasme otot bronkeolus . Gangguan perfusi jaringan, berhubungan dengan penurunan curah jantung dan vasodilatasi arteri. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan peningkatan produksi histamine dan bradikinin oleh sel mast. Resiko ketidakseimbangan volume cairan berhubungan dengan peningkatan kapasitas vaskuler. 3.3 Dx Tujuan 1 Mempertaha Setelah nkan pasien polatindakan Perencanaan dan implementasi Kriteria Hasil Tindakan Keperawatan Rasional Mandiri: Menurunka Pastikan tidak terdapat benda n resiko aspirasi zat tertentu atau gigi palsu pada atau masuknya pola mumulut pasien suatu benda

dilakukanMandiri : keperawatan

nafas efektifselama...x24jam pasienmampu mempertahankan

Page | 24

pernapasan paten.

efektif

asing ke faring. Meningkatkan aliran sekret,

dengan jalan nafas yang

Letakkan pasien pada posisi M mencegah lidah miring, permukaan datar danjatuh miringkan kepala pasien jalan nafas. Lakukan indikasi penghisapan sesuai Menurunkan resiko aspirasi atau asfiksia dan menyumbat

Kolaborasi : Untuk menurunkan hipoksia cerebral.

Kolaborasi : Berikan tambahan oksigen atau ventilasi 2 Memperbaiki Setelah perfusi jaringan pasien tindakan kebutuhan dilakukanMandiri : keperawatan serebral secara atau gangguan mental kontinulangsung berhubungan manual sesuai Mandiri :

selama x 24 jam : Selidiki perubahan tiba tibaPerfusi Kulit pasien hangat.

Page | 25

Tanda vital dalam batas contoh cemas, bingung letargi,dengan curah jantung normal. Pasien berorientasi. Llihat kulit apakah pucat, Penurunan curah jantung kulit dan sianosis, belang, kulit dingindibuktikan oleh penurunan atau lembab, catat kekuatanperfusi nadi perifer. penurunan nadi. sadar pingsan. atau

Pantau pernapasan, catat kerja Penurunan curah jantung pernapasan. dapat mencetuskan stres pernapasan.

3 Peningkatan Setelah toleransi aktivitas tindakan Pasien peningktan ukur.

dilakukan

periksa tanda vital sebelum - hipotensi dapat terjadi karena efek obat, fungsi perpindahan cairan,pengruh jantung.

keperawatandan segera setelah aktivitas mencapai toleransi ccatat respon cardiopulmonal terhadap aktivitas .

selama x 24 jam :

aktivitas yang dapat di Penurunan mampuan untuk aktivitas. kaji penyebab kelemahan -Kelemahan disebabkan samping oleh dapat efek beberapa / ketidak

miokardium meningkatkan

volume sekuncup selama

obat,nyeri dan stres.

Page | 26

evaluasi

peningkatan - Dapat jantung menunjukan dari pada peningkatan decompensasi kelebihan aktivitas

intoleran aktivitas.

berikan

bantuan

dalam -Pemenuhan

kebutuhan diri pasien mempengaruhi

aktivitas perawatan mandiriperawatan sesuai indikasi.selingi periodetanpa aktivitas istirahat. dengan oksigen.

periodestrees miokard/kebutuhan

4 Mecegah kerusakan kulit n

Setelah tindakan

dilakukanMANDIRI : keperawatan Kaji kulit setiap Catatwarna atau P Pperthankan mslnya higiene membasuh

MANDIRI : hari. -Untuk mengetahui ada kulit,turgortidaknya perubahan kulit. Memprtahankan kulit kebersihan karena kulit dan tiap kering dapat barier sirkulasi kulit di

danselama x 24 jam : pada luka

meningkatkaMenunjukan kesembuhan. penyembuhan

kemajuankulit,sirkulasi dan sensasi.

kemudian mengeringkan dng menjadi hati2 dan melakukan masase infeksi.Masase dengan lotion/cream. menggunakn meningkatkan Friksi

kulit dan kenyamanan. sebabkan oleh kain yang berkerut dan basah yang menebabkan iritasi dan potensial terhadap infeksi

Page | 27

- Menurunkan tekana pada kulit dari istirahat lama di pertahankan lingkungan berkerut Sarankan jam pasien sekali kebersihantemapat tidur. seprti - Kuku yang panjg /kasar meningkatkan untukdermal. jika melakukan ambulasi beberapa memungkinkan. Gunting kuku secara teratur. KOLABORASI: -Digunakn pada perawatan KOLABORASI: lesi kulit. Jika digunakn dilakuakn untuk Gunakn/berikan obat obatnslep multi dosis,perawatn atau sistemik sesuai indikasi. harus menghindari kontaminasi 5 Memenuhi kebutuhan Setelah tindakan dilakukanMANDIRI : keperawatan Catat tanda vital pasien. silang. MANDIRI : -Indikator dari volume cairan sirkulasi. kebutuhan kerusakan pasien

seprei bersih kering dan tidak

cairan tubuh selama x 24 jam : Diharapkan kebutuhan tubuh pasien cairan terpenuhi

terhadap catat peningkatan suhu dan -Meningkatkan durasi kompres tetap demam . hangat sesuaiyangberlebihan

berikanmetabolisme dan diforesis Dihubungkan dengan dalam

indikasi,pertahankan pakaian

kering,pertahankandemam

kenyamanan suhu lingkungan meningkatkan kehilangan cairan yang berlebihan. Ukur haluan urine dan berat jenis urine. -Peningkatan berat jenis urine/penuruna haluaran

Page | 28

urine perubaha Pantau pemasukan oral dan memasukan cairan sediktnya 2500ml/hari

menunjukan perfusi ginjal

/volume sirkulasi. Memprtahankan keseimbangan cairan,mengurangi haus,dan KOLABORASI : indikasi misl membran mukosa. -Untuk ; respon menurunkan kasat mata 3.4 Evaluasi membantu metabolisme, cairan tak rasa melembabkan

Berikan obat obatan sesuaiKOLABORASI: antipiretik(aceta minofen) mengurangi demam dan

a) 1.Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama x 24 jam: b) Pasien mampu mempertahankan pola pernapasan efektif dengan jalan nafas yang paten c) 2. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama x 24 jam : Kulit pasien hangat. Tanda vital dalam batas normal. Pasien sadar atau berorientasi. d) e) -

f) 3. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama x 24 jam : g) Pasien mencapai peningktan toleransi aktivitas yang dapat di ukur h) 4. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama x 24 jam : Menunjukan kemajuan pada luka atau penyembuhan i) Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama x 24 jam : j) Diharapkan kebutuhan tubuh pasien terhadap cairan terpenuhi

Page | 29

BAB 4 KESIMPULAN Anafilaksis adalah rekasi alergi yang mempengaruhi seluruh tubuh. Reaksi ini dapat menyebabkan kematian. Anafilasis dapat disebabkan oleh: Gejala Gejala anafilaksis dapat mencakup: tekanan perut batuk pusing mual dan muntah sesak napas pembengkakan pada wajah sesak di dada atau tenggorokan Cara Terbaik mencegah reaksi alergi ini adalah dengan menghindari substansi yang menyebabkan alergi. Aspirin obat anti inflamatory kacang-kacangan buah telur chepalosporins sengatan lebah.

Pencegahan

Page | 30

DAFTAR PUSTAKA Longecker, DE. Anaphylactic reaction and Anesthesia dalam

Anesthesiology. 2008; Chapter 88, hal 1948-1963. Mangku, G. Diktat Kuliah : Syok, Bagian Anestesiologi dan Reanimasi FK UNUD/RS Sanglah, Denpasar. 2007.

Ewan, PW. Anaphylaxis dalam ABC of Allergies; 1998. BMJ. Vol 316. Hal 1442-1445 Suryana K. Diktat Kuliah. Clinical Allergy Immunology. Divisi 2003, Denpasar. Anonim. Anaphylactic Shock. 2008 [cited: 02 Oktober 2011]. Available from: URL: www. duniakedokteran.cq.bz. Sampson HA, et al. Clinicl Immunologist and Allergist Pricess. Margaret and Fremantle Hospitals, Western Australia; 2006 Alergi

Imunologi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RS Sanglah;

Page | 31

Brown SGA. Clinical Feature and Severity Grading of Anaphylaxis. Allergy Clinical Immunology. Hobart, Australia; 2004. pp.371-376 Mangku, G. Diktat Kuliah Anestesiologi dan Reanimasi, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran UNUD, Denpasar; 2002. hal 50-55; 57-58.

Page | 32

You might also like