You are on page 1of 6

Mekanisme Hematoma

Hematoma adalah terkumpulnya darah secara terlokalisir di luar pembuluh darah dan biasanya merupakan akibat dari perdarahan dalam jaringan. Hematoma biasanya muncul dalam otot-otot skelet dan dapat membentuk massa di bawah kulit. Hematoma biasanya dapat menghilang, namun ada juga yang tidak maupun semakin membesar. Peningkatan stress pada jaringan menyebabkan kerusakan kapiler di bawah kulit, menyebabkan darah keluar dari pembuluh darah dan terkumpul. Seiring berjalannya waktu, darah bertambah banyak menyebabkan terbentuknya hematoma. Mekanisme penyembuhan luka dimulai segera setelah terjadinya suatu luka sewaktu terjadi kontak antara platelet dengan kolagen. Seiring dengan agregasi platelet, terjadi pelepasan faktor pembekuan yang menyebabkan terjadinya deposisi fibrin clot pada tempat luka. Fibrin clot ini bekerja sebagai matriks provisional dan merupakan dasar penyembuhan luka. Selain mengeluarkan faktor pembekuan, platelet juga mengeluarkan beberapa cascade sinyal kimiawi, yaitu sitokin dan faktor pertumbuhan yang menginisiasi penyembuhan. Dua sinyal yang paling penting adalah platelet-derived growth factor (PDGF) dan transforming growth factor-beta (TGF-). PDGF menginisiasi kemotaksis neutrophil, makrofag, sel-sel otot polos dan fibroblast. PDGF juga menstimulasi mitogenesis fibroblast dan sel otot polos. TGF- bekerja dengan menarik makrofag dan menstimulasinya untuk mengeluarkan sitokin tambahan berupa FGF (fibroblast growth factor), PDGF, TNFa (tumor necrosis alpha) dan IL-1 (interleukin-1). TGF- juga meningkatkan kemotaksis fibroblast dan sel otot polos dan memodulasi kolagen dan ekspresi kolagen. Hasil dari sinyal-sinyal ang bekerja ini adalah respon yang cepat oleh matriks yang memproduksi sel untuk memastikan deposisi jaringan ikat baru secara cepat pada lokasi luka sewaktu proses proliferasi yang merupakan lanjutan dari proses inflamasi. Neutrophil merupakan sel yang predominan pada luka 24 jam setelah terjadinya luka. Fungsi utama neutrophil ini adalah untuk menghilangkan materi asing bakteri dan sel host yang sudah non-fungsional serta komponen matriks-matriks yang rusak pada tempat luka. Bakteria mengeluarkan sinyal kimiawi yang menarik neutrophil, yang mana memakan bakteri dengan cara fagositosis. Pada saat sintesis protein bakteri, sel inflamasi yang direpresentasikan oleh tri-peptide bernama f-MetLeu-Phe dikeluarkan dan menarik sel inflamasi lebih banyak lagi. Neutrophil akan terus memfagosit bakteri sampai mereka penuh dengan bakteri dan pada fase ini dinamakan laudable pus pada luka. Sel mast adalah sel lain yang berperan pada mekanisme penyembuhan luka. Sel mast mengeluarkan granula berisi enzim histamine dan senyawa amin aktif lainnya. Mediator-mediator ini berperan dalam membuat tanda karakteristik inflamasi pada tempat luka. Senyawa amin aktif dikeluarkan dari sel mast menyebabkan daerah sekittar pembuluh darah menjadi bocor dan membuat keluarnya sel mononuclear ke lokasi luka. Selain itu, cairan juga terkumpul pada daerah sekitar luak. Disinilah muncul tanda inflamasi yaitu rubor (kemerahan), kalor (panas), tumor (bengkak), dan dolor (sakit/nyeri). Sekitar 48 jam setelah terjadinya luka, monosit pada jaringan yang tetap akan aktif dan berubah menjadi makrofag pada luka. Makrofag ini spesifik terdapat pada lokasi luka dan mungkin merupakan sel inflamasi yang penting dalam respon

penyembuhan luka. Inhibisi dari makrofag dapat menunda penyembuhan luka. Sekali terkativasi, makrofag juga mengeluarkan PDGF dan TGF- yang akan menarik fibroblast dan sel otot polos ke tempat luka. Makrofag yang sangat fagositik ini juga berperan untuk menyingkirkan sel host yang non-fungsional, neutofil yang dipenuhi bakteri, matriks yang rusak, debris asing dan bakteria yang tertinggal pada tempat luka. Adanya makrofag pad luka menandakan fase inflamasi akan berakhir dan dimulainya fase proliferasi. Limfosit dating ke area luka pada fase yang lebih akhir namun tidak dianggap sebagai sel inflamasi utama padapenyembuhan luka. Sewaktu fase proliferasi berjalan, TGF- yang dikeluarkan oleh platelet, makrofag dan limfosit T menjadi sinyal yang penting. TGF- merupakan sinyal control utama yang meregulasi fungsi fibroblast host. TGF- memiliki tiga efek pada deposisi matriks ekstraselular. Pertama, TGF- meningkatkan transkripsi gen kolagen, proteogikan dan fibronektin sehingga produksi protein matriks meningkat. Pada saat yang sama, TGF-mengurangi sekresi protease yang berfungsi dalam menghancurkan matriks dan juga menstimulasi inhibitor protease, inhibitor metallo-protease jaringan (TIMP). Sitokin lain yang penting adalah interleukin, fibroblast growth factor dan tumor necrosis alpha. Pada saat penyembuhan, beberapa respon biologis diaktifkan. Proses epitelialisasi distimulasi dengan adanya EGF (epidermal growth factor) dan TGFa (transforming growth factor alpha) yang diproduksi oleh makrofag pada luka, platelet dan keratinosit. Sewaktu jembatan epithelial telah terbentuk, enzim dilepaskan untuk menghilangkan hubungan pada dasar krusta yang terbentuk menyebabkan lepasnya krusta. Karena tingginya proses metabolisme pada daerah luka, diperlukan juga banyak oksigen dan nutrisi. Faktor local pada daerah luka seperti pH yang rendah, penurunan tekanan oksigen dan meningkatnya laktat menyebabkan pelepasan faktorfaktor yang diperlukan untuk membawa suplai darah yang baru. Proses ini disebut angiogenesis atau neovaskularisasi dan distimulasi oleh vascular endothelial cell growth factor (VEGF), basic fibroblast growth factor (bFGF) and TGF-. Sel epidermal, fibroblast, makrofag dan sel endotel vascular memproduksi faktor-faktor ini. Salah satu jalur sinyal yang menarik melibatkan rendahnya tekanan oksigen yang mengakibatkan peningkatan ekspresi transkripsi hypoxia-inducible factor (HIF) oleh sel endotel vascular. HIF berikatan dengan sekuens DNA spesifik yang meregulasi ekspresi VEGF yang mestimulasi angiogenesis. Pembuluh darah yang baru memasuki daerah luka dan tekanan oksigen kembali normal, oksigen berikatan dengan HIF dan menurunkan sintesis dari VEGF. Pada fase proliferasi yang dominan adalah sel fibroblast. Sel ini berfungsi memproduksi matriks baru yang diperlukan untuk mengembalikan struktur dan fungsi jaringan ke normal lagi. Fibroblast menempel pada jaring matriks fibrin provisional dan mulai memproduksi kolagen. Setelah transkripsi dan memproses asam ribonukleid messenger kolagen, fibroblast akan menempel pada poliribosom dan reticulum endoplasma dimana kolagen yang baru akan dibentuk. Selama proses ini, terjadi proses penting yang melibatkan hidroksilasi residu prolin dan lisin. Molekul kolagen akan mulai membentuk karakteristik triple heliks dan rantai nascent diubah lebih lanjut dengan proses glikosilasi. Molekul prokolagen disekresi ke ruang ekstraseluler dan diproses lebih lanjut. Hidroksiproline pada kolagen merupakan hal penting karena ini memberikan formasi heliks yang stabil pada kolagen. Kolagen yang terhidroksilasi penuh memiliki titik didik yang lebih tinggi. Jika tidak terdapat hidroksiprolin, struktur kolagen akan berubah dan mengalami denaturasi lebih cepat

dan pada temperatur yang lebih rendah. Akhirnya, kolagen yang dilepaskan ke ruang ekstraselular mengalami proses lebih lanjut oleh prokolagen N dan peptide Cterminal. Pada ruang ekstraselular terdapat enzim yang penting yaitu lysyl oksidase yang bekerja pada kolagen untuk membentuk hubungan silang yang stabil. Pada saat kolagen matur dan lebih tua, lebih banyak hubungan silang intramolekular yang terbentuk. Ini yang memberikan koleagen kestabilan dan kekuatan struktur seiring dengan waktu. Kolagen dermal pada jaringan normal merupakan molekul yang kuat dan sangat terorganisir. Namun, fiber kolagen yang ada pada jaringan luka lebih tipis dan memiliki penampilan yang berantakan sehingga jaringan luka akan selalu lebih lemah dan mudah rusak. Kekuatan tekanan pada jaringan luak tidak akan pernah menyamai jaringan normal (maksimum 80%). Pada akhirnya, dalam proses pembentukan kolagen, degradasi kolagen juga terjadi. Enzim spesifik kolagenase pada fibroblast, neutrophil dan makrofag memotong molekul pada tempat yang spesifik apda ketiga rantai dan merusaknya menjadi bagian tiga perempat dan seperempat. Fragmen kolagen ini akan mengalami denaturasi dan dicerna oleh protease lainnya. Selama proses penyembuhan luka di atas berlangsung, pada kulit tempat terkumpulnya darah dapat berubah warna karena adanya pemecahan hemoglobin karena sel darah merah yang keluar dari pembuluh darah. Hemoglobin mengalami proses fagositosis dan degradasi sekuensial menjadi bilirubin, biliverdin dan hemosiderin. Hemoglobin menyebabkan warna merah kebiruan, biliverdin menyebabkan warna hijau, bilirubin menyebabkan warna kuning dan hemosiderin menyebabkan warna coklat keemasan. Sewaktu bahan-bahan ini menghilang dari area tersebut, hematoma akan menghilang. Biasanya hal ini terjadi lama setelah proses penyembuhan luka selesai.

Perdarahan Ekstraaxial
Perdarahan ekstraaxial dibagi 3 yaitu perdarahan epidural, subdural dan subarachnoid. Perdarahan epidural merupakan perdarahan pada ruang antara duramater (yang tidak terpisah dari periosteum kranial) dan tulang yang berhubungan dengannya. Pada perdarahan epidural, MRI lebih jarang dipergunakan dan CT-scan merupakan pemeriksaan penunjang yang lebih sering dilakukan. Pada MRI perdarahan epidural tampak sebagai massa bikonveks yang terpisah dari duramater yang mendasarinya oleh sedikit serum yang keluar dan terkumpul diantara klot dan duramater. Pada gambaran T1 dan T2 akan terlihat intensitasnya meningkat. Perdarahan epidural yang akut akan terlihar isointense sampai hipointense minimal pada gambar T1-weighted dan tampak hipointense pada gambar T2-weighted, hal ini berhubungan dengan fase deoxyhemoglobin. Perdarahan epidural subakut akan terlihat hiperintense pada gambar T1-weightened karena deoxyhemoglobin terkonversi menjadi methemoglobin. Pada gambar T1-weighted, duramater tampak senagai garis tipis dan hipointense. Perdarahan subarachnoid merupakan adanya perdarahan pada ruang subarachnoid di sekitar otak dan tulang belakang. Pemeriksaan yang sering dilakukan untuk melihat adanya kelainan ini adalah CT-Scan walapun MRI juga dapat dipakai. Fluid-attenuated inversion recovery (FLAIR) merupakan sekuens MRI yang paling sensitive untuk mendeteksi perdarahan subarachnoid. Pada gambar FLAIR, perdarahan subarachnoid tampak hiperintense pada rongga CSF yang normalnya hipointense. Pada kasus perdarahan sunarachnoid, FLAIR dan CT-scan memiliki hasil yang hampir sama. T2 dan T2-weighted dapat menunjukkan gambaran hipointense pada ruang yang normalnya tampak hiperintense. Pada gambar T1-weighted, perdarahan subarachnoid akut dapat terlihat sebagai hiperintense. Perdarahan subdural merupakan salah satu dari tiga perdarahan extra-axial dan biasanya timbul karena trauma. CT-scan masih merupakan pemeriksaan pertama yang dipilih untuk mengonfirmasi adanya perdarahan subdural. Walaupun demikian, MRI merupakan pemeriksaan yang lebih senditif untuk mendeteksi perdarahan subdural karena diferensiasi jaringan dan multiplanar dapat memudahkan deteksi kelainan ini. Sensitivitas >95% terlihat pada gambar T2-weighted pada perdarahan subdural karena adanya perbedaan mencolok pada intensitas sinyal antara produk darah dan struktur yang normal.

Axial T1-weighted magnetic resonance imaging demonstrates bilateral subacute subdural hematomas with increased signal intensity. Areas of intermediate intensity represent more acute hemorrhage into the subacute collections.

T2-weighted magnetic resonance imaging in a patient with subdural hematoma shows blood products of differing ages.

Bentuk dari perdarahan subdural pada gambaran aksial adalah bentuk bulan sabit yang sama seperti pada gambaran CT-scan. Potongan koronal berguna untuk mengevaluasi sejauh mana perdarahan tersebut terjadi dan untuk mendeteksi adanya perdarahan temporal dan tentorial, dua aspek yang kurang dapat dilihat pada CT-scan. Pada perdarahan subdural, sinyal yagn tergambar bergantung pada lamanya perdarahan dan mengikuti bentuk sinyal dari perdarahan intraparenkimal pada kasus akut dan subakut. Pada perdarahan subdural kronik, dapat terlihat gambaran hiperintense pada gambar T1-weighted karena adanya methemoglobin bebas, walaupun intensitasnya akan berkurang seiring dengan berjalannya waktu. Hemosiderin biasanya tidak ada dan diperkirakan karena kurangnya dural blood-brain barrier.

Subacute subdural hematoma with extension into the anterior interhemispheric cistern. Note that the sutures do not contain the spread of these hemorrhages.

T2-weighted magnetic resonance imaging in a patient with a subdural hematoma and rebleeding clearly shows hemorrhages of 3 different ages; these are hyperintense, isointense, and hypointense relative to brain tissue.

Gambaran MRI pada perdarahan otak

You might also like