You are on page 1of 10

BAB 1 Pendahuluan Insiden alergi susu sapi terus meningkat pada tiga periode terakhir.

Pada usiatahun pertama kehidupan, sistem imun seorang anak relatif masih imatur dan sangatrentan. Bila ia mempunyai bakat atopik akan mudah tersensitisasi dan berkembangmenjadi penyakit alergi terhadap alergen tertentu misalnya makanan dan inhalan. Susu sapi adalah protein asing utama yang diberikan kepada seorang bayi, dan penyakit alergi susu sapi (ASS) sering merupakan penyakit atopik pertama pada seoranganak Diperkirakan insiden ASS 2-3% diantara keseluruhan bayi. Sedangkan diantara bayi umur 1 tahun dengan dermatitis atopik, 30-45% disebabkan ASS. Disamping gejala pada kulit, ASS dapat menunjukkan gejala paru dan gejala saluran cerna tipe segera bahkan gejala sistemik berupa reaksi anafilaksis. Diperkirakan ASS dapat jugamemberikan gejala reaksi tipe lambat yang timbul setelah 24 jam berupa sindroma kolik pada usia bayi (infantile colic syndrome). Diagnosis penyakit ASS pada ayi dan anak yang dicurigai melibatkan pemeriksaan in vitro dan in vivo. Setelah anamnesis dan pemeriksaan fisis, makadibuktikan adanya sensitisasi susu sapi dengan pemeriksaan IgE spesifik susu sapi dan/atau uji kulit terhadap susu sapi. Bila hasil positif dilanjutkan dengan uji provokasidengan cara double blind placebo food challenge (DBPCFC), karena cara ini adalah bakuemas untuk menegakkan diagnosis ASS secara objektif. Tatalaksana penyakit ASS mencakup juga penghindaran susu sapi dan makananyang mengandung susu sapi, dengan memberikan susu kedele sampai terjadi toleransiterhadap susu sapi. Perbedaan yang mencolok antara penyakit ASS dan alergi terhadapmakanan lain pada bayi adalah bahwa toleransi dapat terjadi secara spontan semasa usiadini. Penelitian menunjukkan bahwa 85% ASS akan toleran sebelum umur 3 tahun.Walaupun akan terjadi toleransi pada usia tersebut, tindakan pencegahan maupuntatalaksana yang tepat perlu untuk mencegah terjadinya alergi yang lebih parah sertaalergi terhadap makanan alergen lain di kemudian hari. Pemberian susu sapi hipoalergenik dengan hidrolisis parsial, dlaporkan dapat mencegah terjadinya sensitisasiterhadap protein susu sapi.

BAB 2 Tinjauan Pustaka 1. Definisi Penyakit Alergi Susu Sapi (ASS) adalah suatu penyakit yang berdasarkan reaksi imunologis yang timbul sebagai akibat pemberian susu sapi atau makanan yang mengandung susu sapid an reaksi ini dapat terjadi segera atau lambat. Protein susu sapi merupakan allergen tersering pada berbagai reaksi hipersensitivitas pada anak. Susu sapi mengandung sedikitnya 20 komponen protein yang dapat merangsang produksi antibody manusia. Protein susu sapi terdiri 2fraksi yaitu casein dan whey. Fraksi casein yang membuat susu berbentuk kental dan merupakan 76 % sampai 86% dari protein susu sapi. Fraksi casein dapat dipresipitasi dengan zat asam pada pH 4,6 yang menghasilkan 5 casein dasar yaitu , , , k, dan . Beberapa protein whey mengalami denaturasi dengan pemanasan ekstensif (albumin serum bovin, gamaglobulin bovin dan -laktalbumin). Akan teapi, dengan pasteurisasi rutin tidak cukup untuk denaturasi protein ini tetapi malah meningkatkansifat alergenitas beberapa protein susu seperti -laktoglobulin.Barier saluran cerna terhadap alergen makanan. Fungsi utama saluran cerna ialah memproses makanan yang dicerna menjadi bentuk yangdapat diserap dan digunakan untuk energi dan pertumbuhan sel. Selama proses ini berlangsung, mekanisme imunologik dan non imunologik berperan dalam pencegahanmasuknya antigen asing ke dalam tubuh. Pada bayi baru lahir kadar S-IgA dalam ususmasih rendah sehingga antigen mudah menembus mukosa usus dan kemudian dibawa kealiran darah sistemik. Alergi makanan adalah kumpulan gejala yang mengenai banyak organ dan sistem tubuh yang ditimbulkan oleh alergi terhadap bahan makanan. Alergi makanan di masyarakat merupakan istilah umum untuk menyatakan reaksi simpang terhadap makanan termasuk di dalamnya proses non-alergi yang sebenarnya lebih tepat disebut intoleransi. Intoleransi makanan merupakan reaksi terhadap makanan yang bukan reaksi imunologik, misalnya reaksi toksik, reaksi metabolik, dan reaksi indiosinkrasi. 2. Patofisiologi Faktor yang berperan dalam alergi makanan :

Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi : asam lambung, enzym-enzym usus, glycocalyx) maupun fungsi-fungsi imunologis (misalnya : IgA sekretorik) memudahkan penetrasi alergen makanan. Imaturitas juga mengurangi kemampuan usus mentoleransi makanan tertentu.

Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini mulai janin sampai masa bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan dan norma kehidupan setempat. Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih, stress) atau beban latihan (lari, olah raga).

Alergen dalam makanan : Merupakan protein, glikoprotein atau polipeptida dengan besar molekul lebih dari 18.000 dalton, tahan panas dan tahan enzim proteolitik. Pada ikan diketahui allergen-M sebagai determinan. Pada telur ovomukoid merupakan alergen utama. Pada susu sapi betalaktoglobulin (BLG), alfalalaktalbumin (ALA), bovin serum albumin (BSA) dan bovin gama globulin (BGG) merupakan alergen utama dan BLG adalah alergen terkuat. Pada kacang tanah alergen terpenting adalah arachin,conarachin dan peanut-1. Pada udang dikenal allergen-1 dengan berat molekul 21.000 dalton dan Allergen-2 dengan berat molekul 200.000 dalton. Pada gandum yang merupakan alergen utama adalah: albumin, pseudoglobulin dan euglobulin Terjadinya alergi makanan : Pada paparan awal, alergen dikenali oleh sel penyaji antigen untuk selanjutnya mengekspresikan pada sel-T. Sel-T tersensitisasi dan akan merangsang sel-B menghasilkan antibodi dari berbagai subtipe. Alergen yang intak diserap oleh usus dalam jumlah cukup banyak dan mencapai sel-sel pembentuk antibodi di dalam mukosa usus dan organ limfoid usus,yang pada anak atopi cenderung terbentuk IgE lebih banyak.Selanjutnya terjadi sensitisai sel mast pada saluran cerna, saluran nafas dan kulit. Kombinasi alergen dengan IgE pada sel mast bisa terjadi pada IgE yang telah melekat pada sel mast atau komplek IgE-Alergen terjadi ketika IgE masih belum melekat pada sel mast atau IgE yang telah melekat pada sel mast diaktifasi oleh pasangan non spesifik, akan menimbulkan degranulasi mediator. Pembuatan antibodi IgE dimulai sejak paparan awal dan berlanjut walaupun dilakukan diet eliminasi. Komplemen akan mulai mengalami aktivasi oleh kompleks antigen antibodi. Pada paparan selanjutnya mulai terjadi produksi sitokin oleh sel-T. Sitokin mempunyai berbagai efek terhadap berbagai sel terutama dalam menarik sel-sel radang misalnya
3

netrofil dan eosinofil, sehingga menimbulkan reaksi peradangan. Aktifasi komplemen dan terjadinya komplek imun akan menarik netrofil. Gejala klinis yang timbul adalah hasil interaksi mediator, sitokin dan kerusakan jaringan yang ditimbulkannya. Bayi atopi juga mendapat sensitisasi melalui makanan alergenik yang terkandung dalam air susu ibu. Bayi-bayi dengan alergi awal terhadap satu makanan misalnya susu, juga mempunyai resiko yang tinggi untuk berkembang menjadi alergi terhadap makanan lain. 3. Manifestasi Klinis Gejala ASS biasanya dimulai pada usia 6 bulan pertama keidupan. Dua puluh delapan persen timbul setelah 3 hari minum susu sapi, 41% setelah 7 hari dan 68% setelah 1 bulan. Berbagai manifestasi klinis dapat timbul. Pada bayi terdapat 3 sistem organ tubuhyang paling sering terkena yaitu kulit, sistem saluran napas, saluran cerna. Gejala klinisyang dapat terjadi pada ketiga sistem tersebut ialah: a. Kulit : urtikaria, kemerahan kuli, pruritus dermatitis atopic b. Saluran napas : hidung tersumbat, rinitis, batuk berulang dan asma c. Saluran cerna : muntah, kolik, konstipasi, iare, buang air besar berdarah Gejala sistemik : renjatan Penyakit ASS akan menghilang (toleran) sebelum usia 3 tahun pada 85% penderita.Sebagian besar ASS pada bayi adalah tipe cepat yang diperantai oleh IgE dan gejalautama adalah ruam kulit, eritema perioral, angioedema, urtikaria dan anafilaksis,sedangkan bila gejala lambat dan mengenai saluran cerna berupa kolik, muntah dan diare biasanya bukan diperantai oleh IgE. Gejala klinis alergi makanan biasanya mengenai berbagai organ sasaran seperti kulit, saluran nafas, saluran cerna, mata, telinga, saluran vaskuler. Organ sasaran bisa berpindahpindah, gejala sering kali sudah dijumpai pada masa bayi. Makanan tertentu bisa menyebabkan gejala tertentu pada seseorang anak, tetapi pada anak lain bisa menimbulkan gejala lain. Pada seseorang makanan yang satu bisa mempunyai organ sasaran yang lain dengan makanan yang lain, misalnya udang menyebabkan urtikaria, sedangkan kacang tanah menyebabkan sesak nafas. Susu sapi bisa menimbulkan gejala alergi pada saluran nafas, saluran cerna, kulit dan anafilaksis. Bischop (1990) mendapatkan pada penderita yang alergi susu sapi : 40% dengan gejala asma, 21% eksema, 43% dengan rinitis. Peneliti lain

mendapatkan gejala alergi susu sapi berupa : urtikaria, angionerotik udem, pucat, muntah, diare, eksema dan asma. 4. Diagnosis Diagnosis ASS ditegakkan dengan : 1. Anamnesis a. Jangka waktu timbulnya gejala setelah minum susu sapi/makanan yangmengandung susu sapi b. Jumlah susu yang diminum/makanan mengandung susu sapi c. Penyakit atopi seperti asma, rinitis alergi, dermatitis atopik, urtikaria,alergi makanan, dan alergi obat pada keluarga (orang tua, saudara, kakek,nenek dari orang tua), dan penderita sendiri d. Gejala klinis pada: Kulit seperti urtikaria, dermatitis atopik, ruam Saluran napas seperti batuk berulang terutama pada malam hari,setelah latihan asma, rinitis alergi Saluran cerna seperti muntah, diare, kolik dan obstipasi Allergic

2. Pemeriksaan fisik Pada kulit tampak kekeringan kulit, urtikaria, dermatitis atopik shiners,nasal crease, geographic tongue, mukosa hidung pucat, dan mengi. 3. Pemeriksaan penunjang a. Darah tepi, hitung jenis eosinofil > 3% atau eosinofil total > 300/ml.Kadar IgE total, nilai normal disesuaikan umur. Kadar IgE spesifik sususapi. Bila kadar IgE total dan atau IgE spesifik susu sapi meninggi, berartisudah terjadi sensitisasi dengan susu sapi. Pemeriksaan IgE spesifik dapatdilakukan dengan berbagai cara, misalnya cara IgE RAST (Radio AllergoSorbent Test) dinyatakan positif bila nilainya > atau sama dengan 1. UjiIgE RAST positif mempunyai korelasi yang baik dengan uji kulit. Dapat juga diperiksa dengan cara CAP sistem (FEIA) dinyatakan positif bialnilainya > 32 kUa/l, cara ini akan mempunyai korelasi yang baik dengangejala klinis dan uji eliminasi dan provokasi buta ganda (Double Blind Plcebo Controle Food Challenge = DBPCFC ). Untuk uji tapis bahwaseorang sudah tersensitisasi tidak cukup hanya dengan kadar IgE saja,karena kadar IgE dapat juga tinggi pada orang

normal dan kadar normaltidak menyingkirkan ASS, sehingga untuk menghindarkan negatif palsumaka harus dilanjutkan dengan uji kulit. b. Uji kulit, terdapat berbagai cara uji kulit, uji kulit gores, uji tusuk dan uji kulitintradermal. Yang sering dilakukan uji kulit tusuk, sedangkan ujiintradermal lebih sensitif. Beberapa hal yang harus diperhatikan untuk melakukan uji kulit (Tabel 25-1). Bila hasil uji kulit positif kemungkinanASS 50% karena prediksi positif akurasinya <50%, sedangkan bila hasiluji kulit negatif berarti ASS yang diperantai oleh IgE dapat disingkirkankarena prediksi negatif akurasinya 95%. Uji kulit pada usia <1 tahunsering memberikan hasil negatif palsu, tetapi bila hasilnya positif makadugaan sangat mungkin ia ASS. Penilaian besar indurasi berbeda antaraanak usia <2 tahun dan anak > 2 tahun. Bila indurasi >8 mm pada usia > 2tahun dan indurasi > 6 mm pada usia <2 tahun akan mempunyai korelasiyang baik dengan uji DBPCFC. Bila salah satu uji kulit atau kadar IgEtotal atau IgE spesifik positif dan disertai pada anamnesis dan pemeriksaanfisis dugaan ASS, mka dilanjutkan dengan uji eliminasi dan provokasisusu sapi. c. Ada beberapa cara untuk provokasi makanan, sebagai baku emas adalahDBPCFC. Cara ini memerlukan waktu dan mahal, sehingga dicari carayang lebih mudah. i. Provokasi makanan terbuka, setelah eliminasi susu sapi selama2-3 minggu dan gejala berkurang atau menghilang, maka susu sapi diberikan secara bertahap mulai 3 ml dinaikkan menjadi 6ml, 12 ml sampai tercapai jumlah susu yang diminum, interval pemberiannya tiap 10 menit. Bila setelah 2 jam tidak timbul gejala, berarti uji provokasi negatif dan anak dinyatakan tidak ASS. ii. Rogier Schade membuat modifikasi Double-Blind, placebocontrolled cows milk challenge (DBPCCMC), dapat dilakukandi ruang rawat sehari untuk bayi dan anak yang tersangka ASS. iii. Disediakan 2 formula, formula plasebo yang berisikan formulahidrolisat, dan formula yang berisi susu sapi yang diminum (1,8gram/100 ml) dicampur susu hidrosilat berbnding 11:3. d. Pemeriksaan kadar histamine yang dilepaskan sel mas dan sel basofil

5. Diagnosa Banding Gangguan saluran cerna dengan diare dan atau mual muntah, misalnya : stenosis pilorik, Hirschsprung, defisiensi enzim, galaktosemia, keganasan dengan obstruksi, cystic fibrosis, peptic disease dan sebagainya. Reaksi karena kontaminan dan bahan-bahan aditif, misalnya : bahan pewarna dan pengawet, sodium metabisulfite, monosodium glutamate, nitrit, tartrazine, toksin, fungi (aflatoxin), fish related (scombroid, ciguatera), bakteri (Salmonella, Escherichia coli, Shigella), virus (rotavirus, enterovirus), parasit (Giardia, Akis simplex), logam berat, pestisida, kafein, glycosidal alkaloid solanine, histamin (pada ikan), serotonin (pisang, tomat), triptamin (tomat), tiramin (keju) dan sebagainya. Reaksi psikologis. 6. Tatalaksana Bila diagnosis ASS sudah ditegakkan maka susu sapi harus dihindarkan dengan ketatsupaya toleran dapat cepat tercapai. Eliminasi susu sapi direncanakan selama 6-18 bulan.Bila gejala menghilang, dapat dicoba provokasi setelah eliminasi 6 bulan. Pada tabel 24-4terdapat daftar makanan yang mengandung susu sapi. 1. Pemakaian susu kedele sebagai pengganti dapat dipilih, ttapi 30-40% ASS akanalergi juga terhadap kedele. 2. Gejala yang ditimbulkan ASS diobati secara simtomatis
7

Penghindaran susu sapi juga terhadap makanan hasil olahan susu sapi

7. Pencegahan 1. Pencegahan primer, Dilakukan sebelum terjadi sensitisasi. Penghindaran susu sapi berupa pemberiansusu sapi hipoalergenik, yaitu susu sapi yang dihidrolisis secara parsial, supayadapat merangsang timbulnya toleransi susu sapi di kemudian hari karena masihmengandung sedikit partikel susu sapi, misalnya dengan merangsang timbulnyaIgG blocking agent 2. Pencegahan skunder, Dilakukan setelah terjadi sensitisasi tetapi belum timbul manifestasi penyakitalergi. 3. Pencegahan tersier Dlakukan pada anak yang sudah mengalami sensitisasi dan menunjukkanmanifestasi penyakit alergi yang masih dini misalnya dermatitis atopik ataurhinitis tetapi belum menunjukkan gejala alergi yang lebih berat misalnya asma Susu sapi hipoalergenik adalah formula susu sapi dngan protein whey yang dihidrolisis parsial pertama kalidikembangkan pada tahun 1985. Formula ini lebih murah, dengan rasa yangcukup enak dan lebih ditujukan kepada tindakan pencegahan primer. Formula inidapat ditoleransi dengan baik dan secara aktif dapat menginduksi toleransi oral pada binatang yang mengalami sensitisasi terhadap susu sapi

BAB 3 Kesimpulan
8

Kesimpulan Protein susu sapi merupakan protein asing yang pertama kali dikenal oleh bayi, sehinggaASS sering diderita pada bayi usia dini. Alergi susu sapi dapat bermanifestasi berbagaimacam penyakit alergi. Pencegahan terjadinya ASS harus dilakukan sejak dini. Penghindaran harusdilakukan dengan pemberian susu sapi hipoargenik yaitu susu sapi yang dihidrolis parsialuntuk merangsang timbulnya toleransi susu sapi di kemudian hari.

Daftar Pustaka

1. Sampson HA, Leung DYM. Adverse reaction to Foods. In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB (eds): Textbook of Pediatrics. 17th Ed Philadelphia, WB Saunders 2004. 2. Sampson HA. Food allergy. J Allergy Clin Immunol, 2004
3. American Academy of Pediatrics, Committee on Nutrition : Hypoallergenic infant formulas.

Pediatrics 2000 4. Sicherer SH: Diagnosis and management of childhood food allergy. Curr Probl Pediatr 2001
5. Wahn U, Nickel R, Illi S, Lau S, Grubber C, Hamelmann E, 2004. Strategies for early

prevention of allergic disorders. Clin Exp All Rev; 4 6. Sampson HA.Food Allergy. Part I: Immunopathogenesis and clinical disorders.J.Allergy Clin Immunol 1999 7. Bock SA.Food Allergy. Part I:Immunopathogenesis and clinical disorders.J.AllergyClin Immunol 1999

10

You might also like