You are on page 1of 29

BAB I PENDAHULUAN

I.1. LATAR BELAKANG

Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam bidang kesehatan, baik di negara sedang berkembang maupun negara maju. Di samping itu infeksi saluran napas bawah menimbulkan angka kesakitan dan kematian yang tinggi serta kerugian produktivitas kerja. Infeksi saluran napas bawah dapat dijumpai dalam berbagai bentuk, tersering adalah bentuk pneumonia.1,2 Pneumonia merupakan infeksi pada parenkim paru. Berbagai spesies bakteri, mikoplasma, klamidia, riketsia, virus, fungi dan parasit dapat menyebabkan pneumonia. Jadi pneumonia bukan penyakit yang tunggal melainkan infeksi spesifik yang masing-masing dengan

epidemiologis, patogenesis, gambaran klinik dan perjalanan klinis yang berlainan.2 Proses menua adalah sebuah proses yang mengubah orang dewasa sehat menjadi rapuh disertai menurunnya cadangan hampir semua sistem fisiologis dan meningkatnya kerentanan terhadap penyakit dan kematian. Proses menua normalnya merupakan suatu proses yang ringan, ditandai dengan turunnya fungsi secara bertahap tetapi tidak ada penyakit sama sekali sehingga kesehatan tetap terjaga baik. Sebaliknya proses menua patologis ditandai dengan kemunduran fungsi organ saja, melainkan ditambah dengan penyakit yang muncul pada usia tua. Tiga hal fundamental yang berkaitan dengan kesamaan dalam pola proses menua pada hampir semua spesies mamalia. 1. Proses menua dipengaruhi oleh kemunduran fungsi organ. 2. Laju proses menua ditentukan oleh gen yang bervariasi antar spesies. 3. Laju proses menua dapat diperlambat oleh restriksi kalori, paling tidak pada hewan tikus. 1

Banyak hal dimasa lalu yang diduga berhubungan dengan faktor risiko penyakit pada proses penuaan seperti diet, merokok, alkohol, dan pajanan lingkungan. 1,2,3 Peningkatan insiden dan prevalensi pneumonia pada usia tua juga dikaitkan dengan penyakit yang diderita pasien seperti diabetes melitus, penyakit jantung, malnutrisi dan penyakit hati kronik. Sebagai contoh, diabetes melitus menyebabkan penurunan fungsi sistim imun tubuh baik proses kemotaksis maupun fagositosis. Pada gagal jantung kongestif yang disertai edema paru, fungsi clearance paru berkurang sehingga kolonisasi kuman disaluran napas mudah berkembangbiak. Pasien yang sebelumnya sering mengkonsumsi obat-obatan bersifat sedatif atau hipnotik berisiko tinggi mengalami aspirasi sehingga mempermudah terjadinya infeksi.Hal itu disebabkan kedua obat tersebut menekan rangsang batuk.2,3,4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II.1.

DEFINISI Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorik dan alveoli sehingga menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat.1 Pneumonia juga didefinisikan sebagai suatu peradangan akut parenkim paru akibat infeksi mikroorganisme (bakteri, mikoplasma, klamidia, riketsia, virus, fungi dan parasit). 1-4 Geriatric (geriatrics= geriatric medicine) berasal dari kata kata geros (usia lanjut),yaitu cabang ilmu kedokteran yang mengobati kondisi dan penyakit yang dikaitkan dengan proses menua dan usia lanjut. Dimana pasien geriatri adalah pasien usia lanjut dengan penyakit ganda. 1,2 Pneumonia geriatri adalah suatu peradangan akut parenkim paru yang berasal dari suatu infeksi mikroorganisme pada usia lanjut. 1

II.2.

EPIDEMIOLOGI Penyakit saluran napas menjadi penyebab angka kematian dan kecacatan yang tinggi di seluruh dunia. Sekitar 80% dari seluruh kasus baru praktek umum berhubungan dengan infeksi saluran napas yang terjadi di masyarakat (pneumonia komunitas) atau didalam rumah sakit (pneumonia nosokomial). Pneumonia merupakan bentuk infeksi saluran napas bawah akut parenkim paru yang serius dijumpai sekitar 15-20%.1 Pneumonia juga merupakan penyakit yang mengenai sekitar 1% dari seluruh penduduk Amerika. Bayi dan anak kecil lebih rentan terhadap penyakit ini karena respons imunitas mereka masih belum berkembang dengan baik. Pneumonia seringkali merupakan hal yang terakhir terjadi pada orang tua dan orang yang lemah akibat penyakit kronik tertentu.4 3

Penyakit paling banyak diderita para lansia adalah infeksi akut paru (pneumonia) dan kardiovaskular. Penyakit pneumonia saat ini menjadi ancaman bagi usia tua dan berdampak pada morbiditas maupun mortalitas.5 Di negara maju saja, seperti Amerika, pneumonia dan influenza menduduki peringkat ke-4 sebagai penyebab kematian tertinggi. Ditemukan sekitar 18,2 kasus pneumonia per 1000 penduduk berusia 6569 tahun. Angka itu meningkat menjadi 52,3 kasus per 1000 penduduk berusia 85 tahun ke atas. Di Taiwan, kematian akibat pneumonia mencapai hampir 200 per 100.000 pasien lansia pada 2002. Dapat pula disimpulkan, risiko pneumonia pada usia >65 tahun lebih tinggi 6 kali dibanding usia <60 tahun. 1,3,7 Bila tidak ditangani, penambahan lansia akan menimbulkan masalah di bidang kesehatan, sosial, dan ekonomi. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah memperhitungkan pada tahun 2020 Indonesia akan mengalami peningkatan jumlah warga lansia sebesar 41,4%, Sebuah peningkatan tertinggi di dunia. 5,7 Berdasarkan sensus penduduk 2000, Indonesia jumlah lansia

mencapai 15,8 juta jiwa atau 7,6%. Pada 2005 meningkat menjadi 18,2 juta jiwa atau 8,2%. Sedangkan pada 2015 diperkirakan mencapai 24,4 juta jiwa atau 10%. Data Badan Pusat Statistik dan Depsos 2001 menyebutkan bahwa 21,75% dari jumlah lansia yang mencapai 15,8 juta itu, dikategorikan sebagai lansia terlantar, Sedangkan 33,89% masuk ke dalam rawan terlantar. 6.7 Hasil survei kesehatan rumah tangga Depkes tahun 2001, penyakit infeksi saluran napas bawah menempati urutan ke 2 sebagai penyebab kematian di Indonesia. Di RSUD Dr. Soetomo Surabaya di dapatkan data sekitar 180 pneumonia dengan angka kematian antara 20-35%. Pneumonia geriatri menduduki peringkat keempat dari sepuluh penyakit terbanyak yang dirawat per tahun.2 4

Menurut Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN Cipto Mangunkusumo, salah satu masalah penting dihadapi para lansia adalah kesehatan. Masalah kesehatan pada populasi usia lanjut, bukan saja terletak pada aspek penyakit kronis dan degeneratif, melainkan juga kerentanan terhadap infeksi cukup tinggi. 1,2

II.3.

ETIOLOGI Infeksi saluran napas bawah akut dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme, bakteri gram positif seperti S. Pneumoniae (60-70%), H Influenzae (5%), Mycoplasma (5-20%). Pada gangguan imunitas atau terdapat penyakit dasar paru kronik dapat disebabkan oleh S. aureus, sedangkan pneumonia di rumah sakit banyak disebabkan gram negatif seperti K. pneumoniae, P. aeruginosa.1,2 Akhir akhir ini sejumlah kuman baru / oportunis telah menimbulkan infeksi pada pasien dengan kekebalan tubuh rendah, misalnya legionella, Chlamydia trachomatis, M. atypical, berbagai jenis jamur (C.albicans, Aspergillus fumigatus) dan virus.1,2,8,9

II.4.

KLASIFIKASI PNEUMONIA 1. Klasifikasi tradisional, meninjau ciri radiologis dan gejala klinis dibagi atas: a. Pneumonia Tipikal Bercirikan tanda-tanda pneumonia lobaris yang klasik antara lain berupa awitan yang akut dengan gambaran radiologis berupa opasitas lobus atau lobularis, dan disebabkan kuman terutama S.Pneumonia, Klebsiella pneumonia atau H.Influenzae. 2,6,7 b. Pneumonia Atipikal Ditandai oleh gangguan respirasi yang meningkat lambat dengan gambaran infiltrat paru bilateral yang difus. Biasanya

disebabkan organisme yang atipikal termasuk Mycoplasma pneumoniae, virus, Legionella pneumophila, Chlamydia psitasi dan Coxiella burnetti. Di negara barat mikroplasma adalah prototipe penyebab pneumonia atipikal, disamping menyebabkan penyakit saluran napas atas dan penyakit diluar paru antara lain pada kulit, susunan saraf pusat, darah jantung dan sendi-sendi. Mikroplasma menjadi penyebab pada 15-20% pneumonia, bahkan mencapai 60% pada usia sekolah dan dewasa muda. Dapat juga terjadi infeksi pada usia diatas 60 tahun. Klasifikasi ini praktis tidak digunakan lagi karena disadari bahwa gambaran klinis radiologis atau laboratorium dari berbagai pneumonia saling tumpang tindih dan pada klasifikasi ini tidak tercakup pneumonia yang gambarannya tidak khas. 2,6,7 2. Klasifikasi berdasarkan faktor lingkungan dan pejamu :1,2

Tabel 1. Klasifikasi berdasarkan faktor lingkungan dan penjamu Tipe klinis Pneumonia komunitas Pneumonia nosokomial pneumonia rekurens pneumonia aspirasi Epidemiologi Sporadis atau endemik mudah atau orangtua Didahului perawatan di RS Terdapat dasar penyakit paru kronik Alkoholik, usia tua

pneumonia pada gangguan Pada pasien transplantasi, onkologi, AIDS imun

Klasifikasi ini adalah yang lebih banyak dipakai karena dapat diperkirakan etiologi pneumonia dan pemberian antibiotiknya secara empirik.

3. Klasifikasi berdasarkan sindrom klinis : 1) Pneumonia bakterial (Sindrom Klinis Pneumonia Bakterial). 6

Diketahui

bahwa

kuman

kelompok

bakteri

tertentu

memberikan gambaran klinis pneumonia yang akut dengan konsolidasi paru, dapat berupa : a. Pneumonia bakterial tipe tipikal yang terutama mengenai parenkim paru dalam bentuk bronkopneumonia dan pneumonia lobar. b. Pneumonia bakterial tipe campuran (mixed type) dengan

presentasi klinis atipikal yaitu perjalanan penyakit yang lebih ringan dan jarang disertai konsolidasi paru. Biasanya pada pasien dengan penyakit kronik. 1,2

2) Pneumonia non bakterial Pneumonia atipikal umumnya yang disebabkan oleh Mycoplasma, Chlamydia pneumoniae atau Legionella. Kemudian istilah sindrom pneumonia atipikal dipakai untuk merangkum pula bentuk lain dengan ciri gambaran klinis yang beraneka ragam dan gambaran radiologis yang menyimpang dari normal. Pada Pneumonia atipikal ini refrakter terhadap terapi antibiotik standar, lambat dalam penyembuhannya dan mempunyai kecendurangan untuk kambuh, yaitu yang biasanya disebabkan oleh bakteri, jamur, virus atau mikroorganisme lain. Dan penyakit peradangan paru yang bukan infeksi, termasuk tumor. Peradangan gambaran klinis antara ketiganya terlihat pada tabel dibawah ini.1,2

Tabel 2. Gambaran klinis pneumonia komunitas dan kelompok kuman penyebabnya 1

Gejala

Bakterial/tipikal

Nonbakterial / atipikal

Pola campuran (mixed type) Lebih tua Cepat Tidak menonjol Dapat purulen Sering Jarang Ringan patchy infiltrat

usia awitan batuk sputum nyeri dada konsolidasi leukositosis foto dada

Lebih tua Cepat Produktif Purulen / berdarah Sering Sering Jelas Segmen/lobar

Muda Lebih lambat Tidak Negatif/mukoid Jarang Jarang Tidak ada Interstitial, difus

(lobus/interstisial) penyebab Bakteri Mikoplasma / virus Bakteri presentasi / jamur Atipikal Tuberkulosis Legionella Klamidia

4. Klasifikasi etiologi dibagi atas 1. Bakterial : Streptococcus pneumonia, H.Influenzae, L.pneumonia , Klebsiella, Pseudomonas, E-Coli, Mycoplasma, Chlamydia, dll. 2. Non bakterial : tuberkulosis, virus, fungi dan parasit. 1,2

5. Klasifikasi berdasar prediksi infeksi. a. Pneumonia lobaris, sering pada pneumonia bakterial, jarang pada bayi dan orang tua. Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen kemungkinan sekunder, dapat disebabkan oleh obstruksi bronkus misal : pada aspirasi benda asing, atau proses keganasan. 8

b. Bronkopneumonia, ditandai dengan bercak infiltrat pada lapangan paru, dapat disebabkan oleh bakteria maupun virus, sering pada bayi dan orang tua,serta jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus. c. Pneumonia Interstisial, yaitu penyakit yang melibatkan dinding alveolus dan jaringan penunjang lain di paru., dimulai dari perlukaan dinding epitel yang menyebabkan peradangan dinding alveolus atau alveolitis. Pada gambaran foto toraks terdapat infiltrat di lobus atas dan tengah yang cenderung ke tepi sehingga bagian tengah atau hilus lebih bersih. 2,4,6

II.5.

PATOGENESIS

Dalam keadaan sehat tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme di paru, keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dan lingkungan maka mikroorganisme dapat berkembang biak dan menimbulkan penyakit.2,7 Risiko infeksi di paru sangat tergantung pada kemampuan mikro organisme untuk sampai dan merusak permukaan epitel saluran napas. Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan saluran napas. 1. Inokulasi langsung 2. Penyebaran melalui pembuluh darah 3. Inhalasi bahan aerosol
4.

Kolonisasi dipermukaan mukosa. 2,7

Dari keempat cara tersebut yang terbanyak adalah secara kolonisasi. Secara inhalasi bakteri yang dapat masuk ke bronkus terminalis dengan ukuran 0,5 2,0 mikrometer. Kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring) bila terjadi aspirasi dapat terjadi inokulasi

mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada

orang normal sewaktu meminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse).
2,7,8

Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang tinggi 10810

/ml sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001 1,1 ml) dapat

memberikan titer maksimal bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia. Pada pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi atau aspirasi. Umumnya mikroorganisme yang terdapat di saluran napas bagian bawah, akan tetapi pada beberapa penelitian tidak ditemukan jenis mikroorganisme yang sama.5,6,7

II.6.

MASALAH PADA GERIATRI Proses menua adalah sebuah proses yang mengubah orang dewasa sehat menjadi rapuh disertai menurunnya cadangan hampir semua sistem fisiologis dan meningkatnya kerentanan terhadap penyakit dan kematian. Proses menua normalnya merupakan suatu proses yang ringan, ditandai dengan turunnya fungsi secara bertahap tetapi tidak ada penyakit sama sekali sehingga kesehatan tetap terjaga baik. Sebaliknya proses menua patologis ditandai dengan kemunduran fungsi organ saja, melainkan ditambah dengan penyakit akibat penyakit yang muncul pada usia tua. Tiga hal fundamental yang berkaitan dengan kesamaan dalam pola proses menua pada hampir semua spesies mamalia. Pertama, Proses menua dipengaruhi oleh kemunduran fungsi organ. Kedua, laju proses menua ditentukan oleh gen yang bervariasi antar spesies. Ketiga, laju proses menua dapat diperlambat oleh restriksi kalori, paling tidak pada hewan tikus. Banyak hal dimasa lalu yang diduga berhubungan dengan faktor risiko penyakit pada proses penuaan seperti diet, merokok, alkohol, dan pajanan lingkungan. 1,2,3,5

10

Dari berbagai teori yang dikemukakan untuk menjelaskan proses menua, sebagian besar dapat dikelompokan ke dalam 2 kelompok yakni teori genetik dan teori akumulasi kerusakan. Teori genetika

mengasumsikan bahwa rentang hidup (life span) dan laju proses menua dikontrol oleh informasi di dalam molekul DNA di dalam gen. Teori akumulasi kerusakan menyatakan bahwa laju proses menua ditentukan oleh kerusakan dalam molekul DNA, RNA dan sintesis protein spesifik, enzim dan juga mutasi somatik akibat terpajan terhadap berbagai pengaruh yang merusak seperti radiasi ion. Teori proses menua dapat pula dikelompokan berdasarkan tingkat organisasi biologi di dalam suatu organisme. Teori organ didasarkan pada fakta bahwa perubahan fungsi organ sejalan dengan usia tua. Ide dasar teori ini adalah sebuah organ tunggal bertanggung jawab terhadap proses menua organisme secara keseluruhan. 3,4

PERUBAHAN BERBAGAI ORGAN AKIBAT PROSES MENUA

Perubahan yang berhubungan dengan proses menua normal sebagian besar merupakan akibat kehilangan atau penurunan kapasitas fungsional secara bertahap. Kehilangan tersebut sudah dimulai sejak usia muda tetapi pada sebagian besar sistem organ, kehilangan tersebut baru bermakna secara fungsional setelah terjadi kehilangan yang besar. Perubahan fungsi kardiovaskular juga berkaitan dengan meningkatnya usia. Respons terhadap latihan jasmani berubah bersamaan dengan usia meliputi denyut jantung yang menurun, volume ventrikel kiri akhir sistolik menigkat dan berkurangnya ejection fraction ventrikel kiri. Presbiesofagus adalah berkurangnya motilitas esofagus akibat proses menua yang menyebabkan menurunnya peristaltik usus. Namun, gangguan motilitas yang berat hanya terdapat pada proses yang patologis. 5-7

11

Terdapat beberapa hal mengapa usia tua lebih mudah terkena infeksi dibandingkan dengan usia muda seperti, daya tahan tubuh dan perubahan anatomi maupun fungsi pada sistem organ tubuh seorang dengan usia tua. Perubahan tersebut antara lain :

1. Pada kulit, terdapat penipisan dermis dan penurunan vaskularisasi pada kulit yang dapat meningkatkan resiko terjadinya selulitis

dan infeksi pada dekubitus. 2. Pada saluran napas, terjadi penurunan fungsi dan jumlah mukosilia serta penurunan refleks batuk sehingga mempernudah terjadinya pneumonia. 3. Pada peristaltik usus yang cenderung melambat dan atrofi villi usus serta menurunnya imunitas, menyebabkan usia tua mudah terkena gastroenteritis akut baik yang ditularkan melalui air maupun makanan yang tercemar. 4. Pada saluran kemih, terjadi pengosongan vesica urinaria yang tidak sempurna dan penurunan keasaman urin, menyebabkan lebih mudah atau lebih sering terkena ISK (Infeksi Saluran Kemih). 5. Terjadi penurunan imunitas seluler akibat penuaan pada thymus, produksi sel T juga menurun, sehingga terjadi peningkatan kejadian alergi. Respons proliferasi sel T terhadap antigen/mitogen juga menuru, dan juga terjadi penurunan aktivitas sel T helper dan sel T Cytotoxic. Sintesis sitokin juga menurun disebabkan karena kesalahan ekspresi m-RNA atau tanda tranduksi pada usia lanjut.Peningkatan antagonis sitokin pada usia lanjut juga menjadi salah satu penyebab menurunnya produksi atau proliferasi sel T yang berakibat supresi imunitas. 6. Penurunan fungsi limfosit B dan pembentukan antibodi secara tidak bermakna berkurang pada usia lanjut. 7. Berbagai penyakit kronis seperti Diabetes Melitus, Penyakit jantung koroner, Penyakit Paru Obstruksi Kronik, gagal hati, gagal 12

ginjal dll yang diderita seorang usia lanjut juga sangat mempengaruhi daya tahan tubuh terhadap infeksi, serta

menghasilkan tampilan klinik ataupun pengobatan yang jauh berbeda antara usia lanjut dan dewasa muda. 8. Kondisi lain seperti penurunan napsu makan, kesadaran menurun, jatuh berulang, inkontinensia sering menjadi faktor pemicu sekaligus faktor risiko terjadinya infeksi dan penurunan daya tahan.1-3

Berbagai perubahan fisiologis terkait usia tentu memberikan implikasi klinis yang penting untuk dipahami. Implikasi pertama, variasi antara individu merupakan gambaran penting proses menua yang perlu mendapat perhatian secara seksama, sehingga pendekatan algoritma, teknik triase dan strategi pemeriksaan diagnostik tidak mungkin ditentukan hanya berdasarkan usia semata. Implikasi kedua proses menua adalah bahwa sistem biologi sangat sedikit dipengaruhi oleh usia semata, melainkan lebih sering dipengaruhi oleh gaya hidup seperti merokok, aktivitas fisis, asupan nutrisi, dan kondisi ekonomi. Melalui pengkajian yang holistik akan dapat ditetapkan berbagai faktor predisposisi dan faktor pencetus, serta segala yang dapat menjadi masalah utama atau pemberatan yang harus segera diselesaikan karena dapat menimbulkan berbagai komplikasi serius dan fatal pada pasien usia lanjut. Dalam pengelolaan pasien geriatrik, perlu diingat bahwa kemampuan individu usila untuk berfungsi tergantung pada kombinasi karakteristik usia tua ( misalnya motivasi, toleransi terhadap nyeri ) dan tempat di mana usila diharapkan berfungsi. Tidak kalah pentingnya adalah berbagai upaya pencegahan seperti gaya hidup yang baik dan benar, nutrisi yang baik dan seimbang, tidak merokok, lingkungan yang sehat, yang seyogyanya sudah dimulai sendiri mungkin sebelum seseorang memasuki usia lanjut, bahkan sejak kanak-kanak agar proses menua dapat berlangsung normal. Bila kondisi

13

tersebut dimungkinkan seseorang dapat menjalani masa tuanya dengan kualitas hidup yang lebih baik. 3,4,6 II.7. GEJALA KLINIS PNEUMONIA GERIATRI. Pneumonia pada lansia menjadi masalah penting untuk dibahas. Selain prevalensi nya yang semakin meningkat , gejala klasik pneumonia tidak jelas ditemukan pada pasien lansia.
1,4

Gejala klasik yang tidak jelas

menjadi salah satu penyebab tingginya angka mortalitas pneumonia pada usia tua. Tiga gejala yang paling sering ditemui pada lansia adalah sesak napas (dispnea), batuk dan demam. Beberapa studi mengungkapkan sekitar 35-65% pasien lansia tidak dijumpai demam.
1,2,6,7

Gejala lain yang juga

jarang adalah nyeri dada pleuritik, sakit kepala, mialgia, mual/muntah, diare, jatuh dan nyeri tenggorokan. Sedangkan batuk, sesak napas, produksi sputum dan tubuh lemah merupakan gejala yang paling sering dijumpai. Dapat pula dijumpai pasien menggigil, berkeringat, takikardi, dan delirium. 1,2,4,8 Penyakit ko-morbid yang berat serta keadaan umum yang jelek sering menimbulkan sepsis. Dari pemeriksaan fisik didapatkan ronki, suara pernapasan bronkial . Pada gambaran rontgen paru, tampak gambaran infiltrat pada segmen paru unilateral (70%) yang mungkin disertai kavitas dan efusi pleura. Seringkali kecurigaan pasien lansia mengidap pneumonia baru muncul setelah dilakukan pemeriksaan penunjang, yakni

ditemukannya leukositosis dan perubahan gambaran paru yang progresif pada foto rontgen. 1,7

II.8.

DIAGNOSIS Diagnosis pneumonia atau infeksi saluran napas bawah akut

umumnya ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit yang lengkap, pemeriksaan fisis yang sesuai dengan gejala dan tanda, disertai pemeriksaan penunjang radiologi yang menunjukkan konsolidasi.1,7 14

Anamnesa Pada anamnesa biasanya didapat sesak napas, nyeri dada, batuk berdahak dan demam (suhu > 37,8o C ). Pada pneumonia pada usia tua sering kali memberikan gejala yang tidak khas. Selain batuk dan demam pasien tidak jarang datang dengan keluhan gangguan kesadaran (delirium), tidak mau makan, jatuh dan inkontinensia akut. 7

Pemeriksaan Fisik Tanda-tanda fisis pada tipe pneumonia klasik bisa didapatkan berupa demam, sesak napas, tanda-tanda konsolidasi paru (perkusi paru yang pekak, ronki nyaring, suara pernapasan bronkial). Bentuk klasik pada Pneumonia komunitas (PK) primer berupa bronkopneumonia (pneumonia lobaris atau pleuro pneumonia). Gejala atau batuk yang tidak khas dijumpai pada Pk sekunder ataupun Pneumonia nosokomial (Pn). Dapat diperoleh bentuk manifestasi lain infeksi paru seperti efusi pleura, pneumotoraks / hidropneumotoraks. Pada pasien Pn atau dengan gangguan imun dapat dijumpai gangguan kesadaran oleh hipoksia. Warna, konsistensi, dan jumlah sputum penting untuk diperhatikan. 1,2

Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan radiologis Foto torak dapat memastikan keberadaan dan lokasi infiltrat pada paru yaitu: menilai derajat infeksi paru, mendeteksi adanya kelainan pleura, kavitasi paru atau limfadenopati hilus; dan mengukur respon pasien terhadap terapi antimikroba.3 Sehingga foto toraks merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk menegakkan diagnosis.2,3 Pola radiologis dapat berupa pneumonia alveolar dengan gambaran air bronchogram (airspase disease) misalnya oleh Streptococcus

pneumoniae : bronkopneumonia (segmental disease) oleh antara lain staphylococcus. Virus atau mikoplasma; dan pneumonia interstisial 15

(interstisial disease) oleh virus dan mikoplasma. Distribusi infiltrat pada segmen apikal lobus bawah atau inferior lobus atas sugestif untuk kuman aspirasi. Tetapi pada pasien yang tidak sadar, lokasi ini bisa dimana saja. Infiltrat dilobus atas sering ditimbulkan telebsiella, tuberkulosis atau amiloidosis. Pada lobus bawah dapat terjadi infiltrat akibat Staphylococcus atau bakteriemia.1 Bentuk lesi berupa kavitasi dengan air fluid level sugestif untuk abses paru, infeksi anaerob gram negatif atau amiloidosis. Efusi pleura dengan pneumonia sering ditimbulkan S.pneumoniae. Dapat juga oleh kuman anaerob, S.pyogenes, E-coli dan Staphylococcus (pada anak). Kadang-kadang oleh K.pneumoniae, P.pseudomallei.1 Pneumonia hematogenus yang terjadi akibat embolisi septik pada pasien tromboflebitis atau endokarditis sisi kanan atau akibat bakterimia pada pasien dengan endokarditis sisi kiri terlihat pada hasil foton toraknya sebagai daerah multipel infiltrasi paru yang selanjutnya dapat mengalami kavitasi. Distribusi yang difus menujukkan infeksi oleh P.carinii, sitomegali virus, virus campak atau cirus Herpes zoster, infeksi oleh kedua mikroorganisme yang disebutkan terakhir ini. Di diagnosis dengan adanya ruam yang jelas yang selalu menyertai pneumonia. Empiema dan pembesaran kelenjar limfe hilus tidak lazim terdapat pada pneumonia pneumocytis dan sitomegalovirus.3 Kavitas yang terjadi jika bahan yang nekrotik diekskresikan ke dalam jalan napas yang berhubungan sehingga terjadi pneumonia nekrotikan (kavitas kecil yang multipel yang masing-masing berdiameter < 2 cm dalam satu atau lebih lobus atau segmen bronkopulmoner). Kuman anaerob oral, S.aureus, S.pneumoniae serotipe III, baksil aerob gram negatif, M.tuberkulosis atau fungi dan keadaan kavitas. Sebaliknya H.Influenzae, M.pneumoniae, virus dan kebanyakan S.pneumoniae dengan serotipe lainnya hampir tidak pernah menyebabkan kavitas.1,7,8 Foto toraks perlu diulang untuk melihat kemungkinan infeksi yang terinfeksi atau 16

sekunder / tambahan. Efusi pleura penyerta

pembentukan abses. Pada pasien yang mengalami perbaikan klinis ulangan foto toraks dapat ditunda karena resolusi pneumonia berlangsung 4-12 minggu. 1,7,8,9 Pemeriksaan Laboratorium1,2 Leukositosis umumnya menandai adanya infeksi bakteri, biasanya lebih dari 10000/l kadang-kadang mencapai 30.000/l, dan pada hitung jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri, yaitu terjadinya infeksi akut serta terjadi peningkatan LED (Laju Endap Darah). Leukosit normal / rendah dapat disebabkan oleh infeksi virus/ mikoplasma atau pada infeksi yang berat sehingga tidak terjadi respons leukosit ,orangtua atau orang dengan keadaan umum lemah. Leukopenia menunjukan depresi imunitas misalnya neutropeni pada infeksi kuman gram negatif atau S. aureus. 1,2,4,7

2.

3.

Pemeriksaan bakteriologis Untuk menentukan diagnosis etiologi diperlukan bahan yang

berasal dari sputum, darah, aspirasi, jarum transtorakal. Torakosentris, bronkospi atau biopsi. Untuk tujuan terapi empiris dilakukan pemeriksaan apus gram, burri gin, quellung tes dan Z. Nielson. Kuman predominan pada sputum yang disertai PMN kemungkinan merupakan penyebab infeksi. Kultur kuman merupakan pemeriksaan utama praterapi dan bermanfaat untuk evaluasi terapi selanjutnya. Kultur darah dapat positif pada 20-25% penderita yang tidak diobati. 1,2,4,7

17

4.

Pemeriksaan Khusus Titer antibodi terhadap virus, legionela dan mikoplasma. Nilai

diagnostik bila titer tinggi atau ada kenaikan titer 4 kali. Analisis gas darah menujukkan hipoksemia dan hipokarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik. 1,2,4,7,9

II.9.

PENATALAKSANAAN Pengobatan terdiri dari antibiotik dan pengobatan suportif. Pemberian antibiotik pada penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaan, akan tetapi karena beberapa alasan yaitu : 1. Penyakit berat yang dapat mengancam jiwa 2. Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab 3. Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu maka pada penderita dapat diberikan terapi secara empiris.2

Terapi Suportif Umum. 1. Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80 100 mmHg atau saturasi >90% berdasarkan pemeriksaan analisis gas darah 2. Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental, dapat disertai rebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme 3. Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak, khususnya anjuran untuk batuk dan napas dalam. Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi dan pengeluaran CO2. Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan 4. Pengaturan cairan. Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia dan paru lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia bilateral. Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik, terutama pada keadaan gangguan

18

sirkulasi dan gagal ginjal. Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak diperkenankan 5. Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan. Terapi ini tidak bermafaat pada keadaan renjatan septik 6. Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang diperlukan bila terdapat komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal 7. Ventilasi mekanis, Indikasi pemasangan ventilator pada pneumonia adalah: a. Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100% dengan menggunakan masker. Konsentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan pumonary compliance hingga tekanan inflasi meninggi. Dalam hal ini perlu dipergunakan Positive End Expiratory Pressure/ PEEP untuk memperbaiki oksigenasi dan menurunkan H2O menjadi 50% atau lebih rendah. b. Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress dengan atau didapati asidosis respiratorik c. Henti napas d. Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif 8. Pengeluaran pus pada empiema bila ada 9. Bila terdapat gagal napas, diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang didapatkan terutama dari lemak (> 50%) hingga dapat dihindari pembentukan CO2 yang berlebihan.3,6,9

1. Antibiotik Empirik Keputusan memilih antibiotik yang tepat disesuaikan setelah mengetahui etiologinya. Beberapa cara untuk menentukan etiologi adalah pewarnaan gram, uji basil tahan asam, tes fluoresensi langsung terhadap antibodi Legionella, atau menggunakan polymerase chain reaction (PCR) terhadap M. pneumoniae, C. pneumoniae, dan M. tuberculosis. Tidak semua fasilitas tersebut ada di pelayanan kesehatan.dan hasilnya juga tidak bisa didapat dengan segera.

19

Antibiotik empirik haruslah yang bisa mengeradikasi S. pneumoniae. Beberapa pilihan antibiotik yang direkomendasikan adalah sefalosporin generasi ke-2, atau beta-laktam/inhibitor beta laktamase, atau trimethoprim-

sufamethoxazol, dengan/tanpa makrolid atau kuinolon untuk membasmi kuman atipikal.1,2,5 Biasanya pasien lansia tidak hanya menderita pneumonia saja, banyak penyakit yang menyertainya dan disebabkan tak hanya satu mikroorganisme tetapi polimikroorganisme. Untuk kelompok ini, antibiotik yang dianjurkan adalah sefalosporin generasi 2 dan 3 atau beta laktam/inhibitor beta laktamase dengan/tanpa makrolida atau kuinolon. 1,2 Bila pasien menderita pneumonia komuniti berat, kemungkinan

mikroorganisme penyebabnya adalah S pneumoniae, Legionella, basil gram negatif aerobik (terutama P. aeruginosa), dan M. pneumoniae. Terapinya berupa makrolida atau kuinolon dan sefalosporin generasi 3 dengan antipseudomonas seperti imipenem/cilastatin, meropenem, atau siprofloksasin. Insiden pneumonia komuniti berat yang disebabkan P. aeruginosa terus meningkat, dan lebih mudah terjadi pada pasien yang sebelumnya sudah mempunyai kelainan paru seperti bronkiektasis.2,4,7,9

20

Tabel 3. Antibiotik Pilihan Berdasarkan IDSA 2003 Karakteristik Pasien Rawat jalan Sebelumnya sehat Tidak mengkonsumsi antibiotik dalam 3 bulan terakhir Mengkonsumsi antibiotik dalam 3 bulan terakhir Komorbid (PPOK, diabetes, gagal ginjal atau jantung kongestif, atau keganasan) Tidak mengkonsumsi antibiotik dalam 3 bulan terakhir Mengkonsumsi antibiotik dalam 3 bulan terakhir Diduga terjadi infeksi akibat aspirasi Influenza Dengan bakteri superinfeksi Rawat inap Bangsal Tidak mengkonsumsi antibiotik dalam 3 bulan terakhir Mengkonsumsi antibiotik dalam 3 bulan terakhir ICU Bukan infeksi Pseudomonas Bukan infeksi Pseudomonas tetapi pasien punya alergi beta-laktam Ada infeksi Pseudomonas Antipseudomonal + siprofloksasin, atau antipseudomonal + aminoglikosida + fluorokuinolon respirasi atau makrolida Ada infeksi Pseudomonas tetapi pasien punya alergi beta-laktam Perawatan di rumah Mendapat obat selama perawatan di rumah Fluorokuinolon respirasi saja, atau amoksisilin-klavulanat + makrolida advanced Sama dengan obat yang diberikan pada bangsal dan ICU Dirawat di rumah sakit Aztreonam + levofloxacin, atau aztreonam + moxifloxacin atau gatifloxacin, dengan/tanpa aminoglikosida Beta-laktam + makrolida advanced/fluorokuinolon respirasi Fluorokuinolon respirasi, dengan/tanpa klindamisin Fluorokuinolon respirasi saja atau makrolida advanced + beta laktam Makrolida advanced + beta-laktam atau fluorokuinolon respirasi saja Makrolida advanced atau fluorokuinolon respirasi Fluorokuinolon respirasi saja atau makrolida advanced + beta-laktam Amoksisilin-klavulanat atau klindamisin Beta-laktam atau fluorokuinolon respirasi Makrolida atau doksisiklin Fluorokuinolon respirasi saja; makrolida advanced + amoksisilin dosis tinggi; atau makrolida advanced + amoksisilin-klavulanat dosis tinggi Antibiotik Pilihan

21

Keterangan: Makrolida Makrolida advanced Fluorokuinolon respirasi = Eritromisin, Azitromisin atau Klaritromisin = Azitromisin atau Klaritromisin =Moxifloxasin, Gemifloxasin Amoksisilin dosis tinggi = 1 gram per oral, 3x/hari Gatifloxasin, Levofloxasin atau

Amoksisilin-klavulanat dosis tinggi = 2 gram per oral, 2x/hari

2. Nutrisi Penatalaksanaan pneumonia pada lansia tidak hanya dengan antibiotika saja, tetapi disertai pula dengan perbaikan keadaan umum seperti dengan:

nutrisi, hidrasi, oksigenasi,elektrolit dan albumin. Penyakit ko-morbid yang berat serta keadaan umum yang jelek sering menimbulkan sepsis. Terapi nutrisi sangat penting bagi usia lanjut sehingga penatalaksanaan pada usia tua juga meningkat. Upaya lain adalah dengan meningkatkan status nutrisi lansia. Malnutrisi dianggap sebagai faktor risiko pneumonia pada lansia. Penelitian case control dan cohort yang dilakukan oleh Riquelme R dkk,menunjukkan bahwa rendahnya kadar albumin (<3,0 mg/dl) merupakan faktor risiko independen terhadap kejadian pneumonia. Beberapa studi menunjukkan pemberian suplemen vitamin memberi hasil lebih baik.
1,5-7

Bila penderita tidak dapat/ tidak mau makan seperti biasa,

perlu diberikan personde atau kalau perlu parenteral. 1,6,7 Cairan juga harus cukup, monitor osmolaritas plasma dan balans cairannya, sehingga untuk mengetahui kecukupan cairan pada penderita. Peranan asuhan keperawatan sangat diperlukan seperti menjaga kenyamanan penderita, kebersihan penderita dan tempat tidurnya terutama bila ada inkontinensia, mencegah terjadinya dekubitus dan kontraktur pada penderita penderita yang tidak dapat bergerak maupun dengan penurunan kesadaran.
1

22

II.10. KOMPLIKASI

Efusi pleura dan empiema. Terjadi pada sekitar 45% kasus terutama pada infeksi bakterial akut berupa efusi parapneumonik gram negatif sebesar 60% Staphylococcus aures 50%. S.pneumoniae 40-60% kuman anaerob 35%. Sedangkan pada mycoplasma pneumoniae sebesar 20%. Cairannya transudat dan steril, terkadang pada infeksi bakterial terjadi empiema dengan cairan eksudat.

Komplikasi sistemik. Dapat terjadi akibat invasi kuman atau bakteriemia berupa meningitis. Dapat juga terjadi dehidrasi dan hiponatremia, anemia pada infeksi kronik, peninggian ureum dan enzim hati. Kadang-kadang terjadi peninggian fosfotase alkali dan bilirubin akibat adanya kolestasis intrahepatik.

Hipoksemia akibat gangguan difusi Menurunnya suplai oksigen dalam darah karena gangguan difusi.Pada hipoksemia tidak selalu disertai dengan hipoksia atau oksigenisasi yang tidak memadai karena gangguan pengiriman oksigen dan penggunaan oksigen oleh sel sel.

Bronkiektasis Biasanya terjadi karena pneumonia pada masa anak-anak tetapi dapat juga oleh infeksi berulang di lokasi bronkus distal pada cystic fibrosis atau hipogamoglobulinemia, tuberkulosis atau pneumonia nekrotikans. 1,2,7,8

23

II.11. PENCEGAHAN 1. Vaksinasi Selain medikamentosa, upaya preventif terus diupayakan agar angka mortalitas dan morbiditas dapat ditekan seminimal mungkin. Salah satu upaya preventif itu adalah pemberian vaksin influenza dan pneumonia. Vaksin influenza. Vaksin ini mengandung 3 subtipe yaitu influenza A, B, dan C. Yang paling mematikan adalah subtipe A dan B. Masa perlindungan hanya sekitar 1 tahun. Efek samping lokal berupa nyeri setempat yang timbul sekitar 24 jam setelah penyuntikan; biasanya ditoleransi baik dan hilang tanpa pengobatan dalam 2-3 hari. Efek samping sistemik berupa demam, malaise, sakit kepala, mialgia, dan artralgia yang dapat muncul dalam 6-12 jam setelah penyuntikan; dan hilang dalam 1-2 hari. Vaksin ini menjadi kontraindikasi pada pasien yang alergi telur karena dapat memicu reaksi hipersensitifitas. 1,2,8 Vaksin pneumonia. Sebenarnya masih banyak perdebatan mengenai keefektivitasan vaksin ini. WHO menetapkan bahwa vaksin pneumonia cukup efektif pada lansia terutama untuk melindungi lansia sehat dari invasive pneumococcal disease (pneumonia yang berpenyulit meningitis, septikemia, dan pneumococcal pneumonia). Vaksin ini mengandung 23 serotipe S. pneumoniae yang telah dimurnikan. Efek samping yang timbul berupa kulit kemerahan tanpa nyeri dan demam. 1,2,6,8

2. Menghindari Nosokomial Pencegahan pneumonia berkaitan erat dengan prinsip umum pencegahan infeksi. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya Pneumonia Nosokomial seperti pada tabel 4. Sedangkan faktor untuk mengurangi terjadinya Pneumonia Nosokomial,terlihat pada tabel 5.
1,7

Tabel 4.Faktor Risiko Pneumonia Nosokomial 1,7

24

Pneumonia Umum

Nosokomial

di

ruangan Pneumonia Nosokomial d ruangan ICU

Usia > 70 tahun Penyakit paru kronik Penurunan kesadaran Posisi pasien Aspirasi dalam jumlah banyak Trauma dada Pemantauan tekanan Intrakranial Penggunaan penghambat Histamin tipe II Gangguan aliran ventilator yg sering Musim dingin Peralatan : Nebulizer langsung Nassogastric feeding Endotracheal tube

Ventilasi mekanik Perawatan ICU yang lama Intubasi yang lama Malnutrisi pada pasien sakit berat Penyakit paru kronik Antasid dan penghambat Histamin tipe II Usia lanjut Obesitas Gangguan refleks respirasi Perokok Pelembab udara Enteral feeding

25

Tabel 5. Pencegahan Pneumonia Nosokomial 1

Mengobati penyakit dasar Menghindari penghambat histamin tipe II dan antasida Meninggikan posisi kepala Pengangkatan selang nasogastrik dan endotrakeal Mengontrol pemakaian antibiotik Menghindari stress bleeding Mengontrol infeksi : Pengawasan Pendidikan Desinfektasi peralatan Perawatan saluran napas yang benar

Dekontaminasi selektif saluran cerna.

II.12. PROGNOSIS Angka morbiditas dan mortalitas pneumonia menurun sejak ditemukannya antibiotik. Faktor yang berperan adalah patogenesis kuman, usia, penyakit dasar dan kondisi pasien. Secara umum angka kematian pneumonia pneumokokus adalah sebesar 5% namun dapat meningkat menjadi 60% pada orang tua dengan kondisi yang buruk misalnya gangguan imunologis, sirosis hepatis, penyakit paru obstruktif kronik atau kanker. Leukopeni, ikterus, terkenanya 3 atau lebih lobus paru dan komplikasi ekstra paru merupakan pertanda prognosis yang buruk. Kuman garam negatif menimbulkan prognosis yang lebih jelek.2,6 Prognosis pada orangtua kurang baik, karena itu perlu perawatan di RS kecuali bila penyakitnya ringan atau dengan keadaan umum baik. Orang dewasa (< 60 tahun) dapat berobat jalan kecuali : 1. Bila terdapat penyakit paru kronik 26

2. Disertai gambaran klinis yang berkaitan dengan mortalitas yang tinggi yaitu : a. Usia > 60 tahun b. Dijumpai gejala pada saat masuk perawatan RS : frekuensi napas > 30 x/menit, tekanan diastolik < 60 mmHg atau sistolik < 90 mmHg, nadi >125 x/ menit,suhu < 35o C atau > 40o C, binggung atau terjadi penurunan kesadaran.
c.

Hasil pemeriksaan laboratorium leukosit abnormal (< 4.000 atau > 30.000/mm3), PO2 turun, dan albumin serum rendah (< 3,5 g%). 2,7

27

BAB III KESIMPULAN

Pneumonia adalah peradangan mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratonus dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat.1 Pneumonia juga didefinisikan sebagai suatu peradangan akut parenkim paru yang berasal dari suatu infeksi mikroorganisme (bakteri, mikoplasma, klamidia, riketsia, virus, fungi dan parasit)
2,3,4

Infeksi

saluran pernapasan telah menjadi penyakit yang sering diderita bagi lansia. . Masalah kesehatan pada populasi usia lanjut, lanjutnya, bukan saja terletak pada aspek penyakit kronis dan degeneratif, melainkan juga kerentanan terhadap infeksi cukup tinggi. Gejala klinis yang tidak jelas dapat menjadi salah satu penyebab tingginya angka mortalitas pneumonia pada lansia. Tiga gejala yang paling sering ditemui pada lansia adalah sesak napas (dispnea), batuk, dan demam. Beberapa studi mengungkapkan sekitar 35-65% pasien lansia tidak dijumpai demam. 1,2,6 Biasanya pasien lansia tidak hanya menderita pneumonia saja, banyak penyakit yang menyertai. Infeksi pneumonianya pun disebabkan tak hanya satu mikroorganisme tetapi polimikroorganisme. Untuk kelompok ini, antibiotik yang dianjurkan adalah sefalosporin generasi 2 dan 3 atau beta laktam/inhibitor beta laktamase, dengan/tanpa makrolida atau kuinolon.2,4,6 Penatalaksanaan Pneumonia pada lansia tidak hanya dengan antibiotika saja tetapi terapi terhadap penyakit penyakit lainnya albumin dll ). 2 dan

perbaikan keadaan umum ( nutrisi, hidrasi, oksigenasi,elektrolit dan

28

DAFTAR PUSTAKA

1) Sudoyo W.Aru, Setiyohadi B, Alwi I, Marcellus S.K, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam , Edisi IV.Jakarta: Balai Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK-UI, 2006. 2) Noer S, Waspadji S, Rachman AM, et al, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI, 1996. 3) Darmojo, B. 2004, Geriatri, Ilmu Kesehatan Usia Lanjut, Balai Penerbit FKUI, Jakarta. 4) Ganong, W.F. 1999, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, EGC, Jakarta. 5) Hazzard, R.W. 1990, Principles of Geriatric Medicine and Gerontology, 2nd ed. McGraw-Hill, New York. 6) Setiati, S. 2004, Current Diagnosis and Treatment In Internal Medicine 2004, 7) Pusat Informasi dan Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta. 8) British Thoracic Society Standards of Care Committee. British Thoracic Society Guidelines for the Management of Community Acquired Pneumonia in diakses Adults.Thorax tanggal 17

2001.URL:http://thorax.bmjjournals.com. Januari 2009

29

You might also like