You are on page 1of 3

Perspektif Baru Pengelolaan Sumberdaya Ikan

Desember 28, 2007 in umum

Rate This Inovasi vol 3/XVII/Maret 2005 http://io.ppi-jepang.org/article.php? id=61#top Oleh : Eko Sri Wiyono Badan Pangan Dunia (FAO) melaporkan bahwa stok sumberdaya ikan baik secara global maupun regional pada dekade terakhir ini telah mengalami penurunan yang sangat drastis. Berdasarkan beberapa kajian yang dilakukan, penyebab penurunan stok sumberdaya ikan dunia dapat dikelompokkan menjadi dua faktor utama, yaitu adanya perubahan lingkungan (baik perubahan iklim global maupun penurunan kualitas lingkungan) dan peningkatan pemanfaatan sumberdaya ikan yang diakibatkan oleh makin meningkatnya kebutuhan protein hewani masyarakat dunia. Pertambahan penduduk dunia yang begitu cepat telah meningkatkan permintaan ikan. Peningkatan upaya penangkapan ikan (baik peningkatan dalam jumlah armada penangkapan ikan maupun teknologi penangkapan) yang tidak terkendali pada sebagian besar negara pada masa lalu telah mendorong percepatan terjadinya penurunan stok sumberdaya ikan di sebagian besar perikanan dunia. Upaya perbaikan terhadap kondisi sumberdaya ikan bukannya tidak dilakukan. FAO dan beberapa negara telah mencoba untuk mengembangkan dan menerapkan beberapa metoda kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan yang didasarkan pada kajian aspek biologi, seperti penerapan TAC ( Total Allowable Catch), ITQ (Individual Transferable Quota), MSY (Maximum Sustainable Yield), dan sebagainya. Namun, upaya tersebut rupanya belum membuahkan hasil yang optimum. Kerusakan sumberdaya ikan masih saja terus berlangsung tanpa dapat dikendalikan. Satu hal yang sering dilupakan dalam pendekatan klasik yang didasarkan pada aspek biologi adalah, dikesampingkannya aspek perilaku nelayan dalam mengalokasikan atau pengoperasian alat tangkapnya. Sebagai mega-predator, nelayan mempunyai perilaku yang sangat unik dalam merespon baik perubahan sumberdaya ikan, iklim maupun kebijakan yang diterapkan. Sejarah collapse-nya perikanan anchovy di Peru telah memberi pelajaran kepada kita bahwa kebijakan pembatasan upaya penangkapan tanpa dibarengi dengan pengetahuan yang baik dalam mengantisipasi perilaku nelayan dalam merespon setiap perubahan baik internal maupun external stok sumberdaya ikan telah menggagalkan upaya untuk keberlanjutan kegiatan perikanan. Perlu disadari, bahwa sesungguhnya pengelolaan sumberdaya ikan bukanlah mengatur sumberdaya ikan semata, namun yang lebih penting adalah bagaimana

mengantisipasi perilaku nelayan sehingga sejalan dengan kebijakan yang diterapkan. Berdasarkan pada kenyataan tersebut, maka FAO pada tahun 1998 mencoba mencari terobosan baru guna mengatasi permasalahan yang ada. Karena sumber utama dari semua kerusakan perikanan di beberapa negara adalah sulitnya mengontrol input (armada penangkapan) bagi perikanan, maka pengelolaan perikanan kemudian didekati dengan pengaturan kapasitas penangkapan dari alat tangkap itu sendiri atau dalam istilah FAO adalahManagement of Fishing Capacity. Untuk mewujudkan rencana besar tersebut, FAO mengajak seluruh negara untuk berpartisipasi dengan mengelola perikanannya seefisien mungkin dan menerapkan Management of Fishing Capacity sebelum tahun 2005. Fishing capacity, overcapacity dan overfishing Sejak dideklarasikan sampai saat ini, konsep fishing capacity telah menjadi wacana hangat pakar perikanan dalam berbagai event pertemuan ilmiah, dan terus mengalami penyempunaan baik dari aspek konsep, metoda maupun pelaksanaannya. Sebagai acuan bersama, fishing capacity kemudian diartikan sebagai kemampuan input perikanan (unit kapal) yang digunakan dalam memproduksi output (hasil tangkapan), yang diukur dengan unit penangkapan atau produksi alat tangkap lain. Ringkasnya, fishing capacity adalah kemampuan unit kapal perikanan (dengan segala aspeknya) untuk menangkap ikan. Tentu saja kemampuan ini akan bergantung pada volume stok sumberdaya ikan yang ditangkap (baik musiman maupun tahunan) dan kemampuan alat tangkap ikan itu sendiri. Berdasarkan pengertian tersebut,overcapacity kemudian diterjemahkan sebagai situasi dimana berlebihnya kapasitas input perikanan (armada penangkapan ikan) yang digunakan untuk menghasilkan output perikanan (hasil tangkapan ikan) pada level tertentu.Overcapacity yang berlangsung terus menerus pada akhirnya akan menyebabkan overfishing, yaitu kondisi dimana output perikanan (hasil tangkapan ikan) melebihi batas maximumnya. Permasalahan perikanan Indonesia Sungguh, masalah berlebihnya alat penangkapan ikan khususnya di perairan pesisir pantai adalah masalah yang kompleks dan penting untuk segera dicarikan pemecahannya. Pemanfaatan sumberdaya ikan yang tak terkendali di beberapa wilayah perairan telah menyebabkan degradasi yang sangat tajam akan stok sumberdaya ikan dan ekologi perairan. Banyaknya alat tangkap (baik dalam jenis maupun jumlah) yang terkonsentrasi di pantai, diyakini telah mendorong tingginya tekanan penangkapan dan kompetisi antar nelayan. Disisi lainnya, nasib nelayan sebagai pelaku utama dalam perikanan, belum juga terentaskan. Bertambahnya nelayan yang tidak terkontrol di beberapa wilayah perairan ditengarai telah melampaui batas maksimum, sehingga keberadaannya perlu dievaluasi lebih lanjut. Pengaturan sumberdaya ikan yang didasarkan pada penghitungan jumlah stok ikan dan beberapa metoda pengaturan penangkapan ikan sudah sudah banyak dilakukan. Namun demikian, usaha-usaha tersebut belum juga memperlihatkan kemajuan yang menggembirakan. Bahkan, angka-angka potensi stok

sumberdaya ikan yang dijadikan dasar pengelolaan sumberdaya ikan sering diragukan kebenarannya dan tidak jarang menjadi bahan perdebatan berkaitan dengan angka-angka yang kurang sesuai dengan kondisi sesungguhnya. Bertolak dari fakta-fakta tersebut di atas, maka sudah waktunya Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) untuk segera membenahi model pengelolaan perikanan khususnya perikanan skala kecil di pesisir pantai dengan menerapkan Management of Fishing Capacity seperti yang dihimbau oleh FAO. Meskipun tidak memberikan jawaban kuantitatif akan besaran kapasitas maksimum suatu perikanan, pendekatan fishing capacity layak untuk dipertimbangkan dalam pengelolaan sumberdaya ikan. Disamping karena metoda yang dikembangkan tidak memerlukan data yang sulit, metoda penghitugan fishing capacity juga sangat cocok untuk dikembangkan di negaranegara berkembang dimana sistem pendataannya kurang begitu sempurna. Dibandingkan dengan metoda penghitungan analitik konvensional yang relatif sulit dan memerlukan waktu yang relatif panjang, pendekatan fishing capacitymemberikan alternatif pemecahan bagi pengelolaan sumberdaya ikan secara cepat dan sederhana dengan tingkat keilmiahan yang bisa dipertanggung jawabkan. Dengan demikian, metoda fishing capacity dapat dijadikan sebagai alternatif utama bagi dasar pengelolaan sumberdaya ikan pada perairanperairan yang masih langka data-data penelitian ilmiahnya. Sebagai langkah awal, maka DKP dapat memulainya dengan mengkaji fishing capacity dan keragaan setiap alat tangkap di setiap perairan Indonesia, kemudian menentukan kebijakan-kebijakan strategis selanjutnya. Mengingat hampir 80% perikanan Indonesia didominasi oleh perikanan skala kecil yang beroperasi di wilayah pesisir dimana konflik dan degradasi paling dominan terjadi, maka mandat pengelolaan perikanan yang lebih besar perlu diberikan kepada pemerintahan lokal, agar pengelolaan sumberdaya ikan termasuk jumlah armada maupun jenis alat tangkap yang dioperasikan dapat dikontrol berdasarkan wilayah perairan secara akurat.

You might also like