You are on page 1of 15

Niccol di Bernardo dei Machiavelli

Machiavellian adalah istilah yang paling sering digunakan untuk menuding seorang pembicara atau penulis politik yang berani mengetengahkan pandangan-pandangannya yang dinilai tak mengindahkan kaidah-kaidah kesusilaan. Machiavellian juga sering digunakan untuk mengutuk suatu kebijakan atau tindakan politik yang tak bermoral demi mencapai tujuan-tujuan tertentu bagi kepentingan diri sendiri. Tak ada seorang yang dipuja demikian tinggi, sekaligus dihujat dan dikutuk di waktu yang bersamaan. Barangkali demikian ia dianggap selaku bajingan tak bermoral sekaligus dipuja oleh banyak orang lainnya selaku realis tulen yang berani memaparkan keadaan dunia dan fakta-fakta menurut apa adanya. Kesalahpahaman terhadap pemikiran-pemikiran Machiavelli, sebenarnya bukanlah semata-mata kekeliruan pihak penafsir, karena cara Machiavelli mengemukakan padangan/ajarannya memang mengundang tampilan yang berbeda-beda, seperti bukunya yang terkenal Il Principle (The Prince), yang penuh ungkapan-ungkapan dan pernyataan-peryataan yang kontroversial dan ironis kemudian bandingkan dengan karya tulisnya yang juga monumental: Discorsi. ..ia (penguasa) tak perlu risau melakukan segala perbuatan yang jahat, yang tanpa tindakan itu akan sukar menyelamatkan negara, sebab apabila dipertimbangkan dengan baik, maka akan dijumpai bahwa ada hal-hal yang kelihatannya baik, tetapi bila ditempuh, akan menuntun seseorang menuju kehancuran, dan ada lagi hal-hal yang tampaknya jahat justru menghasilkan keamanan dan kesejahteraan. Pengantar Namanya sangat dikenal di kalangan intelektual, khususnya ilmuwan politik. Dikutuk banyak orang selaku bajingan tak bermoral, dipuja oleh lainnya selaku realis tulen yang berani memaparkan keadaan dunia apa adanya, Machiavelli salah satu dari sedikit penulis yang hasil karyanya begitu dekat dengan studi baik filosof maupun politikus. Ia lahir di Florence, Italia, pada 1469; Dibesarkan dalam keluarga ayahnya yang ahli hukum dan kaya. Ayahnya membantu Machiavelli untuk menikmati pendidikan yang terbaik pada waktu itu di Florence, karena ayahnya menginginkan kelak Machiavelli menjadi seorang teknokrat. Machiavelli kemudian belajar di Universitas Florence. Ia mempelajari kajian-kajian klasik dari Marcello Adriani. Setelah mengajar beberapa tahun Adriani

kemudian menjabat sebagai sekertaris satu, suatu jabatan sangat terhormat di Italia pada masa itu. Hubungan baik antara Machiavelli dan ayahnya dengan Adriani telah memungkinkan Machiavelli menduduki jabatan sekretaris di negaranya di kemudian hari. Akan tetapi, ibunya mengharapkan Machiavelli menjadi imam atau rohaniawan. Niccol di Bernardo dei Machiavelli, nama lengkapnya, meninggal pada tahun 1525 di usia 56 tahun. Ia dikenal sebagai seorang filosof politik, penulis, politikus, diplomat, musikus, penyair, and penulis drama. Selama empat belas tahun Machiavelli menjadi politikus praktis, terlibat sebagai pelaku dalam panggung kekuasaan Republik Florence, dan beberapa kali berperan sebagai diplomat atau pejabat negara. Dengan menjalankan tugas diplomatik sebagai duta negara Florence ke negaranegara tetangga, maka semangat patriotisme Machiavelli semakin menyala-nyala, tidak hanya terbatas pada keamanan dan kesejahteraan Florence tanah airnya, tetapi juga tumbuh menjadi citacita baru yaitu berdirinya Negara Italia yang baru sebagai bentuk renaissance dari kekaisaran Romawi. Selama masa hidup Machiavelli --pada saat puncak-puncaknya Renaissance Italia-- Italia terbagi-bagi dalam negara-negara kecil, berbeda dengan negeri yang bersatu seperti Perancis, Spanyol atau Inggris. Karena itu tidaklah mengherankan bahwa dalam masanya Italia lemah secara militer padahal briliant di segi kultur. Di kala Machiavelli muda, Florence diperintah oleh penguasa Medici yang masyhur, Lorenzo The Magnificent.

Adalah seorang negarawan Italia dan secara de facto merupakan penguasa Republik Florence pada masa Renaisans Italia. Dikenal sebagai Lorenzo The Magnificent (Lorenzo il Magnifico) oleh Florentines kontemporer, ia adalah seorang diplomat, politikus dan pelindung para cendekiawan, seniman, dan penyair. Hidupnya bertepatan dengan masa keemasaan awal Renaisans Italia; kematiannya menandai akhir Golden Age of Florence. Perdamaian ia bentuk untuk menjaga Florence dari berbagai ancaman negara-ngera di Italia runtuh dengan kematiannya. Lorenzo de 'Medici dimakamkan di Kapel Medici di Florence. Pada usia 25 tahun Machiavelli menyaksikan perjuangan Girolamo Savonarola. Dia adalah seorang politikus moralis yang membela kaum miskin dan melawan orang-orang kaya. Guicciardini menggambarkan sosoknya sebagai orang alim yang memiliki reputasi dan otoritas cemerlang serta menguasai berbagai disiplin ilmu khususnya filsafat. Tidak mengherankan bila savinarole demikian

kharismatis dihadapan pengikut-pengikutnya. Machiavelli juga terpakau dengan Fanatisme dan ketegaran sikap politik Savonarala menghadapi para penguasa tiran Italia. Tetapi sayang perjuangan Savonarala mengalami kegagalan. Machiavelli menyaksikan kegagalan perjuangan Savonarala. Kegagalan perjuangan Savonarala memurnikan moralitas karena tidak memiliki kekuatan politik dan kekuatan militer. Peristiwa itu mempengaruhi Machiavelli dan menyadarkannya bahwa mereka yang bersenjata akan dapat menaklukan mereka yang tidak bersenjata.

Seorang pendeta Italia dari Ordo Dominika pendeta dan pemimpin dari Florence dari tahun 1494 hingga eksekusi pada tahun 1498. Dia banyak berkhotbah untuk menentang korupsi dan tindakan amoral sebagian besar penguasa dan pendeta pada waktu itu. Tetapi Lorenzo meninggal dunia tahun 1492, dan beberapa tahun kemudian penguasa Medici diusir dari Florence; Florence menjadi republik (Republik Florence) dan tahun 1498, Machiavelli yang berumur dua puluh sembilan tahun peroleh kedudukan tinggi di pemerintahan sipil Florence. Pada bulan Agustus 1499, ketika Machiavelli berusia 28 tahun, terjadi peristiwa Vitelli. Vitelli adalah nama seorang pemimpin tentara bayaran (condottire). Ia disewa pemerintah Florence untuk merebut Pisa, tetapi karena orang-orang Pisa memberikan bayaran lebih besar dari pemerintah Florence, mereka menghentikan serangan terhadap Pisa. Ini merupakan peristiwa memalukan bagi rakyat dan negara Italia. Bagi Machiavelli sendiri peristiwa ini memberikan pelajaran berharga bahwa suatu negara seperti Italia harus memiliki tentara sendiri. Tentara bayaran itu sehebat apapun tidak bisa dipercaya karena mudah berkhianat. Maka menurut Machiavelli, Italia harus membentuk angkatan perang sendiri yang tangguh, loyal dan mampu berjuang mati-matian demi negara Italia. Hanya dengan memiliki angkatan perang yang tangguh, Italia disegani oleh negara-negara lawannya. Pada 1500 Machiavelli bertemu dengan Louis XII Raja Prancis, untuk meminta bantuannya mengalahkan Pisa. Selanjutnya, Machiavelli juga menjalin hubungan baik dengan Paus Julius II. Maximilian (1459-1519) Kaisar Romawi Suci. Raja Ferdinand (1452-1516) dari Spanyol hingga para penguasa Turki. Dari seluruh tokoh yang ditemuinya selama bertugas sebagai Kanselir, yang paling dikagumi Machiavelli adalah Cesare Borgia (1476-1507), putra Paus Alexander VI. Kekaguman pada pangeran dari Valentino tersebut semakin mengental setelah selama empat bulan lebih ia tinggal di istana Morgia, milik Cesare Borgia. Di sana ia menyaksikan dari dekat bagaimana Cesare Borgia menghadapi dan menyelesaikan krisis dan gejolak di negaranya. Cesare juga sering bertukar pikiran dengan Machiavelli, terutama untuk menyatukan Italia. Seluruh percakapan dan pengamatannya terhadap Cesare juga tokoh negarawan lainnya, dicatat secara rinci oleh

Machiavelli, dan kemudian dilaporkan dengan diam-diam ke Komisi Sepuluh Republik Firenze. Catatan tersebut kelak menjadi bahan-bahan pokok bagi Il Principe. Ia dipandang sebagai salah seorang pendiri ilmu politik modern. Setelah berhenti dari keterlibatannya dalam politik, ia mengasingkan diri dan menulis risalah politik yang mendapatkan tempat intelektual dalam perkembangan filsafat politik dan perilaku politik.

Tahun 1512, Republik Florentine digulingkan dan penguasa Medici kembali pegang tampuk kekuasaan, Machiavelli dipecat dari posisinya, dan di tahun berikutnya dia ditahan atas tuduhan terlibat dalam komplotan melawan penguasa Medici. Dia disiksa tetapi tetap bertahan menyatakan tidak bersalah dan akhirnya dibebaskan pada tahun itu juga. Sesudah itu dia pensiun dan berdiam di sebuah perkebunan kecil di San Casciano tidak jauh dari Florence. Selama tinggal di pedesaan itulah muncul pertanyaan-pertanyaan di benak Machiavelli di antaranya, mengapa kekuasaan mudah runtuh?. Bagaimana caranya agar kekuasaan tetap lestari? saat itu ia sedang dipuncak kegundahannya. Hatinya pedih menyaksikan Italia yang luluh lantak oleh serbuan pasukan asing, dan Florance yang terus-menerus dilanda perebutan kekuasaan. Namun yang paling membekas di hati Machiavelli adalah kekuasaan Republik Florance, bentuk negara yang diidam-idamkannya.Hasil percakapannya dengan buku-buku karya penulis klasik seperti Livius, Cicero, dan Petrarch di kamar kerjanya yang sepi ditambah dengan hasil pengamatan dan pengalamannya sendiri, kemudian dituangkan dalam berbagai tulisannya. Bukunya yang paling terkenal adalah Il Principe/The Prince/ Sang Penguasa. Machiavelli sering dianggap pertanda zaman peralihan cara berfikir, dari politik idealis ke politik realis. Setelah peralihan itu, orang berpolitik tidak perlu idealis. Ia harus realis. Itulah semangat zaman baru di zaman Machiavelli. Namun demikian, orang masih berdebat apa makna tulisan-tulisan Machiavelli itu. Sebagian menyatakan bahwa tulisannya itu merupakan hasil penglihatannya terhadap fenomena politik yang terjadi. Kekuasaan hanya bisa tegak dengan kekuatan, dan tindakan amoral bisa menghasilkan kebajikan. Tujuan menghalalkan cara. Tetapi, menurut pendapat ini, tulisan-tulisannya tidak menunjukkan bahwa Machiavelli menganjurkan cara-cara amoral dalam mencapai tujuan. Machiavelli hanya melihat dan tidak mengajarkan.

Discorso sopra le cose di Pisa (1499) Del modo di trattare i popoli della Valdichiana ribellati (1502) Del modo tenuto dal duca Valentino nell ammazzare Vitellozzo Vitelli, Oliverotto da Fermo, etc. (1502) A Description of the Methods Adopted by the Duke Valentino when Murdering Vitellozzo Vitelli, Oliverotto da Fermo, the Signor Pagolo, and the Duke di Gravina Orsini Discorso sopra la provisione del danaro (1502) A discourse about the provision of money. Decennale primo (1506), a poem in terza rima. Ritratti delle cose dell Alemagna (15081512) - Portrait of the affairs of Germany. Decennale secondo (1509), a poem. Ritratti delle cose di Francia (1510) Portrait of the affairs of France. Andria (1517), a Classical comedy, translated from Terence. Mandragola (1518) The Mandrake, a five-act prose comedy, with a verse prologue. Della lingua (1514), a dialogue about the language. Clizia (1525), a prose comedy. Belfagor arcidiavolo (1515), a novel. Asino doro (1517) The Golden Ass is a terza rima poem, a new version of the Classic work by Apuleius. Dellarte della guerra (15191520) The Art of War, high military science. Discorso sopra il riformare lo stato di Firenze (1520) A discourse about the reforming of Florence. Sommario delle cose della citta di Lucca (1520) A summary of the affairs of the city of Lucca. Vita di Castruccio Castracani da Lucca (1520) The Life of Castruccio Castracani of Lucca, a biography. Istorie fiorentine (15201525) Florentine Histories, an eight-volume history book of the city-state, Florence, commissioned by Giulio di Giuliano de Medici, later Pope Clement VII. Frammenti storici (1525) Fragments of stories.

Konsep dan Pandangan mengenai Machiavelli Tidak seperti pemikir Abad Pertengahan, Machiavelli melihat kekuasaan sebagai tujuan itu sendiri. Ia menyangkal asumsi bahwa kekuasaan adalah alat atau instrumen belaka untuk mempertahankan nilai-nilai moralitas, etika atau agama. Bagi Machiavelli segala kebajikan, agama, moralitas justru harus dijadikan alat untuk memperoleh dan memperbesar kekuasaan. Bukan sebaliknya. Jadi kekuasaan haruslah diperoleh, digunakan, dan dipertahankan semata-mata demi kekuasaan itu sendiri. Buku-buku abad pertengahan memberikan kepercayaan bahwa penggunaan kekuasaan politik hanya dibenarkan jika dimiliki oleh orang-orang yang memiliki karakter memenuhi nilai-nilai luhur. Jika pemegang kekuasaan menginginkan kedamaian dan tetap menduduki jabatannya, harus bertindak sesuai dengan standar kebaikan dan etika. Mereka hanya akan dipatuhi sepanjang menunjukkan pemenuhan nilai-nilai moral. Berdasar pandangannya itu, Machiavelli menolak tegas doktrin Aquinas tentang gambaran penguasa yang baik. Aquinas dalam karyanya The Government of Princes berpendapat bahwa penguasa yang baik harus menghindari godaan kejayaan dan kekayaankekayaan duniawi agar memperoleh ganjaran surgawi kelak. Bagi Machiavelli justru terbalik, penguasa yang baik harus berusaha mengejar kekayaan dan kejayaan karena keduanya merupakan nasib mujur yang dimiliki seorang penguasa.

Bagi Machiavelli kekuasaan adalah raison detre negara (state). Negara juga merupakan simbolisasi tertinggi kekuasaan politik yang sifatnya mencakup semua (all embracing) dan mutlak. Bertolak dari pandangan-pandangan Machiavelli di atas beberapa sarjana berpendapat bahwa Machiavelli memiliki obsesi terhadap negara kekuasaan (maachstaat) dimana yang kedaulatan tertinggi terletak pada kekuasaan penguasa dan bukan rakyat dan prinsip-prinsip hukum. Adalah Machiavelli yang pertama kali mendiskusikan fenomena sosial politik tanpa merujuk pada sumber-sumber etis ataupun hukum. Inilah pendekatan pertama yang bersifat murni scientific terhadap politik. Bagi Machiavelli, politik hanya berkaitan dengan satu hal semata, yaitu memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Hal lainnya, seperti agama dan moralitas, yang selama ini dikaitkan dengan politik sesungguhnya tidak memiliki hubungan mendasar dengan politik, kecuali bahwa agama dan moral tersebut membantu untuk mendapat dan mempertahankan politik. Keahlian yang dibutuhkan untuk mendapat dan melestarikan kekuasaan adalah perhitungan. Seorang politikus mengetahui dengan benar apa yang harus dilakukan atau apa yang harus dikatakan dalam setiap situasi. Machiavelli menyarankan kalaupun seorang penguasa boleh melakukan kekejaman dan menggunakan cara binatang hendaknya dilakukan tidak terlalu sering. Setelah melakukan tindakan itu, ia harus bisa mencari simpati dan dukungan rakyatnya dan selalu berjuang demi kebahagiaan mereka. Dia juga harus berusaha agar selalu membuat rakyat tergantung kepadanya. Kearifan dan kasih sayang terhadap rakyat, kata Machiavelli , akan bisa meredam kemungkinan timbulnya pembangkangan. Penguasa yang dicintai rakyatnya tidak perlu takut terhadap pembangkangan sosial. Inilah menurut Machiavelli usaha yang paling penting yang harus dilakukan seorang penguasa. Machiavelli mengakui bahwa hukum yang baik dan tentara yang baik merupakan dasar bagi suatu tatanan sistem politik yang baik. Namun karena paksaan dapat menciptakan legalitas, maka dia menitik beratkan perhatian pada paksaan. Karena tidak akan ada hukum yang baik tanpa senjata yang baik, maka Machiavelli hanya akan membicarakan masalah senjata. Dengan kata lain, hukum secara keseluruhan bersandar pada ancaman kekuatan yang memaksa. Otoritas merupakan hal yang tidak mungkin jika terlepas dari kekuasaan untuk memaksa. Oleh karena itu, Machiavelli menyimpulkan bahwa ketakutan selalu tepat digunakan, seperti halnya kekerasan yang secara efektif dapat mengontrol legalitas. Seseorang akan patuh hanya karena takut terhadap suatu konsekuensi, baik kehilangan kehidupan atau kepemilikan. Argumentasi Machiavelli dimaksudkan untuk menunjukkan bahwapolitik secara keseluruhan dapat didefinisikan sebagai supremasi kekuasaan memaksa. Otoritas adalah suatu hak untuk memerintah. Untuk memahami pemikiran Machiavelli, negara tidak boleh dipikirkan dalam kaca mata etis, tetapi dengan kaca mata medis. Pada saat itu, Italia sedang menderita dan menyedihkan, sedangkan Florentine dalam bahaya besar. Untuk itu negara harus dibuat menjadi kuat bukan dengan pendekatan etis tetapi medis. Rakyat yang berkhianat harus diamputasi sebelum menginfeksi seluruh negara. Machiavelli melihat politik seperti kondisi medan perang yang harus ditaklukkan. Virtu And Fortune

Nilai (virt), dalam bahasa Machiavelli dipahami sebagai individu yang memiliki kemampuan untuk mewujudkan keinginannya dalam situasi sosial yang berubah melalui kehendak yang kuat, kekuatan, serta perhitungan dan strategi yang brilliant. Bahkan, untuk mendapatkan cinta seorang perempuan (Fortune), seorang raja yang ideal tidak meminta atau memohon, tetapi mengambilnya secara fisik dan melakukan apapun yang dia mau. Skandal tersebut melambangkan potensi manusia yang sangat kuat di lapangan politik. Tulisan Machiavelli yang membahas mengenai Virtu dan Fortune Quote: Lebih baik untuk bersikap keras ketimbang hati-hati, sebab keberuntungan itu ibarat perempuan; kalau ingin mengendalikan perempuan, laki-laki harus mengekang dan memukulinya.

Virt, dalam konsepsi Machiavelli adalah kualitas personal yang dibutuhkan oleh seorang raja untuk mengelola negaranya dan meningkatkan kekuasaannya. Raja harus memiliki kualitas virt yang paling tinggi, bahkan jika dibutuhkan untuk dapat bertindak sangat jahat. Untuk dapat menjadi seseorang yang memiliki kualitas virt, raja harus bersifat fleksibel (flexible disposition). Orang yang sesuai untuk memegang kekuasaan menurut Machiavelli adalah seseorang yang dapat melakukan berbagai tindakan dari yang baik hingga yang buruk. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan Virt adalah segala hal yang terkait dengan kekuasaan. Penguasa Virt dituntut untuk memiliki kompetensi menjalankan kekuasaan. Memiliki Virt berarti memiliki kemampuan atas segala aturan yang terkait dengan menjalankan kekuasaan secara efektif. Virt adalah kekuasaan politik. Konsepsi lain yang menghubungkan antara Virt dengan pelaksanaan kekuasaan yang efektif adalah Fortuna. Fortuna adalah musuh dari tatanan politik, merupakan ancaman bagi keselamatan dan keamanan negara. Penggunaan konsep fortuna ini menimbulkan banyak perdebatan. Secara konvensional, fortuna diartikan sebagai keramahan, sesuatu yang lunak dan tidak berbahaya, tetapi juga sifat ketuhanan yang berubah-ubah sebagai sumber dari kebaikan sekaligus keburukan manusia.Sedangkan Machiavelli mengartikan fortuna sebagai kedengkian dan sumber kesengsaraan manusia yang tidak dapat ditoleransi, penderitaan, dan musibah. Jika fortuna menentukan kemajuan yang dicapai umat manusia, maka tidak ada seorangpun yang dapat bertindak secara efektif berhadapan dengan ketuhanan. Dia menggambarkan fortuna menyerupai satu dari sungai kita yang merusak, yang pada saat marah akan mengubah daratan menjadi danau, meruntuhkan pohon dan bangunan, mengambil dunia dari satu titik dan meletakkannya pada titik lain; semua orang melarikan diri sebelum banjir; semua orang marah dan tidak ada yang dapat menolak. Kemarahan dan musibah tersebut tidak berarti berada di luar kekuasaan manusia. Sebelum hujan tiba, masih mungkin untuk melakukan sesuatu untuk mengalihkan atau mengubah konsekuensinya. Gambaran tersebut dikemukanan oleh Machiavelli untuk menyatakan bahwa fortuna dapat diatasi oleh manusia, namun harus dengan persiapan dengan Virt dan kebijakan. Quote:

Kesuksesan politik bergantung kepada apresiasi berjalannya fortuna. Pengalaman Machiavelli mengajarkan bahwa adalah lebih baik bergerak cepat (impetuous) dari pada berhati-hati, karena fortuna adalah seorang perempuan dan diperlukan untuk menempatkannya di bawah kita, mengacaukan dan menganiayanya. Dengan kata lain, fortuna menuntut respon kekerasan dari mereka yang hendak mengontrolnya.

Pandangan terhadap Machiavelli Terdapat tiga pandangan berbeda terhadap Machiavelli dilihat dari karya-karyanya. Pandangan pertama, menyatakan bahwa Machiavelli adalah pengajar kejahatan atau paling tidak mengajarkan immoralism dan amoralism. Pandangan ini dikemukakan oleh Leo Strauss (1957) karena melihat ajaran Machiavelli menghindar dari nilai keadilan, kasih sayang, kearifan, serta cinta, dan lebih cenderung mengajarkan kekejaman, kekerasan, ketakutan, dan penindasan. Pandangan kedua, merupakan aliran yang lebih moderat dipelopori oleh Benedetto Croce (1925) yang melihat Machiavelli sekadar seorang realis atau pragmatis yang melihat tidak digunakannya etika dalam politik. Padangan ketiga yang dipelopori oleh Ernst Cassirer (1946), yang memahami pemikiran Machiavelli sebagai sesuatu yang ilmiah dan cara berpikir seorang scientist. Dapat disebutkan sebagai Galileo of politics dalam membedakan antara fakta politik dan nilai moral (between the facts of political life and the values of moral judgment). Quote: Machiavelli telah begitu lama digambarkan sebagai inkarnasi sinisme. Namun, ia menganggap dirinya sendiri sebagai moralis. Ia melukiskan dunia sesuai dengan apa yang didapatinya, bukan seperti yang diharapkannya. Sesungguhnya, ia yakin bahwa seorang penguasa yang memiliki keyakinan moral kuat sekaligus juga yang bisa melakukan manipulasilah yang dapat bertahan di belantara hidup yang keras ini.

Inovasi Machiavelli dalam buku Discourses on Livy dan The Prince adalah memisahkan teori politik dari etika. Hal itu bertolak belakang dengan tradisi barat yang mempelajari teori politik dan kebijakan sangat erat kaitannya dengan etika seperti pemikiran Aristoteles yang mendefinisikan politik sebagai perluasan dari etika. Dalam pandangan barat, politik kemudian dipahami dalam kerangka benar dan salah, adil dan tidak adil. Ukuran-ukuran moral digunakan untuk mengevaluasi tindakan manusia di lapangan politik. Saat itu, Machiavelli telah menggunakan istilah la stato, yang berasal dari istilah latin status, yang menunjuk pada ada dan berjalannya kekuasaan dalam arti yang memaksa, tidak menggunakan istilah dominium yang lebih menunjuk pada kekuasaan privat. The Prince

Aslinya berjudul De Principatibus (Tentang Kekuasaan), ditulis pada 1513, namun baru diterbitkan pada 1532, lima tahun setelah kematian Machiavelli. - yang sesungguhnya adalah surat Machiavelli kepada Lorenzo de Medici, penguasa Florence, Italia, pada saat itu - Tulisan ini adalah sebuah studi klasik tentang kekuasaan bagaimana memperolehnya, memperluas, dan menggunakannya dengan hasil yang maksimal. Tulisan ini sebenarnya tidak mewakili karya-karyanya selama masa hidupnya, namun karya inilah yang paling diingat, dan yang menyebabkan lahirnya istilah "Machiavellis" yang digunakan secara luas sebagai istilah peyoratif. Machiavelli dipandang sebagai contoh seorang Renaissance. Ia dikenal sebagai penulis The Prince, sebuah karya teori politik realis. Sejak abad ke-16, generasi politisi tetap tertarik dengan pendekatan realis terhadap kekuasaan seperti yang dituangkan oleh Machiavelli. Ia menyatakan, Siapapun yang berkuasa, rakyat mendapatkan perlindungan dengan baik berkat penggabungan antara kekuatan (force) dengan kehati-hatian (prudence); kehati-hatian saja tidak cukup; demikian juga, kekuatan saja tidak cukup. Kekuatan dan kehati-hatian adalah puncak kekuatan pemerintahan yang telah dan akan tetap ada di dunia. Di bagian lain dalam The Prince, ia menyatakan, penguasa baru, yang belum memiliki akar kuat, diperlukan bertindak amoral untuk mencapai tujuan negara. Dalam tulisannya, Machiavelli juga menyadari bahwa hasil yang baik bisa didapatkan dari tindakan yang jahat. Inti pemikiran politik Machiavelli adalah kekuasaan, bagaimana kekuasaan ini diraih dan dipertahankan. Sumber kekuasaan bagi Machiavelli adalah negara, oleh karena itu negara dalam pandangannya memiliki kedaulatan dan kedudukan tertinggi. Namun pemikirannya mengenai bentuk negara ini bukanlah negara demokrasi seperti yang sedang menjadi kecenderungan sekarang ini. Yang menjadi perhatian Machiavelli tentang bentuk negara ini adalah, kekuasaan despotik, kolonial, dan aneksasi. Pemikiran ini tampaknya sudah tidak bisa dipakai karena sangat bertentangan dengan demokrasi dan kesamaan derajat antara bangsa-bangsa. Selain itu, sebagian pemikirannya tampak diwarnai ide kekerasan, kelicikan, dan egoisme dalam rangka meraih dan mempertahankan kekuasaan. Namun apakah seluruh pemikirannya sudah tidak sesuai zaman dan tidak terpakai lagi. Apakah sebenarnya masih ada, paling tidak unsur-unsur pemikirannya yang masih bisa diterapkan dalam praktek negara demokrasi.

Kehancuran Italia pada masa hidup Machiavelli adalah karena negaranya mengandalkan tentara sewaan itu selama bertahun-tahun dan tidak memiliki tentara sendiri. Pengalaman sejarah membuktikan hanya para penguasa dan negara republik yang memiliki tentara kuat berhasil baik, dan penggunaan tentara bayaran hanya mendatangkan kekalahan. Sejarah Romawi dan Sparta menunjukkan kebenaran pendapat itu. Kedua negara itu mampu bertahan karena memiliki tentara sendiri, sedangkan negara Chartago dikalahkan karena tidak memiliki tentara sendiri dan mengandalkan tentara bayaran. Begitu pentingnya militer bagi suatu negara dan usaha mempertahankan kekuasaan, maka penguasa harus menjadikan keahlian kemiliteran sebagai barang miliknya yang paling berharga. Ia juga harus senantiasa belajar ilmu perang dan bertempur. Oleh karena itu seorang penguasa tidak boleh lengah untuk selalu memikirkan dan melatih dirinya dalam latihan perang dan kemiliteran (exercise of war). Intensitasnya melakukan latihan perang di masa damai harus lebih besar daripada di masa perang. Saat-saat damai hendaknya dijadikan persiapan untuk menghadapi perang. Tidak ada perdamaian tanpa persiapan matang untuk perang. Dalam latihan perang, penguasa dan tentaranya harus selalu disiplin dan terbiasa hidup dengan cara keras. Dengan demikian tubuhnya akan terbiasa dengan penderitaan. Untuk memenangkan peperengan mereka harus mengetahui ilmu tntang alam, tanah, dan sungai-sungai. Maka dalam latihan perang tercakup pelajaran mengenai strategi bagaimana bisa tetap hidup (how to survive), mendaki gunung dan lembah, menyusuri sungai-sungai dan rawa-rawa. Semua pengetahuan ini menurut Machiavelli penting setidaknya untuk dua hal.

Tentara dan penguasa mengetahui persis keadaan negaranya. Mengerti cara bagaimana mempertahankannya dari serangan musuh.

Dengan memiliki pengetahuan dan pengalaman menjelajahi bukit, gunung dan menyusuri sungai maupun rawa-rawa pada suatu bagian tertentu di negaranya, maka ia akan memahami kawasankawasan lain yang memiliki karakteristik serupa dengan kawasan yang dipelajari dan ditelusurinya itu. Dengan mengetahui satu wilayah, ia akan mudah memahami wilayah-wilayah di negara lainnya. Dengan memiliki pengetahuan itu juga tentara dan penguasa akan mudah menemukan musuhmusuhnya dan merebut markas-markas tentara yang dikuasai musuh-musuh mereka. Untuk memahami segala seluk beluk mengenai perang dan tentara, Machiavelli juga menyarankan kepada penguasa agar selalu belajar dari pengalaman penguasa atau kaisar-kaisar lain di masa lalu. Misalnya mempelajari bagaimana cara bertempur yang baik, mempertahankan diri dari serangan musuh, melakukan serangan balasan yang efektif dan cara-cara bagaimana mereka memenangkan suatu peperangan dan sebagainya. Seorang penguasa tidak perlu malu-malu untuk mencontoh keberhasilan-keberhasilan mereka. Menurut Machiavelli, cara belajar demikianlah yang dilakukan Alexander Agung yang mencontoh Achilles, Caesar dan Scipio Syrus. Inilah sumbangan penting pemikiran Machiavelli bagi perkembangan teori-teori perang dan kemiliteran. The Prince juga menguraikan tentang perlunya penguasa mempelajari sifat-sifat terpuji dan yang tak terpuji. Dia harus berani melakukan tindakan tidak terpuji kejam, bengis, khianat, kikir asalkan itu baik bagi negara dan kekuasaannya. Untuk mencapai tujuan, cara apapun bisa digunakan (the ends

justify the means). Oleh karena itu penguasa tidak perlu takut untuk tidak dicintai, asalkan ia tidak dibenci rakyat. Dengan kata lain, penguasa harus pandai-pandai menggunakan cara-cara manusia dan cara binatang bila saat-saat tertentu dibutuhkan. Asumsi ini muncul di benak Machiavelli karena menurutnya manusia memiliki dua sifat yang bertentangan, yaitu sifat manusia tulus, penyayang, baik, pemurah, tetapi juga memiliki sifat-sifat binatang atau sifat tak terpuji, jahat, kikir, bengis, dan kejam. Kedua sifat manusia yang paradoksal ini membawa implikasi terhadap cara menangani persoalan politik. Cara penanganan persoalan politik dengan cara manusia, tidak efektif tanpa disertai cara binatang. Tetapi bisa terjadi sebaliknya, cara binatang juga tidak efektif tanpa menggunakan cara manusia. Kedua cara itu ibarat two sides of the same coin. Machiavelli berpendapat bahwa penguasa negara bisa menggunakan cara binatang, terutama ketika menghadapi lawan-lawan politiknya. Dalam The Prince dikemukakan bahwa seorang penguasa bisa menjadi singa (lion) di satu saat, dan menjadi rubah (fox) di saat lainnya. Menghadapi musuhnya yang ganas bagai seekor serigala, penguasa hendaknya bisa berperangai seperti singa, karena dengan cara itulah ia bisa mengalahkan lawannya. Tetapi penguasa harus bersikap seperti rubah bila lawan yang dihadapinya adalah perangkap-perangkap musuh. Bukan singa yang mampu mengendus perangkap-perangkap itu, melainkan rubah. Rubah amat peka dengan perangkap yang akan menjerat dirinya. Tulisan Machiavelli mengenai tindakan penguasa Quote: Ia harus memilih untuk tampil laksana rubah dan laksana singa. Masalahnya, singa tak melindungi dirinya sendiri dari jebakan; sedangkan rubah tidak melindungi dirinya dari srigala. Karena itu, pangeran harus seperti rubah dengan melindungi dirinya dari jebakan, dan seperti singa untuk melindungi dirinya dari serigala.

Machiavelli berpendapat bahwa seorang penguasa ideal adalah Archilles yang belajar jadi penguasa dari Chiron. Chiron adalah mahluk berkepala manusia berbadan dan berkaki kuda dalam mitologi Yunani kuno. Artinya, seorang penguasa harus memiliki watak manusia dan watak kebinatangan pada saat yang sama. Machiavelli menulis bahwa dengan belajar dari mahluk seperti Chiron, penguasa diharapkan bisa mengetahui bagaimana menggunakan sifat manusia dan sifat binatang. Menggunakan salah satu cara berkuasa tanpa cara lainnya tidak akan berhasil. Pandangan-pandangan yang diuraikan oleh Machiavelli dalam Sang Pangeran mungkin kedengarannya ekstrem. Namun demikian, seluruh kehidupannya dihabiskannya di Florence pada saat konflik politik yang berkelanjutan. Karenanya, nilai utama yang ditekankan Machiavelli adalah kebutuhan akan stabilitas dalam wilayah seorang pangeran. Teori-teori yang diungkapkan dalam Sang Pangeran seringkali dipuja sebagai metode-metode cerdik yang dapat digunakan oleh pangeran yang sedang mencari kekuasaan untuk memperoleh takhta, atau oleh seorang pangeran untuk mengukuhkan pemerintahannya.

Menurut Machiavelli, kebaikan moral yang terbesar adalah sebuah negara, yang bijak (virtuous) dan stabil, dan tindakan-tindakan untuk melindungi negara, betapapun kejamnya, dapat dibenarkan. Yang sangat penting ialah bahwa ia melakukan segala sesuatu yang perlu untuk mempertahankan kekuasaannya; namun demikian, Machiavelli sangat menganjurkan bahwa terutama sekali, Sang Pangeran tidak boleh dibenci. Ia memberikan sebuah jawaban yang padat tentang apakah seorang pangeran harus ditakuti atau dan dicintai. Ia menyatakan, "seorang pangeran yang bijaksana harus membangun kekuasaannya berdasarkan apa yang ia sendiri kuasainya dan bukan berdasarkan apa yang orang lain kuasai; ia harus berusaha agar ia tidak dibenci, seperti yang telah dicatat." Wacana pembukaan dari Sang Pangeran mendefinisikan metode-metode pemerintahan yang efektif dalam beberapa bentuk kepangeranan (misalnya, jabatan yang baru diperoleh vs. keturunan). Machiavelli menjelaskan kepada pembacanya, yang diasumsikan sebagai seorang anggota dari kebangsawanan Firenze, jalan terbaik untuk memperoleh, mempertahankan, dan melindungi sebuah negara. Metode-metode yang digambarkan di dalamnya mencakup pengajaran tentang perang dan kekejaman. The Prince dapat dianggap nasihat praktek terpenting buat seorang kepada negara. Pikiran dasar buku ini adalah, untuk suatu keberhasilan, seorang Pangeran harus mengabaikan pertimbangan moral sepenuhnya dan mengandalkan segala, sesuatunya atas kekuatan dan kelicikan. Machiavelli menekankan di atas segala-galanya yang terpenting adalah suatu negara mesti dipersenjatai dengan baik. Dia berpendapat, hanya dengan tentara yang diwajibkan dari warga negara itu sendiri yang bisa dipercaya; negara yang bergantung pada tentara bayaran atau tentara dari negeri lain adalah lemah dan berbahaya. Machiavelli menasihatkan sang Pangeran agar dapat dukungan penduduk, karena kalau tidak, dia tidak punya sumber menghadapi kesulitan. Tentu, Machiavelli maklum bahwa kadangkala seorang penguasa baru, untuk memperkokoh kekuasaannya, harus berbuat sesuatu untuk mengamankan kekuasaannya, terpaksa berbuat yang tidak menyenangkan warganya. Meski begitu untuk merebut sesuatu negara, si penakluk mesti mengatur langkah kekejaman sekaligus sehingga tidak perlu mereka alami tiap hari kelonggaran harus diberikan sedikit demi sedikit sehingga mereka bisa merasa senang." Quotes dari Il Prince Dalam kaitannya dengan kekuasaan seorang penguasa, Machiavelli membahas perebutan kekuasaan (kerajaan). Bila seorang penguasa berhasil merebut suatu kerajaan maka ada cara memerintah dan mempertahankan negara yang baru saja direbut itu.

Memusnahkannya sama sekali dengan membumi hanguskan negara dan membunuh seluruh keluarga penguasa lama. Tidak boleh ada yang tersisa dari keluarga penguasa lama sebab hal itu akan menimbulkan benih-benih ancaman terhadap penguasa baru suatu saat kelak. Dengan melakukan kolonisasi, mendirikan pemukiman-pemukiman baru dan menempatkan sejumlah besar pasukan infantri di wilayah koloni serta menjalin hubungan baik dengan negara-negara tetangga terdekat. Cara kolonisasi pernah dilakukan bangsa Romawi.

Untuk mencapai sukses, seorang Pangeran harus dikelilingi dengan menteri-menteri yang mampu dan setia: Machiavelli memperingatkan Pangeran agar menjauhkan diri dari penjilat dan minta pendapat apa yang layak dilakukan. Dalam bab 17 buku The Prince , Machiavelli memperbincangkan apakah seorang Pangeran itu lebih baik dibenci atau dicintai. Tulis Machiavelli: "... Jawabnya ialah orang selayaknya bisa ditakuti dan dicintai sekaligus. Tetapi ... lebih aman ditakuti daripada dicintai, apabila kita harus pilih salah satu. Sebabnya, cinta itu diikat oleh kewajiban yang membuat seseorang mementingkan dirinya sendiri, dan ikatan itu akan putus apabila berhadapan dengan kepentingannya. Tetapi ... takut didorong oleh kecemasan kena hukuman, tidak pernah meleset ..." Bab 18 yang berjudul "Cara bagaimana seorang Pangeran memegang kepercayaannya." Di sini Machiavelli berkata "... seorang penguasa yang cermat tidak harus memegang kepercayaannya jika pekerjaan itu berlawanan dengan kepentingannya ..." Dia menambahkan, "Karena tidak ada dasar resmi yang menyalahkan seorang Pangeran yang minta maaf karena dia tidak memenuhi janjinya," karena "... manusia itu begitu sederhana dan mudah mematuhi kebutuhan-kebutuhan yang diperlukannya saat itu, dan bahwa seorang yang menipu selalu akan menemukan orang yang mengijinkan dirinya ditipu." Sebagai hasil wajar dari pandangan itu, Machiavelli menasihatkan sang Pangeran supaya senantiasa waspada terhadap janji-janji orang lain. Kritik terhadap Machiavelli dan Il Prince The Prince (Sang Pangeran) sering dijuluki orang "buku petunjuk untuk para diktator." Karier Machiavelli dan berbagai tulisannya menunjukkan bahwa secara umum dia cenderung kepada bentuk pemerintahan republik ketimbang pemerintahan diktator. Tetapi dia cemas dan khawatir atas lemahnya politik dan militer Italia, dan merindukan seorang Pangeran yang kuat yang mampu mengatur negeri dan menghalau tentara-tentara asing yang merusak dan menista negerinya. Menarik untuk dicatat, meskipun Machiavelli menganjurkan seorang Pangeran agar melakukan tindakan-tindakan kejam dan sinis, dia sendiri seorang idealis dan seorang patriot, dan tidak begitu mampu mempraktekkannya sendiri apa yang dia usulkan. Sedikit filosof politik yang begitu sengit diganyang seperti dialami Machiavelli. Bertahun-tahun, dia dikutuk seperti layaknya seorang turunan iblis, dan namanya digunakan sebagai sinonim kepalsuan dan kelicikan. (Tak jarang, kutukan paling sengit datang dari mereka yang justru mempraktekkan ajaran Machiavelli, suatu kemunafikan yang mungkin prinsipnya disetujui juga oleh Machiavelli)! Kritik-kritik yang dilempar ke muka Machiavelli dari dasar alasan moral tidaklah, tentu saja, menunjukkan bahwa dia tidak berpengaruh sama sekali. Kritik yang lebih langsung adalah tuduhan keberatan bahwa idenya itu bukan khusus keluar dari kepalanya sendiri. Tidak orisinal! Ini sedikit banyak ada benarnya juga. Machiavelli berulang kali menanyakan bahwa dia tidak mengusulkan sesuatu yang baru melainkan sekedar menunjukkan teknik yang telah pernah dilaksanakan oleh para Pangeran terdahulu dengan penuh sukses. Kenyataan menunjukkan Machiavelli tak henti-hentinya melukiskan usulnya seraya mengambil contoh kehebatan-kehebatan yang pernah terjadi di jaman lampau, atau dari kejadian di Italia yang agak baruan. Cesare Borgia (yang dipuji-puji oleh Machiavelli dalam buku The Prince) tidaklah belajar taktik dari Machiavelli; malah sebaliknya, Machiavelli yang belajar darinya.

Tetapi, jika efek, pikiran Machiavelli dalam praktek politik tidak begitu jelas, pengaruhnya dalam teori politik tidaklah perlu diperdebatkan. Penulis-penulis sebelumnya seperti Plato dan St. Augustine, telah mengaitkan politik dengan etika dan teologi. Machiavelli memperbincangkan sejarah dan politik sepenuhnya dalam kaitan manusiawi dan mengabaikan pertimbanganpertimbangan moral. Masalah sentral, dia bilang, adalah bukan bagaimana rakyat harus bertingkah laku; bukannya siapa yang mesti berkuasa, tetapi bagaimana sesungguhnya orang bisa peroleh kekuasaan. Teori politik ini diperbincangkan sekarang dalam cara yang lebih realisitis daripada sebelumnya tanpa mengecilkan arti penting pengaruh Machiavelli. Orang ini secara tepat dapat dianggap salah satu dari pendiri penting pemikir politik modern. para "pendukung" Meskipun demikian, tidak sedikit orang yang membela Machiavelli. Mereka mengatakan bahwa Machiavelli sering disalah pahami karena bukunya yang banyak dibaca orang hanyalah Il Principe, sedikit sekali yang membaca buku-bukunya yang lain, misalnyaDiscorsi Sopra la Prima Deca di Tito Livio. Akibatnya, penilaian orang terhadap Machiavelli tidaklah utuh. Menurut para pembelanya, apabila kita telah cukup mengenal Machiavelli, kita akan tahu bahwa sebenarnya dia adalah orang yang religius dan bermoral. Mereka juga mengatakan bahwa untuk memahami Il Principe, kita harus mempertimbangkan keadaan Italia saat buku itu ditulis. Pada saat itu, Italia dalam keadaan terpecah belah dan sangat rentan terhadap serangan asing. Machiavelli ingin menyelamatkan Italia dengan cara menulis Il Principe. Kondisi Italia yang kritis itu membuat Machiavelli tidak lagi memandang perlu pembicaraan tentang etika. Dia tidak berbicara mengenai negara dari sudut pandang etis, tetapi dari sudut pandang medis. Machiavelli yakin bahwa Italia sedang mengidap penyakit gawat. Alih-alih mendekati masalah itu dari sudut pandang etika, Machiavelli berkonsentrasi menyembuhkan negara untuk membuatnya lebih kuat. Contoh pemakaian terminologi medis dalam Il Principe adalah ketika Machiavelli berbicara tentang para penghasut para penghasut harus diamputasi sebelum mereka menginfeksi seluruh negara. Namun, semua pembelaan terhadap Machiavelli ini sesungguhnya dapat dipatahkan karena pada 1810 telah ditemukan sebuah surat yang ditulis oleh Machiavelli yang di dalamnya dia mengakui bahwa dia menulis Il Principe agar mendapat kedudukan dalam pemerintahan Keluarga Medici di Florence (sebelum Keluarga Medici berkuasa, Machiavelli adalah seorang pejabat pemerintah). Untuk membebaskan Italia dari kekuatan asing, Machiavelli menekankan perlunya pemerintahan pribumi yang kuat, meskipun itu adalah pemerintahan yang absolut. Betapa pun kontroversial, Il Principe adalah sebuah buku yang populer dan berpengaruh. Buku ini masuk ke dalam daftar Books that Changed the World, yang dirumuskan oleh Robert Downs, bersama-sama Wealth of Nations (Adam Smith), Essay on the Principle of Population (Thomas Malthus), Das Kapital (Karl Marx), Mein Kampf (Adolf Hitler), Principia Mathematica (Sir Issac Newton), Origin of Species (Charles Darwin), dan buku-buku hebat lainnya. Teori-teori politik Machiavelli banyak dipraktikkan di berbagai negara. Pada abad XX, machiavellianisme sangat menonjol dalam praktik hubungan internasional. Konon Napoleon Bonaparte, sang diktator Prancis itu, senantiasa menyelipkan buku Il Principe di bawah bantal tidurnya. Kepemimpinan Stalin, Hitler, dan Mussolini sangat dipengaruhi oleh machiavellianisme.

Namun, hanya Benito Mussolini yang pernah menyatakan kekagumannya atas ajaran Machiavelli secara terang-terangan di depan publik, sedangkan pemimpin lainnya enggan berterus terang. The Discourses Jika buku the Prince banyak menimbulkan perdebatan, maka tidak demikian halnya dengan buku The Discourses on the Ten Books of Titus Livy yang oleh banyak ahli dipandang mewakili komitmen dan kepercayaan politik pribadi Machiavelli, khususnya terhadap republik. Dalam semua karyanya, secara konsisten Machiavelli membagi tatanan kehidupan sipil dan politik menjadi yang bersifat minimal dan yang penuh yang mempengaruhi pencapaian kehidupan bersama. Tatanan konstitusional yang minimal adalah di mana subyek hidup dengan aman (vivere sicuro), diatur oleh pemerintah yang kuat yang senantiasa mengawasi perkembangan bangsawan dan rakyatnya, namun diimbangi dengan mekanisme hukum dan institusional lainnya. Sedangkan tatanan konstitusional yang penuh, tujuan tatanan politik adalah untuk kebebasan masyarakat (vivere libero) yang diciptakan secara aktif oleh partisipasi dan interaksi antara kaum bangsawan dan rakyat. Selama kariernya sebagai sekretaris dan diplomat pada Republik Florance, Machiavelli mendapatkan pengalaman di lingkungan inti pemerintahan Perancis yang menurut pandangannya adalah model konstitusional minimal (the secure *but not free+ polity). Machiavelli melihat kerajaan Perancis dan Rajanya memiliki dedikasi terhadap hukum. Dia menyatakan bahwa kerajaan Perancis merupakan kerajaan yang pada saat itu paling baik pengaturan hukumnya. Raja Perancis dan para bangsawan yang berkuasa dikontrol oleh aturan hukum yang dilaksanakan oleh otoritas independen dari parlemen. Oleh karena itu, kesempatan adanya tindakan tirani yang tak terkendali dapat dieliminasi. Bagaimanapun bagusnya penataan dan kepatuhan hukum dalam rezim yang demikian, menurut pandangan Machiavelli tidak sesuai dengan vivere libero. Sepanjang terdapat kehendak publik untuk mendapatkan kebebasannya, raja yang tidak dapat memenuhinya harus meneliti apa yang dapat membuat mereka menjadi bebas. Dia menyimpulkan bahwa beberapa individu menginginkan kebebasan hanya untuk dapat memerintah yang lain. Sebaliknya, sebagian besar mayoritas rakyat mengalami kebingungan antara kebebasan dan keamanan, membayangkan bahwa keduanya adalah identik. Namun ada juga yang menginginkan kebebasan untuk tujuan hidup dengan aman (vivere sicuro). Machiavelli kemudian menyatakan bahwa rakyat hidup dengan aman (vivere sicuro) tanpa alasan lain dibanding dengan rajanya yang terikat hukum guna memberikan keamanan bagi seluruh rakyat. Karakter kepatuhan terhadap hukum dari rezim Perancis adalah untuk memastikan keamanan, namun keamanan tersebut jika diperlukan tidak boleh dicampurkan dengan kebebasan. Inilah batasan dari aturan dari monarki, bahkan untuk kerajaan yang paling baik, tidak akan dapat menjamin rakyatnya dapat diperintah dengan tenang dan tertib. Diolah Dari Berbagi Sumber

You might also like