You are on page 1of 22

2.4.2 Leukemi mieloblastik akut 2.4.2.

1 Definisi Leukemia mieloid akut (LMA) atau Acute Myeloblastic Leukemia (AML) sering juga dikenal dengan istilah Acute Myelogenous Leukemia atau Acute Granulocytic Leukemia merupakan penyakit keganasan yang ditandai dengan diferensiasi dan proliferasi abnormal sel induk hematopoetik yang bersifat sistemik dan secara malignan melakukan transformasi sehingga menyebabkan penekanan dan penggantian komponen sumsum tulang belakang yang normal.2,3 Pada kebanyakan kasus LMA, tubuh memproduksi terlalu banyak sel darah putih yang disebut myeloblas yang masih bersifat imatur. Sel-sel darah yang imatur ini tidak sebaik sel darah putih yang telah matur dalam melawan adanya infeksi. Pada LMA, mielosit (yang dalam keadaan normal berkembang menjadi granulosit) berubah menjadi ganas dan dengan segera akan menggantikan sel-sel normal di sumsum tulang.3 Leukemia akut ini mengenai sel stem hematopoetik yang kelak berdiferensiasi ke suatu sel mieloid; monosit, granulosit, eritrosit, dan trombosit. Semua kelompok usia dapat terkena, insidensi meningkat sesuai dengan bertambahnya usia. 3

Gambar 6. Maturasi sel sel myeloid9 2.4.2.2 Epidemiologi Insidens LMA melebihi angka perkiraan pada kelainan genetik, termasuk trisomi 21, anemia Fanconi, anemia Diamond-Blackfan, sindrom Kostmann, dan sindrom Bloom. LMA mengenai semua kelompok usia, tetapi kejadiannya meningkat dengan bertambahnya usia. LMA merupakan 20% kasus leukemia pada anak. Sekitar 10.000 anak menderita LMA setiap tahunnya di seluruh dunia. LMA pada anak berjumlah kira-

kira 15% dari leukimia, dengan insidensi yang tetap dari lahir sampai umur 10 tahun, meningkat sedikit pada masa remaja.14,15,16 Di Amerika setiap tahunnya sekitar 2,4 per 100.000 penduduk atau sekitar 500 sampai 600 orang berusia kurang dari 21 tahun menderita LMA dan insiden ini meningkat sejalan dengan umur, puncaknya 12,6 per 100.000 penduduk dewasa yang berumur 65 tahun atau lebih.14,15,16 Yayasan Onkologi Anak Indonesia menyatakan, setiap tahun ditemukan 650 kasus leukemia di seluruh Indonesia, 150 kasus di antaranya terdapat di Jakarta dan sekitar 38% menderita jenis LMA .11-14 Sekitar 80% anak di bawah usia 2 tahun dengan LMA biasanya menderita LMA subtipe M4 atau M5. Subtipe M7 umumnya diderita anak berusia di bawah 3 tahun, terutama dengan Sindrom Down.2 Penelitian sitogenetik mengidentifikasi adanya keabnormalan kromosom pada sel darah di sumsum tulang terdapat lebih dari 70% anak yang baru didiagnosis LMA. Keabnormalan itu terletak pada t (8;21), t (15;17), inversi 16, translokasi pita 11q23, dan trisomi. LMA juga meningkat dari mielodisplasia, atau sekunder dari kemoterapi sebelumnya.16 2.4.2.3 Klasifikasi Berdasarkan French American British System (FAB), yaitu klasifikasi morfologis yang didasarkan pada diferensiasi sel dari pematangan sel-sel leukemia predominan di dalam sumsum tulang, serta didasarkan pula pada penelitian sitokimiawi, LMA dibagi : Tabel 4. Klasifikasi dan Insidensi subtipe LMA berdasarkan morfologi17

Garis turunan sel Myeloid

Klasifikasi LMA Mo M1 M2 APL M3 M4 M4eo

Subtipe Leukemia mieloblastik akut, differensiasi minimal

Insidensi 3-5%

Leukemia mieloblastik akut, tanpa 15-20 % maturasi Leukemia mieloblastik akut, dengan maturasi Leukemia Promielositik Akut, hipergranular Leukemia myelomonositik akut Leukemia myelomonositik akut dengan eosinofilia Leukemia monoblastik akut, diferensiasi buruk Leukemia monositik akut, diferensiasi Eritroleukemia akut Leukemia megakarioblastik akut 3-5 % 3 5 % 2-9 % 25-30% 10-15 % 20-30 %

Myeloid dan monositik

AMML

Monositik

LMA

M5a M5b

Eritroid dan myeloid Megakariosit

AEL

M6 M7

Tabel 5. Klasifikasi LMA berdasarkan sitokimia17

Tabel 6. Klasifikasi LMA berdasarkan imunositologi17

Klasifikasi LMA menurut FAB diperlihatkan pada tabel diatas didapatkan pada sel blas M1 memperlihatkan adanya beberapa granula dan dapat memperlihatkan Auer rod. Sel M2 memperlihatkan adanya granula sitoplama multiple. Sel blas M3 memperlihatkan nucleus bilobus yang mengandung granul azurofilik berlimpah yang kasar dan sering ditemukan batang Auer multiple. Sel blas M4 memperlihatkan sedikit diferensiasi monositoid.Sel blas M5 memperlihatkan leukemia predominasi monoblastik. Sel blas M6 memperlihatkan predomiasi eritroblas. Sel blas M7 memperlihatkan leukemia megakarioblastik adanya tonjolan sitoplasma pada sel blas.17 Leukemia berdasarkan penjelasan morfologi : a. Leukemia mieloblastik akut diferensiasi minimal (M0)

b. . Leukemia mieloblastik akut tanpa maturasi (M1) c. Leukemia mieloblastik akut dengan maturasi (M2)

Berbeda dengan M1 pada leukemia tipe M2 ini ditandai dengan banyaknya granulosit yang matang. Leukemia jenis ini diderita oleh sekitar 40% dari seluruh penderita LMA.

d. Leukemia promielositik akut (M3)

Pada leukemia tipe M3 ini ditandai dengan diferensiasi granulosit disertai promielosit hipergranular yang dikaitkan dengan disseminated intravaskular coagulation (DIC), sehingga pada leukemia tipe M3 terdapat manifestasi perdarahan seperti : hemoptisis, hematuria, perdarahan vagina, melena, hematemesis, dan perdarahan pulmonasi dan intrakranial. Perdarahan ini disebabkan trombositopeni atau DIC. Jenis ini ditemukan 10% kasus dari seluruh kasus LMA. e. Leukemia Mielomonositik Akut (M4)

Pada pemeriksaan sitologi ditemukan sel leukemia yang dominan mieloblas dan monosit di dalam darah dan sumsum tulang. Pada pemeriksaan klinis hampir sama dengan leukemia M1 M3, tetapi menunjukkan gejala infiltrat ekstramedular yang lebih tinggi seperti pada gingiva yang menyebabkan hipertrofi gingiva, kulit ataupun sistem saraf pusat dengan gejala pusing, nausea, vomitus dan kadang-kadang perdarahan intracranial. f. Leukemia Monositik Akut (M5)

M5a : leukemia monositik akut, kurang berdiferensiasi M5b : leukemia monositik akut, berdiferensiasi baik. Leukemia tipe M5 ditandai dengan tingginya prevalensi tumor

ekstramedular pada kulit, gingiva, mata, laring, lambung, rectum dan berbagai tempat lain. Hepatomegali dan splenomegali juga banyak terjadi dibandingkan dengan jenis leukemia yang lain. Leukemia tipe M5 ditemukan 10% dari seluruh kasus LMA dan sering pada anak-anak atau dewasa muda. g. Leukemia Eritrositik Akut (M6)

Anemia dan trombositopenia pada semua kasus, umumnya dapat ditemukan kenaikkan jumlah leukosit. Sel darah merah terlihat anisositosis, poikilositosis, anisokromia dan basofilik. Pada sumsum tulang yang dominan mieloblas dan eritroblas, eritroblas sangat abnormal dengan banyaknya nukleus raksasa, bercabang dan tersebar. Tipe ini sekitar 5% dari seluruh kasus LMA. h. Leukemia Megakariositik Akut (M7)

Tabel 7. Klasifikasi berdasarkan abnormalitas kromosom17

Translokasi t(8;21) hampir secara eksklusif ditemukan pada M1 dan M2. Semua kasus M3 membawa translokasi t (15;17) dan M5 berhubungan dengan t(9;11). Kromosom 16 abnormal terlihat dominan pada M4 dan sebagai berhubungan dengan peningkatan eosinofil di sumsum tulang. Pada bayi, umumnya perubahan kromosom melibatkan 11q23. Banyak kromosom berperan dalam translokasi yang melibatkan lokus ini. Gen pada kromosom 11( MLL, HRX, atau ALL -1) berhubungan dengan sebuah gen homebox pada drosophila yang bila bermutasi meningkatkan malformasi morfologi pada dada dan perut pasien. Translokasi ynag terlihat pada leukemia promielositik (FAB M3) t(15;17), break point pada kromosom 17 adalah gen encoding dari retinoic acid nuclear receptor alpha (RAR a) an kromosom 15 pada gen yang awanya disebut myee kemudian dinamakan PML. Leukemia bereaksi pada semua trans retinoic acid.3 Produk gen dari translokasi t(8;21) (q22;q22) suah terdeteksi. Break point pada kromosom 21 melibatkan gen LMA 1 dan kemungkinan merupakan kandidat kromosom 8 yang isebut EOT. Translokasi ini hasil produksi gen chimerik dan sebuah pesan yang kadang kadang mengarah pada keganasan.3 2.4.2.4 Diagnosis a. Manifestasi klinis dan pemeriksaan fisik Tanda dan gejala utama LMA adalah adanya rasa lelah, perdarahan dan infeksi yang disebabkan oleh sindrom kegagalan sumsum tulang sebagaimana disebutkan di atas. Perdarahan biasanya terjadi dalam bentuk purpura atau petekia yang sering dijumpai di ekstremitas bawah atau berupa epistaksis, perdarahan gusi dan retina. Perdarahan yang lebih berat jarang terjadi kecuali pada kasus yang disertai dengan DIC. Kasus DIC ini paling sering dijumpai di tenggorokan, paru-paru, kulit dan daerah perirektal, sehingga organ-organ tersebut harus diperiksa secara teliti pada pasien LMA dengan demam.3,14,15 Pada pasien dengan angka leukosit yang sangat tinggi (>100 ribu/mm3), sering terjadi leukositasis, yaitu terjadinya gumpalan leukosit yang menyumbat aliran pembuluh darah vena maupun arteri. Gejala leukostasis, yaitu terjadinya gumpalan leukosit yang menyumbat aliran pembuluh darah vena maupun arteri. Gejala leukostasis sangat bervariasi, tergantung lokasi sumbatannya. Gejala yang sering dijumpai adalah gangguan kesadaran, sesak nafas, nyeri dada dan priapismus.3,14,15

Angka leukosit yang sangat tinggi juga sering menimbulkan gangguan metabolisme berupa hiperurisemia dan hipoglikemia. Hiperurisemia terjadi akibat selsel leukosit yang berproliferasi secara cepat dalam jumlah yang besar. Hipoglikemia terjadi karena konsumsi gula in vitro dari sampel darah yang akan diperiksa, sehingga akan dijumpai hipoglikemia yang asimptomatik karena hipoglikemia tersebut hanya terjadi in vitro tetapi tidak in vivo pada tubuh pasien.3,14,15 Infiltrasi sel-sel blast akan menyebabkan tanda/gejala yang bervariasi tergantung organ yang di infiltrasi. Infiltrasi sel-sel blast di kulit akan menyebabkan leukemia kutis yaitu berupa benjolan yang tidak berpigmen dan tanpa rasa sakit, sedang infiltrasi selsel blast di jaringan lunak akan menyebabkan nodul di bawah kulit (koroma). Infiltrasi sel-sel blast ke dalam gusi. Meskipun jarang, pada LMA juga dapat dijumpai infiltrasi sel-sel blast ke daerah menings dan untuk penegakan diagnosis diperlukan pemeriksaan sitologi dari cairan serebro spinal yang diambil melalui prosedur pungsi lumbal.3,14,15 LMA khas menunjukkan tanda dan gejala yang berkaitan dengan kegagalan sumsum tulang. LMA harus dipertimbangkan dalam evaluasi setiap penderita dengan pucat, demam, infeksi, atau perdarahan. Nyeri tulang kurang sering dibanding dengan pada LLA. Hepatosplenomegali sering, limfadenopati mungkin ada. Hipertrofi gingiva atau pembengkakan kelenjar parotis jarang tetapi merupakan temuan yang sugestif. Massa lokal dari sel leukemia (kloroma), mungkin timbul di tempat manapun, tetapi daerah retroorbotal dan epidural paling sering. Kloroma dapat mendahului infiltrasi sel leukemia sumsum tulang. Hitung darah biasanya abnormal. Anemia dan trombositopenia sering mencolok. Hitung leukosit mungkin tinggi, rendah, atau normal. Blas leukemia mungkin nyata pada preparat apus darah.3,14,15 LMA mungkin timbul pada anak yang mula-mula hanya menunjukkan anemia, leokopenia atau trombositopenia saja. Keadaan ini, yang lebih sering terjadi pada dewasa, khas disebut sindrom mielodisplasia. Gambaran khasnya meliputi kelainan morfologi sel darah dan sumsum tulang. Perjalanan alamiah sindrom mielodisplasia pada anak tidak begitu jelas, tetapi dapat timbul pada anak yang mendapat terapi keganasan sebelumnya.3 Pada pemeriksaan pasien terlihat lemah, lesu dan adanya perdarahan serta anemia dan leukopenia. Limfadenopati atau hepatosplenomegali sangat jarang ditemukan pada saat didiagnosis. Tingginya angka sel blast dan leukosit merupakan

tanda keadaan yang sudah lanjut. Platelet mungkin normal atau mengalami kenaikkan pada saat diperiksa. Pada banyaknya kasus aspirasi sumsum tulang yang berhasil karena sumsum mengalami fibrosis. Pada biopsi sumsum dapat ditemukan sel blast yang kecil atau yang besar atau bahkan keduanya dan banyak sel megakariosit. Dari seluruh tipe LMA hanya 5 % saja termasuk tipe ini.3,14,15 b. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan darah lengkap dapat ditemukan anemia dan trombositopenia,

sedangkan leukosit dapat tinggi, normal ataupun rendah. Kadar hemoglobin sekitar 7 sampai 8,5 g/dl, jumlah trombosit umumnya < 50.000/l dan jumlah leukositnya sekitar 100.000/l.2,3 Acute promyelocytic leukemia (APL) juga dikenal sebagai M3 adalah subtipe yang paling umum dari akut myelogenous leukemia (LMA) yang berhubungan dengan DIC. Dimana pada DIC akan ditemukan peningkatan prothrombin time, penurunan fibrinogen dan adanya produk pecahan fibrin.19
2. Hapusan Darah Tepi

24.000/l. Sekitar 20 % pasien jumlah leukositnya >

Hapusan darah tepi akan menunjang pemeriksaan darah lengkap.3


3. Kimia darah dan kultur darah a.

Terjadi peningkatan laktat dehidrogenase (LDH) dan kadar asam urat diperlukan sebelum memulai terapi.

b. Tes fungsi hati dan darah urea nitrogen (BUN) / kadar kreatinin yang

c.

Sebaiknya dilakukan pemeriksaan kultur darah pada pasien yang mengalami demam atau tanda-tanda infeksi.14

4. Lakukan pemeriksaan human leucocyte antigen (HLA) atau DNA pada pasien

yang diperkirakan mengalami transplantasi alogenik.3,14


5. Aspirasi dan biopsi sumsum tulang sebagai pemeriksaan penunjang definitif

LMA.18 LMA ditandai dengan terdapat lebih dari 20 % leukemia blast pada sumsum tulang. Pada LMA terjadi proliferasi mieloblas . Mieloblas sulit dibedakan dari limfoblas secara morfologi kecuali jika mieloblas mengandung Auer rod. Auer Rod merupakan inklusi sitoplasmik kristalin warna ungu, Mieloblas

bermaturasi menjadi promielosit dan terlihat granul kasar dalam sitoplasma dan digunakan sebagai penanda sitokimia atau imunologik.18 Aspirasi sum-sum tulang dapat mengevaluasi derajat displasia pada seluruh sel line, sedangkan biopsi sum-sum tulang dapat digunakan untuk menilai selularitas. Biopsi adalah pemeriksaan paling penting pada pasien yang tidak dapat dilakukan aspirasi (dry tap). Hasil aspirasi diwarnai dengan pewarnaan Wright atau Giemsa untuk mengetahui morfologinya, namun untukk menentukan tipe leukemia hasil pemeriksaan akan diwarnai myeloperoxidase atau Sudan Black atau terminal deoxynucleotidyl transferase (TdT) atau dilakukan pemeriksaan metode lainnya seperti flow cytometry dan double esterase. Sampel sum-sum tulang seharusnya dikirim untuk tes sitogenetik dan flow sitometri.Pasien dengan APL sebaiknya dievaluasi untuk PML/RARa genetic rearrangement.18
6. Flow cytometry (immunophenotype) dapat dilakukan untuk membedakan LMA

dari ALL dan selanjutnya digunakan untuk mengklasifikasikan subtype LMA. Imunophenotype dapat pula membantu menentukan prognosa.18 7. Sitogenetik sum-sum tulang memberikan informasi prognostik yang penting dan bermanfaat untuk mendiagnosa APL dengan t (15;17), dimana terapi yang diberikan akan berbeda sesuai dengan abnormalitas kromosom yang terjadi.18 8. Fluorescence in situ hybridization (FISH) dapat digunakan untuk mengetahui abnormalitas sitogenetika yang lebih cepat daripada pemeriksaan sitogenetik tradisional. Namun FISH tidak menggantikan peranan sitogenetik.18 9. Beberapa kelainan molekul tidak terdeteksi dengan sitogenetika rutin padahal prognosisnya dipengaruhi oleh jenis kelainan molekul yang terjadi. Sumsum tulang harus dievaluasi setidaknya untuk tes yang lebih spesifik.18
a. Analisis FLT3 yakni FMS seperti tirosin kinase 3 (FLT3) dan Internal

tandem duplikasi (ITDs) yang terdapat pada domain juxtamembrane dari FLT3. Terjadi pada 25 % kasus LMA. Kebanyakan penelitian menunjukkan bahwa pasien LMA dengan ITDs FLT3 memiliki prognosis buruk.18
b. Analisis NPM1 yakni mutasi nucleophosmin (NPM1). Thiede et al

mempelajari FLT3 dan NPM1 di tahun 1485 pasien LMA. Analisis dampak klinis dalam 4 kelompok (NPM1 dan mutan tunggal FLT3-ITD, mutan

ganda, dan wild type [wt] untuk keduanya) menunjukkan bahwa pasien yang hanya memiliki mutasi NPM1 (tanpa-FLT3 ITD) memiliki ketahanan hidup secara signifikan lebih baik dan lebih jarang kambuh setelah dilakukan kemoterapi sebelumnya.18
c. Analisis CEBPA dan ERG. Mutasi di CEBPA berhubungan dengan durasi

remisi lebih lama. Overekspresi ERG merupakan prediktor sitogenetik yang merugikan dalam LMA.18
d. Sebuah studi oleh Kanker dan Leukemia Kelompok B menyatakan bahwa

tingginya ekspresi BAALC independen memprediksi menurunkan tingkat remisi lengkap ketika disesuaikan ekspresi ERG dan usia, dan kelangsungan hidup lebih pendek ketika disesuaikan FLT3-ITD,, NPM1 CEBPA dan menghitung WBC.18 10. Ekspresi profiling gen merupakan alat penelitian yang memungkinkan klasifikasi komprehensif LMA berdasarkan pola ekspresi gen.9 Adanya paling sedikit 30% sel blas leukemia di sumsum tulang diperlukan untuk diagnosis LMA. Analisis morfologi dan sitologi (pengecatan histokimiawi mieloperoksidase positif, Sudan hitam, atau esterase nonspesifik) blas leukemia biasanya cukup untuk membedakan LMA dan LLA. Namun, dalam kategori LMA, morfologi mungkin bervariasi. Untuk klasifikasi dan terapi kontemporer AML, sel blas leukemia harus dikarakterisasi atas dasar ekspresi antigen permukaan sel (imunofenotip) dan dengan analisis kromosom (kariotip).18 Sistem FAB membagi LMA menjadi 8 subtipe, M0 sampai M7. Yang amat bersesuaian dengan galur hematopoiesis. Di antara anak, jumlah kasus dengan subtipe M0, M1, dan M2 kira-kira sama dengan jumlah penderita dengan M4 dan M5, tipe FAB ini bertanggung jawab atas 80% dari LMA masa kanakkanak. Subtipe M3 dan M7 lebih jarang, dan M6 langka. Sistem klasifikasi ini memudahkan penelitian mengenai perjalanan klinis dan memungkinkan pembandingan berbagai terapi. Peristiwa molekuler spesifik mendasar beberapa tipe FAB.18 Meskipun diatesis hemoragi (DIC pada waktu pertama diperiksa atau kemudian) dapat terjadi pada semua kelompok FAB, penderita dengan leukemia promielositik akut

(M3) yang terutama beriksiko. Penemuan yang hampir selalu tetap pada subtipe ini adalah translokasi materi genetik antara kromosom 15 dan 17, ini menghasilkan gena fusi yang meliputi gena yang menyandi reseptor asam retinoat-. Asam retinoat dapat secara efektif menginduksi remisi pada penderita ini. Translokasi antara kromosom 8 dan 21, khas terdapat pada M2, berkaitan erat dengan kloroma. Inversi material genetik di kromosom 16 dapat dijumpai pada M4, di mana eosinofilia merupakan gambaran yang menonjol.18 Sindrom mielodisplasia mempunyai beberapa kesamaan dengan LMA, tetapi sumsum tulang mengandung persentase sel blas yang lebih rendah dan mempunyai gambaran displasia yang khas, termasuk megaloblastosis. Penderita mungkin tidak tampak sakit pada waktu diperiksa dan hanya anemia dan leukopenia yang mendorong mereka untuk memeriksakan diri ke dokter. Perubahan kromosom, termasuk trisomi 8 dan delesi sempurna atau sebagian dari kromosom 5 atau 7, mungkin ada, Delesi kromosom 5 atau 7 terutama sering pada sindrom mielodisplasia sekunder dan LMA sekunder.18 Leukemia mielogenik kronis juvenil (juvenile chronic myelogenous leukemia (JCML)) tidak seperti leukemia myeloid kronis (chronic myeloid leukemia (CML)) tipe dewasa, tetapi mempunyai gambaran yang serupa dengan gambaran LMA dan sindrom mielodsiplasia. Kromosom Philadelphia tidak ada pada JCML. Gejala dan tanda nonspesifik meliputi demam, lesu, pembesaran hati dan limpa, dan adenopati. Erupsi kulit makulopapular desquamatif kronis sering mengaburkan diagnosis. Kenaikan Hb-F yang mencolok, yang dapat mencapai 50%, dan leukositosis (terutama monositosis darah dan sumsum tulang) merupakan temuan yang mencolok. JCML jarang ditemukan pada umur lebih dari 5 tahun dan mungkin lebih sering pada anak dengan neurofibromatosis tipe 1, kasus-kasus familier atau herediter pernah dilaporkan.18 2.4.2.5 Diagnosa banding. Diagnosis banding leukemia perlu dipikirkan pada anak antara lain anemia aplastik, gangguan mieloproliferatif, immune trombositopeni purpura, dan sepsis.3 2.4.2.6 Terapi Terapi LMA direncanakan untuk tujuan kuratif. Penderita yang mempunyai peluang besar untuk mencapai tujuan kuratif adalah mereka yang berusia <60 tahun, tanpa komorbiditas yang berat serta mempunyai profil sitogenik yang favorable. Untuk

mendapatkan hasil pengobatan yang maksimal, sangat penting untuk melakukan skrining awal dengan teliti sebelum pengobatan dimulai. 3 Skrining awal ini, terutama ditujukan untuk mendeteksi kemungkinan adanya infeksi, gangguan fungsi jantung (regimen terapi standar LMA mengandungi preparat golongan antrasiklin yang bersifat kardiotoksik) dan adanya koagulopati yang sering ditemukan pada penderita LMA. Selain itu, penderita yang mempunyai angka leukosit pra-terapi yang sangat tinggi (>100 ribu/mm3), mungkin memerlukan tindakan leukoparesis emergensi untuk menghindari leukositosis dan sindrom tumor lisis akibat terapi induksi, sangat penting untuk mengingatkan agar terapi LMA sebaiknya dilakukan di rumah sakit yang mempunyai tim leukemia yang bersifat multi-disiplin, sarana laboratorium mikrobiologi yang memadai, akses untuk transfusi darah yang lengkap serta ruang steril/semi-steril untuk pelaksanaan pengobatan. Tanpa prasarana tersebut angka kematian saat pengobatan akan sangat tinggi.5 Untuk mencapai hasil pengobatan yang kuratif harus dilakukan eradikasi sel-sel klonal leukemik dan memulihkan hematopoesis normal di dalam sumsum tulang. Survival jangka panjang hanya didapatkan pada pasien yang mencapai remisi komplit. Dosis kemoterapi tidak perlu diturunkan karena alasan adanya sitopenia, karena dosis yang diturunkan ini tetap akan menimbulkan efek samping berat berupa supresi sumsum tulang, tanpa punya efek yang cukup untuk mengeradikasi sel-sel leukemik maupun untuk mengembalikan fungsi sumsum tulang. Eradikasi sel-sel leukemik yang maksimal, memerlukan strategi pengobatan yang baik.5 Umumnya regimen kemoterapi untuk pasien LMA terdiri dari dua fase: fase induksi dan fase konsolidasi. Kemoterapi fase induksi adalah regimen kemoterapi yang intensif bertujuan untuk mengeradikasikan sel-sel leukemik secara maksimal sehingga tercapai remisi komplit. Istilah remisi komplit digunakan bila jumlah sel-sel darah di peredaran darah tepi kembali normal serta pulihnya populasi sel di sumsum tulang termasuk tercapainya jumlah sel-sel blast <5%. Perlu ditekankan disini, meskipun terjadi remisi komplit tidak berarti sel-sel klonal leukemik telah tereradikasi seluruhnya, karena sel-sel leukemik akan terdeteksi secara klinik bila jumlahnya lebih dari 109 log sel. Jadi pada kasus remisi komplit, masih tersisa sejumlah signifikan sel-sel leukemik di dalam tubuh pasien tetapi tidak dapat dideteksi. Bila dibiarkan, sel-sel ini berpotensi menyebabkan kekambuhan di masa-masa yang akan datang. Oleh karena itu, meskipun

pasien telah mencapai remisi komplit perlu ditindak lanjuti dengan program pengobatan selanjutnya yaitu kemoterapi konsolidasi.3 Kemoterapi konsolidasi biasanya terdiri dari beberapa siklus kemoterapi dan menggunakan obat dengan jenis dan dosis yang sama atau lebih besar dari dosis yang digunakan pada fase induksi. Pengobatan eradikasi sel-sel tumor ini sebenarnya dapat menyebabkan eradikasi sisa-sisa sel hematopoiesis normal yang ada di dalam sumsum tulang, sehingga pasien LMA akan mengalami periode apalsia pasca terapi induksi. Pada saat tersebut pasien sangat rentan terhadap infeksi dan perdarahan. Pada kasus yang berat kedua komplikasi ini dapat berakibat fatal. Oleh karena itu terapi suportif berupa penggunaan antibiotika dan transfusi komponen darah (khususnya sel darah merah dan trombosit) sangat penting untuk menunjang keberhasilan terapi LMA. Terapi LMA dibedakan menjadi 2 yaitu terapi untuk LMA pada umumnya dan terapi khusus untuk leukemia promielositik akut (LPA).3,18 Terapi LMA pada Umumnya Terapi standar 7+3 adalah kemoterapi induksi dengan regimen sitarabin dan daunorubisin dengan protokol sitarabin 100mg/m2 diberikan secara infus kontinyu selama 7 hari dan daunorubisin 45-60 mg/m2/hari iv selama 3 hari. Sekitar 30-40% pasien mengalami remisi komplit dengan terapi sitarabin dan daunorubisin yang diberikan sebagai obat tunggal, sedang bila diberikan sebagai kombinasi remisi komplit dicapai oleh lebih dari 60% pasien. Bila terdapat residual disease pada hari ke-28 perlu dipertimbangkan adanya gagal terapi primer dan perlu dimulai terapi alternatif dengan regimen lain.3,14,17,20 Pada pasien dengan gangguan fungsi jantung pemakaian antrasiklin merupakan kontra indikasi terutama bila terdapat riwayat miokard infark dan fraksi ejeksi kurang dari 50%. Pilihan terapi pada kondisi ini adalah high dose cytarabine (ara-C)/HDAC. Regimen terapi yang dipakai pada HDAC adalah sitarabin 2-3 g/m2 infus iv selama 1-2 jam tiap 12 jam selama 12 dosis atau sitarabin 2-3 g/m2 selama 2 jam setiap 12 jam pada hari 1,3 dan 5.3,17 Pilihan untuk terapi post remisi dapat berupa kemoterapi konsolidasi, transplantasi sel stem hematopoetik (hematopoetic stem cell transplantion/HSCT) otolog, atau HSCT alogenik. Jenis terapi pada pasca remisi ditentukan berdasarkan usia dan faktor prognostik, terutama profil sitogenetik. Sebagian besar pasien usia muda

memberikan respons yang lebih baik disbanding pasien usia tua. Bila terjadi relaps dapat diberikan lagi kemoterapi intensif dan/atau HSCT untuk mencapai remisi komplit kedua atau hanya diberikan perawatan suportif. Pencapaian remisi komplit kedua tidak begitu dipengaruhi karakter sitegenetik, namun lebih dipengaruhi oleh durasi remisi komplit pertama, usia, dan ada tidaknya komorbiditas aktif. Durasi median remisi komplit kedua umumnya kurang dari 6 bulan bila tanpa HSCT dengan disease-free survival kurang dari 10 bulan. Survival meningkat bila sebelumnya pasien telah menjalani HSCT alogenik, namun donor untuk prosedur tersebut umumnya terbatas.17 Terapi Leukemia Promielositik Akut Insidensi LPA sebesar 10-15% pasien LMA. Penyakit ini ditandai dengan kelainan sitogenetik berupa t (15,17) yang dijumpai pada sekitar 90% kasus. Kelainan sitogenetik t (15;17) akan menyebabkan fusi gen PML dan RAR, menjadi gen PMLRAR. Fusi gen PML-RAR mengakbatkan blokade maturitas pada seri promielosit sehingga terjadi LPA. Kini dikembangkan suatu obat yang disebut all-trans retinoic acid (ATRA) yang menjadikan fusi gen PML-RAR sebagai target aksi kerjanya. Pengobatan LPA dengan ATRA menghasilkan angka kesembuhan lebih dari 70%.19 LPA merupakan predisposisi untuk terjadinya koagulopati yang dalam hal ini diakibatkan oleh kombinasi antara DIC dan hiperfibrinolisis primer. Pasien dengan manifestasi koagulopati yang dalam hal ini diakibatkan oleh kombinasi antara DIC dan hiperfibrinolisis primer. Pasien dengan manifestasi koagulopati harus segera mendapat terapi induksi (ATRA). Pada pasien yang mengalami perdarahan yang tidak terkendali (setelah terapi transfusi) dapat diberikan eaminocaproic acid (EACA) dan trananexamid acid.19 Terapi induksi LPA terdiri atas kombinasi ATRA plus kemoterapi berbasis antrasiklin. Antrasiklin dapat menginduksi remisi pada 60-90% pasien bila digunakan sebagai obat tunggal. Sel leukemik pasien LPA sensitif terhadap antarsiklin karena rendahnya ekspresi Pgp dan petanda resistensi lainnya pada sel sel LPA dibanding dengan subtipe LMA lainnya. ATRA adalah suatu derivatif vitamin A yang mampu menginduksi remisi klinis dengan mengaktifkan maturasi sel tanpa menyebabkan hipoplasia sumsum tulang. Sebagai obat tunggal ATRA menginduksi remisi pada 7281% pasien. Umumnya ATRA mulai diberikan dalam 2-3 hari pertama pada pasien

dengan perdarahan berat untuk mengatasi koagulopati pada LPA sebelum mulai dengan terapi berbasis antrasiklin. Cara ini akan menyebabkan angka lekosit menjadi tidak terlalu tinggi lagi. Selain itu, cara ini menurunkan insidens sindrom asam retinoid (retinoid acid syndrome/RAS).19 Terapi induksi menggunakan ATRA 45mg/m2/hari per oral yang terbagi dalam 2 dosis setiap hari sampai remisi komplit plus derivat antrasiklin, daunorubisin 50-60 mg/m2/hari selama 3 hari atau idarubisin 12mg/m2/hari selama 4 hari. Terapi induksi dilanjutkan dengan terapi konsolidasi dengan kemoterapi berbasis antarsiklin dan terapi pemeliharaan dengan menggunakan ATRA. RAS dapat terjadi pada 10-15% pasien dan umumnya terjadi 7-14 hari setelah terapi ATRA. RAS jarang terjadi selama penyembuhan akibat aplasia setelah kemoterapi dan selama terapi pemeliharaan. RAS adalah suatu sindrom kebocoran kapiler dengan manifestasi demam, distress respirasi, dan munculnya infiltrat pada paru. Dapat juga terjadi peningkatan berat badan, efusi pleura atau efusi perikard, dan gagal ginjal. Lekositosis berat merupakan faktor prognostik walaupun PAS sering juga terjadi pada lekopenia.19 Bila angka lekosit lebih dari 5000-10000/uL, ATRA dan kemoterapi diberikan bersama-sama pada saat awal terapi. Bila saat monoterapi ATRA terjadi lekositosis lebih dari 10000/uL induksi kemoterapi harus segera dimulai. Tanpa melihat angka lekosit dan kemungkinan sepsis netropenia, bila terdapat sesak dan infiltrat paru, dengan atau tanpa demam, terapi deksametason harus segera diberikan (10mg iv 2 kali sehari).19 Terapi ATRA dapat dihentikan sampai RAS menunjukkan perbaikan. Sekitar 20%-30% pasien LPA ang mencapai remisi komplit dengan terapi berbasis ATRA akan mengalami relaps dan umumnya kelompok pasien ini juga resisten terhadap terapi ATRA yang berikutnya. Arsenik, suatu racun yang sudah digunakan sebagai obat pada pengobatan tradisional Cina sejak beberapa abat yang lalu, diketahui mempunyai efek pengobatan yang positif pada pasien ATRA yang relaps atau resisten terhadap terapi ATRA. Salah satu komponen arsen yang sering digunakan di dalam klinik untuk terapi LPA yang relaps atau resisten terhadap ATRA adalah arsenic trioxide (ATO). Sebagai terapi LPA, ATO mempunyai mekanisme kerja; memacu degradasi fusi protein PML-RAR (khususnya protein PML, menginduksi apoptosis, memacu diferensiasi sel-sel leukemik serta menghambat apoptosis. ATO umumnya diberikan dengan dosis 0,15 mg per KG BB melalui infus 3

jam hingga tercapai remisi komplit dengan maksimal pemberian 50 hari. Pada pasien LPA relaps, terapi ATO menghasilkan respon sebesar 70% hingga 100%.19 Sebelum memberikan kemoterapi perlu pertimbangan sebagai berikut :2
-

Menggunakan kriteria Eastern Cooperative Oncology Group (ECOG) yaitu status penampilan 2. Jumlah lekosit 3000/ml Jumlah trombosit 120.0000/ul Cadangan sumsum tulang masih adekuat misal Hb > 10 5. Creatinin Clearence diatas 60 ml/menit (dalam 24 jam) Bilirubin < 2 mg/dl ,SGOT dan SGPT dalam batas normal Elektrolit dalam batas normal. Mengingat toksisitas obat-obat sitostatika sebaiknya tidak diberikan pada usia diatas 70 tahun. Kemoterapi pada AML sering menimbulkan efek samping yang bervariasi tiap

individu antara lain rambut rontok, mulut kering, luka pada mulut (stomatitis), susah atau sakit menelan (esophagitis), mual, muntah, diare, konstipasi, kelelahan, pendarahan, lebih mudah terkena infeksi, infertilitas, hilangnya nafsu makan, dan kerusakan hati. Pasien AML hanya memberikan respon terhadap obat tertentu dan pengobatan seringkali membuat penderita lebih sakit sebelum mereka membaik.2 Penderita menjadi lebih sakit karena pengobatan menekan aktivitias sumsum tulang, sehingga jumlah sel darah putih semakin sedikit (terutama granulosit) dan hal ini menyebabkan penderita mudah mengalami infeksi. Prognosis Lowenberg et al mengelompokkan prognosis pasien AML menjadi 3 kelompok berdasarkan temuan klinis dan laboratoris yaitu baik (favorable), menengah (intermediate) dan buruk (unfavorable).18 Kelompok dengan prognosis baik meliputi pasien usia < 60 tahun atau > 2 tahun, kelainan kromosomal minimal, infiltrasi sel blas multiorgan minimal, kadar leukosit < 20.000/mm3, respon yang baik terhadap kemoterapi induksi, tidak resisten terhadap multidrug therapy, tidak ditemukan leukemia ekstramedullar dan leukemia sekunder. Angka harapan hidup 2 tahun kedepan (2 years survival rate) bagi kelompok ini adalah 50-85%.18

Sedangkan kelompok dengan prognosis buruk meliputi pasien usia > 60 tahun atau < 2 tahun, ditemukan dua atau lebih kelainan kromosomal, infiltrasi sel blas pada banyak organ, kadar leukosit > 20.000/mm3, respon yang buruk terhadap kemoterapi induksi, resisten terhadap multidrug therapy, serta ditemukannya leukemia ekstramedullar dan leukemia sekunder. Angka harapan hidup 2 tahun kedepan (2 years survival rate) bagi kelompok ini adalah 10-20%. Sedangkan kelompok dengan prognosis menengah adalah peralihan dari baik dan buruk dan mencakup faktor-faktor lain yang tidak termasuk dalam kelompok prognosis baik maupun buruk dengan angka harapan hidup 2 tahun kedepan (2 years survival rate) sekitar 40-50%.18 2.4.2.6 Prognosis3 Dengan terapi agresif, 40-50% penderita yang mencapai remisi akan hidup lama (30-40% angka kesembuhan keseluruhan). Penderita yang mengalami relaps setelah mendapat kemoterapi atau transplantasi autolog dapat diterapi dengan transplantasi dengan CST allogenik sebagai terapi penyelamatan. Beberapa subtipe morfologi atau genetik LMA mempunyai prognosis yang semakin baik. 1 Faktor risiko LMA lebih sulit untuk diidentifikasi. Faktor - faktor tersebut antara lain : Umur saat diagnosis tidak terlalu penting pada ALL. Leukosit tinggi, tetapi tidak pada semua studi. FAB M3 ( promielositik leukemia) bereaksi pada asam retinoik, sebaiknya diterapi dengan kombinasi vitamin dan kemoterapi. Anak anak dengan sindrom down terdapat 10% kasus. Sebagiann besar merupakan FAB M7 dan mempunyai respons baik dan kemoterapi. Translokasi kromosom adalah faktor penting. Prognosis baik berhubungan dengan t (8;21), t (15;17) dan inverse 16. Ploidi juga mempengaruhi prognosis.

DAFTAR PUSTAKA

1.

Arifin Z. Pola leukemia limfoblastik akut di bagian Ilmu kesehatan anak FK USU/RS Pirngadi. Medan. e USU Repository : Universitas Sumatra utara, 2004.

2.

Anomim. Leukemia akut. (online), 2007. http: // www.scrib.com, diakses tanggal 11 november 2010.

3.

Permono B, dkk. Leukemia akut. (editor) Bambang permono. Buku ajar hematologi onkologi anak cetakan kedua. Jakarta : IDAI, 2006, hal 246 247.

4.

Rubnitz JE, Hon-pui C. Childhood acute lymphoblastic leukemia. The oncologist 1997; 2 :374 380.

5.

Fanning, Suzanne R, Sekeres, Mikkael A and Theil K. Leukemia. Cleveland Clinic, 2004

6.

Ricerca

MC,

et

al.

Acute

lymphoblastic

leukemia.

http

://

www.orpha.net/data/patho/GB/uk-ALL.pdf, December 2004, page. 1 13.

7.

Emerianciano M, Koifman S, Pambo de-oliverira. Acute Leukemia in early childhood. Brazilian journal of mediacai and biological research, vol.40, no.6, 2007, page. 749 760.

8.

Pui CH, Relling MD, Downing JR. Acute Lymphoblatic Leukemia. N ENGL J MED 350 ; 15, april 8, 2004, page. 1535 1548.

9.

Pasquini, Marcelo and Rocha, Vanderson. Acute Myeloid Leukemia. [Online] 2005 http://home.ccr.cancer.gov/oncology/oncogenomics/WEBHemOncFiles/PPT %20and%20PDF%20etc%20to%20add/AML_2.pdf.

10.

Bachir F, et al. Characterization of acute lymphoblastic leukemia subtypes in maroccan children. International journal of pediatrics, vol.2009, page 1 7.

11.

Rubnitz JE, et al. Childhood acute lymphoblstic leukemia with MLL-ENL fusion and t (11;19) (q23;p13.3) translocation. J clin oncol 17, American society of clinical oncology, 1999. Page 191 196.

12.

Zorlu P, Ergor G, et al. Evaluation of risk factors in children with acute lymphoblastic leukemia. Turkish journal of cancer vol.32, no.1, 2002, page 5 11.

13.

Gaynon PS, et al. Survival after relapse in childhood acute lymphoblastic leukemia. CANCER April 1, 1998, vol.82, no.7, pp. 1387-1395.

14.

Stone RM, ODonnell M, Sekeres MA. Acute myeloid leukemia. American society of hematology, 2004, page 98 117.

15.

Krance, RA. Leukemia myeloid acute. (Editor) Klieghman, AB. Ilmu kesehatan anak edisi 15, vol.13. Nelson. Jakarta : EGC, 2000.

16.

Mitchael, Kumar, Abbas,Fusto. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit. Robbins & Cotran.Edisi 7. EGC, 2009.

17.

Society, The Leukemia & Lymphoma . Acute Myelogenous Leukemia. [Online] Cephalon Oncology, 2006. http://www.leukemialymphoma.org/attachments/National/br_1200426633.pdf.

18.

Karen, S. Acute Myelogenous Leukemia. New York : emedicine medscape, 2010.

19.

Sanz MA, Lo loco F, Ribeiro RC. Acute Promielocytic Leukemia. American society of hematology, 2006. Page 147 155.

20.

Pui CH, et al. Acute myeloid Leuekmia in children treated with epipodophyllotoxins for acute lymphoblastic leukemia. The new england journal of medicine,vol. 325, no. 24, december 12, 1991, page. 1682 7

You might also like