You are on page 1of 2

ADVOKASI

WV merekomendasikan:
Semua anak tercatat sesegera mungkin setelah kelahirannya tanpa diskriminasi demi kepentingan terbaik mereka. Pemerintah pusat dan daerah perlu secara strategis membenahi dasar hukum, kelembagaan, kapasitas aparat, prosedur atau mekanisme, database, dan peningkatan partisipasi masyarakat, demi tercapainya perbaikan sistem dan cakupan pencatatan sipil secara menyeluruh. Program nutrisi diprioritaskan pada kelompok bayi, anak balita, dan perempuan dalam masa kehamilan. Khusus bagi anak umur 0 sampai 24 bulan, pemberian makanan bergizi diarahkan pada praktek inisasi ASI dini, praktek pemberian ASI ekslusif sampai anak berusia 6 bulan, dan pemberian makanan pendamping pada anak di atas 6 bulan sambil meneruskan pemberian ASI sampai anak berumur 2 tahun. Revitalisasi Posyandu perlu dioptimalkan untuk memastikan kualitas tumbuh kembang anak sejak dalam kandungan hingga usia 5 tahun. Anak usia dini (3-6 tahun) mendapatkan pendidikan berkualitas di rumah dan secara berkelompok di komunitasnya, baik formal maupun informal. Inisiatif pemerintah dan peran serta masyarakat dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas pendidikan perlu disinergikan. Peningkatan cakupan dan kualitas pendidikan dasar 9 tahun bagi anak perempuan dan laki-laki melampaui hambatan geografis, keterbatasan fisik, dan berbagai hambatan lainnya.

Anak juga diberikan ruang dan kesempatan untuk menyuarakan gagasan dan pendapatnya tentang bentuk pendidikan yang diharapkan. Memperkuat perlindungan anak dalam berbagai bentuknya untuk mempromosikan pemulihan dan reintegrasi sosial terhadap anak-anak yang mengalami pengabaian, eksploitasi, penyiksaan, maupun bentuk-bentuk kekerasan lainnya. Diperlukan juga penguatan kemampuan pencegahan dan penanganan kekerasan berbasis masyarakat dan pengembangan sistem rujukan penanganan kekerasan pada anak.

Penyediaan informasi yang tepat dan benar tentang HIV dan AIDS dan pembekalan pengetahuan dan keberanian bagi anak untuk berkata tidak terhadap perilaku berisiko tinggi yang memungkinkan terjadinya penularan HIV. Anak dilibatkan sepenuhnya dalam setiap pengambilan keputusan menyangkut kehidupan, tumbuh-kembang, dan perlindungan hak asasinya sesuai dengan tahapan usia dan tingkat kematangannya serta memperhatikan norma-norma yang berlaku.

Advokasi Hak Anak


Filosofi
ak anak sama pentingnya dengan hak asasi manusia pada umumnya. Upaya pemenuhan hak anak secara holistik dalam rangka meningkatkan kualitas hidup anak, baik perempuan dan laki-laki yang berusia 0-18 tahun, merupakan esensi dan tujuan seluruh karya pelayanan World Vision.

H K

donesia pasti jauh lebih banyak mengingat masih banyak kasus yang tidak terpantau karena masih minimnya layanan kesehatan di daerah-daerah. Masih kuatnya stigma dan diskriminasi di kalangan masyarakat terhadap orang terinfeksi HIV juga menyulitkan pengumpulan data yang akurat. Sebagian besar kasus anak dengan HIV positif ditemukan berdasarkan kasus kematian orangtua yang telah diketahui terpapar HIV. Anak yang orangtuanya positif HIV sangat rentan tertular HIV sejak dini. Kalaupun tidak terinfeksi HIV, bila salah satu atau kedua orangtua dinyatakan HIV positif dan tidak memiliki akses kepada penanganan optimal, maka anak rentan menjadi yatim piatu. Sementara itu, di kota-kota besar terjadi peningkatan penularan HIV secara cepat akibat penggunaan jarum bersama oleh para pemakai narkoba suntik. Untuk meredam kecenderungan ini diperlukan komitmen dan koordinasi yang lebih baik. Semua pihak perlu mengambil peran dalam aksi global menanggulangi HIV dan AIDS. Kepedulian, sekecil apa pun, dapat menyelamatkan nyawa orang-orang di sekitar. Partisipasi Anak Anak mempunyai hak sepenuhnya untuk berperan serta dalam setiap hal yang mempengaruhi diri dan kehidupannya. Namun sering kali kenyataan tidak berbicara demikian. Pandangan anak cenderung diabaikan dan pendapat anak dibungkam. Anak-anak kerap hanya dianggap sebagai obyek dan pemanfaat dari perlindungan orang dewasa, bukan sebagai pemegang hak yang harus berjuang untuk mewujudkan pemenuhan hak-haknya. Karena itu ruang dan kesempatan anak untuk berpartisipasi pun dibatasi. Pengakuan terhadap hak partisipasi anak bukan berarti melepaskan tanggung jawab orang dewasa dalam upaya bersama memenuhi hak anak. Adanya jaminan terhadap hak partisipasi anak justru membuka peluang dan kesempatan bagi orang dewasa untuk membangun dialog, bertukar gagasan, dan kerja sama dalam posisi setara guna mendorong anak untuk secara kritis dan sadar mengutarakan pendapat mengenai kehidupan serta membangun strategi bagi perubahan dan perwujudan hak mereka.

Realitas
ita hidup dalam dunia yang tidak aman dan ramah bagi anak. Di seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia, hak asasi anak atas identitas, pangan, tempat tinggal, pendidikan, layanan kesehatan, perlindungan, dan kesempatan berpartisipasi acap kali masih terabaikan. Pada banyak kasus, bukan hanya tidak dipenuhi hak-haknya, anak-anak bahkan sering mengalami kekerasan, baik secara fisik, emosional, maupun seksual, yang bahkan dilakukan oleh pihakpihak yang seharusnya bertanggung jawab terhadap kehidupan dan kesejahteraan anak. Rumah, sekolah, tempat bermain, taman, pusat perbelanjaan, jalanan, lembaga pemasyarakatan, tempat-tempat umum, bahkan dunia maya (cyberspace) telah menjadi saksi bisu terjadinya tindakan tersebut. Ayah, ibu, kakak, adik, kakek, nenek, paman, bibi, kepala sekolah, guru, penjaga sekolah, teman, kakak kelas, sopir bus, polisi, satpam, sipir lembaga pemasyarakatan, petugas kesehatan, pengelola asrama, penanggungjawab panti, hingga orang di jalan dapat menjadi pelaku kekerasan dan pengabaian terhadap anak. Tidak sedikit anak diperdaya dan dijerumuskan ke dalam deraan praktik perdagangan manusia dan manipulasi identitas. Banyak anak yang terperangkap dalam situasi berbahaya dan traumatis, seperti konflik bersenjata,ketergantungan pada obat-obatan terlarang, keterbatasan akses terhadap pangan yang cukup, pendidikan yang layak, dan ancaman penyakit-penyakit mematikan yang sebenarnya dapat dicegah.

Kemiskinan, keserakahan, diskriminasi, rendahnya tingkat pendidikan, ketidakmerataan pembangunan, ketidakpedulian, dan berbagai konflik kepentingan jalin menjalin menjadi alasan kompleks mengapa anak terus berada dalam situasi rentan. Lebih dari satu milyar anak (lebih dari setengahnya berada di negara sedang berkembang) hidup dalam kemiskinan dengan akses minimum kepada sarana dan prasarana pendukung kehidupan yang layak. Ketergantungan anak kepada orang dewasa membuatnya menjadi rentan terhadap segala bentuk penyalahgunaan dan eksploitasi. Angka-angka statistik memprihatinkan yang merefleksikan realitas pengabaian hakhak anak terpeta dengan jelas dalam ulasan The State of the Worlds Children (UNICEF, 2008):
Tiap hari lebih dari 26 ribu anak balita meninggal di seluruh dunia, kebanyakan disebabkan oleh hal-hal yang dapat dicegah. Hampir semua dari mereka tinggal di 60 negara sedang berkembang, dimana Indonesia adalah salah satunya. Lebih dari sepertiga anak-anak tersebut meninggal pada bulan pertama kehidupan mereka, biasanya di rumah, dan tidak memiliki akses pada layanan kesehatan mendasar dan kebutuhan pokok yang dapat menyelamatkan kehidupan mereka. Lebih dari setengah kematian anak balita disebabkan oleh kekurangan gizi yang menghancurkan kemampuan tumbuh-kembang anak. Lebih dari 60 persen anak baru lahir tidak disusui secara eksklusif selama enam bulan pertama kehidupannya. Lebih dari 30 persen rumah tangga di negara sedang berkembang tidak mengkonsumsi garam beryodium. Tidak sedikit pula dari mereka yang harus kehilangan nyawa akibat serangan infeksi pernafasan, diare, atau penyakit-penyakit anak di usia dini seperti campak yang seharusnya dapat dicegah dengan vaksinasi dan lingkungan hidup bersih sehat. Hampir 30 persen anak kekurangan cakupan lengkap (dua dosis) suplemen vitamin A pada 2005. Penyakit lainnya; malaria memakan korban lebih dari seribu jiwa setiap tahunnya dengan lebih dari 80 persen diantaranya menyerang anak balita. Konsumsi air yang kurang bersih, buruknya sanitasi dan lingkungan tempat tinggal yang tidak higienis turut memperburuk kehidupan anak, bahkan hingga merenggut nyawa mereka. Di seluruh dunia, 2,3 juta anak di bawah 15 tahun hidup dengan HIV, dimana sekitar 530 ribu anak baru terinfeksi pada tahun 2006, kebanyakan melalui penularan dari ibu ke anak. Jika seorang perempuan hamil terinfeksi dengan HIV dan tidak memperoleh perawatan, maka terdapat 35 persen kesempatan ia menularkan virus itu kepada anaknya yang baru lahir selama masa kehamilan, kelahiran, atau menyusui.

anak, hidup utuh sepenuhnya; Doa kami untuk setiap hati, tekad untuk mewujudkannya.

Visi kami untuk setiap

Untuk keterangan lebih lanjut, silakan menghubungi

World Vision International Indonesia


Jl. Wahid Hasyim No. 33 Jakarta 10340 Tel.: 62-21 31927467 Fax: 62-21 3107846 www.worldvision.or.id

World Vision adalah lembaga kemanusiaan Kristen yang bekerja untuk menciptakan perubahan dalam kehidupan anak-anak, keluarga dan masyarakat yang hidup dalam kemiskinan tanpa membedakan agama, ras, suku atau jender.

Protokol Pilihannya. WV mengadopsi konvensi ini yang secara jelas menjabarkan tentang standar minimum menyangkut hak hidup, tumbuh-kembang, perlindungan, non-diskriminasi, peran serta anak, dan kewajiban untuk menegakkan kepentingan terbaik bagi anak pada seluruh program layanan yang kami laksanakan. World Vision mengimplementasikan model pembelajaran melalui evaluasi dengan akuntabilitas dan perencanaan (LEAP = Learning through Evaluation with Accountability and Planning) untuk merencanakan, memantau, dan mengevaluasi proses dan dampak dari advokasi yang kami lakukan bagi anak.

Fokus Advokasi World Vision Indonesia tahun 2008-2011:


Pencatatan Kelahiran Universal Enam dari sepuluh anak Indonesia masih belum tercatat kelahirannya. Berdasarkan hasil survei dari Badan Pusat Statistik dan UNICEF, dari 78 juta anak Indonesia pada tahun 2004 hanya 32 juta anak yang telah memiliki akta kelahiran. Ini berarti masih ada 46 juta anak yang belum tercatat kelahirannya. Karena tidak tercatat kelahirannya, maka anak-anak itu tidak mempunyai identitas resmi di hadapan hukum di negara mereka dilahirkan atau negara asal orangtua me-reka. Mereka menjadi tidak nyata dalam tataran kehidupan berbangsa dan bernegara. Mereka hadir namun secara legal dianggap tidak ada. Mereka bagaikan anak yang hilang di negerinya sendiri. Akibatnya, mereka tidak dapat sepenuhnya menikmati hak-hak dasar yang wajib disediakan negara bagi warganya,

seperti akses terhadap layanan kesehatan, pendidikan, dukungan sosial dan perlindungan hukum. Tanpa akta kelahiran, mereka tidak saja sulit masuk sekolah, ikut serta dalam pemilu, memperoleh hak waris, membuat paspor, dan rentan terhadap berbagai tindak eksploitasi, penganiayaan, dan diskriminasi, seperti pemalsuan identitas, perdagangan manusia, dipekerjakan paksa, kawin muda, atau pun direkrut sebagai tentara anak. Oleh karena itu, pencatatan kelahiran sebenarnya lebih daripada sekadar sebuah prosedur administratif. Pencatatan kelahiran dapat diartikan sebagai peristiwa penting dalam kehidupan seorang anak, dimana segera setelah lahir ia memperoleh hak pertamanya atas identitas dan kewarganegaraan. Reformasi pencatatan kelahiran diperlukan sebagai aksi nyata meningkatkan kesempatan anak-anak keluarga miskin dan terpinggirkan untuk dapat dipertimbangkan dalam perencanaan program pembangunan dan pengambilan keputusan di tingkat lokal, regional dan nasional. Ketersediaan data yang akurat menyangkut jumlah anak dari tiap desa atau kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota dan provinsi akan membantu pemerintah dan berbagai pihak lainnya dalam pemenuhan hak anak. Nutrisi Balita Nutrisi adalah isu pembangunan, dan bukan hanya isu kesehatan. Karenanya menjadi penting untuk mengarahkan

Kekerasan pada anak dapat terjadi secara verbal, fisik, dan seksual. Kekerasan tidak selalu harus meninggalkan bekas secara fisik maupun langsung berakibat pada kematian. Sepanjang suatu tindakan telah menimbulkan kerugian atau ancaman terhadap kesehatan dan kesejahteraan anak, maka tindakan tersebut telah dikategorikan sebagai kekerasan. Kekerasan memiliki potensi berulang. Anak yang mengalami kekerasan cenderung akan melakukan hal yang sama kepada teman atau kepada anaknya ketika mereka beranjak dewasa. Dengan begitu kekerasan dilestarikan, bahkan diturunkan dari generasi ke generasi. Sepanjang kekerasan tetap diterima sebagai unsur yang tak terpisahkan dari pendidikan atau pendisiplinan, maka kekerasan tetap akan menjadi jalinan rantai yang tak terputus dalam kehidupan ini. Pencegahan HIV dan AIDS pada Remaja Bagaikan bom waktu, laju pertumbuhan dan penyebaran epidemi HIV dan AIDS di Indonesia terus melesat dan telah mencakup semua kelompok usia, termasuk anak-anak. Data Departemen Kesehatan menyebutkan hanya dalam jangka waktu tiga bulan, Januari-Maret 2008, telah terdapat tambahan 791 kasus: 64 positif terinfeksi HIV dan 727 pengidap AIDS.Total penderita terpapar oleh HIV dan AIDS yang terdata di Indonesia berjumlah 17.998 orang, dimana sekitar 700 diantaranya berusia 0 - 19 tahun. Papua dan Jakarta tetap merupakan dua provinsi dengan prevalensi tertinggi. Menurunnya kekebalan tubuh akibat virus HIV menyebabkan penderita semakin rentan terjangkit berbagai penyakit laten, seperti TB dan malaria. Hingga awal 2008, tercatat bahwa virus ini telah merenggut 2.486 korban jiwa. Kasus orang dewasa dan anak-anak positif HIV di In-

Apa itu advokasi?


orld Vision mengadvokasi berbagai cakupan isu yang mempengaruhi kehidupan anak, keluarga, dan masyarakat miskin dengan siapa kami bekerja. Dalam konteks World Vision, advokasi adalah sebuah proyek,

program atau pendekatan programatik yang berupaya menanggulangi penyebab struktural dan sistemik dari kemiskinan dengan mengubah kebijakan, praktik, dan perilaku yang telah melanggengkan ketidakadilan dan penyangkalan terhadap keadilan dan hak asasi manusia dan sebuah pelayanan yang diarahkan untuk mengoptimalkan proses persuasi, dialog, dan motivasi untuk mencapai perubahan.
World Vision mengambil peran dalam dialog kebijakan, kampanye, dan proses advokasi pada tingkat lokal, nasional, dan internasional, baik secara mandiri maupun dalam koalisi dengan badan-badan lain. Agar mencapai hasil yang dituju, advokasi harus dilakukan pada tingkat yang saling melengkapi, yaitu: mempengaruhi kebijakan dan memberdayakan masyarakat.

program nutrisi pada pencegahan, dan bukan hanya perawatan. Ini dilakukan dengan memberikan nutrisi yang cukup sejak masa kehamilan seorang ibu dan berlanjut setelah anak dilahirkan dan dibesarkan. Pemberian ASI eksklusif segera setelah kelahiran merupakan sumber nutrisi terbaik bagi anak. Sejauh ini, baru 40 persen bayi yang memperoleh ASI secara eksklusif pada enam bulan pertama kelahirannya dan hanya 59 persen anak di bawah dua tahun yang masih terus memperoleh ASI. Pada tahap pertumbuhan selanjutnya, hampir 30 persen balita memiliki berat dan tinggi badan kurang atau di bawah normal. Rendahnya asupan gizi bayi dan balita amat berkontribusi pada masih tingginya tingkat kematian bayi dan ibu melahirkan di Indonesia. Kondisi ini sebenarnya dapat diperbaiki bila Posyandu sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan ibu dan anak berfungsi maksimal. Sayangnya, dari sekitar 250.000 Posyandu yang pernah dibuka di Indonesia, hanya sekitar 40 persen yang masih aktif berfungsi setiap bulan. Posyandu yang berfungsi baik sebenarnya sangat efektif untuk memantau pertumbuhan anak dan menemukan gejala kurang gizi pada bayi dan balita. Dengan demikian, masalah kurang gizi dapat dicegah dan ditangani secara dini. Pendidikan Usia Dini dan Kualitas Pendidikan Dasar Pada tahun 2007, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia menempati urutan ke - 107 dari 177 negara. Rendahnya IPM amat dipengaruhi oleh keterbatasan akses, efisiensi sistem, dan kualitas pendidikan bagi anak-anak --baik yang tinggal di perkotaan maupun di pedesaan. Data Departemen Pendidikan Nasional tahun 2006 mencatat baru 43 persen anak memperoleh akses terhadap Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), baik melalui jalur formal, non formal, dan informal. Pada tahun sebelumnya, UNESCO melaporkan angka partisipasi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Indonesia termasuk paling rendah di dunia. Hanya 20 persen dari sekitar 20 juta anak usia 0 - 8 tahun dapat menikmati PAUD. Dunia internasional mendefinisikan

PAUD sebagai pendidikan bagi anak usia 0 - 8 tahun, sedangkan di Indonesia kategori PAUD berlaku bagi anak usia 0 - 6 tahun. Sehubungan dengan program wajib belajar sembilan tahun, walau Angka Partisipasi Murni (APM) Sekolah Dasar pada tahun 2007 telah mencapai 96 persen, ternyata Angka Partisipasi Kasar (APK) Sekolah Lanjutan Pertama hanyalah 63 persen. Ini berarti masih tingginya angka putus sekolah. Diperkirakan lebih dari 600 ribu anak putus sekolah setiap tahunnya. Padahal, tahun 2008 merupakan tahun terakhir pencapaian target penuntasan program wajib belajar. Minimnya sarana pendidikan, seperti banyaknya bangunan sekolah yang rusak, mahalnya harga buku-buku pelajaran, ketidakseimbangan antara rasio siswa-guru, rasio siswa-kelas, rasio kelas-ruang kelas, rasio laboratoriumsekolah, rasio perpustakaan-sekolah, kurang diberdayakannya potensi lokal (budaya/teknologi), terbatasnya kualifikasi guru, serta rendahnya partisipasi masyarakat berkontribusi signifikan pada rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Dibutuhkan kepedulian dan dukungan berbagai pihak untuk dapat membenahinya. Penghentian Kekerasan pada Anak Pada tahun 2006, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat setiap dua menit terjadi kasus kekerasan pada anak di Indonesia. KPAI menyatakan kasus kekerasan pada anak terus menunjukkan peningkatan pada tahuntahun terakhir. Masih kuatnya pandangan masyarakat bahwa anak adalah mutlak kepunyaan orangtua dan masih dipraktekkannya budaya kekerasan sebagai alat dan dalih untuk mendidik dan mendisiplinkan anak membuat kasus kekerasan pada anak masih terus terjadi secara luas. Banyak sekali kasuskasus kekerasan yang tak pernah muncul ke permukaan karena dianggap hal yang lumrah dan hanya merupakan urusan dalam negeri keluarga yang bersangkutan. Itu sebabnya, laporan-laporan yang tercatat hanyalah merupakan fenomena gunung es.

Advokasi World Vision


orld Vision mengadvokasi terwujudnya perlindungan anak dan penegakan hak-haknya, serta memastikan partisipasi anak dalam proses tumbuh-kembangnya. Untuk menyikapi kompleksitas situasi yang menyebabkan anak tereksploitasi dan berada dalam situasi yang rentan, World Vision mengupayakan advokasi dengan berbagai pendekatan melalui perwakilan pada tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Secara global, World Vision mendukung prinsip dan pasal-pasal dalam Konvensi Hak Anak PBB dan dua

You might also like