You are on page 1of 6

Kajian Perubahan Fungsi Sosial Tanah

Lilis Mardiana Anugrahwati Staf Pengajar Jurusan Akuntansi Politeknik Negeri Semarang Abstract. Land is a necessity of each person, because they are living on top of it. Regulation of land in Indonesia is arranged by Act no.5 year 1960 on Undang-Undang Pokok Agraria or commonly abbreviated to UUPA. The Act regulates the ownership of land individually and for mutual interest. To manage the land for mutual interest UUPA on the social function of land that arranged for there is no monopoly in land ownership, set the land is not abandoned, and the land is not only seen for personal use. But on its way, there are many deviation on the social functions of this land, especially because the land has been turned into a commodity material or investment goods for personal use only. The study needs to be done, so that what is mandated in the UUPA can be preserved, may even need to do a study of UUPA and to the rules that following the UUPA itself or other rules relating to the social function of land. Key-words: land, the social function of land, UUPA, spatial plan

PENDAHULUAN
Tanah adalah sumber kehidupan, kekuasaan, dan kesejahteraan. Kedudukan tanah yang demikian strategis tersebut, maka di dalam politik dan hukum pertanahan Indonesia, negara sebagai organisasi kekuasan rakyat pada tingkatan yang tertinggi, menguasai tanah untuk dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, melalui: (1) pengaturan hubungan hukum orang dengan tanah, (2) mengatur perbuatan hukum orang terhadap tanah, dan (3) perencanaan persediaan peruntukan dan penggunaan tanah bagi kepentingan umum. Selain itu digariskan pula bahwa setiap hak atas tanah harus memiliki fungsi sosial dengan pengertian tanah tersebut wajib digunakan, dan penggunaannya tidak boleh merugikan kepentingan orang lain. (Lutfi Ibrahim Nasoetion, Badan Pertanahan Nasional, Jakarta dalam Prosiding Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian, 2003) Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 mengatur bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Amanah untuk mengatur tanah ini diterjemahkan dalam bentuk Undang-undang pada tahun 1960 yang lebih dikenal dengan sebutan Undang-undang no. 5 tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Undang-undang yang disusun pada masa Orde Lama tersebut sampai saat ini masih digunakan untuk mengatur kepemilikan dan penggunaan tanah di Indonesia. UUPA yang disusun pada tahun 1960 dapat dikatakan sebagai salah satu produk hukum terbaik sepanjang sejarah hukum di Indonesia, hal ini dibuktikan dengan telah cukup lamanya undang-undang ini berlaku. Undang-undang tersebut secara eksplisit menyatakan keberpihakannya pada rakyat kecil. Landasan filosofi dan spiritnyapun sangat jelas mencerminkan sistem masyarakat yang dicita-citakan. Dalam kenyataannya undang-undang tersebut tidak bisa bekerja sebagaimana yang diharapkan, bahkan dalam perjalanannya undang-undang tersebut mengalami distorsi akibat kebijakan-kebijakan baru pemerintah yang tidak sejalan dengan landasan prinsipil dari UUPA 1960. Artinya, ada faktor-faktor eksternal lain yang lebih kuat yang mempengaruhi pelaksanaan sebuah Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora Vol. 12 No. 1, April 2012 57

undang-undang. (Syaiful Bahri dalam Tanah Sebagai Fungsi Sosial versus Komoditi dalam Perspektif Politik Hukum Agraria, 2011) Aturan yang sudah lebih dari 50 tahun berlaku tersebut tentunya sudah banyak yang bergeser, salah satu yang cukup mencolok adalah berubahnya fungsi sosial tanah. Berubahnya sistem ekonomi dan arah pembangunan dengan telah berganti-gantinya pemerintahan sangat berpengaruh pada berubahnya fungsi sosial tanah, terutama berubahnya tanah pertanian menjadi industri atau non pertanian. Kondisi ini diperparah dengan telah dimanfaatkan tanah dalam berbagai bentuk investasi, baik investasi secara langsung yang berupa simpanan tanah untuk nantinya dijual apabila nilai tanah telah meningkat, maupun investasi tidak langsung dengan berbagai bentuknya. Pasal 6 UUPA 1960 menyatakan bahwa Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Pernyataan tersebut dalam studi-studi hukum normatif dianggap sebagai kebenaran yang tinggal diterima dan siap untuk diterapkan (taken for granted). Pasal ini akan menjadi dogma yang tak terbantahkan. Studi-studi normatif tidak pernah mempersoalkan apakah hukum telah benar-benar memenuhi keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakatnya (Satjipto Rahardjo, 1985: 3). Dari kondisi tersebut kita perlu melihat apakah dengan adanya gempuran perubahan fungsi dan penggunaan tanah yang demikian pesat terutama di daerah perkotaan, fungsi sosial tanah sebagaimana yang diamanatkan pasal 6 UUPA masih dapat bertahan/dipertahankan atau saat ini kondisinya sudah tidak sesuai dengan yang diundangkan, atau dengan kata lain terjadinya perbedaan antara yang dihukumkan (das Sollen) dengan apa yang senyatanya (das Sein). Permasalahan inilah yang akan diangkat dalam tulisan ini terutama ditinjau dari sisi hukum dengan tidak mengesampingkan tinjauan dari lainnya.

FUNGSI SOSIAL TANAH


Sebelum merujuk pada acuan formal/legal berupa undang- undang, ada baiknya disinggung dulu di sini bagaimana pandangan mengenai tanah dari salah satu pejuang dan pendiri Republik Indonesia, yaitu Bung Hatta. Di antara para pejuang kemerdekaan yang peduli mengenai masalah pertanahan, Bung Hatta merupakan tokoh yang saat itu telah mempunyai kepakaran ekonomi secara formal. (Lihat, I Made Sandi, 1991; juga Suhendar, 1995). Bung Hatta dalam salah satu pidato beliau di Yogyakarta pada tahun 1946, terkandung suatu pandangan mengenai masalah pertanahan. Pandangan itu terdiri dari sepuluh butir, empat di antaranya relevan untuk disebutkan di sini, yaitu: (1) Tanah tidak boleh menjadi alat kekuasaan orang seorang untuk menindas dan memeras hidup orang banyak. (2) Tanah yang dipakai oleh kebun-kebun besar itu pada dasarnya adalah tanah-tanah milik masyarakat. (3) Tanah tidak boleh menjadi "obyek perniagaan" yang diperjualbelikan semata-mata untuk mencari keuntungan (dalam bahasa sekarang: tanah tidak boleh diperlakukan sebagai komoditi). (4) Seharusnya tidak terjadi pertentangan antara masyarakat dan negara, karena negara itu alat masyarakat untuk menyempurnakan keselamatan umum. Jika diperhatikan, pesan-pesan Bung Hatta di atas (termasuk enam butir lainnya yang tak disebutkan di sini) ternyata serupa benar dengan jiwa dan isi pasal-pasal UUPA 1960. Jiwa UUPA jelas mengamanatkan tanah seharusnya tidak diperlakukan sebagai komoditi. Dalam UUPA-1960, ada dua pasal yang merupakan "pagar" bagi praktekpraktek monopoli dan spekulasi tanah, yaitu Pasal-13 dan pasal-26. Dalam pasal 13 ayat 2 disebutkan bahwa "Pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan 58 Kajian Perubahan Fungsi Sosial Tanah (Lilis Mardiana Anugrahwati)

agraria dari organisasi dan perseorangan yang bersifat monopoli swasta". Ayat ini jelas mengamanatkan monopoli tanah harus dilarang. Bahkan usaha-usaha yang dilakukan oleh pemerintah jika bersifat monopoli, harus dicegah jangan sampai merugikan rakyat banyak. Pada ayat-3 pasal yang sama, dinyatakan pula bahwa "usaha-usaha pemerintah dalam lapangan agraria yang bersifat monopoli hanya dapat diselenggarakan dengan undang-undang". Salah satu pertimbangan penyusunan UUPA sebagaimana dalam dasar menimbang pada huruf a UUPA disebutkan bahwa di dalam Negara Republik Indonesia yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomiannya, terutama masih bercorak agraris, bumi, air dan ruang angkasa, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang adil dan makmur. Dari uraian dimaksud diketahui bahwa pada saat penyusunan UUPA ini perekonomian di Indonesia masih didominasi oleh sektor pertanian. Khusus mengenai fungsi sosial tanah sebagaimana telah dijelaskan dalam pendahuluan tercantum dalam pasal 6 UUPA yang menyatakan bahwa Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, yang dalam penjelasannya diterangkan bahwa fungsi sosial tanah ini tidak hanya hak milik tetapi semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Ini berarti, bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) sematamata untuk kepentingan pribadi, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi orang lain atau masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat daripada haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyai maupun bermanfaat bagi masyarakat dan Negara. Ketentuan tersebut tidak berarti bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat). Undang-Undang Pokok Agraria memperhatikan pula kepentingan-kepentingan perseorangan. Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapailah tujuan pokok: kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya (pasal 2 ayat 3). Berhubung dengan fungsi sosialnya, maka adalah suatu hal yang sewajarnya bahwa tanah itu harus dipelihara baik-baik, agar bertambah kesuburannya serta dicegah kerusakannya. Kewajiban memelihara tanah ini tidak saja dibebankan kepada pemiliknya atau pemegang haknya yang bersangkutan, melainkan menjadi beban pula dari setiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai suatu hubungan hukum dengan tanah itu (pasal 15). Dalam melaksanakan ketentuan ini akan diperhatikan kepentingan fihak yang ekonomi lemah. Dari penjelasan dalam UUPA diatas ada beberapa hal yang bisa diambil sebagai pemahaman bagaimana fungsi sosial tanah yang dimaksudkan dalam UUPA ini antara lain: a. Bahwa fungsi sosial tanah ini berlaku untuk semua hak atas tanah, baik hak milik, hak guna bangunan dan hak-hak lainnya. b. Fungsi sosial dalam UUPA ini dimaknai bahwa dalam pemanfaatan tanah tidak boleh semata-mata digunakan untuk kepentingan pribadi, apalagi sampai merugikan masyarakat. Hal ini mengandung makna bahwa dalam penggunaan atau pemanfaatan tanah perlu adanya pengaturan yang menjamin terwujudnya kepentingan bersama. c. Fungsi sosial tidak bisa ditempatkan untuk menghilangkan kepentingan pemilik tanah tetapi harus ditempatkan sejajar d. Bahwa setiap pemilik hak atas tanah diberi kewajiban untuk memelihara tanahnya yang di dalam UU disebutkan agar bertambah kesuburannya serta dicegah kerusakannya. Hal ini juga dapat dimaknai bahwa pemilik tanah tidak hanya dilarang untuk menelantarkan tanah tetapi juga memiliki kewajiban untuk menjaga tanah agar lebih bermanfaat. Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora Vol. 12 No. 1, April 2012 59

PERUBAHAN FUNGSI SOSIAL TANAH


Sebagaimana diketahui UUPA lahir pada tahun 1960 yaitu pada masa pemerintahan orde lama. Adanya perubahan pemerintahan sejak orde lama sampai saat ini ternyata telah merubah paradigma ekonomi, politik dan hukum yang dianut oleh negeri ini. Perubahan paradigma pembangunan yang tadinya lebih banyak kearah sosialis menjadi liberalis merupakan salah satu faktor utama penyebab terjadinya perubahan fungsi sosial tanah sebagaimana yang ditetapkan UUPA. Faktor penyebab terjadinya perubahan fungsi sosial tanah menurut Yusriyadi dalam bukunya yang bejudul Industrialisasi dan Perubahan Fungsi Sosial Tanah (tahun 2010) adalah: 1. Pembangunan atau pendirian industri dilingkungan warga masyarakat selalu menimbulkan keterkaitan dengan warga masyarakat sekitar. Salah satu keterkaitan itu yakni meningkatnya kebutuhan tanah, sebab pembangunan atau pendirian berbagai industri selalu didahului adanya tahap pembebasan tanah. 2. Pembebasan tanah untuk pembangunan atau pendirian industri selalu merambah atau meliputi tanah-tanah milik warga masyarakat yang semula terbatas untuk usaha pertanian dan hampir tak tersentuh kegiatan ekonomi modern. Akibatnya banyak terdapat tanah yang dikonversi atau dialih fungsikan, yaitu dari yang semula untuk usaha pertanian diubah menjadi sarana untuk usaha industri, sehingga tanah menjadi alat produksi bagi para pengusaha industri dan bukan sebagai sarana produksi sub sistem bagi rakyat yang semula adalah pemilik tanah. 3. Pembangunan atau pendirian industri yang menghadirkan industri menimbulkan berbagai perubahan sosial di kalangan warga masyarakat ditempat industri tersebut berada. Perubahan sosial ditandai oleh munculnya nilai-nilai sosial baru yang bersifat individualisme, dan maksimalisasi keuntungan dalam hubungannya dengan kepemilikan tanah. Akibatnya keberadaan fungsi sosial tanah sebagaimana ada dalam UUPA 1960 dihadapkan pada perkembangan yang berbeda sehingga menggeser realitas sosial yang ada pada saat UUPA 1960 dibentuk. Realitas sosial ini misalnya perilaku kebersamaan atau gotong-royong, hidup dan berlakunya hukum adat, dan masyarakat yang bersifat agraris kemudian digantikan oleh kegiatan sosial dan ekonomi warga masyarakat yang lebih berbasis perkotaan. 4. Munculnya nilai-nilai sosial baru yang berbeda dengan nilai-nilai sosial lama yang dianut atau ada dalam UUPA 1960, menyebabkan kepemilikan tanah menjadi berubah dari fungsi sosial ke fungsi individu. Kepemilikan atas tanah telah berorientasi menjadi hak individualnya semata sehingga kewajiban hukum sebagaimana diidealkan sebagai fungsi sosial menjadi berubah menipis bahkan dapat menghilang sama sekali. 5. Munculnya realitas pemilikan tanah yang bersifat individual dan telah mengabaikan fungsi sosialnya hak milik atas tanah, menandai perubahan fungsi sosial hak milik atas tanah warga masyarakat. 6. Tanah menjadi semakin berdimensi ekonomis yang antara lain ditandai harga tanah yang semakin membubung naik, dijadikannya tanah sebagai objek spekulasi atau sebagai komoditas ekonomi yang dapat diperdagangkan, dan mendasarkan pada kepentingan individualnya semata, yaitu dalam rangka memperoleh keuntungan individualnya. 7. Dalam setiap pengadaan tanah melalui acara pembebasan tanah tejadi perkembangan dalam pelaksanaannya. Oleh penguasa (dan pengusaha), fungsi sosial hak milik atas tanah sering diaktualisasikan sebagai identik dengan fungsi kepentingan umum. Kongkritnya identik dengan fungsi untuk kepentingan pembangunan termasuk pembangunan atau pendirian industri. Sementara itu dipihak pemilik tanah telah berubah menjadi fungsi individual dan berlanjut menjadi kebebasan penuh bagi pemilik tanah untuk bebas mengapasajakan tanah miliknya. 60 Kajian Perubahan Fungsi Sosial Tanah (Lilis Mardiana Anugrahwati)

8. Banyaknya penguasaan tanah oleh para pengusaha industri melalui pembebasan tanah, menyebabkan alih fungsi tanah pertanian ke fungsi industri. Hal yang demikian ini tampak dari semakin banyaknya tanah yang belum atau secara sengaja tidak dimanfaatkan sesuai perencanaan semula, bahkan oleh pemiliknya sengaja ditelantarkan sehingga fungsi sosial hak milik atas tanah tidak diaktualisasikan. Bentuk perubahan fungsi sosial tanah pada fungsi individual menurut Prof. Dr. Yusriadi, SH, MS antara lain ditemukan sebagai berikut: Pertama, perubahan tata guna tanah atau alih fungsi tanah. Kedua, tanah lebih dimaknai sebagai fungsi ekonomis semata sehingga tanah berubah menjadi komoditas ekonomi atau komoditas perdagangan. Tanah menjadi barang yang dijadikan sebagai objek spekulasi demi keuntungan ekonomi semata. Ketiga, Akses perolehan tanah yang lebih ditentukan oleh mekanisme pasar, sehingga muncul spekulan tanah yang sengaja menelantarkan tanahnya hanya untuk kepentingan investasi demi tujuan yang lebih menguntungkan secara ekonomi semata. Hal semacam ini akhirnya menumbuhkan semacam perilaku dari pemilik tanah yang memandang tanah dari kepentingan individualnya saja dan beranggapan memiliki kebebasan penuh untuk mengapasajakan tanah miliknya. Sebenarnya telah cukup banyak aturan dan ketentuan perundang-undangan yang diterbitkan dalam upaya mengendalikan fungsi sosial tanah, baik itu berupa pengaturan penggunaan tanah, proses pembebasan tanah untuk kepentingan umum, pembatasan kepemilikan tanah, maupun aturan mengenai penertiban tanah. Dari sisi pemanfaatan tanah salah satu aturan yang cukup menonjol adalah dengan terbitnya Undang-Undang nomor 26 tahun 2007 tentang Penatan Ruang. Undang-undang ini mengatur tentang rencana penggunaan ruang yang harus ditaati oleh seluruh masyarakat serta menjadi acuan bagi pemerintah dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan. Hal ini dari sisi pertanahan akan sangat berpengaruh pada pengaturan pemanfaatan ruang dalam hal ini utamanya adalah pemanfaatan tanah, karena dari undang-undang ini yang kemudian diterjemahkan dalam Rencana Tata Ruang masing-masing wilayah akan sangat mengatur bagaimana pemilik tanah boleh memanfaatkan atau menggunakan tanahnya. UU Penataan Ruang ini mengamanatkan untuk dibuatnya Rencana Tata Ruang sampai ketingkat pengaturan yang detail sampai dengan dapat untuk mengatur setiap persil tanah. Pengaturan tersebut antara lain pengaturan tentang penggunaan lahan, batasan-batasan untuk pemanfaatan baik yang berupa bangunan maupun ruang terbuka hijau, serta seberapa besar persil tanah tersebut terkena rencana untuk pembangunan fasilitas umum maupun fasilitas sosial. Dengan demikian setiap pemilik lahan memiliki pedoman yang jelas bagaimana harus menggunakan lahannya. Dari sisi pengaturan pembebasan tanah untuk kepentingan umum telah diterbitkan Perpres No. 36 Tahun 2005 Jo. Perpres No. 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Dalam peraturan tersebut telah diatur mengenai apa saja yang dimaksud sebagai kepentingan umum serta diatur tentang bagaimana pengadaannya sehingga memudahkan bagi pemerintah untuk melaksanakan namun juga menjamin pemilik tanah untuk mendapatkan penggantian yang layak. Salah satu aturan lain yang dirasa penulis untuk tetap menjaga fungsi sosial tanah adalah adanya peraturan pembatasan kepemilikan tanah. Untuk pemilikan tanah pertanian telah ada aturan kepemilikan maksimal 20 Ha. serta adanya aturan bahwa pemilik tanah pertanian hanya diijinkan oleh orang dalam satu daerah/kabupaten atau daerah yang berbatasan. Selain itu untuk tanah non pertanian juga telah diatur bahwa satu orang hanya boleh memiliki tidak lebih dari 5 bidang tanah. Namun aturan ini kelihatannya tidak dapat berjalan dengan efektif karena di lapangan ternyata banyak diselewengkan. Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora Vol. 12 No. 1, April 2012 61

Masih ada berbagai ketentuan lain yang berkaitan dengan pembatasan kepemilikan tanah untuk mengatur fungsi sosial tanah, baik itu untuk membatasi penggunaan tanah, pengaturan pemberian hak atas tanah, pengaturan tentang penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar, serta banyak lagi aturan lainnya. Namun demikian pada kenyataannya praktek-praktek monopoli tanah, serta berbagai hal yang mengakibatkan fungsi sosial tanah menjadi terabaikan masih jelas terlihat. Penguasaan perorangan atas kavling-kavling tanah yang cukup banyak dengan berbagai cara serta komersialisasi tanah masih banyak terjadi. Akibat dari hal tersebut serta didukung dengan sistem ekonomi yang cenderung liberal mengakibatkan penerapan fungsi sosial tanah sebagaimana diamanahkan oleh UUPA cenderung telah mengalami pergeseran.

PENUTUP
Banyak aturan yang telah dikeluarkan untuk menjaga agar fungsi sosial tanah tetap terjaga sesuai amanah UUPA, namun pada kenyataannya fungsi sosial tanah ini telah mengalami degradasi atau kalau boleh dikatakan kegagalan untuk diwujudkan. Menurut penulis ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian agar fungsi sosial tanah benarbenar terwujud untuk sebesar-besarnya kepentingan masyarakat bersama. Hal-hal tersebut antara lain: 1. Perlu adanya guideline yang jelas tentang fungsi sosial tanah serta penerapannya. 2. Menjadikan rencana tata ruang beserta rencana-rencana rincinya sebagai pedoman bersama dalam penerapan fungsi sosial tanah karena dalam rencana tata ruang tersebut telah diatur pemanfaatan tiap-tiap persil tanah, sehingga jelas mana yang bisa dimanfaatkan serta mana yang harus dijaga untuk kepentingan bersama. 3. Perlu adanya aturan yang lebih tegas mengenai pembatasan kepemilikan tanah yang dapat mencegah terjadinya monopoli tanah, serta unsur spekulasi tanah. 4. UUPA yang telah berlaku lebih dari 50 tahun perlu dilakukan kaji ulang untuk penyempurnaannya.

DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Suardi, SH, MH. 2005, Hukum Agraria, Jakarta, Badan Penerbit Islam. Muhadar, SH, Msi. 2006, Viktimisasi Kejahatan di bidang Pertanahan, Yogyakarta, LaksBang PRESSindo. Yusriyadi, SH, MS. 2010, Industrialisasi dan Perubahan Fungsi Hak Milik Atas Tanah, Yogyakarta, Genta Publishing. 2005, Perpres No. 36 Tahun 2005 Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Jakarta, Sinar Grafika. Syaiful Bahari, 2011, Tanah Sebagai Fungsi Sosial versus komoditi dalam Perspektif Politik Hukum Agraria, http://www.binadesa.or.id. Yusriadi, 2004, Industrialisasi dan Implikasinya terhadap Fungsi Sosial Hak Milik Atas Tanah, http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/14204167180.pdf http://balittanah.litbang.deptan.go.id/dokumentasi/prosiding/mflp2003/lutfi03.pdf

62

Kajian Perubahan Fungsi Sosial Tanah (Lilis Mardiana Anugrahwati)

You might also like