You are on page 1of 12

BAB 2 DASAR TEORI PALEONTLOGI

2.1. Pengertian Paleontologi Ilmu Palentologi adalah bagian dari ilmu Biologi. Di dalam ilmu Biologi terbagi atas zoologi dan botani. Zoologi adalah bagian ilmu Biologi yang mempelajari tentang binatang termasuk didalamnya manusia. Sedangkan Botani mempelajari tentang tumbuh - tumbuhan. Berkaitan dengan hal tersebut, Biologi masih bisa dibedakan lagi berdasar pada apakah kehidupan tersebut masih ada atau sudah mati atau punah. Neontologi adalah ilmu yang memepelajari makhluk yang masih hidup sampai sekarang, sedangkan Paleontologi mempelajari kehidupan masa lampau. Sehingga Paleontologi dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang kehidupan masa lampau. Dalam perkenbangannya ilmu Paleontologi merupakan bagian penting dari ilmu Geologi, dalam hal ini membantu menyingkapkan beberapa misteri di alam berkaitan dengan gejala gelogi dan proses evolusi kehidupan. Perbedaan yang nyata antara Neontologi dan Paleontologi adalah bahwa Paleontologi mempelajari secara nyata proses evolusi, sedangkan Neontologi memberikan praduga proses evolusi.

2.2. Sejarah Paleontologi Sejarah ilmu Paleontologi dimulai oleh seorang Perancis Abbe GirandSaulavie (1777) setelah melakukan penelitian pada lapisan batugamping. Dari hasil penelitiannya tersebut kemudian membuat suatu prinsip mengenai paleontologi yaitu : Jenis - jenis fosil itu berada sesuai dengan umur geologinya: fosil pada formasi dibawah tidak sama dengan lapisan yang di atas (terjemahan dari buku Paleontologi Invertebrata, Permonowati, 1997). Prinsip Abbe GiraudSaulavie ini dikenal dengan hukum Faunal succesion atau Urut - urutan fauna. Setelah itu sejalan dengan perkembangan ilmu biologi muncul Baron Cuvier (1769 - 1832) yang menyusun tentang Sistematika Paleontologi. Dengan

disusunnya sistematika tersebut membuat penyelidikan-penyelidikan paleontologi dapat lebih terarah. Peneliti selanjutya adalah William Smith (1816) yang memperkenalkan prinsip Strata Identified by Fossils. Adapun terjemahan dari pernyataannya adalah bahwa lapisan yang satu dapat dihubungkan dengan lapisan lainnya dengan berdasar pada kesamaan fosil (Smith, 1817 vide Paleontologi Invertebrata dari Permonowati). Perkembangan yang makin maju didalam bidang Paleontologi membuat C.R. Darwin (1809 - 1882) mengeluarkan hipotesa evolusi. Pernyataannya yang dikenal adalah Perubahan makhluk hidup disebabkan oleh adanya faktor seleksi alam. Pernyataan tersebut memperkuat hipotesa yang dikeluarkan oleh Lamark (1774 - 1829) bahwa Fana melakukan perubahan diri untuk beradaptasi dengan lingkungannya.

2.3. Fosil 2.3.1. Pengertian Fosil Dalam mempelajari ilmu Paleontologi, tentunya dibutuhkan suatu data data yang mendukung. Data - data adalah fosil. Fosil sendiri dapat diartikan sebagai sisa atau jejak kehidupan masa lampau yang terawetkan. Fosil dapat ditemukan pada lapisan batuan maupun lapisan tanah. Berdasar pada pengertian tesebut, maka sisa peninggalan manusia purba baik berupa tubuhnya sendiri maupun jejak kebudayaannya termasuk fosil pula. Fosil adalah jejak / sisa kehidupan baik langsung / tidak langsung terawetkan dalam lapisan kulit bumi, terjadi secara alami dan mempunyai umur geologi ( > 500.000 tahun ). Fosil dalam Paleontologi terbagi menjadi 2 jenis, yaitu : - Fosil Makro/besar (Macrofossil) > dapat dilihat dengan mata biasa (megaskopis) - Fosil Mikro/kecil (Microfossil) > hanya dapat dilihat dengan bantuan alat mikroskop (mikroskopis)

Gambar 1. Skala waktu geologi

2.3.2. Tujuan Dan Manfaat Fosil Kegunaan fosil didalam bidang geologi sangat banyak manfaatnya diantara manfaat - manfaat tersebut antara lain : A. Melakukan Korelasi Korelasi yaitu menghubungkan lapisan - lapisan yang memiliki umur yang sama. Untuk mengetahui umur yang sama biasanya dengan menggunakan fosil, sehingga fosil juga dapat untuk menentukan umur satuan batuan. Korelasi sendiri biasanya menggunakan kesamaan dari kandungan fosilnya.

Gambar 2. Principle ofbiostratigraphic correlation

B. Menentukan Umur Relatif Species - spesies tertentu kadang memiliki masa hidup yang pendek. Fosil - fosil tersebut dapat dipergunakan untuk menetukan umur suatu batuan. Penentuan umur dengan fosil dapat dilakukan dengan menggunakan fosil indeks. Tetapi fosil indeks memiliki beberapa syarat tertentu, yaitu : a) Penyebaran lateral luas, b) Penyebaran vertikal (umur) pendek dan c) mudah dikenal. Selain menggunakan fosil indeks dapat juga menggunakan kisaran umur dari sekumpulan fosil pada suatu lapisan batuan (Zonasi Blow).

C. Menetukan Paleogeografi)

Lingkungan

Pengendapan

(Paleoenvironment

&

Dimasa hidupya, organisme hidup di lingkungan tertentu. Berdasarkan hal tersebut, maka foil dapat digunakan untuk menentukan Paleoenvironment dan Paleogeografi. Fosil yang dapat digunakan untuk hal tersebut harus insitu atau belum mengalami proses transportasi. Contoh : Mollusca darat, Koral (laut dangkal).

D. Menentukan Paleoklimatologi Kehidupan suatu organisme sangat dipegaruhi oleh ekologi dimana dia dapat hidup. Salah satu faktor pengontrol ekologi adalah iklim, sehingga keberadaan fosil dapat digunakan untuk menentukan iklim masa lampau (paleoklimatologi).

E. Membantu Penentuan Struktur Geologi Dan Posisi Stratigrafi Pada fosil yang mengalami trasportasi, biasanya menunjukkan orientasi arah tertentu akibat dari faktor sedimentasi. Dengan adanya orientasi tersebut kita dapat menetukan struktur geologi dan juga posisi stratigrafi.

F. Mengetahui Evolusi Kehidupan

Mengacu pada teori Darwin, bahwa makhluk hidup akan mengalami suatu proses evolusi, maka perkembangan kehidupan dapat diketahui dari zaman ke zaman.

2.3.3. Lingkungan Kehidupan Organisme Ada tiga kehidupan, yaitu : udara, darat dan air. Kondisi kehidupan di udara dapat diabaikan, karena kehidupan yang mati pasti jatuh ke darat atau ke air.

2.3.3.1. Lingkungan Darat Organisme yang hidup di lingkungan darat biasanya sangat sulit untuk terawetkan, hal ini disebabkan mudahnya terjadi proses pembusukan. Lingkungan darat terdiri atas : flood plain, gurun, pegunungan, dataran, dan sebagainya.

2.3.3.2. Lingkungan Air Berbeda dengan lingkungan darat, banyak organisme dalam

kehidupannya membutuhkan air dalam jumlah yang banyak. Hal inilah yang mengakibatkan sebagian besar organisme ditemukan hidup dilingkungan air. Lingkungan air terdiri atas : sungai, danau, dan laut. Dari ketiga lingkungan tersebut, lingkungan laut merupakan lingkungan sedimentasi yang paling banyak ditemukan fosil. Secar umum lingkunagn laut dibagi atas : neritik, bathyal, dan abyssal. A. Litoral, merupakan zona gelombang dan dekat dengan pantai. Organisme yang terawetkan biasanya yan bertubuh lunak seperti algae. Sifat sedimen biasanya kasar, sehingga fosil jarang dijumpai. B. Neritik, merupakan lingkungan laut dengan kedalaman berkisar 0 - 200 meter. Kondisi ekosistemnya adalah sinar matahari masih tembus, air terlihat jernih, biasanya terjadi simbiosis dan berkoloni, proses sedimentasi halus dan banyak dijumpai fosil, koral tumbuh dengan baik. C. Bathyal, merupakan lingkungan laut dengan kedalaman berkisar 200 - 2000 meter. Pada zona ini matahari sudah tidak dapat menembus kecuali pada

bagian atas, shingga berupa zona yang gelap. Tumbuh - tumbuhan tidak dapat melakukan fotosintesa. Fosil yang dijumpai umumnya adalah bersifat plangtonik sedangkan benthonik jarang dijumpai. Pada lingkungan ini unsur karbonat biasanya akan terlarutkan karena ada zona CCD (Carbonate Compentation Depth). D. Abyssal, merupakan lingkungan laut dengan kedalamna lebih dari 2000 meter. Zona yang sangat gelap dan dingin, tumbuh - tumbuhan tidak atau sangat jarang hidup.

Gambar 3. Zona bathymetri laut

- Litoral - Epineritik - Neritik

=05m = 5 50 m = 50 200 m

- Batyal - Abyssal - Hadal

= 200 2000 m = 2000 5000 m = > 5000 m

Organisme sendiri dalam kehidupan di air mempunyai cara tersendiri, yaitu : A. Planktonik, organisme ini hidupnya pada permukaan air. Pergerakannya sngat dipengaruhi ole arus, terdiri : Fitoplangton, kemampuan menghasilkan makan dari fotosintesa atau autotropik. Contoh : Coccolithofora, Diatomae, Dinoflagelata. Zooplangton, tidak dapat menghasilkan makanan sendiri, memakan fitoplangton, bersifat heterotropik. Contoh : Foraminifera, Radiolaria, Graptholit.

Meroplangton, pada usia muda sebagai plalngton, kemudian bebas pada saat dewasa. Contoh : Mollusca. Pseudoplangton, organisme tersebar karena arus dan gelombang, namun menambat pada rumput laut, kayu dan sebagainya. Contoh : Bernakel, Brachiopoda. B. Benthonik, organisme merayap di dasar laut, dapat dipermukaan suubstratum ataupun di bawah. Terdiri atas : Sesil, menambat pada dasar. Contoh : Brachiopoda, Crinoida. Vagrabit, benton yang merayap atu berenang pada dasr atau menggali dasar. Contoh : Cacing. C. Nektonik, organisme ini mampu berenang bebas dan bergerak tidak tergantung oleh arus dan gelombang. Contoh : Cephalopoda, Ikan, Mama lia Laut.

2.3.4. Proses Pemfosilan Fosil - fosil yang ditemukan baik yang utuh maupun tinggal jejaknya saja hanyalah merupakan bagian kecil dari suatu kehidupan yang pernah ada di masa lampau. Hal ini disebabkan bahwa tidak semua kehidupan masa lampau dapat terawetkan. Banyak faktor yang mempengaruhi dapat atau tidak terbentuknya proses pemfosilan.

2.3.4.1. Faktor - faktor Perusak Merupakan faktor - faktor yang mencegah terjadinya proses pemfosilan, yaitu : A. Biologi, pada faktor ini adalah kehidupan yang menjadi mangsa organisme lainnya. Kondisi ini mengakibatkan organisme yang dimangsa tidak dapat terawetkan. B. Fisika, organisme yang mati bisa terawetkan apabila lingkungannya mendukung proses pemfosilan. Lingkungan dimana organisme mati biasanya terjadi proses sedimentasi yang sangat berpengaruh untuk terjadi atau tidaknya proses pemfosilan. Sedimentasi dan material yang sangat kasar

biasanya akan merusak tubuh organisme, sehingga mencegah terjainya proses pemfosilan. C. Kimia, tubuh keras dari organisme biasanya mengandung unsur - unsur kimia yang mudah larut dalam air. Terlarutnya unsur - unsur tersebut kadang merusak bentuk shellnya, sehingga mencegah terjadinya proses pemfosilan.

2.3.4.2. Syarat Terjadinya Pemfosilan Walaupun ada beberapa faktor yang bersifat merusak terjadinya proses pemfosilan, tetapi ada beberapa faktor yang dapat mendukung terjadinya proses pemfosilan. A. Organisme yang mati tidak menjadi mangsa organisme lainnya. B. Memiliki bagian tubuh atau rangka yang keras (resisten). Misal shell pada Pelecypoda, Gasropoda, Brachiopoda, dan sebagainya. C. Rongaa - rongga pada bagian yang keras dimasuki zat kersik sehingga merubah struktur kimiawi tanpa merubah struktur fisik. D. Diawetkan / tertimbun oleh lapisan es. Misal fosil mammout yang diketemukan di Siberia. E. Kejatuhan / tertingkupi oleh getah. Misal serangga yang masih terlingkup getah resin di daerah Baltic (Eropa). F. Organisme jatuh di lingkungan anaerob (kekurangan O2) sehingga tidak mengalami proses pembusukan.

TATA CARA PENAMAAN 1. Penamaan Family = diikuti oleh akhiran idae ex : Miliolidae (ditulis huruf tegak) 2. Penamaan Genus = Terdiri dari 1 suku kata & diawali huruf besar, ditulid miring/digarisbawahi ex : Globorotalia atau Globorotalia 3. Penamaan Spesies = Nama genus + 1 suku kata (ada 2 suku kata)

Kata yang pertama ditulis huruf besar & kata kedua ditulis huruf kecil ex : Globorotalia tumida atau Globorotalia tumida 4. Penamaan Sub-spesies = Nama spesie + 1 suku kata (ada 3 suku kata) ex : Globorotalian tumida flexuosa -. Untuk nama spesies & sub-spesies : dapat diikuti nama tempat/orang pertama

yang menemukan ex : Nummulites Djogdjakartae Lepidocyclina subandri

2.3.4.3. Jenis Pemfosilan A. Unaltered remains, merupakan fosil yang terawetkan utuh, meliputi tubuh lunak maupun tubuh keras dan bersifat insitu. Contoh fosil mammouth dan Rhinoceros didalam endapan es di Siberia.

Gambar 4. Fosil yang dihasilkan dari organisme itu sendiri

B. Altered remains, merupakan jenis pemfoisilan dimana unsur - unsur kimia didalam tubuh organisme telah terubah baik secara keseluruhan maupun hanya sebagian. Proses tersebut dapat berupa : Permineralisasi, terisisinya pori - pori oleh mineral kalsit, silika, fosfat, dan sebagainya tanpa merubah bentuk struktur cangkang atau tulang.

Replacement, tergantikannya unsur - usur kimiawi didalam bagian keras / rangka oleh mneral lain tanpa merubah bentuk asli dari shell / rangka. Leaching, terlarutnya unsur - unsur kimia yang ada sehingga sdikit merubah bentuk asli dari shell / rangka. Destilasi, hilangnya unsur nitrogen, oksigen dan hidrogen didalam cangkang / shell yang tergantikan oleh lapisan tipis karbon. Hostometabesis, terubahnya unsur - unsur kimia pada fosil tumbuh tumbuhan.

C. Impression, merupakan sisa tubuh organisme yang terletak pada lapisan batuan. Cetakan tesebut dapat berupa : Internal mold, cetakan langsung dari bagian dalam cangkang / tubuh organisme. Eksternal mold, cetakan langsung dari bagian luar cangkang / tubuh organisme. Internal cast, cetakan dari mold yang memperlihatkan bagian dalam dari cangkang / tubuh organisme. Eksternal cast, cetakan dari mold yang memperlihatkan bagian luar dari cangkang / tubuh organisme.

Gambar 5. Fosil yang berupa cetakan

D. Fosil Jejak, organisme selama hidupnya melakukan suatu aktivitas. Sisa aktivitas organisme ini dapat terawetkan menjadi suatu fosil, berupa : Coprolite, merupakan kotoran binatang yang terfosilkan. Trail, jejak ekor dari binatang. Track, jejak kuku binatang. Foot print, jejak kaki. Burrows dan Boring, jejak berupa tempat tinggal binatang yang berbentuk lobang - lobang.

Gambar 6. Fosil jejak

2.4. Terdapatnya Fosil Dari urutan tersebut diatas terlihat bahwa tidak semua batuan dapat dijumpai atau terdapat fosil. Hanya pada lngkungan tertentu saja yang kemungkinan besar suatu organisme dapat menjadi fosil. Dimana didapatkan fosil? 1. Batuan Beku Batuan Beku adalah batuan yang terjadi dari hasil pembekuan magma. Magma adalah cairan silikat kental yang berasal dari dalam bumi yang bersuhu tinggi. Sehingga tidak memungkinkan suatu organisme dapat hidup pada kondisi tersebut. Dengan demikian tidak mungkin dijumpai fosil pada batuan beku.

2. Batuan Metamorf Batauan Metamorf adalah batuan yang terjadi sebagai akibat ubahan batuan lain (batuan beku, bautan sedimen atau batuan metamorf) oleh peroses metamorfose. Jika batuan metamorf itu berasal dari batuan beku maka tidak akan dijumpai fosil. Jika batuan metamorf itu berasal dari batuan sedimen maka kemunkinan masih akan dijumpai fosil. Contoh : pada marmer kadang kala masih tampak adanya fosil. Sedangkan bila batuan metamorf itu berasal dari batuan metamorf maka kemungkinannya sangat kecil ditemukan fosl, dan bila dijumpai biasanya sudah rusak. Disamping itu juga tergantung pada tingakt metamorfosenya. Metamorfose tingakat rendah kemungkinan masih dijumapi fosil, sdangkan pada metamorfose tingkat tinggi biasanya tiadak dijumpai adanya fosil.

3. Batuan Sedimen Diantara ketiga jenis batuan maka pada batuan sedimen yang paling besar kemungkinannya dijumpai fosil. Tetapi semua batuan sedimen ternyata tidak mengandung fosil. Batuan sedimen berbutir kasar seperti konglomerat dan breksi ternyata jarang atau tidak mengandung fosil. Batuan ini terdapat pada arus yang deras sehingga dapat menghancurkan sisa fosil. Apabila sisa organisme tadi tersimpan dalam konglomerat / breksi maka oleh air tanah yang melalui rongga rongga ini akan terlarutkan sisa organisme tersebut. Akibatnya tidak akan dijumpai fosil. Batuan sedimen yang berbutir sedang seperti batupasir akan baik dalam menyimpan fosil. Tetapi karena batupasir ini adalah batuan yang baik dalam mengalirkan dan menyimpan air dan apabila terdapat fosil juga akan larut oleh air tanah. Sehingga batupasir akan ditemukan bekas / tikas saja berbentuk cetakan. Sedangkan pada batuan sedimen yang berbutir halus seperti napal dan batulempung adalah batuan yang sangat baik sebagai penyimpan fosil. Batuan yang berbutir halus ini akan membentuk cetakan terkesan yang menyerupai aslinya.

You might also like