You are on page 1of 2

Beberapa waktu ini kita digemparkan oleh masalah pencederaan penegakkan hukum di Indonesia.

Kasus cicak-buaya jilid dua, pemberian grasi kepada gembong narkoba ditambah lagi dengan banyak kasus-kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh oknum-oknum kepolisian dan TNI yang notabene-nya merupakan alat penegak hukum di republik Indonesia. Penegakkan hukum yang cenderung normatif dan Undang-Undang sentris ini seringkali mengabaikan aspek-aspek kemanusiaan dan kemasyarakatan. Berkedok penegakkan keadilan, para penegak hukum tersebut seakan lupa dengan asas kedua Pancasila yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab. Mereka berpendapat bahwa penegakkan keadilan yang benar hanya yang bersandarkan kepada peraturanperaturan yang ada. Mereka tidak berani mendobrak birokrasi hukum yang cenderung korup dan hanya menguntungkan sebagian orang tertentu. Bagi mereka hukum hanyalah sesuatu yang sudah ada bukan sesuatu yang harus ditemukan dan digali untuk kemudian diperbaiki. Penegakkan keadilan yang cenderung normatif ini akan sulit untuk menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi dan keadaan yang muncul di masyarakat. Paradigma penegakkan hukum seperti ini mestilah diubah menjadi lebih persuasif dan empiris agar penegakkan hukum ini tidak bersifat kaku dan stagnan. Para penegak hukum mestilah juga memadukan antara hukum yang bersifat normtif dengan ilmu sosiologis yang bersifat empiris. Untuk itu mempelajari ilmu sosiologi hukum menjadi sangat penting bagi setiap orang baik oleh para penegak hukum selaku konsumen kasus-kasus hukum maupun masyarakat selaku subjek hukum. Sosiologi hukum yang merupakan sebuah ilmu sekaligus sebuah metode pendekatan menekankan pemahamannya terhadap masalah-masalah hukum yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat. Ilmu ini berisikan norma-norma sekaligus fakta-fakta sosial mengenai hukum dan masyarakat. Pemahaman terhadap ilmu ini mampu menjadikan hukum lebih bermasyarakat atau sesuai dengan kondisi dan keadaan di masyarakat. Pemahaman terhadap sosiologi hukum akan membuka paradigma baru dalam penegakkan hukum di Indonesia yang cenderung normatif dan berat sebelah ini. Paradigma-paradigma baru akan bermunculan dalam proses penegakkan hukum. Tidak hanya paradigma fakta sosial yang lebih cenderung normatif dan bersifat global saja yang menjadi dasar dalam penegakkan hukum nantinya. Tetapi paradigmaparadigma yang lebih bersifat individu dan khusus seperti paradigma definisi sosial dan paradigma perilaku sosial juga akan menghiasi pola penegakkan hukum di Indonesia. Sosiologi hukum sebagai suatu metode pendekatan akan lebih menonjolkan aspek-aspek individu dibandingkan aspek-aspek hukum yang kaku dan terpaku hanya kepada peraturan yang ada. Ketika metode sosiologi hukum dijadikan sebagai suatu metode dalam penegakkan hukum baik oleh hakim, jaksa dan penegak-penegak hukum lainnya. Maka hukum yang kaku akan menjadi lebih luwes dan memandang kesalahan seseorang tidak hanya dari sisi korban yang dirugikan saja tetapi juga akan melihat kepada proses dan keadaan si pelaku ketika melakukan suatu tindakan yang melanggar norma-norma dan aturan hukum yang berlaku. Persoalan-persoalan seperti kasus cicak dan buaya, Prita Mulya Sari, nenek pencuri coklat dan kasus-kasus tindak pidana yang dilakukan oleh orang-orang lemah lainnya akan lebih manusiawi dan lebih adil dengan melihat kesalahan bukan hanya dari sudut pandang korban yang merasa dirugikan tetapi juga melihatnya dari sudut pandang pelaku yang memiliki

beban dan kesulitan tertentu sehingga proses penegakkan hukum di Indonesia akan menjadi lebih adil dan manusiawi. Proses penegakkan hukum di Indonesia yang bersifat sangat normatif dan sangat teoritis ini sebenarnya bukan hanya disebabkan oleh lemahnya integritas penegak hukum tetapi juga sudut pandang point of view dari penegakkan hukum itu sendiri sangatlah bersifat fungsionalis struktural yang memandang penegakkan hukum hanya dari struktur makro yang ada di masyarakat tidak melihat kepada strukturstruktur mikro yang juga berkembang di masyarakat. Hal ini jelas menjadi persoalan bagi penegakkan hukum di negeri kita tercinta ini. Karena jika proses penegakkan hukum hanya didasarkan kepada teori ini maka hukum dan keadilan hanya menjadi milik orang-orang berkuasa tetapi menciderai hak-hak kaum minoritas yang tertindas. Teori fungsionalisme struktural sendiri ialah teori yang mengajarkan bahwa secara teknis masyarakat dipahami sebagai sebuah sistem sosial yang didalamnya terdapat subsistem-subsistem yang saling mempengaruhi satu sama lain. Subsistemsubsistem tersebut berkerja secara linear sehingga antara subsistem-subsistem dengan subsistem lain memiliki keterkaitan dan ketergantungan satu sama lain. Sehingga jika terjadi kerusakkan pada suatu subsistem tertentu akan memberikan pengaruh kepada subsistem-subsistem lain yang ada di masyarakat. Teori ini menitikberatkan perhatiannya kepada sesuatu yang makro yang ada di masyarakat dan sangat jarang sekali memperhatikan aspek-aspek mikro yang juga muncul di masyarakat. Keadaan ini menyebabkan suatu kesenjangan sosial yang terjadi antara satu masyarakat kelas atas dengan masyarakat kelas bawah, antara orang kaya dan orang yang lemah. Dalam teori fungsionalisme hukum menjadi alat bagi para penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya dan menindas kaum yang lemah. Hukum adalah apa yang dikehendaki oleh kaum mayoritas bukan apa yang ada di seluruh lapisan masyarakat. Hukum juga menjadi salah satu subsistem dalam sistem sosial kemasyarakatan yang ada. Sehingga ia akan mempengaruhi subsistem-subsistem lain seperti ekonomi, politik dan kesejahteraan rakyat. Teori ini sangat ditentang keras oleh Karl Marx. Fokus hukum dalam teori ini akan menitikberatkan kepada strukturstruktur makro dari masyarakat, lembaga-lembaga sosial, pemerintahan, norma-norma dan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat. Hukum dalam teori ini kurang memperhatikan aspek-aspek inidividu dalam penerapannya. Sehingga hukum adalah apa yang ada di dalam peraturan bukan sesuatu yang harus digali dan ditemukan. Pandangan seperti ini menjadi sangat diskriminatif bagi kaum-kaum minoritas. Keadilan bagi mereka hanyalah sesuatu yang semu dan sulit dicari. Keadaan seperti ini haruslah diubah dan diperbaiki prosesnya sehingga yang diperhatikan dan dikedepankan bukanlah hanya yang menjadi mayoritas tetapi seluruh aspek-aspek kemasyarakatan mampu diakomodasi di dalamnya. Hukum harus lebih memperhatikan kepada aspek-aspek individu dari masing-masing masyarakat. Tidak hanya melihat masyarakat sebagai sesuatu yang umum dan global. Sehingga teori fungsionalisme yang dianut di Indonesia ini tidak menjadi sebuah teori yang kaku dan statis. Tetapi mampu menjadi teori yang lebih fleksibel dan dinamis. Penegakkan hukum dengan berpedoman pada teori fungsionalisme nantinya tidak hanya menjadi milik para penguasa, pengusaha dan kaum mayoritas tetapi juga menjadi milik bersama termasuk orang-orang lemah dan tidak berdaya.

You might also like